MATRA
PEMBARUAN
Model Desa di Masa Depan
dan Kebijakan Pembinaannya
Jurnal Inovasi Kebijakan
jurnal.kemendagri.go.id/index.php/
mp
e-ISSN: 2549-5283
Heri Wahyudianto*
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua
Jl. Abe Pantai No. 26 Tanah Hitam Abepura Jayapura
p-ISSN: 2549-5151
Matra Pembaruan 4 (1) (2020):
47-57
Dikirim: 05 Februari 2020; Direvisi: 24 April 2020;
Disetujui: 29 April 2020
DOI:
10.21787/mp.4.1.2020.47-57
Abstract
Keywords:Village, public policy,
competitiveness
Kata Kunci: Desa, kebijakan publik,
daya saing
*
Korespondensi
Phone : +6281344506933
Email
: heriwahyudianto03@
gmail.com
MATRA PEMBARUAN
Jurnal Inovasi Kebijakan
Matra
Pembaruan
Vol 3
No 2
Hlm 79-88
Jakarta,
November 2019
e-ISSN: 2549-5283
p-ISSN: 2085-5151
Diterbitkan Oleh
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN
(BPP) KEMENTERIAN
DALAM NEGERI
Jl. Kramat Raya No 132, Jakarta Pusat,
10450
©Heri Wahyudianto
Karya ini dilisensikan di bawah
Lisensi Internasional Creative
Commons Atribusi Nonkomersial
Sharealike 4.0.
The policy to determine the village model in Indonesia so far only refers
to the village typology by referring to the characteristics of the village, so that
the formation is also general and solely based on the characteristics of the
village. Related to this, the focus of this study includes “new thinking” which
aims to introduce the village model going forward based on the potential and
problems faced by the village, to find more appropriate village models and
their respective coaching policies. This study uses a qualitative approach with
qualitative descriptive methods. In addition, this study is a literature study, so
there are no study locations and also no informants or resource persons. The
results of this study have formulated criteria that can be used to determine
a village, namely village authority, basic infrastructure, facilities, and living
conditions of village communities. The parameters are set as a percentage
to determine the condition of a village. Various possible village models are
based on these criteria and parameters. As for the priority development
policies for each village whose model has been determined, the identification
of village problems, village potentials, and regional characteristics (problems
and potentials) must first be identified. Policy handling issues that are
analyzed related to basic infrastructure facilities and village conditions and
village communities. Meanwhile, regional potential development policies pay
attention to superior potential, community-based potential, and small and
medium potential.
Intisari
Kebijakan penentuan model desa di Indonesia selama ini hanya
mengacu pada tipologi desa dengan merujuk pada karakteristik desa,
sehingga pembinaannya pun bersifat umum dan semata-mata didasarkan
pada faktor karaktertistik desa. Terkait denganhal itu, fokus kajian ini
memuat “pemikiran baru” yang bertujuan mengenalkan model desa
ke depan berdasarkan potensi dan permasalahan yang dihadapi desa,
untuk menemukan model-model desa dan masing-masing kebijakan
pembinaannya yang lebih tepat. Kajian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif. Selain itu, kajian ini
merupakan studi pustaka, sehingga tidak ada lokasi kajian dan juga tidak
ada informan atau narasumber. Hasil kajian ini telah merumuskan kriteria
yang dapat dipakai untuk menentukan suatu desa, yaitu kewenangan
desa, prasarana dasar, sarana, dan kondisi kehidupan masyarakat
desa. Parameternya ditetapkan secara persentase untuk mengetahui
baik buruknya kondisi suatu desa. Berbagai kemungkinan model desa
berdasarkan pada kriteria dan parameter tersebut. Adapun untuk
kebijakan prioritas pembinaan masing-masing desa yang telah ditetapkan
modelnya, terlebih dahulu dilakukan identifikasi permasalahan desa,
potensi desa, dan karakteristik daerah (permasalahan dan potensinya).
Kebijakan penanganan masalah yang dianalisis terkait sarana dan
prasarana dasar desa dan kondisi masyarakat desa. Sementara, kebijakan
pengembangan potensi daerah memperhatikan potensi unggulan, potensi
berbasis kemasyarakatakan, serta potensi kecil dan menengah.
47
I. Pendahuluan
Eksistensi desa selalu menarik dan relevan
untuk dikaji, terutama jika disorot dari sisi
pembinaannya yang selama ini sangat bervariasi,
namun tidak semua intervensi yang dilakukan
telah berhasil memajukan desa. Salah satu hal
yang menyebabkan demikian adalah persoalan
penentuan model desa yang umumnya hanya
mengacu pada tipologi desa dengan merujuk pada
karakteristik desa, seperti desa pengunungan, desa
perbatasan, desa persawahan, desa pesisir, desa
swasembada, desa swadaya, dan lain-lain.
Memang, berbagai tipologi desa di atas
memiliki kelebihan seperti dapat mengelola dan
mengembangkan desa berdasarkan pada kondisi riil
desa tertentu. Namun kekurangannya adalah hanya
semata-mata didasarkan pada faktor karaktertistik
desa tertentu, sehingga pembinaannya pun
cenderung bersifat umum. Inilah keterbatasan atau
masalah yang muncul dari tipologi yang ada selama
ini. Sehingga, perlu ada tipologi desa yang baru,
seperti yang ditawarkan kajian ini.
Penentuan model desa ke depan dalam kajian
ini didasarkan pada potensi dan permasalahan yang
dihadapi desa. Sementara kajian-kajian sebelumnya
lebih fokus pada model pengembangan desa yang
berbasis tertentu. Kajian-kajian sebelumnya yang
dimaksud, misalnya, Rochman (2017) meneliti
model desa yang hanya berbasis pada pemberdayaan
masyarakat. Begitu juga dengan Subekti dan
Damayanti (2019) yang mengembangkan model
smart village yang merupakan turunan dari smart
city. Penelitian Hilman dan Nimasari (2018) juga
mengembangkan model program pemberdayaan
masyarakat desa berbasis komunitas. Adapun
Sugiyanto, Djana, dan Ismail (2016) mengajukan
model desa berbasis kemitraan. Adapun Hasniati
(2016) yang berfokus pada model akuntabilitas
pengelolaan dana desa.
