Academia.eduAcademia.edu

HAK HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT PANDANGAN ISLAM

2024, Esa Maha

Marriage is an agreement between a man and a woman to take up domestic life. From the moment they enter into the contract, both parties are bound, and from then on they have obligations and rights that they did not have before. Rights here refer to anything that a person receives from another person, while obligations are anything that a person must do for another person. Obligations arise because of the rights attached to the legal subject. After a marriage is solemnized, both parties, husband and wife, must understand their respective rights and obligations. The wife's rights become the husband's obligations, and vice versa, the husband's obligations become the wife's rights. A right should not be received before the obligation is carried out. Husbands and wives in Islam are closely related partners without hierarchy or subordination in the fulfillment of their rights and obligations, as stipulated in the Qur'an and Al-Hadis. In the context of this paper, we will explain the relevance of the Qur'anic verses on the rights and obligations of husband and wife with the hadiths that also emphasize the same and with the provisions of civil law related to marriage in Indonesia regulated by Law Number 1 of 1974 concerning Marriage (UUP) and also the Compilation of Islamic Law (KHI) which regulates aspects of marriage for Muslims. The KUHPer itself is more likely to regulate general civil matters in Indonesia. With this analysis, I hope to be able to menyus.

HAK HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT PANDANGAN ISLAM Esa Maha1, M. Tsaqib Idary2 Fakultas Agama Islam, Universitas Islam 45, E-mail: essaa2109@gmail.com Fakultas Agama Islam, Universitas Islam 45, E-mail: m.tsaqib.idary@gmail.com Article Abstract Keywords: Rights and Obligation, Husband and Wife Article History: Received: Revised: Accepted: DOI: Marriage is an agreement between a man and a woman to take up domestic life. From the moment they enter into the contract, both parties are bound, and from then on they have obligations and rights that they did not have before. Rights here refer to anything that a person receives from another person, while obligations are anything that a person must do for another person. Obligations arise because of the rights attached to the legal subject. After a marriage is solemnized, both parties, husband and wife, must understand their respective rights and obligations. The wife's rights become the husband's obligations, and vice versa, the husband's obligations become the wife's rights. A right should not be received before the obligation is carried out. Husbands and wives in Islam are closely related partners without hierarchy or subordination in the fulfillment of their rights and obligations, as stipulated in the Qur'an and Al-Hadis. In the context of this paper, we will explain the relevance of the Qur'anic verses on the rights and obligations of husband and wife with the hadiths that also emphasize the same and with the provisions of civil law related to marriage in Indonesia regulated by Law Number 1 of 1974 concerning Marriage (UUP) and also the Compilation of Islamic Law (KHI) which regulates aspects of marriage for Muslims. The KUHPer itself is more likely to regulate general civil matters in Indonesia. With this analysis, I hope to be able to menyus. PENDAHULUAN Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menempuh kehidupan rumah tangga. Bastiar Bastiar, “PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MEWUJUDKAN RUMAH TANGGA SAKINAH:,” Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundang-Undangan, Ekonomi Islam 10, no. 1 (June 30, 2018): hal. 12, https://doi.org/10.32505/jurisprudensi.v10i1.872. Sejak mengadakan perjanjian melalui akad, kedua belah pihak telah terikat, dan sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak yang tidak mereka miliki sebelumnya. Hak di sini merujuk kepada segala sesuatu yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sementara kewajiban adalah segala sesuatu yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Kewajiban muncul karena hak yang melekat pada subjek hukum. Setelah pernikahan dilangsungkan, kedua belah pihak, suami dan istri, harus memahami hak dan kewajiban masing-masing. Hak istri menjadi kewajiban suami, dan sebaliknya, kewajiban suami menjadi hak istri. Suatu hak belum sepatutnya diterima sebelum kewajiban dilaksanakan. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam juga memberikan panduan tentang tata kehidupan suami-istri melalui ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis. Hal ini karena tidak semua ayat dalam Al-Qur'an dapat dipahami secara harfiah. haris hidayatulloh, “Jurnal Hukum Keluarga Islam,” 2020 April 04, n.d., hal.19. Inilah tempat pentingnya peran dan kewenangan Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu Al-Qur'an, yang memberikan interpretasi dan penjelasan sehingga makna ayat-ayat tersebut dapat dipahami dengan jelas dan tegas. Penting untuk diingat bahwa Nabi Muhammad SAW, sebagai rasul terakhir, memiliki pemahaman mendalam tentang wahyu dan tugasnya, adalah untuk menyampaikan dan menjelaskan ajaran Allah kepada umat manusia. Oleh karena itu, penjelasan dan penafsiran yang diberikan oleh Nabi SAW mengenai ayat-ayat Al-Qur'an membantu umat Islam untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Nabi SAW memainkan peran yang sangat penting dalam memfasilitasi pemahaman yang benar tentang ajaran Islam, termasuk tata cara hidup suami-istri. Hal ini membantu umat Islam dalam menjalani kehidupan rumah tangga sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan ajaran yang diberikan oleh Allah melalui wahyu Al-Qur'an. Sifa Mulya Nurani, “Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam),” Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies 3, no. 1 (July 30, 2021): hal. 99, https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2719. Berdasarkan poin-poin yang telah disebutkan di atas, dapat disusun ulang sebagai berikut: "Suami dan istri dalam Islam adalah mitra yang saling berhubungan secara erat tanpa hierarki atau subordinasi dalam pemenuhan hak dan kewajiban mereka, sebagaimana diatur dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis. 1 Nurani, hal. 100. Dalam konteks tulisan ini, kita akan menjelaskan relevansi ayat-ayat Al-Qur'an tentang hak dan kewajiban suami istri dengan hadis-hadis yang juga menekankan hal yang sama. Dengan analisis ini, kita berharap dapat menyusun sebuah formula ideal mengenai hubungan suami istri dalam kerangka ajaran agama Islam." Harap dicatat bahwa tulisan ini adalah interpretasi ulang dan penyederhanaan dari teks asli yang Anda berikan. Jika Anda membutuhkan perubahan lebih lanjut atau penjelasan tambahan, silakan beri tahu saya. METODE PENELITIAN Penulis menerapkan metode kualitatif untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Metode ini melibatkan interpretasi hukum, logika hukum, dan argumen rasional. Lalu penulis menyajikan data dalam bentuk naratif, agar mudah dimengerti dan jelas. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan metode studi literatur (library research). Studi literatur bertujuan untuk menelusuri teori-teori tentang konsep dan pemahaman yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu hak dan kewajiban suami istri dalam pandangan islam PEMBAHASAN pengaturan hak dan kewajiban suami dan istri dalam undang undang Dalam konteks hukum di Indonesia, sebuah perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP 1974) dan peraturan yang diberlakukan berdasarkan undang-undang tersebut, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 (PP 9 tahun 1975). Oleh karena itu, semua konsekuensi hukum yang timbul akibat perkawinan, termasuk hak dan kewajiban dalam hubungan suami istri, berlaku secara efektif setelah memenuhi persyaratan yang diatur dalam perundang-undangan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan Pasal 2 UUP 1974 dan juga ditegaskan dalam Penjelasan Umum Nomor 4 yang menjelaskan tentang keabsahan perkawinan. Pertama, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan/atau kepercayaan yang berlaku. Kedua, perkawinan tersebut harus dan telah dicatat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sesuai