Academia.eduAcademia.edu

Partai Politik di Indonesia

Telah diedit oleh GIGA German Institute of Global and Area Studies/Leibniz-Institut für Globale und Regionale Studien. Seri Makalah Kerja ini dibuat untuk menyebarluaskan hasil karya penelitian yang tujuannya untuk mendorong pertukaran gagasan dan perdebatan akademis. Tujuan dari seri ini adalah untuk segera mempublikasikan temuan-temuan dalam penelitian, sekalipun bentuk pemaparannya masih belum terlalu sempurna. Dimasukkannya suatu makalah dalam Seri Makalah Kerja bukan merupakan publikasi dan tidak membatasi publikasi di tempat lain. Hak cipta tetap berada di tangan pengarang. Bila Makalah Kerja akhirnya disetujui untuk diterbitkan di jurnal atau buku, rujukan referensi yang benar dan, bila memungkinkan, hasil penelitian lanjutan yang relevan akan dimasukkan di dalam situs Makalah Kerja di: www.gigahamburg.de/workingpapers. 2

Abstrak

Secara mengejutkan, hasil pemilu di Indonesia pada tahun 1999 dan 2004 dan konstelasi partai politik yang terbentuk sebagai hasil pemilu memiliki kesamaan dengan demokrasi parlementer pertama di Indonesia pada tahun 1950an. Dinamika partai politik tersebut masih memiliki ciri aliran ('streams'), yaitu beberapa partai politik yang besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Namun politik aliran telah kehilangan sebagian besar makna pentingnya dan kemudian muncul kembali dalam bentuk yang berbeda sejak jatuhnya Suharto di tahun 1998. Berangkat dari pengamatan tersebut, kita hendak berargumen bahwa partai masih memiliki akar sosial, sehingga suatu pendekatan aliran dengan modifikasi tertentu masih bisa dipakai sebagai alat untuk analisa. Tetapi, nyata juga terlihat adanya pelemahan aliran (dealiranisasi) dan 'Filipinanisasi' yang terkait; ini ditandai dengan naiknya partai presidensial dan presidensialisasi partai, berkembangnya otoritarianisme dalam tubuh partai, meluasnya 'politik uang', dan kurangnya platform politik yang berarti, melemahnya kesetiaan terhadap partai, kartel-kartel dengan koalisi yang berganti-ganti serta munculnya elit-elit lokal baru. Pada akhirnya, 48 dari partai-partai tersebut diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pemilu pada bulan Juni 1999, pemilu yang bebas yang pertama semenjak tahun 1955.

Jumlah pemilih sangat tinggi, begitu juga antusiasme dari penduduk. Secara mengherankan, sistem kepartaian baru yang muncul sebagai hasil pemilu ini terlihat memiliki kesamaan dengan sistem kepartaian tahun1950an, di mana Indonesia menerapkan demokrasi parlementer untuk pertama kalinya. Dinamika partai politik masih ditandai dengan aliran ('streams'), yaitu beberapa partai politik besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Tetapi makna penting politik aliran telah berkurang dan muncul kembali secara berbeda setelah tahun 1998. Terlebih lagi, dalam waktu yang singkat partai-partai tersebut menunjukkan berbagai kelemahan. Banyak partai politik dipenuhi dengan konflik internal, sumber dananya tidak jelas, tidak memiliki platform yang jelas dan elit partainya cenderung memonopoli proses pengambilan keputusan. Jelas terlihat bahwa selain kesetiaan dan ideologi yang sudah ada sejak dahulu, banyak kekuatan lainnya yang berpengaruh.

Dalam perdebatan tentang partai politik yang berkembang sekarang ini, aliran umumnya diakui masih merupakan faktor yang menonjol oleh sejumlah pengamat politik (King, 2003;Baswedan, 2004), walaupun seringkali sejumlah penulis lain memiliki sejumlah keberatan terhadap argumen tentang hal ini (Johnson Tan, 2004;Sherlock, 2004Sherlock, dan 2005. Beberapa penulis memfokuskan pada kelemahankelemahan partai seperti 'kartelisasi' (Slater, 2005) dan kelemahan institusi formal (Sherlock, 2005) atau mereka mencoba untuk menilai ketidakseimbangan atau kelemahan institusionalisasi partai politik (Jonson Tan, 2006;Tomsa, 2006b).

