Academia.eduAcademia.edu

Partai Politik dalam Belenggu Krisis Internal

Tulisan ini mengupas berbagai masalah internal yang selama ini dihadapi partai-partai politik

Sorot FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Parpol dalam Belenggu KRISIS INTERNAL B Banyak orang yakin bahwa demokrasi tak akan terwujud selama partai politik belum mendemokrasikan dirinya sendiri. ”Partai tidak mungkin hanya menuntut demokrasi di luar, tetapi tidak menghiraukan proses di internalnya,” ujar pengamat politik CSIS Thomas A Legowo (Kompas, 24/12/2008). Menurutnya, tatkala parpol dikelola secara demokratis, tidak saja prosedur kepartaian akan berjalan, namun substansi demokrasi itu akan ditularkan pula ke luar. Akan tetapi setelah 10 tahun era demokratisasi, parpol di negeri ini justru masih terperangkap dalam krisis yang bersumber dari dirinya sendiri: miskin ideologi dan kaderisasi, didominasi elit pengurusnya, rentan dibajak avonturisme politik, serta berpijak di atas pondasi relasi parpol-konstituen yang rapuh. Tanpa bermaksud mengkambinghitamkan parpol, harus diakui bahwa deretan problem internal itu berandil besar atas terjadinya disfungsi representasi yang menjangkiti demokrasi kita. Tulisan ini mengupas berbagai masalah internal yang selama ini dihadapi partai-partai politik. *** Kader ibarat kaki dari gagasan, program kerja, platform, maupun ideologi parpol. Sayang, parpol umumnya tidak serius mendidik kader-kadernya. “Tidak pernah saya diundang oleh sebuah Partai Politik untuk, yang disebut istilahnya, kaderisasi atau sosialisasi. Sama sekali tidak ada,” keluh Bambang Wijaya dari Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Sleman. Menurut Bambang, problem ini tak hanya terjadi di parpol baru melainkan juga parpol-parpol besar. Bukannya memperbaiki sistem rekruitmen dan kaderisasi, parpol malah menyuburkan praktik kroniisme, nepotisme, dan politik uang. Jelang Pemilu 2009, samar-samar terdengar praktik jual beli nomor urut dalam pencalegan oleh parpol. “Yang sekarang jadi adalah sopo yang nduwe duit, sopo sing iso membiayai kampanye,” ujar Bambang. Suprih Hidayat dari Partai Keadilan 12 Sejahtera D I Y DIY khawatir politik uang dalam rekrutmen politik akan berimbas buruk bagi masa depan kepemimpinan bangsa. “Pengkaderan kepemimpinan kita mengganggu sekali. Jadi, orang hanya berkampanye di TV, pingin jadi Presiden karena punya uang Rp 50 miliar,” katanya. Persoalan di atas kian menegaskan persoalan lain yang tak kalah penting: nyaris tidak adanya pembedaan antara simpatisan, anggota, dan kader parpol. Menurut Wisnu Giyono dari Partai PNI Marhaenisme Bantul, parpol terlalu mudah memberikan seseorang kartu anggota (KTA) meskipun belum lama mendaftar sebagai anggota suatu parpol. Begitu memegang KTA, parpol mengklaim anggota barunya itu kader. Anggota baru itupun mengklaim dirinya sebagai kader. “Kapan partai ini melakukan kaderisasi? Tapi kalau bagian dari simpatisan atau anggota partai ini, saya masih cukup bisa memahami,” ujar Wisnu. Semuanya itu mengakibatkan rendahnya kualitas caleg yang berkompetisi di dalam pemilu. Bahkan, ada gejala, parpol memaksakan diri, menyodorkan caleg ke pemilih tak peduli betapapun rendah kualitasnya. “Sehingga itu hanya sebuah proyek (pemilu-red). Yang jadi pun, yang muncul, bukan anggota legislatif yang memiliki basis massa yang besar karena visi-misinya yang dipupuk