PEMBANGUNAN
INDUSTRI PERTAHANAN INDONESIA
SEMMY TYAR ARMANDHA
ERLINDA MATONDANG
Kata Pengantar:
Arwin Datumaya Wahyudi Sumari
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR SINGKATAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kondisi Pertahanan Indonesia
Kondisi Industri Pertahanan Indonesia
Kebijakan Pembangunan Kekuatan Pertahanan Indonesia
Teori dan Argumentasi
Sistematika Penulisan
BAB II
INDUSTRI PERTAHANAN INDONESIA
“... mendayagunakan industri nasional untuk memenuhi kebutuhan alutsista yang canggih dan modern. Alutsista yang moden dan makin lengkap, tidak hanya akan berdampak pada makin kokohnya postur militer kita, tetapi juga peningkatan martabat dan kemandirian bangsa.” (Susilo Bambang Yudhoyono)
Pada rentang waktu 1958—1979, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap industri yang dulu pernah dimiliki oleh Belanda. Pada periode ini pula industri pertahanan bermunculan. Kemunculan industri pertahanan ini diikuti dengan pembentukan tim supervisi pada tahun 1980. Upaya pembangunan industri pertahanan terus mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 1998 hingga tahun 2001, pembangunan terhenti total karena krisis dimensional yang melanda hampir semua negara di Asia. Pembangunan industri pertahanan dimulai kembali pada tahun 2005. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005—2025, industri pertahanan menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan.
Visi, Misi, dan Kebijakan Pembangunan Industri Pertahanan Indonesia
Vakum dalam pembangunan kekuatan pertahanan terjadi selama lebih dari dua tahun sebagai upaya netralisasi politik dari unsur militer. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 berdampak signifikan terhadap penggunaan, pembinaan, dan pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia. Bahkan, dalam catatan SIPRI Military Expenditure Database, Indonesia tidak mempunyai anggaran militer pasca-1998 hingga tahun 2001. Pada kurun waktu tersebut, militer Indonesia berada dalam posisi nir-expenditure, sehingga penggunaan, pembinaan, dan pembangunan kekuatan TNI juga terhambat. Apalagi anggaran militer pada tahun 2002 tidak mengalami peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan yang disediakan pada tahun 1998 atau ketika terjadi krisis multidimensional. Alhasil, sebagian besar peralatan pertahanan Indonesia tidak mendapatkan perawatan yang baik, dan tidak layak digunakan.
Sumber: SIPRI Military Expenditure Database
Keterangan: Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian dokumen, militer Indonesia nir-expenditure pada kurun waktu 1998—2000.
Gambar Dinamika Anggaran Militer Indonesia 1988—2011
Pertahanan kembali menjadi perhatian pemerintah sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang notabene berasal dari kalangan militer. Kekuatan militer mulai dibangun melalui pengadaan dan modernisasi alutsista. Perhatian terhadap pembangunan kekuatan pertahanan ini juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia 2005—2025.
Dalam RPJPN 2005—2025, pembangunan kekuatan pertahanan dilaksanakan dengan visi yang berbunyi:
“Terwujudnya kemampuan pertahanan dan keamanan yang mampu menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari segala ancaman serta menciptakan kondisi aman, damai, tertib dan tenteram masyarakat.”
Visi tersebut didukung dengan arah kebijakan pembangunan pertahanan yang menuju pada upaya-upaya pembangunan sistem pertahanan; peningkatan peran serta warga negara dalam bela negara; perlindungan wilayah yuridiksi laut dan udara Indonesia, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen; pembangunan industri pertahanan dalam negeri; serta peningkatan profesionalisme TNI. Untuk mendukung kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan tersebut, pemerintah melakukan peningkatan penggunaan alutsista hasil produksi nasional. Selama ini, Indonesia masih melakukan pengadaan alutsista dari luar negeri. Hal ini menyebabkan ketergantungan, yang berpengaruh pada penggunaan alutsista dalam upaya pertahanan. Oleh karena itu, pemerintah melakukan pembangunan industri pertahanan yang tidak terlepas dari visi dan misi pembangunan nasional dan pembangunan industri nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia.
Pembangunan industri prioritas pada periode 2015—2035 dibagi ke dalam tiga tahap.
Tahap I (2015—2019)
- Peningkatan nilai tambah SDA pada industri hulu yang berbasis agro, mineral, dan gas.
- Penyiapan SDM yang kompeten di bidang industri dan teknologi.
Tahap II (2020—2024)
- Penguasaan teknologi dan penguatan struktur industri.
- Pembentukan industri yang berwawasan lingkungan dan mempunyai keunggulan kompetitif.
Tahap III (2025—2035)
- Peningkatan daya saing untuk membentuk industri pertahanan yang tangguh.
Pada masa pemerintahan SBY, kebijakan pokok pertahanan diterbitkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 yang disesuaikan dengan Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2010—2014. Dalam kedua peraturan ini dinyatakan bahwa pembangunan industri pertahanan merupakan bagian dari pembangunan komponen cadangan dan pendukung pertahanan. Industri pertahanan didefinisikan sebagai industri nasional yang ditetapkan pemerintah untuk menghasilkan alat pertahanan dan keamanan, serta menyediakan jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan.
Industri pertahanan merupakan salah satu industri prioritas karena berfungsi untuk memenuhi kebutuhan strategis. Pentingnya industri pertahanan menjadi faktor pendorong utama dalam penetapan peraturan tentang pengelolaan, pemberdayaan, dan pembangunannya dalam kebijakan pertahanan. Tidak hanya dalam bentuk kebijakan pertahanan yang bersifat periodik, pemerintahan SBY membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang menjadi kerangka acuan dalam pemberdayaan, pengelolaan, dan pembangunan industri pertahanan. Selain itu, pemerintah juga membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang KKIP yang keorganisasiannya dipertegas melalui penetapan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 tentang Organisasi, Tata Kerja, dan Sekretariat KKIP.
Suksesi kepemimpinan SBY kepada Joko Widodo tidak menyurutkan langkah pembangunan industri pertahanan. Visi, misi, arah kebijakan, dan strategi pembangunan industri pertahanan semakin diperjelas pada era pemerintahan Joko Widodo. Untuk pemerintahan periode 2015—2019, pembangunan dilaksanakan dengan visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Visi ini didukung dengan tujuh misi pembangunan, yaitu:
1. mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan;
2. mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan hukum;
3. mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim;
4. mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera;
5. mewujudkan bangsa yang berdaya saing;
6. mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; dan
7. mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Visi dan misi pembangunan ini berlaku untuk seluruh bidang atau sektor dalam negara Indonesia, termasuk industri. Dengan mengusung visi dan misi pembangunan nasional, pembangunan industri dilaksanakan dengan berlandaskan pada visi yang berbunyi:
“Indonesia menjadi negara industri tangguh. Industri tangguh bercirikan: struktur industri nasional yang kuat, dalam, sehat, dan berkeadilan; industri yang berdaya saing tinggi di tingkat global; dan industri yang berbasis inovasi dan teknologi.”
Sebagaimana visi dan misi pembangunan nasional, pemerintah juga membentuk tujuuh misi untuk membangun industri dalam negeri. Ketujuh misi tersebut tidak hanya mendukung pencapaian visi pembangunan industri, tetapi juga menjadi bagian dari misi pembangunan nasional. Adapun ketujuh misi tersebut, antara lain:
1. meningkatkan peran industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional;
2. memperkuat dan memperdalam struktur industri nasional;
3. meningkatkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau;
4. menjamin kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;
5. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;
6. meningkatkan persebaran pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan
7. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Dua jenis industri dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian:
1. Industri Hijau, yaitu industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
2. Industri Strategis, yaitu industri yang penting bagi negada dan menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah SDA strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara.
Industri pertahanan merupakan salah satu industri strategis yang mendapat perhatian khusus dalam RPJMN 2015—2019. Selain itu, industri pertahanan menjadi agenda penting dalam kebijakan pokok pertahanan Indonesia periode 2015—2019 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2015—2019. Tujuan dari pembangunan industri pertahanan dalam Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2015—2019 sama dengan kebijakan sebelumnya, yaitu kemandirian. Namun, dengan penegasan bahwa visi yang diusung dalam pembangunannya adalah “Industri Pertahanan yang Kuat, Mandiri, dan Berdaya Saing.”
Sasaran dari pembangunan industri pertahanan di era pemerintahan Joko Widodo juga sama dengan yang diterapkan pada era SBY walaupun secara kuantitas ada perbedaan target capaian. Di era pemerintahan SBY, tidak ada penjelasan eksplisit terkait target capaian yang menjadi sasaran pembangunan industri pertahanan. Sementara itu, pemerintahan Joko Widodo menetapkan kuantitas target capaian yang dinyatakan dalam persentase. Pemerintahan Joko Widodo menargetkan untuk mencapai 60% Minimum Essential Force (MEF), 50% pemeliharaan dan perawatan alutsista; dan 20% kontribusi industri pertahanan terhadap pemenuhan MEF dan pemeliharaan alutsista pada tahun 2019. Untuk mencapai target tersebut, kebijakan pemerintah diarahkan pada upaya peningkatan kontribusi industri pertahanan dalam penyediaan dan pemeliharaan alutsista serta peningkatan kontribusi penelitian dan pengembangan pertahanan dalam produksi prototipe alutsista.
Permasalahan utama dalam industri pertahanan Indonesia adalah penguasaan teknologi, khususnya teknologi tingkat tinggi. Keterbatasan teknologi dan keinginan untuk terbebas dari ketergantungan terhadap industri negara lain mendorong pemerintah untuk melakukan kerja sama luar negeri yang didukung dengan kebijakan imbal dagang, ofset, dan/atau kandungan lokal. Kebijakan ini tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri. Di dalam kebijakan ini, setiap pengadaan alat pertahanan dan keamanan dari luar negeri harus diikuti dengan pemberian imbal dagang, ofset, dan/atau kandungan lokal. Dengan kata lain, pemerintah tidak akan sekedar membeli, tetapi juga membentuk kerja sama di bidang penelitian dan pengembangan alat pertahanan dan keamanan.
Pengelompokan Industri Pertahanan Indonesia
Sebagian besar negara maju mengelompokkan industrinya dengan tujuan untuk mempermudah pengawasan dan pengembangannya. Walaupun belum dapat diklasifikasikan sebagai negara maju, Indonesia juga mengklasifikasikan industri pertahanannya. Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, ada empat kelompok industri pertahanan,. Keempat kelompok industri pertahanan tersebut, antara lain.
1. Industri alat utama adalah industri yang bertugas sebagai pemadu utama (lead integrator) yang mengintegrasikan semua komponen menjadi suatu alat utama.
2. Industri komponen utama dan/atau penunjang merupakan industri yang memproduksi komponen utama. Selain itu, industri ini mengintegrasikan komponen atau suku cadang dengan bahan baku, sehingga menjadi komponen utama atau wahana (platform) sistem alutsista.
3. Industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan) adalah industri yang menghasilkan suku cadang, baik untuk alat utama maupun komponen utama. Industri ini juga menghasilkan produk perbekalan yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tugas militer.
4. Industri bahan baku adalah industri yang menghasilkan bahan baku untuk produksi alat utama, komponen utama, dan komponen pendukung.