Beberapa akademisi mempertanyakan kesahihan pendekatan aliran dari sudut pandang kelas (Robinson dan Hadiz 2004;Hadiz, 2004aHadiz, dan 2004b, sementara beberapa penulis lain menunjukkan bukti baru berdasarkan metode analisa regresi dan mempertanyakan argumen bahwa politik aliran masih kental di Indonesia (Mujani dan Liddle, 2006). Berbagai penelitian politik lokal yang dilakukan oleh beberapa penulis (Hadiz 2004a;Choi 2004;Vel 2005;Mietzner 2007) menunjukkan gambaran yang sangat rumit. Sampai saat ini belum ada pendekatan yang lebih komprehensif untuk memahami politik kepartaian di Indonesia.

Artikel ini menganalisa partai politik dari dua sudut pandang berbeda. Penulis berargumen bahwa partai masih memiliki akar sosial, sehingga pendekatan aliran dengan modifikasi tertentu masih bisa dipakai sebagai alat untuk analisa. Pada saat yang sama, aliran (dealiranisasi) juga semakin terlihat melemah, seiring dengan 'Filipinanisasi', yang menunjukan beberapa kesamaan ciri pokok partai politik dan sistem kepartaian di Filipina dan Indonesia. Dengan begitu, keunikan partai politik dan berbagai kekuatan yang bertentangan akan ditunjukan dengan sistematis.

Bagian ke-2 tulisan ini membantu untuk memahami konsep 'aliran' seperti yang diartikan pada 1950an, karena pada masa sekarang istilah tersebut menjadi membingungkan. Bagian tersebut akan menjadi dasar perbandingan partai 1950an dengan yang sekarang, dan menggambarkan evolusi partai politik secara singkat sampai dengan jatuhnya Suharto.

Menggambarkan partai politik Indonesia dalam konteks politik 'aliran' akan membantu menjelaskan perkembangan saat ini yang seringkali kontradiktif, yang akan dianalisa pada bagian 3 dan 4. Proses ini dikonseptualisasikan sebagai 'Filipinanisasi', yang diindikasikan dengan munculnya partai presidensial atau presidensialisasi partai, munculnya otoriterianisme dalam partai, meluasnya praktik politik uang, kurangnya platform atau program partai politik yang berarti, lemahnya kesetiaan kepada partai, kartel-kartel dengan koalisi yang berganti-ganti dan naiknya elit-elit lokal baru.

Masa Emas Politik Aliran pada Tahun 1950an dan Erosi pada Zaman

Suharto

Pada saat partai-partai politik pertama didirikan di Indonesia pada tahun 1920an, mereka tidak bisa memenuhi fungsi normal mereka. Di bawah aturan kolonial, pemilu dan parlemen tidak diperbolehkan. Namun sebagai pelopor mobilisasi massa, mereka menkonsolidasikan wilayah sosial (social milieus) dan menguatkan apa yang nantinya dinamakan aliran. Pada tahun 1950an dan 1960an, para Indonesianis mengkonseptualisasikan akar ideologi partai politik dengan pendekatan aliran ini.

