9 772301 849015
ʹǡ ǡ
Ǧ ʹͲͳͷ
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan
Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Mitra Bestari
Prof. Dr. Afrizal, MA. (FISIP, Unand Padang)
Prof. Dr. Badaruddin, M. Si. (FISIP, USU Medan)
Dr. A. Latief Wiyata, M. Si. (Universitas Jember, Jember)
Dr. Fikarwin Zuska, M. Si. (FISIP, USU Medan)
Nurus Shalihin, M. Si., Ph.D. (Fak. Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang)
Dr. Semiarto A. Purwanto, M. Si. (FISIP, UI Jakarta)
Dr. Wahyu Wibowo, M. Si. (Universitas Nasional, Jakarta)
Dewan Redaksi
Dr. Zusmelia, M. Si.
Dr. Maihasni, M. Si.
Firdaus, S. Sos., M. Si.
Pemimpin Redaksi/Editor
Firdaus, S. Sos., M. Si.
Anggota Redaksi
Ariesta, M. Si.
Dian Kurnia Anggreta, S. Sos., M. Si.
Faishal Yasin, S. Sos., M. Pd.
Ikhsan Muharma Putra, M. Si.
Rio Tutri, M. Si.
Sri Rahayu, M. Pd.
Yuhelna, MA.
ISSN: 2301-8496
viii + 109 halaman, 21 x 29 cm
Alamat Redaksi:
Laboratorium Program Studi Pendidikan Sosiologi, STKIP PGRI Sumbar
Kampus STKIP PGRI, Jl. Gunung Pangilun, Padang, Sumatera Barat
Email: redaksimamangan@gmail.com & daus_gila@yahoo.com
Penerbit:
Laboratorium Program Studi Pendidikan Sosiologi, STKIP PGRI Sumbar
PENGANTAR REDAKSI
K
ebudayaan merupakan produk yang dihasilkan oleh manusia, baik dalam bentuk ide,
tindakan maupun karya. Yang terakhir disebut merupakan produk kebudayaan yang
paling kongkrit dan termati dalam masyarakat. Kebudayaan terus diproduksi oleh
manusia sesuai dengan zaman dan tantangannya untuk memenhi kebutuhan hidup mereka saat
itu. Oleh karena kebudayaan terus diprosukdi oleh manusia, maka kebudyaan terus berdinamika
sesuai dengan ruang dan waktu. Proses dinamika tersebut kadang berjalan dengan lambat dan
kadang berjalan dengan cepat.
Respon terhadap dinamika kebudayaan juga berbeda berdasarkan kelompok. Paling tidak
terdapat tiga kelompok berbeda menurut redaksi dalam menanggapi dinamika kebudayaan.
Kelompok pertama adalah kelompok yang resah dengan dinamika kebudayaan, kedua kelompok
yang senang dengan dinamika dan ketiga kelompok yang berada pada titik keseimbangan dalam
melihat dinamika kebudayaan. Terlepas dari tiga kelompok yang ada, redaksi menyadari bahwa
dinamika kebudayaan pasti akan berlangsung kapan saja dan dimana saja. Oleh karenanya,
banyak bentuk kebudayaan baru yang dihasilkan dan banyak kebudayaan lama ditinggalkan.
Menyadari bahwa proses dinamika kebudayaan akan menghasilkan bentuk kebudayaan
yang baru dan kebudayaan lama ditinggalkan, pada edisi ini redaksi mengambil tema-tema
tulisan menyangkut kebudayaan. Tulisan-tulisan yang ada bicara dalam tema kebudayaan dengan
berbagai perspektif dan pendekatan. Pendekatan itu mulai dari sejarah, hingga perlawanan,
sehingga tulisan-tulisan dalam edisi ini disumbangkan oleh mereka dengan latar belakang yang
berbeda.
Tulisan pertama disumbangkan oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Guru Besar UGM.
Dalam tulisannya Ahimsa-Putra menguraikan seni tradisi di Indonesia. Menurutnya terdapat
tiga seni tradisi di Indonesia, yaitu seni tradisi Ageng, seni tradisi Alit dan seni tradisi suku.
Seni-seni tradisi tersebut memiliki fungsi sebagai atraksi wisata, sebagai jati diri komunitas dan
sebagai sumber inspirasi untuk penciptaan dan pengembangan seni-seni baru. oleh karenanya,
Pengantar Redaksi
seni tradisi tersebut perlu dilestarikan dan dikembangkan. Pelestarian dan pengembangan
seni tradisi di Indonesia saat ini terkendala oleh banyak hal. Dalam tulisannya, Ahimsa-Putra
menawarkan beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan
seni tradisi.
Tulisan kedua ditulis oleh Silvia Delvi, Peneliti Balai Kajian Sejarah Sumatera Barat. Devi
dalam artikelnya membahas tentang songket sebagai produk kebudayaan di nagari Pandai Sikek
Sumatera Barat. Dalam tulisannya, Delvi lebih menekan pada aspek sejarah dan nilai songket di
Pandai Sikek. Menurutnya, Songket Pandai Sikek sudah ada sejak pertengahan abad ke-19. Proses
produksi songket Pandai Sikek sangat eksklusif untuk warga Pandai Sikek dan tidak ditransfer
kepada orang lain. Hal ini karena terdapat rahasia pembuatan dan nilai pada masing-masing
motif yang diproduksi. Jika ingin pandai menenun songket Pandai Sikek, satu-satunya cara adalah
dengan menjalin hubungan keluarga dengan orang Pandai Sikek.
Tulisan berikutnya ditulis oleh Meri Erawati, Dosen Sejarah STKIP PGRI Sumbar. Erawati
menulis cerita nonton bioskop pada tempo dulu di Kota Padang. Dalam tulisannya, Erawati
membahas tentang perkembangan bioskop dan jenis ilm yang ditayangkan di Kota Padang pada
era 1970-2000. Yang menarik dari uraian Erawati adalah cerita tentang bagaimana simbol-simbol
muncul di seputaran bioskop dan kecenderungan style orang-orang menonton bioskop pada
masa itu. Tidak terkecuali itu, temuan Erawati tentang kejahilan-kejahilan penonton terhadap
penonton lainnya memperkaya tulisan Erawati.
Tulisan keempat ditulis oleh Sil ia Hanani, dosen Sosiologi IAIN Bukittinggi. Hanani
menulis tentang batu akik yang sangat popular dan booming beberapa waktu belakangan.
Dalam tulisannya, Hanani menguraikan bagaimana nalar individu dipengaruhi oleh nalar
kolektif tentang batu akik, dampaknya semua orang –minimal- memperbincangkan batu akik.
Lebih dalam, Hanani juga membahas pemaknaan orang terhadap batu akik yang mengalami
pergeseran dari pemaknaan yang sakral ke pemaknaan keindahan dan seni. Masing-masing
jenis batu kemudian menjadi identitas bagi penanda bagi daerah asal dimana batu akik
ditemukan. Di bagian lain, Hanani juga mendiskusikan paradoks batu akik dengan persoalan
kehidupan dan lingkungan.
Tulisan kelima ditulis oleh Faishal Yasin, Dosen Sosiologi STKIP PGRI Sumbar.
Tulisan Yasin membahas tentang gaya yang diampilkan oleh remaja di hiburan malam
seperti café, bilyar dan diskotik. Secara detail Yasin menguraikan bagaimana para remaja
berpakaian, memilih makanan dan musik di masing-masing lokasi hiburan. Yasin kemudian
menghubungkan gaya tersebut dengan kultur induk –Minangkabau- dimana remaja tersebut
hidup dan berkembang. Dalam analisisnya, Yasin menyebutkan bahwa gaya tersebut
merupakan penyimpangan dari kultur induk mereka.
