Academia.eduAcademia.edu

Konsep Otonomi Daerah, Good Governance, dan Reinventing Government dalam Pembangunan Daerah

Konsep Otonomi Daerah, Good Governance, dan Reinventing Government dalam Pembangunan Daerah Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu: Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]: Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim; Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif; Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah: Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah; Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah: Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6] Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. reformasi berarti menata ulang dalam rangka perbaikan negara, hakekatnya melakukan perbaikan pada tiga unsur dasar kehidupan bernegara yaitu: (1) Sistem (Konstitusi dan Sistem Hukum Nasional); (2) Pemerintah/Penyelenggara Negara dan (3) Rakyat/Masyarakat. Reformasi sistem diperlukan, karena sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mendasarkan pada konstitusi perundangan sebelumnya terutama produk-produk pemerintah  ORBA yang sentralistik sudah kurang cocok dengan dinamika perkembangan masyarakat. Reformasi penyelenggara pemerintahan mutlak diperlukan, karena pemerintahan masa lalu mengandung berbagai penyakit berat yang menghancurkan negara seperti KKN dan berbagai masalah moral lainnya. Masyarakat/rakyat juga harus direformasi karena adanya keadaan dan perilaku yang tidak sehat seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketidaksabaran/emosional. Reformasi harus bertanggung jawab pada tiga tataran tersebut secara komprehensif, sistematis, dan konstitusional. Dalam era reformasi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah. Pertama adalah UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Paket kebijakan otonomi daerah pertama dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie dengan maksud mengubah pola otonomi daerah yang sentralistik (UU No.5/1974 Produk Orba) kearah yang lebih demokratis. Dalam perjalanannya sesuai dengan kebutuhan demokrasi dan pembangunan daerah, UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 telah dinilai baik dari segi kebijakan dan implementasinya, dan seiring kondisi zaman ternyata UU No.22/1999 dan UU NO.25/1999 mengalami kelemahan sehingga undang-undang tersebut mengalami revisi menjadi UU.32/2004 dan UU No.33/2004. Berlakunya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah mulai tahun 2005 karena terjadi perubahan mendasar yang menjadikan pemerintahan daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi yang luas,nyata dan bertanggung jawab tidak hanya dibidang ekonomi tetapi juga politik. Dengan demikian, perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan layanan publik tingkat lokal, serta sesuai dengan asas demokrasi. Pelaksanaan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu perangkat penting dalam kerangka perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan secara berkelanjutan, khususnya menyangkut hubungan pemerintah pusat dan daerah. Di samping berbagai produk konstitusional dan perundang-undangan lainnya. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika dilihat dari semangat Undang-Undang tersebut maka tujuan otonomi daerah adalah : Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat di daerah agar semakin baik Memberi kesempatan daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri Meringankan beban pemerintah pusat Memberdayakan dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan masyarakt daerah Mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan di daerah Memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah maupun antardaerah untuk menjaga keutuhan NKRI Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Mewujudkan kemandirian daerah dalam pembangunan. Pada akhir abad 20 berbagai pengetahuan dan pengalaman telah menghasilkan konsensus bahwa pembangunan berkelanjutan yang multidemensi seyogyanya menjadi prinsip pokok bagi perumusan kebijakan dan tata pemerintahan. Tata pemerintahan yang baik dicapai melalui upaya terpadu dari pemerintah daerah, masyarakat madani dan sektor swasta untuk menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan utama dari pembangunan. Kebijakan ini memang mudah untuk dinyatakan dalam ungkapan yang umum tetapi sulit sekali untuk dioperasionalkan dalam keputusan hidup sehari-hari. (Dokumen Kebijakan UNDP 1997) Ciri-ciri tata pemerintahan yang baik: 1. Mengikutsertakan semua 2. Transparan dan bertanggung jawab 3. Effektif dan adil 4. Menjamin adanya supremasi hukum 5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didarsarkan pada konsensus masyarakat 6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan Sedangkan unsur-unsur dari tata pemerintahan yang baik adalah (Partnership for governancereform, UNDP,1997) : • Partisipasi Semua pria dan wanita mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara kontruktif. • Supremasi Hukum Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, terutama hukum-hukum yang menyangkut Hak Asasi Manusia. • Transparansi Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia agar dapat dimengerti dan dipantau • Cepat Tanggap Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. • Membangun Konsensus Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. • Kesetaraan Semua pria dan wanita mempunyai kesempatan memperbaiki atau mepertahankan kesejahteraan mereka. • Efektif dan Efesien Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. • Bertanggung Jawab Para pengambilan keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan yang lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan, dan dari apakah bagi organisasi itu keputusan tersebut bersifat kedalam atau keluar. • Visi Strategis Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu, mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif itu. Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk efisien  dan professional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (beureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalism arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Disisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demending community). Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade (Kontrol Sistem Globalisasi) sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan  internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa depan, Negara menjadi terlalu besar untuk dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan dibidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborn dan Gaebler tersebut adalah: Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi Pemerintah berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan masukan Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati Pemerintah desentralisasi: dari hierarki menuju partisipatif dan tim kerja Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (system isentif) dan bukan dengan mekanisme administrative (sistem prosedur dan pemaksaan). Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah adanya perubahan pola piker dan mentalitas baru ditubuh birokrasi pemerintah itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep itu tersebut hanya akan menjadi slogan tanpa mmebawa perubahan apa-apa untuk kesejahteraan masyarakat/rakyat. Tuntutan dari pelaksanaan otonomi daerah, good governance, dan reinventing government diharapkan membawa perubahan besar terhadap peran pemerintah dalam peningkatan kesejahteraanhidupmasyarakat. Gambaran Umum Otonomi Daerah A. Konsep Otonomi Daerah Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5  definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya otonomi daerah memberikan ruang gerak secukupnya bagi pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri agar lebih berdaya mampu bersaing dalam kerjasama, dan profesional terutama dalam menjalankan pemerintah daerah dan mengelola sumber daya serta potensi yang dimiliki daerah tersebut. B. Dasar Hukum Otonomi Daerah UUD 1945, Pasal 18, 18A, dan 18B Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangaka NKRI Tap MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah C. Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Hak Dan Kewajiban Daerah dalam Otonomi Daerah Berdasarkan pasal 21 dalam otonomi daerah, setiap daerah memiliki hak : mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya memilih pemimpin daerah mengeloloa aparatur daerah mengelola kekayaan daerah memungut pajak daerah dan retribusi daerah mendapatkan bagi hasil pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Dalam pasal 22, kewajiban daerah yaitu : melindungi masyarakat, menjaga persatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat mengembangkan kehidupan demokrasi mewujudakan keadilan dan pemerataan meningkatkanfasilitas dasar pendidikan meningkatkan pelayanan kesehatan menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak mengembangkan sistem jaminan sosial menyususn perencanaan dan tata ruang daerah mengembangkan sumber daya produktif di daerah melestarikan lingkungan hidup mengelola administrasi kependudukan melestarikan nilai sosial budaya membentuk dan menerapakan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya kewajiban lain yang diatur di dalam perturan perundang-undangan D. Tujuan Otonomi Daerah Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat di daerah agar semakin baik Memberi kesempatan daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri Meringankan beban pemerintah pusat Memberdayakan dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan masyarakt daerah Mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan di daerah Memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah maupun antardaerah untuk menjaga keutuhan NKRI Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Mewujudkan kemandirian daerah dalam pembangunan. E. Asas Otonomi Daerah Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI Dekosentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/ atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu Tugas pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten / kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.  F. Pengaturan, Pembagian, Pemanfaatan Sumber Daya dan Perimbangan Keuangan Daerah Menurut UU NO.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan OTDA diperlukan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pendanaan dalam pelaksanaan desentralisasi daerah terdiri dari PAD, dana perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Berdasarkan sumber pendanaan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan didaerah diharapkan menjadi lebih baik dan lancar dengan tidak mengabaikan distribusi pendapatan antarwilayah yang timpang seperti yang terjadi pada masa lalu.   II. Variabel-Variabel Yang Terkait Dengan Otonomi   Daerah Otonomi  daerah merupakan    realisasi dari ide desentralisasi.  Konsep     desentralisasi  terdiri   atas: Desentralisasi Politik (Ketatanegaraan)                                                               Menurut Koesoemahatmadja  (1979)  desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (relegende en bestuurende bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom. Keikutsertaan rakyat dalam desentralisasi politik terbatas melalui perwakilan. Desentralisasi Administratif Menurut Sidik (dalam Sun’an dan Senuk, 2015 :63) adalah pelimpahan wewenang dan pertanggung jawaban untuk mengelola sumber-sumber keuangan dalam    rangka membiayai   kegiatan   operasional dan penyediaan pelayanan publik (public service). Pelimpahan wewenang tersebut berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen urusan pemerintahan dalam bidang keuangan (financial  management) dari pemerintah pusat kepada pemerinah daerah (local government). Dalam  sistem desentralisasi administratif yang terjadi di Indonesia terdapa tiga bentuk, yaitu: Desentralisasi: Penyerahan wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi: Pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu untuk mengurus urusan pemerintahan.   