Academia.eduAcademia.edu

Peserta Didik dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

2023, El-Mujtama

El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 Peserta Didik dalam Pandangan Imam Al-Ghazali Ihsan Rinaldi Lubis1, Ira Suryani2, Azzira Innayah3, Nazwa Azzahra4, Nur Hafiza5 1,2,3,4,5 Program Studi Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara ihsanrinaldilubis@gmail.com, irasuryani@uinsu.i..id, azzirainnayah@gmail.com, kotanopan082@gmail.com, hafizanur2626@gmail.com. ABSTRACT In Imam Al-Ghazali's view, students have their own potentials to achieve moral and spiritual perfection and the role of educators is one that is very important and influential in helping them achieve this goal, educators basically must focus on the spiritual and moral development of students. In this journal, we describe Al-Ghazali's views on the potential of students, spiritual and moral development, as well as educational strategies that can be taken from the perspective of Imam Al-Ghazali. This research was conducted using qualitative methods, namely by analyzing and collecting and using literature studies. Learners are people who are experiencing a period of growth and development, especially physically and mentally. Imam AlGhazali's perspective on students and Islamic education is still relevant and can certainly be applied in the context of modern education. This can help educators to develop educational strategies that are holistic and focus on the spiritual and moral development of students. Keywords: Learners, Educators, Islamic Education ABSTRAK Dalam pandangan Imam Al-Ghazali peserta didik memiliki potensi-potensi tersendiri untuk mencapai kesempurnaan moral dan spiritual dan peran pendidik menjadi salah satu yang sangat penting dan berpengaruh dalam membantu mereka mencapai tujuan ini, pendidik pada dasarnya harus berfokus pada pengembangan spiritual dan moral peserta didik. Dalam jurnal ini, kami menguraikan pandangan Al-Ghazali tentang potensi peserta didik, pengembangan spiritual dan moral, serta strategi pendidikan yang dapat diambil dari perspektif Imam Al-Ghazali. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan analisis dan melakukan pengumpulan serta menggunakan studi kepustakaan. Peserta didik adalah orang yang sedang mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan terutama pada fisik dan mental. Perspektif Imam Al-Ghazali tentang peserta didik dan pendidikan islam masih relevan dan tentunya dapat diaplikasikan dalam konteks pendidikan modern. Hal ini dapat membantu pendidik untuk mengembangkan strategi pendidikan yang holistik dan berfokus pada pengembangan spiritual dan moral peserta didik. Kata kunci: Peserta didik, Pendidik, Pendidikan Islam PENDAHULUAN Dalam sejarah Islam, Imam Al-Ghazali adalah seorang filosof, teolog, dan sufi yang terkenal (1058-1111). Salah satu kontribusi beliau yang paling penting dan signifikan adalah dalam bidang pendidikan. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa, selain memberikan pengetahuan akademik, pendidik juga harus fokus terhadap pengembangan spiritual dan moral peserta didik. Imam Al-Ghazali berkeyakinan bahwa peserta didik memiliki kapasitas untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan 729 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 moral dan merupakan tanggung jawab pendidik untuk membantu mereka dalam melakukannya. Perspektif Al-Ghazali tentang peserta didik dan penerapannya pada pendidikan kontemporer akan dibahas dalam jurnal ini. Jurnal ini akan membahas pandangan Al-Ghazali tentang mendidik peserta didik, pandangan Al-Ghazali tentang pengembangan spiritual dan moral, serta strategi pendidikan islam yang dapat diambil dari pandangan Al-Ghazali. Selain itu, jurnal ini akan membahas tentang sifat-sifat, etika, serta nasihat-nasihat atau pesanpesan yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali yang harus dipatuhi dan diikuti oleh peserta didik selama menuntut ilmu. TINJAUAN LITERATUR Pengertian Peserta Didik Peserta didik yang dimaksud, menurut Imam Al-Ghazali, seorang pemikir muslim ternama yang juga dikenal dengan Hujjatul Islam, adalah siswa atau murid. Peserta didik adalah orang yang sedang mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan terutama pada fisik dan mental. Pertumbuhan dan perkembangan juga merupakan salahsatu karakteristik siswa yang membutuhkan pengajaran atau bimbingan. Selain itu, menurut Imam Al-Ghazali, peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau kodrat (Arista, 2019). Kata Arab “ٌ‫ ” ُم ِرد‬sering diterjemahkan sebagai (orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu). “ٌ‫ ”ت ِْلمِ يْذ‬secara harfiah diterjemahkan sebagai (peserta didik, ْ ُ‫طالِب‬ َ ” dapat pula diartikan sebagai (menuntut pelajar, murid, siswa), sedangkan “ٌ‫ٌالع ِْل ِم‬ ilmu, pelajar). Secara umum dapat kita lihat bahwa kata “peserta didik” merujuk pada seorang pelajar, siswa, atau mahasiswa yang ikut serta dalam proses pendidikan melalui keterlibatan seorang pendidik, baik di sekolah, di luar sekolah, maupun di perguruan tinggi. Dalam proses pendidikan, individu yang memiliki hasrat yang tulus akan pengetahuan, pasti sudah memiliki etika belajar. Nabi Musa as adalah salah satu contoh etos yang patut kita contoh, beliau rela menempuh perjalanan jauh untuk belajar dan berguru kepada nabi Khidir sebagaimana (Qs: Al-Kahfi: 60) ْ ‫ٌَُلٌاَب َْر ُحٌ َحتٓىٌاَ ْبلُغٌَ َمجْ َم َع‬ ٓ َ ‫َواِ ْذٌقَالٌَ ُم ْوسٰ ىٌ ِلفَ ٰتىه‬ ٌ ٦٠ٌ‫يٌ ُحقُبًا‬ ِ ‫ٌالبَحْ َري ِْنٌاَ ْوٌاَ ْم‬ َ ‫ض‬ Artinya: ““Dan (ingatlah) ketika musa berkata kepada muridnya (yusya’ibn nun): aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan (berjalan) sampai bertahun-tahun”.” Secara hipotesis, subjek siswa dipandang sebagai seseorang yang harus mengembangkan dirinya sendiri. Namun, ia juga perlu memperoleh dukungan dan pengaruh yang memungkinkannya memikul tanggung jawab pribadi (Sahertian, 1994). Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa pembelajaran dapat berlangsung secara mandiri dan tidak memerlukan interaksi dengan guru. Sudut pandang ini memunculkan aliran behaviorisme, yang berkeyakinan bahwa siswa yang terlibat dalam kegiatan belajar seperti membaca buku dan mendengarkan penjelasan guru dianggap sebagai pembelajar. Proses mental dan semua perubahan yang mereka alami dari kegiatan belajar tersebut diabaikan oleh aliran ini. Alih-alih perkembangan kognitivisme yang menyatakan bahwa 730 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 pembelajaran siswa tidak sepenuhnya terpaku pada perubahan mental dengan mempertimbangkan berbagai kesan baru dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku. Aliran kognitifisme, berbeda dengan aliran behaviorisme yang menggali secara mendalam terkait fenomena kejiwaan. Sifat-Sifat Dan Kode Etik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam Menurut AlGhazali Sifat dan kode etik siswa merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan diperhatikan dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. sesuai pendapat Al-Ghazali yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (Sulaiman, 1964) merencanakan sebelas hal pokok terkait aturan yang harus diperhatikan oleh peserta didik dalam menutut ilmu, yaitu: 1. Pembelajaran dengan niat beribadah kepada Allah SWT berlandaskan taqarrub, sehingga peserta didik dituntut untuk membersihkan jiwanya dari hinaan dan akhlak tercela (takhalli) serta mengisinya dengan akhlak yang terpuji (tahalli) dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana (QS: Al-An'am: 162) ْ ‫ب‬ ٌ ١٦٢ٌ َ‫ٌالعٰ لَمِ ي َْۙن‬ ُ ُ‫ٌون‬ ِ ‫ٌر‬ ِ ِ ‫ٌو َم َما ِت ْي‬ َ ٌ‫قُلْ ٌا َِّن‬ َ ‫ٌّلِل‬ َ ‫اي‬ َ ‫س ِك ْي‬ َ ‫ص ََل ِت ْي‬ َ ‫ٌو َمحْ َي‬ Artinya: “”Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.”” 2. Mengurangi kecenderungan untuk fokus pada hal-hal yang lebih mengarah kepada duniawi daripada hal-hal spiritual, seperti batin, sebagaimana (QS: AdhDhuha: 4), ٰ ْ َ‫َول‬ ْ َ‫َلخِ َرةٌُ َخيْرٌلَّكَ ٌمِ ن‬ ٤ٌ‫ٌاَلُ ْو ٰل ۗى‬ Artinya ; ““Belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan tetapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah SWT.”” 3. Bersikaplah rendah hati dengan mendahulukan kepentingan pendidik daripada kepentingan diri sendiri. Begitu pula ketika seorang peerta didik menggunakan kecerdasannya dengan bijak, tidak hanya terhadap gurunya tetapi juga terhadap teman-temannya yang memiliki IQ lebih rendah, terlepas dari kecerdasannya. Adapun hadits dari riwayat Imam Muslim, sebagai berikut: َّ ‫ِإ َّن‬ ‫ح ٌٍد‬ ٌَ َ‫علَىٌأ‬ َ ٌ‫ٌٍوَلٌَ َي ْفخ ََرٌأَ َحد‬ َ ٌ‫ضعُواٌ َحتَّىٌَلٌَ َي ْبغِىٌأَ َحد‬ َ ‫ىٌأَ ْنٌت ََوا‬ َّ َ‫ٌَّللاٌَأَ ْو َحىٌ ِإل‬ َ ‫علَىٌأَ َحد‬ Artinya: ““Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.”(HR. Muslim).”” 4. Menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan argumen dan pemikiran yang datang dari kelompok atau aliran yang berbeda, sehingga dapat meraih pembelajaran yang kompeten secara utuh dan mendalam. 5. Tinggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah) dan pelajarilah ilmu-ilmu yang baik (mahmudah) yang bermanfaat baik untuk dunia spiritual maupun dunia material. Ilmu yang terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan 731 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 6. 7. 8. 9. 10. 11. ilmu yang keji akan memisahkan diri dari-Nya dan menimbulkan kebencian antar individu. Menuntut ilmu secara berjenjang atau bertahap dengan memulai dari pembelajaran yang sederhana (konkrit) hingga ke pembelajaran yang dinamis atau dari ilmu-ilmu fardhu 'ain ke ilmu-ilmu fardhu kifayah, sebagaimana dalam (QS: Al-Insyiqaq: 19) َ ٌ‫ع ْن‬ َ ٌ‫لَت َْر َكب َُّن‬ ٌ ١٩ٌ‫ق‬ َ ٌ‫ط َبقًا‬ ٍ ۗ ‫ط َب‬ Artinya: ““Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”.” Membekali perserta didik dengan spesifikasi pengetahuan yang komprehensif dengan cara pelajari satu bidang pengetahuan secara menyeluruh sebelum berpindah ke bidang lainnya. Berkitan dengan hal ini, peserta didik perlu mengambil jurusan di bidang tertentu dalam agar kedepannya mahir dalam bidang tersebut, sebagaimana (QS: Al-Insyirah: 7), ٧ٌ ْ‫ص َۙب‬ َ ‫فَ ِاذَاٌفَ َر ْغتَ ٌفَا ْن‬ Artinya: ““Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”” Pahami sisi logis dari dari suatu pembelajaran, untuk mendapatkan objektivitas melihat suatu problematika. Mendahulukan pendidikan sejak dini yang