Tulisan keenam ditulis oleh Yusar, dosen Sosiologi Universitas Padjajaran. Yusar
menulis perlawawan anak muda terhadap hegemoni radikalisme anak muda di tiga kota di
Indonesia. Temuan Yusar, perkembangan tekhnologi dimanfaatkan oleh anak muda secara
kreatif dalam melakukan perlawanan terhadap radikalisme agama di tiga kota tersebut. Anak
muda menggunakan berbagai media berbasis tekhnologi untuk mengekspresikan perlawanan
iv
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Pengantar Redaksi
mereka. Ekspresi tersebut anatara lain mereka representasikan melalui meme, pelesetan
kata dan lain sebagainya. Dengan baik Yusar kemudian menampilkan berbagai meme dan
plesetan kata serta maknanya dalam artikelnya yang cukup panjang.
Tulisan terakhir ditulisn oleh Darmairal Rahmad, dosen sosiologi STKIP PGRI Sumatera
Barat. Rahmad menulis integrasi dan interaksi anak muda rantau (kasus mahasiswa) di
kawasan kost-kostan kota Padang. Dengan mengambil setting di kawasan Air Tawar Barat,
Rahmad menemukan berbagai model dan tipologi interaksi dan ientegrasi anak muda dengan
masyarakat di sekitarnya berdasarkan empat pola. Yang menarik dari tulisan Rahmad selain
data yang kaya adalah pola penyajian data kualitatif dalam bentuk matrik probabilitas.
Sebuah pola yang unik dalam penyajian tulisan kualitatif secara dalam bentuk matrik. Bisa
jadi, ini akan menjadi model baru dalam metode penelitian yang kini sedang berkembang,
yaitu mixed method.
Demikianlah para penulis telah menymbangkan buah ikiran mereka dalam edisi ini
yang tentu saja dapat dibaca secara lebih mendalam pada setiap judul tulisan. Redaksi hanya
mengantarkan pembaca pada kulit dari apa yang ditulis oleh para penulisn. Untuk lebih
mendalam pada bagian isi, redaksi mengucapkan selamat membaca.
Redaksi
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
v
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi ...............................................................................................................................................
Daftar isi ......................................................................................................................................................................
Seni Tradisi, Jatidiri dan Strategi Kebudayaan
Heddy Shri Ahimsa-Putra ............................................................................................................................................
Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
Silvia Devi .........................................................................................................................................................................
Budaya dalam Lintasan Sejarah: Booming Nonton Bioskop di Padang
Tempo Dulu
Meri Erawati ...................................................................................................................................................................
Paradoksal Gaya Sosial Global; Kajian Budaya dalam Memahami Kesadaran
Kolektif di Tengah Booming Batu Akik
Silfia Hanani ....................................................................................................................................................................
Gaya Kehidupan Malam Remaja di Kota Padang; Suatu Kajian Subkultur di
Tempat Hiburan Malam Kota Padang
Faishal Yasin ....................................................................................................................................................................
Perlawanan Kaum Muda terhadap Hegemoni Radikalisme Agama dalam
Bentuk-Bentuk Budaya Populer
Yusar ..................................................................................................................................................................................
Gaya Interaksi & Integrasi Sosial Anak Muda Rantau: Kasus Mahasiswa Kost di
Air Tawar Barat, Kota Padang
Darmairal Rahmad .......................................................................................................................................................
iii
vii
1
17
29
45
59
73
89
Profil Penulis ............................................................................................................................................................ 105
Panduan Penulisan ............................................................................................................................................. 107
SEJARAH DAN NILAI SONGKET PANDAI SIKEK
Silvia Devi
silvia160681@gmail.com
(Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)
Abstract
Songket is one of weaving creations produced in various countries in Indonesia. The process of
making Songket is not easy. It is a difϔicult and thorough process and needs a long time. Therefore
it requires great care and diligence. One area where artisan Songket come from is Nagari Pandai
Sikek (Pandai Sikek village) in West Sumatra. Besides Pandai Sikek, there are some other villages
such as Silungkang, Koto Gadang, Kubang, Tanjung Sungayang and Batipuh. But the craft of
weaving in Pandai Sikek has existed and developed since 1850. Songket weaving skill in Nagari
Pandai Sikek still owned by the older generation to the younger generation. These skills cannot
be passed on to generations out of Nagari Pandai Sikek, because this is the message left by
the ancestors of village communities. In the process of passing on the skill, they are still using
methods that have been taught by their ancestors for hundreds of years ago namely by using
handloom (Not Weaving Machine Tools). This paper would like to explain about the history of
the birth of weaving Songket of Pandai Sikek, processes and manufacturing techniques and
values contained in the motives generated in its weaving Songket.
Keyword: Songket, Pandai Sikek, History, Value
Songket merupakan salah satu kreasi tenun yang banyak dihasilkan di berbagai daerah di
Indonesia. Proses dalam menghasilkan sebuah tenunan songket tidaklah mudah, melainkan suatu
proses yang rumit, teliti dan membutuhkan waktu yang cukup lama, oleh karenanya dibutuhkan
ketelitian serta ketekunan. Salah satu daerah tempat pengrajin kain songket adalah nagari
Pandai Sikek di daerah Sumatera Barat. Meskipun tidak hanya di nagari Pandai Sikek, melainkan
juga terdapat di beberapa nagari seperti, Silungkang, Koto Gadang, di daerah Kubang, Tanjung
Sungayang dan Batipuh. Akan tetapi kerajinan tenun di Pandai Sikek telah ada dan berkembang
sejak tahun 1850. Ketrampilan menenun songket di Nagari Pandai Sikek masih dimiliki oleh
generasi tua sampai generasi mudanya. Ketrampilan ini tidak bisa diwariskan kepada generasi
yang bukan dari daerah Pandai Sikek, karena ini merupakan pesan nenek moyang mereka.
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
Dalam proses mewariskan, mereka tetap menggunakan cara-cara yang sudah diajarkan oleh
nenek moyang mereka selama ratusan tahun yang lalu, yakni dengan menggunakan Alat Tenun
Bukan Mesin (ATBM). Tulisan ini ingin menjelaskan tentang sejarah lahirnya tenunan songket
Pandai Sikek, proses dan teknik pembuatannya dan nilai-nilai yang terkandung di dalam motif
yang dihasilkan dalam tenun songketnya.
Kata Kunci: Songket, Pandai Sikek, Sejarah, Nilai
PENDAHULUAN
Berbicara tentang kain untuk pakaian,
kita tidak mungkin mengabaikan sifat dan
kedudukan manusia sebagai ciptaan Tuhan
yang tertinggi derajatnya. Di lain pihak, manusia
sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang tertinggi
derajatnya juga mampu mengembangkan
perlengkapan non-ragawi yang dapat
mempermudah dirinya dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan dimanapun mereka
berada. Perlengkapan non-ragawi misalnya
adalah senjata, alat dapur dan juga pakaian itu
sendiri. Pakaian yang berbentuk kain dihasilkan
dengan teknologi dan peralatan tersendiri dari
masyarakat yang menghasilkannya seperti di
Lampung yang dibuat dengan cara ditenun
dan memakai peralatan yang dibuat sendiri,
dan kain yang dihasilkannya dikenal dengan
sebutan kain tapis. Di Kabupaten Sikka Nusa
Tenggara Timur terdapat kain tenun yang
juga merupakan pakaian adat disebut kain
Lipa Liing. Begitu juga di Sumatera barat
yakni di Nagari Pandai Sikek, terdapat kain
yang ditenun dengan peralatan sendiri atau
dikenal dengan peralatan tradisional tanpa
menggunakan Mesin.