Tujuh Program Nasional Pertahanan Indonesia
Keterbatasan industri pertahanan dalam menghasilkan alutsista menjadi penyebab utama ketergantungan sistem pertahanan Indonesia terhadap negara lain. Ketergantungan ini tidak hanya memperlemah industri pertahanan, tetapi juga menghambat penggunaan kekuatan pertahanan dalam situasi tertentu yang secara politis bertentangan dengan negara penghasil alutsista. Dua contoh hambatan ini adalah larangan pemerintah Inggris kepada Indonesia untuk menggunakan alutsista buatannya dalam mengatasi konflik domestik dan embargo Amerika Serikat kepada Indonesia yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam operasi militer di Timor Timur.
Jika Indonesia tidak membangun industri pertahanannya dan masih tergantung pada negara lain, kemungkinan adanya hambatan yang sama di masa depan semakin besar. Untuk mendapatkan teknologi tingkat tinggi yang diperlukan dalam pembangunan industri pertahanan, pemerintah Indonesia menetapkan tujuh program nasional. Di dalam tujuh program nasional ini, terdapat pengembangan tujuh industri strategis yang tidak hanya bernilai strategis di bidang pertahanan, tetapi juga di bidang ekonomi dan bisnis. Tujuh program nasional juga mampu memenuhi sasaran strategis pembangunan kekuatan pertahanan, yaitu memenuhi kebutuhan TNI, khususnya alutsista yang sesuai dengan tuntutan operasional di masa depan; membangun kemandirian; dan meningkatkan kinerja industri pertahanan. Penetapan ketujuh program nasional ini didasarkan pada kriteria sebagai berikut.
mengandung teknologi tinggi yang belum dikuasai oleh industri pertahanan;
program dilaksanakan secara bertahap dalam jangka waktu yang panjang (melintas tahun anggaran);
program dapat dijamin keberlangsungannya walaupun terjadi perubahan pemerintahan, sehingga pertanggungjawabannya dapat dilakukan lintas pemerintahan;
program memerlukan sinergitas peranan dari masing-masing kementerian dan lembaga terkait, sehingga koordinasi lintas kementerian/lembaga sangat diperlukan;
program berdampak positif dalam forum internasional dan bernilai strategis untuk kepentingan nasional;
program dapat diandalkan sebagai perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional; dan
program dapat mengisi kesenjangan teknologi dalam upaya menuju kemandirian industri pertahanan melalui alih teknologi.
Berikut ini adalah uraian singkat dari tujuh program nasional di bidang pertahanan Indonesia.
a. Pengembangan Jet Tempur KF-X/IF-X
Tuntutan pemenuhan MEF dan usangnya pesawat tempur F-16 yang harus segera diganti atau dimodernisasi merupakan alasan utama pemerintah Indonesia dalam menerima proposal pemerintah Korea Selatan pada tahun 2009. Pada tahun 2019, Indonesia membutuhkan tiga skuadron pesawat tempur dengan persyaratan operasi yang sesuai untuk memperkuat pertahanan udara Indonesia. Kebutuhan ini dapat dipenuhi melalui program kerja sama penelitian dan pengembangan yang ditawarkan oleh Korea Selatan. Pada tahun 2024 atau 2025, Indonesia diharapkan sudah dapat membuat KF-X/IF-X yang merupakan pesawat tempur generasi 4,5 secara mandiri.
Ada empat fase kerja sama dalam program ini, yaitu Technology Development Phase (TDP); Engineering and Manufacturing Development Phase (EMDP); Production Development Phase (PDP), dan Marketing Phase (MP). Namun, MP tidak berada dalam tataran kerja sama Government to Government (G to G), tetapi Business to Business (B to B), sehingga tanggung jawab pelaksanaan berada pada industri pertahanan terkait. Rencana pelaksanaan program ini dengan keempat fasenya dapat dilihat pada Gambar.
Gambar Roadmap Pengembangan Jet Tempur KF-X/IF-X
Pada tataran G to G, pemerintah Indonesia diwakili oleh Kementerian Pertahanan, sedangkan Korea Selatan diwakili oleh Defense Acquisition Program Administration (DAPA). Sementara itu, pada tataran B to B, Indonesia diwakili oleh Lead Integrator industri pertahanan, yaitu PT Dirgantara Indonesia (PT DI), sedangkan Korea Selatan diwakili oleh Korean Aerospace Industry (KAI). Pendanaan kerja sama penelitian dan pengembangan dalam program ini ditanggung oleh perwakilan pemerintah dari kedua negara degan rasio pendanaan sebesar 80:20, yaitu pemerintah Korea Selatan menanggung 80% dari total dana di setiap fase kerja sama, sedangkan Indonesia menanggung 20% dari total dana.
Program pengembangan jet tempur KF-X/IF-X mempunyai empat sasaran kegiatan. Pertama, produksi jet tempur ini untuk memenuhi kebutuhan TNI AU sesuai dengan persyaratan operasi pada tahun 2025—2040. Kedua, industri pertahanan Indonesia dapat menguasai 52% teknologi inti pesawat tempur, baik pada tataran pembuatan maupun pemeliharaan. Penguasaan teknologi ini meningkatka kemandirian sebagaimana yang tertuang dalam visi dan misi pembangunan industri pertahanan. Ketiga, program ini mendorong peningkatan kinerja industri pertahanan melalui pembuatan satu prototipe di PT DI dan pelaksanaan uji coba di Indonesia. Keempat, kepemilikan dan kemampuan untuk memproduksi jet tempur generasi 4,5 meningkatkan deterrent effect kekuatan pertahanan Indonesia. Apalagi pesawat tempur merupakan satu dari tiga alutsista termahal dan mempunyai deterrent effect tertinggi.
Pelaksanaan kerja sama ini sudah sampai pada tataran EMDP. TDP sudah selesai dilaksanakan pada tahun 2012 dan menghasilkan requirements system. Pelaksanaan EMDP sempat tertunda hingga tahun 2014. Untuk mendukung pelaksanaan EMDP, pada bulan Juli 2014 ditandatangani kesepakatan terkait pembentukan Joint Programme Management Office (JPMO). Unit ini bertugas untuk mengatur partisipasi industri, pendanaan, dan kompetensi; serta mengkaji pelbagai hal, termasuk manajemen, dukungan logistik, akuisisi dan penganggaran dana. Unit ini juga berperan dalam upaya menjembatani interaksi antara pihak pemerintah dan industri pertahanan negara rekan kerja, terutama berkaitan dengan masalah pendanaan.
b. Pembangunan Kapal Selam
●●●
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar kedua di dunia, setelah Kanada. Luas perairan Indonesia mencapai 2/3 luas wilayah kedaulatannya. Luas wilayah perairan ini mempunyai empat choke point, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar, dan Selat Lombok; serta tiga Alur laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
●●●
Kapal selam merupakan salah satu alutsista termahal dengan deterrent effect yang tinggi. Wilayah perairan Indonesia yang luas membutuhkan kapal selam. Letak strategis wilayah perairan Indonesia rentan terhadap pelanggaran wilayah kedaulatan. Apalagi kekayaan laut Indonesia yang menairk perhatian dunia juga rentan terhadap pencurian ikan. Kapal selam ini tidak hanya berfungsi untuk memperkuat pertahanan, tetapi juga mengamankan potensi laut Indonesia.
Program pembangunan kapal selam sudah dimulai sejak tahun 2013. Program kerja sama ini direncanakan selesai pada tahun 2019. Sementara itu, produksi dalam negeri dilaksanakan pada rentang tahun 2020—2024. Hasil dari program ini tidak hanya kapal selam, tetapi juga fasilitas pemeliharaan, upgrading, dan modifikasi.
Program pembangunan kapal selam ini merupakan hasil dari kerja sama Indonesia-Korea Selatan. Dalam kerja sama ini, industri pertahanan Indonesia dipadu oleh PT PAL, sedangkan Korea Selatan diwakili oleh Daewoo Shipbuilding and Marine Engineeering (DSME). Dalam pelaksanaan program ini, Kementerian Pertahanan Indonesia menghabiskan dana hingga USD 250 juta untuk pembangunan fasilitas, USD 150 juta untuk mempersiapkan peralatan, USD 70 juta untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan USD 30 juta untuk pembayaran jasa konsultan transfer teknologi.
2012
Menetapkan Teknologi Kapal Selam
2013
Mengusulkan Penganggaran Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur
2014
Pengusulan Dukungan APBN dan PMN Tahap I dan II Pembangunan Infrastruktur Kapal Selam
2015
Anggaran Dukungan APBN dan PMN Tahap I dan II Pembangunan Infrastruktur Kapal Selam, Design Center dan Pembentukan Tim Pengembangan Kapal Selam
2016
Pembangunan Infrastruktur Tahap I
Pengiriman Tim OJT Produksi PT PAL ke DSME Kapal Selam Ke-3
Mulai Pengembangan Desain Kapal Selam Ke-4
2017
Launching Kapal Selam Ke-3
Mengajukan Program Kapal Selam Ke-4
Melanjutkan Desain Kapal Selam Ke-4
2018
Kapal Selam KE-3 Tiba di Indonesia
Melanjutkan Desain Kapal Selam Ke-4
Melanjutkan Program Kapal Selam Ke-4
2019
Melanjutkan Desain Kapal Selam Ke-4
2020—2024
Memulai Produksi Kapal Selam Ke-4
Pemeliharaan, Upgrading, dan Modifikasi
Gambar Roadmap Pembangunan Kapal Selam
c. Pembangunan Industri Propelan
Propelan sangat dibutuhkan dalam kekuatan militer. Kebutuhan propelan Indonesia setiap tahunnya rata-rata mencapai 200 ton nitroglliserin; 400 ton spherical powder & wet paste; 135 ton single/double base Munisi Skala Besar (MKB); 80 ton double base roket; dan 200 ton komposit. Namun, Indonesia belum mempunyai industri yang mampu menghasilkan propelan sesuai dengan kebutuhan TNI.
Program pembangunan industri propelan tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan TNI dan memandirikan industri pertahanan, tetapi juga untuk penetrasi pasar propelan munisi dan roket di Asia Tenggara dan Afrika. Pasar Asia Tenggara dan Afrika untuk hasil industri propelan sangat menjanjikan untuk pengembangan produksi dalam negeri dan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, industri propelan menjadi salah satu program nasional di bidang pertahanan.
Pelaksanaan program pembangunan industri propelan didasarkan pada kerja sama B to B antara PT Dahana dan Roxel-Eurenco, Perancis. Pengembangan industri propelan bukan hal baru untuk PT Dahana. Pada tahun 1957, PT Dahana mengerjakan program pengembangan roket. Bahkan, pada tahun 1993, PT Dahana sudah terlibat dalam penyiapan lahan untuk industri bahan peledak militer di Subang, termasuk propelan. Namun, kajian awal pendirian pabrik propelan di Indonesia baru dilaksanakan pada tahun 2009 dan diikuti dengan pengajuan Kerangka Acuan Kerja Pabrik Propelan oleh PT Dahana pada tahun 2010. Di tahun yang sama, dilakukan peletakan batu pertama dilaksanakan di Subang.
Kerja sama pembangunan industri propelan ini sudah berlangsung sejak tahun 2010 ketika Roxel-Eurenco mengajukan proposal kerja sama. Namun, kesepakatan kerja sama baru terjadi pada tahun 2014, baik dalam bentuk agreement maupun Non-Disclosure Agreement (NDA). Pada tahun 2015, kedua pihak melakukan feasibility study untuk menentukan nilai investasi program kerja sama ini. Kegiatan ini masih berlangsung hingga saat ini dan belum mencapai kesepakatan apapun.
