TEORI KEMISKINAN
Definisi Kemiskinan
Kemiskinan bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan sosial. Ia merupakan fenomena sosial yang selalu menjadi atribut-atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju yang memiliki atribut sebagai negara modern. Jika diamati, seolah-olah kemiskinan identik dan selalu melekat di dalam struktur negara-negara dunia ketiga dan menjadi problem yang cukup serius untuk mendapatkan penaganan dari pada penyelengara negara. Dan walau telah banyak upaya yang dilakukan oleh para penyelengara negara untuk mengentaskan kemiskinan bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari penyelesaiannya.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 787
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa masalah kemiskinan yang membelenggu sebagian besar masyarakat dari periode ke periode tetap menjadi “pekerjaan rumah” bagi pembuat keputusan setiap penyelenggara negara terutama di negara-negara kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Dan walah telah banyak kajian tentang gejala kemiskinan dari berbagai sudut pandang, akan tetapi pembahasan ini seolah-olah menegaskan bahwa kemiskinan bagian dari kodrat Tuhan yang tidak dapat diselesaikan.
Ibid
“Seandainya kemiskinan itu berwujud seseorang manusia, maka niscaya akan aku bunuh kemiskinan tersebut” (kalam Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah). Dari penggalan kata-kata hikmah tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kemiskinan itu sangat berbahaya. Kemiskinan itu dapat mengancam iman seseorang.
Kemiskinan itu dapat diartikan sebagai berikut: “tiadanya kemampuan untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokok”. Maksudnya kemiskinan ini adalah ketidakmampuan seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak
Kata “Miskin” berasal dari bahasa Arab yaitu Maskanah atau dapat pula berasal dari kata faqir yang berarti orang miskin atau orang fakir.
Ahmad Warson Munawir, Kamus Besar Bahasa Indonesia Al-Munawir, (Yogyakarta:Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiyyah Pon-Pes Al-Munawir, 1984), h. 690.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata miskin diartikan sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan atau susah. Sedangkan faqir dapat diartikan sebagai orang yang serba kekurangan atau sangat miskin.
Secara termonologi, kemiskinan dapat diartikan sebagai “situasi penduduk” (sebagai penduduk) yang hanya dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan), h. 448
Kemiskinan diartikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 326. Kemiskinan menurut pendapat umum dikategorikan dalam tiga unsur:
Kemiskinan yang disebabkan aspek badaniah, biasanya orang-orang tersebut tidak bisa berbuat maksimal sebagaimana manusia lainnya yang sehat jasmaniah. Karena cacat badaniah misalnya, dia lantas berbuat atau bekerja secara tidak wajar, seperti mengemis dan minta-minta, sedangkan yang menyangkut aspek mental, biasanya mereka disifati rasa malas untuk bekerja secara wajar sebagaimana mesti manusia lainnya.
Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam, mereka yang terkena bencana alam umumnya tidak memiliki tempat tinggal bahkan sumber daya alam yang mereka miliki pun termakan bencana alam.
Kemiskinan buatan disebut juga kemiskinan struktural, yang ditimbulkan oleh struktur-struktur ekonomi, sosial, dan kultur serta politik. Kemiskinan ini biasa disebut kemiskinan nasib atau dianggap sebagai takdir Tuhan.
Ibid , hlm. 328-329.
Dalam hal ini taraf kehidupan seseorang tergantung pada taraf kehidupan yang berlaku pada umumnya dalam kelompok tersebut. Nabil Subhi Ath-Thawil, menerangkan kemiskinan sebagai tiadanya kemampuan seseorang untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Nabil Subhi Ath-Thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-negara Muslim,(Bandung: Mizan, 1985), cet ke 1, h. 36.
Muhammad Abd. Qadir Abu Faris memberikan pengertian kemiskinan sebagai berikut; miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan dan penghasilannya hanya bisa menutupi setengan lebih sedikit dari penghasilannya.
Muhammad Abd. Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat¸alih bahasa oleh Husin Al Munawwar, (Semarang: Dina Utama, 1993), h. 1
Ali Yafie berpendapat, miskin adalah barang siapa yang memiliki harta benda atau mata pencaharian tetap, hal mana salah satunya atau kedua-duanya hanya menutupi setengah lebih sedikit dari kebutuhannya.