Clifford Geertz (1960) pada awalnya menggaris-bawahi model ini di dalam hasil kerja utamanya 'The Religion of Java (Agama di Jawa)'. Pembedaan yang terkenal yang dibuat oleh Clifford antara abangan (kepercayaan bersifat animisme), santri (pengikut muslim yang saleh) dan priyayi (mereka yang kebanyakan dipengaruhi oleh kebudayaan aristokrat Hindu) mempunyai dampak yang tahan lama pada penelitian lebih lanjut tentang Jawa 1 . Akan tetapi Geertz di dalam karyanya 'Peddlers and Princes (pedagang kaki lima dan pangeran)' menunjukan analisa mengenai partai politik 1950an secara lebih praktis, di mana dia menggambarkan PNI 2 , Masyumi, NU 1 Jenis kebudayaan abangan (Geertz 1960: 6) beranggotakan 'petani yang lebih tradisional dan kawan-kawan proletariat mereka yang berada di dalam kota', yang terdiri dari beberapa kepercayaann ritual, ilmu hitam, dsb. Kebudayaan abangan memusatkan pada elemen animisme dari 'sinkretisme kejawen'. Sub-tradisi santri bercirikan kepercayaan pada Islam yang lebih ortodoks dan lebih sering ditemukan di kalangan pedagang dan sebagian petani. Priyayi biasanya dihubungkan dengan kepercayaan Hindu dan mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap birokrasi kebudayaan Jawa.

2 Nama-nama partai dijelaskan dalam Diagram 1, 2 dan 3 dan PKI sebagai wadah organisasi untuk aliran: 'Sebagaimana dengan organisasi politiknya, masing-masing partai telah menjalin hubungan baik secara formal maupun tidak: dengan klub perempuan, kelompok pemuda dan pelajar, serikat pekerja, organisasi rakyat, perkumpulan amal, organisasi buruh tani, sekolah swasta, masyarakat agama dan filosofis, veteran, dan berbagai macam organisasi lainnya, yang akan mengikatkannya pada sistem sosial lokal. Dengan alasan tersebut, setiap partai dengan sekelompok perkumpulan khususnya tersebut menjadi kerangka di mana berbagai kegiatan sosial dapat dilaksanakan, dan partai memberikan panutan ideologi yang rasional untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan tersebut (Geertz, 1963: 14). Menurut Geertz, gejala aliran selain merupakan gerakan sosial juga merupakan partai politik. Aliran pada masa itu didasarkan pada sistem integrasi sosial terkait dengan pandangan mereka mengenai dunia, tetapi partai politik dan organisasi lainnya yang berkaitan tidak mau membentuk pola hubungan antaraliran yang stabil sampai dengan tahun 1950an. Empat partai terpenting, yang secara kolektif meraih 4/5 suara pada tahun 1955 (lihat Tabel 1), telah tumbuh dari basis aliran yang ada dan pada saat yang sama membentuk ulang dan mempolitisasi aliran tersebut (Feith, 1957: 31ff;Feith, 1962: 125ff). PNI yang nasionalis merepresentasikan semua anggota bukan priyayi Jawa dan mencari nafkah sebagai pegawai negara dan pegawai negri atau sebagai klien mereka 3 . PKI mungkin adalah partai yang terbaik pengorganisasiannya dengan pengikutnya yang setia di kalangan pekerja abangan di kota dan daerah perdesaan 4 . Santri yang ortodoks terdiri dari modernis dan tradisionalis. Yang tradisionalis di bawah NU terdiri dari ulama (akademisi agama) dan pengikutnya; yang modernis di bawah Masyumi terdiri dari cendekiawan kota, pedagang dan seniman dari luar pulau Jawa. Pada pemilu bebas dan adil yang pertama di tahun 1955, terutama dengan masa kampanyenya yang lama, identifikasi aliran menjadi 3 Abangan dan priyayi nantinya tergabung 'menjadi satu unit yang melawan santri' (Geertz 1965: 128). Geertz (1965: 129ff) telah membedakan lima rekahan ('pembedaan'): pertama, antara Jawanis (priyayi-abangan) dan kelas Islamik 'ideologikal-keagamaan'; kedua, antara insaf (yang responsif secara politis) dan masa bodo (tidak responsif secara politis); ketiga, antara 'elit' dan 'massa'; keempat, antara 'dalam kota' dan 'pedesaan'; dan yang kelima, antara 'modern' dan 'tradisional'. 4 PKI sebagian besar terdiri atas kader yang tidak sekuler dan kurang ideologis. Ia harus menyesuaikan retorika agenda revolusinya dengan pandangan keagamaan dari kebanyakan pengikut abangannya dari pedesaan di Jawa dan juga harus membangun hubungan patron-klien. Pada tahun 1964, menurut perhitungan mereka sendiri, PKI mempunyai sekitar 2,5 juta anggota partai (1954: 165.000) dan 16 juta dari anggota organisasi massa yang terkait (Mortimer, 1969 Partai-partai ini tidak mempunya kriteria keanggotaan yang kuat dan tidak mampu memastikan aliran dana masuk yang stabil (Feith, 1962: 122ff Di tengah krisis finansial negara-negara Asia, era Orde Baru jatuh, bukan karena munculnya perlawanan partai politik, melainkan bangkitnya demonstrasi mahasiswa dan juga hasil dari konflik dan tawar-menawar antar elit.