Kain untuk pakaian yang dibuat dalam
perkembangannya tidak lagi berperan sebagai
pelindung dan dekorasi saja, tetapi juga
berperan dalam sistem yang hidup dalam
masyarakatnya, seperti sistem religi atau
upacara kematian, sistem dan organisasi
kemasyrakatan. Di Lombok, ada sebagian
18
masyarakatnya yang disebut golongan Islam
Telu1 (Kartiwa, 1986:12). Mereka sewaktu
menjalankan kewajiban agama seperti
sembahyang, selalu berpakaian putih dan ikat
kepala putih yang disebut dodot2. Sedangkan
di waktu lain dalam aktivitas sebagai anggota
masyarakat mereka memakai pakaian yang
berbeda. Sehingga bagi masyarakat Lombok,
apabila bertemu dengan orang yang memakai
pakaian serba putih sewaktu sembahyang,
maka mereka mengetahui bahwa orang
tersebut termasuk ke dalam golongan
Islam Telu. Dengan demikian pakaian di sini
menunjukkan identitas pelakunya.
Masyarakat Indonesia telah mengenal
tenunan dengan cara ikat lungsi3 (sistem ikat
dan kunci) sejak zaman Perunggu atau sekitar
abad ke-8 sampai abad ke-2 Sebelum Masehi
(Kartiwa, 1989:2). Masyarakat Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara
Timur telah menguasai cara penenunan,
menciptakan alat-alat tenun, pewarnaan
dengan berbagai jenis getah tanaman. Kala
itu, corak kain tenunnya sangat dipengaruhi
1. Salah satu golongan Islam yang hanya melakukan
kegiatan keagamaannya sebanyak telu atau tiga kali yakni
sembahyang hari Jumat, hari raya Idul Adha dan hari raya
Idul Fitri.
2. Dodot dipakai secara khusus oleh para raja atau sultan
dan dipakai oleh para penari wanita dalam tari bedoyo
katawang. Kecuali untuk para raja dodot seringkali
dipakai dalam upacara perkawinan yang dipakai oleh
sang pengantin (Kartiwa, 1985:61).
3. Salah satu teknik dalam tenun dimana benang lungsinya
(benang yang membujur sepanjang kain dan diletakkan
pada dua batang kayu penahab yang merupakan rangka
alat tenunan yang disebut Pahikungu di sumba) yang
diwarnai dan diikat (Achadji, 1986:3).
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
oleh nilai-nilai religius masyarakatnya yang
memuja para leluhur dan keagungan alam dan
sistem sosialnya. Kain tenun menjadi lambang
ikatan solidaritas dan sarana identi ikasi bagi
setiap masyarakat adat agar selalu menyadari
kesamaan asal-usul leluhur mereka. Selain itu
coraknya mengandung pesan-pesan moral dan
sosial yang dimengerti oleh masyarakat adat
daerah itu sendiri.
Daerah-daerah penghasil tenun di
Indonesia diantaranya yakni Bali tepatnya
di Desa Tenganan Pengrisingan, Kabupaten
Karang Asem yang menghasilkan tenun dobel
ikat4. Kalimantan, Batak, Aceh, Toraja, dan Nusa
tenggara adalah penghasil tenunan dengan
teknik ikat lungsi. Sulawesi Tengah di daerah
Kabupaten Donggala dibuat kain tenun pakan
yag menyerupai tenunan yang sama dengan
daerah Sulawesi selatan (Kartiwa,1985:46).
Menurut Van der Hoop, masyarakat Lampung
juga mulai mengenal tenun sejak abad ke -2
Sebelum Masehi yang mana dikenal dengan
kain tenun ikat dan kunci (key and Rhombid
shape). Sedangkan kerajinan tenun yang
menggunakan kapas, telah diperkirakan Roybin
dan Jhon Maxel, diperkenalkan oleh musa ir dan
pedagang asing ke Lampung pada abad ke -7
(Djausal, 2002:12)5. Sedangkan tenun songket
banyak dihasilkan oleh daerah Sumatera
Barat yakni Nagari Pandai Sikek, Silungkang
(Kabupaten Sawahlunto) dan tenunan KubangPayakumbuh (Kabupaten Lima Puluh Kota),
Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat maupun Maluku.
Songket adalah salah satu kreasi
tenun yang banyak dihasilkan di berbagai
4. Salah satu teknik tenun dimana benag lungsi dan pakan
diwarnai dan diikat, sedangkan jika hanya benang pakan
saja yang diwarnai dan diikat disebut ikat pakan (Achadji,
1986:14)
5. Djausal, Anshari. Kain Tapis Lampung, Dinas Pendidikan
Propinsi Lampung, Lampung.2002
daerah terutama di Indonesia. Proses dalam
menghasilkan sebuah tenunan songket tidaklah
mudah, melainkan suatu proses yang rumit,
teliti dan membutuhkan waktu yang cukup
lama, oleh karenanya dibutuhkan ketelitian
serta ketekunan seperti yang diungkapkan
oleh Bart dalam Revitalisasi Songket Lama
Minangkabau (2006:17). Songket yang
merupakan salah satu pakaian yang dikenakan
oleh manusia merupakan salah satu karya
seni yang indah, karena fungsinya tidak hanya
bersifat sebagai pelindung, dekorasi, melainkan
untuk menonjolkan suatu tujuan dengan
daya tariknya (Kartiwa, 1986:4). Salah satu
fungsi pakaian yakni untuk menonjolkan daya
tariknya, maka dalam hal ini dapat dilihat pada
kemewahan dan kilauan songket dari warnawarni benang yang digunakan baik itu dengan
benang emas maupun dengan benang-benang
hasil celupan pewarnaan dari keahlian para
penenunnya.
Pandai Sikek adalah Nagari di Kabupaten
Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat yang
sampai hari ini masih memproduksi songket
secara turun temurun. Produk kerajinan
tenun songket Pandai Sikek tidak hanya
terbatas pada berbagai macam pakaian seperti
baju kurung dan destar, tetapi juga berbagai
kelengkapan upacara adat dan perkawinan,
seperti: kodek songket, saruang balapak,
saruang batabua, selendang songket atau
selendang batabua tingkuluak tanduak (tutup
kepala wanita), dan sisampiang (salempang
yang biasa digunakan penghulu). Songket bagi
masyarakat Minangkabau merupakan jenis
pakaian yang tinggi nilainya (sangat dihargai).
Oleh karena itu, pemakaiannya terbatas pada
peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan
tertentu, seperti: perkawinan, batagak gala
(penobatan penghulu), dan penyambutan
tamu-tamu penting.
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
19
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
Berkembangnya kerajinan tenun songket
di Sumatera Barat tidak berlangsung lama,
hal ini dikarenakan adanya penindasan yang
dilakukan oleh kolonial Belanda pada kaum
Paderi tahun 1837. semenjak itu masyarakat
mengalami kesulitan dalam memperoleh
kapas sebagai bahan mentah dalam proses
pembuatan tenun songket. Seperti yang ditulis
oleh Hasselt (Oki, 1979) diungkapkan oleh
salah seorang pejabat Belanda pada tahun
1870-an bahwa pada tahun 1820-an suara
alat tenun dapat terdengar di setiap penjuru
Sumatera Barat, akan tetapi semenjak tahun
1870-an suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Keterpurukan itu terus berlanjut pada
saat penjajahan Jepang yakni dari tahun 19421945, sampai-sampai masyarakat di nagarinagari di Sumatera Barat termasuk Nagari
Pandai Sikek harus menyimpan alat tenun
yang telah lama mereka pakai yang merupakan
warisan nenek moyang dikarenakan sulitnya
mencari benang. Seperti yang diungkapkan
oleh salah seorang informan yakni Hj. Sanuar6
yang mengatakan bahwa biasanya mereka
menggunakan benang emas yang diimpor
dari Macao, Cina dan benang sutra dari luar
daerah, tapi sejak penjajahan Jepang mereka
tidak mendapatkan kiriman lagi. Konon
kabarnya pabrik benang emas di Macao hancur
akibat Perang Dunia ke II. Karena pada masa
itu merupakan masa penjajahan, dimana
keselamatan jiwa dan raga sangat dipentingkan
demi merebut kemerdekaan, maka pada saat
itu kegiatan menenun tidak dapat dilakukan.