Gambar Roadmap Pembangunan Industri Propelan
Program pembangunan industri propelan ini diharapkan dapat selesai pada tahun 2019 sebagaimana yang tercantum dalam roadmap pada Gambar. Namun, feasibility study yang masih belum selesai hingga saat ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program kerja sama akan lebih panjang daripada yang diperkirakan dan ditargetkan. Dengan demikian, pada tahun 2019 dapat dipastikan bahwa target kemampuan industri dalam pembuatan MKB masih belum dapat dipenuhi.
d. Pengembangan Roket Nasional
Roket merupakan salah satu kebutuhan TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut, khususnya Marinir. Sebagaimana yang sudah diungkapkan di atas bahwa pada tahun 1957 sudah pernah ada program pengembangan rudal yang disebut dengan “Proyek Menang”. Namun, proyek ini tidak lantas membuat Indonesia mampu mengembangkan roket dengan teknologi mutakhir. Sampai saat ini, kebutuhan roket TNI Angkatan Darat masih dipenuhi oleh Avibras, Brazil. Oleh karena itu, roket menjadi salah satu program nasional.
Roket yang dikembangkan adalah RHAN-122B yang mempunyai daya jangkau efektif sejauh 25km. Program pengembangan roket nasional yang sesuai dengan kebutuhan operasional TNI ini dilaksanakan melalui konsorsium dengan melibatkan institusi riset, lembaga pendidikan tinggi, industri, serta lembaga pemerintahan lainnya, termasuk Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Perindustrian. PT Dirgantara Indonesia memegang peranan sebagai Lead Integrator. Sementara itu, Kementerian Pertahanan Indonesia berperan sebagai koordinator dan supervisor.
Gambar Roadmap Pengembangan Roket Nasional
e. Pengembangan Rudal Nasional
Gambar Tahap Pengembangan Rudal Nasional
Pada tahun 2010, PT Dirgantara Indonesia bekerja sama dengan China Precision Machinery Import-Export Corporation (CPMIEC) untuk mengembangkan Rudal C-705. Kerja sama dalam program pengembangan ini direncanakan selesai pada tahun 2020. Dalam rentang waktu sepuluh tahun tersebut, pelaksanaan program dibagi ke dalam empat tahapan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar.
Tahun 2020, program kerja sama diharapkan sudah selesai dan dilanjutkan dengan pengembangan baru. Program pengembangan baru dilaksanakan oleh industri pertahanan Indonesia yang mempunyai kompetensi dalam pembuatan rudal. Program ini dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun. Pada tahun 2025, kekuatan pertahanan Indonesia sidah didukung oleh rudal buatan dalam negeri.
f. Pengembangan Radar Nasional
Radio Detection and Ranging (Radar) merupakan alat yang menggunakan sistem gelombang elektromagnetik. Alat ini berfungsi untuk mendeteksi, mengukur jarak, dan memetakan benda-benda yang berada di udara. Di dalam militer dan pertahanan, alat ini digunakan untuk mendeteksi serangan atau pelanggaran wilayah kedaulatan udara.
Indonesia merupakan negara terbesar dan terluas di Asia Tenggara. Untuk mengawasi keamanan wilayah kedaulatan Indonesia diperlukan radar dalam jumlah yang memadai. Dalam kerangka pertahanan negara, Indonesia mengembangkan Radar Ground Control Interceptor (GCI), yang mampu mengendalikan pesawat tempur untuk melakukan penindakan, baik berupa identifikasi visual, Shadowing, Force Down, maupun penghancuran, melalui komunikasi. Radar ini juga dilengkapi dengan Secondary Surveillance Radar (SSR), sehingga dapat membedakan pesawat lawan atau kawan (Identification Friend of Foe). Selain itu, radar ini dilengkapi dengan Primary Surveillance Radar (PSR) yang dapat menghitung letak sasaran dari atas permukaan laut dengan sudut tiga dimensi.
Program pengembangan radar dilakukan melalui konsorsium industri pertahanan. Industri yang terlibat dalam program ini, yaitu PT LEN Industri (Persero), PT INTI, PT Infoglobal, PT CMI Teknologi, dan PT Amartha Media Inter Nusa. PT LEN Industri (Persero) menjadi Lead Integrator untuk pelaksanaan program ini. Selain itu, program ini juga melibatkan lembaga riset, termasuk perguruan tinggi, seperti Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), serta Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia.
Ada tiga tahapan dalam program ini yang ditargetkan selesai dalam rentang watu sembilan tahun, yakni dari tahun 2015 hingga 2024. Program ini merupakan implementasi dari ofset dan lokal konten yang dikembangkan melalui kemampuan industri pertahanan Indonesia. Pada tahap akhir dari program ini, dilakukan kombinasi dari joint production dan indigenious radar untuk menghasilkan radar yang sesuai dengan persyaratan operasional TNI.
Gambar Roadmap Pengembangan Radar Nasional
g. Pengembangan Medium Tank
Medium tank merupakan salah satu program yang berkembang dengan pesat. Program pengembangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Darat dan Angkatan Laut Indonesia ini ditargetkan selesai pada tahun 2017. Program ini dibagi ke dalam tiga tahapan. Tahap I dilaksanakan pada tahun 2013—2014 untuk pengembangan desain yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Tahap II dilaksanakan pada tahun 2015—2019 untuk penguasaan produksi. Pada tahap ini kerja sama dilaksanakan pada tataran B to B. Indonesia yang diwakili oleh PT Pindad bekerja sama dengan FNSS Savunma Sistemleri A.S, Turki untuk pembuatan Hull/Platform. PT Pindad mengadakan kerja sama dengan Cockerill Maintenance & Ingenierie (CMI), Belgia, untuk pengembangan Turret 105mm. Sementara itu, pengembangan alat komunikasi dan Combat Management System dilakukan sepenuhnya oleh dua industri pertahanan Indonesia, yaitu PT LEN Industri (Persero) dan PT Harrif. Walaupun diperkirakan akan selesai pada tahun 2019, pemerintah Indonesia menetapkan roadmap yang menunjukkan bahwa program akan diselesaikan pada tahun 2017. Tahap III merupakan tahapan pengembangan baru. Pada tahapan ini, industri pertahanan Indonesia yang terkait dapat berinovasi untuk menghasilkan Ranpur yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan permintaan pasar.
Program pengembangan dalam jangka waktu tiga tahun ini menganggarkan dana sebesar USD 15 juta atau sekitar Rp 192 milyar. Pada tahun 2015, planning dan design platform dilakukan di Indonesia dan Turki. Pada tahun 2016, pembuatan detail desain dan Prototipe I dilaksanaka di Turki, sedangkan pihak yang berada di Indonesia mengembangkan alat komunikasi dan Battle Management System (BMS). Tahun 2017 dilaksanakan tahap akhir program, berupa pembuatan Prototipe II, integrasi turret, termasuk alat komunikasi dan BMS pada Hull di Indonesia. Selain itu, pada tahun ini juga dilaksanakan uji coba dan sertifikasi.
TEST & EVOLUTION
Sistem Uji dan Kualifikasi Tank
Prosedur Uji: Mobilitas, Mine Blast, Uji Tembak
Uji Coba Tank No. 1 di Turki
Pengiriman Tim OJT Test
Pengujian Mine Blast
Sertifikasi dan Uji Penembakan di Indonesia
2016
PROTOTYPING
(Pembangunan Satu Unit Prototipe di FNSS dan Pindad)
Sistem Fabrikasi Body Hull
Desain Prosedur Welding
Desain Finalisasi Sistem Komunikasi dan Proteksi
Prosedur Integrasi dan Kualitas
Pengiriman Tim OJT Manufaktur ke FNSS
Pembangunan Body Hull No. 2 di PT PIndad
2015
PLANNING & DESIGN
Perencanaan dan desain medium tank menentukan persyaratan desain dan spesifikasi teknis sebagai berikut:
Sistem Integrasi
Desain Powerpack & Driveline
Desain Elektrikal & Integrasi Turret
Desain Body Hull
Pengiriman Tim IPT
Pengiriman Tim OJT Engineering
Pengadaaan Main System Medium Tank (Turret, Powerpack, dan lain-lain)
Gambar Roadmap Pengembangan Medium Tank
BAB III
GLOBAL SUPPLY CHAIN
BAB IV
TEKNOLOGI DALAM KF-X/IF-X
BAB V
KF-X/IF-X DALAM TINJAUAN EKONOMI
BAB VI
DIPLOMASI DAN POLITIK INTERNASIONAL DALAM PROYEK KF-X/IF-X
Diplomasi dan Politik Luar Negeri
Negara dapat diibaratkan sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial. Suatu negara harus berinteraksi dengan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dan menjaga eksistensi dari kedaulatan yang dimilikinya. Apalagi salah satu syarat berdirinya negara adalah pengakuan dari negara lain, baik secara de facto maupun de jure.
Diplomasi dan politik luar negeri merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari interaksi antarnegara. Selain itu, hubungan antarnegara tidak pernah terlepas dari politik dunia. Diplomasi, politik luar negeri, dan politik dunia kerapkali dianggap sama (Baylis, Smith, dan Owen, (Ed.), 2014: 388). Ketiga hal tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar.
Diplomasi lebih mengarah pada instrumen atau cara dalam bersikap di dalam interaksi antarnegara. Dalam definisi yang disampaikan oleh Robert Jackson (2005: 52), diplomasi merupakan aktivitas membuat kesepakatan dengan pemerintahan lain yang berdaulat dan mempunyai kepentingan tertentu terhadap kepentingan nasional negara pelaku. Dalam definisi ini, diplomasi dianggap sebagai suatu kegiatan untuk membuat kesepakatan dengan negara atau pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Definisi ini belum mampu menunjukkan alasan pelaksanaan diplomasi sebagai suatu kegiatan dan cara melakukannya.
Tidak jauh berbeda dengan Jackson, Evans dan Newnham (1998: 129) dalam bukunya yang berjudul Penguin Dictionary of International Relations mendefinisikan diplomasi sebagai suatu instansi dan instrumen dari suatu sistem negara yang dilakukan melalui dialog dan negosiasi. Definisi ini sudah menjelaskan tentang cara pelaksanaan diplomasi, tetapi masih belum menggambarkan tujuannya. Penjelasan lebih lengkap disampaikan oleh Ronald Peter Barston (2013: 1). Ia menyatakan bahwa diplomasi berkaitan dengan pengelolaan hubungan antarnegara yang berkaitan dengan penyaranan, pembentukan, dan penerapan politik luar negeri dan dilakukan melalui pelbagai seperti korespondensi, pembicaraan pribadi (private talks), dialog, kunjungan, lobi, dan mengancam, untuk mengartikulasikan, mengoordinasikan, dan mengamankan kepentingannya secara luas. Dalam definisi ini, diplomasi dilakukan melalui berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menunjukkan dan mendapatkan kepentingan nasional. Selain itu, definisi ini juga menjelaskan keterkaitan antara diplomasi dengan politik luar negeri.
Diplomasi berada pada posisi sentral, sehingga dapat digunakan untuk memahami politik dunia, sistem global, dan politik luar negeri jika dilihat pada perspektif tertentu. Pada perspektif makro atau perspektif politik dunia, diplomasi digunakan untuk memahami sistem global (Baylis dan Smith (Ed.), 2001: 318). Diplomasi mengacu pada proses komunikasi dalam pusat kinerja sistem global. Pada perspektif ini, diplomasi berseberangan dengan perang. Diplomasi dilaksanakan dalam kerangka kerja sama, sehingga penyelesaian konflik dilaksnakan melalui dialog dan negosiasi. Sementara itu, peperangan merupakan gambaran kegagalan negara-negara yang berinteraksi dalam resolusi konflik.