dengan Penjelasan pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diakui jika dilangsungkan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Agus Hermanto, “Rekonstruksi Konsep Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia,” Justicia Islamica 15, no. 1 (December 29, 2018): hal.16, https://doi.org/10.21154/justicia.v15i1.1455. Artinya, perkawinan harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama atau kepercayaan yang diyakini oleh individu, asalkan tidak melanggar hukum yang berlaku atau peraturan lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Terhadap hal ini, Hazairin menjelaskan bahwa tidak ada kemungkinan bagi orang Islam, atau umat beragama lain seperti Kristen, Hindu, Buddha, dan lain sebagainya, untuk melanggar prinsip hukum agama mereka dalam konteks perkawinan. Oleh karena itu, semua individu yang menganut agama tertentu akan mematuhi dan tunduk pada ajaran agama atau kepercayaan mereka masing-masing dalam proses perkawinan. Ini mencerminkan inti dari prinsip keabsahan perkawinan yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, yaitu bahwa sahnya perkawinan diukur berdasarkan dua kriteria: pertama, apakah perkawinan tersebut sesuai dengan hukum agama atau kepercayaan individu yang bersangkutan, dan kedua, apakah perkawinan tersebut dicatat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan dasar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur agama mendominasi dalam konteks perkawinan di Indonesia. Keharusan untuk mematuhi ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing individu menunjukkan bahwa UUP 1974 telah menetapkan landasan yang menggambarkan keagamaan sebagai ruh atau inti undang-undang ini, dan sekaligus mengakui keragaman yang ada di Indonesia. Di satu sisi, regulasi ini menunjukkan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai agama dan spiritual dalam perkawinan, sedangkan di sisi lain, mencerminkan apresiasi terhadap keragaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Dalam praktiknya, konsekuensi dari undang-undang ini adalah bahwa perkawinan harus mematuhi dua aspek hukum sekaligus, yaitu hukum agama dan hukum negara, untuk dianggap sah. Hal ini mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan hukum negara dalam hal perkawinan di Indonesia. Ketentuan tentang keharusan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ini menunjukkan bahwa persyaratan pencatatan perkawinan adalah prinsip yang diakui dalam hukum Islam di Indonesia. Bastiar, “PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MEWUJUDKAN RUMAH TANGGA SAKINAH,” hal.30. Namun, perlu diingat bahwa setiap negara atau wilayah mungkin memiliki peraturan yang sedikit berbeda terkait dengan pencatatan perkawinan, tergantung pada peraturan dan hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Oleh karena itu, penting untuk merujuk pada peraturan hukum yang berlaku di wilayah tertentu untuk memahami persyaratan pencatatan perkawinan dengan tepat. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban suami dan istri diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dalam pasal 103-107. Hermanto, “Rekonstruksi Konsep Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia,” hal.71. Ini mencakup prinsip-prinsip saling setia, tolong-menolong, bantumembantu, serta tanggung jawab bersama dalam memelihara, menjaga, dan mendidik anak-anak mereka. Suami memiliki peran sebagai kepala rumah tangga dan diharapkan untuk memimpin dengan baik, sedangkan istri diwajibkan untuk patuh dan mengikuti kepemimpinan suaminya. Selain itu, suami juga memiliki kewajiban memberikan perlindungan, rasa aman, dan memenuhi kebutuhan istri sesuai dengan kemampuannya. Namun, terdapat perbedaan antara UUP 1974 dan KUH Perdata, terutama terkait dengan status hukum perempuan setelah perkawinan yang sah. Menurut KUH Perdata pasal 108, seorang perempuan yang sudah menikah pada dasarnya menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Di sisi lain, menurut UUP pasal 31, perempuan dianggap tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Perbedaan dalam kedudukan hukum ini memiliki konsekuensi hukum yang signifikan. Hal ini penting untuk