Idealnya, tujuan pembinaan desa adalah
menunjukkan arah atau membawa pencerahan
bagi masyarakat desa, membantu memecahkan
masalah yang benar-benar riil dihadapi masyarakat
desa, membantu mengurangi beban kehidupan
masyarakat desa, serta menuntun 19 masyarakat
desa ke arah kehidupan yang lebih sejahtera (Misra,
2016, p. 39).
Tujuan pembinaan desa berimplikasi pada
urgensi pengembangan institusi, sumber daya
manusia, ekonomi desa, teknologi desa, dan
pembinaan kehidupan sosial di desa. Implikasi
tersebut tidak hanya berangkat dari persoalan
karakteristik desa saja, melainkan juga yang lebih
pokok adalah persoalan penentuan model desa yang
perlu didasarkan pada potensi dan permasalahan
yang dihadapi desa terlebih dahulu melalui
identifikasi yang tepat. Potensi lokal pedesaan
merupakan komoditas yang patut dikembangkan
karena berperan penting dalam mengangkat taraf
hidup bangsa pada umumnya dan masyarakat desa
pada khususnya (Aditiawati et al., 2016, p. 27).
Sebagai langkah awal, menentukan model desa
perlu merumuskan model secara komprehensif dan
terintegratif dengan memerhatikan pengelolaan
lingkungan serta membangun hubungan yang
harmonis antara manusia dan lingkungannya.
Penentuan model desa sebaiknya dilakukan secara
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
yang meliputi kebijaksanaan dalam hal penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup.
Penentuan model desa yang secara terencana
perlu disesuaikan dengan tipologi desa yang unik
seperti desa pesisir, desa persawahan, dan desa
pegunungan atau berlahan kering (Aditiawati et al.,
2016, p. 7). Belum lagi, potensi lokal dan karakteristik
sosial budaya masyarakat yang beragam
membutuhkan pendekatan dan pengelolaan yang
berbeda pula disesuaikan dengan lokalitas mereka
sehingga diterima dan mampu memberikan nilai
manfaat bagi masyarakat setempat.
Model desa dalam pengembangan hasil
penelitian terpadu, misalnya, dimaksudkan sebagai
pengembangan dari hasil-hasil penelitian yang
ada dan berupaya diaplikasikan pada masyarakat
agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Muaranya, mengurangi kemiskinan dan
memberdayakan masyarakat sehingga mereka dapat
mandiri (Marbun, 1977, p. 53). Selain itu, konsep
dan model desa ini dapat dikombinasikan dengan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat desa
yang bersangkutan. Pengabdian yang dimaksud
adalah proses kerja sosial yang mengedepankan
kemanfaatan kegiatan untuk masyarakat di tingkat
lokal. Dari konsep umum itulah, pemaknaan desa
ditujukan untuk membantu memecahkan masalah
yang dihadapi masyarakat desa, melalui inovasi
yang memberikan pencerahan bagi masyarakat, dan
mengurangi beban kehidupan masyarakat dengan
lebih mensejahterakan mereka.
Dengan demikian, thesis statement yang
dibangun dalam kajian ini adalah, bahwa “program
desa harus bersifat mendidik dengan tolok ukur
mengubah perilaku masyarakat sehingga mereka
lebih berdaya dan mandiri.” Kegiatan ini pun
harus memberi contoh konkret (tidak abstrak),
karena menekankan pada aksi. Pembinaan yang
ada harus memotivasi dan memfasilitasi, serta
mengembangkan potensi lokal. Kegiatannya pun
harus mengutamakan partisipasi masyarakat. Untuk
itu, pendekatan yang digunakan pada program desa
binaan ini multi-disiplin ilmu; bersifat pragmatisrealistis; mengedepankan “problem solving”; serta
dimulai dengan yang dibutuhkan dan diinginkan
masyarakat dan melibatkan kepemimpinan lokal.
Matra Pembaruan 4 (1) (2020): 47-57
48
Idealnya memanfaatkan institusi dan kelompokkelompok yang telah ada di masyarakat.
Dari elaborasi di atas, berdasarkan lokalitas dan
konteks sosial budaya yang berbeda di masyarakat
maka pertanyaan mendasar yang muncul adalah
bagaimana konsep dan model desa yang strategis
dalam pemberdayaan masyarakat termasuk di
dalamnya proses pengelolaan lingkungan dilakukan.
Kemudian, bagaimana manfaat positifnya baik
bagi masyarakat maupun lingkungan sekitar. Atas
dasar itu, perlu dilakukan identifikasi model desa
berdasarkan potensi dan permasalahan yang
dihadapi desa untuk menemukan model-model
desa dan masing-masing cara pembinaannya yang
lebih tepat.
Kajian identifikasi model desa ini memiliki
maksud mendapatkan daftar model-model desa
yang diindikasikan pada suatu daerah Kabupaten.
Selain itu, kajian identifikasi tersebut bertujuan
untuk memudahkan pemrograman pembinaan
pada tahapan selanjutnya setiap model desa yang
diindikasikan dalam daftar model desa. Adapun
sasaran kajian identifikasi model desa ini adalah:
(1) Tersusunnya daftar model-model desa sesuai
dengan urutan prioritas yang berawal dari model
desa paling tidak maju yang perlu segera ditangani;
(2) Tersusunnya berbagai model desa; dan (3)
Terstrukturnya pembinaan berbagai model desa
sesuai prioritas.
memerhatikan beberapa azas pembangunan
yang merupakan acuan dasar pelaksanaan, yaitu:
(1) Azas Manfaat, (2) Azas Berkeadilan, (3) Azas
Berkelanjutan, (4) Azas Pemberdayaan Masyarakat
Lokal, dan (5) Azas Komitmen Pemerintah
Kabupaten (Tomasoa, 2017, p. 50). Selain itu,
Kebijakan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan
program pembinaan desa antara lain: (1)
Indentifikasi semua desa-desa dengan indikator unit
administratif desa, (2) Meningkatkan aksesibilitas,
keterkaitan, serta sarana dan prasarana desa dalam
rangka mengeliminir ketidak majuan desa atau
ketidak majuan desa, (3) Memberikan bantuan
teknis sebagai stimulan untuk pengembangan desadesa yang berwawasan potensi lokal (spesifik), (4)
Mengembangkan manajemen pembangunan desa
secara terprogram, menyeluruh, berkelanjutan, dan
partisipatif, serta bermuatan tridaya (pemberdayaan
masyarakat, usaha, dan lingkungan), (5)
Mengembangkan kapasitas institusi dan kesadaran
pemerintah daerah, komunitas lokal, dan perangkat
hukum yang baik dalam rangka tata pemerintah
yang baik (good governance and management),
dan (6) Menggerakkan dan mendorong terjadinya
investasi pada desa-desa melalui kerjasama antara
pemerintah, dunia usaha/swasta, dan masyarakat
(Goldsmtih & Blustain, 1980).