berkaitan atas tanggung jawab kita sebagai seorang hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai awal dari memperoleh pengetahuan dunia. Menghayati kandungan-kandungan yang membumi di suatu bidang ilmu, khususnya informasi yang berguna dalam mewujudkan kebahagiaan, kemakmuran, dan memberikan kesejahteraan hidup di akhirat Ibarat orang yang sakit patuh pada dokternya, maka peserta didik wajib menaati semua tata cara dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik secara keseluruhan. Pendapat Imam Al-Ghazali Tentang Mendidik Anak Teori hereditas (keturunan) berbasis pendidikan kontemporer yang belakangan ini banyak mendapat perhatian yang dianggap esensial, dibantah oleh Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali, di sisi lain, tidak terlalu antusias mengkaji masalah ini dalam hal ini. Dalam hal ini, sangat jelas bahwa psikologi kontemporer akan perspektifnya ini, menganggap teori hereditas ini merupakan suatu hal yang penting dan berpengaruh. Imam Al-Ghazali memiliki pandangan yang berbeda, yaitu bahwa faktor pendidikan, lingkungan, dan masyarakatlah yang paling besar pengaruhnya terhadap sifat anak, sedangkan sifat keturunan hanya sedikit pengaruhnya terhadap anak. Sudut pandang Imam Al-Ghazali konsisten dengan penolakan psikolog terhadap pengaruh genetika. Bahkan, Al-Ghazali berabad-abad lebih maju dari para psikolog dan pendidik dalam pendapatnya tentang pengaruh lingkungan dan faktor 732 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 keturunan. Pendapatnya ini diperkuat dengan pemahamannya dalam mempelajari ilmu agama yang ia selidiki tentang perkembangan etika anak-anak, atas penghiburan keinginannya untuk melindungi anak-anak dari dampak ekologis, ia membuat program yang luar biasa untuk pendidikan anak-anak, yaitu dengan mendirikan lembaga pendidikan berbasis Islam bagi siswa sejak awal. Sehubungan dengan hadits riwayat Imam Ibnu Majah dari wadah Anas Malik r.a. sebagai berikut: ‫ٌوأَحْ ِسنُواٌآدَا َب ُه ٌْم‬ َّ ‫علَ ْيهٌِال‬ َ ٌَ‫َوقَال‬ َ ‫ٌأَ ْك ِر ُمواٌأَ ْو ََلدَ ُك ْم‬:‫ٌوالس َََّل ُم‬ َ ُ ‫ص ََلة‬ Artinya: “Nabi saw. bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian dan ajarilah mereka tata krama.”” Nasihat-Nasihat Imam Al-Ghazali Kepada Anak Didiknya Berikut beberapa nasihat-nasihat dari Imam Al-Ghazali kepada anak didiknya ialah: 1. Bagaimana seharusnya kita menerima nasihat Memberi nasihat itu mudah, sedangkan menerima nasihat itu sulit karena pahit bagi orang yang selalu mengikuti keinginan hasratnya dan menonjolkan dirinya. Orang-orang seperti ini selalu berpikir bahwa belajar sudah cukup untuk menjaga dirinya, sehingga tidak perlu beramal dengan ilmu yang dimilikinya. Bukankah dia sudah tahu bahwa pada hari kiamat, jika dia memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya, dia akan ditanyai pertanyaan yang lebih serius daripada mereka yang tidak tahu apa-apa, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad: ْ ‫عذَاباًٌيَ ْو َم‬ ‫ثٌروايةٌالطبراني‬ ٌ ‫عالِمٌَلٌَيَ ْنفَعُهٌَُّللاٌُبِعٌِْلمِ ٌِه" حدي‬ َ َ ‫"أ‬ ِ َّ‫شدٌُّالن‬ َ ٌِ‫ٌال ِقيَا َمة‬ َ ٌ‫اس‬ Artinya: ““Orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat adalah orang alim (berilmu) yang tidak mengamalkan ilmunya.”” 