Tugas Pembantuan (Medebewind) : Penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan desa serta dari pemerintah kabupaten/kota ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu disertai pendanaan dan dalam hal tertentu disertai sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.                                                                                              Desentralisasi Fiskal  a. Pengertian Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal merupakan suatu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan Negara yaitu untuk   mewujudkan  ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal suistainability)  dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat,maka dengan kebijakan desentralisasi   fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antara daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Desentralisasi fiskal juga merupakan salah satu "pilar' dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi ,karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktivias perekonomian masyarakat didaerah. Desentralisasi fiskal tersebut dikelompokkan pada: Dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan maksud menciptakan keadilan dan pemerataan serta memperkecil  kesenjangan fiskal antardaerah.   Dana perimbangan itu   berasal dari penerimaan dalam negeri yang diperoleh dari pendapatan perpajakan,royalti dan bagi hasil SDA. Dana yang bersumber dari utang dalam negeri dan luar negeri yang disalurkan ke daerah (subsidiary loan) baik uang bilateral maupun multilateral. b. Indikator Desentralisasi Fiskal Dalam membahas mengenai indikator desentralisasi fiskal, Sun’an dan Senuk (2015:54) menjelaskan bahwa terdapat tiga variabel yang merupakan representasi desentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga variabel tersebut ialah sebagai    berikut: 1. Desentralisasi Pengeluaran Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten / kota (APBD) terhadap total pengeluaran   pemerintah (APBN) (Phillip dan Woller,1997 ; Zhang dan Zhou,1998). Hal ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara  pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hasil studi dari Zhang dan Zhou (1998), menunjukkan bahwa variabel ini mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.  Hasil ini mengimplikasikan bahwa desentralisasi   fiskal gagal mendorong perumbuhan ekonomi di Cina. Hal ini mungkin merefleksikan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan investasi disektor infrastruktur . Sementara studi yang dilakukan oleh Philip dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negatif desentralisasi fiskal terhadap  pertumbuhan ekonomi pada Negara Maju. Dan mereka gagal menjelaskan efek desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara Berkembang. 2. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN) (Zhang dan Zhou,1998). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran   pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sektor publik atau tidak.  Jika terdapat hubungan positif antara variable ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam  posisi yang baik untuk melakukan investasi disektor publik. 3. Desentralisasi Penerimaan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD),   tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah (Philip dan Woller,1997). Variabel ini mengekspresikan besaran relative antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.  c. Prinsip-Prinsip Desentralisasi Fiskal Menurut Khusaini     (dalam Sun’an dan Senuk, 2015 :74) , ada beberapa prinsip-prinsip  utama desentralisasi fiskal yang harus diperhatikan agar berhasil, yaitu: Perencanaan Partisipatif Peningkatan alternatif sumber-sumber keuangan baru Penerapan prinsip keadilan dalam pembagian Dana Perimbangan Penentuan prinsip-prinsip pengeluaran Penerapan Good Governance Penerapan Standar Pelayanan Minimal Penerapan insentif dalam desain pembagian Dana Perimbangan Mengumumkan secara rutin kerja Pelayanan Pemerintah Daerah Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintahan daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah dalam mengembangkan wilayah menurut potensi daerah masing-masing. Menurut Saragih (dalam Badrudin, 2012:19), Mardiasmo (dalam Badrudin, 2012:19), dan Reksohadiprodjo (dalam Badrudin, 2012:19), otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Menurut Susanti (dalam Badrudin, 2012:19), dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah dituntut untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya sehingga mampu bersaing dengan daerah lain melalui penghimpunan modal pemerintah daerah untuk kebutuhan investasi dan atau kemampuan berinteraksi dengan daerah lain. Dalam berbagai penelitian, desentralisasi fiskal diproksi dengan rasio pada komponen pendapatan daerah dan pengeluaran daerah pada APBD (Sasana,2009 dan Mursinto, 2008:84-86). Pendapatan daerah pada APBD meliputi PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan. Pengeluaran daerah meliputi belanja rutin (Aparatur Daerah) dan belanja pembangunan (belanja public). Belanja rutin merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah pasti terjadi atau kegiatan yang bersifat rutin