6. Salah seorang informan yang bernama Hj.Sanuar yang
akrab dipanggil dengan nenek Nuan, berusia 83 tahun
yang memiliki pekerjaan sebagai pengusaha tenun pada
galeri Pusako beralamat di Jorong Baruah, Pandai sikek.
Lihat Chrisyawaty, Eny dan Ernatip, Kontinuitas Pola
Pewarisan seni Menenun Songket di Nagari Pandai Sikek
X Koto Tanah datar, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang, 2009.
20
Meskipun sudah mengalami pasang
surut keterampilan menenun songket di
Nagari Pandai Sikek masih dimiliki masyarakat
nagari mulai dari generasi tua sampai pada
generasi muda sekarang ini. Diketahui bahwa
ketrampilan ini tidak bisa diwariskan kepada
generasi yang bukan dari daerah Pandai
Sikek, karena ini merupakan pesan nenek
moyang masyarakat nagari itu. Dalam proses
mewariskan, mereka tetap menggunakan
cara-cara yang sudah diajarkan oleh nenek
moyang mereka selama ratusan tahun yang
lalu, yakni dengan menggunakan ATBM
(Alat Tenun Bukan Mesin). ATBM ini tidak
terlindas oleh roda zaman yang sekarang ini
sudah menggunakan teknologi mesin, oleh
karena itu menenun dengan menggunakan
ATBM tidak semudah menggunakan mesin, di
sini diperlukan kesabaran, kecermatan yang
tinggi dan pastinya dengan waktu yang tidak
singkat. Tidak salah kiranya kalau harga sehelai
tenunan songket begitu mahal harganya,
karena disebabkan hal di atas, selain itu
dikarenakan benang yang merupakan bahan
dasar pembuat tenunan harganya mahal dan
masih harus diimpor.
Berangkat dari uraian di atas mengenai
warisan menenun songket yang merupakan
salah satu warisan yang tak ternilai harganya,
maka dalam tulisan ini akan digali lebih lanjut
mengenai sejarah lahirnya tenunan songket
Pandai Sikek, proses dan teknik pembuatannya
dan nilai-nilai yang terkandung di dalam motif
yang dihasilkan dalam sebuah tenun songket
tersebut.
SEJARAH TENUN SONGKET PANDAI SIKEK
Sejarah tenun di Indonesia menurut
Murnayati (1991:7), terdapat beberapa
pendapat, pertama yakni menurut Effendi,
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
dikatakan bahwa para antropolog sebelumnya
telah memperkirakan bahwa Kebudayaan
menenun berasal dari Mesopotamia dan
Mesir, kemudian disebarkan ke Eropa dan Asia
termasuk di dalamnya Indonesia (1988:1).
Pendapat kedua menurut ahli sejarah Robyn
dan John Maxweel mengatakan bahwa tradisi
tenun songket dan sutera dibawa oleh para
pedagang Islam yang berasal dari Arab dan
India yang menguasai perdagangan di Asia
Tenggara, kegiatan berdagang dilakukan sambil
menyebarkan agama Islam yang dilakukan
pada saat perjalanan dari Selat Malaka menuju
pelabuhan-pelabuhan Sumatera dan Pantai
Utara Jawa (Kartiwa, 1986:5). Pendapat ke
tiga, dikatakan bahwa tenunan berasal dari
daerah penghasil kerajinan yang membuat
motif-motif tersebut dari kebiasaan hidup
sehari-hari dimana songket itu tumbuh dan
berkembang (Kartiwa, 1982:12). Oleh karena
itu di masing-masing daerah penghasil tenun
itu terdapat nama-nama khas dari kain tenun
yang dihasilkan.
Salah satunya seperti yang ditulis oleh
Ernatip (2009:16) di daerah Palembang kata
songket berasal dari kata disongsong dan
diteket. Kata teket itu sendiri dalam bahasa
Palembang lama berarti sulam. Pendapat lain
mengatakan bahwa kata songket berasal dari
songko yang berarti kain penutup kepala yang
dihias benang emas. Benang emas yang dipakai
pada hiasan kepala itu juga dipakai pada kain
tenun.
Banyak istilah lain dari kain songket
yang sesuai dengan nama asal daerahnya
antara lain Daerah Istimewa Aceh disebut Ija
kasap, di Sulawesi Tengah subi kumbaja atau
subi sabe, di Sumbawa disebut selungkang.
Di dalam penggunaan istilah songket ini
banyak dirinci macam-macam bentuk desain
yang tampak menurut teknik pembuatannya.
Kain songket Aceh pada umumnya banyak
berlatar sutra hitam, biru tua, ungu, merah
tua, dan warna lainnya. Kain sarungnya
disebut ija krung, kain panjang atau
selendang panjang disebut ija dua blah hah.
Kain songket dari Minangkabau berbeda
daya coraknya dengan songket dari Aceh.
Kain songket Balapak yaitu kain songket
dengan desain benang emas atau perak yang
memenuhi seluruh permukaan kain. Kain
songket batabua atau bertabur, dimana desain
benang emas atau benang perak dengan motif
tersebar disebut juga songket babintang.
Kerajinan tenun songket yang terdapat
di Sumatera Barat tidak hanya terdapat di
Nagari Pandai Sikek, melainkan terdapat di
beberapa daerah seperti, Silungkang, Koto
Gadang, di daerah Kubang, Tanjung Sungayang
dan Batipuh. Akan tetapi menurut tulisan
Jasper dan Mas Pirngadie dalam buku De
Islandsche Kunstryverheid in Nederlandech Indie
Deel II pada tahun 1912 pusat kerajinan tenun
di Minangkabau antara lain terdapat di Pandai
Sikek. Sesuai dengan tulisan itu kerajinan tenun
di Pandai Sikek telah ada dan berkembang
sejak tahun 1850.
Akan tetapi menurut tabloid Suara
Silungkang Edisi ke 5, November 2007 tenun
songket yang merupakan seni budaya spesi ik
benua Asia ini berasal dari daratan negeri Cina,
keberadaannya lebih kurang sejak 1000 tahun
yang lalu. Dalam kisah perjalanan yang cukup
panjang. Tenun Songket setelah itu hadir di
Negeri Siam (Thailand), kemudian menyebar
ke beberapa negara bagian di Semenanjung
Negeri Jiran Malaysia. Seperti ke Selangor,
Kelantan, Trengganu dan Brunai Darussalam
kemudian menyeberang ke pulau Andalas
yaitu ke Silungkang, Siak dan Palembang. Yang
mana Songket Silungkang berasal dari Negara
Bagian Selangor, sedangkan Songket Pandai
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
21
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
Sikek berasal dari Silungkang dan Songket
Payakumbuh berasal dari Pandai Sikek. Yang
membawa ilmu songket dari Selangor ke
Silungkang yaitu Baginda Ali asal Kampung
Dalimo Singkek beserta hulubalang beliau yang
diperkirakan pada abad ke 16 dan lebih kurang
sudah sejak 400 tahun yang lalu.
Dalam literatur lain Christyawaty
(2009:68) mengungkapkan mengenai sejarah
tenun di Sumatera Barat yakni berdasarkan
tulisan Daghregister (Oki; 1979) dikatakan
bahwa walaupun sulit untuk mencari sejarah
yang pasti mengenai sejarah kerajinan menenun,
akan tetapi dapat dibuktikan terdapat lahan
yang ditanami kapas di Indrapura pada laporan
tahun 1665, tepatnya di “Bandar Sepuluh7”
dan Sungai Pagu. Hasil dari tanamam kapas
tersebut kemudian disebarkan melalui Koto
Tengah di sebelah Utara kota Padang menuju
pelosok Minangkabau. Akan tetapi karena pada
masa itu merupakan masa penjajahan Belanda
dan mereka tidak menginginkan kemakmuran
rakyat Sumatera Barat, maka mereka melarang
adanya penanaman kapas di ranah Minang
pada sekitar tahun 1660-an.