II. Metode
Baian ini akan menjelaskan beberapa hal seperti
identifikasi model desa, identifikasi permasalahan
dan potensi desa, kebijakan (skenario) pembinaan
desa, strategi prioritas pembinaan desa, dan
penyajian hasil identifikasi model desa.
Kajian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif dengan metode dekriptif kualitatif.
Kajian merupakan studi pustaka, sehingga tidak
ada lokasi kajian dan juga tidak ada informan atau
narasumber. Selain itu, Lokasi sasaran adalah desadesa di Indonesia yang digolongkan dalam beberapa
tipologi, yaitu: desa maju, desa berkembang, dan desa
tidak maju. Dasarnya adalah untuk memilah dalam
pengidentifikasian potensi dan permasalahan yang
dihadapi desa-desa pada ketiga tipologi tersebut.
Sementara, kelompok sasaran adalah masyarakat
dan lembaga yang ada di desa-desa tersebut.
Kajian juga dilakukan dengan dua arah
pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan perencanaan
top-down. Pendekatan dari atas harus dilakukan
terutama pada kegiatan review dan acuan kebijakan
yang telah ditetapkan terkait dengan identifikasi
model desa, dan (2) Pendekatan perencanaan
bottom-up, yaitu konsep perencanaan dengan
aspirasi yang muncul dari bawah. Pendekatan dari
bawah harus dilakukan terutama pada kegiatan
identifikasi karakteristik permasalahan dan potensi
tiap kawasan pedesaan. Dengan demikian, maka
gambaran karakteristik yang diperoleh merupakan
hasil yang valid, akurat, dan sesuai dengan aspirasi
masyarakat (Uphoff et al., 1979, p. 112).
Kemudian
program
pembinaan
desa
Model Desa di Masa Depan dan Kebijakan Pembinaannya
Heri Wahyudianto
III. Hasil dan Pembahasan
A.
Identifikasi Model Desa
Langkah-langkah
identifikasi
model
desa “mengadaptasi” konsep model desa dari
Aminah dan Susanto (2018), Pakaya (2016),
dan Siagian (2003). Pertama, batasan. Dalam
kajian ini, yang dimaksudkan dengan desa adalah
kawasan perdesaan yang idealnya telah memiliki
ketersediaan prasarana dasar dan sarana yang
dapat menopang pertumbuhan atau perkembangan
kehidupan masyarakat di desa, terutama dalam
bidang ekonomi dan bidang pendidikan.
Kedua, kriteria. Atas dasar definisi yang
ditetapkan itu, maka paling tidak ada 4 kriteria
untuk menentukan (mengindikasikan) suatu
desa. Pertama, daerah perdesaan. Pemerintahan
desa
memerlukan
kewenangan
dalam
penyelenggaraannya, baik itu kewenangan yang
bersifat asal usul maupun kewenangan atributif.
Kewenangan-kewenangan tersebut bertujuan untuk
mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat desa guna pengembangan potensi
dan aset desa. Kewenangan desa dapat dilihat
dari 3 (tiga) aspek, yaitu: (a) Apabila desa diberi
49
kedudukan sebagai komunitas yang mengatur
dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak
tradisionalnya. Maka kewenangan yang dimiliki
oleh desa adalah kewenangan asli berdasarkan
asas rekognisi (pengakuan dan penghormatan);
(b) Apabila desa ditempatkan sebagai “daerah
otonom tingkat III”, maka kewenangan desa adalah
kewenangan yang “diserahkan” dari pemerintah,
sesuai dengan asas desentralisasi; dan (c) Apabila
desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan,
maka kewenangan desa adalah kewenangan yang
“didelegasikan” oleh pemerintahan atasannya,
sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan.
Delegasi berarti membentuk desa sebagai unit
administratif seperti kelurahan. Dengan demikian,
kriteria daerah pedesaan adalah unit administratif
desa. Kedua, prasarana dasar. Prasarana dasar
wilayah adalah kelengkapan dasar fisik wilayah
yang memungkinkan wilayah dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Dengan demikian, kriteria
prasarana dasar desa adalah air bersih, listrik,
dan irigasi. Ketiga, sarana. Kriteria prasarana desa
adalah sarana ekonomi (pasar, pertokoan, PKL, dan
industri), sarana sosial (kesehatan dan pendidikan),
dan sarana transportasi (terminal, stasiun, dll.).
Dalam konteks pembangunan desa, keberhasilan
pembangunan desa tidak saja ditentukan
ditentukan oleh kapasitas sumber daya manusia
aparat pemerintah desa, melainkan juga sarana dan
prasarana terutama sumberdaya keuangan desa
dalam jumlah besar. Keempat, kondisi kehidupan
masyarakat. Pengertian kondisi kehidupan
masyarakat adalah cara (hal atau keadaan) hidup
orang atau masyarakat sebagai makhluk sosial,
termasuk berhubungan dengan aktivitasnya, mata
pencaharian, dan keberlangsungan kehidupannya.
Dengan demikian, kriteria kondisi masyarakat desa
adalah: perekonomian masyarakat, pendidikan
masyarakat, dan produkitivitas masyarakat.
