Volume 6/ 2016
Maria SW Sumardjono
Ihwal Hak Komunal atas Tanah
Noer Fauzi Rachman
Masyarakat Hukum Adat dan Hak Komunal atas Tanah
Erasmus Cahyadi
Beberapa Catatan Atas Peraturan MATR/KBPN
Nomor 9 Tahun 2015
Nurul Firmansyah.
“Jauh Panggang dari Api”:
Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hak Komunal
Yusak Elisa Reba
Pengakuan Tanah Ulayat di Papua
dan Kaitannya dengan Permen Hak Komunal Atas Tanah
Sulaiman Tripa
Mukim di Hadapan Hukum Negara
Purnawan D. Negara
Hak atas Tanah pada Masyarakat Tengger:
Sebuah Refleksi atas Pelaksanaan Pengakuan
“Hak Komunal atas Tanah” pada Masyarakat Tengger
Dr. Kurnia Warman
Pendaftaran Tanah Milik Kaum sebagai Tanah Milik Bersama
di Sumatera Barat
Gamma Galudra
Peran migrasi dalam perubahan sistem penguasaan
dan pengelolaan tanah di Jambi:
Refleksi dan pembelajaran terhadap hak komunal
Andreas Lagimpu
Tanah dan Wilayah Adat pada Masyarakat Kulawi,
Sulawesi Tengah
Ahmad Nashih Luthfi dan Moh. Shohibuddin
Mempromosikan Hak Komunal
Resensi Buku
REFORMA AGRARIA DALAM KONSTITUSI
Salah satu persoalan mendasar mengenai masalah
pertanahan di Indonesia adalah mengenai lemahnya
pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan
hak masyarakat adat atas tanah. Permasalahan hak
masyarakat adat atas tanah telah dibahas oleh pendahulu
penyusun UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA). Kala itu, penyusun UUPA
menggantikan konsepsi domein verklaring yang diterapkan
oleh penguasa kolonial Belanda dengan konsepsi Hak
Menguasai Negara yang diambil dari konsepsi hak ulayat pada
masyarakat hukum adat. Keberadaan hak ulayat pun diakui di
dalam UUPA (Pasal 2 ayat 4 dan Pasal 3) dan disadari pula
bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat (Pasal
5).
Pengaturan di dalam UUPA belumlah memadai.
Dibutuhkan peraturan yang operasional. Pengaturan yang
operasional baru dibuat pada tahun 1999 melalui Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini tidak
terimplementasikan secara baik dan merata di setiap daerah,
salah satunya karena proses pengakuan hukum terhadap hak
ulayat masyarakat adat yang rumit harus melalui penelitian
dan penetapan dalam bentuk Peraturan Daerah. Kemudian
Menteri Agraria/Kepala BPN mengganti peraturan tersebut
dengan Peraturan No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
Peraturan Menteri Agraria yang baru ini mendapat
tanggapan dari berbagai kalangan. Digest edisi ini membahas
hadirnya Peraturan Menteri Agraria tentang Hak Komunal Atas
Tanah tersebut. Tulisan yang ditampilkan di dalam Digest ini
merupakan tulisan/makalah dari peserta Diskusi Terfokus Quo
Vadis Hak Komunal Atas Tanah yang diselenggarakan Epistema
Institute pada 20 Agustus 2015. Tulisan pertama merupakan
artikel Prof. Maria Sumardjono (guru besar hukum agraria dari
Universitas Gadjah Mada) yang telah diterbitkan di Kompas
pada 6 Juli 2015 dengan judul “Ihwal Hak Komunal atas Tanah.”
Tulisan ini mengkritik Permen Hak Komunal Atas Tanah karena
merancukan antara hak ulayat dengan hak komunal. Menurut
Maria Sumardjono, dengan merujuk kepada definisi di dalam
Permen, hak komunal merupakan hak milik bersama atas
tanah, sementara hak ulayat bukan merupakan hak atas tanah,
melainkan kewenangan yang dipunyai oleh masyarakat hukum
adat yang berdimensi publik dan perdata. Tanpa landasan
filosofis, yuridis dan sosiologis yang kuat, Maria Sumardjono
menyangsikan Permen akan memberikan manfaat bagi
pengakuan hak masyarakat adat atas tanah.
Sementara itu, Noer Fauzi dalam artikel yang
berjudul “Masyarakat Hukum Adat dan Hak Komunal Atas
Tanah” memulainya dengan kritik terhadap pandangan yang
selama ini memposisikan hak ulayat atau bernama lain, akan
hilang “dengan sendirinya” seiring perkembangan zaman,
terutama karena menguatnya hak-hak individual atas tanah
dari para anggota MHA. Pandangan demikian sebenarnya
merupakan politik hukum dari UUPA yang menghendaki
unifikasi hukum, sehingga diharapkan kelak hak ulayat akan
habis. Namun realitas menunjukkan lain, bahwa keberadaaan
hak ulayat ditopang oleh tuntutan masyarakat adat akan
keadilan agraria. Hak ulayat bukanlah sesuatu yang dibiarkan
habis, tetapi sesuatu yang dipertahankan dan hendak direbut
kembali oleh masyarakat adat.
Lebih lanjut Noer Fauzi melihat bahwa Permen Hak
Komunal tidak akan mudah dijalankan tanpa adanya UU
tentang Masyarakat Adat yang memberikan kejelasan
mengenai masyarakat adat sebagai penyandang hak. Selain
itu, Noer Fauzi menyoal ketentuan di dalam Permen yang
menghendaki dikeluarkannya hak komunal dari kawasan
hutan. Hal senada juga disampaikan oleh Erasmus Cahyadi
yang memberikan catatan terhadap Permen Hak Komunal Atas
Tanah. Menurut Erasmus, Permen Hak Komunal haruslah
diposisikan dalam konteks kebijakan pengakuan terhadap
masyarakat adat paska Putusan MK 35. Meskipun Permen
memiliki kelebihan dalam hal prosedur penetapan hak
masyarakat adat atas tanah, namun secara konseptual
terdapat banyak masalah yang membuat Permen Hak
Komunal akan gagal bila diposisikan sebagai pelaksanaan
Putusan MK 35.
Nurul Firmansyah dalam artikelnya yang berjudul
“Jauh Panggang dari Api: Menyoal Masyarakat Hukum Adat
sebagai subjek Hak Komunal” menilai bahwa Permen Hak
Komunal memiliki sejumlah kekeliruan dan memperkuat kritik
yang telah dimulai oleh Prof. Maria Sumardjono. Akibatnya
Permen akan menjauhkan masyarakat adat dari akses kepada
pengakuan hukum dan akan berdampak pada konflik
horizontal di dalam masyarakat.
Setelah empat artikel pendahuluan yang membahas
Permen Hak Komunal Atas Tanah dari sisi konseptual dan legal,
kemudian akan ditampilkan enam artikel yang beranjak dari
konteks lapangan. Pengalaman lapangan ini dimulai dengan
Tengger, lokasi dimana diklaim oleh Menteri Agraria dan Tata
Ruang sebagai percontohan pemberian sertipikat hak komunal
atas tanah. Dari artikel Purnawan D. Negara (Dosen Fakultas
Hukum Universitas Widyagama Malang) yang melakukan
penelitian terhadap Masyarakat Tengger, ternyata diketahui
bahwa yang diberikan bukanlah sertipikat komunal, melainkan
sertipikat individual dari program nasional (Prona) dimana di
dalam sertipikat itu selain ditandatangani dan distempel oleh
Kantor Pertanahan juga dilengkapi dengan tandatangan dan
stempel desa.
Selain itu untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih luas, maka Permen Hak Komunal diletakkan dalam situasi
sosial di daerah lain. Pada intinya hendak melihat bagaimana
potensi manfaat dan dampak pelaksanaan Permen Hak
Komunal Atas Tanah dalam berbagai model penguasaan tanah
yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, antara
lain Papua, Aceh, Sumatra Barat, Sulawesi Tengah, Jambi, dan
Sidoarjo (Jawa Timur).
Sekapur Sirih
Yusak Elisa Reba, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Cendrawasih di dalam artikelnya mengupas mengenai
keberadaan UU Otsus dan Perdasus Hak Ulayat di Provinsi
Papua. Dari kedua regulasi itu menunjukkan bahwa pengakuan
tanah ulayat di Papua bukan terletak pada aturan hukumnya
melainkan konsistensi, ketaatan dan komitmen dari
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
memberi perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat
adat. Senada dengan itu pula, keberadaan Permen ini bukan
sesuatu yang urgen dan menjadi kebutuhan yang diperlukan
dalam menata dan memperkuat hak-hak masyarakat adat atas
tanah. Menurut Yusak, kehadiran Permen ini akan berpotensi
memperkuat kecurigaan masyarakat adat Papua akan
intervensi negara dan upaya-upaya untuk melakukan
pencaplokan atas hak-hak masyarakat adat termasuk hak atas
tanah.
Sulaiman Tripa, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Syah Kuala Aceh meletakkan Permen Hak Komunal dalam
konteks Aceh. Di Aceh, kesatuan masyarakat hukum adat
merupakan Mukim yang bukan saja menjadi unit
pemerintahan secara tradisional namun juga merupakan
subjek bagi hak ulayat baik terhadap tanah, wilayah, hutan,
dan juga laut. Dengan rumusan pengaturan di dalam Permen
Hak Komunal yang menentukan hak komunal sebagai hak
miliki bersama akan sulit diterapkan untuk konteks mukim di
Aceh.
Dr. Kurnia Warman, Dosen Fakultas Hukum
Universitas Andalas menuliskan artikel berjudul “Pendaftaran
Tanah Milik Kaum Sebagai Tanah Milik Bersama di Sumatra
Barat” menuliskan pengalaman pendaftaran tanah kaum yang
sudah berlangsung sejak lama bahkan sebelum PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jadi, tanpa kehadiran
Permen Hak Komunal Atas Tanah pun, pendaftaran tanah
kaum tetap bisa dilakukan. Namun disadari juga bahwa
instrumen pendaftaran tanah saat ini belum mampu
mengakomodasi keberagaman sistem tenurial masyarakat
hukum adat. Pendaftaran tanah milik bersama dijalankan
terhadap tanah kaum, tetapi belum dilakukan terhadap tanah
suku dan tanah Nagari.
Sementara itu Gamma Galudra berdasarkan hasil
penelitiannya pada masyarakat di Tanjung Jabung Barat,
Provinsi Jambi menunjukan bahwa konsepsi mengenai Hak
Komunal Atas Tanah di dalam masyarakat bukanlah konsepsi
yang statis, melainkan sangat dinamis bergantung dari
interaksi antara masyarakat dengan pendatang. Hal itu sangat
dipengaruhi dengan keberadaan Pesirah sebagai pimpinan
desa dan kepentingan sosial ekonomi terhadap tanah.
Menurut Gamma, Permen Hak Komunal akan sulit diterapkan
bila mengategorisasikan masyarakat adat dan non adat dalam
konteks Tanjung Jabung Barat karena diantara dua kategori itu
sudah membaur satu sama lain, bahkan masyarakat kemudian
membangun identitas baru seperti 'Melayu Jambi' di Tanjabar.
Andreas Lagimpu, pemerhati budaya dan adat
Kulawi, Sulawesi Tengah dalam artikelnya mengulas mengenai
berbagai model penguasaan tanah pada masyarakat Kulawi di
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang menjaga nilai-nilai dan
pranata dalam pemanfaatan tanah dan relasi sosial dalam
wujud prinsip Hintuvu dan Katuvua. Baginya yang diperlukan
dari pemerintah bukan lagi political will dan regulasi,
melainkan political action yang membutuhkan keberanian
mengambil resiko untuk memulihkan hak-hak rakyat.
Artikel terakhir ditulis oleh Anas Natshi Luthfi dan
Moh. Shohibuddin yang berjudul “Mempromosikan Hak
Komunal”. Tulisan ini tidak dibahas di dalam Diskusi Terfokus
yang dilakukan pada 20 Agustus 2015, namun tulisan ini sangat
penting untuk memberikan warna terhadap pembahasan
mengenai Permen Hak Komunal Atas Tanah. Luthfi mengajak
untuk tidak terjebak dalam dikotomi masyarakat adat dan
bukan masyarakat adat karena ada pula pandangan yang
menyatakan bahwa konstruksi masyarakat hukum adat
merupakan bentukan Kolonial Belanda untuk memudahkan
kontrol terhadap desa. Sehingga, cakupan pengaturan hak
komunal juga dapat diberlakukan bukan kepada masyarakat
adat. Selain itu, penetapan hak komunal harus dilakukan untuk
mewujudkan pemerataan akses terhadap tanah serta
meletakan tanah sebagai kepunyaan bersama yang penting
bagi pemenuhan kebutuhan, sosial, ekonomi, dan ekologi bagi
masyarakat. Dengan kata lain, tanah komunal harus dilihat dari
sisinya sebagai the commons, yang melampaui persoalan
status legalnya.
Sebelas artikel di dalam Digest kali ini menampilkan
suatu perdebatan mengenai konstruksi Hak Komunal yang
diperkenalkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang. Sebagian
besar kritik yang diajukan terhadap Hak Komunal namun pada
sisi lain perlu pula melihat dimensi positif yang dapat diberikan
oleh Permen Hak Komunal untuk mengatasi rumitnya kerangka
hukum yang tersedia selama ini untuk pengakuan hak
masyarakat atas tanah. Tulisan di dalam Digest ini mengundang
diskusi yang lebih mendalam untuk kemudian dapat
berkontribusi pada upaya menyempurnakan peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan untuk
mewujudkan pemerataan hak dan akses terhadap tanah.
Selain artikel tersebut, di dalam Digest kali ini , seperti
biasanya, juga dilengkapi dengan Resensi Buku yang ditulis
oleh Malik terhadap buku Yance Arizona, Konstitusionalisme
Agraria. Digest ini diterbitkan atas dukungan dari Ford
Foundation. Mengakhiri sekapur sirih ini, dewan redaksi
mengucapkan terimakasih atas kerja keras semua staf
Epistema yang telah mengorganisir Diskusi Terfokus mengenai
Hak Komunal yang tulisan tersebut kemudian diterbitkan
dalam edisi khusus ini. Kepada Malik, Luluk Uliyah, dan Andi
Sandhi yang bekerja keras membantu penerbitan Digest ini .
Ihwal Hak Komunal atas Tanah
Maria SW Sumardjono1
Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
yang Berada dalam Kawasan Tertentu terbit 12 Mei
2015.
Setiap kebijakan/peraturan perundangundangan yang dimaksudkan untuk memperkuat hakhak masyarakat tentu harus didukung. Meski
demikian, agar peraturan ini dapat dilaksanakan secara
efektif, beberapa hal memerlukan klarifikasi.
Peraturan menteri (permen) ini terbit untuk
memenuhi tersedianya suatu pedoman sebagai
pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri RI, Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan
Umum RI, dan Kepala Badan Pertanahan RI Nomor 79
Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan,
khususnya untuk tanah-tanah masyarakat hukum adat
atau MHA (lihat tulisan Myrna Safitri, ”Mencari
Perusak Hutan”, Kompas, 10/3/2015). Permen tentang
Hak Komunal (HK) ini tampaknya lebih menonjolkan
sisi proseduralnya ketimbang konsepsi dasar terkait
dengan subyek yang diatur.
Ketika berbicara tentang ”hak”, ada empat
unsur yang harus dipenuhi, yakni subyek, obyek,
hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan
kewajiban, dan perlindungan hukumnya. Unsur subyek
menempati kedudukan terpenting. Ketidakjelasan
tentang subyek akan berimbas pada ketidakjelasan
tiga unsur lainnya.
Beberapa pertanyaan mendasar dapat
diajukan dalam permen ini. Pertama, apakah HK ini
sama atau dipersamakan dengan hak ulayat MHA
sebagaimana pengertian teknis yuridis yang dikenal
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Kedua, di mana tempat HK dalam sistem hukum
pertanahan nasional sesuai Penjelasan Umum II (2) UU
Pokok Agraria (UUPA)? Ketiga, karena pengertian HK
dalam Pasal 1 Angka 1 permen terdiri atas dua
kelompok subyek, yakni MHA dan non-MHA,
bagaimana dengan cara terjadinya HK masing-masing?
Keempat, karena dengan berlakunya permen ini
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat telah dicabut, bagaimana
dengan eksistensi hak ulayat sebagaimana diatur
dalam UUPA dan berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku?
Hak komunal dan hak ulayat
Tampaknya permen menyamakan hak
komunal dengan hak ulayat. Dalam pembicaraan
sehari-hari, menggunakan istilah ”hak komunal”,
”tanah milik bersama”, ”hak ulayat” barangkali lebih
”bebas” karena tak ada implikasi hukumnya. Namun,
ketika istilah itu dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan harus jelas konsepsinya karena
ada implikasi hukumnya. Penyamaan itu antara lain
tampak dalam konsiderans huruf b ”bahwa hukum
tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak
komunal dan yang serupa itu dari MHA, sepanjang
pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud
1 Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Ikhwal Hak Kmunal Atas Tanah
dalam Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.”
Sebagaimana diketahui Pasal 3 UUPA tak
menyebutkan tentang HK, tetapi merumuskan tentang
hak ulayat. Demikian juga dari rumusan Pasal 17
permen yang berbunyi sebagai berikut: ”MHA dan hak
atas tanahnya yang sudah ada dan telah ditetapkan
sebelum permen ini berlaku tetap sah dan dapat
diberikan hak komunal atas tanahnya”, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksudkan hak MHA yang
sudah ada itu sejatinya adalah hak ulayat sebagaimana
diatur dalam berbagai peraturan daerah, yang oleh
permen disamakan atau bahkan diganti dengan HK.
Merancukan HK dengan hak ulayat dalam
permen itu hakikatnya adalah membangun fiksi
hukum, karena hak ulayat dan HK itu punya
karakteristik berbeda, tetapi oleh permen dianggap
sama. Hak ulayat itu berdimensi publik sekaligus
perdata. Dimensi publiknya tampak dalam
kewenangan MHA untuk mengatur (1) tanah/wilayah
sebagai ruang hidupnya terkait pemanfaatannya
termasuk pemeliharaannya; (2) hubungan hukum
antara MHA dan tanahnya; dan (3) perbuatan hukum
terkait dengan tanah MHA. Dimensi perdata hak ulayat
tampak dalam manifestasi hak ulayat sebagai
kepunyaan bersama. Hak ulayat itu bukan hak atas
tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 jo.
pasal 16 UUPA. Sebaliknya, HK atas tanah itu dimaknai
sebagai hak atas tanah (Pasal 1 Angka 10 Permen).
Lebih lanjut, karena HK itu dikategorikan
sebagai hak atas tanah, maka terhadap HK dapat
diterbitkan sertipikatnya (Pasal 13 Ayat (3) Permen).
Sebaliknya, karena hak ulayat itu bukan hak atas tanah,
maka keberadaan hak ulayat itu dinyatakan dalam peta
dasar pendaftaran tanah dan apabila batas-batasnya
dapat ditentukan menurut tata cara pendaftaran
tanah, batas tersebut digambarkan pada peta dasar
pendaftaran tanah dan dicatat dalam daftar tanah; di
atas tanah ulayat itu tidak diterbitkan sertipikat.
Dengan dicabutnya Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5
Tahun 1999 perihal pendaftaran hak ulayat ini menjadi
tidak jelas nasibnya!
Isu kedua, kedudukan hak komunal MHA
dalam sistem hukum tanah nasional. Mengacu
Penjelasan Umum II (2) UUPA, dalam hubungan antara
negara dan tanah terdapat tiga entitas tanah: (1) tanah
negara yang kewenangannya beraspek publik; (2)
tanah hak yang dipunyai orang perorangan atau badan
hukum yang kewenangannya beraspek perdata; dan
(3) tanah ulayat MHA yang kewenangannya beraspek
publik dan perdata.
Bagaimana dengan hak komunal MHA atas
tanah yang dimaksud oleh permen? Terhadap HK yang
subyek hukumnya adalah MHA, jelas tak dapat
dimasukkan dalam kategori hak ulayat karena HK
hanya berdimensi perdata. Apakah hak komunal MHA
sebagai hak atas tanah dapat dikategorikan sebagai
hak atas tanah menurut UUPA dengan segala isi
kewenangannya: mengalihkan, mewariskan,
menjadikan hak atas tanah sebagai jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan? Tampaknya hal ini
juga bukan karakteristik HK karena Pasal 14 Permen
menyebutkan bahwa hak komunal MHA yang telah
bersertipikat dapat dikerjasamakan dengan pihak
ketiga.
Barangkali jika hak komunal MHA disandingkan dengan hak ulayat MHA dapat dicermati
konsepsi tentang ulayat nagari dan ulayat kaum di
Minangkabau. Ulayat nagari adalah hak ulayat yang
secara teknis yuridis dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Nagari terdiri dari kelompok masyarakat yang
mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu,
mempunyai pemerintahan sendiri dan harta kekayaan
sendiri, lengkap dengan pengaturannya. Adapun
ulayat kaum tak termasuk kategori tanah ulayat secara
teknis yuridis, tetapi merupakan tanah milik adat yang
bersifat komunal atau tanah milik kaum. Kaum adalah
suatu kelompok (persekutuan) yang memiliki satu
bidang atau beberapa bidang tanah secara komunal
dan turun-temurun di bawah pimpinan mamak kepala
waris (Kurnia Warman, Ganggam Bauntuak Menjadi
Hak Milik, Andalas University Press, 2006). Barangkali
yang dimaksudkan hak komunal MHA atas tanah
dalam permen ini adalah yang sesuai dengan
karakteristik tanah kaum itu.
Isu ketiga, HK itu didefinisikan sebagai ”hak
milik bersama atas tanah suatu MHA atau hak milik
bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat
yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan”
(Pasal 1 Angka 1 Permen). Suatu definisi dimaksudkan
untuk memberikan pengertian tentang suatu hal yang
akan digunakan secara berulang dalam rumusan pasal
peraturan perundang-undangan itu. Definisi haruslah
tegas sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Dengan
demikian, definisi tentang HK itu tidak lazim karena
m e nyat u ka n d u a ke l o m p o k ya n g b e r b e d a
Ikhwal Hak Kmunal Atas Tanah
karakteristiknya dalam satu definisi.
Sesuai dengan permen, HK itu terdiri atas dua
kelompok subyek, yakni hak milik bersama atas tanah
yang subyeknya MHA dan hak milik bersama atas
tanah yang subyeknya masyarakat non-MHA. Bahwa
dua kelompok itu berbeda dapat dicermati pada Pasal
3 Ayat (1) dan (2) Permen, masing-masing terkait
persyaratan MHA dan persyaratan masyarakat nonMHA.
Walaupun keberadaan dua subyek hak itu
ditetapkan oleh bupati/wali kota atau gubernur, perlu
ditegaskan bahwa terhadap MHA, penetapan itu harus
dimaknai sebagai pengukuhan terhadap keberadaan
MHA yang bersifat deklaratif sebagaimana ditegaskan
dalam Putusan MK No 85/PUU-XII/2013 terhadap UU
No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan bahwa
HK itu sejatinya berada di atas tanah bersama milik
(adat)nya sendiri (lihat Putusan MK No 35/PUUX/2012 terhadap UU No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan). Sebaliknya, terhadap keberadaan
masyarakat non-MHA, penetapan pejabat itu bersifat
konstitutif dan pemberian HK-nya dilakukan di atas
tanah negara yang telah dilepaskan dari kawasan
hutan atau perkebunan.
Keempat, masalah pencabutan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Karena terdapat
kerancuan antara hak ulayat dan HK, patut
dipersoalkan dampak pencabutan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 17 Permen dapat dimaknai
sebagai pemberian kesempatan kepada MHA dan hak
ulayatnya yang diakui dan dikukuhkan keberadaannya
(umumnya melalui perda) untuk diberikan HK atas
tanahnya.
Bagaimana hak ulayat yang secara teknis
yuridis diatur dalam berbagai perda itu yang sama
sekali berbeda karakteristiknya dengan HK dapat
diberikan HK? Dengan dicabutnya Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999, lalu bagaimana dengan
penjabaran pengaturan tentang hak ulayat dalam
Pasal 3 UUPA di bidang pertanahan? Apakah dengan
terbitnya permen itu hak ulayat sudah tak perlu diatur
karena telah digantikan dengan HK? Patut dicatat
bahwa dalam rangka pelaksanaan Perber Nomor 79
Tahun 2014 Kementerian Dalam Negeri telah
menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA. Ketika
mengatur tentang substansi yang sama, bagaimana
harmonisasi antara permen dan permendagri?
Perlu sikap tegas
Penguatan hak masyarakat, termasuk MHA
atas tanah yang merupakan ruang hidupnya,
merupakan keniscayaan. Dalam upaya mewujudkan
hal itu perlu ketegasan sikap pemerintah terhadap
pengakuan dan perlindungan hak MHA atas tanahnya.
Permen ini menimbulkan kerancuan antara hak ulayat
dan hak komunal. Di satu pihak pengaturan tentang HK
menimbulkan ketidakpastian hukum, di pihak lain
terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan tentang
hak ulayat dengan dicabutnya Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999.
Saat ini masih diperlukan pengaturan tentang
hak ulayat MHA dengan mengakomodasi putusan MK
yang relevan serta harmonisasinya dengan peraturan
perundang-undangan lain. Memperkenalkan entitas
baru (HK) dalam peraturan perundang-undangan itu
sah-sah saja sepanjang landasan filosofis, yuridis, dan
sosiologisnya kuat. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi,
di samping tidak ada jaminan kepastian hukum,
peraturan itu menjadi tidak bermanfaat.
Artikel ini telah diterbitkan di Harian Kompas, 6 Juli
2015
Masyarakat Hukum Adat
dan Hak Komunal atas Tanah
Noer Fauzi Rachman, PhD1
Pengantar
Masalah ketidakpastian hak masyarakat hukum
adat atas wilayah adatnya dalam hukum agraria
Indonesia belum menemukan solusinya, baik
pada tataran kebijakan hingga instrumen
pemerintahan. Suatu jenis penguasaan
Masyarakat Hukum Adat (MHA) atas keseluruhan
wilayah adat, yang disebut sebagai “hak ulayat”
dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
1960 Pasal 3, dikategorikan bukanlah sebagai
suatu hak atas tanah yang dapat diadministrasikan
melalui pendaftaran tanah. Pemerintah tidak
menyediakan suatu layanan yang dapat
memberikan tanda kepemilikan tertentu, dan
tidak memiliki peta resmi yang merupakan
rujukan pengetahuan dimana saja keberadaan
dari wilayah-wilayah adat itu di seantero
Nusantara.