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), h. 170
Selain itu juga kemiskinan dapat didefinisikan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolute. Kemiskinan relatif dapat dinyatakan dalam berapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dibandingkan dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya.
Sedangkan kemiskinan absolute dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolute dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Artinya masyarakat tersebut jarang menikmati kehidupan yang layak.
Kemiskinan merupakan masalah yang amat pelik untuk dibicarakan, karena ia menyangkut beberapa aspek-aspek yang patut diperhatikan, diantaranya;
Pertama, kemiskinan itu bersifat multi dimensial. Artinya, karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Jika dilihat dari kebijakan umum, ia meliputi aspek primer yang berupa miskin akan asset-asset, organisasi sosial politik, pengetahuan dan keterampilan, dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.
Kedua, aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa, kemajuan dan kemunduran pada salah satu aspek dapat memengaruhi kemajuan dan kemunduran pada aspek lainnya.
Ketiga, bahwa yang miskin sesungguhnya adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif. Kita sering mendengar perkataan kemiskinan pedesaan (rural property), kemiskinan perkotaan (urban property) dan sebagainya, namun ini bukan berarti desa atau kotanya yang mengalami kemiskinan, tetapi orangnya.
Batasan Tentang Kemiskinan
Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada di bawah garis kemiskinan jika pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian dan tempat tinggal.
Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, dapat dipengaruhi oleh tiga hal: (1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia di dalam lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 789
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat-istiadat, dan system nilai yang dimiliki. Dalam hal inilah maka garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Berkaitan dengan posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatnya di tengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan kalori, sesuai dengan tingkat umut, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan lingkungan alam yang dialaminya.
Dengan demikian, maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal dan keterampilan.
Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua cari tambahan penghasilan.
Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja.
Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: Refika Suditama, 1986), h. 228
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas mengemukakan batasan kemiskinan sebagai keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Sebagian orang memahami istilah kemiskinan secara subjektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluative, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Jika dikaitkan dengan negara, maka istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara, di antaranya:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial. Termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada binga ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbebda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 793
Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Perbedaan ini sangat perlu ditekankan. Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relative dari seluruh masyarakat.
Adapun kemiskinan menurut Kuncoro, didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Definisi ini menyiratkan tiga pertanyaan dasar, yaitu: (1) bagaimanakan mengukur standar hidup? (2) apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum? (3) seperti apa indicator sederhana yang mampu mewakili masalah kemiskinan yang begitu rumit? Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknya memunculkan beberapa kosa kata standar dalam kajian kemiskinan sebagai berikut:
Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang murah.
Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh di bawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan (karitas/amal). Adapun yang relatif adalah kemiskinan yang eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok nonmiskin berdasarkan income relatif.
Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang nonmiskin, bersih, bertanggung jawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi menerima upah yang ditawarkan.
Target population (populasi sasaran) adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah , serta penghuni kampung kumuh perkotaan.
Friedman juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO Tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi ini dirumuskan sebagai berikut:
Ibid
Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang dan papan).
Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan).
Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang memengaruhi mereka.
Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia.
Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.
Sebab-Sebab Kemiskinan
Hingga saat ini, perdebatan tentang apa yang menjadi penyebab kemiskinan bagi seseorang atau kelompok orang belum mencapai kata sepakat. Hanya, dari beberapa pendapat jika disimpulkan ada tiga faktor yang menyebabkan kemiskinan. Tiga faktor ini yaitu (1) kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah ataupun mental seseorang; (2) kemiskinan yang sebabkan oleh bencana alam; dan (3) kemiskinan buatan.
Faktor pertama di atas merupakan penyebab kemiskinan secara klasik di mana kemiskinan selalu dikaitkan dengan struktur budaya masyarakat setempat, di mana budaya dijadikan sebagai alasan penyebab sekelompok manusia di tempat miskin. Misalnya, mitos budaya Jawa malas dengan image masyarakat Jawa mangan ora mangan sing penting kumpul (makan atau tidak yang penting kumpul), alon-alon watone kelakon (pelan-pelan yang penting sampai), tuna satak bathi sanak (rugi materiil tidak apa-apa yang penting dapat persaudaraan), narima ing pandu (menerima kodrat), dan sebagainya kerap dikaitkan dengan faktor penyebab mengapa masyarakat Jawa kebanyakan miskin.