Ketiga, instrumen penilaian. Penetapan
penilaian untuk tiap kriteria dan parameternya
dirumuskan seperti pada tabel 1 dan 2 di bawah ini
(kriteria atau kategorisasinya mengacu pada kedua
langkah tersebut di atas, sedangkan parameter dan
penilaiannya mengacu pada Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal. Keempat,
rumusan model desa. Mengacu pada Tabel 1 di
atas, maka tentunya terdapat rumusan berbagai
kemungkinan model desa berdasarkan kriteria dan
parameternya, seperti ditunjukkan pada Tabel 2 di
bawah ini.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dilihat, model
desa A (desa yang ketersediaan prasarana dasar
wilayahnya buruk, ketersediaan sarana wilayahnya
cukup, dan kondisi kehidupan masyarakatnya
baik); model desa B (desa yang ketersediaan
prasarana dasar wilayahnya baik, ketersediaan
sarana wilayahnya cukup, dan kondisi kehidupan
masyarakatnya buruk); model desa C (desa yang
ketersediaan prasarana dasar wilayahnya cukup,
ketersediaan sarana wilayahnya buruk, dan kondisi
kehidupan masyarakatnya baik); model desa D (desa
yang ketersediaan prasarana dasar wilayahnya
cukup, ketersediaan sarana wilayahnya baik, dan
kondisi kehidupan masyarakatnya buruk); model
desa E (desa yang ketersediaan prasarana dasar
wilayahnya baik, ketersediaan sarana wilayahnya
buruk, dan kondisi kehidupan masyarakatnya
buruk): model desa F (desa yang ketersediaan
prasarana dasar wilayahnya baik, ketersediaan
sarana wilayahnya cukup, dan kondisi kehidupan
masyarakatnya cukup); model desa G (desa yang
ketersediaan prasarana dasar wilayahnya buruk,
ketersediaan sarana wilayahnya buruk, dan kondisi
kehidupan masyarakatnya buruk).
Selanjutnya model desa H (desa yang
ketersediaan prasarana dasar wilayahnya cukup,
ketersediaan sarana wilayahnya cukup, dan
kondisi kehidupan masyarakatnya cukup); model
desa I (Desa yang ketersediaan prasarana dasar
wilayahnya baik, ketersediaan sarana wilayahnya
baik, dan kondisi kehidupan masyarakatnya
baik); model desa J (Desa yang ketersediaan
prasarana dasar wilayahnya cukup, ketersediaan
sarana wilayahnya cukup, dan kondisi kehidupan
masyarakatnya cuku); model desa K (Desa yang
ketersediaan prasarana dasar wilayahnya buruk,
ketersediaan sarana wilayahnya buruk, dan kondisi
kehidupan masyarakatnya baik); model desa L (Desa
yang ketersediaan prasarana dasar wilayahnya
buruk, ketersediaan sarana wilayahnya buruk, dan
kondisi kehidupan masyarakatnya cukup); Model
Desa ........ dst.
B.
Identifikasi Permasalahan dan Potensi
Desa
Identifikasi juga dilakukan terhadap berbagai
permasalahan yang ada pada masing-masing
model desa yang telah dirumuskan. Serta pada
potensi desa. Otonomi desa menuntut pemerintah
desa untuk menggali potensi desa menjadi sektor
unggulan (Yudartha, 2017, p. 65). Melakukan
identifikasi terhadap berbagai potensi yang
dimiliki desa, seperti Potensi Keanekaragaman
endemik bernilai tinggi, potensi pariwisata, potensi
perikanan dan kelautan, potensi industri, potensi
perdagangan, potensi pertanian dan perkebunan,
potensi kehutanan, potensi peternakan, potensi
pertambangan dan energi, potensi usaha jasa, dan
lain-lain. Hasil penelitian Achsin et al., (2016, p.
51) misalnya, menunjukkan, data profil desa dan
kelurahan di Sulawesi Selatan sudah tersedia,
namun belum lengkap dan akuntabel sehingga
belum didayagunakan dan belum dapat berfungsi
sebagai sumber informasi potensi desa dan
kelurahan yang diharapkan dapat menjadi data
Matra Pembaruan 4 (1) (2020): 47-57
50
Tabel 1.
Rumusan Instrumen Penilaian Desa
No.
Parameter
Kriteria
a
1.
2.
3.
Penilian Kriteria
dan Parameter
(Rata-rata)
b
c
Kawasan Desa
Unit Administratif
Desa
-
-
-
Infrastruktur
Prasarana Dasar
Jaringan Air Bersih
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Jaringan Listrik
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Jaringan Irigasi
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Sarana
Sarana Ekonomi
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Sarana Industri
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Sarana Kesehatan
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Sarana Pendidikan
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Sarana Transportasi
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan kurang dari (<) 25 %
Pelayanan terhadap Luas Kawasan
antara 25% - 50%
Pelayanan terhadap
Luas Kawasan lebih
dari (>) 50%
Kehidupan Mayarakat
Perekonomian Masy.
Keluarga Pra Sejahtera
Jumlah Penduduk
Miskin lebih dari (>)
50 %
Jumlah Penduduk
Miskin antara 25%
- 50 %
Jumlah Penduduk
Miskin kurang dari
(<) 25 %
Pendidikan Masy.
Pendidikan Di Bawah
9 Thn.
Jumlah Penduduk
Miskin kurang dari
(<) 25 %
Tingkat Pendidikan
Penduduk (<) SMP
antara 25% - 50%
Tingkat Pendidikan
Penduduk (<) SMP
kurang dari (<) 25%
Produktivitas Masy.
Penganggur Usia
Produktif
Penduduk Menganggur lebih dari
(>) 50%
Penduduk Menganggur antara 25%
- 50%
Penduduk Menganggur kurang dari (<)
25%
a
b
c
-
-
-
Buruk
(BR)
Cukup
(CK)
Baik
(BK)
Buruk
(BR)
Cukup
(CK)
Baik
(BK)
Sumber: Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI (2018).
dasar dalam perencanaan pembangunan.
Identifikasi
Karakteristik
Daerah
(Permasalahan dan Potensi). Melakukan identifikasi
terhadap karakteristik daerah, baik permasalahan
maupun potensi daerah, sebagai bagian dari
identifikasi penanganan masing-masing model
desa yang telah dirumuskan. Jika detail dan akurat
Model Desa di Masa Depan dan Kebijakan Pembinaannya
Heri Wahyudianto
hasil identifikasi karakteristik permasalahan dan
potensi suatu daerah, maka akan menghasilkan
suatu skenario indikasi penanganan yang valid
dan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan suatu
daerah. Sebaliknya, jika bias dan tidak akurat hasil
karakteristik permasalahan dan potensi suatu
daerah, maka akan menghasilkan suatu skenario
51
Tabel 2.
Rumusan Berbagai Kemungkinan Model Desa Berdasarkan Kriteria dan Parameternya.
Model Desa
No.
Klasifikasi
Desa
A
1
Prasarana Dasar Wilayah Desa
2
3
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
BR
BK
CK
CK
BK
BK
BR
CK
BK
CK
BR
BR
Sarana Desa
CK
CK
BR
BK
BR
CK
BR
CK
BK
CK
BR
BR
Kehidupan Masyarakat Desa
BK
BR
BK
BR
BR
CK
BR
CK
BK
CK
BK
CK
Dst.