selama beberapa tahun,” kata Bambang Wijaya. Simpul dari proses dan mekanisme Ilustrasi: Agus Harnowo kaderisasi dan rekrutmen politik yang buruk ini adalah rendahnya kualitas kecakapan dan internalisasi ideologi anggota dewan. “Bahwa salah satu hal yang menyebabkan parpol tidak bisa menjalankan fungsi sehingga tidak menjadi kebijakan itu karena memang karena Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 ketidakmampuan kadernya,” tutur Gunawan Hartono dari PDI Perjuangan KotaYogyakarta. “Integritas, kualitas ideologi kader itu harus digodok sebelumnya di partai organisai massa itu. Sehingga ketika sang kader itu terjun menjadi anggota salah satu Partai Politik, dia sadar, bahwa diri-nya adalah makhluk politik,” kata Bambang Wijaya. Idealnya, parpol seharusnya menyiapkan integritas dan kapasitas kader sebelum menjadi anggota dewan. Rekrutmen dan kaderisasi yang baik juga berguna untuk meminimalkan kon- lik internal parpol. “Pengkaderan dan rekrutmen yang jelas akan berdampak pada ploting kader di masing-masing PAC, kemudian DPC, DPW dan DPP, termasuk nanti misalnya di distribusi caleg. Ketika ada jenjang yang jelas, maka tidak ada lagi konlik internal partai,” ujar Gunawan Hartono yang juga Kepala Badan Pemenangan Pemilu DPC PDI-P Kota Yogyakarta ini. Setelah bertahun berkecimpung di parpol, Gunawan merasa parpol hanya mendidik kadernya untuk berkuasa. “Ini cukup mengkultur di dalam partai kami. Jadi, ngertinya partai politik itu kudu berkuasa, tapi tidak pernah diajarkan setelah berkuasa itu untuk apa,” katanya. *** Selain problem kaderisasi, kehidupan parpol di Indonesia belum juga lepas dari kultur oligarki. Fenomena “dinastitokrasi”, pengelolaan parpol yang didominasi trah elit dan keluarga pengurus parpol, hanya salah satu wujudnya. Wujud yang lainnya adalah corak relasi dan komunikasi internal yang tidak demokratis dan cenderung instruktif antara pengurus partai dengan fraksi, atau fraksi dengan anggota dewan. “Selama ini yang dijalankan bahwa fraksi itu kepanjangan tangan dari partai. Nah, itu diartikan bahwa anggota parlemen manut kepada pengurus partai. Bukan manut partai, tapi manut pengurus partai,” kata Bambang Wijaya. Karena melulu mengedepankan kuasa dan otoritas, corak kepemimpinan di parpol di berbagai level kepengurusanmenurut Bambang telah memotong ideide kreatif dari bawah. “Seorang Ketua Umum, seorang Ketua DPC, PAC dan sebagainya, kadang-kadang mengutamakan kekuasaan yang ada di tangannya untuk memotong satu ide-ide tertentu dari bawah,” ujar Bambang. “Kadang-kadang, kontribusi ide yang betul-betul ideologis, itu terputus oleh pemikiran-pemikiran yang sepihak yang memiliki kekuasaan,” tambah Gunawan Hartono. Posisi elit pengurus parpol kian kuat lantaran kader yang kritis terbentur oleh ancaman sanksi parpol. “Kalau ada anggota fraksi yang tidak manut keputusan parpol, nanti di-PAW. Hal ini yang menurut saya menyebabkan teman-teman di dewan kehilangan kreativitasnya untuk bernegosiasi,” keluh Arif Rahman Hakim dari Partai Keadilan Sejahtera DIY. Arif menceritakan, tak jarang sesama anggota fraksi berbeda sikap. Atau kadang, sikap fraksi di parlemen berbeda dengan partainya. Kultur relasi dan komunikasi yang buruk menyebabkan perbedaan-perbedaan itu tak terkelola dengan baik. Dampaknya, pembahasan suatu keputusan di parlemen pun menjadi lama. “Akhirnya, ya voting. Harusnya kan