2. Tinggalkan Empat Perkara Imam Al-Ghazali menyampaikan nasihat kepada para peserta didiknya, bahwa ada delapan perkara; empat diantaranya harus ditinggalkan dan empat lainnya harus dilaksanakan. Berikut ini empat perkara yang harus ditinggalkan, yaitu: • Menghindari perdebatan sengit tentang suatu topic yang dapat menimbulkan permusuhan antara satu sama lain. • Berhati-hati menjadi seorang pendakwah, pengingat, atau penasihat, karena ada kritik yang besar di dalamnya, kecuali jika melakukannya di awal apa yang dikatakan, kemudian menawarkan bimbingan kepada individu. • Cobalah untuk tidak bergabung dalam suatu perkumpulan dengan pemimpin-pemimpin yang berkhianat terhadap rakyatnya. • Cobalah untuk ttidak menerima suatu buah tangan dari pemimpin (yang berkhianat), meskipun kelihatannya hadiah tersebut halal. Karena 733 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 mungkin saja para pemimpin ingin melakukan penyuaan untuk mendukung kezhaliman mereka dengan tujuan menghancurkan agama. 3. Kerjakan Empat Perkara Adapun empat perkara yang harus dikerjakan ialah: • Harus fokus akan interaksi dengan Allah, dengan tujuan komunikasi yang membuat diri kita rela kepada-Nya, hati kita tidak sengsara, dan kita tidak marah kepada-Nya. • Harus siap terhadap orang lain sebagaimana siap terhadap diri sendiri, yang tersirat pada perkara ini adalah kerjasama dengan individu yang lain, sebagaimana ungkapan Nabi Muhammad SAW ٌ‫ٌِمٌيُحِ بُّ ٌ ِلنَ ْف ِس ِه‬ َ ‫ََلٌيُؤْ مٌِنٌُأَ َحدَ ُك ْمٌ َحتَّىٌيُحِ بُّ ٌِِلَخِ ْيه‬ Artinya: ““Tidak sempurna iman diantara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.” • Ilmu-ilmu yang dicari harus lebih dekat ke pengabdian atau mengingat halhal yang harus dipersiapkan untuk akhirat. Untuk situasi ini, Imam alGhazali menekankan pentingnya suatu ilmu tentang akhirat dan perbuatan kebajikan yang akan menjadi bekal untuk di akhirat nanti. Beliau juga menekankan pentingnya mengingat kematian dan mempersiapkannya, mencatat bahwa kematian dapat terjadi kapan saja, dalam keadaan apa saja, kepada siapa saja, dan tidak dapat disangka-sangka. • Memilih kekayaan untuk akhirat dengan cara hidup sederhana di dunia. Pendidikan Islam Bagi Peserta Didik Dalam Perspektif Al-Ghazali a. Pendidikan akliyah Peserta didik memperoleh pendidikan akliyah (akal) dengan maksud untuk memperkuat kemampuan bernalar dan mengembangkan kemampuan intelektualnya dalam rangka mengidentifikasi dan menyelidiki seluk beluk suatu masalah yang berkaitan dengan Allah, manusia atau masyarakat, atau alam. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keyakinan yang teguh (Haqqul Yaqin) dan menghindari ambiguitas dan penyesatan (salah) atau kesalahan (Hawi, 2005). Berkenaan dengan materi pertunjukan yang digunakan untuk menjelaskan penjelasan utamanya adalah Al-Qur'anul Karim, kemudian hadits atau hikayat. b. Pendidikan Sosial Agar anak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan membatasi pergaulannya, Imam Al-Ghazali berpesan kepada para setiap wali murid serta pendidik agar mengajak anak-anak untuk memelihara pergaulan sehingga memiliki karakterisitik yang baik atau terpuji serta perilaku dalam pertemanan yang baik. Karakteristik ini adalah: - Hormati orang tua - Jadilah lemah lembut dan rendah hati - Mengembangkan sikap murah hati - Hindari situasi sosial (Ihsan dan Hasan, 2007). 