Keterangan: BR = Buruk, CK = Cukup, BK = Baik.
Acuan: Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI (2018).
indikasi pembinaan yang tidak valid dan tidak
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan suatu daerah.
C.
Kebijakan (Skenario) Pembinaan Desa
Ada beberapa indikasi kebijakan bentuk
penanganan desa. Indikasi tersebut adalah,
pertama, indikasi bentuk penanganan penyelesaian
masalah. Untuk mengatasi permasalahan desa-desa
(berdasarkan hasil identifikasi permasalahan yang
telah dilakukan terlebih dahulu), diindikasikan
beberapa bentuk program penanganan desa.
Misalnya, program penyediaan prasarana dasar
wilayah (pemerataan ketersediaan air bersih,
pemerataan ketersediaan listrik, dan pemerataan
ketersediaan irigasi), serta program penyediaan
sarana wilayah (penyediaan sarana ekonomi),
seperti pasar, pertokoan, perkantoran, dan
pedagang kaki lima.
1) Program
Peningkatan
Perekonomian
Masyarakat.
Pengelolaan potensi ekonomi rakyat dan
sumberdaya alam secara optimal bertujuan
untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat yang ditunjukan
oleh peningkatan pendapatan dan daya beli
masyarakat. Prioritas pembangunan ini
diarahkan untuk peningkatan produktivitas
dan kualitas pertanian dan industri yang
menghasilkan komoditas unggulan daerah.
2) Program Peningkatan Pendidikan Masyarakat.
Kegiatan prioritas pendidikan adalah:
Penyediaan dan peningkatan kualitas sarana
dan prasarana pendidikan, yaitu: Pendirian
sekolah dan fasilitas sarana, Perbaikan
bangunan sekolah, dan Pengadaan buku
pelajaran dan alat peraga; Peningkatan
kualitas dan kualifikasi guru; Penuntasan
Wajib Belajar 9 tahun baik melalui pendidikan
formal dan pendidikan luar sekolah; serta
Mempercepat pemberantasan buta aksara
dengan
menyelenggarakan
pendidikan
keaksaraan fungsional.
3)
Program
Peningkatan
Produktivitas
Masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pembangunan produktivitas
ketenagakerjaan
dilaksanakan
melalui
kegiatan melalui kegiatan prioritas perluasan
dan pengembangan kesempatan kerja,
peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga
kerja, serta perlindungan tenaga kerja.
Kedua, indikasi bentuk penanganan pengembangan potensi kawasan. Dalam rangka pengembangan potensi yang dimiliki suatu kawasan
(berdasarkan potensi yang telah diidentifikasi terdahulu), maka ada beberapa indikasi program penanganan yang dapat dilakukan. Misalnya, program
pengembangan potensi pariwisata, seperti mendorong investasi swasta dan asing, aktif dan kreatif
dalam perencanaan pariwisata, penyediaan sarana
akomodasi, dan memaksimalkan promosi.
Adapun program pengembangan potensi
kehutanan seperti: penyediaan sarana akses untuk
distribusi logging, penyediaan sarana industri
pengolahan, pengendalian bencana kebakaran
hutan, pengendalian pencurian kayu (illegal
logging), pemberdayaan lembaga dan organisasi
kehutanan, dan pengendalian dampak lingkungan;
program pengembangan potensi peternakan
seperti: pengendalian distribusi dan harga pakan
ternak, penyediaan akses pemasaran dan distribusi
hasil peternakan, pemberdayaan lembaga dan
organisasi peternak, revitalisasi lembaga koperasi,
dan pengembangan pusat layanan informasi
peternakan.
Selanjtunya, program pengembangan potensi
perikanan air tawar seperti: pengendalian distribusi
dan harga pakan ikan, penyediaan akses pemasaran
dan distribusi hasil perikanan, pemberdayaan
lembaga dan organisasi nelayan dan petani tambak,
revitalisasi lembaga koperasi, dan pengembangan
pusat layanan informasi perikanan. Program
pengembangan potensi pertambangan dan energi
seperti mendorong investasi untuk eksplorasi dan
Matra Pembaruan 4 (1) (2020): 47-57
52
eksploitasi, penyediaan sarana akses distribusi hasil
pertimbangan dan energi, pengendalian aktivitas
eksploitasi, dan pengendalian dampak lingkungan.
D.
Identifikasi Pengelolaan Pembinaan
Desa.
Setelah melakukan identifikasi bentuk
pembinaan
untuk
desa-desa,
selanjutnya
perlu
dilakukan
identifikasi
pengelolaan
pembinaannya, termasuk di dalamnya instansi
yang akan melakukan pembinaan tersebut. Sistem
pengelolaan pembinaan desa-desa dalam upaya
menyelesaikan permasalahan yang ada serta
memicu pengembangan lebih lanjut kawasan desa
teridentifikasi perlu didasarkan pada potensi yang
dimiliki masing-masing desa dan dapat dijabarkan
lebih lanjut.
Pertama,
penanganan
pembangunan
kewenangan pemerintah kabupaten. Sesuai dengan
UU Pemerintahan Daerah, maka pelaksanaan
pembangunan di daerah merupakan kewenangan
dan tanggung jawab pemerintah daerah, khususnya
pemerintah kabupaten. Pelaksanaan pembangunan
desa juga menjadi bagian dari tanggung jawab dan
kewenangan tersebut, dalam rangka mengemban
program pembangunan nasional pemerataan
pembangunan dan mengejar ketertinggalan
pembangunan di daerah. Dalam konteks
pembangunan desa, maka pemerintah kabupaten
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
melaksanakan bentuk penanganan pembangunan.
Pelaksanaan
penanganan
pembangunan
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten dengan
mengoptimalkan dinas, badan, dan instansi dalam
Struktur Pemerintah Kabupaten sesuai dengan
tugas, pokok, dan fungsinya masing-masing
(Mubyarto, 2006, p. 113).
Selanjutnya, pemerintah provinsi memiliki
fungsi dan peran sebagai koordinator dan
fasilitator dalam proses pembangunan di daerah.
Adapun pemerintah pusat memiliki fungsi sebagai
pembuat kebijakan dalam proses pembangunan
nasional. Pemerintah Pusat menjadi penentu arah
dan kebijakan pembangunan, di mana maksud
dan tujuannya di antaranya adalah menjadikan
pelaksanaan pembangunan nasional satu kesatuan
yang integral (Tomasoa, 2017, p. 76). Hasil
kebijakan yang dibuat selanjutnya didelegasikan
kepada pemerintah di daerah untuk selanjutnya
diterjemahkan sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik masing-masing.