ada negosiasi, take and give-nya apa. Aku melepas kepentingan ini tapi aku menda- pat timbal balik keuntungan apa dari kepentinganmu. Ini yang menurut saya kurang ulet diperjuangkan anggota dewan,” papar Arif. Kultur oligarkis inilah yang hendaknya dihindari oleh partai-partai baru. Partai baru hendaknya belajar agar tidak membudayakan dominasi elit pengurus parpol terhadap kebijakan partai termasuk mensubordinasi kader partai di parlemen. “Paling tidak, bagi partai baru, bisa mereleksikan pengalaman dari partai lama,” ujar Gunawan Hartono. *** Krisis ideologi adalah persoalan lainnya yang hingga kini masih membelit partai-partai politik. Walaupun mengakui pentingnya ideologi, namun aktualisasi ideologi ke dalam aksi dan agenda kebijakan nyaris tidak tampak. “Ini yang masih menjadi tanda tanya besar,” ujar Muhammad Ulinuha, Caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa Kulonprogo. “Sebetulnya keterbatasan parpol dalam rangka persoalan sosialisasi ke basis rakyat itu bukan sebatas persoalan-persoalan teknis skill, tapi lebih ke persoalan ideologis,” papar Aris Widiyarta dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Aris memandang, selama ini tidak ada satu parpol pun yang secara tegas menunjukkan posisi ideologisnya terhadap paradigma mainstream neoliberalisme. Sementara bagi Bambang Wijaya, rapuhnya ideologi di parpol berkaitan dengan rendahnya kapasitas kader. “Ideologi parpol tidak termanifestasi kedalam program maupun inisiatif karena lemahnya kader,” ujarnya. Akibatnya, kata Bambang, berbagai persoalan yang ada sangat jarang mendapat respon dari parpol. Ideologi parpol yang seolah kian luntur juga disebabkan kuatnya motif ekonomi orang-orang di dalam parpol. “Pengurus parpol itu memahami partai politik sebagai alat ekonomi. Hal ini sangat kental sekali. Kami sendiri mengalami hal itu, akibatnya parpol secara substansi menjadi gerombolan,” kata Gunawan Hartono. Motif ekonomi tersebut salah satunya tampak dari mudahnya elit parpol berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Masa menjelang pemilu ibarat musim transfer pemain sepakbola dari satu klub ke klub yang lain. Tentu saja, perpindahan elit parpol di satu-dua kasus didasarkan pertimbangan idealisme. Namun tak sedikit yang benar-benar disebabkan motif mencari jabatan. “Kadang-kadang, maaf ya, orang nasionalis gamang moro neng partai islamis. Itu jane bertentangan. Tapi karena aku nek kono iso dadi, punya kedudukan, 13 FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Sorot SEORANG Ibu mengantar anaknya berangkat sekolah melewai jajaran spanduk parpol di kawasan jalan Letjend. Suprapto Yogyakarta, beberapa hari yang lalu. Di sejumlah ruas jalan di Yogyakarta sepanduk dan baliho parpol memadai tepi jalan yang mengakibatkan sejumlah pihak mengeluh karena dirasa mengganggu pemandangan. Foto: Adrozen Ahmad maka ideologinya itu hilang. Pokoke waton anu (mendapat jabatan—red) lah. Lha ini ideologinya nggak ada sama sekali,” kata Wisnu Giyono. Sementara itu, menurut Bambang Wijaya, sejak parpol dibentuk, ideologi sesungguhnya tidak pernah menjadi landasan penting. Parpol didirikan sebatas sebagai proyek pemilu, bukan sebagai respon terhadap keterpurukkan bangsa. “Idealnya, sebuah partai politik itu berangkat dari organisasi-organisasi massa yang memilki ideologi dan kepentingan yang sama, kemudian sepakat untuk bergabung