Selain budaya yang dituding sebagai biang kemiskinan, faktor klasik lain yang dianggap penting dalam memberikan andil bagi terciptanya kemiskinan di antaranya sifat malas, penyakit dan cacat fisik. Memang tidak menolak kemungkinan bahwa faktor fisik yang berupa cacat badaniah, penyakit, kemalasan menyebabkan seseorang tidak produktif alasan ini masih dapat diterima secara rasional akan tetapi, jika persoalannya menyangkut keadaan di mana seseorang bekerja keras di berbagai sektor usaha, misalnya berdagang mengalami kebangkrutan karena labilnya sistem perekonomian suatu negara, petani gagal panen akibat terserang hama penyakit tanaman, seseorang tetap miskin karena bekerja di instansi tertentu akibat dari rendahnya gaji, apakah faktor badaniah masih relevan dijadikan sebagai faktor penyebab kemiskinan. Kenyataan ini telah menjadi bagian dari realitas sosial yang dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kemiskinan timbul dari bencana alam dapat diterima sebagai sebuah kenyataan karena bencana alam memang berakibat rusaknya aset berharga milik masyarakat seperti tempat tinggal, harta benda, dan gagalnya panen. Maka tidak demikian dengan faktor badaniah dalam kasus perbedaan jumlah pendapatan dengan beratnya pekerjaan atau beban pekerjaan. Dalam kasus ini, faktor badaniah tidak dapat dijadikan sebagai biang kemiskinan.
Kenyataan ini (kesenjangan antara beban kerja dan pendapatan) yang dijadikan alasan bagi penganut paham Neo-Marxisme di mana kemiskinan yang terjadi di masyarakat erat kaitannya dengan faktor struktur masyarakat ini sendiri, di mana mayoritas masyarakat mengalami ketidakberdayaan ketika berhadapan dengan kenyataan hidup yang ada. Seseorang guru honorer, misalnya yang setiap hari berangkat mengajar di sekolah, kemudian besaran gaji yang diterimanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maka kemiskinan yang demikian ini lebih tepat dikatakan sebagai kemiskinan buatan atau struktural.
Kemiskinan buatan atau struktural, disebabkan beberapa hal yang bersifat struktural, di antaranya: pertama, struktur ekonomi timpang, artinya struktur ekonomi yang ada di dalam masyarakat secara tidak adil tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mendapatkan aset ekonomi. Artinya di dalam struktur ekonomi ada sekelompok kecil orang memiliki kemampuan mendapatkan aset ekonomi secara berlebihan, sementara di pihak lain banyak anggota masyarakat yang hanya memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk mendapatkan aset ekonomi.
Kenyataan di atas sering ditudingkan oleh Marx di mana ketimpangan antara borjuis dan proletar akibat dari eksploitasi buruh yang tidak manusiawi sehingga bentuk ketimpangan ini memberikan andil bagi ketidakadilan di bidang ekonomi. Ketidakadilan ini tampat dalam pola pembagian aset ekonomi dengan aset kaum borjuis yang semakin besar dan kehidupan yang bertambah mewah. Adapun kondisi buruh makin tak berdaya menghadapi ketidakadilan sosial dan menjadi semakin miskin.
Karena sumber permasalahan dari kemiskinan ini yaitu struktur ekonomi, maka persoalan ini tidak dapat dilihat dari aspek kemiskinannya, melainkan harus dilihat dari aspek struktural (hubungan antar komponen-komponen yang saling berkaitan di dalam sistem). Oleh sebab itu, permasalahan struktural yang penting adalah pola-pola relasi antar-komponennya. Dengan demikian, untuk mengubah taraf ekonomi masyarakat bukan dengan merombak ekonomi akan tetapi, sistemnya. Artinya kemiskinan bukan persoalan yang berdiri sendiri, melainkan ada hubungan antar-variable yang meliputi keseluruhan tata susunan di dalam sistem itu sendiri.
Selo Seomardjan mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat ini memungkinkan golongan masyarakat ini tidak ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 803 Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial yang berlaku sedemikian rupa sehingga keadaan kelompok yang termasuk golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah hidupnya. Struktur sosial telah mengurung dan mengekang mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun.