Politik Dunia
Konflik
Kerja Sama
Perang
Diplomasi
Sumber: Baylis dan Smith (ed.), 2014, p. 388
Gambar 6.1 Perspektif Makro dari Politik Dunia
Fungsi diplomasi menurut Ronald Peter Barston (2013, 2)
Ceremonial
Protokol
Representasi
Kunjungan
Manajemen
Permasalahan sehari-hari
Promosi kepentingan
Penjelasan dan pertahanan kebijakan
Penguatan hubungan bilateral
Hubungan bilateral dan multilateral
Informasi dan Komunikasi
Laporan dan penaksiran
Pengawasan
Negosiasi Internasional
Kewajiban Perlindungan
Kontribusi Kelompok Internasional
Normatif
Pembuatan peranan (rule making)
Mediasi
Pada perspektif mikro, diplomasi didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar hasil pemikiran aktor internasional dalam sistem global (Baylis dan Smith (Ed.), 2001: 318). Dengan kata lain, diplomasi hanya merupakan instrumen dari sebuah pemikiran yang disebut dengan politik luar negeri. Berdasarkan definisi ini, dapat dilihat hubungan antara diplomasi dan politik luar negeri. Diplomasi dilakukan berdasarkan politik luar negeri suatu negara. Oleh sebab itu, politik luar negeri dapat digambarkan dengan kalimat tanya “what to do?”, sedangkan diplomasi digambarkan dengan “how to do it?”
Pelaksanaan diplomasi bertujuan untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia (Baylis dan Smith (Ed), 2014: 388). Sementara itu, menurut Barston (2013: 2), ada enam fungsi diplomasi, yaitu ceremonial, manajemen, komunikasi dan informasi, negosiasi internasional, tugas perlindungan, dan normatif atau legal. Keenam fungsi tersebut dapat dilihat dari tugas diplomasi yang meliputi manajemen, akuisisi penjelasan, dan mempertahankan sebagian kebijakan (Barston, 2013: 3).
Selain enam fungsi diplomasi tersebut, setiap negara juga menggunakan diplomasi dengan fungsi tertentu sesuai dengan tujuan dan kepentingan negaranya, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Negeri Paman Sam ini mendefinisikan diplomasi sebagai pengelolaan hubungan Amerika Serikat dengan pemerintah negara lain, organisasi internasional, dan masyarakat dari negara lain (U.S. Department of State, 2008: 1). Amerika Serikat menggunakan diplomasi untuk mencapai kesepakatan dengan negara lain di pelbagai isu, termasuk terorisme, ancaman dari senjata pemusnah massal, infeksi virus HIV/AIDS, perdagangan obat-obatan terlarang, bantuan kemanusiaan untuk imigran dan pengungsi, serta degradasi lingkungan (U.S. Department of State, 2008: 2).
Suatu kegiatan diplomasi dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Barston (2013: 6) mengeksplorasi tiga aspek yang menjadi latar belakang atau setting diplomasi, yaitu keanggotaan, perkembangan blok dan kelompok, serta institusi internasional. Ketiga hal ini memang menjadi setting diplomasi sebagian besar negara. Setiap negara menjadi anggota dari beberapa organisasi internasional. Hal ini yang menyebabkan setiap negara saling tergantung. Namun, selalu ada hal yang menjadi prioritas dalam pemerintahan suatu negara.
Indonesia merupakan anggota dari beberapa negara yang jika ditinjau secara regional saling bertumpang tindih, seperti ASEAN, IORA, APEC, dan OIC. Indonesia harus mampu memainkan peranan penting dan memegang komitmennya di setiap organisasi internasional. Namun, Indonesia sudah menentukan prioritasnya adalah ASEAN. Indonesia merupakan salah satu pelopor pembentukan ASEAN pada tanggal 6 Agustus 1967. Selain itu, Indonesia juga merupakan penggagas pembentukan Komunitas ASEAN yang menarik perhatian dunia, hingga banyak negara di luar kawasan yang tertarik untuk bergabung.
Cina juga merupakan negara Asia yang mempunyai pengaruh besar saat ini. Namun, perhatian Cina tidak ditujukan pada negara-negara di Asia Tenggara. Konflik di Laut Cina Selatan memang mengundang perhatian banyak negara. Cina juga menjadi salah satu aktor utama dalam konflik ini. Sebagian besar orang dapat mengatakan bahwa Cina mempunyai perhatian yang sangat besar untuk kerja sama di Asia Tenggara karena ada konflik Laut Cina Selatan. Tidak ada yang bisa menafikkan bahwa Cina mempunyai kepentingan yang sangat besar di Asia Tenggara, tetapi tujuan utamanya adalah Benua Afrika. Laut Cina Selatan hanya sebuah jalur yang kaya dengan hasil alam dan dapat menghubungkan Cina-Benua Afrika. Jalur laut yang melewati Laut Cina Selatan lebih aman dibandingkan jalur darat yang melewati India, Pakistan, atau Rusia. Jalur-jalur darat tersebut sedang dalam konflik, termasuk wilayah Timur Tengah, sehingga keamanan perdagangan terganggu. Walaupun jalur yang melintasi Laut Cina Selatan juga di dalam konflik dan banyak perompak di Samudera Hindia, jalur ini tetap lebih aman.
Diplomasi dilakukan dengan berdasarkan pada politik luar negeri suatu negara oleh beberapa aktor. Di era modern, diplomasi dilakukan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan secara langsung (Barston, 2013: 7). Hasil diplomasi kepala negara atau kepala pemerintahan dapat membatalkan, menghentikan, atau meneruskan diplomasi kementerian luar negeri—sebagai institusi yang mengemban tugas seremonial, pengelolaan, komunikasi dan informasi, negosiasi internasional, perlindungan, dan pemberian kontribusi pada kelompok internasional (Barston, 2013: 15). Kementerian luar negeri merupakan instrumen negara dalam melakukan upaya diplomatik dan mengimplementasikan kebijakan ke luar wilayah kedaulatan Indonesia (Barston, 2013: 18).
Kepala negara dan pemerintahan, serta kementerian luar negeri merupakan aktor negara yang bertindak atas nama rakyatnya dan merepresentasikan negaranya di dalam pergaulan internasional. Di dalam perkembangan hubungan antarnegara terjadi perkembangan yang signifikan. Aktor-aktor non-negara bermunculan dengan pelbagai faktor, mula dari kepentingan ekonomi, lingkungan, bantuan, teroris, dan kemanusiaan. Aktor-aktor global non-negara ini bertindak sebagai suatu kelompok berbasis agama, pendanaan internasional, dan sebagainya. Bahkan, menurut Barston (Barston, 2013: 7), pemimpin terdahulu dari suatu negara dapat menjadi aktor diplomasi pada tataran interaksi antarnegara tertentu.
Perkembangan interaksi internasional yang memunculkan banyak aktor baru, khususnya aktor non-negara juga mendorong kemunculan beberapa jenis diplomasi. Kegiatan diplomasi diklasifikasikan berdasarkan bidang atau sektor yang menjadi perhatian utama dari kegiatan diplomasi, seperti diplomasi publik, diplomasi ekonomi, diplomasi perbatasan, diplomasi militer, dan diplomasi pertahanan. Di Indonesia, Kementerian Luar Negeri tidak melaksanakan diplomasi militer dan pertahanan. Kedua jenis diplomasi ini menjadi wewenang Kementerian Pertahanan. Kondisi ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh segenap negara maju, termasuk Amerika Serikat dan Korea Selatan. Hal ini berkaitan dengan sentimen politik dalam hubungan sipil-militer pada Era Orde Baru. Sebelum membahas hal ini, berikut adalah penjelasan singkat dari beberapa jenis diplomasi.
Diplomasi Publik
Diplomasi publik menjadi kunci utama dalam praktik diplomatik (Melissen (Ed.), 2013: 4). Setiap aktor yang melaksanakan diplomasi ini mempunyai kesadaran tentang pentingnya pemikiran atau perspektif masyarakat asing terhadap negaranya, sehingga mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melakukan pendekatan kepada rakyat negara lain. Hal ini yang membedakan diplomasi tradisional dan diplomasi publik yang merupakan bagian dari diplomasi modern. Target diplomasi bukan hanya pemerintahan, tetapi juga masyarakatnya atau secara lebih spesifik adalah kelompok, organisasi, dan individu dalam suatu negara.
Diplomasi publik sangat membutuhkan media sebagai instrumennya. Melalui media, pemerintah dari suatu negara dapat menyampaikan informasi tentang negaranya, baik dari segi kebijakan, peluang bisnis atau pendidikan, maupun kebudayaan, kepada masyarakat di negara lain. Penyampaian informasi yang bersifat satu arah ini yang menyebabkan diplomasi publik dinilai sebagai sistem komunikasi dan informasi satu arah. Namun, saat ini komunikasi dua arah sudah mulai dikembangkan oleh beberapa negara—walaupun masih terbatas pada aspek politik (Melissen (Ed.), 2013: 13).
Penggunaan media sebagai instrumen diplomasi bukan tanpa masalah. Pada beberapa kasus, media justru membuat posisi diplomasi suatu negara semakin terjepit, terutama pada pemberitaan isu negatif. Kondisi ini dapat disebut wajar karena pemerintah bertindak untuk kepentingan negara yang bersifat strategis, sedangkan media dikendalikan oleh suatu sistem bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Media mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika pembaca merasa tertarik untuk membaca, mendengarkan, atau melihat beritanya. Pembaca akan lebih tertarik untuk membaca berita kudeta militer yang terjadi di Turki daripada pencapaian pemerintahan Recep Tayyip Erdogan baik pada tataran ekonomi maupun politik. Oleh karena itu, beberapa pemerintahan membentuk lembaga informasi dan komunikasi atau mempunyai media khusus untuk menyebarkan informasi dan berkomunikasi dengan masyarakat dari negara lain.
Di beberapa negara-negara sosialis atau otoritarian, media dikendalikan oleh pemerintah. Setiap berita yang akan dipublikasi harus melalui seleksi ketat. Berita-berita yang memperburuk citra pemerintahan akan diangulir; hanya berita positif yang dipublikasikan. Proteksi negara terhadap pemberitaan media menyebabkan keterbatasan informasi yang diperoleh masyarakat di negara lain. Hampir tidak ada atau sangat sulit menemukan media Cina yang menunjukkan permasalahan dalam negerinya.
Diplomasi publik dapat dinilai sebagai propaganda, tetapi dalam pelaksanaannya tidak ada kampanye tertentu. Diplomasi ini dilakukan melalui pembentukan program yang didanai dan didukung oleh pemerintah untuk memberikan pengaruh kepada masyarakat. Pelaksaanaannya memberikan dua keuntungan, yaitu menginformasikan kebijakan dari negara asal dan memahami kebijakan dari negara lain (Swistek, 2012: 80).
Diplomasi Ekonomi
Diplomasi Pertahanan
Terminologi pertahanan kerap kali dianggap sama dengan keamanan dan militer. Ketiga terminologi ini memang saling berkaitan, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Hubungan pertahanan, keamanan, dan militer dapat dilihat pada Gambar.