Sering dianggap bahwa penguasaan MHA
atas wilayah adatnya, yang disebut “hak ulayat”
atau bernama lain, akan hilang “dengan
sendirinya” seiring perkembangan zaman,
terutama karena menguatnya hak-hak individual
atas tanah dari para anggota MHA. Sesungguhnya
yang banyak memporak-porandakan wilayah adat
adalah negara-isasi, yakni wilayah adat, atau
bagian dari padanya, dianggap sebagai hutan
1
negara dan/atau tanah negara, lalu pemerintah
memasukkan sebagian atau seluruh wilayah adat
itu ke dalam lisensi-lisensi yang diberikan untuk
perusahaan perkebunan, pertambangan,
kehutanan dan lainnya, atau menjadi bagian dari
Taman Nasional untuk keperluan konservasi
sumber daya alam, atau proyek-proyek
infrastruktur raksasa tertentu. Di kampungkampung, operasi perubahan hubungan
kepemilikan dan perubahan tata guna tanah yang
dijalankan oleh pemegang lisensi itu berlangsung
secara paksa dan berakibat sangat fatal, termasuk
menyempitnya ruang hidup, hilangnya sebagian
akses masyarakat atas tanah dan sumber daya
alamnya, dan fungsi-fungsi faal dari alam gagal
menyediakan layanan ekologis sebagaimana
diperlukan.
Uraian dari Sri Palupi “Pandanglah Kami”
dalam Kompas 3 Juli 2015 telah secara ilustratif
menunjukkan bahwa pemerintah diingatkan
untuk mengambil langkah-langkah yang secara
langsung dapat melindungi rakyat yang hidup
dalam kesatuan-kesatuan MHA. Keselamatan
mereka terancam, layanan ekologi yang diterima
rakyat dari alam rusak, produktivitasnya
menurun, dan kesejahteraannya merosot. Semua
diakibatkan kekeliruan kebijakan pemerintah
mengelola sumber daya alam.
Peneliti Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria,
dan Ketua Dewan Pengarah Prakarsa Desa
Masyarakat Hukum Adat, dan Hak Komunal Atas Tanah
Putusan MK 35/2012 dan sesudahnya
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara
nomor 35/PUU-X/2012 (selanjutnya disebut Putusan
MK 35) mengubah sejumlah pasal dalam UU no
41/1999 tentang Kehutanan, yang utamanya
menyatakan bahwa wilayah adat adalah miliknya
Masyarakat Hukum Adat (MHA). Dengan pendirian
demikian itu, hutan adat tidak lagi masuk dalam
kategori “Hutan Negara”, melainkan masuk ke dalam
kategori “Hutan Hak”. Berbeda dengan “Hutan
Negara” yang status hak atas tanah di mana hutan itu
berdiri adalah “Tanah Negara”, maka “Hutan Hak”
merupakan hutan yang berdiri di atas hak atas tanah
yang statusnya adalah “Hak Milik”, baik berupa hak
milik perorangan dan hak milik bersama dari MHA
.
Andil dari Putusan MK 35 itu adalah koreksi
dan sekaligus merupakan tonggak baru dalam politik
agraria kehutanan. Gaung Putusan MK 35 itu
menggema di kampung-kampung, dan menggerakkan
pimpinan MHA membuat plang-plang penanda klaim
kepemilikan atas Wilayah Adatnya. Plang-plang itu
merupakan klaim tandingan (counter claim) yang
dibuat sendiri oleh mereka untuk menandingi klaim
kepemilikan dari pemerintah atau pihak pemegang
lisensi dari pemerintah. Pada sejumlah kasus, klaim itu
bertumbukan pula dengan klaim masyarakat
pendatang/migran yang menikmati tanah itu karena
program pemerintah seperti transmigrasi, maupun
mobilitas tenaga kerja secara terorganisir oleh
perusahaan maupun secara sukarela. Tumbukan
klaim-klaim ini merupakan bagian dari perjalanan
konflik agraria yang kronis. Dari ratusan kasus konflik
agraria itu, Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mendata
hingga lebih dari 200 kasus korban kriminalisasi
terhadap warga dan pemimpin masyarakat adat yang
memperjuangkan wilayah adat mereka dan mendapat
pelakuan sebagai kriminal, baik sekarang dalam
statusnya sebagai narapidana, terdakwa, tersangka,
maupun dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Banyak
lagi yang sudah keluar dari jeruji penjara dan berstatus
eks-narapidana.
Setelah Putusan MK 35 keluar, seharusnya
status mereka diamnesti, diabolisi, dan direhabilitasi,
dan diberi kompensasi, bergantung pada tipologi
status perkaranya. Karena pemerintah nasional belum
membuatkan kebijakan yang secara afirmatif, maka
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan
rombongan pendukungnya meminta kepada Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo secara langsung
dalam pertemuan mereka di Istana 25 Juni 2015 lalu
agar pemerintah mengakhiri praktek-praktek
kriminalisasi atas mereka yang memperjuangkan
tanah/wilayah adat milik mereka sendiri. Pada
pokoknya mereka telah dituduh/disangka/
didakwa/ditetapkan sebagai pencuri atau perusak hak
milik pihak lain. Setelah Putusan MK 35 menjadi terang
benderang: Sesungguhnya, mereka sedang
mempertahankan hak milik mereka sendiri dengan
cara mereka sendiri dari gangguan pihak yang
merampas/mencuri tanah dan sumber daya alam dari
wilayah milik mereka.
Pendaftaran tanah hak komunal
Di tengah ketiadaan prosedur resmi
pengakuan hak kepemilikan masyarakat adat atas
wilayah adatnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang
mengeluarkan suatu terobosan baru, yakni Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 9 Tahun 2015
(selanjutnya disebut Peraturan MATR/KBPN Nomor
9/2015) yang mengatur tata cara penetapan hak
komunal atas tanah untuk masyarakat hukum adat,
dan untuk masyarakat yang berada dalam kawasan
kehutanan, perkebunan dan lainnya. Peraturan ini
m e n g h a p u s ka n Pe rat u ra n M e nte r i N e ga ra
Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
MHA yang dirumuskan oleh peraturan baru ini
adalah suatu kelompok masyarakat yang secara fisik
menguasai tanah, sumber daya alam, dan wilayah adat
mereka secara terus-menerus, bercirikan paguyuban
yang memiliki kelembagaan perangkat penguasa
adatnya, wilayah hukum adat yang jelas, dengan
pranata dan perangkat hukum adatnya masih ditaati
oleh masyarakatnya.
BPN memperkenalkan suatu jenis hak yang
baru, yakni Hak Komunal atas Tanah, yang dirumuskan
sebagai “hak milik bersama atas tanah suatu MHA”.
Dengan memperkenalkan “Hak Komunal” sebagai
suatu hak milik bersama yang dipunyai oleh suatu
MHA, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN telah
membuat terobosan hukum, tanpa membuat
amandemen atas PP Nomor 24/1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Masyarakat Hukum Adat, dan Hak Komunal Atas Tanah
Proses pemberian Hak Komunal ini dilakukan
oleh suatu tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) yang
dibentuk oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk
menentukan keberadaan MHA beserta tanahnya.
Bupati/Walikota lah membentuk Tim IP4T apabila
lokasi tanah adat itu berada di dalam wilayah
administrasi Kabupaten/Kota.Apabila tanah adat itu
berada di setidaknya dua wilayah Kabupaten/Kota,
maka Gubernur lah yang membentuk tim IP4T itu.
Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini memberi
pedoman siapa-siapa saja yang menjadi anggota Tim
IP4T itu.
Permohonan dapat diajukan oleh Kepala Adat
yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota atau
Gubernur, dengan diperlengkapi syarat: riwayat
masyarakat hukum adat dan tanahnya, kartu identitas
pemohon, dan surat keterangan dari desa atau desadesa. Tim IP4T memproses permohonan tersebut,
melakukan identifikasi dan verifikasi pemohon,
riwayat tanah, jenis penguasaan, pemanfaatan dan
p e n g g u n a a n t a n a h , m e n g i d e n t i f i ka s i d a n
menginventarisasi batas tanah, melakukan
pemeriksanaan lapangan, analisa data yuridis dan data
fisik bidang tanah, dan menyampaikan laporan hasil
kerja Tim IP4T kepada yang membentuknya. Apabila
posisi tanah adalah sedang dipersengketakan, maka
Tim IP4T ini memiliki kewenangan pula untuk
melakukan musyawarah dengan para pihak yang
bersengketa itu, meski tidak dijelaskan bagaimana
penyelesaian sengketa itu dilakukan. Hal ini penting
sekali sehubungan dengan banyaknya bidang tanah
yang berada di wilayah Masyarakat Hukum Adat sudah
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum
dengan sesuatu hak atas tanah, atau sudah
“dibebaskan” untuk keperluan instansi pemerintah
pemerintah, badan hukum atau perseorangan.
Sebagai yang membentuk Tim IP4T, Bupati/
Walikota atau Gubernur lah yang menindaklanjuti
laporan yang diterimanya dengan membuat
penetapan Hak Komunal atas nama MHA dan
menyampaikan penetapan itu ke Kantor Wilayah BPN,
atau Kantor Pertanahan setempat untuk kemudian
dilakukan proses pendaftaran hak atas tanah.
Sertifikat hak komunal akan dikeluarkan sebagai tanda
kepemilikan dari Masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan.
Kemanjuran dan Keterbatasan
Pertimbangan utama dari dihadirkannya
peraturan itu adalah bahwa sebagian rakyat telah
menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama
dan membangun tempat hidup dan mencari
penghidupan, sehingga perlu diberikan perlindungan
hukum oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan
cita-cita tanah untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini telah
mendapat tinjauan kritis dari Maria Sumarjono dalam
“Ihwal Hak Komunal atas Tanah”, Kompas 6 Juli 2015.
Perlu disadari bahwa tidak semua urusan hak
MHA atas Wilayah Adat bisa diselesaikan dengan
Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini. Penulis
yakin dengan tersedia pilihan ini, sepanjang belum ada
Undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai
Hak-hak Masyarakat Hukum Adat, maka siapapun yang
mencoba tata cara ini sesegera dan secermat mungkin
kita pelajari pelaksanaannya, kemajuran dan
ke t e r b a t a s a n n y a m e n y e l e s a i k a n m a s a l a h
ketidakpastian penguasaan tanah MHA.
Peraturan ini mengatur bahwa manakala Tim
IP4T menemukan lokasi dari tanah yang diinventarisasi
itu berada dalam Kawasan Hutan, maka rekomendasi
dari Tim IP4T adalah menyerahkan hasil analisisnya
pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(LHK), c.q. Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan,
“untuk dilepaskan dari kawasan hutan.” Penulis
berpendapat bahwa terdapat pilihan lain bahwa
dengan penetapan status kepemilikan bersama atas
tanah adat sebagai Hak Komunal tidak berarti wilayah
adat itu niscaya dikeluarkan dari Kawasan Hutan,
melainkan dikukuhkan oleh Kementerian LHK sebagai
Hutan Hak berdasarkan Hak Komunal, dan tetap
berada dalam Kawasan Hutan. Kawasan Hutan dapat
berupa Hutan Negara (yang berdiri di atas tanah
Negara), dan Hutan Hak (yang terdiri dari Hutan Pribadi
yang berdiri di atas tanah milik pribadi, dan Hutan Adat
yang berdiri di atas hak kepemilikan bersama atas
wilayah adat).
Agenda Kebijakan
Kita dapat membedakan antara wacana “hakhak bawaan” yang bermuara ke agenda “pengakuan
hak” dengan “hak-hak berian” yang berujung pada
agenda “pemberian hak”. Peraturan ini membedakan
Masyarakat Hukum Adat, dan Hak Komunal Atas Tanah
“pengakuan hak” yang diberlakukan atas keberadaan
subjek MHA, sedangkan “pemberian hak” adalah
penetapan Pemerintah memberikan suatu hak atas
“Tanah Negara”. Dengan merujuk pada pembedaan
ini, UUPA sebenarnya menyediakan pertemuan
keduanya, yakni bagaimana kewenangan yang
dipegang oleh Pemerintah, yakni Hak Menguasai dari
Negara (HMN), dapat dikuasakan kepada MHA (pasal 2
ayat 4 UUPA). Hingga kini belum ada contoh dan tata
cara bagaimana hal itu diwujudkan. Kalau hal ini
terjadi, berarti pemerintah memberi jaminan akan
keberadaan Hak Ulayat, dan dalam konteks lebih luas,
hal itu menjamin keberlangsungan hidup dari hukumhukum adat yang beragam di Nusantara. Keperluan
mengadakan pengaturan mengenai pemberian kuasa
HMN kepada MHA ini semakin penting, karena
Pe rat u ra n M AT R / K B P N N o m o r 9 / 2 0 1 5 i n i
menghapuskan Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala BPN nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
Sesungguhnya ini adalah masalah perjuangan
tanah air sebagaimana saya tulis di “Masyarakat Adat
dan Perjuangan Tanah Airnya”, Kompas 11 Juni 2012.
Masalah pengakuan dan perlindungan Hak-hak MHA
mesti diurus secara serius dan diwujudkan dalam
perundang-undangan tersendiri. Presiden perlu
membentuk suatu Satuan Tugas Pengakuan dan
Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang
bersifat ad hoc agar berbagai aspek perubahan
perundang-undangan, praktek pemerintah hingga
perlindungan langsung pada korban dapat dijalankan
secara terfokus dan dari waktu ke waktu terjamin
kemajuan. Mari kita dukung Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (MLHK), DR. Siti Nurbaya, yang
telah diminta Presiden untuk memimpin proses
pembentukannya.
Beberapa Catatan
Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015
Erasmus Cahyadi, SH.1
Pengantar
25 Mei 2015, Pemerintah mengundangkan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada
dalam Kawasan Tertentu (selanjutnya disebut
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015), dan sekaligus
menghapus Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Sebelum melihat lebih dalam
mengenai isi dari Permen tersebut, perlu
diketengahkan perkembangan hukum dan kebijakan
apa yang telah ada sebelumnya agar mudah bagi kita
menilai apakah Permen ini memperkuatnya melalui
terobosan-terobosan baru atau malah sebaliknya
malah menimbulkan kerumitan baru dalam upaya
percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat
adat dan hak atas wilayah adat sebagaimana dapat
dibaca di dalam 6 (enam) poin masyarakat adat di
dalam Nawacita.
Dalam konteks itulah, tulisan singkat ini akan
mengulas perkembangan hukum terutama pada
tingkat nasional paska Putusan MK 35/2012 yang
dibacakan pada 16 Mei 2013 silam untuk kemudian
dihubungkan dengan Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015.
Hal-hal pokok yang terkandung di dalam
Putusan MK 35/2012
Putusan MK 35 menandai babak baru
pengakuan negara terhadap masyarakat adat di
Indonesia. Putusan tersebut mengakui masyarakat
adat sebagai “penyandang hak” atau subjek hukum
atas wilayah adatnya. Dengan itu hendak dikatakan
bahwa Putusan MK 35 itu adalah suatu putusan yang
menjadi dasar bagi suatu penataan kembali
penguasaan tanah dan sumber daya alam yang selama
ini berbasis kepada negara dan kepentingan swasta.
Lebih lanjut, Putusan MK 35 juga menjadi dasar bagi
pemulihan hak masyarakat adat yang selama ini
mengalami tekanan dari pihak luar yang membuat
mereka tidak bisa memperoleh manfaat secara
maksimal dari wilayah, tanah dan sumber daya yang
dimilikinya.
Lima hal penting dari Putusan MK 35 tersebut
adalah: Pertama, pernyataan Mahkamah Konstitusi
bahwa UU Kehutanan yang selama ini memasukan
hutan adat sebagai bagian dari hutan negara
merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak
masyarakat adat dan merupakan pelanggaran
konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
menyebutkan: “Oleh karena itu, menempatkan hutan
adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan
pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat” (Putusan MK 35/PUU-X/2012. hal. 173-4).
Kedua, Hutan adat dikeluarkan posisinya dari
hutan negara kemudian dimasukan ke dalam kategori
hutan hak. Di dalam Putusan MK 35 secara tegas
disebutkan dengan cetak tebal bahwa “hutan adat
bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara,
kategori hutan hak di dalamnya haruslah
dimasukkan hutan adat2. Lebih lanjut di dalam
putusan MK itu disebutkan bahwa posisi hutan adat
merupakan bagian dari tanah ulayat masyarakat
hukum adat.
Ketiga, pemegang hak atas tanah adalah
pemegang hak atas hutan. Dalam putusannya MK
menyampaikan bahwa ada tiga subjek hukum yang
diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat
hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di
atasnya terdapat hutan.
Keempat, menyangkut kewenangan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa wewenang
negara atas hutan adat dibatasi sejauh mana isi
wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan
adat (yang disebut pula hutan marga, hutan
pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam
Beberapa Catatan Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015
cakupan hak ulayat karena berada dalam satu
kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat
hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri
(traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de
volksfeer) dan mempunyai suatu badan pengurusan
pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan
wilayahnya.
Kelima, adanya penegasan bahwa masyarakat
adat merupakan penyandang hak. Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa masyarakat adat
merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban.
Perkembangan Kebijakan Paska MK 353
Ada banyak kebijakan di tingkat nasional
setelah Putusan MK 35 sebagaimana tampak di dalam
tabel 1.
Berbagai respons kebijakan tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki
kesepahaman umum mengenai Putusan MK 35,
sehingga respons yang dikeluarkan tampak tidak saja
sektoral tetapi juga tidak saling mendukung. Lebih
lanjut, kebijakan paska putusan MK malah
meningkatkan tindakan represi terhadap masyarakat
adat4 meskipun UU P3H merumuskan ketentuan
pengecualian terhadap praktik pengelolaan tradisional
masyarakat adat sebagai tindak pidana. Hal lain dari
kebijakan-kebijakan yang lahir paska Putusan MK 35
adalah adanya suatu situasi umum dimana pemerintah
tampak tidak memiliki agenda untuk merumuskan
satu kebijakan dasar yang menjadi pegangan dalam
penyusunan serangkaian kebijakan setelahnya yang
lebih administratif. Sebagai contoh, ketidakjelasan
pengakuan wilayah adat mengakibatkan hal-hal baik
dari ratifikasi Protokol Nagoya tidak dapat dinikmati
oleh masyarakat adat.
Hal-hal pokok dalam Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015
Di dalam teks, Permen mengandung beberapa
dasar pertimbangan, antara lain adalah: Permen
dimaksudkan sebagai bagian dari upaya pelaksanaan
reformasi hukum di bidang agraria dan pengelolaan
sumber daya alam sebagaimana telah diamanatkan
Beberapa Catatan Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015
oleh TAP MPR IX/2001 silam. Selain itu, juga
menegaskan pengakuan terhadap hak komunal atas
tanah sebagai HAK MILIK suatu masyarakat hukum
adat. Hal lain adalah, ingin menegaskan bahwa tanah
adalah untuk rakyat termasuk masyarakat adat dan
dan hukum harus melindungi kepemilikan rakyat atas
tanah.
bersesuaian dengan Putusan MK 35/2012 yang
meletakkan hak masyarakat adat atas wilayah adat
sebagai hak bawaan, yaitu hak yang tidak bersumber
dari adanya negara, yang karenanya negara hanya
perlu "mengakui" sejarah kepemilikan masyarakat
adat atas wilayah adat dan mencatatkannya di dalam
administrasi pertanahan.
Permen ini dapat dipandang sebagai terbosan
hukum penting yang mempermudah masyarakat adat
untuk memperoleh kepastian hukum atas tanah dan
wilayah adatnya terutama karena Permen tidak
menyerahkan pengakuan terhadap tanah dan wilayah
adat ke dalam suatu proses yang sangat politis melalui
pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota.
Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015 telah ada beberapa kebijakan
yang mengatur tentang masyarakat adat termasuk hak
atas tanah dan wilayah adatnya. Beberapa di antaranya
adalah Permenag No. 5/1999, UU No.41/1999 tentang
Kehutanan. Setidaknya keduanya mengharuskan
adanya Peraturan Daerah. Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015 menawarkan sesuatu yang lebih mudah
dengan mengatur mekanisme yang lebih administratif
melalui pembentukan Tim IP4T. Di samping itu, juga
menawarkan suatu proses yang lebih partisipatif
dengan melibatkan tokoh-tokoh adat dan lembagalembaga swadaya masyarakat untuk masuk ke dalam
Tim IP4T.
Kedua, Permen merefleksikan pemahaman
pemerintah terhadap kawasan hutan yang tidak
berubah, yang masih menyamakan begitu saja
"kawasan hutan" sebagai "hutan negara". Cara
pandang ini setidaknya terbaca dari ketentuan Pasal 10
Permen ATR yang yang menyatakan bahwa "dalam hal
hasil analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
diketahui tanah yang dimohon berada di dalam
kawasan hutan, tim IP4T menyerahkan hasil analisis
kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan cq. Dirjen yang
mempunyai tugas di bidang planologi kehutanan,
untuk dilepaskan dari kawasan hutan"6.
Permasalahan dalam Teks yang Potensial
Menjadi Masalah dalam Penerapan
Meskipun Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015
tampak mempermudah proses pengakuan hak
masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya,
tetapi jika kita mengamini bahwa seyogyanya Putusan
MK 35 menjadi pegangan pemerintah dalam membuat
kebijakan terkait masyarakat adat dan wilayah
adatnya, maka akan segera terlihat bahwa Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015 ini mengandung beberapa
persoalan pelik yang karenanya potensial bermasalah
jika dipaksakan untuk dilaksanakan.
Pada level konsep, Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015 mengandung beberapa masalah, antara lain:
Pertama, Permen menggunakan cara pandang lama
yang menempatkan negara sebagai satu-satunya
entitas yang memegang kendali mutlak pada tanah
dan sumber daya alam, termasuk wilayah-wilayah adat
dan karenanya negaralah yang "memberikan" hak
kepada masyarakat adat termasuk hak atas wilayah
adat. Menurut hemat saya, cara pandang ini tidak
Pada level operasional, Permen juga potensial
bermasalah jika dipaksakan berlakunya. Beberapa hal
dapat dikemukakan di sini. Pertama, Permen tidak
keluar dari rezim pengakuan bersyarat terhadap
keberadaan masyarakat adat. Bahkan pengakuan
keberadaan masyarakat adat ditandai dengan
pemenuhan semua kriteria keberadaan masyarakat
adat (pemenuhan secara kumulatif semua kriteria
keberadaan masyarakat adat).
Kedua, Permen memang memungkinkan
terjadinya suatu proses penyelesaian sengketa yang
akan dilakukan oleh tim IP4T. Tetapi bagaimana
sengketa itu diselesaikan tidak dijelaskan oleh Permen
ini selain daripada dilakukan secara musyawarah
dengan para pihak. Di samping itu, penyelesaian
sengketa apapun yang dipilih tidaklah fundamental. Ini
disebabkan karena permen ini mengatur bahwa hak
apapun (jadi termasuk hak guna usaha, dan hak
lainnya) yang sudah dimiliki oleh pihak lain di atas
tanah komunal itu tetap sah. Artinya penyelesaian
konflik dalam konteks situasi demikian tidak akan
berakhir pada batalnya suatu hak atas tanah yang telah
dimiliki oleh pihak lain semisal perusahaan
perkebunan atau perusahaan HPH di atas tanah
komunal itu.
Ketiga, Permen potensial memicu konflik
horisontal antara masyarakat adat dengan kelompok
masyarakat lain. Dalam sebuah diskusi terkait Permen,
menunjukkan bahwa yang menguasai wilayah-wilayah
Beberapa Catatan Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015
adat bukan hanya entitas negara atau bisnis tetapi juga
kelompok-kelompok masyarakat.
Jika kita mengacu pada pendapat MK melalui
Putusan MK 35/2012 yang menyatakan bahwa dengan
menempatkan hutan (wilayah) adat ke dalam hutan
negara maka selama ini negara telah melakukan
pengabaian, maka Permen ini seharusnya disusun
dalam kerangka tidak saja pengakuan hak masyarakat
adat atas wilayah adatnya tetapi juga melakukan
pemulihan hak masyarakat adat tersebut. Melalui
kesadaran untuk memulihkan hak masyarakat adat
atas wilayah adatnya, maka Permen mestinya
mengikuti pengaturan UU Desa terkait dengan
penggunaan-penggunaan kriteria keberadaan
masyarakat adat yang memandang keberadaan
masyarakat adat tidak harus pemenuhan secara
kumulatif semua kriteria yang ditentukan tetapi
pemenuhan secara fakultatif. Melalui kesadaran akan
pemulihan hak itu pula persoalan konflik dibuka untuk
diselesaikan, bukan dengan melupakannya. Lebih
jauh, TAP MPR IX/2001 yang dipajang di bagian
mengingat, sama sekali tidak terrefleksi di dalam teks
Permen terutama mengenai pentingnya penyelesaian
konflik sebagai bagian penting dari pembaruan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam.
Penutup
Pemerintah akan terus menerus ditagih untuk
mempercepat pengakuan masyarakat adat dan haknya
termasuk atas wilayah adat, terutama setelah Joko
Widodo-Jusuf Kalla berkomitmen salah satunya untuk
itu. Jika Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 ini adalah
salah satu wujud dari pelaksanaan komitmen itu,
tampaknya pemerintah perlu segera merevisinya
sebelum dilaksanakan.
Harus diakui bahwa Peraturan MATR/KBPN
No. 9/2015 memang berisi hal-hal yang sangat baik
dalam konteks memecah kebuntuan dan kelambanan
hukum selama ini dalam merespons tuntutan
masyarakat adat. Namun demikian, peraturan ini
terjerembab pada ketidakmampuan menangkap
realitas lapangan, dimana wilayah adat yang oleh
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 hendak diakui
sebagai hak komunal masyarakat adat pada dasarnya
telah banyak dihaki pihak lain.
Peraturan ini tidak sensitif dengan tidak
dibukanya ruang penyelesaian konflik. Selain itu juga
tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik
terbuka antara masyarakat adat dengan kelompok
masyarakat yang lain yang menguasai suatu wilayah
yang sama.
Catatan Kaki
1
2
3
4
5
6
Direktur Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, halaman 179
Sebagian besar pada bagian ini dikutip dari kajian Arizona, Cahyadi, Arman dan Sinung Karto yang telah dipublikasikan
AMAN bersama EPISTEMA INSTITUTE pada tahun 2015 dengan judul "Kepemimpinan Presiden Joko Widodo Menjadi
Kunci Percepatan Pelaksanaan dan Perubahan Fundamental: Refleksi Dua Tahun Putusan MK 35/PUU-X/2012.
Dalam catatan AMAN, hingga akhir tahun 2014 setidaknya terdapat 18 orang anggota masyarakat adat telah dijerat
dengan UU P3H. Sebagia besar penyebabnya hanya persoalan sepele, misalnya melintasi kawasan hutan yang adalah
wilayah adat sambil membawa parang. Adapula yang ditangkap hanya karena mengambil kayu api.