Partai dan Pemilu sejak Tahun 1998: Rekonfigurasi Pasca Suharto

Tekanan untuk mereformasi pemerintahan sangatlah besar setelah penyerahan kekuasaan dari Suharto kepada Habibie pada bulan Mei 1998. Pemerintahan yang baru tidak punya pilihan selain untuk melegalisasi pembentukan partai politik.

Undang-Undang tentang Pemilu yang penting serta ketentuan-ketentuan tentang komposisi parlemen, partai politik dan ketentuan lainnya dikeluarkan oleh partaipartai Orde Baru dan anggota parlemen dari golongan militer tanpa kesepakatan dari partai yang baru berdiri. Ini merupakan transisi 'dari atas'. Oposisi yang paling dengan agenda sosial demokratnya (setidaknya sampai batasan-batasan tertentu) (Suryakusuma, 1999;Kompas, 2004aKompas, dan 2004b. Semua pengelompokan ini gagal.

Untuk bisa sukses, partai membutuhkan infrastruktur dan koneksi yang dibangun pada masa Orde Baru (Golkar, PPP dan, tidak sebanyak dengan yang lainnya, PDI-P), dukungan organisasi agama secara tidak langsung (PKB, PAN, PPP, PBB, dan lainlain) dan hubungan jaringan yang sudah terjalin lama dari dulu (PK).

Dalam proses pemilihan, banyak spekulasi bahwa pola aliran yang terjadi di era 1950an akan timbul kembali. Pada akhirnya, dapat terlihat politik aliran masih memainkan peran, tetapi dalam bentuk yang berbeda dari politik aliran di masa 1950an, dan ada mekanisme lainnya yang juga mempengaruhi perilaku partai serta pemilih.

Hasil pemilu 1999 (Ananta/Arifin/Suryadinata, 2004;Kompas 2004a) menunjukkan kemenangan Islam moderat dan sekuler. Partai-partai yang tegas dalam hal isu-isu Islam dengan kecenderungan mendukung Islamisasi konservatif negara ini seperti halnya PPP, PBB dan PK mendapatkan hasil yang buruk dan secara kolektif hanya mendapatkan 14% dari total suara. PKB dan PAN, yang sebagian besar terdiri dari pengikut Islam Ortodoks, meraih hampir seperlima dari jumlah suara, tetapi kesekuleran mereka, orientasi mereka pada Pancasila menghalangi banyak perdebatan mengenai penerapan syariat Islam atau bahkan membentuk negara Islam sejak awal persidangan di parlemen.

Dalam pemilu 2004 (Sebastian, 2004;Aspinall, 2005;Hadiwinata, 2006;Ananta/ Arifin/ Suryadinata, 2005), tidak lebih dari 24 partai diperbolehkan untuk berpatisipasi oleh karena adanya batasan-batasan hukum tambahan 9 . Walaupun pemilu pada dasarnya dikarakterisasikan dengan kesinambungan, beberapa pergeseran tertentu terjadi yang menandai akselerasi dealiranisasi antara tahun 1999 sampai

2004.