terutama untuk kegiatan aparatur daerah yang bersangkutan. Belanja pembangunan merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Dalam belanja pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat maka apabila pemerintah daerah ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka pemerintah daerah harus meningkatkan anggaran belanja pembangunan termasuk belanja modal. Untuk meningkatkan anggaran belanja modal maka pemerintah daerah harus mampu meningkatkan pendapatan daerah melalui peningkatan PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan. Belanja rutin merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah pasti terjadi atau kegiatan yang bersifat rutin terutama untuk kegiatan aparatur  daerah pada daerah yang bersangkutan, misalnya untuk membayar gaji pegawai negeri dan honorarium sebagai kompensasi bagi pegawai negeri dan honorarium didaerah  terhadap aktivitas kegiatan yang dilakukan di daerah yang bersangkutan. Penerimaan gaji pegawai negeri akan menjadi faktor pendapatan yang akan digunakan untuk kegiatan konsumsi membeli barang dan jasa yang dibutuhkan pegawai negeri tersebut. Oleh karena itu, kegiatan membeli barang dan jasa dari pegawai negeri akan menimbulkan permintaan permintaan barang dan jasa yang kemudian akan direspon oleh produsen untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan konsumen. Berdasarkan kegiatan konsumsi dan produksi akan terjadi aktivitas ekonomi yang akan membentuk nilai absolute Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan nilai relatif perubahan PDRB yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi. Dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah efisiensi, stabilitas makro ekonomi, dan keadilan (Musgrav 1989:6 dan 16). Aspek efisiensi merupakan raison d’etre (alasan sebuah keberadaan) untuk desentralisasi fiskal. Karena prefensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal disebuah komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan prefensinya dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan masyarakat (Usman,2001:24). Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta  bahwa pemerintah daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber daya secara lebih efisiensi dibandingkan pemerintah pusat (Hirawan,2007:10; Adi, 2005:16-22; dan Susanto, 2004:4-16). Belanja modal sebagai komponen belanja pembangunan pada pengeluaran daerah akan dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kegiatan pemerintah daerah ini akan menimbulkan permintaan barang dan jasa yang kemudian akan direspon oleh produsen untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan pemerintah daerah, sehingga akan terjadi aktivitas ekonomi yang akan membentuk nilai absolute Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan nilai relatif perubahan PDRB yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi, Belanja modal sebagai komponen belanja pembangunan pada pengeluaran daerah akan dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kegiatan pemerintah daerah ini mengakibatkan dibangunnya fasilitas publik seperti fasilitas jalan, jembatan telekomunikasi, listrik, gedung sekolah, gedung rumah sakit, pasar, dan berbagai fasilitas publik lainnya yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa jenis fasilitas tersebut akan memudahkan aksesibilitas masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi. Disamping itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan untuk aktivitas nonekonomi khususnya dalam melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan diberbagai ruang publik yang tersedia;. Pertumbuhan ekonomi sebagai nilai relatif dari perubahan PDRB dari waktu ke waktu menunjukkan terjadinya  peningkatan pendapatan masyarakat dari waktu ke waktu pula. Peningkatan pendapat masyarakat akan ditunjukkan dengan peningkatan alokasi pendapatan untuk konsumsi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sehinga masyarakat daerah tersebut menjadi lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan sebagai Indikator Pembangunan Manusia (IPM) dan terjadi pula peningkatan rasio antara banyaknya kejahatan yang dilaporkan dengan putusan oleh Kantor Pengadilan Negeri sebagai Indikator Kriminalitas Daerah (IKD) sebagai Indikator Sosial (Arsyad,2010: 46). IPM dan IKD merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. III. Sisi Positif Otonomi Daerah Menurut Said (dalam Badrudin, 2012:17), sisi positif dari otonomi daerah ialah: Demokratisasi Membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan daerah Mendorong stabilitas dan kesatuan nasional Memajukan pembangunan daerah IV. Sisi Negatif Otonomi Daerah  Menurut Penulis, sisi negatif otonomi daerah ialah sebagai berikut: Pemerintah pusat menganaktirikan daerah Cenderung timbulnya egoisme "Putera Daerah" Mudah tumbuhnya proses disintegrasi bahkan kemungkinan gerakan separatis dikarenakan pemerintah pusat tidak adil terhadap daerah untuk masalah bagi hasil kekayaan alam,dan lain-lain Disparitas antar Daerah menimbulkan kecemburuan antar Daerah. Banyak daerah salah dalam menerapkan strategi pembangunan, daerah terkesan tidak mampu mengelola keuangan dan melakukan manajemen pembangunan dengan baik. terbukti dari banyaknya proyek pembangunan yang mubazir dan tumpang tindih. Banyak juga pembangunan yang dilakukan pemda tidak berjalan sinergis dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat. Penyalahgunaan anggaran berupa kas bon atau utang proyek kepada pihak ketiga, kelebihan pembayaran pajak, utang kepada pihak ketiga untuk menutup utang lama sebelum pertanggungjawaban anggaran, dan menggunakan dana sisa lebih anggaran untuk deposito Semangat politisasi yang berlebihan terhadap aspek demokrasi dan hak poleksosbud telah menghasilkan daerah otonom baru yang tidak