Kedua, sumber pendanaan. Pembiayaan untuk
melaksanakan pembangunan kawasan desa-desa
dapat bersumber dari 4 pembiayaan. Dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tujuan
pemberian dana desa ini adalah untuk mendanai
penyelenggaraan
pemerintahan,
pelaksanaan
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Model Desa di Masa Depan dan Kebijakan Pembinaannya
Heri Wahyudianto
Namun, dalam pelaksanaan penggunaan dana desa
masih dirasakan belum efektif dikarenakan belum
memadainya kapasitas dan kapabilitas pemerintah
desa dan belum terlibatnya peran serta masyarakat
secara aktif dalam pengelolaan dana desa (Aziz,
2016, p. 88).
Pembangunan
Desa
pada
hakikatnya
merupakan tanggung jawab dan kewenanganan
pemerintah daerah, untuk itu pemerintah daerah
wajib memprioritaskan pengalokasian dananya
untuk mengatasi ketimpangan daerahnya baik
melalui APBD Provinsi, yaitu berupa subsidi daerah
bawahan (tugas pembantuan); maupun APBD
Kabupaten, yaitu berupa pembantuan ke desa.
Selanjutnya, Dana Alokasi Khusus dapat
diprioritaskan untuk mengatasi kesenjangan
pembangunan di desa. Kewenanganan pengaturan
dan kewenanganan alokasi DAK berada di tangan
Pemerintah Daerah. Penggunaan Alokasi Danas
Desa (ADD) disalurkan untuk pembangunan
perdesaan, pengembangan masyarakat, dan
meningkatkan pendapatan. Namun, penggunaan
ADD masih menemui sejumlah permasalahan dalam
perencanaan, pelaksanaan, kualitas pelaporan,
dan lemahnya kelembagaan desa serta koordinasi
dengan pemerintah daerah kota/kabupaten (Abidin,
2015, p. 69).
Selanjutnya sumber pendanaan berbsumber
dari dana swasta dan masyarakat. Untuk daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam besar, sumber
dana dapat diperoleh dari dana kapitalisasi sumber
daya alam dan investasi dunia usaha/swasta. Peran
masyarakat dan swasta pada beberapa daerah yang
telah berkembang memiliki kontribusi yang cukup
signifikan dalam pembangunan suatu daerah.
Sumber pendanaan juga bisa dari dana
penerimaan lain yang sah. Dana penerimaan
lain yang sah merupakan dana-dana yang belum
termasuk di atas dan dapat dijadikan alokasi untuk
pembangunan desa, baik yang dikelola langsung
oleh Pemerintah Daerah, Lembaga non pemerintah
(NGO) maupun lembaga pemerintah, serta oleh
masyarakat.
Ketiga, langkah penanganan pembangunan
untuk pembinaan desa perlu mencakup hal-hal.
Pada tahap awal adalah perencanaan (planning).
Perencanaan disusun secara komprehensif dan
konsisten serta mengacu kepada konsep bottom-up
planning, di mana keputusan yang diambil didapat
dari aspirasi bawah. Semua masukan perencanaan
harus
dapat
mengakomodasikan
aspirasi
masyarakat secara demokratis, melalui keterlibatan
berbagai kelembagaan sosial politik dan sosial
ekonomi, perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat
yang dapat dilaksanakan melalui forum dialog, dan
hasilnya kemudian dikaji lebih lanjut melalui forum
diskusi pemerintah daerah dan DPRD.
Setelah perencanaan kemudian pelaksanaan
53
(execution).
Pelaksanaan
pembangunan
daerah
sebagai
upaya
penyelesaian
permasalahan ketertinggalan dan keterpencilan
didesentralisasikan kepada pemerintah kabupaten/
kota sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah.
Dalam paradigma baru yaitu penerapan konsep
good governance dalam pembangunan, masyarakat
ditempatkan sebagai pelaku utama dan kesejajaran
peran antara pemerintah, masyarakat dan pelaku
bisnis dijunjung tinggi. Dalam rangka mewujudkan
kesejajaran masyarakat, dilakukan pemberdayaan
dengan memberikan ruang untuk meningkatkan
partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan.
Langkah penanganan pembangunan untuk
pembinaan desa dilakukan melalui pengendalian/
pengawasan
(monitoring).
Pengendalian/
pengawasan pada hakikatnya perlu dan harus
dilakukan oleh setiap penyandang dana dalam
kegiatan pembangunan. Dalam hal ini, selayaknya
pengendalian dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah provinsi dan internal pemerintah
kabupaten itu sendiri. Bahkan dalam era
transparansi, masyarakat dan pihak swasta juga
dapat terlibat dalam pengendalian pembangunan.
Pemerintah kabupaten dengan DPRD setempat
dapat menyiapkan wadah bagi masyarakat
dan pihak swasta untuk dapat memberikan
masukan/informasi hasil pengawasan, agar dapat
ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Terakhir adalah evaluasi (evaluation). Pada
hakikatnya evaluasi berjalan beriringan dengan
kegiatan monitoring (monev-monitoring evaluation).
Sehingga pada dasarnya seperti juga pada
monitoring, evaluasi seharusnya dilakukan oleh
setiap penyandang dana pembangunan. Terutama
untuk program pembangunan yang berkelanjutan
dan berjangka panjang, evaluasi memiliki arti
strategis untuk mereview arah, manfaat dan
pencapaian hasil yang telah dilaksanakan.
Dalam paradigma baru, evaluasi pelaksanaan
pembangunan dapat dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan masyarakat. Kehadiran
berbagai potensi kelembagaan di luar birokrasi
pemerintah dapat dipesankan untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program pembangunan
dengan difasilitasi oleh instansi pemerintah.
E.
Strategi Prioritas Pembinaan Desa
Strategi prioritas pembinaan desa bisa
dilakukan pertama, rumusan kebijakan prioritas
penanganan permasalahan. Mengingat besarnya
permasalahan yang harus dihadapi untuk menangani
desa, maka perlu dilakukan strategi pelaksanaan
berupa identifikasi prioritas penanganan. Strategi
prioritas penanganan dirumuskan dengan urutan
desa yang paling buruk, berurut sampai dengan
desa yang paling tidak buruk. Dalam merumuskan
strategi prioritas penanganan, dilakukan dengan
mengacu pada rumusan kemungkinan model
desa yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan
mengacu pada kemungkinan model tersebut, maka
upaya mengurutkan prioritas penanganan lebih
terstruktur dan terprogram.