Golkar menang dengan 21,6% (1999: 22.5%) dan sekarang menjadi partai terkuat di parlemen. PDI-P mengalami kekalahan yang mengejutkan dan kehilangan lebih dari 15 persen yang disebabkan oleh ketidakpuasan akan kepemimpinan Megawati sebagai presiden dan kinerja politisi PDI-P lain pada umumnya. Kejutan besar lainnya selain kekalahan PDI-P yang telak dan kenaikan Partai Demokrat adalah kemenangan PKS yang Islamis (dulunya PK), yang memenangkan 7,3% dari seluruh suara. Partai ini bahkan mampu menjadi nomor satu di Jakarta, lebih unggul dari PD. Hasil ini menunjukkan ketidakpuasan yang besar terhadap partai-partai yang sudah lebih mapan, terutama di ibu kota. PKB, PPP dan PAN jatuh satu demi satu. Prestasi mereka yang mengecewakan hanya dikalahkan oleh remuknya PDI-P.

Enam dari sepuluh partai terbesar dalam parlemen nasional sekarang ini adalah Islamis dan empat lainya sekuler (lihat tabel 3.) Pembelahan yang sangat jelas yang membentuk sistem kepartaian yang ada sekarang ini ialah antara partai Islam atau sekuler. Partai Islam sendiri terdiri dari partai Islam moderat dan partai Islamis 10 . 14 Lihat Liddle, 2003;King, 2003;Baswedan, 2004;Antlöv, 2004b;Cederroth, 2004;Turmudi, 2004;Johnson Tan, 2006;Sherlock, 2004 and 16 Hampir semua pegawai negeri, termasuk atasan dan para hakim dan kejaksaan, adalah anggota partai. Hanya anggota polisi dan tentara yang tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota di partai. Ketika seseorang tidak menjadi anggota partai secara formal, selayaknya ia dinilai dari latar belakang perkumpulan pribadi dan citranya' (Feith, 1962: 124) 17 Pendanaan PNI dengan hubunganya dengan birokrasi negara, dipertanyakan secara spesifik (Feith, 1957;26-27;Rocamora, 1975: 112ff). Feith menduga bahwa PKI mendapatkan dana dari luar negeri, sementara partai-partai Muslim lainnya memanfaatkan relasinya dengan pemilik tanah, petani karet, perajin batik, dsb. NU dulu dikatakan sangat miskin. Dengan 'modal sosial' pimpinannya, yaitu hubungan sosial dan politik di sekitar pedesaan, modal keuangan menjadi tidak terlalu penting (Feith, 1957: 28).

18 'Partai-partai yang tidak mampu untuk membangun hubungan ekstensif di tingkat perdesaan, dan mengharapkan untuk melakukan pendekatan melalui media massa, akhirnya tidak sukses-walaupun mereka mempunyai modal finansial yang cukup dan keuntungan dari kedudukan di pemerintahan' (Feith 1957, 26 Politik lokal yang tadinya dikendalikan secara ketat oleh rezim militer di bawah Orde Baru setidaknya sampai awal 1990an, semakin ditandai dengan 'jejaring pemangsa' (Robison/Hadiz, 2004) dan mungkin akan berkembang menjadi "bosisme" secara 50 House faces critisism for bowing for government, Jakarta Post, 28.9.2006 terang-terangan (Sidel, 1999). Walaupun pimpinan pusat partai dapat mendikte kebanyakan keputusan tentang isu kebijakan dan dapat mendorong kepentingan mereka melalui kandidat mereka di DPR nasional dan eksekutif tingkat pusat, tarik menarik antara Jakarta dan daerah sudah biasa terjadi di tingkat yang rendah (Choi, 2004).

Hubungan klientelis yang lebih sering terjadi untuk keuntungan material, dalam hal ini uang, menyebar. Bahkan sebelum diadakannya pilkada, premanisme politik dan "politik uang" telah meningkat (Choi, 2004) Lebih jauh lagi, delegasinya tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota partai politik.

Kesimpulan

Perbandingan kedua sistem partai politik Indonesia pada tahun 1950an dengan yang