Pasal 9 Permen ATR pada pokoknya menggambarkan bahwa setelah tim IP4T melakukan pemeriksaan lapangan, maka
tim IP4T kemudian melakukan analisa data fisik dan data yuridis bidang tanah masyarakat adat yang berada di
kawasan tertentu.
Huruf miring dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai cara pandang pemerintah, dalam konteks ini
adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang, yang tidak berubah terhadap kawasan hutan paska Putusan MK 35/2012.
Ketentuan Pasal 10 dalam Permen ATR ini akan berbeda jika pemahaman tentang kawasan hutan itu berubah seturut
maksud dari Putusan MK 35/2012. Sebagaimana kita ketahui bahwa Putusan MK 35/2012 tidak memindahkan hutan
(wilayah) adat dari dalam kawasan hutan keluar kawasan hutan. Putusan MK 35/2012 hanya memindahkannya dari
dalam "hutan negara" ke dalam "hutan hak". Ini artinya bahwa di dalam kawasan hutan itu ada dua jenis hutan.
Pertama adalah hutan negara, dan kedua adalah hutan hak. Melalui Putusan MK 35/2012, hutan adat tidak lagi
dijadikan sebagai bagian dari hutan negara, tetapi menjadi salah satu jenis hak atas hutan di dalam hutan hak.
Artinya adalah bahwa kawasan hutan itu tidak sama dengan hutan negara. Dengan demikian, maka tidaklah benar
jika hutan adat atau wilayah adat atau dalam konteks permen ATR adalah hak komunal, dikeluarkan dari kawasan
hutan.
14
“Jauh Panggang dari Api”:
Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal
Nurul Firmansyah, SH.1
Pengantar
Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat
dalam Kawasan Tertentu (kemudian disebut Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015). Peraturan yang dikeluarkan
pada 25 Mei 2015 ini semestinya diletakkan dalam
rangka menjawab permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat hukum adat yang selama ini dipaksa untuk
melepaskan ikatannya dengan hutan, tanah, air dan
kekayaan alam yang mereka miliki. Apakah peraturan
baru ini mampu menjawab permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat hukum adat terutama dalam kaitannya
dengan hak atas sumber daya alamnya, atau sebaliknya,
peraturan ini malah menambah masalah baru?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka
secara konseptual kita harus memperhatikan bagaimana
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 tersebut mengatur
mengenai subyek hak, ikatan-ikatan hukum yang
berkaitan dengan tanah dan sumber daya alamnya serta
bagaimana hukum mengatur tentang objek tanah dan
sumber daya alam itu sendiri2. Ternyata Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015 tidak saja menempatkan
masyarakat hukum adat sebagai subyek hak komunal
atas tanah, tetapi juga masyarakat pada kawasan
tertentu, yaitu masyarakat yang berada di kawasan
hutan atau perkebunan.
Sementara itu, Masyarakat Hukum Adat dalam
peraturan ini dijabarkan sebagai masyarakat yang terikat
dengan hukum adat, baik secara geneologis (persamaan
garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat
tinggal). Keberadaan dua subyek hak atas tanah
komunal dalam Peraturan tersebut punya implikasi
terhadap bentuk ikatan hukum dengan tanah komunal.
Masyarakat Hukum Adat memiliki ikatan sosialtradisional (geneologis dan atau teritorial), sementara
untuk masyarakat tertentu merujuk kepada ikatan
penguasaan “de facto” atas tanah3. Situasi tersebut
berpotensi memunculkan persoalan hukum,yaitu
saling tumpang tindih antara masyarakat hukum adat
dan masyarakat yang berada pada kawasan tertentu
pada objek yang sama.
Selanjutnya, Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015 menggunakan kelembagaan ad hoc, yaitu IP4T
yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah (Provinsi dan
atau kabupaten/kota) untuk memastikan keberadaan
masyarakat hukum adat sebagai subyek hak dengan
parameter-parameter yang telah ditentukan dalam
Peraturan MATR/KBPN No.9/2015 ini 3 . Hal ini
membuatnya tidak sinkron dengan pengaturan lain
mengenai penetapan masyarakat hukum adat yang
menghendaki penetapan dalam bentuk Peraturan
Daerah atau Surat Keputusan Kepala Daerah seperti
dalam UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU
Desa, Perber 4 K/L No. 8/SKB/X/2014 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada di
Kawasan Hutan, Permendagri 52/2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat. Ketidaksinkronan aturan ini melahirkan
ketidakpastian hukum tentang eksistensi masyarakat
hukum adat sebagai subyek hak dan berakibat pada
ketidakpastian perlindungan hukum terhadap hakhaknya terutama pada kawasan hutan dan sektor
sumber daya alam lainnya.
15
“Jauh Panggang dari Api”: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal
Simplikasi masyarakat hukum adat sebagai
subyek hak dan perkerdilan hak-haknya
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 mencabut
Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permenag No. 5/1999),
namun Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 masih
menggunakan kriteria keberadaan masyarakat hukum
adat sebagaimana Permenag No. 5/1999, dengan
perbedaan pada prosedur penetapan masyarakat
hukum adat sebagai subyek hak dan penetapan haknya
yang tidak lagi menggunakan penelitian oleh
Pemerintah Daerah, namun melalui lembaga
kepanitiaan ad hoc, yaitu Tim IP4T.
T i m I P 4 T d i b e n t u k o l e h Pe m e r i n ta h
Kabupaten/kota dan atau Provinsi yang terdiri dari unsur
BPN, Dinas Kehutanan, Akademisi, LSM dan Perwakilan
Masyarakat Hukum Adat bersangkutan. IP4T bertugas
untuk melaksanakan identifikasi, verifikasi dan
pemeriksaan lapangan yang bertujuan untuk
menghasilkan laporan tentang keberadaan masyarakat
hukum adat sebagai subyek hak, data fisik dan yuridis
penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat,
termasuk batas-batas wilayahnya. Selanjutnya,
Bupati/Walikota dan atau Gubernur menetapkan hak
komunal masyarakat hukum adat tersebut, yang
selanjutnya disampaikan kepada kantor BPN setempat
untuk didaftarkan hak atas tanahnya.
Penetapan hak komunal atas tanah oleh
Gubernur dan Bupati/Walikota dalam Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015 tidak dijelaskan secara tertulis
menggunakan Perda atau Surat Keputusan Kepala
Daerah. Namun dalam praktek hukum, penetapan objek
tertentu oleh Kepala Daerah melalui Surat Keputusan
Kepala Daerah. Dalam hal ini, penetapan masyarakat
hukum adat dan hak komunal atas tanah dilakukan
secara bersamaan dalam satu Surat Keputusan Kepala
Daerah. Hal ini perlu dilihat dalam kerangka melakukan
sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan
lain yang mengatur hal serupa.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka dapat
dibandingkan dengan kerangka hukum untuk penetapan
subyek masyarakat hukum adat dan desa adat yang
sudah dalam dalam peraturan perundang-undangan
sebagaimana dalam tabel 1.
Dari tabel 1 terlihat bahwa objek hak
masyarakat hukum adat adalah wilayah adat, baik itu
wilayah adat yang berada di kawasan hutan (hutan adat),
Tabel 1. Penetapan Subjek Hukum Masyarakat Hukum Adat dan Desa Adat
No
1
2
Kelembagaan
Masyarakat Hukum
Adat
Masyarakat Hukum
Adat
Desa Adat
16
Bentuk Aturan Daerah
Ruang Lingkup
Penetapan Masyarakat
Pengaturan
hukum Adat
Perda Provinsi, Perda
1. Penetapan tidak
kabupaten/kota, surat
dibatasi batas wilayah
keputusan
kabupaten/kota dan
bupati/walikota, surat
kawasan hutan namun
keputusan bersama
merujuk pada wilayah
bupati/walikota
adat
2. Punya hak terhadap
tanah dan hutan
3. Penguasaan berdimensi
publik dan privat adat
Perda Provinsi dan
1. Terintegrasi dengan
Perda Kabupaten / kota
sistem pemerintahan
2. Merujuk pada wilayah
adat
3. Punya kewenangan
pemerintahan dan hak
asal usul termasuk hak
tanah, hutan dan
sumber daya alam
4. Kelembagaan hybrid :
modern-adat
5. Lebih cenderung pada
penguasaan berdimensi
publik adat
Dasar Hukum
1. Undang-Undang
Kehutanan
2. Permenhut 32/2015
tentang hutan hak
3. Permendagri 52/2014
4. Peraturan perundangundangan sektor
sumber daya alam
1. UU Desa
“Jauh Panggang dari Api”: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal
diluar kawasan hutan (tanah ulayat) dan sumbersumber daya alam lainnya yang berada diatas wilayah
adat. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup hak dan
kewenangannya, yaitu berhubungan dengan jenis-jenis
haknya yang diatur.
Dalam wilayah adat, hak tidak hanya ada satu
jenis, namun seperangkat hak (Bundle of Rights) yang
dimiliki oleh subyek-subyek hak yang berbeda, namun
terhubung dalam ikatan persekutuan hukum
masyarakat hukum adat. Hak atas wilayah adat
melingkupi hak yang berdimensi publik dan berdimensi
privat. Hak publik adat adalah hak yang mirip dengan hak
menguasai Negara. Hak publik adat melingkupi hak
untuk menentukan hubungan hukum antara
anggota/klan dalam masyarakat hukum adat atau di luar
masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, hak
untuk mengatur peruntukan ruang, dan hak-hak untuk
mengalokasikan lahan dan ruang untuk kepentingan
publik masyarakat hukum adat, misalnya penentuan
hutan larangan.
Dalam konteks ini, subyek hak publik adat
adalah persekutuan masyarakat hukum adat dan atau
desa adat yang dapat berupa nagari, negeri, kasepuhan
dan lain-lain. Sedangkan hak privat adat adalah hak
anggota dan atau klan (keluarga besar) yang merupakan
bagian dari persekutuan masyarakat hukum adat yang
lebih luas. Anggota/Klan masyarakat hukum adat ini
mempunyai hak untuk memanfaatkan tanah dan
sumber daya alamnya untuk kepentingan individu,
keluarga inti dan keluarga besarnya (Klan)-nya yang
berada di tanah milik adat. Model paling jelas dalam
konteks hak privat adat ini adalah tanah ulayat kaum di
Minangkabau.
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 tidak
merujuk konsep hak ulayat seperti yang disebutkan oleh
Maria SW Soemardjono dalam artikelnya di harian
Kompas. Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 ini cocok
merujuk pada penetapan hak adat yang berdimensi
privat seperti tanah ulayat kaum di Minangkabau,
namun tidak untuk hak ulayat yang berdimensi publik.
Dengan kata lain, Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015
diartikan sebagai upaya mengkerdilkan hak ulayat
sebatas hak komunal yang berdimensi privat belaka.
Persoalan hukum lainnya muncul dengan
pemberlakukan Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 ini:
Pertama, bagaimana dengan status hak ulayat
(berdimensi publik) sejak Permenag No. 5/1999 dicabut
oleh Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015?; Kedua,
bagaimana dengan hak privat adat dan hak ulayat yang
berada di kawasan hutan yang mempersyaratkan
penetapan masyarakat hukum adat sebagai subyek hak
terlebih dahulu.
Pertama, secara normatif an sich, penetapan
hak ulayat tidak lagi ada untuk masyarakat hukum adat
sejak dicabutnya Permenag No. 5/1999. Namun dalam
konteks desa adat, hak ulayat melebur dalam aset desa
adat, sehingga penetapan desa adat merupakan bagian
dari penetapan hak asal usul dan kewenangan desa adat
atas atas wilayah adat yang berdimensi publik. Namun
ketidakpastian hukum muncul pada masyarakat hukum
adat non desa adat yang tidak lagi memiliki rujukan
hukum ketika Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015
mencabut Permenag no. 5/1999.
Hal itu juga membuat pengaturan mengenai
ulayat nagari yang ada dalam Perda Tanah Ulayat di
Sumatera Barat mengalami ketidakpastian hukum. Oleh
karena itu, yang paling memungkinkan adalah merubah
status nagari sebagai desa adat yang memasukkan ulayat
nagari sebagai aset nagari desa adat atau mengubah
penguasaan ulayat nagari menjadi hak komunal dengan
membagi-bagikannya kepada suku-suku dan atau kaumkaum yang ada di nagari.
Kedua, Prosedur penetapan masyarakat hukum
adat sebagai subyek hak, baik itu dalam bentuk desa
adat maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan
Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah
menggunakan mekanisme yang beragam. Aturan
peralihan Peraturan MATR/KBPN No.9/2015
mengakomodasi keberagaman mekanisme penetapan
tersebut, dengan memastikan penetapan masyarakat
hukum adat dan hak-haknya yang sudah ada maupun
yang sedang berproses diakui, sehingga hak-hak
masyarakat adat tersebut dapat ditetapkan sebagai hak
komunal.
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 juga
berpotensi melahirkan konflik horizontal antar
masyarakat hukum adat dengan non masyarakat hukum
adat yang mempunyai penguasaan pada objek yang
sama di atas wilayah adat. Situasi ini mengkhawatirkan
pada wilayah-wilayah adat yang dikuasai oleh kelompokkelompok masyarakat yang sedang berkonflik dengan
masyarakat hukum adat.
Selain itu, Permenag no. 9/2015 ini mengabaikan proses sosial yang telah dibangun selama ini,
yaitu berupa rekognisi masyarakat hukum adat terhadap
non masyarakat hukum adat yang telah menguasai
wilayah adat tertentu sebagai upaya penyelesaian
17
“Jauh Panggang dari Api”: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal
konflik. Misalnya rekognisi nagari-nagari di beberapa
kabupaten di Sumatera Barat terhadap warga
transmigran melalui pengakuan kelompok masyarakat
ini sebagai “anak kemenakan” atau dianggap sebagai
bagian dari anggota masyarakat hukum adat, potensial
goyah dengan dimungkinkannya penetapan hak
komunal pada kelompok-kelompok masyarakat
tersebut.
komunal. Penyamaan tersebut menyederhanakan
konsep hak komunal secara khusus dan hak ulayat secara
umum, sebatas pada penguasaan efektif atas wilayah.
Ikatan-ikatan atas tanah dan sumber daya alam oleh
masyarakat hukum adat yang berbasis tradisi, dan
proses sosial penyelesaian konflik antar masyarakat
melalui proses rekognisi sebagai bagian dari asimilasi
sosial seolah-olah di luar optik Peraturan MATR/KBPN
No. 9/2015.
Penutup
P e r a t u r a n M AT R / K B P N N o . 9 / 2 0 1 5
menyederhanakan persoalan hak-hak masyarakat
hukum adat sebatas pada hak komunal. Permenag ini
menyingkirkan (eksklusi) realitas keberagaman tentang
jenis dan karakter hak-hak masyarakat hukum adat atas
tanah dan sumber daya alamnya sebagai suatu
perangkat hak yang kompleks (Bundle of Rights), dan
menyederhanakan masyarakat hukum adat sebagai
subyek hak artifisial yang utuh dan tidak terbagi-bagi
dalam unit-unit sosial yang lebih kecil, akibatnya;
Peraturan MATR/KBPN No.9/2015 ini menjadi pelebar
jurang (gap) antara hak-hak masyarakat hukum adat
dengan hukum. Alih-alih melindungi hak masyarakat
hukum adat, ternyata Peraturan MATR/KBPN No.9/2015
ini malah menyingkirkan hak-hak masyarakat hukum
adat dan bahkan potensial melahirkan konflik sosial yang
lebih luas dan kronis.
Sepatutnya, Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015ini dikaji ulang sebagai aturan penetapan hak
masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya
alam, terutama terkait dengan; Pertama, tidak adanya
pengakuan terhadap keberagaman jenis dan karakter
hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber
daya alam. Kedua, penyamaan masyarakat hukum adat
dan non masyarakat hukum adat sebagai subjek hak
1
2
3
4
Daftar Pustaka
Andiko Sutan Mancayo dan Nurul Firmansyah.2014,
Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk
Pengakuan Masyarakat Adat : Kiat-Kiat Praktis
untuk Pendamping Hukum Rakyat (PHR),
Masyarakat Sipil (Pelaku Advokasi) dan Pemimpin
Masyarakat Adat, Jakarta : HuMa
Firmansyah, Nurul dan Yance Arizona.2008,
Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan: Kajian
atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No.
6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya, Jakarta: HuMa & Qbar
Harsono, Budi. 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Jakarta:
Djambatan.
Maria SW Soemardjono. 2015. Ihwal Hak Komunal Atas
Tanah. dalam Opini Harian Kompas, tanggal 6 Juli
2015.
Rachman, Noer Fauzi dkk.2012. Kajian Kritis Tentang
Permenag 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
Jakarta: Epistema Institute.
Praktisi Hukum dan Penggiat Perkumpulan HuMa Indonesia
Maria SW. Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria FH UGM pada harian Kompas, tanggal 6 Juli 2015 menulis artikel
yang berjudul “Ihwal Hak Komunal atas Tanah.” Beliau menyebutkan dengan baik bagaimana pemahaman atas hak
sebagai berikut ;“ …. Ketika berbicara tentang ”hak”, ada empat unsur yang harus dipenuhi, yakni subyek, obyek,
hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban, dan perlindungan hukumnya. Unsur subyek menempati
kedudukan terpenting. Ketidakjelasan tentang subjek akan berimbas pada ketidakjelasan tiga unsur
lainnya…”Pemahaman empat unsur hak tersebut penting untuk menjelaskan konstruksi hukum masyarakat hukum
adat atas tanah dan sumber daya alamnya, terutama kejelasan tentang masyarakat hukum adat sebagai subjek hak.
Indikator penguasaan de facto oleh masyarakat yang berada di kawasan hutan atau perkebunan dalam Permenag
9/2015 ini dapat dilihat dari persyaratan kelompok masyarakat pada kawasan tertentu (Pasal 3 ayat 2), yaitu : (1)
Menguasai secara fisik selama 10 tahun, (2) Memungut hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, (3) Sumber daya
alam yang dikuasai sebagai sumber kehidupan dan mata pencaharian masyarakat tersebut, (4) Adanya kegiatan sosial
dan ekonomi yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat.
Paramater yang ditentukan Permenag no. 9/2015 adalah prasyarat masyarakat hukum adat yang bisa mendapatkan
hak komunal (3 ayat 1), yaitu : (1) Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban, (2) Ada kelembagaan dalam
perangkat penguasa adatnya, (3) Ada wilayah hukum adatnya yang jelas, (4) Ada pranata dan perangkat hukum, yang
masih ditaati.
18
Pengakuan Tanah Ulayat di Papua
dan Kaitannya dengan
Permen Hak Komunal Atas Tanah
Yusak Elisa Reba, S.H., M.H1
Pengantar
Pengakuan atas tanah ulayat di Papua bukan
merupakan sesuatu yang baru diperbincangkan setelah
perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), namun
telah menjadi pemikiran dasar dari pembentukan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus).
Penyusun materi muatan RUU Otsus yang berasal dari
kalangan akademisi di Papua telah memikirkan hal
tersebut sebelum adanya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam ketentuan Pasal 43 UU Otsus mengatur bahwa :
(1)
(2)
(3)
(4)
1
Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui,
menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat
dengan berpedoman pada ketentuan peraturan
hukum yang berlaku.
Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1)
meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan
hak perorangan para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.
Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut ketentuan hukum adat setempat,
dengan menghormati penguasaan tanah bekas
hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah
menurut tatacara dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan
warga masyarakat hukum adat untuk keperluan
apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan
masyarakat hukum adat dan warga yang
bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan
mengenai penyerahan tanah yang diperlukan
maupun imbalannya.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota
memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian
sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara
adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan
yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
Pengaturan tersebut memiliki makna bahwa:
Pertama, Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui,
menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat meliputi hak
ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para
warga masyarakat hukum adat dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan. Kedua,
mekanisme musyawarah menyepakati penyediaan
tanah ulayat dan tanah perorangan bagi kepentingan
apapun yang disertai dengan pemberian imbalan.
Ketiga, sarana mediasi sebagai suatu model yang
digunakan dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat
dan tanah perorangan bagi terwujudnya keadilan dan
memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.
Upaya pemerintah Provinsi Papua untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 43 UU Otsus yaitu
dengan membentuk Peraturan Daerah Khusus Nomor
23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum
Adat atas Tanah (Perdasus Hak Ulayat). Materi muatan
dalam Perdasus tersebut masih sangat umum, dan
hingga tahun 2015 belum dapat efektif berlaku.
Sebagian kalangan masyarakat maupun penyelenggara
pemerintahan daerah pada Kabupaten/Kota belum
mengetahui Perdasus tersebut. Keberadaan UU Otsus
dan Perdasus Hak Ulayat, menunjukkan bahwa
pengakuan tanah ulayat di Papua bukan terletak pada
Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura
19
Pengakuan Tanah Ulayat di Papua dan Kaitannya dengan Permen Hak Komunal Atas Tanah
aturan hukumnya melainkan konsistensi, ketaatan dan
komitmen dari Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam memberi perlindungan
terhadap tanah ulayat masyarakat adat. Bagi masyarakat
Papua, tidak ada tanah yang tak bertuan. Setiap bagian
tanah, air, gunung, diberi nama tertentu. Oleh sebab itu,
apakah eksistensi Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat
Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu (Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015), memperkuat hak atas tanah
ulayat masyarakat adat di Papua? Apakah Permen
tersebut sebagai wujud peran Pemerintah Pusat
mengakui, melindungi dan menghormati hak atas tanah
ulayat masyarakat adat di Papua dalam kerangka
Otonomi Khusus? Terhadap kedua permasalahan
tersebut akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini.
kelangsungan kehidupan anak-anaknya, tanah sebagai
mama wajib menyediakan makanan, dan minuman yang
berlimpah agar anak cucunya tidak mengalami
kekurangan makanan-minum (Foker LSM Papua, 2008).
Pandangan masyarakat adat di Kampung Beneraf,
Kampung Samanente, dan Kampung Arbais di
Kabupaten Sarmi bahwa hutan dan tanah adalah pusat
kehidupan masyarakat adat. Ketika merusak hutan
mereka mengalami kesusahan, bencana dan kutukan
dari nenek moyang mereka. Dalam kehidupan seharihari hutan dan tanah telah memenuhi kebutuhan,
pangan, dan papan selama ini. Sehingga masyarakat
tidak mengalami kekurangan pangan (Foker LSM Papua,
2008).
Aspek Filosofis Tanah Ulayat di Papua
Papua memiliki 4 (empat) model tipe
kepemimpinan adat yang sangat berpengaruh terhadap
penataan pemanfaatan atas tanah adat. Tipe
kepemimpinan yang dimaksud yaitu: 1), Tipe Big-Man
pada orang Dani di daerah pegunungan Jayawijaya
(Wamena); 2), Tipe Kepala Suku (Ondoafi) pada orang
Sentani (Jayapura); 3), Tipe Pertuanan (Raja) pada orang
Fak–Fak dan Kepulauan Raja Ampat (Sorong); 4), Tipe
Campuran pada orang Wondama, Waropen, dan Biak
(J.R Mansoben, 1995). Keempat tipe kepemimpinan ini
sangat terkait dengan kedudukan (status dan peran)
mereka dalam sistem penguasaan, pemilikan dan
pemanfaatan tanah-tanah adat serta memberi
keputusan adat terhadap perubahan status atas tanah.
Hubungan tanah penduduk asli Papua atau “New
Guinea”, kedudukan hak adat penduduk asli Papua
bukan saja mempunyai ciri–ciri politis, tetapi juga
memiliki ciri–ciri sosial ekonomis. Untuk itu, hak
tersebut jelas mengandung hubungan psikologis dan
juga hubungan magis–religius (Pouwer dan
Boendermarker, 1953, dalam Frans Reumi 1999). Tipe
kemimpinan ini sangat berpengaruh terhadap
penentuan pemilikan dan penguasaan tanah adat.
Masing-masing wilayah memiliki pola yang berbeda
karena tipe kepemimpinan tersebut.
Masyarakat Papua secara simbolik mengartikan
tanah sebagai “dusun”, “dapur”, “tempat tumpah
darah”, dan tanah sebagai “ibu”. Sedangkan secara
religius-magis, tanah memiliki nilai tertinggi dari sumber
segala ciptaan dan penguasaan alam dan pemberian
hidup dari Tuhan (Frans Reumi; 2008). Tanah menurut
Orang Papua identik dengan kehidupan, maka diberi
simbol sebagai seorang ibu atau mama yang selalu
mengayomi, melindungi dan membesarkan seorang
bayi, kanak-kanak sampai dewasa. Misalnya orang
Kamoro menyebut tanah sebagai “Enai Tapare”, orang
Meybrat menyebut “Tabam Ramu” atau tanah
kami/tanah ibu (Marthinus Solossa; 1995 dan 2000).
Dalam hidup masyarakat adat Waris dan Senggi,
yaitu langit, bumi dan hutan. Langit identik dengan sang
ayah yang begitu superior. Dia menurunkan hujan dan
embun, ia menjelajah ke segala arah mencari kehidupan,
memberi rasa aman dan perlindungan bagi anak dan
istri. Tanah adalah ibu, yang menumbuhkan kesuburan,
memberi nutrisi kehidupan bagi suami dan anak.
Sedangkan hutan adalah revelasi dari Yang Maha Kudus,
Yang Ilahi. Karena itu, hutan menyimpan semua rahasia
hidup manusia. Ia menjadi nirwana yang damai, tempat
tinggal dari semua keluarga yang meninggal. Hutan
sungguh bernilai sakral. Sebuah “locus” yang kudus,
tempat bertemu antara manusia yang hidup dan mereka
yang sudah meninggal (P.M Laksono et al, 2000).
Masyarakat kampung Yetti memandang tanah
sebagai ”mama”. Pandangan itu berkaitan dengan mitos
tentang tanah leluhur mereka, tanah diibaratkan
seorang mama yang menyusui anak-anaknya. Demi
20
Aspek Penguasaan (Pemilikan) Tanah
Adat di Provinsi Papua
Aspek Perlindungan Hukum Tanah Ulayat
di Provinsi Papua Dalam Kerangka
Otonomi Khusus
Ketentuan Pasal 43 UU Otsus telah memberi
jaminan perlindungan hukum tentang hak ulayat
masyarakat adat atas tanah. Namun aktualisasi atas
pengaturan tersebut belum konkret. Walaupun telah
ada Perdasus hak ulayat namun belum ada kebijakan-
Pengakuan Tanah Ulayat di Papua dan Kaitannya dengan Permen Hak Komunal Atas Tanah
kebijakan daerah dalam kerangka Otonomi Khusus yang
secara konkrit memberi perlindungan terhadap hak atas
tanah masyarakat adat serta hak atas sumber daya alam.