Seperti yang diungkapkan oleh Dobbin
bahwa pada sekitar tahun 1780-an untuk
mengurangi ketergantungan akan bahan
mentah untuk kegiatan menenun tersebut
maka digerakkanlah masyarakat khususnya
di daerah Agam dan Limapuluh Kota untuk
menanam kapas karena ini pada akhirnya akan
membawa kemakmuran pada masyarakat.
Gerakan ini disebabkan oleh dua faktor penting
yakni : pertama, adanya penyusupan Inggris
ke Sumatera Barat sejak pertengahan abad
XVIII yang menyebabkan masyarakat dapat
membelinya dengan harga murah daripada
harga yang ditetapkan oleh Belanda. Faktor
7. Merupakan pelabuhan yang terletak di daerah pesisir
antara Painan dan Indrapura.
22
kedua, yakni adaya perluasan perdagangan
di dataran tinggi Sumatera Barat pada
tahun 1870-an yakni dibukanya Penang
di Semenanjung Malaya yang berdampak
meningkatnya permintaan terhadap produksi
tenun (Oki, 1979).
Tidak seluruh masyarakat Minangkabau
yang bertahan dalam keterpurukan keadaan
pada masa itu. Oleh seorang tokoh masyarakat
yakni wali nagari pada masa itu di tahun 1960an yang bernama Ahmad Ramli Dt. Rangkayo
Sati yang memiliki latar belakang seni lukis
dan ukir membangun tempat atau workshop
ukiran tradisional minang dan juga tenunan
songket dengan dibantu oleh Hj.Sanuar. Usaha
kerajinan terus berkembang, ditambah lagi
adanya proyek pembuatan ukiran sejumlah
perkantoran pemerintah yang beratap gonjong
yang diberikan oleh Gubernur Sumatera
Barat yakni Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa.
Proyek tersebut banyak menyerap tenaga
pengrajin karena setelah proyek itu selesai,
Ramli bersama Sanuar fokus mengembangkan
usaha galeri songket yang dinamakan “Rumah
Tenun Pusako”. Berkat usaha mereka yang
mempekerjakan banyak pengrajin maka Pandai
Sikek berubah menjadi salah satu daerah
tujuan wisata8 untuk belanja hasil kerajinan
yang hampir setiap harinya dikunjungi oleh
para wisatawan sampai hari ini.
Keberlangsungan dari kerajinan
tenun songket Pandai Sikek ini terwujud
dikarenakan adanya proses pewarisan yang
terus berlangsung. Pewarisan tersebut
dilakukan hanya dalam satu garis keturunan,
seperti pewarisan yang dilakukan seorang
nenek kepada cucunya, seorang ibu kepada
anak gadisnya demikian seterusnya. Ruang
lingkup pewarisan tidak boleh keluar dari
8. Kini Daerah Tujuan Wisata lebih dikenal dengan sebutan
destinasi
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
garis keturunan yang lebih dikenal dengan
sebutan saparuik. 9 Tidak hanya itu, dalam
falsafah kehidupan perempuan khususnya di
Nagari Pandai Sikek harus tahu dengan kato
nan ampek, 10 yakni tahu jo takok baniah, tahu
jo suduik kampia, tahu jo liang karok, tahu jo
atah takunyah.
Terdapat satu aturan atau sumpah
dalam proses pewarisan bertenun songket
yang diyakini oleh masyarakat Nagari Pandai
Sikek, yakni bahwa kepandaian bertenun
hanya boleh diwariskan kepada anak cucu yang
berasal dari rumah gadang, seandainya sumpah
itu dilanggar maka hidup mereka bak “ka
bawah indak baurek, ka ateh indah bapucuak, di
tangah-tangah digiriak kumbang, yang artinya
bagi yang melanggar sumpah maka hidupnya
akan sengsara seumur hidup.
Sesuai dengan konvensi adat yang
berlaku di Nagari Pandai Sikek mengenai
siapa saja yang berhak memiliki ketrampilan
menenun adalah seperti yang diungkapkan
oleh Christyawati (2009:76), yakni :
9. Saparuik berasal dari satu paruik seorang niniek/ gaek
yang sama dan masih merupakan bagian dari suku yang
sama. Tingkatan yang lebih atas dari saparuik adalah
sajurai yakni orang-orang yang berasal dari satu perut
seorang nenek yang menempati satu rumah gadang.
Tingkatan yang pertama yakni samandeh atau sarumah
dimana anak-anak yang lahir dari seorang ibu. Jadi dalam
masyarakat minangkabau menganut sistem matrilineal
yang melihat garis keturunan dari garis ibu. Lihat lebih
lengkap di Amir MS (1997:51)
10. Secara umum kato nan ampek yang diketahui oleh
masyarakat, yakni kato mandaki, kato malereng, kato
manurun dan kato mandata. Namun kato nan ampek
dalam hal ini adalah sebuah penekanan identitas
seorang perempuan Pandai Sikek. Adapun arti dari kato
nan ampek di atas, yakni seorang perempuan Pandai
Sikek diharapkan pandai dalam bertanam padi, pandai
menganyam, pandai bertenun, dan pandai memasak.
Adanya kepandaian yang diharapkan dimiliki oleh para
perempuan Pandai Sikek di atas adalah bertujuan sebagai
bekal kelak nanti manakala sudah berumah tangga.
Karena dengan kepandaian tersebut maka seorang
perempuan dapat menjadi seorang istri yang tahu akan
kewajibannya dan juga dapat membantu perekonomian
keluarga, salah satunya yakni kepandaian menenun yang
dapat menghasilkan uang.
a. Orang asli atau penduduk asli Nagari Pandai
Sikek, artinya nenek moyangnya atau ninik
mamaknya berasal dari nagari ini.
b. Orang yang sudah menetap lama dan
sudah menjadi warga Nagari Pandai Sikek
(malakok).
c. Orang yang menikah dengan warga asli
Nagari Pandai Sikek.
PERALATAN PEMBUATAN TENUN
SONGKET
Bahan dasar kain tenun songket
adalah benang tenun yang disebut benang
lusi atau lungsin. Benang tersebut satuan
ukurannya disebut palu. Sedangkan, hiasannya
(songketnya) yang berupa benang emas atau
benang perak menggunakan benang Makao
atau benang India. Benang yang satuan
ukurannya disebut pak ini didatangkan dari
Singapura melalui Tanjung Pinang. Peralatan
tenun songket Pandai Sikek terbagi menjadi
dua, yakni peralatan pokok dan tambahan.
Peralatan pokok adalah peralatan yang
wajib ada dalam proses pembuatan tenun
songket karena ini digunakan untuk membuat
dasar kain songket, sedangkan peralatan
tambahan digunakan sesuai dengan keperluan
pembuatan beberapa jenis motif dan berguna
untuk memperlancar kegiatan produksi tenun.
Keduanya terbuat secara tradisional dengan
berbahan dari kayu dan bambu (lihat lebih
lengkap dalam Murnayati (1991:38-41) dan
Christyawaty dan Ernatip (2009:36-42). Yang
merupakan peralatan pokok adalah :
1. Panta yakni sebuah tempat duduk bagi
penenun yang terbuat dari kayu menyerupai
bangku panjang. Kata panta berasal dari kata
palanta yang berarti balai tempat duduk.
2. Paso yaitu alat penggulung kain yang
telah ditenun akan tetapi belum dipotong
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
23
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
dari benang pembuat dasar kain, paso ini
berbentuk bulat panjang yang terbuat dari
kayu.
3. Suri yaitu kawat yang agak kasar dan kuat
disusun rapat, alat ini tergantung pada tali
karok. Pada setiap benang yang terentang
di alat tenun akan melalui susunan kawat
ini satu persatu.
4. Karok alat yang mirip dengan suri hanya
saja terbuat dari benang nilon. Setiap
benang terentang untuk disusun harus
melalui karok ini. Karok terdiri dari dua
macam, yakni sebagai pengatur benang
lungsi yang dibawah dan pengatur benang
lungsi yang di atas.