Gambar Hubungan Keamanan, Pertahanan, dan Militer
Menurut Barston (2013: 244), keamanan dapat ditinjau dalam tiga perspektif, yaitu sistem internasional, negara-bangsa, dan individu. Pada tataran sistem internasional, keamanan dapat diartikan sebagai stabilitas yang dihasilkan dari akomodasi kepentingan aktor-aktor internasional melalui diplomasi tanpa ada penyerangan dan berdasarkan mediasi, serta norma dan peranan masing-masing aktor. Pada tataran nasional, keamanan dipersepsikan sebagai rasa aman atas ancaman dari luar. Untuk itu, kekuatan militer dikerahkan. Sementara itu, diplomasi dianggap sebagai serangan yang dilakukan negarawan melalui tindakan menghalangi penyerang, membangun koalisi, mengancam lawan, dan mencari legitimasi dukungan internasional untuk menggunakan kekuatan militer. Keamanan pada perspektif individu mengarah pada diplomat dan masyarakat sipil.
Saya menggolongkan keamanan hanya ke dalam dua jenis yang pada umumnya berkembang dalam pelbagai analisis Hubungan Internasional, yaitu keamanan negara (state security) dan keamanan manusia (human security). Keamanan pada perspektif sistem internasional yang disampaikan oleh Barston merupakan bagian dari keamanan negara. Dengan kata lain, dua dari tiga perspektif keamanan yang disampaikan oleh Barston, menurut saya, merupakan bentuk dari keamanan negara. Dua perspektif tersebut merupakan pandangan tradisional. Saat ini yang menjadi perhatian dunia tidak hanya sekedar tentang upaya melindungi negara, tetapi juga menjaga keamanan setiap individu yang dinaunginya.
Isu-isu terkait human security terus mencuat, mulai dari perdagangan manusia, terorisme, peredaran obat-obatan terlarang, kepemilikan senjata ilegal, hingga penyebaran penyakit menular. Kerja sama antarnegara tidak lagi sebatas untuk menjaga stabilitas ekonomi dan membentuk aliansi atau kekuatan militer, tetapi juga memperkuat kedekatan antarmasyarakat di era globalisasi. Hampir semua negara di dunia menjalin kerja sama untuk menyelamatkan warga negaranya yang menjadi tawanan teroris.
Pentingnya human security dapat dilihat dari sikap pemerintah Jepang yang berusaha menyelamatkan warga negaranya, Kenji Goto dan Haruna Yukawa, yang ditawan oleh gerakan teroris yang menamai dirinya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pada tahun 2015. Selain itu, hal yang sama dapat dilihat dari sikap Brazil dan Australia saat berusaha menyelamatkan warga negaranya yang menghadapi hukuman mati di Indonesia. Bahkan, dua negara ini sudah siap untuk menghentikan kegiatan diplomatik dalam beberapa waktu.
Keamanan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada pertahanan dan militer. Semua permasalahan negara dapat menjadi isu keamanan jika mengalami proses sekuritisasi. Namun, tidak semua isu dapat menjadi masalah pertahanan. Isu yang menjadi masalah pertahanan adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi negara dari berbagai ancaman. Sementara itu, militer hanya berkaitan dengan angkatan bersenjata yang menggunakan seragam. Dengan demikian, militer merupakan bagian dari pertahanan, tetapi tidak semua hal tentang pertahanan berkaitan dengan militer.
Diplomasi pertahanan merupakan terminologi yang mencuat setelah Perang Dingin berakhir (Gindarsah, 2015: 2). Terminologi ini berkembang pesat dan memunculkan aktor baru dalam hubungan antarnegara. Lantas apakah perbedaan diplomasi pertahanan dengan diplomasi militer? Diplomasi militer kerap kali diartikan sebagai diplomasi pertahanan. Walaupun saling berkaitan, kedua hal tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan. Diplomasi pertahanan dapat didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan militer dan infrastruktur lainnya dalam masa damai. Kedua instrumen ini digunakan sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan keamanan dan luar negeri (Cottey dan Forster, 2004: 6). Sementara itu, Mulloy (2007: 5) menyatakan bahwa diplomasi pertahanan adalah pengolahan komunikasi dan hubungan internasional antara institusi pertahanan dan personelnya, yang meliputi kerja sama teknologi, pelatihan, dan operasi. Definisi ini bukan merupakan hal baku yang berlaku di setiap negara. Sebagaimana terminologi dalam hubungan internasional lainnya, diplomasi pertahanan juga didefinisikan secara berbeda oleh setiap negara sesuai dengan kepentingannya.
Kementerian Pertahanan Spanyol menerbitkan buku yang menjelaskan diplomasi pertahanan dalam persepsi pemerintahnya. Di dalam buku tersebut, diplomasi pertahanan didefinisikan sebagai pelbagai kegiatan internasional dengan bentuk dasar berupa dialog dan kerja sama yang dilaksanakan pada tataran bilateral untuk meningkatkan pencapaian tujuan kebijakan pertahanan Spanyol dalam kerangka kebijakan luar negeri (Ministerio de Defensa, 2012: 18). Diplomasi pertahanan yang digunakan Inggris didefinisikan oleh Anton du Plessis dalam ruang lingkup yang sempit. Diplomasi pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah Inggris didefinisikan sebatas pada penggunaan personel dalam upaya pencegahan dan resolusi konflik serta kegiatan atase. (Mulloy, 2007: 5).
Inggris merupakan negara pertama yang menggunakan diplomasi pertahanan dalam menjaga hubungan pertahanan dengan negara lain karena kegiatannya dinilai lebih bersifat low-cost jika dibandingkan dengan operasi militer (Mulloy, 2007: 7). Hal ini berbeda dengan Spanyol yang menggunakan terminologi ini pertama kali pada tahun 2003 dalam The 2003 Strategic Defence Review (Ministerio de Defensa, 2012: 18). Dari kedua negara tersebut, diplomasi pertahanan dapat diklasifikan dalam dua perspektif. Adapun kedua definisi tersebut adalah definisi klasik yang menekankan pada politik nyata tentang upaya menghalau musuh, dan definisi baru yang cenderung berfokus pada upaya mengikat musuh potensial dalam suatu perjanjian; mendukung demokrasi, pemerintahan yang baik dan hak asasi manusia; dan memungkinkan negara untuk menyelesaikan permasalahan keamanannya secara mandiri (Cottey dan Forster, 2004: 8).
Kegiatan diplomasi pertahanan meliputi pelbagai aktivitas yang dilakukan oleh militer dan sipil. Pada masa lampau, diplomasi pertahanan ditunjukkan dengan adanya kerja sama atau bantuan militer, tetapi saat ini kerja sama tersebut berkembang dan memunculkan pelbagai kegiatan lainnya (Cottey dan Forster, 2004: 6). Pelbagai aktivitas diplomasi pertahanan dapat dilihat dalam Tabel.
Tabel Aktivitas Diplomasi Pertahanan
Muthanna, 2011: 3—8
Dialog politik, keamanan, dan pertahanan strategis.
Transparansi berkaitan dengan kebijakan militer nasional.
Bantuan pengelolaan pemerintahan yang dilegitimasi.
Kontak personel profesional.
Pertukaran persepsi.
Partisipasi dalam United Nations Peace Keeping Operations (UN PKO) atau dalam koalisi dan bantuan kemanusiaan.
Penguatan hubungan pertahanan untuk meningkatkan pengaruh dan akses.
Meningkatkan kapabilitas militer di bidang persenjataan.
Membantu peningkatan kapabilitas militer negara sahabat tanpa mengganggu keamanan negara.
Menjalankan perjanjian internasional di bidang militer.
Penunjukkan atase pertahanan untuk negara lain.
Cottey dan Forster, 2004: 7
Kontak bilateral dan multilateral antara militer senior dan pejabat sipil pertahanan.
Penunjukkan atasr pertahanan untuk negara lain.
Perjanjian kerja sama pertahanan bilateral.
Pelatihan personel militer dan sipil pertahanan asing.
Pembekalan tenaga ahli dan saran tentang pengawasan demokrasi pada penggunaan kekuatan militer, manajemen pertahanan, dan teknik militer.
Kontak dan pertukaran unit dan personel militer, serta kunjungan kapal.
Penempatan personel militer dan sipil di institusi pertahanan dan militer negara sahabat.
Pengerahan tim pelatihan;
Penetapan bantuan alat militer dan material lainnya.
Pelatihan militer secara bilateral atau multilateral.
Mulloy, 2007: 3
Kegiatan diplomasi pertahanan yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan Inggris, antara lain
MT16—yang meliputi kegiatan pengendalian senjata, non-proliferasi, dan confidence and security building measures;
MT17—berkontribusi pada keamanan dan stabilitas di Eropa Timur dan Tengah, terutama Rusia, Trans-Kaukasus, dan Asia Tengah melalui program kerja sama dan bantuan bilateral;
MT18— kegiatan diplomasi lainnya meliputi program bantuan militer untuk kekuatan militer negara lain dan komunitas pertahanan, sehingga tidak berada di bawah target pencapaian.
Dalam Tabel banyak kegiatan diplomasi pertahanan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Namun, pada dasarnya kegiatan tersebut berpegang pada prinsip bahwa diplomasi merupakan profesi, aktivitas atau kemampuan untuk mengelola hubungan antarnegara (Taylor et al., 2014:7). Dengan kata lain, diplomasi pertahanan bukan berupa peperangan yang dilakukan oleh kekuatan militer, melainkan pengembangan komunitas internasional yang berdasarkan pada kepercayaan untuk melakukan kegiatan bersama (Rolfe, 2015: 1).
Diplomasi pertahanan yang dilakukan oleh setiap negara mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Indonesia melakukan diplomasi pertahanan untuk memperkuat pertahanannya, menjaga stabilitas kawasan, dan mendorong pembangunan industrinya. Sementara itu, diplomasi pertahanan Spanyol bertujuan utuk menjaga komunikasi, membantu konsolidasi untuk menjaga stabilitas dunia, dan untuk mendukung pengembangan industrinya, terutama di bidang teknologi dan kapabiliitas komersial (Melissen (Ed.), 2013: 19). Amerika serikat, sebagai negara besar juga melakukan diplomasi pertahanan untuk tujuan lain. Adapun tujuan diplomasi pertahanan Amerika Serikat, antara lain membangun hubungan yang mendukung kepentingan keamanannya; mengembangkan kapabilitas negara sekutu sebagai bentuk pertahanan; mengubah pertukaran informasi dan pembagian intelijen; menyamakan pandangan terhadap tantangan di bidang keamanan; dan menyediakan bantuan untuk militer Amerika Serikat di kawasan (S. Rajaratnam Conference Report, 2010: 12).
Diplomasi pertahanan berkaitan dengan militer, tetapi tidak semua hal dalam diplomasi ini mengangkat aspek militer. Diplomasi yang dilaksanakan oleh dan untuk pengembangan kekuatan militer disebut diplomasi militer. Diplomasi ini difokuskan pada isu-isu sensitif terkait dengan keamanan dan penggunaan kekuatan angkatan bersenjata (Swistek, 2012: 83).
Pelaksanaan diplomasi militer memunculkan dilema dalam hubungan internasional. Penggunaan militer sebagai alat kadangkala justru memberikan kesan ancaman. Pembangunan kapabilitas militer suatu negara melalui kerja sama juga dapat menjadi ancaman bagi negara lain, termasuk negara yang terlibat dalam kerja sama tersebut. Diplomasi militer hanya dapat digunakan dengan pengelolaan kepercayaan yang tepat. Diplomasi ini akan lebih mudah dilaksanakan dan mencapai kerja sama jika negara-negara yang terlibat berada dalam suatu organisasi tertentu, termasuk aliansi.