Upaya perlindungan atas tanah masyarakat adat
dilakukan dalam wujud pembentukan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang masih terbatas bagi perlindungan
dan pengaturan pemanfaatan tanah adat.
Aktualisasi Pengakuan Tanah Ulayat di
Papua Dalam Implementasi Otsus Papua
Semangat untuk membantu masyarakat adat
dalam upaya perlindungan atas hak ulayatnya, saat ini
menjadi gerakan yang sangat gencar dilakukan oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta beberapa
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, walaupun
keseriusan dari Pemerintah Daerah belum nampak
secara tegas.
Hubungan kewenangan antara Provinsi Papua
dan Kabupaten/Kota dalam kerangka Otonomi Khusus,
tidak diatur secara tegas dalam UU Otsus Papua.
Kewenangan Khusus yang akan menjadi kewenangan
Kabupaten/Kota akan diatur dengan Perdasus dan
Perdasi, namun hingga tahun 2015, peraturan tersebut
belum dibentuk.
Kritik atas Eksistensi Peraturan
MATR/KBPN No. 9/2015 Dalam Kaitan
Perlindungan dan Pengakuan Tanah
Ulayat di Papua
Keberadaan Permen MATR/KBPN No. 9/2015
berpotensi menimbulkan beberapa implikasi hukum
baik dari sisi konseptual, kemanfaatan peraturan serta
problematik implementasi. Pertama, aspek filosofis
Kehadiran Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015.
Mencermati konsideran menimbang pada Permen
tersebut, sulit diketahui aspek filosofis yang menjadi
landasan pembentukannya. Alasan kehadiran Permen
tersebut hendak memberi perlindungan terhadap hakhak atas tanah masyarakat adat, namun kurang tepat
karena tanah masyarakat adat bukan dilindungi oleh
Permen MATR/KBPN No. 9/2015 tetapi oleh status
Otonomi Khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
2
Kedua, dari sisi konseptual. Jika menyimak
judul pada Permen tersebut, tercantum konsep” hak
komunal”, sedangkan dalam Pasal 3 UUPA tak
menyebutkan tentang Hak Komunal, tetapi
merumuskan tentang hak ulayat. Selain itu konsep “hak
komunal” yang didefinisikan dalam ketentuan Pasal 1
angka 1 pada frasa “yang diberikan kepada masyarakat”
seolah-olah ada pihak lain negara melalui Pemerintah
Pusat yang akan memberikan status hak komunal
kepada masyarakat adat.
Ketiga, dari sisi urgensi. Kehadiran Permen ini
sesungguhnya tidak urgen, malah sebaliknya berpotensi
menimbulkan polemik, menimbulkan konflik serta
merusak eksistensi hak-hak masyarakat adat atas tanah.
Bagi Provinsi Papua, keberadaan Permen ini bukan
sesuatu yang urgen dan menjadi kebutuhan yang
diperlukan dalam menata dan memperkuat hak-hak
masyarakat adat atas tanah. Kehadiran Permen ini akan
berpotensi memperkuat kecurigaan masyarakat adat
Papua akan intervensi negara dan upaya-upaya untuk
melakukan pencaplokan atas hak-hak masyarakat adat
termasuk hak atas tanah.
Keempat, dari sisi kemanfaatan peraturan.
Keberadaan Permen Agraria ini sesungguhnya memiliki
motif yang belum secara tegas berorientasi pada
pengakuan dan perlindungan hak atas tanah ulayat
masyarakat adat. Permen ini hendak menempatkan
posisi masyarakat adat sebagai pihak yang seolah-olah
tidak memiliki hak atas tanah adat sehingga berposisi
sebagai pemohon2 yang memerlukan pengakuan negara
atas haknya. Dengan demikian, Permen ini berpotensi
memunculkan masalah baru apabila diimplementasikan
di daerah, dan belum mengakomodir keberagaman
penguasaan tanah di Papua.
Dengan berbagai ulasan tersebut di atas, maka
keberadaan Permen ini sesungguhnya bukan untuk
memperkuat hak-hak masyarakat adat namun
sebaliknya, sebagai upaya untuk memberi peluang pada
pihak-pihak lain untuk menguasai tanah-tanah
masyarakat adat yang pada saatnya, masyarakat adat
kehilangan sumber pemberi hidup (ibu) dalam
perspektif pandangan Orang Papua.
Pasal 1 angka 9, Permen Agraria No. 9 Tahun 2015 mendefinisikan bahwa Pemohon adalah masyarakat hukum adat,
koperasi, unit bagian dari desa, atau kelompok masyarakat lainnya yang telah memenuhi persyaratan untuk dapat
diberikan hak atas tanah menurut peraturan ini
21
Pengakuan Tanah Ulayat di Papua dan Kaitannya dengan Permen Hak Komunal Atas Tanah
Penutup
Agar hak atas tanah ulayat masyarakat adat
tetap terlindungi dapat memberi kemanfaatan berupa
kesejahteraan bagi hidupnya serta dimanfaatkan secara
proporsional bagi kepentingan umum, maka bagi
Provinsi Papua, hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
Pe r ta m a , p e m b e nt u ka n l e g i s l a s i d i d a e ra h
Kabupaten/Kota sebagai penjabaran atas Perdasus
Nomor 23 Tahun 2008 agar mendorong tanggungjawab
Pemerintah Daerah untuk melindungi hak-hak
masyarakat adat atas tanah serta mendukung pemetaan
terhadap hak-hak atas tanah masyarakat adat.
Pemetaan ini dimaksudkan agar meminimalisir konflik
antar masyarakat adat, memberi kepastian dan
kejelasan penguasaan di antara suku, klan/marga,
mendukung Pemerintah Daerah agar terjadi percepatan
pembangunan, dan menciptakan kondisi yang nyaman
bagi pemilik modal untuk melakukan investasi di Provinsi
Papua dengan tetap menghormati hak-hak tanah ulayat
masyarakat adat.
Permasalahan yang seringkali menjadi
penghambat dalam pelaksanaan pembangunan daerah
termasuk kegiatan investasi adalah: ketidakpastian
mengenai batas-batas penguasaan hak atas tanah di
antara suku, marga/klan pada masyarakat adat Papua.
Hal ini belum dapat diatasi melalui solusi yang konkret.
Oleh sebab itu, pemetaan hak atas tanah pada
masyarakat hukum adat di Papua menjadi kebutuhan
yang urgen untuk dilakukan. Oleh sebab itu, keberadaan
Permen ini kurang tepat. Peraturan yang diperlukan
adalah yang dapat mewujudkan kepastian hak atas
tanah berupa pemetaan dan memberi tanggungjawab
kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar
menyusun kebijakan-kebijakan daerah yang berorientasi
pada penataan dan perlindungan hak-hak atas tanah
masyarakat adat.
Kedua, pemetaan hak atas tanah dan hak-hak
adat lainnya. Bagian ini menjadi penting agar memberi
kepastian bagi suku, klan/marga, diantara masyarakat
adat, pemerintah daerah dan pihak lain.
22
Eksistensi Peraturan MATR/KBPN No. 9/ 2015
bagi Provinsi Papua bertentangan dan tidak menghargai
peran dan tanggungjawab Pemerintah Provinsi Papua
untuk melindungi, menghormati, dan memberdayakan
hak ulayat masyarakat adat termasuk di dalamnya hak
atas tanah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 43 UU
Otsus Papua. Oleh sebab itu, agar Permen Agraria
tersebut tidak menjadi polemik baru dan menguras
energi berbagai pihak termasuk memunculkan
perdebatan di tingkat Daerah, sebaiknya tidak
diberlakukan. Bagi Provinsi Papua, permasalahan utama
adalah kaitan dengan tanah adat yaitu kepastian status
dan batas penguasaan tanah hak-hak adatnya. Oleh
sebab itu peran Pemerintah Pusat untuk mendukung
kepastian hak melalui penerbitan peraturan yang
mendorong peran dan tanggungjawab Pemda Provinsi
dan kabupaten/kota untuk melindungi hak-hak
masyarakat dan mewujudkan kepastian penguasaan
antar masyarakat adat.
MUKIM
di Hadapan Hukum Negara
Sulaiman Tripa, SH, MH.1
Setelah diterbitkannya Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan
Tertentu (Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015), kajian
tentang pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh
masyarakat hukum adat (MHA) kian penting dilakukan.
Kehadiran Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015,
menunjukan ada kecenderungan berbagai hak atas
tanah terkait dengan masyarakat hukum adat ingin
disederhanakan dalam “hak komunal”. Peraturan ini
juga mencabut Peraturan Menteri Negeri Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat (Permenag No. 5/1999), yang berimplikasi
tidak jelasnya status hak ulayat. Hal lain, mengenai salah
satu pertimbangan, disebutkan bahwa hukum tanah
nasional mengakui adanya hak komunal dan yang serupa
itu dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang
mana istilah yang dipakai adalah hak ulayat. Logika
sederhana adalah Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015
yang mencabut Permenag No. 5/1999 mengaburkan
pemaknaan hak ulayat. Sedangkan pada saat yang sama,
UUPA sebagai dasar hukum kedua Permen tersebut
masih berlaku. Dengan demikian, bukankah hak ulayat
tersebut, dalam bentuk apapun harus tetap
dipertahankan, baik nama maupun substansinya?
1
Memahami Hak Komunal
Prof. Maria SW Sumardjono, dalam tulisannya
“Ihwal Hak Komunal atas Tanah” (Kompas, 6 Juli 2015),
sudah memetakan persoalan mutakhir hak komunal
(HK) kaitannya dengan hak ulayat. Saya kutip dari empat
pertanyaan mendasar yang diajukan: (1) beranjak dari
pengertian teknis yuridis, apakah HK sama atau
dipersamakan dengan hak ulayat MHA? (2) dimana
tempat HK dalam sistem hukum pertanahan nasional?
(3) bagaimana cara terjadinya HK pada subjek MHA dan
non-MHA? (4) setelah Permenag No. 5/1999 dicabut,
bagaimana eksistensi hak ulayat?
Keempat pertanyaan tersebut, bisa dijelaskan
secara sederhana berdasarkan penjelasan Prof. Maria
SW Sumardjono. Pertama, Permen menyamakan HK dan
hak ulayat. Padahal HK dan hak ulayat punya
karakteristik berbeda. Hak ulayat berdimensi publik
sekaligus perdata. Sebaliknya, HK atas tanah itu
dimaknai sebagai hak atas tanah. Kedua, karena HK
hanya berdimensi perdata, maka HK yang subyek
hukumnya adalah MHA, tak dapat dimasukkan dalam
kategori hak ulayat. Ketiga, HK dari segi konsep
m e n y a t u k a n d u a ke l o m p o k y a n g b e r b e d a
karakteristiknya dalam satu definisi (hak milik bersama
atas tanah yang subjeknya MHA dan masyarakat nonMHA). Padahal keberadaan MHA melalui penetapan
yang harus dimaknai sebagai pengukuhan yang bersifat
deklaratif. Sebaliknya, terhadap keberadaan masyarakat
non-MHA, penetapan pejabat itu bersifat konstitutif dan
pemberian HK-nya dilakukan di atas tanah negara yang
telah dilepaskan dari kawasan hutan atau perkebunan.
Keempat, dengan Permen membuat posisi ulayat
semakin kabur yang karakteristiknya berbeda dengan
MK.
Mengajar Mata Kuliah “Hukum dan Masyarakat”, dan “Hukum Peradilan Adat” pada Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
23
Selain Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015,
sebenarnya untuk membicarakan masalah hak ulayat
dan MHA, terdapat dua Permen penting lain, yakni
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (Permendagri 52/2014) dan
Permenhut P.62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan
Hutan. Ketiga Permen tersebut memiliki kerangka
pengakuan hukum MHA, yakni melalui Peraturan Daerah
atau Keputusan Kepala Daerah.
Dalam konteks Permenhut, ada satu hal yang
menarik, dimana Pasal 24A yang mengatur wilayah MHA
merupakan pasal tambahan, yang dalam Permenhut
sebelum diubah belum diatur mengenai hal ini. Kondisi
ini harus disebutkan, untuk mengungkapkan fakta
sosiologis bahwa betapa negara sangat menentukan ada
atau tidaknya MHA tersebut.
Berdasarkan perbandingan tersebut, hal lainnya
yang harus diperhatikan adalah dasar hukum berbeda
lahirnya Permen. Permen ATR/BPN lahir sebagai upaya
“penjabaran” UUPA. Permendagri dari UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa dan UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemda. Sedangkan Permenhut merupakan jawaban atas
adanya Putusan MK mengenai posisi hutan adat yang
menguji Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Apa yang diatur dalam Permen, berimplikasi
sangat jauh dalam MHA di Indonesia. Salah satunya
adalah mukim yang ada di Aceh. Dalam hal ini,
kedudukan mukim sendiri sangat kompleks, terutama
dalam kaitan dengan peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya kemudian. Mukim adalah kenyataan
sejarah yang kemudian diadopsi dalam susunan
pemerintahan di Aceh dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Mukim sebagai MHA, memiliki kaitan sangat
kompleks. Dalam konteks ini, ia merujuk pada UU
Kehutanan, UU Desa, UU Pemda, dan satu lagi yang tidak
boleh dilupakan dalam NKRI, yakni adanya UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini sendiri
tidak lahir dengan sendirinya. Terjadi proses panjang,
yang secara substansial juga terkait hubungan antara
Aceh sebagai daerah dengan Republik sebagai pusat.
Kondisi spesifik digambarkan dalam Penjelasan: (1) Aceh
sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat
istimewa dan khusus; (2) pandangan hidup yang
berlandaskan syari'at Islam yang melahirkan budaya
Islam yang kuat; (3) aspirasi keistimewaan Aceh dan
jaminan kepastian hukum; (4) solusi politik bagi
penyelesaian persoalan Aceh; (5) bencana alam telah
tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan GAM
untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh,
berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam
kerangka NKRI.
Dengan lima pokok pikiran tersebut, jelas
menempatkan UU ini sangat penting dalam hubungan
Aceh dan Jakarta. Nah, salah satu isi pengaturan UU ini
adalah mukim, yang diatur dalam beberapa Pasal,
sebagai berikut:
*
*
*
*
Dalam Pasal 2, ditentukan: Daerah Aceh dibagi
atas kabupaten/kota; kabupaten/kota dibagi atas
kecamatan; kecamatan dibagi atas mukim; dan
mukim dibagi atas kelurahan dan gampong.
Pasal 1 angka 19 menentukan, mukim adalah
kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan
yang terdiri atas gabungan beberapa gampong
yang mempunyai batas wilayah tertentu yang
dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan
berkedudukan langsung di bawah camat.
Pasal 98 menyebut bahwa imeum mukim sebagai
salah satu lembaga adat (lembaga tersebut
berfungsi dan berperan sebagai wahana
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
ka b u p a t e n / ko t a d i b i d a n g ke a m a n a n ,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat, serta penyelesaian masalah sosial
kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui
lembaga adat
Pasal 114 menyebutkan mengenai ketentuan
pembentukan mukim yang terdiri atas beberapa
gampong yang dipimpin oleh imeum mukim
sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim
yang dibantu oleh tuha peuet mukim atau nama
lain.
Ada satu klausul penting menjadi dasar Qanun
adalah keberadaan Qanun Aceh No. 4 Tahun 2003
tentang Pemerintahan Mukim yang dinyatakan tetap
berlaku sekiranya Qanun Kabupaten/Kota tentang
Mukim sudah terbentuk. Dari 23 Kabupaten/Kota di
Aceh, yang sudah menyelesaikan Qanun tentang Mukim
adalah: Qanun Aceh Besar No. 8 Tahun 2009, Qanun
Bener Meriah No. 8 Tahun 2009, Qanun Aceh Barat No. 3
Tahun 2010, Qanun Langsa No. 5 Tahun 2010, Qanun
Simeulu No. 5 Tahun 2010, Qanun Sabang No. 6 Tahun
2010, Qanun Aceh Tamiang No. 13 Tahun 2010, Qanun
Nagan Raya No. 7 Tahun 2011, Qanun Pidie No. 7 Tahun
Mukim di Hadapan Hukum Negara
2011, Qanun Aceh Utara No. 14 Tahun 2011, Qanun
Aceh Jaya No. 4 Tahun 2011, Qanun Aceh Tengah No. 5
Tahun 2011, Qanun Aceh Singkil No. 1 Tahun 2012,
Qanun Gayo Lues No. 2 Tahun 2012, Qanun Bireuen No.
4 Tahun 2012, Qanun Aceh Timur No. 11 Tahun 2012,
dan Qanun Aceh Selatan No. 23 Tahun 2012.
Salah satu kabupaten/kota yang sudah memiliki
ketentuan Mukim adalah Kabupaten Aceh Besar, yang
disahkan 5 Oktober 2009. Qanun Kabupaten Aceh Besar
Nomor 8 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim,
menyebutkan: “Mukim mempunyai tugas
menyelenggarakan pemerintahan kemukiman,
melaksanakan pembangunan, melindungi adat dan
adat istiadat, membina dan meningkatkan
ke s e j a hte r a a n m a sy a r a ka t ke m u k i m a n d a n
meningkatkan kualitas pelaksanaan syari'at Islam”
(Pasal 3). Tugas tersebut dilakukan salah satunya melalui
pengawasan fungsi ekologi dan pengelolaan sumber
daya alam di mukim (Pasal 5). Pasal 28 ayat (1)
menentukan, bahwa “harta kekayaan mukim adalah
harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian
dikuasai mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala,
danau, laut, gunung, paya, rawa, dan lain-lain yang
menjadi ulayat mukim sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Namun demikian ketentuan ini dibatasi oleh ketentuan
Pasal 28 ayat (2), yang menyebutkan, “Jenis jumlah
kekayaan Mukim harus diinventarisaikan dan
didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati
berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim”.
Pasal 1 angka 12 disebutkan: “Tanah ulayat adalah tanah
yang berada dalam wilayah mukim yang dikuasai dan
diatur oleh hukum adat.
Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 12 disebutkan
bahwa tanah ulayat adalah tanah, hutan, batang air,
danau, laut dan gunung yang terdapat dalam wilayah
Mukim yang bersangkutan. Tanah ulayat adalah tanahtanah yang terdapat di wilayah Mukim yang bukan untuk
perorangan. Semua penduduk yang mempunyai mata
pencaharian bertani, dapat membuka tanah tersebut
untuk diusahakan atas izin Imeum Mukim, tetapi tidak
untuk dimiliki. Pengaturan pemanfaatannya dilakukan
oleh Imeum Mukim setelah mendengar pendapat Tuha
Peuet Mukim. Hutan ulayat adalah hutan sejauh sehari
perjalanan pulang pergi dengan berjalan kaki, di hutan
ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil
hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara
pencari dan Imeum Mukim. Batang air ulayat adalah
sungai yang terdapat dalam wilayah Mukim yang
bersangkutan, yang semua penduduk Mukim
mempunyai hak yang sama untuk mencari ikan di sana,
demikian juga danau ulayat. Laut ulayat adalah laut tepi
pantai sepanjang pantai yang termasuk ke dalam
kemukiman. Jarak antara pantai sampai ke tengah laut
adalah sebatas melabuh pukat, warga Mukim lain
dilarang untuk melabuh pukat di laut ulayat ini, kecuali
para nelayan menyetujuinya. Gunung ulayat berada di
bawah pengaturan pengawasan Pawang Glee, Hutan
ulayat berada di bawah pengawasan Panglima Uteuen,
Batang air dan danau berada di bawah pengaturan dan
pengawasan Panglima Lhok, sedangkan Laut Ulayat
berada di bawah pengaturan dan pengawasan Panglima
Laot, yang kesemuanya berada di bawah koordinasi dari
dan bertanggung jawab kepada Imeum Mukim.
Merujuk pada penjelasan di atas, maka secara
struktur, berbagai lembaga fungsional yang bertanggung
jawab kepada mukim, antara lain Pawang Glee,
Panglima Uteuen, Panglima Lhok, dan Panglima Laot.
Dalam pengelolaan pesisir, terdapat pengetahuan lokal
(local knowledge; customary knowledge), yang bernama
hukum adat laut. Praktik hukum adat laut dan Panglima
Laot di Aceh, dengan titik tolak sudah ada sejak masa
Sultan Iskandar Muda, maka sudah bertahan lebih dari
empat abad.
Dengan berpedoman pada Qanun
Pemerintahan Mukim di atas, jelas bahwa penetapan
Mukim sebagai MHA sudah dilakukan melalui Perda.
Namun khusus terkait dengan penetapan ulayat mukim
tetap memiliki klausul sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Klausul dipahami bahwa posisi mukim yang berdasarkan
UU 11/2006, dalam konteks SDA tetap tidak bisa
dilepaskan dari berbagai peraturan perundang-undang
lainnya. Dengan demikian keberadaan HK tetap
berimplikasi kepada mukim dalam memaknai hak
ulayatnya.
Hal lain yang patut dicatat, bahwa perubahan
UU 27/2007 menjadi UU 1/2014 berdasarkan pengujian
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUUVIII/2010, terkait izin lokasi dan dengan MHA, sangat
tergantung dari sektoral masing-masing (Pasal 16 dan
Pasal 22C). Di samping itu, pemanfaatan ruang dan SDA
perairan pesisir oleh MHA menjadi kewenangan MHA,
dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 21).
25
Mukim di Hadapan Hukum Negara
Apakah Mukim itu MHA?
Pertanyaan yang sangat penting selalu
ditanyakan adalah apakah mukim itu MHA? Pertanyaan
ini muncul dikarenakan secara normatif, mukim sebagai
salah satu pemerintahan di Aceh. Namun demikian pada
saat yang sama, mukim juga termasuk lembaga adat.
Dengan merujuk pada Pasal 1 angka 19 UU 11/2006 yang
menggolongkan mukim sebagai kesatuan atau
persekutuan masyarakat hukum, menunjukkan bahwa
mukim adalah MHA, yang berbeda levelnya dengan desa
atau desa adat.
Dengan konsep dasar dari Van Vollenhoven,
Prof. T. Djuned melalui makalah “Kesiapan Sumberdaya
Mukim dalam Mengemban Amanat UU No. 18 Tahun
2001” (Pugar, 2003), menyebutkan bahwa, setiap
26
persekutuan masyarakat hukum adat mempunyai
kewenangan hak asal usul, yang berupa kewenangan
dan hak-hak: (1) menjalankan sistem pemerintahan
sendiri; (2) menguasai dan mengelola sumber daya alam
dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan
warganya; (3) bertindak ke dalam mengatur dan
mengurus warga serta lingkungannya. Keluar bertindak
atas nama persekutuan sebagai badan hukum; (4) hak
ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut
lingkungannya; (5) hak membentuk adat; dan (6) hak
menyelenggarakan sejenis peradilan.
Sejumlah kewenangan tersebut masih ada
dalam mukim. Namun dengan menyederhanakan
makna dan konsep hak ulayat dalam konteks HK, maka
akan berpengaruh terhadap posisi hak ulayat mukim itu
sendiri.
Hak atas Tanah pada Masyarakat Tengger:
Sebuah Refleksi atas Pelaksanaan Pengakuan
“Hak Komunal atas Tanah” pada Masyarakat Tengger
Purnawan D. Negara1
Pengantar
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak
Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada
dalam Kawasan Tertentu (Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015) seolah memberikan harapan adanya sikap pro
aktif pemerintah dalam proses pengakuan Hak MHA atas
tanahnya. Hal ini sejalan dengan konsiderans huruf b
peraturan tersebut yang menyatakan: “bahwa hukum
tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak komunal
dan yang serupa itu dari MHA, sepanjang pada
kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria.”
Secara kritis Prof. Maria Sumardjono dalam
tulisannya di Kompas pada 6 Juli 2015 telah
mempertanyakan apakah Hak Komunal yang terdapat di
dalam Perturan ini sama dengan Hak Ulayat? Beliau
menegaskan bahwa terdapat perbedaan konsep antara
hak ulayat dan hak komunal sehingga tidak dapat
dipersamakan begitu saja, oleh karena itu ketika istilah
itu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan
harus jelas konsepsinya karena ada implikasi hukumnya,
apalagi menyederhanakan hak ulayat itu dengan hak
atas tanah saja.
Peraturan perundang-undangan di bidang
agraria belum pernah mengenal istilah hak komunal,
meskipun demikian UUPA menyebutkan mengenai hak
ulayat. Dalam perkembangannya hak ulayat ini
selanjutnya diatur dalam Permen Agraria No. 5 Tahun
1999 yang diartikan sebagai kewenangan yang menurut
hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
1
lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan.” Namun, kini justru perihal hak
ulayat ini menjadi tidak jelas nasibnya karena aturannya
telah dicabut oleh Permen ATR/Kep. BPN No. 9 Tahun
2015 itu sendiri.
Di tengah belum jelasnya konsep Hak Komunal
ini, penerapan Permen ini terus berlanjut, diantaranya
sebagai uji penerapannya telah diterapkan pada
Masyarakat Hukum Adat Tengger di Desa Ngadisari, Desa
Ngadas, dan Desa Wonokerto, Kecamatan Sukapura,
Kab. Probolinggo, Jawa Timur. Bentuk penerapannya
berupa penyerahan 180 “sertipikat hak komunal”
kepada masyarakat Tengger oleh Menteri ATR tanggal 9
Juli 2015. Pemberian sertipikat ini dimaksudkan untuk
menyelesaikan konflik tenurial termasuk yang ada di
dalam kawasan hutan.
Pernik-pernik tentang hak komunal di Tengger
ini menjadi menarik, utamanya sebagai refleksi dan
informasi atas penerapan hak komunal yang
menyangkut tanah di Tengger seperti bagaimanakah
pandangan masyarakat Tengger atas tanahnya, hak-hak
atas tanah pada masyarakat masyarakat Tengger, cara
perolehan tanah, dan bagaimana proses penerbitan
sertipikat hak komunal? Bagaimana konsep Masyarakat
Tengger tentang tanahnya tersebut? Diharapkan refleksi
dan informasi ini dapat memberikan gambaran
pelaksanaan penerapan hak komunal itu di lapangan.
Pandangan Masyarakat Tengger atas
tanahnya
Tengger adalah sebuah dataran tinggi yang
membentang di kawasan Taman Nasional BromoTengger-Semeru, secara administratif terletak di 4
(empat) Kabupaten (Malang, Pasuruan, Probolinggo,
dan Lumajang). Nama Tengger diambil dari suku kata
terakhir dari legenda Rara Anteng (Putra Prabu
Brawijaya V, Majapahit) dan Jaka Seger (Putra seorang
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang,
aktif di WALHI Jatim sebagai Dewan Daerah
27
Hak Atas Tanah pada Masyarakat Tengger
Brahmana), diyakini berputera 25 orang dan
menurunkan orang-orang Tengger yang sekarang.