diperhatikan, terutama dalam konteks hukum perdata, karena dapat memengaruhi kemampuan perempuan untuk melakukan perbuatan hukum, seperti berkontrak, memiliki hak-hak harta benda, dan lainnya. Perbedaan ini mungkin perlu ditelusuri lebih lanjut dan dipahami dalam konteks hukum Indonesia. Reza Umami Zakiah, “POLA PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI LONG DISTANCE RELATIONSHIP (LDR),” Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Peradilan Islam 1, no. 1 (September 2, 2020): hal. 19, https://doi.org/10.15575/as.v1i1.7804. Menurut Undang-Undang Perkawinan (UUP), suami dan istri diharapkan untuk memiliki rumah sebagai tempat tinggal tetap yang ditentukan bersama (sesuai pasal 32 UUP). Dengan demikian, kehidupan rumah tangga yang mereka bangun harus didasarkan pada perasaan cinta, hormat, kesetiaan, dan saling bantu-membantu sesuai dengan ketentuan pasal 33 UUP. Penggunaan harta bersama juga harus ditentukan melalui persetujuan dari kedua belah pihak, menurut ketentuan UUP. Selain itu, terkait dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri, UUP memastikan bahwa mereka memiliki hak sepenuhnya untuk menggunakannya, sesuai dengan ketentuan pasal 36, nomor 1 dan 1 UUP. Ini mencerminkan pentingnya kesepakatan dan keterlibatan bersama dalam aspek-aspek penting kehidupan rumah tangga, seperti tempat tinggal, penggunaan harta bersama, dan hak atas harta bawaan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan dasar yang kuat untuk kehidupan berumah tangga yang harmonis dan saling mendukung antara suami dan istri. Benar, terdapat perbedaan antara ketentuan UUP (Undang-Undang Perkawinan) dan KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dalam hal pengaturan harta kekayaan perkawinan dan kewenangan suami. Jeffrin Pratama Sumoked, “HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974,” JURNAL MEDIA HUKUM DAN PERADILAN 5, no. 1 (May 30, 2019): hal.227, https://doi.org/10.29062/jmhp.v5i1.71. Dalam UUP, terdapat penekanan pada prinsip persetujuan bersama antara suami dan istri dalam banyak aspek kehidupan rumah tangga, termasuk penggunaan harta bersama. Kehendak bersama ini mencerminkan prinsip kesetaraan dan kerjasama dalam perkawinan. Namun, dalam KUH Perdata pasal 124, dinyatakan bahwa suami memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaan perkawinan tanpa persyaratan keterlibatan istri. Hal ini mencerminkan perbedaan pendekatan dalam peraturan harta perkawinan antara UUP dan KUH Perdata. Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas dalam hukum perkawinan dan harta benda di Indonesia, di mana peraturan bisa berbeda tergantung pada peraturan yang berlaku dan jenis perkawinan yang dimaksud (misalnya, perkawinan sipil atau perkawinan agama). Sebaiknya, individu yang menikah atau berencana menikah untuk memahami persyaratan hukum yang berlaku dan mempertimbangkan perjanjian pranikah jika diperlukan agar hak dan kewajiban mereka terkait dengan harta benda menjadi jelas. Benar, dalam hukum perkawinan Indonesia, terdapat perbedaan dalam status, peran, dan kewajiban antara suami dan istri berdasarkan peraturan-peraturan yang ada. Menurut Pasal 105 ayat 1 dalam KUH Perdata, suami dianggap sebagai kepala perkawinan, sementara Pasal 31 ayat 3 dalam UUP menyebutkan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Status ini mencerminkan perbedaan dalam peran dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam perkawinan. Suami diwajibkan untuk melindungi istri dan memberikan segala kebutuhan hidup dalam rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sementara itu, istri diharapkan untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, sesuai dengan ketentuan Pasal 107 dalam KUH Perdata dan Pasal 34 dalam UUP. Perbedaan ini mencerminkan tradisi dan peran gender yang telah lama ada dalam masyarakat, di mana suami sering dianggap sebagai pemimpin rumah tangga dan istri memiliki peran lebih dalam mengelola rumah tangga. hidayatulloh, “Jurnal Hukum Keluarga Islam,” hal. 13. Namun, penting untuk dicatat bahwa pandangan ini telah berubah seiring waktu, dan semakin banyak perempuan yang bekerja dan memiliki peran yang lebih aktif dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Selain itu, hukum dan norma sosial juga terus berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan sosial dan budaya. Memahami ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta perbandingan dengan Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah penting untuk memahami kerangka hukum yang mengatur perkawinan dan hubungan suami istri di Indonesia. hidayatulloh, hal. 12. Terlihat bahwa berbagai peraturan tersebut, meskipun mungkin memiliki perbedaan dalam beberapa detail, pada umumnya berusaha untuk memberikan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri dalam perkawinan. Prinsip ini mencerminkan prinsip kesetaraan antara suami dan istri dalam perkawinan, yang merupakan landasan penting untuk hubungan yang sehat dan harmonis. Saat ini, upaya terus dilakukan untuk memperbarui dan menyesuaikan peraturan hukum perkawinan dengan perkembangan sosial dan budaya, serta untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban suami dan istri seimbang. Semua ini bertujuan untuk menciptakan perkawinan yang adil dan saling mendukung, serta untuk mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kesetaraan gender. konsep relasi suami istri dalam perkawinan islam didasarkan pada prinsip prinsipyang terdapat dalam Al – Qur’an dan Hadist Perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur manusia untuk menghindari perbuatan zina yang diharamkan dalam agama. Melalui perkawinan, hubungan badaniyah antara seorang pria dan seorang wanita menjadi halal dan diperbolehkan. Dalam ajaran syariat Islam, perkawinan dianggap sebagai ikatan seumur hidup yang bertujuan untuk membangun kasih sayang dan menciptakan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, sebagaimana terdapat dalam ayat 21 surat al-Rum sebagai berikut: وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ artinya : “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” Nurani, “Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam),” hal. 105. Untuk mencapai kehidupan suami istri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut, kedua belah pihak, baik suami maupun istri, harus melaksanakan peran dan tanggung jawab mereka dengan penuh kesadaran. Hubungan antara suami dan istri harus didasari oleh kerja sama yang solid dan berkelanjutan, serta gegap gempita, dengan saling pengertian. Mereka juga harus menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing, yang akan menciptakan lingkungan rumah tangga yang aman, damai, dan sejahtera. Jika prinsip-prinsip ini dipegang teguh dan dijaga, maka kehidupan rumah tangga dapat menjadi harmonis dan kebahagiaan keluarga dapat tercapai. Dalam Islam, konsep relasi suami istri seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan salah satu aspek yang telah diatur dengan cermat agar suami dan istri dapat memenuhi hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan syariat Islam. Nurani, hal. 104. Oleh karena itu, hukum keluarga Islam hadir sebagai pedoman dan panduan untuk mengatur pola hubungan antara semua anggota keluarga. Artinya, baik suami, istri, anak-anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya harus patuh, tunduk, dan menjadikan hukum tersebut sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dengan tanggung jawab, untuk mencapai tujuan perkawinan yang baik. Hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak, baik suami maupun istri, merupakan konstruksi peran dan fungsi yang harus diterima dan dimiliki. Zakiah, “POLA PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI LONG DISTANCE RELATIONSHIP (LDR),” hal. 86. Dengan kata lain, hak adalah sesuatu yang melekat dan harus diperoleh, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan dan dilaksanakan. Rumusan mengenai hak dan kewajiban ini menjadi tolok ukur atau standar untuk menilai apakah suami atau istri telah menjalankan peran dan fungsi mereka dengan benar atau tidak. Secara lebih rinci, dalam suatu hubungan rumah tangga, baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Di satu sisi, istri memiliki hak atas nafkah, sementara di sisi lain, dia memiliki kewajiban untuk taat kepada suami. Inilah titik di mana