Academia.eduAcademia.edu

LATAR BELAKANG MPH LULU AGUSTIN

Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan 270 juta penduduk, memiliki keragaman etnis, budaya, dan sumber daya alam yang luar biasa. Namun, di balik potensi besar ini, Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam tata kelola pemerintahan, terutama masalah korupsi yang telah mengakar dan merusak berbagai sektor kehidupan. Transparency International dalam Corruption Perception Index (CPI) tahun 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 96 dari 180 negara, dengan skor 34 dari 100. Skor ini menunjukkan bahwa, meskipun ada kemajuan, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi. Sejarah panjang korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonialisme dan struktur politik pasca-kemerdekaan. Selama era kolonial Belanda, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) marak terjadi sebagai bagian dari politik "divide et impera" (pecah belah dan kuasai). Pejabat lokal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan 270 juta penduduk, memiliki keragaman etnis, budaya, dan sumber daya alam yang luar biasa. Namun, di balik potensi besar ini, Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam tata kelola pemerintahan, terutama masalah korupsi yang telah mengakar dan merusak berbagai sektor kehidupan. Transparency International dalam Corruption Perception Index (CPI) tahun 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 96 dari 180 negara, dengan skor 34 dari 100. Skor ini menunjukkan bahwa, meskipun ada kemajuan, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi. Sejarah panjang korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonialisme dan struktur politik pasca-kemerdekaan. Selama era kolonial Belanda, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) marak terjadi sebagai bagian dari politik "divide et impera" (pecah belah dan kuasai). Pejabat lokal sering diberi hak istimewa sebagai imbalan atas loyalitas mereka, menciptakan budaya patronase yang kuat. Pasca-kemerdekaan 1945, pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1965) dan Soeharto (1965-1998) tidak berhasil memutus rantai korupsi ini. Bahkan, di bawah rezim Orde Baru Soeharto yang otoriter dan sentralistik, korupsi mencapai tingkat sistemik. Sistem sentralistik ini menimbulkan beragam masalah. Pertama, kesenjangan pembangunan yang tajam antara Jawa (terutama Jakarta) dan luar Jawa. Kedua, kebijakan one- size-fits-all yang mengabaikan keunikan dan kebutuhan spesifik masing-masing daerah. Ketiga dan yang paling krusial, sistem ini menyuburkan praktik korupsi. Dengan kekuasaan yang terkonsentrasi, mekanisme checks and balances menjadi lemah. Pejabat daerah lebih berorientasi ke atas (pusat) daripada ke bawah (rakyat), karena karier mereka ditentukan oleh loyalitas pada atasan, bukan kinerja dalam melayani masyarakat.1 Jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa membuka era baru yang disebut "Reformasi." Salah satu agenda utama reformasi adalah desentralisasi dan otonomi daerah, yang diwujudkan melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang ini kemudian direvisi beberapa kali, menjadi UU No. 32 Tahun 2004, lalu UU No. 23 Tahun 2014, dan terakhir UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga memuat beberapa perubahan terkait pemerintahan daerah. 2 Salah satu kebijakan penting pada pemerintahan orde reformasi adalah diterapkannya otonomi daerah yang di harapkan dapat mengangkat harkat daerah dalam wujud pemberian wewenang dengan porsi besar dalam mengelola potensi dan pemasukan keungan daerah . ”Otonomi daerah yang luas mempunyai penjabaran dari desentralisasi secara utuh, idealnya pelaksanaan dalam otonomi daerah yang luas haruslah mempunyai suatu prinsip- prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan, dan partisipasi masyarakat yang di fokuskan kepada peningkatan ekonomi di daerah masing- masing” . Realitas euophoria otonomi daerah terhadap desentralisasi di daerah banyak manimbulkan dampak negatif terhadap pelaksanaannya yang banyak sekali menciptakan kebijakan atau hal yang tidak optimal sehingga implementasinya menimbulkan raja – raja kecil di daerah yang bermuara kepada proses hukum. 