Tengger juga bermakna tengering budi luhur “tanda
keluhuran budi pekerti”, yakni bahwa orang yang
bertempat tinggal di kawasan ini selalu bertumpu
kepada keluhuran budi dalam kehidupan sehari-harinya.
Tanda keluhuran budi ini terkait keyakinannya bahwa
kawasannya adalah kawasan yang diayomi leluhur, yakni
diayomi ke-25 anak Roro Anteng Jaka Seger yang rohnya
diyakini bersemayam di 25 tempat di Tengger, baik di
puncak-puncak gunung, sumber air, atau tempattempat tertentu. Oleh karena itu kemudian, mereka taat
berperilaku yang baik karena merasa segala tingkah laku
bertindaknya diawasi leluhurnya.
Perilaku tengering budi luhur ini juga
dimanifestasikan dalam menghormati tanahnya, bagi
orang Tengger tanah dipandang tempat untuk
menghormati leluhur, hal ini terkait keyakinan bahwa
dalam Legenda Rara Antang Jaka Seger bahwa Raden
Kusuma putera terakhirnya yang bersemayam di Gunung
Bromo telah rela mengorbankan dirinya untuk
menyelamatkan saudara-saudaranya dari amukan
Gunung Bromo. Guna mengingat pengorbanannya
melalui suara gaibnya yang keluar dari Gunung Bromo
dia meminta saudara-saudaranya agar setiap Bulan
Kasada untuk melakukan sesembahan (kurban) tandur
tuwuh (hasil pertanian) yang dikirimkan melalui kawah
Gunung Bromo. Dengan demikian keterikatan orang
Tengger dengan tanahnya adalah sebagai bentuk
keinginan untuk berbakti kepada leluhur dengan
mengolahnya agar saat Bulan Kasada dapat melakukan
sesembahan.
Bentuk penghargaan ini kemudian dimanifestasikan dengan melakukan penghormatan
menyeluruh terhadap tanah, tanah adalah kedudukan
dan kehormatan leluhur, mengabaikan tanah adalah
sama halnya mengabaikan kehormatan dan perintah
mereka dan ini merupakan hal yang pantang, sehingga
pengabaiannya hanya akan mendatangkan bala, walat,
atau karma.
Oleh karena itu, terhadap tanah, masyarakat
Tengger wajib bersifat ngemong (memelihara tanah),
ngemong dalam arti bahwa tanah itu harus diolah agar
bermanfaat (menghidupi) bagi dirinya dan keluarganya
karena kehidupan dirinya dan keluarganya sangat
tergantung dari tanah sehingga ngemong tanah bagi
dirinya dan keluarganya akan dapat mewujudkan prinsip
hidup yang mereka anut yakni, ngayomi, ngayani, dan
ngayemi keluarga, yang maksudnya memberikan
perlindungan, memberikan nafkah, dan menciptakan
28
susasana tenteram dan damai pada keluarga, yang hal ini
dimaksudkan pula apabila hal itu telah tercapai maka
akan semakin menguatkan/memudahkan mereka
dalam menjalankan kewajiban (ibadah) kepada Sang
Hyang Widhi dan roh leluhur.
Penguasaan tanah: Hak, cara perolehan,
dan transaksi atas tanah
Pada umumnya luas kepemilikan tanah di
Tengger, khususnya di Desa Ngadisari (berupa lahan
tegal/ladang) rata-rata berkisar antara 1 sampai 2 Ha.
Orang Tengger di Ngadisari hanya mengenal tanah
dengan hak kepemilikan pribadi/tanah individu atau
mereka biasa menyebut dengan tanah pemajekan atau
tanah yasan, yakni tanah yang proses perolehannya
berdasarkan pada hukum adat. Mereka juga mengenal
tanah kas desa (ganjaran) yang menjadi milik bersama
warga desa, tidak dikenal adanya istilah tanah ulayat
atau pun hak ulayat. Tanah ganjaran berfungsi sebagai
aset desa untuk menggaji kerja perangkat desa/kepala
desa. Tanah ganjaran di Ngadisari yang menjadi hak
kepala desa saat ini justru tidak digarap karena tanah itu
digunakan sebagai lahan penghijaun desa. Hampir
semua perangkat desa memiliki ladang yang digarap
sendiri.
Tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Tengger di
Desa Ngadisari umumnya diperoleh dari hasil warisan
orang tuanya, namun ada pula dari jual beli tetapi jarang
sekali. Perolehan tanah ini dahulu berawal dari leluhur
mereka membuka lahan kawasan hutan sekuat
tenaganya, lantas lahan yang dibuka itu dimilikinya dan
diwariskan kepada anak keturunannya. Hal ini seperti
yang disampaikan Bowo, salah seorang warga Tengger
bahwa tanah yang dia miliki/kuasai bukan berasal dari
tanah kawasan hutan atau tanah perkebunan, Bowo
memperoleh tanah secara warisan dari orang tuanya.
Menurut dia dahulu para leluhurnya membuka tanah,
demikian juga orang tuanya memperoleh tanah warisan
dari orang tuanya (Kakek Bowo) kemudian tanah itu
dibagi-bagi ke saudara-saudaranya. Tanah orang tua
Bowo dibagikan kepada 10 saudaranya dan tanah itu
berada dalam satu kompleks.
Sistem pembagian tanah warisan yang masih
dipertahankan hingga saat ini adalah dengan ketentuan
pembagian yang sama rata antara anak laki-laki maupun
perempuan. Aturan adat dalam pembagian tanah
warisan ini mengatur dua kondisi, yaitu pembagian
tanah warisan saat orang tua masih hidup dengan
pembagian tanah warisan setelah orang tua meninggal.
Sistem pembagian tanah warisan saat orang tua masih
Hak Atas Tanah pada Masyarakat Tengger
hidup, misalnya memiliki 3 orang anak, orang tua
terlebih dahulu mengambil 1/3 bagian dari luasan
tanahnya. Lalu sisanya sebesar 2/3 bagian dibagi sama
rata ke dua orang anaknya. Apabila orang tua tidak
mampu lagi bekerja menggarap ladangnya maka orang
tua tersebut ikut ke salah satu anaknya, kemudian
setelah meninggal hak waris atas tanah jatah orang tua
sebesar 1/3 bagian tersebut akan diberikan kepada anak
yang serumah atau yang mengurusnya.
Terhadap transaksi atas tanah – yang pada
prinsipnya diikuti dengan penyerahan yang disertai
pembayaran tunai – adalah jual beli, sewa, dan maro.
Terhadap jual beli tanah menurut Supoyo, di Ngadisari
tanah hanya bisa dijual ke sesama warga desa (sedesa),
meski desa lain juga merupakan masyarakat Tengger,
namun bila tidak sedesa tidak bisa membeli
tanah/memiliki tanah warga Ngadisari. Studi Hefner
menunjukan tanah bukan 'komoditi biasa' sehingga
proses untuk melepaskannya dilakukan sangat hati-hati
oleh Orang Tengger. Penjualannya merupakan bencana
yang tidak dapat terperikan.
Untuk memperoleh hasil dari tanah, orang
Tengger bisa melakukan sewa tanah yang disebut
dengan sewan. Sewan pada prinsipnya dilakukan antar
sesama warga Tengger, namun terjadi juga satu-dua
orang berasal dari luar Tengger. Kalau penyewanya orang
luar biasanya dilakukan dalam waktu 1 tahun dulu guna
m e l i h a t p e r ke m b a n g a n a p a k a h s e w a n i t u
menguntungkan atau tidak bagi pemilik tanah, bahkan
untuk sewa yang peruntukkannya bukan untuk
pertanian tetapi menyewa tanah untuk jualan, dalam hal
ini pihak desa akan mengizinkan atau tidak setelah
melihat apakah jualannya bersaing atau tidak dengan
warga Ngadisari.
Kepala Desa memiliki posisi penting dalam jualbeli dan sewa tanah yang dilakukan di Ngadisari karena
setiap transaksi tersebut harus diketahui oleh Kepala.
Pengawasan dari Kepala Desa dilakukan untuk
meyakinkan bahwa proses pembelian tanah itu bukan
disutradarai oleh pembeli dari luar yang akan mengubah
tanah disitu menjadi absente, bila terjadi kepala desa
bahkan bisa saja berperan membatalkan rencana
penjualan itu.
Transaksi lain yang juga cukup populer adalah
maro, yakni apabila pemilik tanah mengizinkan kepada
orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan
perjanjian orang yang diberikan izin mengerjakan harus
memberikan separuh/sebagian hasil tanahnya kepada
pemilik tanah. Dalam hal maro pemilik tanah lebih
banyak berbuat dalam pengolahan tanahnya sementara
itu mitranya yang tidak mempunyai tanah hanya
menanamkan modal saja (tidak berperan sebagai
penggarap).
“Sertipikat Hak Komunal” Tanah Tengger
Sertipikat Hak Komunal atas Tanah Tengger
sebagaimana yang diserahkan oleh Menteri ATR kepada
warga Ngadisari, Ngadas, dan Wonokerto, menurut
Supoyo bahwa tanah tersebut adalah tanah yasan, dan
pensertipikatan itu merupakan bagian dari program
Prona.
Selama ini orang Ngadisari tidak punya
sertipikat, karena selama ada program ini Prona Kepala
Desa memang tidak pernah mengajukannya, pengajuan
akan dilakukan apabila sertipikat yang diterbitkan dari
program Prona itu bila memiliki ciri yang khusus bagi
sertipikatnya orang Tengger, yakni sertipikat yang
mengakomodasi kearifan lokal yang bentuk konkretnya
ada pertanda atau “ciri khusus”. Jadi, sebenarnya
program pensertipikatan sudah ada sejak dahulu melalui
Program Prona, tapi ditolak, karena program itu tidak
ada kekhususan, dalam arti tidak ada sertipikat dengan
ciri khusus.
Ketika pada era menteri yang sekarang dan ada
program itu lagi, dan kemudian Kepala Desa Ngadisari
ditawari pengajuannya, dia menanyakan kepada Kepala
BPN Kab. Probolinggo, “apa ada ciri khusus dari
sertipikat itu atau apa dibenarkan ada ciri khusus?”,
ketika harapan itu diakomodasi yang oleh Kepala Desa
bentuknya adalah Stempel Khusus dari Desa yang
ditempelkan pada sertipikat, dan penstempelan oleh
desa itu juga sebagai pelaksanaan dari Perdes Ngadisari
No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Tertib Pengaturan Tanah
di Ngadisari. Kini sertipikat tanah ini memiliki ciri – ciri,
berupa sertipikat yang berstempel warna merah, yang
bertuliskan: “Berdasarkan Peraturan Desa Ngadisari,
Kec. Sukapura No. 02 Tahun 2015 tanggal 4 Mei 2015,
Menyatakan bahwa tanah ini tidak boleh dijual atau
disewakan dengan pihak luar atau antar warga tanpa
rekomendasi Kepala Desa dan Ketua Adat”.
Dalam sambutannya saat penyerahan sertipikat
Menteri Agraria dan Tata Ruang menyatakan bahwa
pemberian sertipikat kepada MHA itu merupakan
perwujudan dari “negara hadir” di tengah-tengah
masyarakatnya, maksud hadirnya negara disini adalah
negara melegalisasi dan melindungi tanah adat. Oleh
karena pernyataan Menteri ATR demikian, maka
menurut Supoyo kalau ada aturan yang demikian baik
dan aturan itu memperkuat rakyat, maka rakyat
29
Hak Atas Tanah pada Masyarakat Tengger
(Tengger) bersedia ikut program Prona.
Bagi warga desa Ngadisari selama ini tanpa ada
sertipikat pun tidak pernah ada konflik diantara mereka
dan juga tidak menjual tanahnya ke luar desa. Hal ini
karena dari Kepala Desa terdahulu telah ditetapkan
larangan sehingga Kepala Desa yang sekarang tinggal
meneruskan saja, larangan ini diyakini merupakan
petuah leluhur, dan larangan itu disampaikan diteruskan
oleh kepala Kepala Desa kepada masyarakatnya.
masyarakat Tengger bukan sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015,
karena tanah yang bersertipikat itu lebih merupakan
tanah hak milik individu bukan tanah hak milik bersama
atas tanah suatu MHA dan juga bukan hak milik bersama
atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang
berada dalam kawasan hutan dan perkebunan.
sertipikat itu tak lebih sebagai pelaksanaan dari program
Prona.
sertipikat tanah komunal yang telah diberikan
oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang di Pendopo Agung
Desa Ngadisari itu akan diberikan akan diberikan secara
bergelombang, untuk gelombang I (pertama) ini
diberikan kepada pemilik usaha, seperti homestay,
warung makan, dan toko. Baru pada gelombang ke II
akan diberikan kepada pemilik tegal/ladang.
Sementara itu di Desa lain Ngadas dan Wonokerto,
tanahnya juga telah diberi sertipikat, dan diutamakan
juga kepada warga yang memiliki usaha, namun hal yang
membedakan terhadap sertipikat di Desa Ngadas
sertipikatnya tanpa tanda khusus seperti halnya Desa
Ngadisari.
Daftar Pustaka
Penutup
Bila melihat paparan-paparan di atas tampak
menunjukkan bahwa sertipikat Hak Komunal pada
1
Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger: Perubahan
Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LkiS
Sutarto, Ayu. 2008. Kamus Budaya dan Religi Tengger.
Jember: Lemlit Unej
Negara, Purnawan D. 2014. “Rekonstruksi Kebijakan
Pengelolaan Kawasan Tengger Berbasis Nilai
Komunal Ekologis dalam Perspektif Socio Legal“.
Semarang: Disertasi UNDIP
Sumardjono, Maria SW. 2015. “Ihwal Hak Komunal Atas
Tanah” dalam Kompas, 6 Juli
Anonim. 2015. Menteri Agraria Serahkan 180 sertipikat
A d a t
Te n g g e r
d a l a m
http://www.antaranews.com/berita/506198/m
enteri-agraria-serahkan-180-sertipikat-adattengger, diakses 16 Agustus 2015.
Tulisan dipresentasikan dalam Diskusi Terfokus “Quo Vadis Permen ATR/BPN Tentang Hak Komunal atas Tanah di Hotel Royal
Kuningan Jakarta, 20 Agustus 2015 yang diselenggarakan oleh Epistema. Tulisan sebagai paparan awal hasil riset di
Ngadisari Tengger terkait penyerahan 180 sertifikat Hak Komunal bagi masyarakat Tengger oleh Kementerian ATR.
2
Maria SW. Sumardjono, “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah”, Harian Kompas, 6 Juli 2015
3
http://www.antaranews.com/berita/506198/menteri-agraria-serahkan-180-sertifikat-adat-tengger, diakses 16 Agustus 2015
4
Ayu Sutarto, Kamus Budaya dan Religi Tengger (Jember, 2008), hlm. 253
5
Bila tempat persemayaman ke-25 anak Rara Anteng Jaka Seger itu ditarik garis khayal atau garis magis maka wilayah itu
kurang lebih bertautan mulai Gunung Penanjakan (Pasuruan), Gunung Bromo (Probolinggo), Tunggukan (di kawasan Coban
Pelangi, Gubuk Klakah, Malang) hingga Gunung Semeru (Lumajang)“. Pada kawasan-kawasan di sekitar/dibawahnya itulah
sebagai kawasan yang “diayomi“. Kawasan-kawasan itu dapat disebangunkan dengan kawasan yang meliputi luasan Taman
Nasional Bromo-Tengger-Semeru sekarang dan desa-desa Tengger di sekitarnya yang berada di sekitar wilayah Kabupaten
Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan Malang. Disitulah masyarakat Tengger tumbuh dengan nilai-nilainya, dan sangat
menghormati serta menjaga kesuciannya dengan mengatur tata tertib tingkah lakunya atas kawasan. Purnawan D. Negara.
“Rekonstruksi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Tengger Berbasis Nilai Komunal Ekologis dalam Perspektif Socio Legal“.
Disertasi UNDIP, Semarang 2014, hlm. 434
6,8
Wawancara dengan Bpk. Supoyo, tokoh masyarakat, mantan Kepala Desa Ngadisari Tengger, tanggal 15 Juli 2015, pukul
15.00-17.00 WIB
7
Wawancara dengan Bpk. Bowo, warga Ngadisari, tanggal 15 Juli 2015, pukul 14.00-15.00 WIB
9
Robert W. Hefner,Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik ( Yogyakarta, 1999), hlm. 207
10, 12 Wawancara dengan Bpk. Supoyo, tokoh masyarakat, mantan Kepala Desa Ngadisari Tengger, tanggal 6 Agustus 2015, pukul
14.00-16.00 WIB
11
Ciri khusus yang dimaksudkan adalah tanda di sertipikat yang menunjukkan bahwa sertipikat itu adalah milik warga Tengger
(Ngadisari), yang dari tanda ini akan menginformasikan kepada pihak lain bahwa tanah tersebut tidak bisa dijual ke orang
luar Tengger (Ngadisari), Wawancara dengan Supoyo, tokoh masyarakat, mantan Kepala Desa Ngadisari Tengger, tanggal 16
Juli 2015, pukul 15.00-17.00 WIB
13
Wawancara dengan Bpk. Rudik Ervan pemilik toko di Desa Ngadas dan juga memiliki tanah di Desa Wonokerte dan
Wawancara dengan Bu Wiwin Warga Desa Ngadas pemilik toko, tanggal 15 Juli 2015, pukul 16.35-16.40 WIB
30
Pendaftaran Tanah Milik Kaum
sebagai Tanah Milik Bersama
di Sumatera Barat
Dr. Kurnia Warman, SH, M.Hum1
Pengantar
Instrumen pendaftaran tanah yang berlaku
sekarang belum mengakomodasi keragaman tenurial di
masyarakat hukum adat yang bersifat komunal. PP No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, begitu juga
PP No. 10 Tahun 1961 yang berlaku sebelumnya, belum
mampu memecahkan persoalan sertipikasi tanah-tanah
milik bersama yang merupakan ciri khas masyarakat
hukum adat. Ketentuan ini justru ingin menyeragamkan
bentuk-bentuk tenurial di seluruh Indonesia dengan
menentukan jenis-jenis hak atas yang bisa disertipikasi.
Walaupun demikian, kebijakan pendaftaran
tanah di daerah tetap menunjukkan variasi dalam mengakomodasi jenis-jenis tanah adat yang ada, seperti di
Sumatera Barat. Dengan memakai jalur konversi hak
tanah milik adat, kantor pertanahan di daerah ini telah
mengeluarkan sertipikat tanah milik kaum yang bisa
disebut sertipikat tanah milik bersama. Tanah milik kaum
atau ulayat kaum merupakan tanah yang dikuasai dan/
atau dimiliki secara bersama oleh kelompok kaum/suku
dalam suatu masyarakat hukum adat (nagari) di
Minangkabau.
Sertipikat tanah kaum ini memang ditujukan
untuk memberikan kepastian hak kepada tanah milik
bersama dari suatu kaum (sub-clan). Karena pemilik
tanahnya memang kelompok atau kaum maka nama
pemegang hak yang dicantumkan di dalam sertipikat itu
adalah kelompok orang yang terhimpun dalam suatu
kaum. Pada prinsipnya, praktik ini telah berlangsung
sejak program pendaftaran tanah dijalankan di daerah
ini khususnya sejak diberlakukan PP No. 10 Tahun 1961,
baik dalam bentuk konversi tanah adat menjadi tanah
komunal maupun sebagai tanah individual.2
Bila dihubungkan dengan persoalan pengakuan
tanah milik bersama secara keseluruhan, sertipikasi
tanah seperti itu ternyata masih menyisahkan beberapa
permasalahan antara lain sebagai berikut:
1. Belum mampu mengakomodasi seluruh jenis tanah
adat yang terdapat dalam masyarakat hukum adat di
Sumatera Barat. Tanah ulayat suku dan ulayat nagari
belum tersentuh dengan model sertipikasi komunal
yang sudah ada. Akibatnya, persentase luas tanah
yang sudah bersertipikat pada kawasan budidaya di
daerah ini masih rendah. Data Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Barat
menunjukkan, bahwa sampai 2008 baru sekitar 18%
saja tanah yang sudah terdaftar.
2. Sertipikasi tanah milik kaum yang sudah dijalankan
belum bisa memberikan solusi terhadap tenurial
masyarakat hukum adat atas tanah hutan. Sebagian
besar tanah hutan di daerah ini merupakan ulayat
suku dan nagari, sedangkan sertipikasi tanah milik
adat baru bisa diterapkan terhadap tanah ulayat
kaum. Dengan demikian pengakuan tanah
masyarakat hukum adat di kawasan hutan belum
tersentuh sama sekali.
3. Berkaitan dengan itu, kebijakan tersebut belum
mampu memberikan solusi terhadap adanya
tumpang tindih klaim atas tanah, baik antara
masyarakat hukum adat dengan instansi kehutanan
maupun antara badan pertanahan dengan sektor
kehutanan.
Sertipikasi Tanah Ulayat Kaum sebagai
Milik Besama
Kegiatan pendaftaran tanah di Sumatera Barat
sudah berlangsung sejak 1961 melalui penerapan PP No.
10 Tahun 1961. Untuk tanah-tanah hak barat kegiatan ini
31
Pendaftaran Tanah Milik Kaum sebagai Tanah Milik Bersama di Sumatera Barat
bahkan sudah berjalan sejak zaman kolonial. Tahapan
dalam proses lahirnya sertipikat tanah kaum (milik
bersama) secara umum dapat dibedakan ke dalam dua
tingkat kegiatan.3
1.
2.
Kegiatan di tingkat adat. Untuk tanah milik kaum
kegiatan ini bertujuan untuk melepaskan tanah
milik adat tersebut dari kungkungan adat yang
dipegang oleh Mamak Kepala Waris (MKW).
Untuk tanah milik kaum, kegiatan ini sangat
dominan dalam proses pembuatan surat
pernyataan pemilikan tanah atau pernyataan
penguasaan fisik tanah yang dimohonkan sebagai
alas hak untuk perdaftarannya. Untuk tanah yang
berasal dari tanah ulayat nagari, kegiatan ini berisi
proses untuk mendapat izin pelacoan (membuka
tanah) yang memenuhi syarat untuk dilanjutkan
kepada izin mengajukan permohonan hak ke
kantor pertanahan setempat. Semua kegiatan di
tingkat ini dilakukan oleh si pemohon melalui
lembaga adat, mulai dari mamak kepala waris
(MKW), penghulu suku sampai kepada kerapatan
adat nagari (KAN).
Kegiatan di tingkat pemerintah, yang melibatkan
aparat pemerintah mulai dari nagari/kelurahan,
camat, sampai ke kantor pertanahan. Mulai dari
pemberian persetujuan terhadap surat
pernyataan pemilikan tanahnya, sampai kepada
penerbitan sertipikat hak (sertipikat kolektif).
Artinya, setelah proses adat yang dilakukan oleh
lembaga adat selesai atau mengizinkan tanah
dikonversi atau dimohonkan haknya serta
didaftarkan barulah pemerintah melakukan
proses sesuai prosedur menurut hukum negara.
Melalui proses seperti itulah lahirnya sertipikat
tanah kolektif di Sumatera Barat. Badan
Pertanahan Nasional di Sumatera Barat
mengakomodasi keinginan masyarakat hukum
adat untuk mencantumkan nama-nama anggota
kaumnya dalam sertipikat, sehingga pemilik
tanahnya tidak berubah, tetap sebagai tanah milik
bersama.
Jika ada pihak yang keberatan dengan proses
pendaftaran tanah di kantor pertanahan, maka
penyelesaiannya diminta bantuan Kerapatan Adat
Nagari (KAN). Upaya ini kuatkan oleh Surat Edaran (SE)
Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Barat No.
593.2/4268/PUH-83, 1 September 1983, perihal
Penyelesaian Permohonan Penegasan Hak Milik Adat
yang Ada Gugatan. SE Gubernur tersebut juga didukung
dengan Ketua Pengadilan Tinggi Padang dengan Surat
Edaran (SE) kepada seluruh ketua pengadilan negeri di
32
Sumatera Barat, No. W. 3. DA.HT.04.02-3663, 27 Mei
1985. Kemudian, Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat juga mendukung
kebijakan tersebut dengan menyurati seluruh KAN dan
LKAAM kabupaten/kota serta LKAAM kecamatan,
melalui surat No. 07/LKAAM-SB/VI-85.
Kedua tingkatan kegiatan pendaftaran tanah
yang mengakomodasi nilai-nilai hukum adat serta
melibatkan lembaga adat tersebut di atas, dapat dilihat
secara detail dalam SE Direktorat Agraria Provinsi
Sumatera Barat No. DA-6980/III2F/1983, 26 Agustus
1983, perihal Tertib Prosedur Penyelesaian Permohonan
Penegasan Hak atas Tanah yang Berasal dari Tanah Adat.
Urutan kegiatan dalam proses konversi dan pendaftaran
hak tanah adat yang melahirkan sertipikat kolektif di
Sumatera Barat sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Pemohon mengajukan permohonan penegasan
hak (konversi) kepada kantor pertanahan
setempat. Permohonan ini dilengkapi dengan
surat pernyataan pemilikan tanah, surat
keterangan kepala desa 4 (nagari)/lurah,
ranji/silsilah, gambar situasi/surat ukur. Surat
p e r nyata a n p e m i l i ka n ta n a h nya h a r u s
ditandatangani oleh pihak-pihak terkait, baik
lembaga adat maupun pemerintah nagari serta
camat.
Ka nto r p e r ta n a h a n , s ete l a h m e n e r i m a
permohonan tersebut, mengadakan pemeriksaan
berkas yang diperlukan, dan kalau syaratsyaratnya lengkap maka dilakukan persiapan
untuk menurunkan Panitia A. Untuk itu pemohon
harus membayar biaya yang akan timbul dari
kegiatan tersebut.
Secara simultan, dilanjutkan dengan proses
pemeriksaan dan pengukuran tanah oleh Panitia
A. Semua pihak yang ikut menandatangani surat
pernyataan pemilikan tanah, diminta hadir di
lapangan saat pemeriksaan dilakukan.
Pengumuman yang dilakukan, baik pada kantor
pertanahan, kantor camat, kantor kepala wali
nagari/lurah, maupun tempat-tempat lain yang
ditentukan, termasuk masjid dan sebagainya.
Pengumuman terhadap hasil pemeriksaan tanah
yang dimohonkan itu dilakukan selama 60 hari (2
bulan), yang bertujuan untuk memberikan
kesempatan kepada pihak yang berkepentingan
untuk mengajukan gugatan atau sanggahannya.