5. Penggulung benang yakni kayu berbentuk
bulat dan memanjang di depan alat tenun,
berfungsi sebagai penggulung benang yang
terentang untuk ditenun.
6. Arang babi sebagai penyangga penggulung
benang yang belum ditenun
7. Kaminggang yakni alat berupa penyangga
panta dan bersambungan dengan arang babi.
8. Tijak-tijak adalah alat yang cara penggunaannya
diinjak oleh kaki si penenun berfungsi untuk
merapatkan atau mengencangkan helai-helai
benang ketika membuat motif.
9. Atua kawa yakni tempat masuknya karok.
10. Kudo-kudo adalah alat yang digunakan untuk
mengikatkan karok guna mempermudah
proses menaik turunkan benang.
11. Tandayan adalah tali karok.
12. Langan-langan yakni tempat bergantungnya
tali karok dan tali suri yang terbuat dari kayu.
13. Pakan yakni benang yang terentang pada
alat tenun yang menjadi dasar dari kain
songket.
14. Palapah alat yang terbuat dari bambu
yang salah satu ujungnya diruncingkan.
Berfungsi untuk menyangga kain yang
24
telah dijungkit, kemudian dimasukkan lidi
sebelum disangga yang sesuai dengan motif
yang dibentuk.
15. Pancukia adalah alat yang digunakan untuk
mengatur motif.
16. Sangka yakni penyangga kain yang sudah
ditenun, terletak di bawah paso.
17. Lidi adalah alat yang berfungsi untuk
membuat dan mengatur motif.
18. Turak adalah alat yang terbuat dari
sepotong bambu yang dipotong dan diberi
lubang di tengahnya, sebagai alat bantu
untuk memindahkan benang dari sisi satu
ke sisi lainnya.
19. Kasali berfungsi sebagai penggulung benang
pembuat motif dan benang tambahan yang
selanjutnya dimasukkan ke dalam turak.
20. Tungau berfungsi sama dengan turak, tetapi
di pakai pada waktu menenun songket
batabua.
Adapun alat yang merupakan alat
tambahan dalam proses pembuatan tenunan
yaitu :
1. Kincia yakni alat yang digunakan untuk
menggulung benang.
2. Ulang-aliang yakni alat untuk merentangkan
benang yang akan digulung.
3. Palapah bayam yakni alat untuk meluruskan
benang-benang kusut.
4. Daluang yakni alat yang digunakan untuk
meletakkan lidi-lidi.
Sebagai catatan, di masa lalu jika
pengrajin menginginkan suatu warna tertentu,
maka benang yang akan diwarnai itu dicelupkan
ke air panas (mendidih) yang telah diberi
warna tertentu, kemudian dijemur. Di masa
kini hanya sebagian yang masih melakukannya.
Sebagian lainnya langsung membeli benangwarna yang telah diproduksi oleh suatu pabrik.
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
TEKNIK PEMBUATAN TENUN SONGKET
Pembuatan tenun songket dilakukan
dalam dua tahap. Tahap pertama adalah
penenunan kain dasar dengan konstruksi
tenunan rata atau polos. Caranya benangbenang yang akan dijadikan kain dasar
(ditenun) dihubungkan ke paso. Posisi benang
yang membujur ini oleh masyarakat Pandai
Sikek disebut “benang tagak”. Setelah itu,
benang-benang tersebut direnggangkan
dengan alat yang disebut palapah.
Pada waktu memasukkan benangbenang yang arahnya melintang, benang
tagak direnggangkan dengan alat yang disebut
palapah. Pemasukkan benang-benang yang
arahnya melintang ini menjadi relatif mudah
karena masih dibantu dengan pancukia dengan
hitungan tertentu menurut motif yang akan
dibuat. Setelah itu, pengrajin menggerakkan
karok dengan menginjak salah satu tijak-panta
untuk memisahkan benang sedemikian rupa,
sehingga ketika benang pakan yang digulung
pada kasali yang terdapat dalam skoci atau
turak dapat dimasukkan dengan mudah, baik
dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh
bidang karok) maupun dari kanan ke kiri
(secara bergantian). Benang yang posisinya
melintang itu ketika dirapatkan dengan karok
yang bersuri akan membentuk kain dasar.
Tahap kedua adalah pembuatan ragam
hias dengan benang emas. Caranya agak
rumit karena untuk memasukkannya ke
dalam kain dasar mesti melalui perhitungan
yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian yang
menggunakan benang lusi ditentukan dengan
alat yang disebut pancukie yang terbuat dari
bambu. Konon, pekerjaan ini memakan waktu
yang cukup lama karena benang lusi/lungsin
itu harus dihitung satu persatu dari pinggir
kanan kain hingga pinggir kiri menurut
hitungan tertentu sesuai dengan contoh
motif yang akan dibuat. Setelah jalur benang
emas itu dibuat dengan pancukie, maka
ruang untuk meletakkan turak itu diperbesar
dengan alat yang disebut palapah. Selanjutnya,
benang emas tersebut dirapatkan satu demi
satu, sehingga membentuk ragam hias yang
diinginkan.
Sedangkan Christyawaty dan Ernatip
(2009: 42-43) membagi proses pembuatan
tenun menjadi tiga tahap, yakni tahap
persiapan yaitu menyiapkan seluruh benang
yang akan digunakan sesuai dengan motif
yang akan dibuat, tahap pengerjaan sampai
pada tahap terakhir yakni tahap penyelesaian.
Lama tidaknya pembuatan suatu tenun
songket, selain bergantung jenis pakaian yang
dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan
kerumitan motif songketnya. Semakin halus
dan rumit motif songketnya, akan semakin
lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan
atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu
kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali
lebih dari satu bulan karena setiap harinya
seorang pengrajin rata-rata hanya dapat
menyelesaikan kain sepanjang 5-10 cm.
Dalam pemeliharaan kain songket tidak
boleh dilipat akan tetapi digulung dengan kayu
bulat yang berdiameter 5 cm. Hal ini bertujuan
untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap
bagus dan benang emas-nya tidak putus,
sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik
dan rapi dan bertahan lama.
MOTIF RAGAM HIAS TENUN SONGKET
Beberapa nagari yang terkenal sekali
dengan kain tenunya dan sangat produktif
pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang,
dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang
melanjutkan tradisi warisan menenun hari
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
25
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
ini adalah nagari yang termasuk Nagari
Batipuh Sapuluh Koto juga Nagari Pandai Sikek.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu
diambil dari contoh kain-kain tua yang masih
tersimpan dengan baik dan sering dipakai
sebagai pakaian pada upacara-upacara adat
dan untuk fungsi lain dalam lingkup acara
adat, misalnya sebagai tando, dan dipajang juga
pada waktu batagak rumah. Motif-motif tenun
Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada
kain-kain tenunan wanita Pandai Sikek pada
zaman lampau, yang namanya sebagian masih
diingat oleh beberapa orang tua yang hidup
sekarang. Diantara nama mereka adalah: Sari
Bentan, Namun, Salamah di Baruah Nuriah.
Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung. Ada
kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai
Sikek pada zaman atau generasi nama-nama
di atas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada
juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman
dahulu yang dikenal dengan nama julukan
yang berhubungan dengan peralatan tenun.
Misalnya, dikenal Inyiak Makau dan Inyiak Suri
di Tanjuang. Di Koto Tinggi, Inyiak Banang,
dan Inyiak Karok. Disamping itu, Pandai
Sikek sebagai pusat di bidang tenun songket
waktu itu, tentu wanita-wanitanya sering
mengerjakan pesanan dari daerah-daerah lain,
seperti dari Pitalah di Batipuah, Koto Gadang
di Agam dan dari Sungayang dengan corak
benang dan motif yang spesi ik dengan daerah
tersebut, dan dikenal sampai sekarang sebagai
motif-motif Sungayang, motif Koto Gadang.