Sedangkan menurut Kartasasmita hal ini disebut “accidental poverty” yaitu kemiskinan karena dampat dari kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese sebagai “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu: keterbelakangan, kekurangan modal, investasi rendah, tabungan rendah, pendapatan rendah, dan produksi rendah.
Kemiskinan struktural biasanya terjadi di dalam masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Kelompok miskin ini biasanya jumlahnya mayoritas dan posisinya tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk memperbaiki nasibnya. Adapun kelompok masyarakat kaya yang berjumlah minoritas memiliki kemampuan memonopoli dan mengontrol berbagai bidang kehidupan, terutama dari segi ekonomi dan politik. Selama golongan minoritas ini masi menguasai berbagai kehidupan masyarakat, selama ini pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan.
Ciri-ciri utama kemiskinan struktural, yaitu:
Ibid
Tidak terjadi atau jarang terjadi mobilitas sosial vertikal. Mereka yang hidup di dalam kemiskinan, sedangkan mereka yang hidup di dalam kemewahan akan tetap kaya dan tetap menikmati kekayaan dan kemewahannya. Hal ini terjadi sebab dalam analisis pendekatan struktural, kungkungan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi kelompok miskin untuk maju. Umpamanya kelemaha ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar dapat melepaskan diri dari kemelaratan. Denga keterbasan dan ketidakmampuan modal dan keterampilan menyebabkan mereka tidak memiliki peluang untuk usaha dalam rangka mengubah statusnya sebagai kelompok miskin.
Timbulnya ketergantungan yang kuat antara si miskin terhadap kelas sosial ekonomi di atasnya. Ketergantungan inilah yang selama ini berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bergaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah dan penggarap tanah, antara majikan dan buruh, dan sebagainya. Buruh tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual belikan. Pendek kata kelompok miskin relatif tidak dapat berbuat apa-apa atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan utnuk menentukan nasib ke atas yang lebih baik.
Kedua, struktur politik yang menyangkut rendahnya political will pemerintah atau rendahnya kualitas kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi negara. Berbagai laporan ekonomi yang dikemukakan pemerintah di mana pendapatan nasional dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan hanyalah berupa data-data kuantitatif. Akan tetapi, kenyataan yang ada, rakyat selalu dibayang-bayangi oleh berbagai kebijakan ekonomi yang tidak memihak kepadanya. Kenaikan tarif dasar listrik dan BBM yang sering kali memicu tingginya inflasi sering kali diambil dengan penuh optimisme dapat dikendalikannya tingkat inflasi.
Akan tetapi, kenyataan yang ada tidaklah sesederhana dari apa yang dibayangkan pemerintah. Jika dari berbagai laporan dinyatakan bahwa pendapatan nasional mengalami kenaikan sedang di pihak lain kenaikan tarif pelayanan publik seperti tarif dasar listrik, harga BBM, dan tarif tol selalu dijadikan alasan untuk menutupi defisit anggaran belanja.
Pembangunan selalu ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Karena ini berbagai program pemerintah selalu ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dan dilaksanakan secara berkesinambungan dari satu periode ke periode lain. Di masa Presiden Soeharto misalnya, kita mengenal adanya program Inpres Desa Tertinggal. Kemudian di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita meyaksikan program Bantuan Tunai dan PNPM Mandiri. Sayangnya program-program itu belum dapat mengubah jumlah kemiskinan di negeri ini.
Ketiga, faktor budaya di mana konsep pemikiran narima ing-pandum (menerima takdir apa adanya dengan sabar) sebenarnya bukan falsafah yang menjadikan budaya kemiskinan. Konsep pemikiran ini adalah bentuk reaksi masyarakat kenyataan dalam kondisi pesimisme, di mana dalam berbagai situasi mulai dari masa penjajahan hingga adab milenium ini tidak kunjung berubah nasibnya. Stagnasi nasib inilah akhirnya menimbulkan pesemisme yang besar hingga menganggap kemiskinan adalah takdir yang seolah-olah sudah tidak mungkin diubahnya. Dengan demikian, konsep narima ing pandun tidak lebih hanyalah penenangan jiwa di dalam ketidakberdayaan menghadapi kuatnya struktur yang dianggap sudah tidak akan mampu dihadapi sekalipun dengan takdir.