Jika dalam jangka waktu pengumuman tidak ada
gugatan, maka dilanjutkan dengan proses
penerbitan surat keputusan (SK) penegasan
haknya. Setelah itu, diteruskan dengan
Pendaftaran Tanah Milik Kaum sebagai Tanah Milik Bersama di Sumatera Barat
6.
pendaftaran hak karena konversi itu baru berlaku
setelah haknya didaftarkan. Untuk pendaftaran
haknya, pemohon dikenakan biaya atau uang
administrasi yang disetor ke kas negara.
Penerbitan sertipikat hak yaitu hak milik yang
berasal dari hak milik adat. Jadi mekanisme
pelaksanaan konversi hak tanah milik kaum (baik
pusako tinggi maupun pusako rendah) dilakukan
dengan mengikuti ketentuan hukum negara.
Sertipikat tanah yang dikeluarkan oleh kantor
pertanahan di Sumatera Barat, sebagai hasil
pendaftaran tanah kaum, bervariasi tergantung
keinginan dari kaum si pemohon. Dalam hal inilah
dikenal adanya sertipikat tanah kolektif atau
sertipikat tanah kaum.
Terdapatnya variasi dalam pencantuman nama
subyek pemegang hak di dalam sertipikat tanah kaum.
Badan Pertanahan Nasional mengikuti permintaan yang
diajukan oleh pemohon dalam surat pernyataan yang
diajukan dalam proses pendaftaran tanah. Surat
pernyataan itu menyatakan bahwa seseorang mamak
kepala waris (MKW) bertindak atas namanya sendiri dan
sekaligus atas nama kaumnya, memiliki sebidang tanah,
luas, letak, dan batasannya, serta tidak dalam sengketa.
Pada permohonan konversi jenis ini sangat diperlukan
adanya ranji (silsilah keturunan) kaum untuk
mengetahui siapa saja yang betul-betul berhak atas
tanah tersebut. Dalam pelaksanaannya terdapat pula
variasi nama pemegang hak tanah komunal tersebut
yang dicantumkan di dalam sertipikat:
a. Sebagai pemegang hak yang dicantumkan di
sertipikat adalah nama MKW-nya dan diikuti
oleh nama-nama anggota kaum yang berhak.
Penyantuman nama-nama anggota kaum yang
berhak dalam hal ini juga ada ragamnya. Ada
yang mencantumkan semua anggota kaum
baik laki-laki maupun perempuan, dan ada
yang mencantumkan nama anggota kaumnya
yang perempuan saja. Jika ruang atau kolom
nama pemegang hak yang tersedia di blangko
sertipikat tidak mencukupi untuk pencantuman seluruh anggota kaum, maka BPN
setempat memberikan halaman tambahan
khusus untuk penyebutan nama-nama pemilik.
Sebagai contoh nama pemegang sertipikat
komunal dapat dikemukakan: “Bakri Dtk. Nan
Santiang (sebagai mamak kepala waris dalam
kaumnya), dengan anggota: Nurma, Nurbaiti,
Bachrul, Madjid, Yusmarni”, dan seterusnya.
b. Sebagai pemegang hak di dalam sertipikat
komunal tersebut cukup menyebutkan nama
seorang mamak kepala warisnya saja, misalnya
'Bakri Dtk. Nan Santiang sebagai Mamak Kepala
Waris dalam kaumnya”. Walaupun hanya
seorang MKW saja yang disebutkan namanya di
dalam sertipikat, namun status tanah tersebut
tetap sebagai tanah kaum (tanah komunal).
c. Ada juga sertipikat komunal yang tidak
menyebutkan “mamak kepala waris dalam
kaumnya”, melainkan hanya menyebutkan
nama-nama seluruh anggota kaum yang
berhak. Dengan demikian semua nama yang
tercantum dalam sertipikat sebagai pemilik
sama kedudukannya yaitu sebagai pemilik
secara bersama. Penyebutan nama-nama
anggota kaum tersebut bisa yang perempuan
saja, atau bisa pula keduanya baik perempuan
maupun laki-laki. Hal itu tergantung kepada
keinginan kaum sebagai pemohon.
Sertipikasi Tanah Atas Ulayat Nagari
Di samping penerapan hukum adat dalam
konversi dan pendaftaran tanah milik kaum (milik adat)
dan/atau pusako tinggi, pengakuan hukum adat juga
dapat dilihat dari konversi dan pendaftaran tanah
garapan yang berasal tanah ulayat nagari. Berdasarkan
Surat Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Barat No.
8920/III/2C/1983, 28 Oktober 1983, perihal Konversi
Tanah-tanah Garapan Beralas dari Tanah Ulayat Nagari,
bahwa kebijakan konversi tanah garapan atas ulayat
nagari berpatokan kepada tanggal 24 September 1960
hari lahirnya UUPA. Alasannya, ketentuan konversi
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
terhadap tanah-tanah yang sudah dikuasai sebelum
lahirnya UUPA. Jika tanah garapan atas ulayat nagari itu
sudah berlangsung sejak sebelum UUPA lahir (1960)
maka permohonan diproses melalui prosedur konversi
hak milik adat. Dengan demikian ”asal haknya” adalah
konversi. Jika tanah garapan tersebut dilakukan setelah
1960 maka terhadap tanah garapan tersebut tidak bisa
dilakukan konversi tetapi melalui cara biasa. Dengan
demikian asal haknya adalah ”pemberian hak” bukan
konversi hak. Artinya, tanah tersebut bukanlah berasal
dari tanah milik adat tetapi berasal dari tanah negara.
Sehingga jika sesorang mendapat hak milik atas tanah
maka asalnya adalah pemberian hak oleh negara.
Kebijakan tersebut sebetulnya telah menafikkan
keberadaan ulayat nagari karena membatasi batas
konversi hak adat yang berasal dari tanah ulayat nagari.
Padahal menurut Hukum Adat Minangkabau, tanah
ulayat nagari merupakan tanah yang dimiliki oleh anak
nagari secara bersama yang belum ada hak individual
33
Pendaftaran Tanah Milik Kaum sebagai Tanah Milik Bersama di Sumatera Barat
yang penguasaannya berada pada pemerintahan nagari
(hak menguasai dari nagari). Dalam pelaksanaannya BPN
tidak serta merta menganggap bahwa tanah ulayat
nagari itu sebagai tanah negara, sehingga proses yang
dilakukan adalah proses konversi hak, bukan pemberian
hak. Praktik seperti ini berlangsung merata di nagarinagari yang mempunyai ulayat nagari, seperti Nagari
Kambang, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Nagari Lakitan
sebagai nagari tetangganya.5
Sama dengan konversi dan pendaftaran tanah
milik adat, pendaftaran tanah garapan atas tanah ulayat
nagari juga melalui 2 (dua) tahap: tahap urusan adat dan
urusan pemerintah.
1.
Pada tahap urusan adat, tanah garapan tersebut
harus diperoleh melalui saluran hukum adat yang
berlaku di masing-masing nagari. Biasanya setiap
tanah garapan berasal dari suatu izin membuka
tanah yang dikeluarkan oleh penguasa nagari. Izin
membuka tanah ulayat nagari ini disebut dengan
istilah yang berbeda-beda di masing-masing
nagari, namun sebagian besar nagari menyebutnya
dengan izin pelacoan (seperti yang terdapat di
Nagari Kambang dan Lakitan, Kabupaten Pesisir
Selatan). Setiap penggarap mengajukan
permohonan kepada penguasa nagari yang
diketahui oleh mamak kepala warisnya, penghulu
suku dan penghulu wilayah. Permohonan harus
menunjukkan data fisik tanah (lokasi, luas, batasbatas, jenis penggunaan dan lain-lain), dan data
yuridis (siapa yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah tersebut sebelumnya). Berdasarkan
permohonan tersebut penguasa ulayat nagari
melakukan pemeriksaan untuk memastikan data
fisik dan data yuridis atas tanah tersebut. Jika tidak
ada persoalan yang menghambat atau tidak ada
persengketaan tentang data fisik dan data
yuridisnya maka penguasa ulayat mengeluarkan
izin pelacoan.
Dalam jangka waktu tertentu (biasanya 5 tahun)
izin pelacoan ini tidak boleh dipindahtangankan
atau tidak boleh diajukan untuk mengurus
perolehan hak ke BPN. Jangka waktu ini
dimaksudkan untuk memastikan itikad baik si
pemohon dalam pengolahan tanah dengan
sungguh-sungguh. Jika dalam tenggang waktu
tertentu yang bersangkutan telah menunjukkan
itikad baiknya maka barulah penguasa ulayat
nagari mengizinkan pemegang izin pelacoan untuk
mengurus perolehan dan pendaftaran haknya ke
BPN setempat. Sebaliknya, jika pemegang izin tidak
mengurus tanahnya dengan baik, sehingga tanah
34
2.
tersebut menjadi terlantar maka izin yang sudah
diberikan akan dicabut kembali oleh penguasa
nagari.
Urusan di tingkat pemerintah. Setelah urusan di
tingkat adat selesai baru kemudian tahap urusan
pemerintah bisa berjalan. Dengan demikian BPN
sebagai pemerintah hanya bersifat menunggu
proses yang dilakukan oleh penguasa adat di
nagari. Jika penguasa tanah ulayat nagari
mengizinkan penggarap (pemegang izin pelacoan)
itu mendapatkan hak milik atas tanah tersebut
maka pemerintah (BPN) akan memprosesnya
menjadi hak milik. Dalam hal inilah, seperti yang
dikatakan sebelumnya, bahwa asal hak tanah yang
terdapat dalam sertipikatnya berbeda dengan
tanah milik kaum. Sertipikat tanah yang berasal
dari milik adat dan/atau pusaka kaum mempunyai
asal haknya ”konversi”, sementara sertipikat tanah
yang berasal dari tanah garapan atas ulayat nagari
mempunyai asal hak ”pemberian hak”.
Kontradiksi Praktik Sertipikasi Tanah
Terdapat kontradiksi dalam praktik sertipikasi
tanah adat di Sumatera Barat. Pada satu sisi praktik
sertipikasi tanah milik kaum (pusako) telah mendorong
lahirnya sertipikat komunal, tetapi dalam pendaftaran
tanah ulayat nagari justru memicu terjadinya
individualisasi atas tanah komunal sehingga melahirkan
sertipikat individual.
Tanpa disadari oleh lembaga adat setempat
ternyata kebijakan mereka mengeluarkan izin membuka
dan memanfaatkan ulayat nagari (pelacoan) telah
menggerogoti eksistensi ulayat nagari itu sendiri.
Keuntungan jangka pendek yang diperoleh KAN hanya
iuran (semacam retribusi) izin yang dibebankan kepada
anak nagari pemohon izin. Setelah tanah tersebut
dikonversi dan didaftarkan atas nama individu si
pemohon maka nagari kehilangan penguasaan atas
ulayat, dan bahkan nagari juga akan kehilangan aset
sebagai pemasukan ke kas nagari. 6 Terjadinya
individualisasi tanah ulayat nagari melalui izin pelacoan
sebagaimana dijelaskan di atas disebabkan karena
nagari tidak bisa dijadikan sebagai subyek hak atas tanah
yang akan dicantukan dalam sertipikat tanah. Apalagi
secara hukum menurut UUPA sendiri, nagari tidak bisa
menjadi pemilik tanah. Oleh karena itu tidak mungkin
ulayat nagari didaftarkan atas nama nagari.
Sebaliknya juga begitu, menurut PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran, tanah ulayat bukanlah
merupakan obyek pendaftaran tanah. Akibatnya, tanah
Pendaftaran Tanah Milik Kaum sebagai Tanah Milik Bersama di Sumatera Barat
ulayat tidak terakomodasi sebagai hak mandiri yang bisa
didaftarkan. Sebagai jalan pintas, kebijakan yang diambil
oleh nagari salah satunya adalah membagikan tanah
tersebut kepada anak nagarinya untuk disertipikasi.
Sebetulnya, bisa saja tanah ulayat tersebut
didaftarkan dengan mengikuti pola pendaftaran tanah
negara, seperti yang diatur PP No. 24 Tahun 1997.
Penjelasan Pasal 9 Ayat (2) PP ini menyatakan bahwa
“pendaftaran tanah yang obyeknya bidang tanah yang
berstatus tanah Negara dilakukan dengan mencatatnya
dalam daftar tanah dan tidak diterbitkan sertipikat”. Hal
inilah yang dicantumkan dalam Pasal 5 Ayat (2)
Permenag No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa
“keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang
masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran
tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi
dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batasbatasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah”.
Sayangnya peluang ini sampai sekarang belum
dimanfaatkan oleh BPN di Sumatera Barat dalam rangka
pendaftaran tanah ulayat nagari, agar tanah komunal
tersebut semakin mendapat penguatan dari negara.
Bahkan, Pemerintah melalui Permen Agraria dan Tata
Ruang/Kepala BPN No. 9 Tahun 2015 telah mencabut
Permenag No. 5 Tahun 1999 tetapi tidak menggantikan
aturan pendaftaran tanah ulayat dimaksud.
Jika dikaitkan dengan penguatan tenurial adat
secara komunal atas hutan, maka praktik sertipikasi
tanah komunal di Sumatera Barat juga belum bisa
diharapkan. Sebagian besar hutan di Sumatera Barat
terdapat di ulayat nagari, bukan di tanah milik kaum
(pusako). Oleh karena itu, hak milik bersama masyarakat
hukum adat atas hutan dan kawasan hutan belum
terlindungi melalui sertipikasi tanah. Praktik sertipikasi
tanah kolektif di Sumatera Barat belum berkontribusi
terhadap pengakuan hak milik kaum di kawasan hutan.
Catatan Kaki
1
2
3
4
5
6
Dosen Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Lihat misalnya Sjamsir Dt. Perpatih, 1985, “Status Tanah Pusaka setelah Disertipikatkan”, Laporan hasil penelitian, Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang. Temuan ini juga dikuatkan oleh Mahadi, 1985, “Mensertipikatkan Tanah Adat Adalah
Memperbarui Hukum Adat (Ringkasan pembahasan)”, dalam Sajuti Thalib (Penyunting), Hubungan Tanah Adat dengan Hukum
Agraria di Minangkabau, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, hlm. 57-58.
Lihat juga dalam Kurnia Warman, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Penyimpangan konversi hak tanah di Sumatera
Barat, Penerbit Unand Press, Padang hlm. 94-103.
Istilah “desa” dipakai karena SE Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Barat No. DA-6980/III2F/1983 berlaku pada masa
penerapan sistem pemerintahan desa di Sumatera Barat. Dalam kontek sekarang desa harus dibaca “nagari”.
Sejak awal 2010, kedua nagari tersebut, Kambang dan Lakitan, sudah mengalami pemekaran walaupun masih dalam
kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Lengayang. Nagari Kambang mekar menjadi 4 (empat) nagari yaitu Nagari Kambang
Tengah, Kambang Barat, Kambang Timur dan Kambang Utara. Nagari Lakitan juga mengalami pemekaran menjadi 5 (lima)
nagari yaitu Nagari Lakitan, Lakitan Tengah, Lakitan Timur, Lakitan Utara dan Lakitan Selatan. Dengan demikian, penguasaan
dan pengaturan ulayat nagari di masing-masing nagari akan mengalami perkembangan.
Sejak awal 2010, kedua nagari tersebut, Kambang dan Lakitan, sudah mengalami pemekaran walaupun masih dalam
kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Lengayang. Nagari Kambang mekar menjadi 4 (empat) nagari yaitu Nagari Kambang
Tengah, Kambang Barat, Kambang Timur dan Kambang Utara. Nagari Lakitan juga mengalami pemekaran menjadi 5 (lima)
nagari yaitu Nagari Lakitan, Lakitan Tengah, Lakitan Timur, Lakitan Utara dan Lakitan Selatan. Dengan demikian, penguasaan
dan pengaturan ulayat nagari di masing-masing nagari akan mengalami perkembangan.
35
Peran Migrasi dalam Perubahan Sistem Penguasaan
dan Pengelolaan Tanah di Jambi:
Refleksi dan Pembelajaran Terhadap Hak Komunal
Gamma Galudra1
Pengantar
Hak komunal yang digagas oleh
Peraturan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN No. 9 Tahun
2015 (Peraturan MATR/KBPN nomor 9 Tahun 2015)
merupakan inisiatif untuk memberikan kepastian
prosedur bagi pengakuan hak kepemilikan masyarakat
adat atas wilayah kelolanya. Hak komunal atas tanah
dirumuskan sebagai 'hak milik bersama atas tanah suatu
masyarakat hukum adat'. Kepastian prosedur ini
setidaknya memberikan kepastian hukum bagi tanahtanah yang dikuasai masyarakat adat sekaligus
meminimalisir konflik antara pemerintah, pemegang
konsesi dan masyarakat adat.
Namun, terdapat asumsi dan keraguan yang
perlu dipahami sebelum peraturan ini diberlakukan di
seluruh penjuru Indonesia. Asumsi dan keraguan ini
adalah hak komunal ini dibentuk berdasarkan 'mitos'
bahwa sistem penguasaan tanah bersifat statis, tidak
berubah-rubah dimana subjek hak dan bentuk
pengaturan tanah adat yang jelas. Di Indonesia, kondisi
'ideal' ini sulit diterapkan mengingat banyak pihak yang
terlibat, khususnya migran, dalam pengaturan sumber
daya alam dan hubungan banyak pihak ini tanpa sengaja
mengubah sistem penguasaan tanah. Dalam hal ini, ia
pun mengubah subjek hak dan bentuk pengaturan adat.
Untuk itu, tulisan ini mencoba menjabarkan
kondisi penguasaan tanah di lokasi hutan gambut di
Tanjung Jabung Barat (Tanjabar), Jambi. Tanjabar
menjadi lokasi yang menarik mengingat sejarah panjang
migrasi sejak tahun 1920an dan sejarah eksploitasi
1
hutan di tahun 1970an oleh pemegang ijin
hutan. Seiring dengan waktu, konsesi
perkebunan kelapa sawit dimulai di tahun
1980an yang juga disertai oleh
membanjirnya tenaga kerja dari daerah lain
bagi konsesi ini melalui skema transmigrasi.
Sejarah panjang dan berbagai pihak yang hadir di
daerah Tanjabar menciptakan suatu interaksi sosial yang
mengubah pranata dan aturan lokal berkenaan sistem
penguasaan tanah.
Pranata dan aturan sistem penguasaan
tanah di hutan gambut Tanjabar: peranan
migran dan perubahan yang berlaku
Penduduk lokal di Tanjabar adalah suku melayu
yang umumnya adalah nelayan dan peladang berpindah.
Pada mulanya, sistem penguasaan tanah di Tanjabar
hanya memuat empat karakteristik umum yaitu:
1.
2.
3.
4.
Tanah dikuasai oleh komunitas (desa), bukan
individu.
Terbagi atas hak penguasaan tanah dan
pepohonan sebagai sistem penguasaan tanah
informal
Penguasaan tanah memiliki dimensi sakral yang
merupakan bagian produksi dan reproduksi
kelompok sosial.
Tanah tidak bisa diperjualbelikan.
Pesirah, sebagai pimpinan desa, memiliki
otoritas penuh untuk menetapkan areal mana yang layak
dibuka bagi masyarakat desa bagi lahan pertanian. Pada
saat migran dari Sumatera Barat tiba di pertengahan
tahun 1800an, karakteristik ini tidak berubah dimana
para migran ini pun mendapatkan hak dan kewajiban
Peneliti the Consultative Group for International Agricultural Research/CGIAR
36
Peran Migrasi dalam Perubahan Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Jambi:
yang sama dengan penduduk lokal. Namun, pembukaan
hutan ini hanya terjadi di kawasan hutan non-gambut,
dan kondisi ini berubah ketika gelombang migran dari
suku Banjar ini tiba di daerah Tanjabar di tahun 1920an.
Suku Banjar memiliki kemampuan dan teknologi untuk
membuat drainase di hutan gambut. Pesirah
memberikan wilayah hutan gambut kepada warga suku
Banjar namun dengan syarat setiap wilayah yang dibuka,
separuh wilayah tersebut diserahkan kepada pesirah
untuk kemudian dibagikan kepada penduduk lokal. Suku
Banjar kemudian memperkenalkan sistem parit dan
handil di wilayah baru mereka. Kehadiran migran dari
suku Banjar jelas mengubah bentuk penguasaan tanah
di Tanjabar. Pertama, ia membuka wilayah hutan gambut
dimana hutan gambut dianggap sebagai wilayah yang
tidak bertuan. Kedua, suku Banjar memperkenal kan hak
handil dan parit sebagai hak akses terhadap drainase di
wilayah hutan gambut. Ketiga, suku lokal menemukan
cara baru untuk melakukan transaksi pemindahan hak
atas tanah melalui skema 'bagi tanah'.
Di Tanjabar, tidak hanya berlaku perubahan
bentuk penguasaan tanah, namun juga bentuk
pengelolaan tanah. Di kurun waktu 1920an, kolonial
Belanda memperkenalkan tanaman karet di Jambi dan
Kelompok
Migran
Aktor yg
terlibat
Karakterisitik hukum adat
tanaman ini cukup tersebar lebih luas di seluruh Jambi
hingga di penghujung tahun 1960an. Sistem peladangan
berpindah berangsur-angsur berubah menjadi
pertanian menetap dengan karet sebagai komoditas
unggulan. Tanaman karet ini menyebabkan munculnya
hak kepemilikan tanah yang bersifat individual.
Pada tahun 1980an, pemerintah Indonesia
berupaya membuka dan mengkonversi hutan menjadi
p e r ke b u n a n ke l a p a s a w i t . Pe r ke b u n a n i n i
mendatangkan tenaga kerja dari Jawa yang dilakukan
melalui skema transmigrasi. Pembukaan wilayah untuk
usaha perkebunan kelapa sawit mengundang kehadiran
suku Bugis di Riau untuk ikut menjadi tenaga kerja di
konsesi tersebut. Usaha kelapa sawit sangat menjanjikan
sehingga mengundang kebutuhan para migran untuk
memperluas kebun kelapa sawit mereka. Komoditas
kelapa sawit juga mengundang penduduk lokal untuk
turut serta menanam di tanah penguasaan mereka.
Namun, keterbatasan modal dan pengetahuan
menghambat keinginan mereka.
Interaksi diantara penduduk lokal dan para
migran dari Jawa dan Bugis kemudian memperkenalkan
skema baru. Dengan berbasis skema 'bagi-tanah' yang
Kerangka tenurial
Alasan perubahan
·
Kepemilikan komunal,
melalui kewenangan
pesirah
·
Terkelompok dalam
hak milik atas tanah dan
pepohonan
·
Bagian dari produksi
dan reproduksi
kelompok sosial
·
Tanah tidak dapat
diperjualbelikan
Minangkabau
(1800-1900)
Banjar (1920)
Pengenalan
tanaman karet
Bugis dan Jawa
(1980s)
Pesirah
untuk
tanah
berhutan
Pesirah
untuk
tanah
berhutan
‘sistem pemberian’ kepada
hutan terlantar
‘sistem pemberian’ kepada
hutan terlantar
Parit (hak untuk
membuka dan pengairan
hutan gambut)
Mengatur penanaman
intensifikasi ke hak tanah
privat
·
Privatisasi tanah
Mawah (bagi tanah)
· Untuk
membuka dan
pengairan hutan
gambut
· Perluasan
wilayah adat
Akses teknologi dan
modal (kelapa sawit)
37
Peran Migrasi dalam Perubahan Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Jambi:
sempat diperkenalkan kepada suku Banjar, masyarakat
lokal dan pendatang Jawa dan Bugis sepakat
menggunakan skema ini dengan persyaratan yang
berbeda. Para pendatang diminta untuk menanam
kelapa sawit hingga usia siap panen (sekitar 4-6 tahun) di
kawasan hutan dan kemudian membagi tanah tersebut,
separuh untuk pendatang dan separuh lainnya bagi
penduduk lokal. Kondisi ini memudahkan penduduk
lokal untuk akses kepada permodalan dan keterampilan
d a l a m m e n a n a m ke l a p a s a w i t . D i a g ra m 1
mengilustrasikan proses perubahan sistem penguasaan
tanah di Tanjabar beserta peran migran di dalam proses
tersebut. Untuk memperkuat kesolidan atas
ketermajemukan antar suku yang berbeda di Tanjabar,
masyarakat ini mendeklarasikan sebagai masyarakat
adat 'Melayu Jambi' yang terdiri dari suku melayu, bugis,
banjar dan jawa. Proses melayunisasi ini berakar dari
hubungan mutualisme diantara para suku dan kondisi ini
dapat ditunjukan pada proses sejarah evolusi sistem
penguasaan tanah yang bersifat 'cair' dengan
mengakomodisasi hubungan sosial dan kepentingan
antar suku, modernisasi dan pembangunan.
38
Refleksi terhadap Peraturan MATR/KBPN
No. 9 Tahun 2015
Ditinjau penjabaran di atas, ada kekhawatiran
berkenaan dengan Permen ini. Peraturan ini mengatur
bahwa permohonan untuk hak komunal ini dapat
diajukan oleh Kepala Adat dengan syarat: riwayat
masyarakat hukum adat dan tanahnya, kartu identitas
pemohon dan surat keterangan dari desa. Proses
verifikasi dilakukan oleh tim IP4T (Inventarisasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan
Tanah) dengan mengidentifikasi pemohon, riwayat
tanah, jenis penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan
tanah, mengidentifikasi dan menginventarisasi batas
tanah, melakukan pemeriksanaan lapangan, analisa
data yuridis dan data fisik bidang tanah.
Kondisi ini jelas menyulitkan mengingat
kelompok adat di beberapa daerah bersifat heterogen,
terdiri dari beragam etnik. Kategorisasi adat dan nonadat sebagai tolok ukur dalam identitas jelas sulit
diterapkan di kasus Tanjabar ini. Tidak menutup
kemungkinan konflik sosial antar suku mudah terjadi jika
tim verifikasi tidak hati-hati memahami proses integrasi
antar suku yang berbeda dalam satu kesatuan identitas
seperti 'Melayu Jambi' di Tanjabar.
TANAH DAN WILAYAH ADAT
PADA MASYARAKAT KULAWI,
SULAWESI TENGAH
Andreas Lagimpu1
Sekilas sejarah Masyarakat Kulawi
Masyarakat Adat Kulawi adalah salah satu dari
beberapa suku yang berada di Sulawesi Tengah.