Motif ragam hias pada tenunan Pandai Sikek
banyak macamnya. Terdapat 90 (Sembilan
puluh) motif yang telah terinventarisasi oleh
Jasper (Murnayati,1991:44).
Pada dasarnya motif-motif yang terdapat
dalam tenun songket Pandai Sikek adalah
cukie dan sungayang. Cukie adalah sebuah
pola yang mengisi bagian-bagian dari kain.
26
Misalnya, cukie untuk badan kain, cukie untuk
kepala kain, cukie untuk tapi atau pola pinggir
kain, dan cukie untuk biteh yang membatasi
antarbeberapa motif (cukie). Nama-nama cukie
tersebut pada umumnya dicontoh dari kainkain tua yang masih tersimpan dengan baik
dan hanya digunakan pada saat ada upacara
adat, diantaranya adalah: cukie barantai,
cukie bakaluak, cukie bungo tanjung, cukie
kaluak paku, cukie barayam pucuak rabuang,
cukie barayam tali-tali burung, cukie kaluak,
lintadu bapatah, cukie bugis barantai, cukie
bungo batang padi, ula gerang, cukie basisiak
batali burung, cukie kaluak bungo sikakau,
cukie bareh randang, arai pinang baakar cino,
pucuak rabuang bajari, cukie pucuak rabuang
bungo sikakakau, cukie bugis batali, cukie bungo
sitaba, cukie batang padi, lintadu bararak,
cukie kaluak babungo, cukie tapak manggis
batali, cukie barayam talang-talang, cukie ulek
sipadiah, tupuak manggis barantai, itik pulang
patang, bijo antimun dan bungo tanjuang, tali
burung, talue burung, cukie kaluak ampek
puluah, cukie barakar, ayam tadie ilalang, cukie
baayam baakar, cukie basisiak batang pinang,
bareh randang dan biku-biku.
Sedangkan Sungayang adalah corak
keseluruhan kain tenun atau songket. Namanama motif Sungayang diantaranya adalah:
Saik Kalamai, Buah Palo, Balah Kacang,
Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak
Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api,
Cukie Baserak, Sirangkak, Simasam, dan Silala
Rabah.
NILAI YANG TERKANDUNG DALAM
TENUN SONGKET
Tenun Songket Pandai Sikek jika
dicermati, di dalamnya mengandung nilainilai yang pada gilirannya dapat dijadikan
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari
bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai
itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni),
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin terlihat dari
aturan pemakaian kain songket yang tidak bisa
sembarang di pakai. Ada waktu-waktu dalam
upacara-upacara tertentu untuk memakainya.
Contohnya pada acara perkawinan dan batagak
gala (penobatan penghulu). Jika ada seseorang
yang menggunakan tenun secara sembarangan,
maka ia telah melanggar nilai kesakralan, dan
terhadap orang tersebut akan dicemooh oleh
masyarakat yang melihatnya
Nilai keindahan terpancar dari indahnya
motif ragam hias dari kain tersebut. Keindahan
tersebut menggambarkan nilai seni yang indah
yang apabila dibuat dengan sehalus mungkin
akan semakin indah terpancar motifnya.
Berbekal keindahan kain tenun tersebut, maka
seorang yang memakai kain akan semakin
terlihat cantik dan anggun yang dipancarkan
dari keindahan kain tenun tersebut.
Nilai ketekunan, ketelitian, dan
kesabaran tergambar dari lamanya proses
membuat sehelai kain, seperti yang dikatakan
di atas tadi bahwa terkadang seharinya hanya
mampu membuat 5-10 cm. Tenunan tidak
dapat dibuat pada saat si penenun dalam
keadaan emosi karena menenun adalah
kegiatan yang harus dilakukan dengan sabar
dan teliti. Kalau hati sedang emosi maka
biasanya benang yang akan ditenun akan kusut.
Seperti juga melakukan pekerjaan lain yang
harus ditekuni dengan sabar agar pekerjaan
berhasil dengan baik.
KESIMPULAN
Songket adalah salah satu kreasi
tenun yang banyak dihasilkan di berbagai
daerah terutama di Indonesia. Proses dalam
menghasilkan sebuah tenunan songket tidaklah
mudah, melainkan suatu proses yang rumit,
teliti dan membutuhkan waktu yang cukup
lama, oleh karenanya dibutuhkan ketelitian
serta ketekunan. Salah satu daerah tempat
pengrajin kain songket di daerah Sumatera
Barat, adalah Pandai Sikek. Sebagai kekayaan
budaya yang bernilai tinggi, maka wajiblah
kita untuk terus melestarikannya meskipun
zaman terus mengalami perubahan. Karena
songket dengan motifnya adalah gambaran
nilai-nilai falsafahyang tinggi yang dianut oleh
masyarakat Nagari Pandai Sikek khususnya dan
Sumatera Barat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bart, Bernhard, 2006. Revitalisasi Songket
Lama Minangkabau, Studio Songket Erika
Rianti, Padang.
Christyawaty, Eny, dan Ernatip, 2009.
Kontinuitas Pola Pewarisan Seni Menenun
Songket di Nagari Pandai Sikek, X Koto,
Tanah Datar, Depbudpar, Balai Pelestarian
sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Devi, Silvia, 2004. Makna Motif Kain Tapis Krui
Studi tentang Makna Motif Kain Tapis
Krui di Kecamatan Teluk Betung Utara,
Kotamadya Bandar Lampung, Propinsi
Lampung, Skripsi S1 Jurusan Antropologi,
FISIP Universitas Andalas, Padang.
Ernatip, 2009. Inventarisasi Tenun Tradisional
Songket Palembang, Depbudpar, Dijend
NBSF, Direktorat Tradisi.
http://www.tenun-pusako.com.
http://www.pandaisikek.net Is Sikumbang
on July 18, 2008.Sejarah Songket Pandai
Sikek
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
27
Silvia Devi, Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek
http://eriassumarna.blogspot.com/ Jakarta 17
Juni 2009 Membuka Cakrawala Indonesia
http://www.pelita.or.id, Sumber: Drs
Widodo (Museum Nasional/ Proyek
Pengembangan Kebijakan Kebudayaan),
http://www.yfred.wordpress.com. Sejarah
kain Tradisional Indonesia. Sri Astutik (11
Desember 2009)
Kartiwa, Suwati, Songket Indonesia, Depdikbud,
Dirjenbud, Museum Nasional, Jakarta,
1982.
MS. Amir, 1997. Adat Minangkabau : Pola
Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta : Citra
Harta Prima.
28
Murnayati, Aurora, 1991. Arti Simbolis motif
Songket Minangkabau Kasus: Kain Songket,
Kabupaten Pandai Sikek Kecamatan X
Koto, Kabupaten Tanah Datar. Skripsi
S1 Fakultas Sastra, Universitas Andalas,
Padang.
Oki, Akira, 1986. Catatan Mengenai Sejarah
Industri Tekstil di Sumatera Barat, Artikel
dalam Indonesia dalam Kajian Sarjana
Jepang,(Ed.Akira Nagazumi), Yayasan
Obor, Jakarta.
