Academia.eduAcademia.edu

Sumber sumber hukum pidana islam

ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan sasaran (objek) badan dan jiwa saja. Adapun perbuatan dosa selain sasaran badan dan jiwa, seperti kejahatan terhadap harta, agama, Negara dan lain-lain tidak termasuk dalam jinayat, melainkan dibahas secara terpisah-pisah pada berbagai bab tersendiri. Ulama-ulama Muta'akhirin menghimpunya dalam bagian khusus yang dinamai Fiqih Jinayat, yang dikenal dengan istilah Hukum Pidana Islam. Di dalamnya terhimpun pembahasan semau jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas dalam jinayah. Dalam kitab-kitab klasik, pembahsan masalah jinayat ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan sasaran (objek) badan dan jiwa saja. Adapun perbuatan dosa selain sasaran badan dan jiwa, seperti kejahatan terhadap harta, agama, Negara dan lain-lain tidak termasuk dalam jinayat, melainkan dibahas secara terpisah-pisah pada berbagai bab tersendiri. Ulama-ulama Muta’akhirin menghimpunya dalam bagian khusus yang dinamai Fiqih Jinayat, yang dikenal dengan istilah Hukum Pidana Islam. Di dalamnya terhimpun pembahasan semau jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup. Dalam mempelajari fiqih Jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih dulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya. Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan kesehariannya. Rumusan Masalah Apa defininisi Fiqh Jinayah? Apa Sumber-Sumber Fiqh Jinayah? Tujuan Masalah Mengetahui Definisi Fiqh Jinayah Mengetahui Sumber-sumber Fiqh Jinayah BAB II PEMBAHASAN Definisi Fiqh Jinayah Fiqh Jinayah diartikan sesuai dg arti kata Fiqh berasal dari bahasa arab secara etimologi yang berarti Faham. Secara istilah atau terminologi Fiqh adalah Ilmu dengan hukum syariah yang berkaitan dengan perbuatan yang di ambil dari dalil tafsir. Jinayah adalah tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam perbuatan berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta kekayaan manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu diangggap haram untuk dilakukan bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun hukuman Tuhan kelak di akhirat. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Fiqh Jinayah adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dan disimpulkan dari bagian-bagian keagamaan, baik Al-Qur’an ataupun Hadist tentang kriminalitas baik berkaitan dengan keamanan jiwa maupun anggota badan atau menyangkut seluruh aspek jarimah. Sumber-sumber Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam.jumurul fuqaha’ sudah sepakat sumber-sumber hukum islam pada umumnya ada 4, yakni al-Qur’an, hadits, Ijma, Qiyas dan hukum tersebut wajib diikuti. Apabila tidak terdapat hukum suatu peritiwa dalam Al-Qur’an baru di cari dalam hadist dan seterusnya prosesnya seperti itu dalam mencari hukum. adapun masih ada beberapa sumber yang lain tetapi masih banyak diperselisikan tentang mengikat dan tidaknya, seperti: Ikhtisan, Ijtihad, Maslahat Mursalah, Urf, Sadduz zari’ah, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut. Ahmad hanafi M.A, Asas-asa hukum pidana islam, PT.Bulan bintang, Jakarta 1990, Hlm 25 Membicarakan sumber hukum pidana islam bertujuan untuk memahami sumber nilai agama islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaati. Tujuan dimaksud, akan diungkapkan : (1). Sistematika dan hubungan sumber-sumber ajaran agama dan kedudukan al-qur’an sebagai pedoman dan kerangka kegiatan umat islam. (2). Mempelajari arti dan fungsi as-sunnah sebagai penjelasan autentik al-qur’an dan  perannya sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia muslim, dan (3). Membahas kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk melaksankan ijtihad. Selain itu, diungkapkan peran ijtihad sebagai sumber pengembangan nilai ajaran islam dan unsur-unsur Hukum Pidana Islam. Sistematika sumber ajaran islam terdiri atas : (1) al-qur’an (2). As-sunnah, dan (3). Ar-ra’yu. Dari sistematika berikut penulis akan berusaha menjabarkan dari sumber-sumber fiqh jinayah yang penulis ambil dari berbagai keterangan dan referensi buku yg tersedia, Sebagaian besar umat islam sepakat menetapkan sumber ajaran islam adalah Al-qur’an, As-sunnah dan ijtihad kesepakatan itu tidak semata-mata didasarkan kemauan bersama tapi kepada dasar-dasar normatif yang berasal dari Al-qur’an dan al-sunnah sendiri diantaranya adalah sebagai berikut : Study islam IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengantar Study Islam. IAIN Ampel Press Surabaya, 2009, hlm : 12 Al-Qur’an Al-Qur’an adalah sumber ajaran islam yang pertama dan utama, yang berisi dan memuat wahyu-wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Diantara isi kandungannya adalah peraturan-peraturan hidup yang mengatur kehidupan manussia dalam hubungannya kepada Allah SWT, hubungan dengan perkembangan dirinya, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam beserta makhluk lainnya. Al-Qur’an memuat ajaran islam yang sebagian dari isinya adalah prinsip-prinsip syariah mengenai ibadah khas (Shalat, puasa, zakat, dan haji) dan obadah umum (perekonomian, perkawinan, pemerintahan, hukum pidana, hukum perdata dll). Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Diantaranya kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A, Hukum pidana islam, PT.Sinar Grafika, Jakarta , 2009, hlm 15 Sumber-sumber Hukum pidana dalam al-Qur’an : Q.S. Al-Isra’: 32 Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. Ayat di atas menjelaskan tentang terhadap perbuatan zina dam zina itu sangat dimurkai oleh Allah. Q.S An-Nur : 2 Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.Ayat di atas menjelaskan tentang larangan Qadahf (menuduh berzina). Q.S. Al-Maidah: 38 Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 4. Q.S. Al-Baqarah : 219 Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa’atnya bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. 5. Q.S Al-Baqarah: 217 Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraca, mereka kekal di dalamnya”. Ayat diatas menjelaskan tentang larangan untuk riddah (murtad). Sunnah Sunnah Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan Al-Qur’an yang bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad SAW menjelaskan dengan perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi ataupun suatu tindakan yang dilarang Nabi. Sunnah-sunnah nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran islam yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh al-qur’an yang bersifat umum atau memerlukan  penjelasan, maka nabi Muhammad SAW. Menjelaskan melaui sunnah. Sunnah adalah  perbuatan, perkataan, dan perizinan nabi muhammad saw. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua berfungsi : Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedua-duanya (Al Qur’an dan Al Hadits) menjadi sumber hukum. Misalnya Allah SWT dalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta. Sabda Rasulullah SAW : “Ingatlah, aku akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang sebesar-besar dosa besar? Jawab kami (sahabat) : “ya Rasulullah!” Beliau meneruskan sabdanya : “syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua”. Saat itu rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda : “Awas, jauhilah perkataan dusta.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan haji, semuanya itu bersifat garis besar, misalnya tidak menjelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, dan juga tidak memaparkan cara-cara melaksanakan haji. Tetapi semua itu telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam Haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Sabda Rasulullah SAW :“Dihalalkan dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa.” (H.R. Ibnu Majah dan Al Hakim) Menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya cara mensucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuh tujuh kali, salah satu dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Menyucikan bejanamu yang dijilat anjing, sebanyak tujuh kali, salah satunya menyucikan dicampur dengan tanah.” (H.R. Muslim Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi) As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni: Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan. Ada beberapa ahli hadis yang mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja. Adapun contoh-contoh Hadist dalam pidana Islam sebagai berikut: Hadits tentang larangan berzina. Hadits nabi saw : وعن أنس بن ملكِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ قال: أوَّلُ لعانٍ كانَ فِي الإِسلاَمِ أنَّ شريكَ بنَ سحماءَ قذَفَهُ هلالُ بْنُ أميةً بأمرتهِ, فقاَلَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: اْلبَيَّنَةَ وإلاَّ فحدَّ فِي ظَهرِكَ (أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات) Artinya : “Dari anas ibn Malik r.a ia berkata : Li’an pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa syarik ibn Sahman dituduh oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal: Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).” Hadits tentang khamar: وَعَنْ ابْنِ عمرَ رضيَى الله عنهماَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَلَ كُلُّ مُسْكِرِ خَمْرُ وَكُلُ خَمْرٍ حَرَامُ )رواه مسلم( Artinya : “Dari ibnu umar r.a bahwa nabi saw bersabda: setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram”. (H.R. Muslim).” Hadits Tentang pencurian: لعنَاللهُ السَّرقَ يسرِقُ الْبَيضَةَ فتقطَعُ يدهُ ويسْرِقَ الْحبلَ فتقطَعُ يدهُ Artinya :“Allah menguntuk pencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga dipotong tangannya”. Ar-Ra’yu Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran islam yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah yang bersifat umum. Hal ini dilakukan oleh para Ahli Hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia yang maksimal. Oleh karena itu Ar-Ra’yu terbagi menjadi beberapa cabang pemikiran, antara lain : Ijma’ Ijma’ adalah kebulatan pendapat  fuqhoha’ mujtahidin pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah nabi muhammad saw.  