734 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 Upaya yang dilakukan untuk menjalin hubungan sosial dengan etika Islam adalah: • Menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan melanggar syariat Islam, antara lain membunuh, menipu, riba, merampok, memakan harta anak yatim. • Mengembangkan keterampilan interpersonal seperti kesopanan, sapaan, dan perilaku sosial lainnya. • Memperkuat hubungan kerja sama dengan tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan kemampuan untuk bekerja sama membela diri dari kejahatan seperti pengkhianatan dan lainnya. • Berbuat baik dengan meningkatkan hubungan dengan sesama Muslim, amanah, menyebarkan ilmu, dan tindakan serupa lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat (Ramayulis, 2009) c. Pendidikan Jasmaniah Menurut Imam Al-Ghazali, “Anak-anak harus membiasakan berjalan, bergerak, dan latihan fisik di siang hari agar tidak menjadi malas.” pendidikan jasmani yang dilakukan bertujuan untuk mendorong peserta didik agar berpartisipasi secara antusias dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ini. Berikut uraian Imam Al-Ghazali tentang etika, kesopanan, dan tanggung jawab seorang peserta didik saat menuntut ilmu: a. Seorang siswa menjaga jiwanya dari perbuatan buruk dan sifat-sifat yang menjijikkan secara moral karena pengetahuan dapat dengan mudah diperoleh melalui kemurnian dan moralitas (Jumbulati, 1994) b. Tidak berlebihan soal hiruk pikuk yang membuatnya menjauh dari keluarga dan tempat tinggalnya negara (Al-Ghazali, 2017). c. Pengetahuan bukanlah lencana kehormatan. Sebagai siswa atau pelajar, diharapkan menyerahkan semua keputusan dan melayani guru atau pendidik, tidak boleh menggunakan kendali apa pun atas mereka. Sebagaimana (QS: Luqman: 18) ٌ ١٨ٌ‫ا َِّنٌَّللاَ ٌََلٌيُحِ بُّ ٌ ُكلٌَّ ُم ْختَا ٍلٌفَ ُخ ْو ٍۚ ٍر‬ Artinya: ““Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi suka membanggakan diri”.” d. Siswa atau peserta didik pemula sebaiknya menghindari diskusi perbedaan pendapat yang akademisi dengan guru atau pendidik karena menyebabkan terjadinya potensi prasangka, skeptisisme, dan kurangnya kepercayaan pada kemampuan guru (Nata, 2009). e. Sebagai peserta didik ketika menuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu ilmu yang terpuji. f. Peserta didik sebaiknya jangan beralih ke bidang lainnya kecuali benar-benar memahami prosedur pembelajaran yang telah mereka kembangkan sebelumnya (Jumbulati, 1994). 735 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 g. Seorang peserta didik dalam mencari ilmu harus berlandaskan pada peningkatan batin atau pembersihan jiwa dan menghiasi dirinya dengan etika dan akhlak yang baik. (Nata, 2009). h. Sebagai seorang peserta didik harus mengetahui hubungan yang ada antara tujuan dari berbagai jenis pengetahuan. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam siklus pendidikan, peserta didik pada umumnya, merupakan salah satu perhatian utama yang mendesak dan bagian manusia yang memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan mengajar, karena motivasi di balik pendidikan adalah agar mendorong kemampuan siswa untuk berprestasi mencapai kesempurnaan atau tujuan yang ideal. Siswa juga merupakan orang yang sedang mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa pendidik harus memberikan bimbingan dan arahan sepanjang proses pembelajaran dan pencarian ilmu. Perlu adanya hubungan kerjasama yang baik antara pendidik dan peserta didik agar terciptanya keberhasilan dalam proses pendidikan. Sekalipun seorang pendidik berusaha dengan baik untuk menanamkan ilmunya, akan sulit mencapai tujuan jika anak didik tersebut kurang memiliki kemampuan dan kesiapan untuk melakukannya. Demikian pula seorang guru yang harus berpegang pada sifat dan kode etik pendidikan. Peserta