3 Berdasarkan undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, otonomi daerah di defenisikan sebagai hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintaha. Selain itu, undang – undang nomor 31 tahun 1999 tentang pengawasan keuangan negara dan undang – undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak 1 Yana indrawan, pelaksanaan otonomi daerah, pengkajian MPR RI, 2018, hlm.4. Lintjie, anna marpaung, zainab jainah, erlina, intan nurina seftiiari & risti dwi ramasar, Hukum otonomi daerah dalam perspektif kearifan loal, Pustaka media, 2019, hlm.8. 3 Saeful Kholik, “Penerapan otonomi daerah dalam desentralisasi korupsi di daerah”, yustitia, Vol. 3 no.2 (2017). 2 pidana koruupsi juga berperan penting dalam mengatur dan mencegah korupsi di daerah. Tabel 1.1 data perkara kasus korupsi di jawa tengah tahun 2019 Rekapan dan data tentang banyaknya kasus korupsi di pengadilan tinggi provinsi jawa tengah 2019. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwasannya kasus korupsi di jawa tengah termasuk kabupaten sragen sangat banyak untuk itu diperlukan kebijakan otonomi daerah untuk mengurangi angka korupsi di kabupaten sragen, provinsi jawa tengah. Pada tahun 2019, masyarakat di kabupaten sragen, Jawa Tengah, mengalami krisis air yang berkepanjangan. Kondisi ini disebabkan oleh korupsi dalam pengelolaan sumber daya air oleh pemerintah daerah. Masyarakat yang terkena dampak langsung dari krisis air ini menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan cepat dan efektif. Respon masyarakat terhadap keberlakuan hukum yang tidak efektif dalam mengatasi korupsi ini menunjukkan bahwa desentralisasi korupsi di daerah masih menjadi masalah yang kompleks dan memerlukan penelitian yang lebih lanjut. Penerapan otonomi daerah dalam desentralisasi korupsi di daerah telah menimbulkan gejala hukum yang signifikan. Salah satu fenomena hukum yang dapat disaksikan adalah korupsi yang meningkat di daerah – daerah yang memiliki otonomi yang lebih luas seperti daerah kabupaten sragen provinsi jawa tengah. Data dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Menunjukkan bahawa korupsi di daerah – daerah yang memiliki otonomi lebih luas cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah – daerah yang memiliki otonomi yang lebih terbatas. Sejatinya korupsi datang dari kesewenang – wenangan kukuasaan oleh pemerintah. Seperti yang di jelaskan diatas bahwa otonomi daerah belum efektif mengurangi korupsi, bahkan dalam beberapa kasus justru memperburuk. Argumen ini didukung oleh fakta-fakta berikut: 1. "Desentralisasi Korupsi": Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga 2023, dari 650 kepala daerah yang menjabat, 131 di antaranya tersangkut kasus korupsi. Ini belum termasuk anggota DPRD dan pejabat daerah lainnya. 2. Konflik Kepentingan SDA: Di daerah kaya sumber daya seperti tambang atau hutan, kepala daerah sering terlibat dalam alokasi izin yang tidak transparan. Contohnya seperti pada tahun 2019, masyarakat di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, mengalami krisis air yang berkepanjangan. Kondisi ini disebabkan oleh korupsi dalam pengelolaan sumber daya air oleh pemerintah daerah. Masyarakat yang terkena dampak langsung dari krisis air ini menuntut pemerintah untukmengambil tindakan cepat dan efektif. Respons masyarakat terhadap keberlakuan hukum yang tidak efektif dalam mengatasi korupsi ini menunjukkan bahwa desentralisasi korupsi di daerah masih menjadi masalah yang kompleks. 