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2015
PANDUAN PENULISAN
Jurnal Mamangan Edisi III, Program Studi Pendidikan Sosiologi
STKIP PGRI Sumatera Barat
a. Pendahuluan
Setiap tulisan ilmiah, baik berupa essay, makalah, jurnal, laporan penelitian dan buku memiliki karakteristik
tersendiri sesuai dengan selera penulis, penerbit, sponsor penelitian dan atau aturan-aturan tertentu sesuai dengan
ruang dan waktu dimana tulisan dibuat oleh penulis. Selain itu, karakteristik sebuah tulisan ilmiah juga menggambarkan
karakter institusi dimana sebuah tulisan diterbitkan. Meskipun demikian sebuah tulisan ilmiah tentulah memiliki
standar minimum yang harus dipenuhi. Standar minimum tersebut terkait dengan substansi isi dan aspek teknis dalam
penulisannya. Dengan dua standar yang ada sebuah tulisan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Mengikuti logika umum penulisan ilmiah, ragam bentuk dan karakteristik tulisan ilmiah yang berlaku umum dalam
khasanah akademik maupun praktis sebagaimana diuraikan di atas, untuk menjadikan Jurnal Mamangan sebagai sebuah
karya ilmiah, program studi sosiologi juga menginginkan jurnal Mamangan memiliki karakter yang kuat dan spesi ik
dalam kerangka isu dan bentuk penulisan. Karakter dan spesi ikasi yang kuat antara lain dapat diatur melalui dua hal,
pertama substansi isi. Substansi isi diatur melalui tema dan isu utama tulisan pada masing-masing edisi jurnal yang
ditetapkan oleh redaksi. Paling tidak, tulisan yang ada dalam satu edisi memiliki isu utama yang sama dalam kacamata
disiplin ilmu yang berbeda, sehingga jurnal melahirkan pembahasan isu dengan multiparadigma. Dengan khasanah
ilmu yang berbeda tersebut kemudian isu utama jurnal pada masing-masing edisi akan memiliki perspektif yang banyak
dan isu utama dapat dibahas secara utuh dan kokoh.
Kedua pengaturan teknis dan sistematika penulisan. Pengaturan teknis dan sistematika penulisan bertujuan
untuk menyamakan pola dan kerangka penulisan yang hendak dimuat dalam jurnal. Pengaturan teknis dan sistematika
penulisan ini sekaligus bertujuan untuk membantu penulis dalam mengerangkakan tulisan ilmiah yang akan dikirimkan
ke Jurnal Mamangan Diharapkan dengan pengaturan format makalah secara substansi dan teknis, jurnal Mamangan
memiliki karakter yang kuat dan khas dalam secara ilmiah.
b. Tujuan
Pengaturan teknis dan format penulisan ini tidak berpretensi untuk menggurui atau bahkan mengajarkan kepada
partisipan tentang bagaimana cara menulis ilmiah yang baik dan benar, tapi pengaturan format ini tidak labih dari
sekedar menyamakan persepsi tentang substansi dan format tulisan yang diinginkan dalam jurnal yang direncanakan.
Sehingga, penulisan panduan ini hanya sebatas untuk menyamakan pola dan kerangka dasar penulisan untuk tema
yang sama dalam kacamata yang berbeda.
c. Teknis dan Format Penulisan
1.
Naskah merupakan karya ilmiah original penulis dan tidak mengandung unsur plagiarisme;
4.
Naskah diketik dengan program Microsoft Word, huruf Cambria, ukuran 12 pts, spasi 1, kertas ukuran A4,
12-17 halaman;
2.
3.
Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris;
Naskah menggunakan istilah yang baku serta bahasa yang baik dan benar;
5.
6.
Naskah diserahkan dalam bentuk soft copy ke email redaksi, redaksimamangan@gmail.com
Sistematika penulisan artikel:
a) Judul: maksimal 14 kata dalam bahasa Indonesia dan 12 kata dalam bahasa Inggris; ditulis dengan huruf
kapital, ukuran 12 pts;
b) Nama Penulis: tanpa mencantuman gelar akademik. Artikel yang ditulis oleh lebih dari satu orang, harus
mencantumkan setiap nama penulis, dengan meletakkan nama penulis utama di urutan awal; nama
penulis diikuti dengan mencantumkan alamat email.
c) Lembaga: dicantumkan di bawah alamat email setelah nama penulis;
d) Abstrak dan Kata Kunci (keyword): Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia. Panjang abstrak maksimal 200 kata, dan kata kunci (keyword) maksimal 5 kata. Abstrak memuat
tujuan, metode, dan hasil penelitian;
e) Pendahuluan: berisi latar belakang masalah, konteks penelitian, telaah pustaka, dan tujuan penelitian.
Seluruh bagian pendahuluan diuraikan secara terintegrasi dalam bentuk paragraf-paragraf;
f)
Literature review atau kerangka teori : bagian ini merupakan uraian penulis tentang penelusuruan penelitian
terdahulu atau kajian teoritis yang digunakan dalam artikel. Literature review atau kerangka teori maksimal
2 halaman.
g) Metode Penelitian: berisi uraian tentang rancangan teknis-prosedural penelitia, berupa setting lokasi
penelitian, jenis data penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data. dapat juga
ditambahkan paradigma penelitian;
h) Hasil/ Temuan Penelitian/ Analisis: merupakan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian.
Setiap temuan data penelitian haur dibahas. Pembahasan berupa pemaknaan, interpretasi, dan pendekatan
atau pembacaan teori terhadap data yang diperoleh;
i)
j)
Simpulan: bagian ini terdiri dari temuan penelitian yang merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian
atau merupakan intisari dari hasil pembahasan. Kesimpulan disajikan dalam bentuk paragraf;
Daftar Pustaka: hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan setiap sumber yang dirujuk harus
tercantum dalam daftar pustaka. Rujukan berupa sumber-sumber primer yang terdiri dari hasil penelitian,
artikel jurnal, dan penelitian sripsi, tesis dan disertasi;
k) Biodata Penulis: berupa nama, tempat tanggal lahir, alamat, lembaga, alamat email, nomor telepon/HP,
pendidikan dan pekerjaan, serta publikasi karya/tulisan terbaru.
Contoh penulisan Daftar Pustaka:
Buku:
Anderson, D.W., Vault, V.D & Dickson, C.E. Problems dan Prospects for the Decades Ahead: Competency Based Teacher
Education. Berkeley: McCutchan Publishing Co, 1999.
Buku kumpulan artikel:
Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds.). Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (edisi ke-4, cetakan ke-1). Malang: UM Press, 2002.
Artikel dalam buku kumpulan artikel:
Russel, T. An Alternative Conception: Representing Representation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (Eds.), Children’s Informal
Ideas in Science (hal. 62-84). London: Routledge, 1998.
Artikel dalam jurnal atau majalah:
Kansil, C.L. Orientasi Baru Penyelenggaraan Pendidikan Program Profesional dalam Memenuhi Kebutuhan Dunia
Industri. Transpor, XX (4): 57-61, 2002.
Artikel dalam koran:
Pitunov, B. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Pengunggulan? Kompas, hlm. 4 & 11, 13 Desember, 2002.
Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang):
Republika. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hal. 3, 22 April 2013.
Dokumen resmi:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undangundang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan nasional. Jakarta: PT Armas Duta Jaya, 1978.
Buku terjemahan:
Ary, D., Jacobs, L.C. & Razavieh, A. 1976. Pengantar Penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arif Furchan. Surabaya:
Usaha Nasional, 1982.
Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Kuncoro, T. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Magang di STM Nasional Malang Jurusan Bangunan, program Studi
Bangunan Gedung: Suatu Studi Berdasarkan Kebutuhan Dunia Usaha Jasa Konstruksi. Tesis. Malang: PPS IKIP
MALANG, 1996.
Makalah seminar, lokakarya, penataran:
Waseso, M.G. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah. Seminar Lokakarya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah,
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 9-11 Agustus, 2001.
Internet (karya individual):
Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. A Survey of STM Online Journals, 1990-1995: The Calm before the Storm, 1996. (http://
journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html,diunduh 12 Juli 2011).
Internet (artikel dalam jurnal online):
Kumaidi. 1998. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan. (Online), Jilid 5, No.
4, (http://www.malang.ac.id, diunduh 20 Januari 2011).
Internet (bahan diskusi):
Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discussion List, (Online), (NETTRAIN@
ubvm.cc.buffalo.edu, diunduh 22 Oktober 2010.
Internet (email pribadi):
Naga, D. S. (ikip-jkt@indo.net.id). 1 Oktober 2011. Artikel untuk Turast. E-mail kepada Subhan Ajrin (subhanajrin@
gmail.com).
9 772301 849015