mendirikan sebuah Partai Politik,” lanjutnya. Bambang memandang, orang membentuk parpol tak ubahnya membentuk band musik. “Sehingga anggota pun, kadernya pun, seolah-olah kayak, direkrut tanpa ada landasan-landasan ideologis juga sifatnya,” tutur Bambang. *** Masalah lain yang penting adalah keterputusan komunikasi politik antara parpol dengan konstituen terutama setelah pemilu usai. Ada struktur tapi miskin fungsi, kiranya tepat menggambarkan potret organisasi parpol. Selain menjelang perhelatan pemilu, kantor partai baik Pimpinan Anak Cabang, Dewan Pimpinan Cabang, umumnya sepi senyap. “Kalau di tingkat pusat, barangkali masih ada pertemuan-pertemuan, tapi di tingkat wilayah kemudian cabang, sampai PAC, hampir pasti bahwa sekretariat14 sekretariat itu hanya ramai ketika masa pemilu. Ini kan menjadi problem,” cerita Muhammad Ulinuha, Caleg PKB DPRD Kulonprogo. “Entah itu hanya di partai saya atau juga partai yang lain.” Dalam bayangan Ulin, sekretariat parpol bisa menjadi rumah bagi rakyat maupun anggota dewan. Misalnya partai A, partai B, partai C membuka kantornya di berbagai level sebagai tempat diskusi antara masyarakat dengan pengurus partai. “Itu akan sangat efektif, tapi mesti dilakukan dari mulai tingkat cabang, sampai tingkat ranting,” ujarnya. “Yang saya tekankan bukan strukturnya semata, tapi keberadaan struktur secara riil ada. Jadi kalau sebuah bangunan, megah bangunannya, tapi pondasinya tidak ada. Sekarang banyak terjadi, partai-partai itu hanya struktur organisasi hanya papan nama saja: PAC, PAW. Itu saja ora kopen papan namanya,” kata Bambang Wijaya. Selain kantor sepi, Bambang melihat lembaga-lembaga parpol yang ada tidak mengakar dari atas hingga ke bawah. Ia menilai, tidak ada struktur di dalam partai yang memiliki pemahaman garis politik kebijakan parpol sekaligus informasi yang komprehensif tentang kondisi riil di masyarakat. Akibatnya, partai tidak tahu persoalan di masyarakat. Antar level lembaga parpol mengalami keterputusan isu maupun komunikasi. Bambang melihat, komunikasi kebijakan terputus antara rantai DPC sampai PAC. “Sehingga DPC pun bingung, mau kasih program apa, padahal program banyak sekali. Kalau itu ada kontribusi informasi dari bawah,” ujarnya. Seandainya itu ada, maka masyarakat dari lapisan yang paling bawah, dia bisa menjadikan partai ini sebagai artikulasi politiknya. “Itu sebenarnya yang saya maksud adalah struktur yang betul-betul menguasai, yang betul paham bahwa garis politik partai seperti ini,” kata Bambang. Selain membenahi agenda kerja sekretariat, parpol hendaknya memiliki kader yang bertugas menjadi “penyambung lidah” baik dengan lembaga parpol di atas maupun dari sana ke kader anggota di parlemen. “Hendaknya punya kader penyambung lidah rakyat dengan anggota dewan dan parpol. Tapi ada satu atau dua yang akan duduk di kursi dewan tapi yang lainnya bertugas sebagai anggota dewan di lapangan, ini sebagai penyambung lidah,” kata Bambang Wijaya. Gunawan Hartono menyarankan agar didalam membangun komunikasi dengan konstituen parpol memperhatikan konteks sosial masyarakat. Ia memisalkan, bagi PKB yang lekat dengan tradisi Islam tradisional ala NU, forum pengajian cukup efektif. Tiap partai menurut Gunawan punya strategi berbeda sesuai dngan kultur konstituennya. “Tapi substansinya adalah bagaimana terbangun sebuah relationship,” ujar Gunawan. Ashari Cahyo Edi