Mereka bermukim pada empat wilayah kecamatan di
dataran Kulawi di Kabupaten Sigi. Masyarakat Adat
Kulawi mempunyai dialeg bahasa, yaitu dialek Moma,
Dialek Tado, dialek Uma,dan dialek Ompa. Komunitas
yang menggunakan dialek Moma bermukim pada
bagian tengah dataran Kulawi yaitu Desa Bolapapu,
Desa Namo, Desa Mataue, Desa Sungku, Desa
Boladangko, Ngata Toro. Dialeg Tado bermukim di
bagian timur pegunungan Kulawi tepatnya di Desa
Langko, Desa Tomado, dan Desa Anca. Dialek Uma
bermukim di bagian selatan Dataran Kulawi yang
berada pada bagian pegunungan Pipikoro yaitu Desa
Kantewu , Desa Peana, Desa Onu, Desa Poraelea, Desa
Lawe, Desa Morui, Desa Koja, Desa Towulu, Desa
Siwongi, Desa Mapahi, dan Desa Banasu. Walaupun
terdiri dari beberapa dialeg bahasa komunitas kulawi
menampilkan suatu kultur atau budaya adat istiadat
yang sama namun juga mempunyai varian-varian satu
dengan yang lain.
Masyarakat Adat Kulawi sudah terbentuk
beberapa abad yang lampau yang secara geografis
mempunyai wilayah adat yang sangat jelas batasbatasnya hingga pada saat ini. Dalam
perkembangannya pada masyarakat kulawi juga
sudah terjadi pembauran dengan suku-suku lain yang
ada disekitar Provinsi Sulawesi Tengah maupun dari
provinsi-provinsi lain. Masyarakat Kulawi dan
lingkungannya membentuk suatu kesatuan budaya
yang ditandai dengan tetap terpeliharanya relasi yang
harmonis antara masyarakat meskipun berbeda
agama dan tingkat sosial. Pengelolaan alam serta
keseimbangan alam juga yang masih terjaga dan
terpelihara. Keseimbangan ini terbentuk dan terjadi
adanya pranata sosial budaya yang menata atur ruang
hidup, kehidupan serta penghidupan komunitas
Kulawi.
Pranata Sosial Tradisional
Pranata sosial tradisional Komunitas Kulawi
pada dasarnya berporos pada pandangan budaya
mengenai nilai utama , yaitu Hintuwu dan Katuwua.
Hintuwu adalah nilai ideal yang mengatur hubungan
antar sesama manusia yang dilandaskan atas prinsipprinsip penghargaan, solidaritas dan musyawarah
(Pomebila, Mahingkau, Hintuwu Libu) Sedangkan
Katuwua adalah nilai ideal dalam relasi manusia
dengan alam dan lingkungan hidupnya
(Popahilolonga Katuwua) yang dilandasi oleh sikap
kearifan dan keselarasan dengan alam.
Kedua nilai ideal ini membentuk kerangka
ideal bagi hubungan sosial yang menjadi acuan
normatif yang dihayati bersama dalam menentukan
layak tidaknya suatu tindakan konkret tertentu, baik
yang berkaitan dengan interaksi antar manusia
maupun dengan alam. Hal ini dimantapkan oleh
aturan-aturan hukum dan peradilan adat yang
menjamin nilai-nilai tadi ditaati oleh semua warga
Masyarakat Kulawi. Kalau tidak ingin dijatuhi sanksi
adat dan dikucilkan. Penegakan aturan adat dilakukan
oleh Totua Ngata (Dewan Totua Adat), sebuah
lembaga kepemimpinan lokal yang tetap berwibawa
dan berfungsi efektif hingga saat ini.
1 Pemerhati Budaya dan Adat Kulawi
39
Tanah dan Wilayah Adat pada Masyarakat Kulawi, Sulawesi Tengah
Pandangan tentang Tanah dan Wilayah
Adat.
Seperti yang disebutkan di atas, Masyarakat
Adat Kulawi yang bermukim disekitar dan di dalam
Pegunungan Nokilalaki dan Tarawangu arah selatan
lembah Palu. Alam sekitar pemukiman Masyarakat
Kulawi menyimpan berbagai kekayaan Alam, baik
flora dan fauna serta bahan mineral yang banyak
terkandung di dalamnya (konon sudah menjadi
incaran para investor dalam maupun luar negeri).
Wilayah yang menjadi pemukiman ini sudah didiami
secara turun temurun dan telah berselang berabad
abad lamanya mempunyai pandangan dan konsep
kearifan tradisional tentang tanah dan wilayah
keadatannya.
1.
Tanah dan Wilayah Adat
Bagi Masyarakat Adat Kulawi, Tanah adalah
bagian utama dan penting dalam Konsep Katuwua”
yang mengisi ruang hidup, kehidupan, serta
penghidupan manusia dan mahluk ciptaan lain yang
hidup diatasnya (Tana pebereaa, pentumua mpengila
to natuwu bo nepatuwu). Tanah juga dipahami
sebagai tempat manusia untuk hidup, mencari
kehidupan juga sebagai sumber penghidupan. (I
Katuwui, I kami, I pahilolonga pampalii katuwua).
Selain itu Tanah juga dipandang sebagai bagian dari
ciptaan Tuhan (Toi Ponu To Pehoi). Berdasar pada
pandangan ini pula, dalam Masyarakat Kulawi Tanah
tidak hanya dilihat dari sisi manfaatnya yang mengisi
ruang hidup, kehidupan serta penghidupan tapi juga
juga yang lebih penting adalah bahwa Tanah
mempunyai nilai spiritual. Disini pula peran
kelem b a ga a n d en ga n s ega la in st r u m en
kelembagaannya (hukum/aturan adat) sangat penting
dalam menjaga nilai agar tetap terpelihara, terjaga
agar masyarakat tidak serampangan atau sembarang
memiliki, memanfaatkan Tanah.
Dalam pengaturan pemanfaatan tanah,
Masyarakat Kulawi berpegang pada hukum/aturan
adat yang membedakan dimana letak tanah dan
hutan yang layak menjadi tanah ulayat/Adat, Hutan
Adat.atau yang biasa disebut dalam bahasa Hukum
Adat Kulawi ”Huaka”. Dan di dalam Huaka inilah ada
tanah atau hutan dimiliki secara perorangan, keluarga,
yang disebut pula dalam bahasa Hukum Adat Kulawi
“Dodoha”. Jadi tanah dan wilayah adat dalam tatanan
sosial Masyarakat Adat Kulawi mempunyai
40
keterkaitan dan makna yang sangat erat.
2.
Pengertian Hak Kepemilikan bersama Huaka.
Huaka yang berada dalam Wilayah Adat
dimaksud dengan Huaka adalah suatu kawasan yang
ditetapkan dan berstatus milik bersama atau
kepemilikan bersama. Obyek yang dimaksud Huaka
tidak hanya tanah tetapi juga semua tumbuhan yang
tumbuh di atasnya bahkan sampai pada kandungan
yang ada di dalam Huaka. Kawasan yang berstatus
Huaka ada pengaturan zonasi yang harus diperhatikan
dan dipatuhi oleh masyarakat. Dalam zonasi
tradisional ini ditentukan runutan kawasan yang
dapat dimanfaatkan dan dimiliki secara umum.
Sebagai fakta atas kepatuhan, ketaatan masyarakat
Kulawi atas tertib sosial (hukum adat) yang mengatur
pola kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber
daya alam lainnya, hingga saat ini seluruh wilayah
adatnya masih tetap terjaga kelestariannya hutannya,
kurangnya konflik tenurial yang timbul diantara
Masyarakat Kulawi sendiri maupun dengan
masyarakat lain yang bertetangga dengan Wilayah
Keadatan Kulawi. Sebagian Wilayah Keadatan Kulawi
juga menjadi Kawasan Konsevasi Taman Nasional Lore
Lindu yang paling luas. Adanya penentuan kawasan
yang menjadi Huaka juga dikandung maksud sebagai
areal cadangan wilayah kelola masyarakat jika terjadi
pertambahan penduduk dan perluasan Ngata atau
Kampung. Dengan tetap berpegang pada prinsip
kearifan lokal serta tertib sosial lainnya yang sudah
teruji keberadaanya dalam pemanfaatan sumber daya
alam termasuk tanah yang berkeadilan berkelanjutan
dan lestari.
3.
Dodoha
Dodoha adalah bentuk kepemilikan tanah
secara pribadi, keluarga, marga. Beberapa syarat dan
proses penentuan hak kepemilikan pribadi, keluarga,
marga, atas tanah atau areal tertentu misalnya
Popangalea, hutan yang dibuka seseorang, keluarga,
marga, namun pemilikan ini tetap diatur dan
ditetapkan oleh lembaga adat. Kepemilikan pribadi
keluarga marga ini juga biasa terjadi dengan adanya
transaksi jual beli antar pribadi, keluarga, marga,
tetapi walaupun dilakukan dengan bertransaksi juga
masih dilakukan di hadapan lembaga adat dan atau
disaksikan oleh salah seorang Totua Ngata. Tanah
yang menjadi milik pribadi, keluarga, marga inilah
yang biasanya menjadi warisan atau menjadi
pewarisan seseorang pada anak, antar keluarga,
ataupun marga.
Tanah dan Wilayah Adat pada Masyarakat Kulawi, Sulawesi Tengah
4.
Wilayah Adat
Apa yang dipahami oleh Masyarakat Kulawi
tentang wilayah adat adalah suatu kawasan yang
sudah didiami oleh masyarakat secara turun temurun.
Wilayah adat juga ditandai oleh batas batas yang jelas
pada bagian bagian tertentu. Dalam penentuan
wilayah adat dengan wilayah adat komunitas yang lain
seperti tetangga kampung (Tongki Ngata) dilakukan
secara musyawarah mufakat, biasanya juga dengan
mengikuti legenda dan atau mitos-mitos kampung,
seperti contoh Ngata Toro. Penentuan wilayah atau
Huaka Ngata Toi Toro didasari pada Legenda “gasing
emas”. Penentuan wilayah adat juga diatur dalam
hukum adat/aturan adat yang biasa disebut Haropu
Ada Pohudu Katoa Ngata.
Kondisi dan situasi tanah dan wilayah adat
Tanah komunal dan wilayah adat di beberapa
komunitas/masyarakat adat yang dulunya masih jelas
kepemilikannya dan pengelolaannya, saat ini justru
terjadi ketidakpastian dan ketimpangan dalam
menata aturnya. Hal ini sudah menghambat
pencapaian efektifitas dan keadilan dalam persoalan
tanah/tenurial di Indonesia negara yang juga disebut
negara agraris tapi mempunyai persoalan Agraria
yang tak kunjung selesai.
Persoalan ini tidak hanya menimpa
masyarakat adat atau masyarakat lokal akan tetapi
juga menimpa pada institusi lain dan pemerintah.
Tumpang tindih klaim atas tanah dan kawasan hutan
terjadi di antara legislasi dan kebijakan yang belum
terformulasi jelas seperti Peraturan Mentri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 2015. Penafikan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak tenurial masyarakat
adat atas tanah komunal serta wilayah adat. Ini juga
menjadi bagian dari benih konflik atau kemunculan
konflik tanah/tenurial di berbagai tempat di nusantara
ini.
Mengapa Pengakuan atas Tanah Komunal dan
Wilayah Adat menjadi Agenda Penting bagi
Kementrian ATR/BPN saat ini?
Perubahan kebijakan yang inkremental
perlu diarahkan menjadi perubahan yang terarah
dan berdimensi jangka panjang dan dapat diterima
oleh semua pihak pemangku kepentingan pada
persoalan tanah dan wilayah adat.
Ke m e n t e r i a n AT R / B P N h e n d a k nya
membebaskan diri dari beban lama nan berat
seperti bertumpuknya persoalan tanah komunal
dan wilayah adat yang dicaplok secara sepihak oleh
para pemodal yang diberi izin oleh pemerintah dan
memanfaatkan tanah-tanah, hutan komunal,
wilayah adat dengan cara pengelolaan berskala
besar dan terkadang mengabaikan prinsip
keseimbangan ekologi yang mengancam
kelestarian alam.
Di kalangan masyarakat adat ketika
pengakuan dan perlindungan itu lebih dijabarkan
secarah utuh, Pemerintah tidak akan terbeban
sampai pada pengurusan di tingkat bawah.
Mengapa demikian? Pengelolaan sumber daya
alam termasuk tanah komunal wilayah adat sudah
ada kelembagaan yang mengaturnya dalam tertib
sosial tradisional di setiap komunitas/masyarakat
adat yang kearifan lokalnya masih diakui dipatuhi
oleh masyarakatnya. Ketika ada konflik sekitar
persoalan tanah masih terdapat peradilan adat
yang dapat menyelesaikannya. Yang dibutuhkan
masyarakat adat saat ini bukan lagi political will tapi
political action dari pemerintah yang
membutuhkan political braveness untuk
mengeksekusi kebijakan kebijakan sampai ketingkat
tapak.
41
Mempromosikan
Hak Komunal
Ahmad Nashih Luthfi dan
Moh. Shohibuddin
Pengantar
Ada kontroversi dalam Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam
Kawasan Tertentu (Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015). Salah satu di antaranya adalah merancukan
antara hak komunal dan hak ulayat serta
ketidakjelasan dimensinya sebagai hak keperdataan
ataukah publik. Dihapusnya Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat oleh
Permen tersebut juga dinilai tidak tepat (Maria W.
Sumardjono Kompas, 6 Juli 2015). Saat ini Permen
tersebut sedang diajukan judicial review ke
Mahkamah Agung.
Meski demikian, regulasi itu membuka diskusi
mengenai keberadaan hak komunal atas tanah di
Indonesia yang sepatutnya mendapatkan perhatian
untuk diteliti secara empiris hingga pemikiran
pengelolaannya lebih lanjut. Terutama untuk
menjangkau (1) realitas tanah komunal yang ada
dengan aneka variasinya, dan (2) urgensi eksistensi
sumber daya bersama (the commons).
Dimensi tanah komunal
Mendiskusikan hak komunal perlu keluar dari
asumsi bahwa ia hanya tersedia dalam sistem ulayat,
serta ada dalam 'kawasan tertentu' berupa hutan dan
perkebunan seperti yang disebut Permen di atas.
Sebagai ilustrasi, di pedesaan Jawa terdapat tanah
komunal yang mengikat hubungan antara pemilik,
42
penggarap, dan desa. Dalam pengajaran hukum, jenis
tanah komunal tersebut selama ini cukup disebut
sebagai "hak-hak atas tanah sebelum UUPA" yang
perlu dikonversi kedalam hak atas tanah yang tersedia
dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA) Pasal 16, tanpa disertai
pemahaman lebih jauh tentang riwayat
pembentukan, karakter, posisi dan persistensi hak
tersebut dalam masyarakat. Spektrum keberadaan
tanah komunal luas, seperti keberadaan tanah gogol
dan tanah pekulen.
Tanah gogolan adalah tanah komunal
kepunyaan bersama para gogol (penduduk) desa yang
pengaturannya ada di pihak desa dan dikerjakan oleh
para gogol. Tanah komunal gogol ini tidak sama baik
dan suburnya sehingga ada yang dibagikan hak
pengerjaannya secara bergantian tempat serta
perubahan luas tanahnya. Ada dua jenis tanah
komunal gogol: (a) tanah komunal dengan
penggarapan tetap (communaal bezit met vaste
aandelen), (b) tanah komunal dengan penggarapan
bergilir (communal bezit met wiselende aandelen).
Tanah komunal ini terutama terdapat di Jawa Tengah
dan Jawa Timur (M. Tauchid 2009: 150-151).
Keberadaan tanah gogol tetap dan gogol gilir
masih ada dan dipertahankan, seperti dijumpai di
Sidoarjo Jawa Timur. Mengikuti aturan UUPA,
sebagian tanah gogol tetap telah lama dikonversi
menjadi hak milik. Ini diatur dalam Keputusan
Bersama Menteri Pertanian dan Agraria dan Menteri
Dalam Negeri, No. SK. 40/KA/1964, DD. 18/1/32
Tentang Penegasan Konversi hak Gogolan Tetap.
Sedangkan gogol gilir masih dikelola dalam sistem
lama bahkan keberadaannya saat ini dinyatakan oleh
Kantah BPN meliputi 70 persen dari keseluruhan luas
tanah di Sidoarjo. Mengikuti aturan konversi dalam
Mempromosikan Hak Komunal
UUPA, maka pilihan yang tersedia adalah
mengubahnya menjadi hak milik atau hak pakai. Jika
pilihannya adalah hak milik, maka akan muncul
masalah berupa hapusnya sifat komunal bergilir yang
telah menyediakan fungsi redistributif bagi petani
miskin. Pilihan menjadi hak pakai juga menyisakan
pertanyaan tentang kepada siapa subyek hak pakai itu
diberikan, unit desa ataukah individu gogol.
Di Purworejo, Jawa Tengah juga terdapat hak
serupa yang dikenal dengan tanah pekulen. Tanah
pekulen di desa Ngandagan misalnya, keseluruhannya
berupa sawah yang telah dimiliki secara perorangan
dan turun temurun oleh para petani kuli baku. Oleh
pemerintah desa sejak 1947 setiap sawah seluas 300
ubin (1 ubin = 14 m2) milik kuli baku diambil 90 ubin
untuk dikelola oleh desa dan diberikan hak garapnya
secara bergiliran kepada tunakisma yang disebut
buruh kuli. Tanah yang digarapnya disebut tanah
buruhan. Kebijakan landreform ini mendasarkan pada
sistem tenurial adat setempat. Bukan hanya
redistribusi namun juga ia memberi fungsi baru
berupa terputusnya kewajiban feodal buruh kuli
terhadap kuli baku dan beralih kepada desa dalam
fungsi-fungsi sosial seperti ronda dan kerja bakti desa
(Shohibuddin dan Luthfi 2009). Dalam
perkembangannya, di tengah tekanan penduduk serta
kebutuhan atas tanah yang semakin besar, bukan
hanya tanah seluas 300 ubin yang terkena kebijakan
itu, namun juga di bawahnya dengan perolehan
luasan yang sangat kecil seukuran benggolan 2,5 ubin
(Luthfi dkk. 2013).
Tanah gogol gilir di Sidoarjo dapat kita sebut
sebagai milik komunal dengan hak garap individual
(communal ownership with individual use rights).
Tanah kulian di Ngandagan Purworejo justru
sebaliknya. Secara formal kuli baku memegang bukti
kepemilikan tanah serta membayar PBB atas
keseluruhan 300 ubin, meski dalam praktiknya
mereka hanya memanfaatkan tanah seluas 210 ubin
setelah diambil 90 ubin oleh kebijakan landreform itu.
Ini bisa kita sebut hak milik individu dengan hak garap
komunal (individual ownership with communal use
rights). Keduanya tentu saja bukan tanah ulayat, tidak
pula di dalam pengelolaan masyarakat hukum adat,
namun hak komunal di desa. Desa bukan sebagai
subyek hukum namun sebagai lokus tempat
keberadaan hak tersebut serta otoritas yang diberi
mandat mengelola sumber daya bersama tersebut.
Mengenai riwayat terbentuknya tanah
komunal, beberapa literatur menjelaskan secara
berlainan. Pada umumnya menganggap bahwa
komunalitas masyarakat Indonesia, termasuk hak atas
tanah komunal, adalah sifat asli yang telah ada sejak
dulu. Persentuhannya dengan peradaban baru
menjadikannya ia berubah menjadi (hak) individual.
Juga ada tanah komunal asli di desa-desa Jawa yang
dipengaruhi oleh sistem penguasan tanah Mataram.
Pandangan kritis mengatakan bahwa tanah komunal
bukanlah asli Indonesia namun fenomena baru hasil
bentukan kolonial. Tanah komunal diciptakan untuk
memudahkan pelaksanaan leverancien dan
contingenten yang pertanggungjawabannya mudah
tatkala dikontrol melalui satuan desa (Vollenhoven
dalam M. Tauchid 2009; van der Kroef 2008). Namun
dalam kasus Ngandagan, di bawah semangat
Kemerdekaan sistem itu telah mengalami retooling
nilai-nilai feodal dan kolonialnya. Ada proses
pembalikan arah dari yang semula bertujuan untuk
mobilisasi dan kontrol penduduk menjadi fungsi
redistributif dan pemerataan kesejahteraan bagi
masyarakat desa. Terlepas dari soal asli tidaknya tanah
komunal, dalam praktiknya ia memiliki fungsi
pemerataan dan beberapa kelebihan lain.
Kita tidak sedang memperkenalkan jenis hak
baru namun menggali kembali adanya hak komunal
dan sistem pengelolaan tanah komunal yang secara
sosiologis masih ada dan dipraktikkan oleh
masyarakat.
Terobosan hukum
Dengan beragamnya sistem pengelolaan
tanah semacam itu maka kita memerlukan terobosan
hukum yang dapat mengakomodir keberlangsungan
hak komunal baik dalam pengertian hak milik maupun
hak garap tersebut. Sertipikasi tanah yang mengunci
hanya pada subyek hukum individu, badan hukum,
dan desa, akan tidak tepat jika dipraktekkan pada
kedua kasus tersebut.
Terobosan hukum itu sebenarnya juga dapat
berangkat dari UUPA dengan penafsiran lebih lanjut.
Dalam Pasal 16 ayat (1) poin (h) disebutkan bahwa
diantara hak atas tanah ialah "hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
43
Mempromosikan Hak Komunal
dalam pasal 53". Aturan ini membuka kemungkinan
adanya dua hal yang memerlukan kejelasan dan
pengaturan lebih jauh, yakni 'hak yang belum
termasuk' dan 'hak yang bersifat sementara'. Pasal 53
menyebutkan bahwa hak yang bersifat sementara itu
adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang dan hak sewa tanah pertanian.
Mengikuti aturan di atas maka hak gogolan
yang bersifat komunal itu dapat dianggap masuk
dalam kategori hak yang belum termasuk. Dalam
konteks historis, realitas keberadaan hak itu
sepertinya telah dipahami oleh para perumus UUPA
dan diberi peluang pengakuan hukumnya di masa
mendatang. Ia tidak selalu bisa dikonversi kedalam
jenis hak yang ada. Terhadap tanah buruhan, bisa saja
ia disebut sebagai tanah dengan hak menumpang.
Dengan catatan, tanah yang diperoleh bukan langsung
dari pemilik kulian namun melalui pengaturan dan
otoritas desa. Seturut dengan Pasal 53, maka kedua
realitas hak komunal itu dapat ditetapkan melalui
Undang-undang.
The commons
Di luar aspek hukum, kita perlu memikirkan
lebih lanjut mengenai keberadaan 'sumber daya
bersama' (the commons). Ia bisa merujuk pada dua
hal. Pertama, sumber daya desa (atau antar desa)
yang memiliki ciri sumber daya bersama milik umum
(commons). Misalnya, lahan penggembalaan
bersama, mata air, catchment area, dsb. Di wilayah
konflik Urutsewu misalnya, sebagian lahan yang
diperebutkan adalah tanah komunal bernama
berasengaja, atau sengaja diberakan untuk ladang
penggembalaan. Di pegunungan Kendeng terdapat
banyak ponor atau resapan air, gua dan sumber mata
air yang menjadi cadangan kebutuhan air masyarakat.
Sudah tepat jika Perda. RTRW Jawa Tengah No. 6
Tahun 2010 dan Perda. RTRW Kabupaten Rembang
No. 14 Tahun 2011 menetapkannya sebagai wilayah
imbuhan air, disusul Keputusan Presiden No. 26 tahun
2011 yang memutusnya sebagai wilayah Cekungan Air
Tanah (CAT).
Kedua, ia bisa merujuk kepada sumber daya
yang dimiliki secara bersama-sama (common
property), baik yang pengelolaannya dijalankan
secara bergiliran atau secara kolektif. Dalam konteks
UU No 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, telah
44
diatur 'tanah bersama'. Tanah ini kepemilikannya
secara kolektif. Di atasnya didirikan bangunan dengan
ruang-ruang milik bersama maupun pribadi.
Demikian pula Hak Guna Bangunan bersama
gabungan dari private property yang dapat
memperoleh hak kolektif.
Dalam literatur terakhir, sumber daya
bersama (the commons) maupun kepemilikan
bersama sumber daya (common property), berikut
kelembagaan pengelolaannya yang bersifat kolektif,
kian diakui relevansinya dan dinilai sebagai tidak kalah
efisien dibanding private property. Bahkan ia punya
keunggulan lain dibanding private property, seperti
pengelolaan yang lebih ramah lingkungan, benefits
sharing di antara para anggotanya, dan lebih terhindar
dari proses pasar tanah yang telah menyebabkan
banyak petani gurem kehilangan tanahnya (piecemeal
dispossession).
Oleh karena itu, hak komunal dapat menjadi
alternatif dari hak privat, hak badan hukum korporasi,
bahkan hak ulayat. Hak privat menghadapi problem
mudahnya peralihan hak melalui transaksi tanah.
Bahkan dalam pengalaman redistribusi melalui
program PPAN tahun 2007, kurang dari sepuluh tahun
sertipikat tanah yang diterima telah beralih ke pemilik
baru melalui jual-beli. Kepemilikan individu juga
cenderung menjadi terfragmentasi melalui
pewarisan, dan rentan terampas di tengah kondisi
pengambil-alihan tanah untuk proyek global serta
dalam situasi himpitan sosial-ekonomi yang tidak
menguntungkan kehidupan masyarakat tani.
Sedangkan penguasaan tanah korporasi bersifat tidak
menyerap tenaga kerja yang cukup, semakin
menambah akutnya ketimpangan penguasaan tanah,
serta terkonsentrasinya modal serta hasil atas tanah
pada pihak korporasi. Hak ulayat perlu diakui meski
masih menyisakan problem jika didasarkan pada
klaim keaslian (indigineous) dan menafikkan
ketimpangan internal baik secara kelas maupun
jender (Ben White 2015).
Oleh karena itu terhadap keberadaan
kepemilikan komunal di masyarakat penting
dilakukan: (1) terobosan hukum yang mengakui tanah
komunal dan menjangkau lebih luas di luar kerangka
tanah ulayat, (2) memperluas kategori sumber daya
bersama lainnya dalam arti milik umum (commons)
dan bukan hanya tanah, serta dalam pengertian milik
bersama (common property), (3) memperluas subyek
Mempromosikan Hak Komunal
hak bukan sekedar komunitas adat, namun juga desa,
badan usaha petani, dll. Dikaitkan dengan Undangundang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, kewenangan
desa dalam mengelola sumber daya agraria terbatas
pada Aset Desa. Demikian pula Badan Usaha Milik
Desa (BUM Des) yang dibentuk oleh Desa. BUM Des
semestinya menjadi kesempatan baru sebagai badan
usaha bersama yang membuka keanggotaan warga
desa termasuk para petani, serta ikut andil dalam
mengelola aset desa lebih luas, termasuk sumber
daya agraria bersama di desa tersebut. BUM Des
dalam bentuk koperasi adalah salah satu pilihannya.