Jika diplomasi adalah cara menjalin hubungan dengan negara lain, kebijakan atau politik luar negeri merupakan aturan penggunaannya. Seperti halnya pengelolaan suatu lahan pertanian, untuk mendapatkan hasil panen yang diharapkan, seorang petani harus menggunakan pupuk dan perkakas pertanian. Penggunaan pupuk dan perkakas pertanian yang baik saja tidak akan menghasilkan hasil panen yang melimpah. Petani harus mengetahui cara penggunaan pupuk dan perkakas pertanian, mulai dari dosis pupuk hingga perlakuan yang sesuai dengan jenis tanamannya. Sebagai contohnya, kangkung membutuhkan lingkungan yang basah, sedangkan singkong dapat hidup di tanah kering. Perlakuan terhadap kedua tanaman ini berbeda. Begitupula hubungan antara diplomasi dan politik luar negeri, keduanya saling berkaitan dan dibutuhkan untuk mencapai kepentingan nasional.
Politik luar negeri diartikan sebagai kebijakan yang dibentuk berdasarkan kondisi internal dan eksternal suatu negara untuk membatasi kegiatan, baik berupa aksi, reaksi, maupun interaksi dalam hubungan antarnegara (Evans dan Newnham, 1998: 179). Politik luar negeri tidak sekedar jargon atau slogan, tetapi juga menjelaskan kepentingan dan fokus pergerakan suatu negara. Amerika Serikat memunculkan politik luar negeri yang disebut “Rebalancing to Asia Pacific”
The State Department has four main foreign policy goals:
Protect the United States and Americans;
Advance democracy, human rights, and other global interests;
Promote international understanding of American values and policies; and
Support U.S. diplomats, government officials, and all other personnel at home and abroad who make these goals a reality. (U.S. Department of State, 2008: 1)
p. 69
The working assumption of most FPA is that state as a social institution exists in two environments: internal environment that is composed of all the other institutions located in the territory demarcated by the state and their institutions with it ad each other; on the other hand, there is the external environment composed od all other states and their interactions with it and each other.
In the case of domestic policy, the state is capable of getting its way having decided on a course of action.
In foreign policy, outcomes are the product of interdependent decision-making (Brown dan Ainley, 2005: 69)
Graham Allison provides three models of decision, namely
Rational Actor Model (RAM)seen in ends and mean terms, policy is formulated by a single unitary state actor.
Organizational Process Model decisions made by multiple organizations each of whom have characteristic ways in doing things
Bureaucratic Politics Modelstressing the extent to which political factors external to the overt international issue may affect decision-making (Brown dan Ainley, 2005: 71—73)
Politik Internasional dan Kerjasama Antarnegara
In IR literature, there are two—and only two—positions on how to cope with the fear derived from the uncertainty over others’ intentions: an offensive realism position and a non-offensive realism position. Offensive realism holds that states should (and do) assume the worst over others’ intentions. Offensive realism asserts that this worst-case assumption over others’ intentions is absolutely necessary because states are inherently aggressive. Despite important differences among them, all non-offensive realism theories reject the notion that states are inherently aggressive. As such, all non-offensive realism theories reject assuming the worst over others’ intentions when trying to cope with the fear derived from the uncertainty over others’ intentions and fear. (Tang, 2008: 453)
This worst-case assumption about others’ intentions is vital for Mearsheimer to
make the jump from uncertainty about others’ intentions ⁄ fear to necessary
aggression. This is most evident in Mearsheimer’s defense of his theory:
‘‘[S]tates cannot discern the intentions of other states with a high degree of confidence. Moreover, it is almost impossible to know the future intentions of other
states. Therefore, leaders have little choice but to assume the worst case about
other great powers’ intentions.’’ (Mearsheimer 2006:120; see also 121–123, 231–
234) This worst-case assumption over others’ intention is Mearsheimer’s sixth
assumption, his ‘‘Sixth Element’’(security dillema and time horizon). Mearsheimer’s five bed assumptions are: (1) the international system is anarchic, (2) states inherently possess some offensive military capabilities, (3) state can never be certain about other states’ intentions, (4) survival is the primary goal of states, and (5) states are rational actors (Mearsheimer 2001:30–31) (Tang, 2008: 458)
(Robert, 1978: 169—170)
Our taxonomy bears some resemblanceto, but is distinct from, the conventional "fourfaces"approachto power because, we contend, ours is analyticallymore systematic andprecise, andconceptually more general.Digeser nicely summarizesthe differences among the four faces in the following way: "Underthe first face of power the central question is, 'Who, if anyone, is exercising power?' Underthesecondface, 'Whatissueshavebeenmobilizedoff theagendaandby whom?'Underthe radicalconception, 'Whoseobjective interests arebeingharmed?' Underthefourthfaceof powerthe critical issue is, 'Whatkind of subjectis being produced?'" Digeser 1992, 980. For other summaries
of these faces, see Hayward2000, chap. 1; and Hay 1997. Because the four faces developed sequentially througha progressivedebateaboutgaps andabsences in priorconceptions, they arenot elements in a systematic typology. Therearenoanalytical dimensions thatdistinguish acrossallfourfaces,and thefacesoverlapandblurintooneanother. (Barnett dan Duvall, 2005: 43)
Dynamic Equilibrium di ASEAN
we expect that Southeast Asia will remain as a net contributor to international peace
and security; as well indeed, to economic development and prosperity.Indeed, beyond its own sub-region, anchored by a strong ASEAN Community we are set to achieve by 2015, ASEAN continues to be the driving force in promoting an Asia-Pacific wide regional architecture which is conducive for the maintenance regional peace and stability. Precisely the kind of conditions that have enabled countries in the region to pursue a development path uninterrupted by wars and conflicts. In the current regional settiug, we in Indonesia describe this as being conditions marked by a dynamic equilibrium. Where preponderant power is absent not by the promotion of bloc politics and often self-fulfilling geopolitical fault lines; rather, a new kind of international relations with its emphasis on common security, common prosperity and common stability.(Statement by Marty Natalegawa dalam General Debate of the 66th Session of the United Nations General Assembly di New york pada 26 September 2011).
Interaksi Tiga Negara dalam Proyek KF-X/IF-X
Hubungan kerja sama Indonesia-Korsel sudah terjalin sejak lebih dari 40 tahun. Hubungan tersebut terus mengalami dinamika. Pada tahun 2006, Indonesia dan Korsel membentuk suatu deklarasi hubungan strategis yang menjadi landasan perkembangan kerja sama di pelbagai bidang, termasuk di bidang pertahanan.
Tabel 4.1 Lima Negara Utama Importir Hasil Industri Pertahanan Korsel
Unit: USD juta
Tahun
Peringkat I
Peringkat II
Peringkat III
Peringkat IV
Peringkat V
Negara
Nilai
Negara
Nilai
Negara
Nilai
Negara
Nilai
Negara
Nilai
2006
Amerika
Serikat
136
Turki
57
Indonesia
11
Uni Emirat Arab
10
Malaysia
7
2007
Turki
383
Amerika
Serikat
209
Pakistan
100
Indonesia
31
Suriah
26
2008
Turki
427
Amerika
Serikat
331
Mesir
101
Indonesia
50
Kolumbia
24
2009
Amerika
Serikat
398
Irak
320
Indonesia
229
Turki
43
Filipina
27
2010
Amerika
Serikat
486
Malaysia
367
Turki
75
Indonesia
51
Libya
50
2011
Indonesia
1.500
Amerika
Serikat
640
Turki
56
Israel
28
Thailand
16
2012
Amerika
Serikat
737
Inggris
723
Peru
209
Turki
135
Kolumbia
91
2013
Irak
1.129
Amerika
Serikat
1.053
Thailand
485
Norwegia
230
Peru
170
Sumber: Ministry of National Defense of Republic of Korea, 2014, p. 188.
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi importir Korsel dalam jumlah besar pada tahun 2006—2011. Bahkan, Indonesia menduduki posisi pertama pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 dan 2013, terjadi penurunan impor yang signifikan dari Indonesia.
Tawaran kerja sama pengembangan KFX/IFX merupakan salah satu bentuk kerja sama strategis Indonesia-Korsel. Pada tahun 2008, Kemhan menerima surat tawaran kerja sama pengembangan KFX/IFX dari pemerintah Korsel. Surat tersebut kemudian dibahas dengan TNI Angkatan Udara sebagai pengguna dan diajukan kepada Presiden Republik Indonesia (E. Heryanto, wawancara, 4 Agustus 2015). Pada akhirnya, keputusan Indonesia adalah menerima tawaran kerja sama tersebut karena bersesuaian dengan MEF Indonesia.
Dalam MEF Indonesia, setelah rencana strategis periode 2015—2019 selesai, TNI Angkatan Udara membutuhkan tiga skuadron atau 48 unit pesawat tempur. Kebutuhan 48 pesawat tempur ini yang dipenuhi melalui 50 unit KFX/IFX yang direncanakan selesai pada tahun 2024 atau 2025 (E. Heryanto, wawancara, 4 Agustus 2015). Ini merupakan hasil dari investasi sebesar 20% yang diberikan Indonesia dalam kerja sama pengembangan KFX/IFX.
Kerja sama pengembangan pesawat tempur yang dituangkan dalam bentuk Joint Development KFX/IFX ini terdiri dari empat fase kerja sama, yaitu TDP, EMDP, PDP, dan Marketing Phase (MP). Namun, kerja sama difokuskan pada pelaksanaan tiga fase, yaitu TDP, EMDP, dan PDP. TDP dan EMDP merupakan fase kerja sama yang menjadi tanggung jawab Kemhan, khususnya Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) (A. Kusmayati, wawancara, 4 September 2015).
TDP sudah selesai dilaksanakan pada tahun 2012. Fase ini berjalan selama 18 bulan (E. Heryanto, wawancara, 4 Agustus 2015), dengan hasil berupa requirements system (A. Kusmayati, wawancara, 4 September 2015). Setelah TDP selesai, pemerintah Korsel menunda pelaksanaan EMDP dengan alasan ketiadaan anggaran dan pelaksanaan Economic Feasibility Study untuk meninjau ulang pelaksanaan TDP (www.kemhan.go.id, 6 Maret 2013). Selain itu, penundaan juga didorong oleh keinginan Korsel untuk melakukan survey harga komponen yang akan digunakan dalam EMDP (A. Alisjahbana, wawancara, 28 September 2015).
Pada bulan Juli 2014 sudah ditandatangani kesepakatan untuk melaksanakan EMDP dan membentuk Joint Programme Management Office (JPMO) yang mengatur partisipasi industri, pendanaan, dan kompetensi (www.airforce-technology.com, 10 November 2014). JPMO berisi orang-orang yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia dan Korsel. Di dalam JPMO ada beberapa aspek yang dikaji, mulai dari managemen, dukungan logistik, akuisisi, hingga penganggaran dana. Selain itu, JPMO juga berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah Indonesia dengan Korean Aerospace Industry (KAI), terkait penyaluran dana. (A. Kusmayati, wawancara, 4 September 2015)
Pelaksanaan EMDP yang direncanakan akan dimulai pada akhir tahun 2015 itu sudah dibicarakan sejak Januari 2015 dan masih dalam proses negosiasi karena adanya perbedaan pemahaman. Pelaksanaan EMDP ini dibagi ke dalam dua jenis hubungan, yaitu government to government (Kemhan dengan Defense Acquisition Program Administration (DAPA)), yang bergerak pada tataran kebijakan, dan business to business (PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dengan KAI), yang bergerak pada tataran teknis atau implementasinya (E. Heryanto, wawancara, 4 Agustus 2015).