konsekuensi hukum dalam hubungan perkawinan menjadi relevan dan muncul. Sebagai contoh, jika suami tidak mampu memenuhi kewajibannya dalam memberikan nafkah kepada istri, maka haknya untuk mendapatkan ketaatan dari istri dapat terpengaruh. Surat Al-Baqarah ayat 228 dalam al-Qur'an membahas tentang keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga. Ayat ini berbunyi sebagai berikut: وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ artinya : “Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkat kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” Ayat tersebut menegaskan bahwa suami dan istri memiliki hak yang setara dan seimbang dengan kewajiban mereka sesuai peran dan posisi masing-masing dalam pernikahan. Seorang istri memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak suaminya, dan sebaliknya, suami juga harus memenuhi kewajibannya terhadap istrinya. Nurani, “Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam),” hal. 107. Dengan menjalankan kewajiban masing-masing dengan penuh tanggung jawab, hubungan suami dan istri dapat berjalan dengan seimbang dan adil. Ini akan memungkinkan hak-hak dari kedua belah pihak untuk diwujudkan secara adil pula. Namun, jika salah satu dari mereka melalaikan atau tidak bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya, maka ini dapat menyebabkan ketegangan dan keretakan dalam kehidupan keluarga. Pentingnya menjalankan kewajiban dan hak-hak dalam pernikahan secara seimbang dan adil merupakan dasar untuk menjaga harmoni dan kebahagiaan dalam keluarga, sesuai dengan ajaran dalam Islam dan nilai-nilai universal mengenai hubungan suami istri. Pemahaman yang bijaksana terhadap ayat dalam Surat Al-Baqarah ayat 228 adalah penting dalam konteks hubungan suami dan istri serta pembagian hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga. Seperti yang saya s ebutkan, penafsiran yang lebih komprehensif memperhatikan berbagai aspek fisik dan mental serta konteks pernikahan itu sendiri. Penting untuk menyadari bahwa derajat yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak harus diinterpretasikan secara harfiah sebagai superioritas gender, tetapi lebih sebagai tanggung jawab tambahan yang diberikan kepada suami dalam konteks nafkah dan pemeliharaan keluarga. Ini berkaitan dengan kewajiban suami untuk menyediakan nafkah yang mencukupi bagi keluarga, yang mencakup pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti makanan, tempat tinggal, dan keperluan lainnya. Di sisi lain, istri juga memiliki kewajiban dan peran penting dalam keluarga. Meskipun tidak bekerja yang mendatangkan penghasilan di luar rumah, istri bertanggung jawab untuk mengurus anak-anak, menjalankan rumah tangga, dan berkontribusi pada kesejahteraan keluarga dengan cara lain. Kewajiban-kewajiban ini seharusnya dihormati dan dihargai. Bastiar, “PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MEWUJUDKAN RUMAH TANGGA SAKINAH,” hal. 80. pembagian peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga tidak selalu bersifat baku atau kaku, dan dapat disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan keluarga. Dalam Islam, terdapat konsep "tabarru'" atau memberikan sukarela yang memungkinkan istri untuk membantu suami dalam situasi tertentu. Contohnya, jika suami menghadapi kendala syar'i seperti sakit atau alasan lain yang menghambatnya untuk memenuhi kewajiban nafkah sepenuhnya, istri dapat memilih untuk bekerja atau memberikan kontribusi finansial untuk membantu kebutuhan keluarga. Namun, penting untuk diingat bahwa ini adalah tindakan sukarela dan bukan kewajiban mutlak bagi istri. Jika suami telah pulih atau kondisi normal kembali, maka kewajiban utama untuk memberikan nafkah kembali menjadi tanggung jawab suami dan hak istri untuk menerima nafkah tetap ada. Intinya, mencari dan memberikan nafkah adalah kewajiban seorang suami dalam Islam, dan hal ini harus dijalankan secara penuh dan bertanggung jawab. Namun, dalam situasi tertentu di mana suami tidak dapat memenuhi kewajibannya, istri dapat membantu sebagai tindakan sukarela untuk menjaga kesejahteraan keluarga. Semua ini harus berjalan dalam kerangka saling pengertian, komunikasi, dan kesepakatan antara suami dan istri. Madiha Dzakiyyah Chairunnisa, Icep Baban Abdul Wahab, and Lilis Nurasiah Jamil, “Tanggungan Nafkah Suami Yang Digantikan Istri Menurut Ulama Pedesaan,” Istinbath | Jurnal Penelitian Hukum Islam 16, no. 1 (February 27, 2019): 1, https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i1.278. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam KUH Perdata diatur dalam Bab V, khususnya Pasal 103 hingga 118. Selain itu, terdapat aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam UUP di Bab VI, terutama Pasal 30 hingga 34, serta dalam KHItentang Bab XII, terutama Pasal 77 hingga 84. Ini adalah ketentuan hukum yang mengatur peran, hak, dan kewajiban antara suami dan istri dalam hukum perdata dan undang-undang keluarga. Nurani, “Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam),” hal. 104. KESIMPULAN Kesimpulan dari teks tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, dalam relasi antara hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga, terdapat hak dan kewajiban yang setara antara keduanya. Ini mencakup hak istri terhadap suami, hak suami terhadap istri, dan hak bersama yang dimiliki oleh keduanya. Kedua, penafsiran ayat-ayat hukum (ahkam) dengan relevansinya terhadap hadits-hadits hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan rumah tangga dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, kewajiban suami yang menjadi hak istri. Dinyatakan dalam Al-Qur'an bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istri dan memperlakukan istri dengan baik (ma'ruf). Hal ini sejalan dengan tafsir hadits Asy'ari yang menyatakan bahwa suami memiliki tanggung jawab penuh terhadap istri, baik dalam hal nafkah maupun perlakuan sehari-hari. Sedangkan yang kedua, kewajiban istri yang menjadi hak suami. Ini mencakup kewajiban istri untuk menjaga segala sesuatu yang berkaitan dengan milik suami. Hal ini juga sesuai dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa kewajiban istri sebagai hak suami melibatkan izin suami saat berada di dalam atau di luar rumah, serta dalam hal memanfaatkan dan menggunakan harta bersama. REFERENSI Anindya Harimurti, Dwi. “PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM.” Jurnal Gagasan Hukum 3, no. 02 (December 29, 2021): 149–71. https://doi.org/10.31849/jgh.v3i02.8908. Bastiar, Bastiar. “PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MEWUJUDKAN RUMAH TANGGA SAKINAH:” Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundang-Undangan, Ekonomi Islam 10, no. 1 (June 30, 2018): 77–96. https://doi.org/10.32505/jurisprudensi.v10i1.872. Chairunnisa, Madiha Dzakiyyah, Icep Baban Abdul Wahab, and Lilis Nurasiah Jamil. “Tanggungan Nafkah Suami Yang Digantikan Istri Menurut Ulama Pedesaan.” Istinbath | Jurnal Penelitian Hukum Islam 16, no. 1 (February 27, 2019): 1. https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i1.278. Fathinnuddin, Muhammad. “Aplikasi Kewajiban Suami Terhadap Istri Dikalangan Jama’ah Tabligh (Tinjauan atas penerapan Hak dan Kewajiban Suami Istri),” February 16, 2016. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/30596. Hermanto, Agus. “Rekonstruksi Konsep Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia.” Justicia Islamica 15, no. 1 (December 29, 2018): 49–86. https://doi.org/10.21154/justicia.v15i1.1455. hidayatulloh, haris. “Jurnal Hukum Keluarga Islam.” 2020 April 04, n.d. Nurani, Sifa Mulya. “Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam).” Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies 3, no. 1 (July 30, 2021): 98–116. https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2719. Pradoko, AM. Susilo. Paradigma Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: UNY Press, 2017. Sumoked, Jeffrin Pratama. “HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974.” JURNAL MEDIA HUKUM DAN PERADILAN 5, no. 1 (May 30, 2019): 1–18. https://doi.org/10.29062/jmhp.v5i1.71. Zakiah, Reza Umami. “POLA PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI LONG DISTANCE RELATIONSHIP (LDR).” Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Peradilan Islam 1, no. 1 (September 2, 2020): 71–82. https://doi.org/10.15575/as.v1i1.7804. 1 ?