didik harus belajar dengan sepenuh hati dengan niat beribadah kepada Allah SWT. mengurangi kecenderungan duniawi, rendah hati, menjaga akal, mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, belajar secara bertahap, mengenal nilai-nilai ilmiah, mengutamakan pengetahuan awal, mengenali nilai-nilai pragmatis untuk suatu ilmu, dan mengikuti nasihat pendidik. Menurut Imam Al-Ghazali, peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi, yang dapat digunakan untuk terus menggali, mengkaji, dan memperdalam ilmu melalui belajar. Mengenai beberapa nasehat Imam Al-Ghazali untuk muridmuridnya: murid harus bisa menerima nasehat, meninggalkan empat perkara selama menutut ilmu, yaitu: berdebat, menghindari sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah, duduk atau bergabung dalam majelis dengan pemimpin yang berkhianat, dan menerima hadiah dari pemimpin tersebut. Ada juga empat perkara yang harus dilaksanakan oleh peserta didik selama menutut ilmu, yaitu: Memperhatikan interaksi dengan Allah, membantu orang lain atau sesama saudara, dan mencari ilmu yang lebih dekat dengan taqwa, mengingat akhirat, dan hidup dengan kesederhanaan. DAFTAR PUSTAKA Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media. Agus, Zulkifli. (2018). Pendidikan Islam Prespektif Al-Ghazali, Jurnal Tarbiyah Islamiyah, 3(2), 27-33. Akmal Hawi. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press. 736 | Volume 4 Nomor 2 2024 El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 4 No 2 (2024) 729 - 737 P-ISSN 2746-9794 E-ISSN 2747-2736 DOI: 10.47467/elmujtama.v4i2.4331 Al-Ghazali, Abu Hamid. 2018. Ayyuhal Wahad (Wahai Anakku Tercinta), terj. Syeikh Ahmad Fahmi Bin Zamzam. Malaysia: Khazanah Banjariah. Al-Ghazali. 2017. Ihya’ Ulumiddin, terj. Kitab tazkiyatun Nafs Mukhtashar Ihya ulumuddin. Yogyakarta: Mutiara Media. Al-Jumbulati, Ali. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Al-Qurtubi, Abu Madyan. 2014. Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin. Depok: Keira Publishing. Devi Syukri Azhari, Mustapa. (2021). Konsep Pendidikan Islam Menurut Imam AlGhazali, Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran, 4(2), 5-8. Hamdani Ihsan, Fuad Hasan. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pradnya Paramita. Hasan Sulaiman, Fathiyah. 1964. Al-Madzhab At-Tarbawi ‘Inda Al-Ghazali. Cairo: Maktabah Misriyah. Lahmuddin Lubis, Wina Asry. 2020. Ilmu Pendidikan Islam. Medan: Perdana Publishing. Minarti, Sri. 2013. Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis, Filosofis, dan Aplikatif Normatif. Jakarta: Amzah. Nata, Abuddin. 2009. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jombang: Kencana Prenada Media Group. Noor Amiruddin, Suaib Muhammad, Samsul Ulum. (2020). Karakter Peserta Didik Yang Ideal Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits, Jurnal Pendidikan Islam, 9(2), 10.Ramayulis. 2009. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia. Ridwan Maulana, Iwan. Konsep Peserta Didik Menurut Al-Ghazali Dan Implikasinya Terhadap Praktek Pendidikan Di Pondok Pesantren Al-Mutawally Desa Bojong Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan, Jurnal Al-Tarbawi Al-Haditsah, 1(1) Rosidin. 2019. Ilmu Pendidikan Islam. Depok: PT. Rajagrafindo Persada. Sahertian, Piet A. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi Offset. Suban, Alwan. (2020). Konsep Pendidikan Islam Perspektif Al-Ghazali, Jurnal Idaarah, 4(1) 737 | Volume 4 Nomor 2 2024