Secara garis besar, kerja sama ini terdiri dari tiga program, yaitu program inti, pelengkap, dan pendukung. Program inti adalah program yang dibicarakan Kemhan dengan DAPA. Program ini yang dihitung dan disepakati oleh kedua negara serta dibagi berdasarkan porsi investasi. Sementara itu, program pendukung dan pelengkap adalah program yang ditujukan untuk membangun PT DI sebagai pelaksana industri. Pembangunan PT DI ini dilakukan pada tiga bidang, yaitu Sumber daya Manusia (SDM), teknologi, dan infrastruktur. Untuk melakukan pembangunan tersebut, penganggarannya dilakukan oleh Balitbang Kemhan. (A. Kusmayati, wawancara, 4 September 2015)
Pembagian dari ketiga program tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Lembaga Penelitian
Perguruan Tinggi
Industri Lokal
Badan Usaha Milik Negara
Lembaga Penelitian
Perguruan Tinggi
Industri Lokal
Badan Usaha Milik Negara
Lead Integrator
PT DI
Program Pendukung KFX/IFX
Program Inti KFX/IFX
Program Pelengkap KFX/IFX
Penguasaan Kesiapan Teknologi Pesawat Tempur
(Material Komposit, Simulator, Avionik, dan lain-lain)
Kerja Sama Pengembangan & Pembuatan Pesawat Tempur
(TDP, EMDP, dan Produksi)
Pengembangan Komponen Combat System
(Data Link, Smart Bom, Sistem Senjata, dll)
l
Regulator: Pemerintah (Kementerian Pertahanan)m
Sumber: Paparan Program Management Unit, 2015
Gambar 4.1 Sinergi Nasional dalam Joint Development KFX/IFX
Untuk memperlancar pelaksanaan Joint Development KFX/IFX, Kemhan membentuk unit yang disebut dengan Program Management Unit (PMU). PMU dipimpin oleh direktur program yaitu Kepala Balitbang karena program pengembangan ini, khususnya pada TDP dan EMDP merupakan bagian dari ranah kerja Balitbang Kemhan. Jika pengembangan KFX/IFX sudah berada pada PDP, posisi direktur program belum tentu dipegang oleh Kepala Balitbang. Wakil direktur dari PMU adalah Direktur Jenderal Potensi Pertahanan (Dirjen Pothan), sebagaimana fungsi Direktorat Jenderal Pertahanan, yaitu melakukan pembinaan teknologi dan industri pertahanan. Di bawah PMU, terdapat beberapa manager, yaitu manager finansial, supervisi industri, hukum, kepala administrasi, dan program. Struktur ini akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan kerja sama. (A. Kusmayati, wawancara, 4 September 2015)
Perkembangan struktural juga terjadi pada tataran bisnis. Pada tahap produksi, tidak hanya PT DI yang terlibat, tetapi juga industri pertahanan lainnya, seperti PT LEN dan PT Pindad (T. Siahaan, wawancara, 3 September 2015). Walaupun pada awalnya hanya PT DI yang dilibatkan dalam kerja sama, ada beberapa BUMN lainnya yang akan terlibat dalam proses produksi.
Di lain pihak, Korsel mengumumkan Request for Proposal (RfP) untuk menentukan perusahaan yang berinteraksi dengan PT DI dalam hubungan business to business. Isi dari proposal tersebut tidak diketahui oleh pemerintah Indonesia (P.M. Hutabarat, wawancara, 25 Agustus 2015). Dalam RfP ini ada dua perusahaan yang bersaing, yaitu KAI dan Korean Air Lines (KAL). Hasil dari RfP tersebut adalah KAI sebagai perusahaan yang terpilih. Keterlibatan KAI juga turut melibatkan Lockheed Martin Global, Inc., salah satu perusahaan yang bertanding dengan Thales Group untuk mendapatkan tender pembelian radar pertahanan Indonesia (P.M. Hutabarat, wawancara, 25 Agustus 2015). Keterlibatan Lockheed Martin Global, Inc. karena sebagian besar teknologi yang digunakan dalam KFX/IFX berasal dari Amerika Serikat (A. Alisjahbana, wawancara, 28 September 2015)
Hal yang perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan EMDP adalah berakhirnya MoU pada 6 Oktober 2015, sedangkan KAI dan PT DI masih belum mencapai kesepakatan terkait pembagian kerja (work sharing) (P.M. Hutabarat, wawancara, 25 Agustus 2015). Dengan demikian, pelaksanaan EMDP hanya dapat dilakukan setelah renegosiasi MoU dan work sharing mencapai kesepakatan. Apalagi setelah penandatangan Project Agreement (PA) masih terdapat kepentingan Indonesia yang belum terakomodasi (T. Siahaan, wawancara, 3 September 2015). Oleh karena itu, perkembangan kerja sama ini dapat dilihat setelah 6 Oktober 2015 (P.M. Hutabarat, wawancara, 25 Agustus 2015).
4.1.1.2 Perkembangan Perjanjian Kerja Sama Bilateral Indonesia-Korea Selatan dalam Joint Development KFX/IFX
Kerja sama Joint Development KFX/IFX dibentuk dan dituangkan dalam sebuah perjanjian internasional yang disebut dengan MoU between the Ministry of Defense of the Republic of the Republic of Indonesia and Ministry of National Defense of the Republic of Korea on Joint Development of Korean Future Fighter pada tanggal 15 Juli 2010. Perjanjian ini dibentuk dengan berpayung pada deklarasi Indonesia-Korsel yang ditandatangani pada 4 Desember 2006. Perjanjian ini merupakan bentuk ketetapan pada komitmen yang sebelumnya sudah dituangkan dalam Letter of Intent on Co-Development of A Fighter Jet Project between the Department of Defense of the Republic of Indonesia and the Defense Acquisition Program Administration of the Republic of Korea, yang ditandangani pada 6 Maret 2009.
Secara operasional, MoU yang melandasi pelaksanaan kerja sama ini memayungi beberapa perjanjian teknis pelaksanaan program. Adapun perjanjian teknis yang dibentuk dalam program ini, seperti Non-Disclosure Agreement, TDP Project Agreement, TDP Contract, dan EMDP Project Agreement. Perjanjian-perjanjian ini berfungsi pada tataran teknis dan operasional.
Gambar 4.2 menjelaskan kronologi hingga pelaksanaan TDP. Setelah pelaksanaan TDP, pemerintah Indonesia dan Korsel membentuk perjanjian untuk memperkuat kerja sama di bidang pertahanan pada 12 Oktober 2013. Perjanjian tersebut yang disebut dengan Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Korea on Cooperation in the Field of Defense.
Perjanjian ini bersifat lebih umum dibandingkan dengan MoU, tetapi lebih spesifik daripada perjanjian kerja sama strategis Indonesia-Korsel. Di dalam perjanjian tersebut dibahas dua hal yang sangat krusial, yaitu pembentukan komite bersama untuk kerja sama pertahanan Indonesia-Korsel dan hak kekayaan intelektual. Komite bersama tersebut bertujuan untuk melakukan eksplorasi kerja sama, koordinasi kedua pihak, menyelesaikan permasalahan, perencanaan, dan penyediaan fasilitas kerja sama. Sementara itu, terkait dengan hak kekayaan intelektual, kedua negara bersepakat bahwa hasil dari kerja sama menjadi hak kepemilikan bersama dengan proporsi tertentu. Kronologi perkembangan kerja sama KFX/IFX dapat dilihat dalam Gambar 4.2 dan 4.3.
Sumber: Diolah Peneliti, 2015
Gambar 4.2 Kronologi Pembentukan Dasar Pelaksanaan
Joint Development KFX/IFX pada TDP
Sumber: Diolah Peneliti, 2015
Gambar 4.3 Kronologi Pembentukan Dasar Pelaksanaan
Joint Development KFX/IFX pada EMDP
Dalam pasal 21 Joint Declaration Between the Republic of Indonesia and the Republic of Korea on Strategic Partnership to Promote Friendship and Cooperation in the 21st Century dinyatakan bahwa kerja sama antara Indonesia dan Korsel di bidang teknologi juga meliputi penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan. Secara eksplisit, dalam perjanjian tersebut juga dijelaskan empat bidang kerja sama di bidang pertahanan. Salah satunya adalah melakukan joint production, transfer high technology, joint marketing, dan kerja sama spesifik lainnya, khususnya di bidang industri pertahanan yang dilakukan melalui Joint Defense Logistics and Industrial Committee (JDLIC).
Sementara itu, di dalam LoI yang dibentuk sebelum MoU KFX/IFX, terdapat lima pernyataan yang menunjukkan kesepahaman, kesepakatan, dan kesamaan kepentingan antara Kemhan dan DAPA. Salah satu poin penting yang tertuang di dalam kelima hal tersebut adalah kesepakatan untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan KFX/IFX. Selain itu, kedua institusi yang merepresentasikan kedua negara tersebut juga menyatakan bahwa penundaan dan penghentian kerja sama dapat terjadi sesuai dengan kondisi domestik dan internasional.
MoU KFX/IFX merupakan kelanjutan dari LoI KFX/IFX. Pembentukan MoU KFX/IFX ini merupakan dasar pembuatan landasan-landasan operasional yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kerja sama. Dalam MoU ini dinyatakan bahwa kerja sama yang dijalin Indonesia dan Korsel tidak hanya TDP, EMDP, dan PDP, tetapi juga MP. Di dalam perjanjian ini juga disepakati untuk membentuk sebuah joint committee dengan beranggotakan sepuluh orang yang ditentukan oleh masing-masing negara dan satu orang yang dipilih secara bersama untuk menduduki posisi sebagai asisten dari chairman. Sementara itu chairman adalah Direktur Departemen Program Pesawat Tempur DAPA.
Selain itu, MoU KFX/IFX juga menunjukkan adanya work sharing yang didasarkan pada nilai investasi kedua negara dalam pelaksanaan kerja sama, yaitu 20% untuk Indonesia dan 80% untuk Korsel. Namun, work sharing yang tercantum di dalam MoU ini hanya difokuskan pada tiga fase, yaitu TDP, EMDP, dan PDP. Sementara itu, work sharing untuk MP tidak dicantumkan.
Hal paling penting yang tertuang dalam MoU ini adalah hak atas kepemilikan teknologi akan dibahas dalam perjanjian lain. Selain itu, kesepakatan terkait dengan penundaan dan penghentian kerja sama tidak terdapat dalam MoU ini. Perjanjian ini hanya berlangsung selama lima tahun. Perjanjian ini dapat diperpanjang untuk lima tahun berikutnya sesuai dengan kesepakatan dari kedua pihak.
Untuk pelaksanaan setiap fase dalam kerja sama KFX/IFX ini terdapat perjanjian yang bersifat teknis. Perjanjian teknis yang dibentuk di setiap fase pengembangan KFX/IFX, yaitu Non-Disclosure Agreement (NDA), Intellectual Property Right (IPR), dan PA. Sementara itu, untuk melaksanakan EMDP, ada empat perjanjian yang dibentuk, yaitu NDA, IPR, perjanjian work share dan cost share, serta perjanjian antara DAPA dan KAI. Dari keempat perjanjian tersebut, tiga di antaranya berkaitan dengan Indonesia, yaitu NDA, IPR, serta perjanjian tentang work sharing dan cost sharing (A. Kusmayati, wawancara, 4 September 2015). Struktur perjanjian-perjanjian teknis tersebut dapat dilihat dalam Gambar 4.4.