Struktur yang egois ini telah memunculkan gerakan millenarisme dengan konsep ”Ratu Adil” (pemimpin yang adil) sebagai Imam Mahdi yang akan membawa kesejahteraan dan keadilan di dalam struktur masyarakat. Dengan demikian, Ratu Adil adalah tidak lebih dari halusinasi rakyat tertindas yang mengharapkan hadirnya keadilan dan kemakmuran.
Selain itu, kemiskinan banyak dihubungkan dengan beberapa hal berikut ini:
Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dan pendidikan keluarga.
Penyebab subbudaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari, atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Menurut Arifin Noor ada beberapa hal yang menyebabkan kemiskinan, antara lain:
https://febrinter.files.wordpress.com/2016/04/pembahasan.docx diakses pada tanggal 23 Juni 2016 pukul 8:25 WIB
Pendidikan Yang Rendah
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbataan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk ke dalam dunia kerja. Atas dasar kenyataan di atas si miskin tidak dapat berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Malas Bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentaliter dan kepribadian seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk berkerja atau bersikap pasif dalam kehidupannya (sikap bersndar pada nasib). Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidupnya pada orang lain, baik pada keluarga, atau saudara.
Keterbatasan Sumber Alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber daya alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering dikatakan oleh para ahli bahwa itu miskin karena dasar alamiyahnya. Misalnya, tanah berbatu –batu tidak menyimpan kekayaan mineral dan sebagainya yang berakibat pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja membawa konsekwensi kemiskinan bagi masyarakat secara ideal banyak orang yang mengatakan bahwa seseorang atau masyarakat harus mampumenciptakan lapangan kerja baru, tetapi secara factual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan baik yang berupa skill atau modal.
Keterbatasan Modal
merupakan kenyataan yang ada di negara-negara yang sedang berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di negara tersebut.
Arifin Noor, ilmu Sosial Dasar, (CV Pustaka Setia, 1997), h. 289 Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan memperoleh penghasilan. Keterbatasan modal bagi negara-negara berkembang dapat diibaratkan sebagai suatu lingkaran yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaan akan modal maupun dari segi penawaran akan modal.
Beban Keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak atau meningkat pula tuntutan atau beban kehidupan yang harus dipenuhi. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka memang berangkat dari kemiskinan yang akan melanda dirinya dan bersifat latent.
Ibid, h. 290
Dalam konsep ekonomi misalnya, studi kemiskinan terkait dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Standar kehidupan masyarakat yang ada yang bersifat umum. Selain itu juga dinilai dari segi pendapatannya, jika pendapatannya jauh lebih besar dari kebutuhannya maka ia disebut makmur.
Sementara ilmuwan sosial yang lainnya tidak ingin berhenti pada konsep-konsep tersebut, malainkan mengaitkannya dengan konsep kelas, stratifikasi sosial, struktur sosial, dan bentuk-bentuk diferensiasi sosial lainnya.
Konsep taraf hidup misalnya, tidak cukup dilihat dari segi pendapatam, akan tetapi juga perlu melihat faktor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kondisi sosial lainnya. Kenyataan tersebut mengakibatkan pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan juga bervariasi.
Ada tiga konsep kemiskinan, yaitu kemiskinan absolute, kemiskinan relative dan kemiskinan subyektif.
Konsep kemiskinan absolute dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkrit. Ukuran itu lazimnya berorientasi pada kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan, dan papan). Masing-masing negara mempunyai batasan kemikinan absolute yang berbeda-beda, sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Ada gagasan yang ingin memasukan pula kebutuhan dasar kultural seperti pendidikan, keamanan, rekreasi dan sebagainya, di samping kebutuhan fisik.
Konsep kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan The Idea of Relative Standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan di suatu daerah berbeda dengan waktu lainnya, dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu yang lainnya. Konsep kemiskinan semacam ini tidak lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan anggota masyarakat tertentu dengan berorientasi pada derajat kelayakan.
Sedangkan konsep kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a fixed yardstick, dan tidak memperhitungkan the idea of relative standard. Kelompok yang menurut ukuran kita berbeda di bawah garis kemiskinan. Dan kelompok yang dalam perasaan kita tergolong dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri secamam itu dan demikian pula sebaliknya.
Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006) cet. IV, hal. 126-127.
Hardiman mengemukakan tiga pendapatan yaitu garis kemiskinan, indicator kesejahteraan dan pengukuran ketimpangan.
Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), cet ke 1, h. 117. Adanya berbagai variasi pendekatan dalam pengukuran tersebut sekaligus juga menunjukan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara Absolut dan Relatif.
Secara absolute maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin. Sebaliknya mereka yang hidupnya di atas standar dinyatakan tidak miskin, maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin dan mereka yang hidupnya di atas standar dinyatakan tidak miskin.
Secara relative, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan menggunakan standar yang baku, melainkan juga dilihat dari seberapa jauh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah telah terjadi dibandingkan dengan masyarakat yang lain, juga dibandingkan dengan kenaikan tuntutan kebutuhan hidup yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.
Ibid, h. 120
Oleh karena kompleksitas masalah kemiskinan ini terkait erat dengan hampir seluruh aspek kehidupan manusia, maka analisa atau kajian mengenai penyebab terjadinya kemiskinan akan meliputi berbagai segi; sosial, politik, budaya, ekonomi, juga lingkungan alam dan sebagainya.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dari segi sebabnya, kemiskinan dapat dibedakan antar kemiskinan temporer atau kemiskinan aksidental dan kemiskinan structural.
Kemiskinan temporer adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh cacat jasmani atau jiwa akibat malapetaka yang telah menimpa seseorang.
Hidayat Natmaja, Masalah Kemiskinan Ditinjau Dari Ajaran Islam, (Yogyakarta:PLP2M, 1985), h. 109 Sehingga mereka tidak optimal dalam bekerja untuk memenuhi segala kehidupan hidupnya dan akibatnya ia mengalami apa yang namanya kemiskinan alamiyyah.
Sedangkan kemiskinan structural adalah kemiskinan yang ditimbulkan dari keadaan struktur sosial yang eksploitatif dalam pola hubungan atau interaksi pada institusi-institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya dan sebagainya.
Gunnar Myrdal, Bangsa-bangsa Kaya dan Miskin¸(Jakarta: PT. Gramedia, 1980), cet ke 2, h. 35 Maka kemiskinan yang timbul dalam suatu masyarakat, bukan semata-mata dari faktor dirinya, misalnya kurang pendidikan atau kurangnya asupan kalori makanannya, melainkan dari eksploitasi.
M. Dawan Rharjo, Essei-essei Ekonomi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1983), H. 196
Sebagaimana Sayyid Qutb telah memberikan pengertian bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi-Nya; telah dikuasakan-Nya. Untuk membangun dan meningkatkan taraf kehidupan padanya penuh kesuburan and kemakmuran agar ia setelah itu dapat menikmati keindahan dan kesegarannya, dan bersama dengan itu mensyukuri Allah SWT yang telah mengaruniakan nikmat itu padanya. Manusia tidak mungkin dapat mencapai sebagian dari semua itu bila mana seluruh hidupnya dilewatinya hanya demi memperoleh sesuap nasi saja, walaupun yang demikian itu cukup baginya. Lebih-lebih lagi jika ia harus menghabiskan hidupnya tanpa memperoleh kecukupan.
Sayyid Qutb, Al Adalah al Ijtimaiyyah, (1962), cet 1, h. 48
Sedangkan Syekh Tantawi Jauhari, juga memberikan pengertian bahwa kata kemiskinan itu berasal dari kata maskanah yang identik dengan kata faqir dan faqatun yang berarti susah.
Syekh Tantawi Jauhari, Tafsir Al-Jawahi, (Mesir: Mustafa Baadi, 1350 H), h. 75.
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah disimpulkan, bahwa jika ada suatu penduduk yang mengalami hidup dalam keadaan yang serba kekurangan dalam memperoleh segala kebutuhan pokoknya yang disebabkan masalah ekonomi maka penduduk tersebut dapat dikatakan penduduk miskin.
Kemiskinan menurut ilmu sosiologi diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya dan juga tidak bisa mengoptimalkan seluruh kemampuan fisik dan mentalnya.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Mizan). H. 406