Dapat juga berupa Badan Usaha Buruh Tani (BUBT)
sebagaimana dulu pernah digagas oleh Prof. Sajogyo.
Lembaga ini melakukan konsolidasi tanah pertanian
agar bermanfaat bagi buruh tani. Dana desa juga
dapat digunakan untuk membiayai pengadaan tanah
agar desa mendapatkan tanah baru dalama arti
pemilikan maupun penguasaan. Tanah-tanah itu lalu
diredistribusi penggarapannya kepada buruh tani dan
petani miskin secara bergiliran, serta kepada generasi
muda laki-laki dan perempuan yang berminat pada
aktifitas pertanian.
Desa yang telah demikian terpolitisasi dan
tidak jarang dimanfaatkan oleh elitnya untuk
mengambil keuntungan atas sumber daya agraria
terbuka bahkan hingga berujung pertentangan dan
sengketa dengan warganya, harus direvitalisasi
menjadi desa dengan fungsi redistributif melalui
pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya
bersama tersebut.
Daftar Pustaka
Kroef, Justus M. van der. "Penguasaan Tanah dan
Struktur Sosial di Pedesaan Jawa" dalam SMP.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.)
Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari
Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008
Luthfi, Ahmad Nashih. Kondisi dan Perubahan Agraria
Desa Ngandagan di Jawa Tengah, Dulu dan
Sekarang, Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional, 2013
Shohibuddin, Moh. dan Ahmad Nashih Luthfi.
Landreform Lokal a La Ngandagan, Inovasi
Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa,
1947-1964, Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional dan Sajogyo Institute, 2010
Sumardjono, Maria W. "Ihwal Hak Komunal atas
Tanah", Kompas, 6 Juli 2015
Tauchid, Moh. Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia. Yogyakarta: STPN dan Pewarta,
2009
White, Ben. "Agrarian Reform and Smallholder Rights
in Indonesia: Alternatives to Corporate,
Customary And Private Tenure", Makalah
pada Konferensi Contested Access to Land in
the Philippines and Indonesia, University of
The Philippines at Diliman, 16-17 Februari
2015
45
Resensi Buku Epistema
REFORMA AGRARIA
DALAM KONSTITUSI
Judul: Konstitusionalisme Agraria
Penulis: Yance Arizona, SH., MH.
Kata Pengantar: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
Penyunting: Noer Fauzi Rachman, Ph.D
Penata Letak: Eko Taufik
Penerbit: STPN Press
Tahun Terbit: ©2014
Halaman: xxx+496 hlm: 15 x 23 cm.
ISBN: 978-602-789412-9
UUD 1945 sebagai konstitusi Negara
Republik Indonesia memiliki banyak wajah. UUD
1945 tidak saja dapat dilihat sebagai konstitusi
politik (political constitutional) yang mengatur
pembagian kekuasaan di dalam negara, melainkan
dapat juga dilihat sebagai konstitusi ekonomi
(economic constitution) dan konstitusi sosial (social
constitution). UUD 1945 juga disebut sebagai
konstitusi hijau (green constitution) karena berisi
dasar-dasar pengaturan mengenai pengelolaan dan
perlindungan hidup, bahkan konstitusi maritim
(blue constitution) yang menegaskan keberadaan
Indonesia sebagai negara kepulauan.
Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK)
dengan kewenangannya untuk melakukan judicial
review atas semua isu konstitusionalitas UndangUndang (UU), berbagai gagasan untuk memastikan
bahwa UUD 1945 benar-benar diperlakukan
sebagai 'the highest law of the land”, sehingga
semua bidang pembangunan yang kebijakannya
dituangkan resmi dalam bentuk UU haruslah
tunduk kepada dan tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan UUD 1945. Karena itu, kebijakan
di semua bidang pembangunan, termasuk di bidang
46
Malik
Staf Program Epistema Institute
keagrariaan, juga harus mengacu kepada UUD
1945. UUD 1945 harus dijadikan sumber rujukan
tertinggi dalam semua kebijakan pembangunan
nasional. Dalam berbagai kesempatan Jimly
Asshiddiqie sering memperkenalkan istilah-istilah
konstitusi ekonomi, konstitusi sosial, konstitusi
lingkungan hidup (green constitution), konstitusi
tanah dan air (green and blue constitution),
konstitusi agraria, konstitusi maritim (maritime
constitution), konstitusi kehutanan, konstitusi
pendidikan, konstitusi kesehatan, konstitusi
keuangan, konstitusi perpajakan, konstitusi
kesejahteraan, konstitusi keadilan, dan bahkan
konstitusi kebebasan.
Sesuai dengan fungsinya, UUD 1945 sebagai
sumber hukum tertinggi juga dapat dipahami
sebagai konstitusi persatuan (integrating
constitution). Dalam menentukan aturan-aturan
konstitusional, UUD 1945 tidak boleh dipahami
sebagai konstitusi yang mengatur dan membatasi
(regulating and limitating constitution), tetapi juga
merupakan konstitusi pembebasan (liberating
constitution). UUD 1945 merupakan konstitusi yang
membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan
Reforma Agraria dalam Konstitusi
atau belenggu penjajahan bangsa asing. Sebagai
konstitusi proklamasi, UUD 1945 membebaskan
rakyat Indonesia menjadi rakyat yang bebas dan
merdeka. Bebas sebagai orang per orang, serta
merdeka dan berdaulat sebagai bangsa yang
menghimpun diri dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka,
berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Pe rs o a l a n ko n st i t u s i a g ra r i a ata u
konstitusionalisme agraria yang ditulis oleh Yance
Arizona dalam buku ini merupakan persoalan
penting untuk melihat bagaimana persoalan agraria
dikonstitusionalisasikan ke dalam UUD 1945 dan
bagaimana ia diterapkan dalam berbagai rezim
pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia.
Selain itu, buku ini tidak saja menghantarkan pada
pemahaman tentang bagaimana sejarah kebijakan
agraria, tetapi juga menghadirkan cara pandang
baru dalam memahami kebijakan agraria pada
tingkat tertinggi di Indonesia, yaitu UUD 1945.
Konstitusi agraria merupakan konstitusi
yang berisi landasan mengenai hubungan antara
negara dan warga negara terhadap tanah dan
sumber daya alam lainnya. Istilah Konstitusi Agraria
merupakan istilah baru baik dalam kajian konstitusi
maupun kajian agraria. Hubungan keagrariaan
antara negara dan warga negara atas tanah dan
sumber daya alam lainnya merupakan hal pokok
yang menjadi dasar berdirinya suatu negara. Tanah
dan sumber daya alam lainnya merupakan wilayah
yang menjadi unsur keberadaan suatu negara.
Tanpa diatur di dalam konstitusi pun, hubungan
penguasaan antara negara terhadap tanah dan
sumber daya alam lainnya telah ada. Tetapi
beberapa negara menegaskan hubungan
penguasaan negara terhadap tanah dan sumber
daya alam lainnya dalam kaitannya dengan sistem
ekonomi yang hendak dibangun. Konstitusi
merupakan keseluruhan peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara
mengikat cara suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu negara. Menurut K. C.
Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem
ketatanegaraan suatu negara yang berupa
kumpulan peraturan yang membentuk
mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu
negara (Wheare, 1960). Menurut Jimly Asshiddiqie,
konstitusi merupakan suatu pengertian tentang
seperangkat prinsip-prinsip nilai dan norma dasar
yang mengatur mengenai apa dan bagaimana suatu
sistem kekuasaan dilembagakan dan dijalankan
untuk mencapai tujuan bersama dalam wadah
organisasi. Dari sisi bentuk perumusannya,
konstitusi dapat dikelompokan dalam tiga bentuk,
yaitu: (a) terdokumentasi secara tertulis dalam satu
naskah hukum yang disebut UUD; (b) tertulis secara
tidak terdokumentasi dalam satu naskah tetapi
tercatat dalam banyak naskah sejarah; dan (c) tidak
tertulis sama sekali melainkan hanya tumbuh dan
ditaati dalam praktik penyelenggaraan kekuasaaan
negara.
Gagasan konstitusionalisme telah muncul di
Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Gagasan
konstitusionalisme, demokrasi dan liberalisme yang
meletup sejak revolusi Perancis 1789 menjalar ke
seluruh dataran Eropa sampai ke Belanda. Gagasan
tersebut baru muncul di tanah Jajahan Hindia
Belanda lebih dari setengah abad setelahnya. Hal itu
ditandai dengan revisi pengaturan tentang
Peraturan untuk Penyelenggaraan Daerah Jajahan
(Regering Reglement) 1854 (Wignjosoebroto,
1995:24-5). Ketentuan tersebut mulai mengoreksi
kesewenang-wenangan penguasa kolonial yang
menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).
Dalam sejarahnya, gagasan
konstitusionalisme hadir untuk merespons
penyelenggaraan negara yang despotik dan
otoriter. Oleh karena itu dapat dipahami, gagasan
konstitusionalisme pada masa kolonial hadir untuk
merespons sistem tanam paksa yang banyak
menyengsarakan rakyat. Demikian juga, gagasan
konstitusionalisme yang hadir di Indonesia pasca
Orde Baru juga merupakan respons terhadap
pemerintahan otoritarian Orde Baru yang telah
berkuasa kurang lebih dari 32 tahun.
Pada masa Kolonial Belanda pun di Hindia
Belanda kata agraria (agrarische) dimaksudkan
untuk mengatur tanah-tanah pertanian seperti
dengan dikeluarkannya Agrarische Wet 1870, bukan
Land Wet untuk mengatur semua tanah dan sumber
daya alam lainnya seperti hutan dan tambang –
bahkan pada awalnya aturan yang dirancang adalah
47
volume 6 tahun 2015
Reforma Agraria dalam Konstitusi
Cultuur Wet (UU tentang Usaha Pertanian) yang
dipersiapkan oleh Menteri Kolonial van de Putte
(Wignjosoebroto, 1995:87). Hal itu dibuktikan
sebab kemudian aturan kolonial untuk hutan diatur
dalam bentuk Bosch Ordonantie, sedangkan untuk
pertambangan diatur melalui Nederlands-Indische
Mijnwet 1899 (UU Pertambangan Hindia-Belanda).
Awalnya kata agraria itu bermakna sempit, namun
perkembangan berikutnya telah terjadi perluasan
atas makna agraria. Agraria kemudian dimaknai
sebagai hubungan-hubungan antara manusia
dengan tanah dan sumber daya alam lainnya
termasuk air, hutan, kebun dan bahkan sumber
daya yang ada pada perut bumi seperti bahanbahan tambang. UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
menjadi suatu penanda perluasan makna agraria
tersebut sebab di dalam UUPA yang dimaksud
dengan agraria mencakup seluruh tanah, air,
angkasa serta kekayaan alam yang melekat
padanya. Sehingga sekarang bila orang berbicara
tentang agraria, itu bukan saja membicarakan tanah
pertanian, tetapi membicarakan berbagai sektor
dalam pengelolaan sumber daya alam (Wiradi,
1984:313; Warman, 2010:45). Dengan demikian,
lingkup pengertian agraria dalam konteks kebijakan
di Indonesia tidak lagi hanya sebatas tanah
pertanian belaka, melainkan lebih luas sehingga
meliputi, bumi air dan kekayaan yang terkandung
padanya sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
Lingkup agraria pada hakikatnya sama
dengan lingkup wilayah dan ruang, yaitu wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk
lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Bila dikaitkan dengan
negara, maka agraria adalah wadah dimana negara
tersebut ada.
Buku ini membagi periode kebijakan agraria
yang merupakan penggunaan terhadap konstitusi
agraria dalam tiga rezim pemerintahan, yaitu:
Pertama, periode pemerintahan Presiden Soekarno
(1945-1966). Secara formal Presiden Soekarno
diangkat pada 18 Agustus 1945 dan diberhentikan
oleh MPRS pada tanggal 12 Maret 1967, namun
48
secara substansial peralihan tampuk kekuasaan
tersebut telah dimulai sejak dikeluarkannya Surat
Perintah 11 Maret 1966; Kedua, periode
pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998); dan
Ketiga, periode pemerintahan setelah Presiden
Soeharto (1998-2012). Periode terakhir ini ada
beberapa presiden, yaitu BJ. Habibie, Abdurahman
Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Pokok pembahasan dan argumen utama dalam
buku ini, antara lain:
Pertama, bab I buku ini berisi konstitusi
agraria yang digunakan oleh negara-negara yang di
dalamnya mengatur tentang hubungan keagrariaan
baik antara negara, perorangan warga negara dan
kesatuan masyarakat adat dengan tanah dan
sumber daya alam lainnya. Dalam negara modern,
konstitusi menjadi acuan bagi kehidupan
kenegaraan dan juga kemasyarakatan.
Kedua, bab II buku ini melihat beberapa
perkembangan konstitusi agraria di Indonesia
terdapat dinamika konstitusionalisasi agraria dalam
UUD 1945, kemudian dekonstitusionalisasi agraria
melalui Konstitusi RIS. Dengan diberlakukannya
UUDS 1950 dilakukan rekonstitusionalisasi agraria.
Perubahan itu dipengaruhi oleh peranan aktoraktor utama seperti Mohammad Hatta dan
Soepomo. Kemudian pada amandemen UUD 1945
yang berlangsung pada 1999-2002, perubahan
konstitusi agraria Indonesia pada Pasal 33 UUD
1945 ditambah dengan dua ayat sebagai bentuk
kompromi dari pertarungan antara kelompok
ekonom kerakyatan dengan ekonom neoliberal.
Ketiga, bab III buku ini membahas norma
konstitusi agraria Indonesia yang dirumuskan
dalam Pasal 33 UUD 1945 merupakan refleksi
keresahan agraria yang terjadi akibat kolonialisme
yang berabad lamanya. Oleh karena itu,
konseptualisasi Hak Menguasai Negara (HMN) di
dalam UUPA 1960 sebagai pelaksanaan norma
konstitusi tidak dapat dilepaskan dari semangat anti
kolonialisme dan nasionalisme yang tumbuh seiring
dengan terbentuknya negara baru. Konsepsi HMN
merupakan penegasan bahwa hanya negara
Indonesia yang paling berkuasa atau berdaulat atas
Reforma Agraria dalam Konstitusi
tanah air Indonesia, bukan penjajah, perusahaan
asing maupun raja-raja pribumi. Konsepsi HMN
sejalan dengan upaya unifikasi hukum yang
mengintegrasikan aturan dan hak-hak rakyat di
bawah kekuasaan negara dimana negara dianggap
sebagai pengemban hak atau subjek hukum yang
mempertahankan haknya itu dari rongrongan pihak
luar.
Keempat, bab IV buku ini menguraikan
konsepsi HMN yang memberikan peran besar
kepada negara untuk menguasai tanah dan
menentukan hubungan hukum antara orang
dengan tanah telah dimanfaatkan oleh rezim Orde
Baru guna menopang pembangunan yang
bersandarkan kepada modal swasta, bukan lagi
d e n ga n m e n ga n d a l ka n ke ku ata n ra k yat
sebagaimana diupayakan oleh rezim sebelumnya.
Rezim Orde Baru menggunakan HMN sebagai dalih
untuk merampas tanah-tanah rakyat untuk
pembangunan yang kemudian melahirkan gerakan
perlawanan petani di berbagai daerah. Gerakangerakan tersebut menjadikan konsepsi HMN
sebagai salah satu sasaran kritik. Hal ini
menunjukan bahwa meskipun bersandar pada UUD
1945 dan UUPA 1960 yang sama, kebijakan antara
dua rezim politik dapat berbeda jauh.
Kelima, bab V buku ini membahas reformasi
yang bergulir sejak tahun 1998 menjadi arena
kontestasi bagi kelompok yang memperjuangkan
reforma agraria. Pembaruan hukum menjadi ranah
yang digunakan untuk mengoreksi kebijakankebijakan pemerintahan sebelumnya. Berbagai
regulasi baik yang mendukung reforma agraria,
pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan,
sampai dengan yang mendorong berkembangnya
pasar tampil secara bertumpuk. Pada masa ini
legislasi di bidang tanah dan sumber daya alam
lainnya paling banyak dibuat, terdapat lebih dari 30
undang-undang dalam kurun waktu lima belas
tahun. Kebanyakan legislasi tersebut memberikan
skema konsesi baru bagi usaha-usaha pemanfaatan
sumber daya alam bagi perusahaan. Sejauh ini,
legislasi lebih banyak ditujukan untuk melayani
kepentingan investasi dari pada perombakan
tatanan agraria yang semakin timpang.
Keenam, bab VI buku ini menguraikan
aktivisme judisial (judicial activism) yang dijalankan
oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 memberikan
peran baru penafsiran terhadap hubungan
penguasaan negara atas tanah dan sumber daya
alam lainnya. Lewat serangkaian putusannya, MK
telah menghadirkan suatu gagasan baru tentang
hubungan penguasaan negara atas tanah dan
sumber daya alam lainnya yang berbeda dengan
konsepsi HMN. Dalam putusan-putusan MK, istilah
HMN sudah mulai ditinggalkan. Konsepsi
Konstitusional Penguasaan Negara yang
merupakan konsepsi baru penguasaan negara
dalam bentuk wewenang pengaturan, membuat
kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan
pengawasan merupakan cara pandang baru yang
juga memberikan tolak ukur dan batas-batas
penguasaan negara yang tidak boleh dilakukan
dengan melanggar hak-hak warga negara.
Pengusaan negara atas tanah dan sumber daya
alam lainnya harus dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat (kemanfaatan,
pemerataan, partisipasi dan pengakuan terhadap
hak masyarakat adat).
Ketujuh, bab VII buku ini menguraikan
kolonialisme mempengaruhi konseptualisasi
penguasaan negara/penguasa terhadap tanah dan
sumber daya alam lainnya. Melalui Prinsip Domein
Verklaring yang diperkenalkan dalam kebijakan
kolonial melalui Agrarische Wet 1870 sebenarnya
telah berkembang lama sejak masa VOC yang oleh
penguasa kolonial dianggap sejalan dengan cara
penguasaan raja-raja pribumi atas tanah. Cara
penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya
oleh penguasa kolonial dimulai dengan
perdagangan rempah-rempah, kemudian
melakukan monopoli terhadap hasil bumi,
menguasai jalur transportasi laut, menguasai
pelabuhan-pelabuhan strategis, mendirikan kotakota, kemudian masuk lebih jauh ke daratan untuk
mengembangkan usaha perkebunan dan
kehutanan. Pada pertengahan abad XIX baru mulai
melirik usaha pertambangan. Prinsip Domein
Verklaring yang terdapat di dalam Agrarische Wet
1870 ini meskipun telah dicabut dengan UUPA,
namun anehnya masih diterapkan dalam kebijakan
dan praktik pemerintahan Indonesia, salah satu
contoh nyata dapat dilihat dalam sektor kehutanan.
49
volume 6 tahun 2015
Reforma Agraria dalam Konstitusi
Kedelapan, bab VIII buku ini membahas tiga
konsepsi penguasaan negara atas tanah dan
sumber daya alam lainnya, yaitu (1) Prinsip Domein
Verklaring; (2) Hak Menguasai Negara; dan (3)
Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara (bab IX
buku ini). Prinsip Domein Verklaring diperkenalkan
melalui Agrarische Wet 1870 dan sejumlah
Ordinansi di bidang kehutanan. Sementara itu, Hak
Menguasai Negara pertama kali diperkenalkan
dalam UUPA 1960 dan diikuti oleh sejumlah
undang-undang berikutnya. Sedangkan Konsepsi
Konstitusional Penguasaan Negara merupakan
gagasan baru yang berkembang dari judicial
activism berkaitan dengan putusan MK dalam
menafsirkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Bagian
ini memiliki pandangan bahwa Konsepsi HMN
hanyalah salah satu dari konsepsi mengenai
hubungan antara negara dengan tanah dan sumber
daya alam di Indonesia. Saat ini konsepsi tersebut
tengah bergeser seiring dengan berbagai penafsiran
yang hadir dari putusan MK tersebut.
agraria tidak saja dapat dilakukan dengan
amandemen formal (formal amendment), tetapi
juga dapat dilakukan dengan penafsiran oleh
lembaga peradilan (judicial interpretation),
maupun pelaksanaannya dalam kehidupan seharihari dan kebijakan pemerintah (constitution usage).
Buku ini mengajak kita untuk memahami logika
negara dalam mengelola dan mengatur tanah dan
kekayaan alamnya. Menurut penulis buku ini dapat
ditelusuri dari lahir dan diterjemahkannya konsep
Hak Menguasai Negara (HMN) di dalam serangkaian
peraturan perundang-undangan. Dengan HMN itu
tidak dengan sendirinya negara memiliki tanah,
dengan apa yang seringkali salah disebut sebagai
'tanah negara', mengingat negara tidak lagi
mengikuti prinsip dominuum (pemilik tanah)
sebagaimana masa kolonial melalui pernyataan
kepemilikannya secara sepihak yang dikenal sebagai
domein verklaring. Konsep HMN menyimpan
sedimentasi cita-cita nasionalistik para pendiri
bangsa, yang kala itu disertai suatu keyakinan dan
pandangan bahwa negara Republik Indonesia yang
baru menyatakan.
Kesembilan, bab IX buku ini menguraikan
konsepsi penguasaan negara atas tanah dan
sumber daya alam lainnya berkaitan dengan
bagaimana negara memperlakukan tanah-tanah
rakyat. Oleh karena itu, konstitusi agraria berkaitan
dengan tanah air masyarakat adat. Keberadaan
tanah air masyarakat adat menjadi salah satu
pembatas bagi keberlakuan penguasaan negara
atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Sehingga
penguasaan negara atas tanah dan sumber daya
alam lainnya tidak boleh serta merta menjadi alasan
untuk perampasan tanah-tanah masyarakat adat.
Beberapa putusannya menguji kembali
pe(nyalah)gunaan Hak Menguasai Negara tersebut
dengan memberi titik perimbangan pada
perlindungan hak individu dan masyarakat adat atas
tanah dan kekayaan alam. Maka, secara tidak raguragu, misalnya, dalam putusan menyangkut
kehutanan pada soal penunjukan kawasan hutan
secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tindakan
itu adalah sewenang-wenang dari 'pemerintahan
otoriter'.
Kesepuluh, bab X buku ini berisi konstitusi
agraria dapat dilekatkan tugas untuk mendorong
reforma agraria. Beberapa negara telah menjadikan
konstitusinya sebagai konstitusi reforma agraria
seperti Filipina dan Brazil, dimana di dalamnya
secara tegas dirumuskan agenda-agenda
pembaruan agraria sebagai bagian dari muatan
konstitusi. Konstitusi Indonesia perlu diarahkan
menjadi konstitusi reforma agraria sehingga bisa
menjadi penambah argumentasi perjuangan
keadilan agraria di tengah situasi ketimpangan
penguasaan tanah. Cara untuk menjadikan
konstitusi indonesia menjadi konstitusi pembaruan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini merupakan
dasar untuk mengatakan bahwa konstitusi kita
adalah Konstitusi Agraria. Bukan hanya itu, namun
lebih tepatnya adalah Konstitusi Reforma Agraria.
Ini merupakan temuan penafsiran yang mendasar,
sebab memiliki konsekuensi misalnya untuk
mengatakan: jika negara tidak melaksanakan
reforma agraria, maka negara tersebut bisa
dikatakan inkonstitusional. Kita memahami bahwa
reforma agraria memiliki dimensi ganda. Di satu sisi
reforma agraria adalah kebijakan untuk
'memberdayakan' warganegara yang tidak memiliki
tanah atau mengakses kekayaan alam dalam jumlah
50
Reforma Agraria dalam Konstitusi
terbatas; dan di sisi lain reforma agraria adalah
'menidakberdayakan' para pihak yang berkelebihan
dan terus menambah hak atas tanah sehingga
terjadi konsentrasi pemilikan atas tanah dan
kekayaan alam (bahkan berakibat penelantaran
tanah). Cara berpikir ini mengajak kita untuk masuk
pada penafsiran progresif atas hukum (agraria),
yakni memeriksa dengan kacamata 'keadilan sosial'
daripada 'ketaat-aturan' regulasi yang dipahami
secara positivistik dan terkadang menghasilkan
kondisi yang terpisah antara hukum dengan
keadilan itu sendiri. Kondisi berupa alokasi yang adil
atas tanah melalui pelaksanaan reforma agraria
adalah jalur tempuh menuju “…sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Buku ini sekaligus mengingatkan kita agar
waspada terhadap segala kondisi dan upaya yang
membelokkan bahkan mematahkan cita-cita
'kesejahteraan sosial' tersebut.
agraria sebagai persoalan tanah pertanian, tetapi
melihat persoalan agraria lebih holistik tidak hanya
sekedar tanah, tetapi juga termasuk di dalamnya
persoalan air, kelautan, sumber daya yang ada di
atas dan di dalam tanah seperti hutan, kebun, dan
tambang. Oleh karena itu, konstitusi agraria dapat
disebut sebagai konstitusi tanah air. Demikian juga
dengan sebutan Indonesia sebagai negara agraris
tidak saja berarti bahwa Indonesia adalah negara
pertanian, tetapi lebih luas bahwa Indonesia adalah
negara yang memiliki berbagai macam sumber daya
yang berada di atas, di dalam dan melekat pada
tanah untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Menurut saya, buku “Konstitusional Agraria” ini
wajib menjadi rujukan siapa saja yang melakukan
kajian terhadap isu-isu agraria di Indonesia, tak
terkecuali akademisi, peneliti, mahasiswa,
pemerintah maupun organisasi non pemerintah
sebagai pegiat dan penggiat isu agraria.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa
Buku ini, tidak saja hendak melihat persoalan
51
volume 6 tahun 2015
Digest Epistema adalah publikasi berkala isu hukum dan keadilan eko-sosial.
Terbit dua kali dalam setahun (Januari – Juni dan Juli - Desember). Dewan Redaksi:
Shidarta, Rival G. Ahmad, Herlambang Perdana W., Myrna A. Safiri, Yance Arizona, Luluk
Uliyah. Kontributor: Malik
Redaksi menerima sumbangan artikel maksimal 1.500 kata, dikirim melalui e-mail ke
alamat epistema@epistema.or.id dengan disertai biodata singkat penulis. Tulisan yang
dikirim adalah karya sendiri yang belum pernah diterbitkan. Dalam hal terjadi
plagiarisme atau otoplagiarisme, tanggung jawab ada pada masing-masing penulisnya.
Alamat redaksi: Epistema Institute, Jalan Jati Padang Raya No. 25, Jakarta 12540.
Telepon: 021-78832167; Faksimile: 021-78830500. E-mail: epistema@epistema.or.id;
website: www.epistema.or.id