3. "Raja-Raja Kecil": Beberapa kepala daerah bertindak seperti penguasa feodal, menggunakan kewenangan untuk memperkaya diri dan kroninya. Kasus mantan Gubernur Riau Annas Maamun atau Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari adalah contohnya. 4. Money Politics: Biaya politik tinggi dalam Pilkada mendorong calon kepala daerah mencari dana dari pengusaha, yang kemudian "dibayar" dengan proyek atau izin usahasetelah terpilih. 5. Dinasti Politik: Di beberapa daerah, satu keluarga menguasai berbagai posisi politik, menciptakan lingkaran tertutup yang rawan korupsi. 6. Lemahnya DPRD: DPRD yang seharusnya menjadi penyeimbang eksekutif sering justru berkolusi, seperti dalam pengesahan APBD. 7. Mafia Perizinan: Kewenangan daerah dalam perizinan usaha sering disalahgunakan, dengan pungutan liar dan suap. “Pemberian kewenaangan seluas luasnya kepada pemerintah daerah untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki bagi kesejahteraan masyarakat di daerah, merupakan amanat konstitusi yang secara normatif wajib di laksanakan secara sungguh – sungguh. Namun dalam pelaksanaannya terjadi berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara pemerintah di daerah, tidak dapat di jadikan dalil untuk menafikan amanat konstitusi. Klausul yang menyatakan “ pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas- luasnya”, merupakan penegasan konstitusional yang bersifat imperative , sehingga tidak ada alasan hukum yang dapat di jadikan landasan berpijak untuk tidak melaksanakannya. Namun, yang perlu di lakukan adalah pembentukan perangkat hukum yang secara efektif dapat mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang tanpa harus mengingkari tujuan esensial dari desentralisasi dan otonomi daerah.”4 Ambivalensi hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara desentralisasi dan korupsi tidak linear atau sederhana. Ada variabel-variabel lain yang berperan, seperti kualitas kepemimpinan lokal, kekuatan masyarakat sipil, independensi media, efektivitas lembaga pengawas, dan sejarah politik setempat. Di beberapa daerah dengan modal sosial tinggi dan kepemimpinan baik, seperti Surabaya di era Tri Rismaharini atau Bandung di masa Ridwan Kamil, otonomi daerah memang berhasil meningkatkan tata kelola dan Amiruddin umasangaji, Ahmad mufti dan Sri Indriyani umra, “desentralisasi asimetris kewenangan provinsi kepulauan dalam pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat” jurnal ilmiah ilmu hukum fakultas hukum universitas khairun, vol.1 No.2 (juni, 2020), hlm 178-179. 4 mengurangi korupsi. , Namun, di daerah lain dengan kondisi berbeda, hasilnya tidak sebaik itu. Beberapa daerah berhasil meningkatkan pelayanan publik dan mendorong inovasi. Namun, banyak juga yang mengalami masalah, terutama meningkatnya korupsi di tingkat lokal. Ini menunjukkan bahwa desentralisasi adalah "pisau bermata dua" yang dampaknya sangat bergantung pada konteks dan implementasi. Pengalaman dua dekade otonomi daerah di Indonesia menyimpan pelajaran berharga. Desentralisasi bukan obat mujarab untuk korupsi. Ia adalah alat yang, jika digunakan dengan tepat dalam konteks yang mendukung, dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Namun, jika diterapkan tanpa persiapan matang di lingkungan yang belum siap, desentralisasi bisa berbalik menjadi sarana untuk mendesentralisasikan korupsi itu sendiri. desentralisasi melalui otonomi daerah telah membawa perubahan besar. Bardasarkan uraian di atas, maka penelitian ini di maksudkan untuk menganalisis bagaimana implementasi kebijakan otonomi daerah di indonesia telah mengakibatkan desentralisasi praktik korupsi dari tingkat pusat ke tingkat daerah? dan sejauh mana efektivitas meknisme pengawasan dalam kebijakan otonomi daerah dalam mencegah serta menanggulangi praktik korupsi di kabupaten sragen, provinsi jawa tengah?. NAMA : LULU AGUSTIN NPM : 01012211033 KELAS : IV B JUDUL : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SRAGEN, PROVINSI JAWA TENGAH D ALAM MENGURANGI KORUPSI MELALUI DESENTRALISASI.