Kedua,
rumusan
kebijakan
prioritas
penanganan pengembangan potensi daerah
merupakan suatu bentuk penanganan pembangunan
yang disesuaikan dengan potensi daerah yang
bersifat spesifik. Penanganan Pengembangan
Potensi Daerah merupakan salah satu bentuk
pembangunan yang perlu dilakukan dalam
rangka pengembangan desa-desa di suatu daerah,
yaitu: (1) Pengembangan Potensi Unggulan, (2)
Pengembangan Potensi Berbasis Kemasyarakatan,
dan (3) Pengembangan Potensi Kecil dan Menengah
(Marbun, 1977, p. 61).
Adapun Strategi Prioritas Penanganan yang
dijelaskan di atas dapat digambarkan secara
skematis pada gambar 1 di bawah ini:
Ketiga, terkait dengan strategi prioritas
pembinaan, yang perlu ditekankan selanjutnya
adalah masalah keberlanjutan program (program
sustainibility). Besarnya permasalahan yang
dihadapi untuk menangani desa-desa tidak akan
terselesaikan seluruhnya dalam jangka waktu yang
singkat (pendek). Satu periode pemerintahan yang
berlangsung selama 5 (lima) tahun tidak akan
mampu menyelesaikan permasalahan yang ada.
Untuk itu perlu adanya komitmen dan dukungan
adanya keberlangsungan program pembinaan desadesa secara sistematis dan struktural.
F.
Penyajian Hasil Identifikasi Model Desa
Dalam penyajian hasil identifikasi model desa
bisa dilakukan, pertama, penyajian berdasarkan
daftar desa dengan model desa yang telah dilakukan
sebelumnya, serta penyajian hasil keluaran kajian
berupa matriks penanganan desa yang diidentifikasi
berdasarkan permasalahan yang dihadapi setiap
desa.
Selain itu, berdasarkan Hasil Peliputan Data
dan Informasi yang dilakukan melalui penjajakan
questionnaire yang telah dilakukan pada tahapan
survey sebelumnya, perlu juga disajikan hasil
keluaran kajian berupa matriks penanganan
pengembangan potensi daerah yang diidentifikasi
berdasarkan karakteristik potensi yang dimiliki
setiap daerah.
Kedua, legalisasi hasil identifikasi. Oleh
karena banyak dan besarnya permasalahan yang
perlu ditangani dalam pembangunan desa, maka
penting adanya keberlangsungan dan keberlanjutan
(sustainibility and continuity) program dengan
komitmen dan dukungan politis terhadap kebijakan
dan program penanganan desa. Terkait dengan
masalah itu, legalisasi hasil identifikasi dalam
bentuk peraturan daerah penting untuk dilakukan.
Matra Pembaruan 4 (1) (2020): 47-57
54
Gambar 1
Penanganan Pengembangan Potensi Daerah
Melalui peraturan daerah, hasil identifikasi akan
menjadi program pembangunan yang secara
berkelanjutan akan diemban pemerintah daerah
dalam kebijakan penanganan desa.
IV. Kesimpulan
Model desa yang telah dirumuskan dalam
kajian ini dimulai dengan identifikasi model desa,
identifikasi permasalahan dan potensi desa, hingga
skenario dan strategi prioritas pembinaan desa. Ke
depan, Pemerintah khsususnya Ditjen Bina Pemdes
Kemendagri perlu mengenalkan konsep model desa
ini yang didasarkan pada potensi dan permasalahan
yang dihadapi desa. Sebab, apabila kebijakan
penentuan model desa semata-mata mengacu pada
tipologi desa dengan merujuk pada karakteristik
desa, maka pembinaannya pun akan bersifat umum.
Model-model desa yang dibangun dalam kajian
ini lebih bersifat komprehensif karena melalui
studi identifikasi desa-desa, penetapan kawasan
secara jelas dan definitif, serta tata cara peliputan
data dan informasi. Selain itu, model desa ini
ditetapkan berdasarkan kriteria kewenangan desa,
prasarana dasar, sarana, dan kondisi kehidupan
masyarakat desa, sehingga kebijakan pembinaan
pun bisa ditetapkan secara lebih tepat. Penetapan
hasil identifikasi model-model desa perlu menjadi
kebijakan dan program pembangunan secara
berkelanjutan oleh Pemerintah Daerah dalam
kebijakan penanganan desa-desa di wilayahnya.
Model Desa di Masa Depan dan Kebijakan Pembinaannya
Heri Wahyudianto
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua yang
memberikan dukungan terhadap pelaksaan kajian
ini.
V. Daftar Pustaka
Abidin, M. Z. (2015). Tinjauan atas Pelaksanaan
Keuangan Desa dalam Mendukung Kebijakan
Dana Desa. Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan
Publik, 6(1), 61–76. https://doi.org/10.22212/
JEKP.V6I1.156
Achsin, S. N., Cangara, H., & Unde, A. A. (2016). Profil
Desa dan Kelurahan sebagai Sumber Informasi:
Studi Evaluasi tentang Penyediaan Informasi
Potensi Desa dan Kelurahan di Sulawesi
Selatan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat
Pemerintahan Desa dan Kelurahan (BPMPDK)
Provinsi Sulawesi Selatan. KAREBA : Jurnal
Ilmu Komunikasi, 4(4), 449–467. https://doi.
org/10.31947/KJIK.V4I4.649
Aditiawati, P., Astuti, D. I., Suantika, G., & Simatupang,
T. M. (2016). Pengembangan Potensi Lokal
di Desa Panawangan Sebagai Model Desa
Vokasi dalam Pemberdayaan Masyarakat dan
Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional.
Jurnal Sosioteknologi, 15(1), 59–67. https://
doi.org/10.5614/sostek.itbj.2016.15.1.6
Aminah, S., & Sutanto, H. P. (2018). Analisis
Tingkat Kapasitas Aparatur Pemerintah
55
Tabel 3.
Penilaian dan Model Desa Kabupaten ….. Provinsi .....
Model
Desa
Permasalahan
No.
Kecamatan
PPD
AB
1.
2.
3.