kapabel yang menggantungkan pembiayaan APBD dari dana perimbangan Rendahnya akuntabilitas Pemerintah Daerah dan DPRD                             Otonomi Daerah Dilihat Dalam Berbagai Perspektif 1. Otonomi Daerah dalam Perspektif Politik Lokal Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan tetapi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah , juga telah melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat . Dengan demikian proses check and balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada satu sisi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksanakan secara regular, demikian pula halnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilukada demokratik. Dalam hubungan ini pula, otonomi daerah telah mendorong demokratisasi tata kelola pemerintahan. Realisasi otonomi daerah juga telah menghasilkan kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan Negara dan daerah, serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, pajak dan retribusi, juga pinjaman daerah. Perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi daerah tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.   2. Otonomi Daerah dalam Perspektif Ekonomi Saat ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap negara berupaya secara maksimal untuk menciptakan kerangka kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk bermain di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah adanya tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap ensiensi, dan efektivitas sektor publik (pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan kondusif jika sektor publiknya tidak efisien. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan ensiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu: Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat Meniberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan. Globalisasi ekonomi telah meningkatkan persaingan antarnegara-negara dalam suatu sistem ekonomi internasional. Salah satu cara menghadapi dan memanfaatkan perdagangan internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja, Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, perlu dilakukan perubahan struktural untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Perubahan struktural adalah perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Untuk mendukung perubahan struktural dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern diperlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan teknologi dan pembangunan sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu dianibil dalam mewuiudkan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut (Sumodiningrat, 1999): Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi, yang paling meiidasar adalah akses pada dana. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang terkait dengan industri besar, Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-industri kecil dan menengah yang kuat harus menjadi tulang punggung industri nasional. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang. Pemerataan pembangunan antardaerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan pembangunan daerah diharapkan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi rakyat. Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian Pemerintah Daerah yang dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah dalam lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber daya manusia dan lembaga-lembaga publik di daerah dalam mengelola sumber daya daerah. Upaya-upaya untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya daerah harus dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari aspek perencanaan, Daerah sangat membutuhkan aparat daerah (baik eksekutif maupun legisiatif) yang berkualitas tinggi, bervisi strategis dan marapu berpikir strategis, serta merniliki moral yang baik sehingga dapat mengelola pembangunan daerah dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah sangat dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar mencerminkan kebutuhan daerah dan berkaitan langsung dengan permasalaban yang dihadapi daerah. Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah, Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan APBD hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan program dan aktivitas yang menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk memperlancar pelaksanaan program dan aktivitas yang telah direncanakan dan mempermudah pengendalian, pemerintah daerah dapat membentuk pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility centers) sebagai unit pelaksana. Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan sebagairnana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak internal yang dapat dilakukan oleh internal auditor maupun oleh eksternal auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan yang disampaikan kepada publik. Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak "kebablasan" dan dapat mencapai tujuannya. ^ UUD 1945 pasal 18 ayat 2 ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kedua, Pasal 11 ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf c ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf e ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf b ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf f ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf d ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1) ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17 ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23 ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29 ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30 ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga ^ UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)