Ijma’ adalah kebulatan kesepakatan semua mujtahidin terhadap suatu pendapat hukum yang mereka sepakati bersama, baik dalam pertemuan maupun secara terpisah-pisah maka hukumnya menjadi mengikat. Ijma’ merupakan dalil qat’i, akan tetapi kalau hukum tersebut hanya keluar dari kebanyakan mujtahidin, maka hanya dianggap sebagai dalil dhanni, dan bagi perseorangan boleh mengikuti, sedang bagi orang-orang tingkatan mujtahidin boleh berpendapat lain, selama oleh para penguasa tidak diwajibkan melaksanakannya. Ijma’ harus mempunyai dasar, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw., karena ijma’ tidak boleh didasarkan atas kesukaan hati sendiri, melainkan harus ditegakkan atas aturan-aturan Syara’. Kebulatan mujtahidin dalam suatu kesepakatan hukum tertentu menunjukkan dengan pasti bahwa hukum tersebut sesuai dengan ketentuan syara’. Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum yang mengikat ditentukan al-Qur’an dan Sunnah. “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri...” (an-Nisa’: 59) Adapun syarat-syarat terwujudnya Ijma’ (menurut jumhur ulama) : Bersepakatan para mujtahid, kesepakatan bukan mujtahid (orang awam) tidak diakui sebagai ijma’. Bahwa para mujtahid harus sepakat, tidak seorang pun berpendapat lain. Karena itu tidak diakui ijma’ dengan kesepakatan Suara terbanyak. Kesepakatan tidak diakui ijma’ dengan kesepakatan golongan salaf. Kesepakatan ulama’ salaf kota Madinah saja. Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari uda kota basrah dan kufah, atau salah satunya saja. Ali Zainuddin, Hukum pidana islam, Jakarta: PT.Sinar Grafika, 2009. Kesepakatan Ahli Bait nabi saja. Kesepakatan khulafaurrasyidin saja. Kesepakatan 2 orang Syekh: Abu Bakar dan Umar, karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’iy (diyakini) keabsahannya dan kebenarannya. Bahwa kesepakatan itu; diantara mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas. Kesepakatan mujtahid itu terjadi setelah nabi wafat. Bahwa kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid memulai penyampian pendapatnya dengan jelas pada suatu waktu. Bahwa kesepakatan itu dalam pendapat yang bulat yang sempurna dalam pleno lengkap. Kewajiban kita mengikuti ijma’ adalah disebabkan keputusan yang dihasilkan dari produk ijma’ tersebut tidak dilakukan semena-mena, mempunyai sandaran, dan berpijak kepada sumber-sumber terdahulu. Ijma’ harus ditegakkan di atas aturan-aturan yang umum serta roh syari’at. Oleh karena itu, meskipun pendapat tersebut keluar dari berbagai negeri dan bangsa yang berbeda, kebulatan pendapat tersebut menunjukkan loyalitas mereka terhadap kebenaran syari’at. Itulah sebabnya, hukum yang berasal dari ijma itu sesuai dengan prinsip-prinsip dan roh syari’at. Satu hal lagi adalah umat Islam sebagai umat Nabi Muhammad SAW., tidak akan berkolaborasi dalam kesalahan. Seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW., dalam sebuah hadis yang Artinya : “Tidak akan bersepakat umatku dalam kesalahan.” Kalau umat Nabi yang umumnya manusia biasa atau orang kebanyakan saja tidak akan bersepakat dalam membuat kesalahan, apalagi umat-umat pilihan, ulamat-ulama, para mujtahidin. Keputusan mereka bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi demi kepentingan umat. Di samping itu, keputusan mereka  tidak akan keluar dari prinsip-prinsip umum dan roh syari’at dan bukan karena akal semata. Qiyas Qiyas adalah Mempersamakan hukum suatu Perkara yang belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketetapan hukumnya. Persamaaan Ketentuan hukum yang dimaksud didasari oleh adanya unsure-unsur kesamaan yang sudah ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketertapan hukumnya disebut illat. Qiyas memiliki Empat Rukun yaitu : Dalil Masalah yang di Qiyaskan Hukum yang terdapat pada dalil Kesamaan alasan/sebab terhadap masalah yang di Qiyaskan. Tapi dalam hukum material Qias masih di perseslisihkan, bahkan ada satu pendapat bahwa Qias tidak di masukkan dalam sumber-sumber hukum Islam. Isi dalam kandungan al-Qur’an terdiri dari 2 tema pokok: Bagian yang tetap seperti: datangya kematian, datangnya hari kiamat, ditiupnya sangkakala, kebangkitan surga dan neraka. Bagian yang bisa berubah seperti: terjadinya fenomena pemanjangan dan pemendekan usia, tetapi bukan penghapusan kematian. BAB III KESIMPULAN Sumber hukum pidana islam terdiri dari Al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad (Ijma’ dan Ar-Ra’yu). Oleh karena itu, meskipun pendapat di atas tersebut keluar dari berbagai negeri dan bangsa yang berbeda, kebulatan pendapat tersebut menunjukkan loyalitas mereka terhadap kebenaran syari’at. Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Diantaranya kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya. Sunnah-sunnah nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran islam yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh al-qur’an yang bersifat umum atau memerlukan  penjelasan. Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran islam yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah yang bersifat umum. Hal ini dilakukan oleh para Ahli Hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia yang maksimal. SARAN Sebagai muslim yang baik sudah sewajarnya saling mentaati peraturan agama khusus Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang oleh agama itu sendiri. Para ulama sudah menjelaskan dan mengijtihadkan hukum pidana islam yang sudah ada dengan baik dan sudah barang tentu sesuai dengar syari’ah pastilah ada nilai tersendiri yang ingin ditanamkan bagi setiap muslim yang menjalankan syari’ah tersebut