PKM
PSW
L
I
SE
SI
SK
SP
ST
PKS
PB9
PUP
Kecamatan .....
Desa .....
Desa ......
Desa ......
..........
..........
..........
Kecamatan .....
Desa ....
Desa ....
Desa ....
..........
.........
.........
Dst .............
Catatan: Penyajian ini mengacu pada hasil Tabel 1 (Instrumen Penilaian Desa).
Keterangan:
PPD = Penilaian Prasarana Dasar
PPD, PSW, PKM diisi
dengan penilian: BK = Baik, CK = Cukup, arau BR = Buruk
PSW = Penilaian Sarana Wilayah
PKM = Penilaian kehidupan Masyarakat
AB = Air Bersih
L
= Listrik
I
= Irigasi
SE
SI
SK
SP
ST
PKS
PB9
PUP
=
=
=
=
=
=
=
=
Sarana Ekonomi
Sarana Industri
Sarana Kesehatan
Sarana Pendidikan
Sarana Transportasi
Pra Keluarga Sejahtera
Pendidikan Di Bawah 9 Tahun
Penganggur Usia Produktif
• PPD, PSW, PKM diisi dengan penilian:: BK = Baik, CK = Cukup, arau BR = Buruk
• Model Desa: Model Desa A, B, C, dst. (selajutnya dikelompokkan)
Tabel 4.
Penanganan/Pembinaan Desa Kabupaten ..... Provinsi ......
No.
Kecamatan
Indikasi Penanganan Untuk Penyelesaian Masalah
(Disesuaikan dengan Kebutuhan Lokasi Berdasarkan Kuesioner)
Model
Desa
PPKPD
AB
1.
2.
3.
Kecamatan
.....
Desa .....
Desa ......
Desa ......
......
......
.......
Kecamatan
.....
Desa ....
Desa ....
Desa ....
.......
.......
........
L
PPMSEM
PPKSW
I
SE
SI
SK
SP
ST
PPPM1
PPPM2
PPM3
Dst .............
Catatan: Penyajian ini mengacu pada hasil Tabel 2.
Keterangan:
PPKPD = Program Pemerataan Ketersediaan Prasarana Dasar
PPKSW = Program pemerataan Ketersedaiaan Sarana Wilayah
PPMSEM = Program Peningkatan Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat
PPPM1 = Program Peningkatan Perekonomian Masyarakat
PPPM2 = Program Peningkatan Pendidikan Masyarakat
PPPM3 = Program Peningkatan Produktivitas Masyarakat
AB = Air Bersih
L
= Listrik
I
SE
SI
SK
SP
ST
PKS
PB9
PUP
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Irigasi
Sarana Ekonomi
Sarana Industri
Sarana Kesehatan
Sarana Pendidikan
Sarana Transportasi
Pra Keluarga Sejahtera
Pendidikan Di Bawah 9 Tahun
Penganggur Usia Produktif
• Diberi ceklis (√) jika hasil penilaian desa adalah BR (Buruk).
Matra Pembaruan 4 (1) (2020): 47-57
56
Desa di Kabupaten Bogor. Matra Pembaruan,
2(3), 149–160. https://doi.org/10.21787/
mp.2.3.2018.149-160
Aziz, N. L. L. (2016). Otonomi Desa dan Efektivitas
Dana Desa. Jurnal Penelitian Politik, 13(2), 193–
211. https://doi.org/10.14203/JPP.V13I2.575
Goldsmtih, A. A., & Blustain, H. S. (1980). Local
Organization and Participation in Integrated
Rural Development in Jamaica (Issue No. 3).
Cornell University.
Hasniati. (2016). Model Akuntabilitas Pengelolaan
Dana Desa . JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan &
Pelayanan Publik). http://journal.unhas.ac.id/
index.php/jakpp/article/view/1519
Hilman, Y. A., & Nimasari, E. P. (2018). Model
Program Pemberdayaan Masyarakat Desa
Berbasis Komunitas. ARISTO, 6(1), 45–67.
https://doi.org/10.24269/ars.v6i1.778
Marbun, B. N. (1977). Proses Pembangunan Desa,
Menyongsong Tahun 2000: Pandangan Seorang
Anak Desa. Erlangga.
Misra, R. P. (2016). Rural Development : National
Policies and Experiences. Maruzen Asia.
Mubyarto. (2006). Strategi Pembangunan Pedesaan.
Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan
Kawasan, UGM.
Pakaya, J. (2016). Pemberian Kewenangan pada
Desa dalam Konteks Otonomi Daerah. Jurnal
Legislasi Indonesia, 13(1), 73–84. http://ejurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/
view/143
Model Desa di Masa Depan dan Kebijakan Pembinaannya
Heri Wahyudianto
Rochman, N. (2017). Model Pengembangan Desa
Wisata Berbasis Pemberdayaan Masyarakat.
EQUILIBRIA PENDIDIKAN : Jurnal Ilmiah
Pendidikan Ekonomi, 1(1), 59–70. https://doi.
org/10.26877/ep.v1i1.1831
Siagian, S. P. (2003). Organisasi, Kepemimpinan dan
Perilaku Administrasi. Gunung Agung.
Subekti, T., & Damayanti, R. (2019). Penerapan Model
Smart Village dalam Pengembangan Desa
Wisata: Studi pada Desa Wisata Boon Pring
Sanankerto Turen Kabupaten Malang. Journal
of Public Administration and Local Governance,
3(1), 18–28. https://doi.org/10.31002/jpalg.
v3i1.1358
Sugianto, , Muchammad, Djana, A., & Ismail, A.
(2016). Pengembangan Desa Wisata Berbasis
Kemitraan di Desa Koloray Kabupaten Pulau
Morotai. Jurnal Sosiologi USK, Media Pemikiran
& Aplikasi. http://jurnal.unsyiah.ac.id/JSU/
article/view/6894
Tomasoa, J. (2017). Membangun Sambil Melayani
Pedesaan. Salatiga UKSW.
Uphoff, N. T., Cohen, J. M., & Goldsmith, A. A.
(1979). Feasibility And Application of Rural
Development Participation : A State-of-the-Art
Paper. Cornell University.
Yudartha, I. P. D. (2017). Alternatif Kebijakan
Pertanian dalam Menghadapi Otonomi Desa
di Kabupaten Tabanan. Matra Pembaruan,
1(2),
65–74.
https://doi.org/10.21787/
mp.1.2.2017.65-74
57