Korean Aerospace Industry
Project Agreement
JPMO
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia
DAPA
PT DI
KIPs
TAC
Cost Sharing Agreement
Work Sharing Agreement
Sumber: Paparan Program Management Unit, 2015
Gambar 4.4 Struktur Kolaborasi Indonesia-Korea Selatan
Berdasarkan Gambar 4.4, kesepakatan cost sharing melibatkan Kemhan dengan KAI, sehingga ada perbedaaan level interaksi, yaitu dari pemerintah kepada pihak swasta. Hal ini yang menyebabkan JPMO mempunyai peranan penting di dalam operasionalisasi kerja sama. Namun, dalam pembentukan kerja sama, interaksi tetap berada antara Kemhan dan KAI. Sementara itu, pada kesepakatan yang berkaitan dengan work sharing, interaksi terjadi antara KAI dengan PT DI untuk membahas hal-hal yang bersifat teknis.
4.1.1.3 Gambaran Perkembangan Investasi Korea Selatan di Indonesia
Indonesia dan Korsel merupakan negara dengan hubungan yang baik, khususnya di bidang investasi. Korsel merupakan salah satu negara yang menduduki posisi sepuluh besar investor terbesar di Indonesia. Pasar Indonesia sangat potensial untuk industri Korsel. Walaupun Indonesia hanya menempati posisi kelima sebagai tujuan investasi Korsel, keuntungan yang besar dapat diraup industrinya. (F.A. Pasaribu, wawancara, 4 Agustus 2015)
Investasi Korsel yang besar di Indonesia menjadi salah satu dasar pengembangan kerja sama ke arah strategis yang didorong dengan adanya deklarasi kerja sama strategis pada tahun 2006. Investasi di Korsel berkembang di Indonesia sejak tahun 1969. Nambang Development Corporation yang memasuki wilayah Kalimantan pada tahun 1969 merupakan perusahaan pertama yang menanamkan modalnya di Indonesia. Kemudian disusul dengan Miwon yang mendirikan pabriknya di Surabaya pada tahun 1973. (Lindblad, 2000, p. 168)
Hingga tahun 1987, jumlah investor Korsel di Indonesia masih minim. Namun, setelah penandatanganan Plaza Agreement pada September 1985, mulai terjadi peningkatan investasi Korsel di Indonesia. Menurut Korean Trade Promotion Agency (KOTRA), salah satu faktor pendorong peningkatan investasi Korsel di Indonesia adalah kenaikan gaji di Korsel akibat tingginya nilai tukar yen terhadap mata uang asing, sedangkan Indonesia mempunyai tenaga kerja tidak terlatih yang mempunyai tingkat gaji yang rendah (Lindblad, 2000, pp. 168—169). Peningkatan investasi di Indonesia juga didorong oleh partisipasi dari beberapa konglomerat Korsel atau yang dikenal dengan nama chaebol (Lindblad, 2000, p. 169).
Investasi Korsel di Indonesia sempat mengalami penurunan pada awal tahun 1990an. Namun, pada pertengahan tahun 1990an, investasi Korsel di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Hal ini ditandai dengan investasi Pohang Iron and Steel Company (POSCO) dalam joint venture dengan Krakatau Steel. Sementara itu, Kodeco (the Korean Development Company) menjalin kerja sama dengan Salim Group dalam bidang finansial konstruksi pabrik semen di Kalimantan. Samsung mengembangkan industri barang elektronik di Surabaya. Sementara itu, LG (Lucky Goldstar), yang merupakan saingan terbesar Samsung, melakukan kerja sama dengan sebuah industri besar di bidang pengembangan elektronik di luar wilayah Jakarta. (Lindblad, 2000, p. 170)
Selain itu, Korsel juga mengembangkan pasar industri transportasinya di Indonesia. Pada tahun 1995, Daewoo mengembangkan industrinya di Indonesia. Hyundai mengikuti langkah Daewoo dan bekerja sama dengan Bimantara Group dan Bambang Trihatmodjo. Pada tahun 1996, Kia juga mengembangkan industrinya di Indonesia dan melakukan kerja sama dengan PT Timor Putera Nasional yang dikendalikan oleh Hutomo Mandala Putera. Hasil dari kerja sama tersebut adalah pengembangan mobil nasional Indonesia yang menjadi kontroversi internasional. (Lindblad, 2000, p. 170)
Investasi Korsel di Indonesia terus mengalami perkembangan yang signifikan pada abad ke-21. Pada tahun 2012, Indonesia menjadi negara terbesar ketujuh untuk tujuan investasi Korsel dan merupakan negara tujuan investasi terbesar kedua di Asia Tenggara dengan nilai total investasi sebesar USD 12 milyar. Bukti dari perkembangan investasi Korsel di Indonesia ini adalah investasi Posko-Krakatau di dalam produksi baja sebesar USD 7 milyar dan pabrik ban Hankook Tire senilai USD 1,2 milyar. Nilai investasi inilah yang menjadi salah satu alasan peningkatan hubungan kerja sama Indonesia dan Korsel di pelbagai bidang, termasuk dalam bidang pertahanan. (Bulletin Indonesia, Oktober 2013)
4.1.2 Politik Luar Negeri dan Kebijakan Pertahanan Indonesia dan Korea Selatan
4.1.2.1 Politik Luar Negeri dan Kebijakan Pertahanan Indonesia
Dalam kebijakan pertahanan dan keamanan nasional Indonesia, diplomasi merupakan instrumen politik dan ekonomi yang digunakan untuk menjaga keamanan nasional secara damai (Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006, p. 15). Diplomasi dilakukan dengan berpegang pada politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dengan berdasar pada landasan konstitusional dan tujuan nasional. Hal ini termaktub dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Untuk melaksanakan diplomasi yang bertujuan pada upaya menjaga keamanan nasional secara damai diperlukan kekuatan militer dengan kapabilitas yang baik (I.N. Bhakti, wawancara, 18 September 2015). Oleh karena itu, Indonesia membangun kekuatan pertahanan dan keamanannya.
Dalam politik luar negeri bebas aktif, saat ini Indonesia terus berupaya membangun hubungan baik dengan pelbagai negara di dunia, termasuk dengan Amerika Serikat sebagai Mitra Komprehensif Indonesia. Dalam pidato yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno L.P. Marsudirini, di acara United States-Indonesia Society (USINDO), ada lima area kerja sama yang perlu diperkuat antara Indonesia dan Amerika Serikat. Kelima area tersebut adalah perdagangan dan investasi, agenda maritim, keamanan dan pertahanan, pendidikan dan demokrasi, serta pluralisme. Dalam pidato tersebut juga dinyatakan bahwa kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan dilakukan dengan prioritas berupa pengembangan dan produksi bersama teknologi pertahanan serta transfer teknologi. (detikNews, 22 September 2015)
Sehubungan dengan pidato yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, kebijakan pertahanan dan keamanan Indonesia sudah diarahkan untuk mengembangkan enam prioritas pembangunan yang dibentuk pada periode 2010—2014. Pada periode tersebut, pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia mempunyai enam prioritas, yaitu (1) pencapaian MEF; (2) pemberdayaan industri pertahanan nasional; (3) pencegahan dan penanggulangan permasalahan keamanan dan pelanggaran hukum di laut; (4) peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat; (5) modernisasi deteksi dini keamanan nasional; dan (6) peningkatan kualitas kebijakan keamanan nasional (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, 2011, p. II.7-1). Keenam prioritas itu dijabarkan dalam 14 poin arah kebijakan pertahanan Indonesia. Dua dari keempat belas poin tersebut yang berkaitan erat dengan dasar pelaksanaan Joint Development KFX/IFX. Adapun kedua poin tersebut adalah (1) upaya modernisasi dan penggantian alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang dinilai tidak layak pakai; dan (2) upaya pendayagunaan industri pertahanan nasional bagi kemandirian pertahanan melalui penyusunan cetak biru dan road map, peningkatan penelitian dan pengembangan, serta dukungan pendanaannya (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, 2011, p. II.7-16).
Kemandirian industri pertahanan merupakan fokus utama pemerintah dalam membangun kekuatan pertahanan Indonesia saat ini. Hal tersebut yang menjadi landasan keterlibatan Indonesia dalam Joint Development KFX/IFX (B. Wijanarko, wawancara melalui email). Indonesia tidak ingin bergantung pada negara lain dalam membangun kekuatan pertahanannya. Hal ini merupakan hasil pembelajaran dari pengalaman Indonesia yang pernah diembargo oleh Amerika Serikat (E. Heryanto, wawancara, 4 Agustus 2015) dan dibatasi penggunaan alutsistanya buatan Inggris untuk penanganan konflik domestik (I.N. Bhakti, wawancara, 18 September 2015).
Untuk membangun kemandirian tersebut, pemerintah mendorong industri nasional untuk berperan ganda, yaitu melakukan produksi peralatan sipil serta mengembangkan dan menghasilkan peralatan pertahanan dan keamanan (Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006, p. 11). Dengan demikian, industri nasional dapat diberdayakan secara optimal untuk membangun kekuatan pertahanan dan mengurangi ketergantungan terhadap negara lain. Hal ini bersesuaian dengan sasaran pembangunan teknologi pertahanan dan keamanan yang hendak dicapai pada tahun 2025, yaitu:
kemandirian produksi alat angkut yang bernilai strategis, baik darat, laut maupun udara;
sistem persenjataan sesuai dengan kemajuan teknologi;
kemandirian perangkat Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Informasi (K4I);
pengurangan ketergantungan pada negara lain dalam pengadaan alutsista dan peralatan kepolisian serta sarana pendukungnya;
keselarasan kebijakan teknologi dengan kebijakan ekonomi yang berpihak pada penggunaan hasil penelitian dan produk dalam negeri;
peningkatan kemampuan SDM dalam mengantisipasi, menerapkan serta mengembangkan teknologi pertahanan dan keamanan;
peningkatan kepedulian pengguna atas pentingnya penggunaan produk industri pertahanan dan keamanan dalam negeri;
peningkatan sinergi peranan dunia usaha besar, menengah, dan kecil dalam pengembangan industri pertahanan dan keamanan; dan
peningkatan jumlah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) (Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006, pp. 19—20).
Pembangunan kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia tidak hanya dirancang berdasarkan pada tujuan pengembangan teknologi, tetapi juga kemampuan ekonomi. Bappenas menyusun perencanaan anggaran yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia. Gambaran rencana tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Di dalam Tabel 4.2, KFX/IFX merupakan salah satu proyek yang menjadi prioritas. Anggaran yang direncanakan hanya sampai tahun 2012. Namun, prakiraan perencanaan ditentukan hingga tahun 2015. Peningkatan anggaran untuk penguatan matra udara direncanakan mengalami peningkatan secara bertahap. Namun, peningkatan tidak terjadi pada tahun 2015. Dengan demikian, Rekayasa dan Manufaktur II KFX/IFX dilakukan dengan anggaran yang sama besar dengan Rekayasa dan Manufaktur III.
Politik luar negeri yang bersifat rigid dan berbentuk slogan, seperti politik luar negeri Indonesia, tidak dimiliki oleh seluruh negara di dunia. Korsel tidak mempunyai slogan tertentu dalam politik luar negerinya. Namun, jika ditinjau berdasarkan kebijakan pertahanan nasionalnya, politik luar negeri Korsel cenderung mengarah pada kebijakan-kebijakan Amerika Serikat dan upaya menangani ancaman yang berasal dari Korea Utara. Hal ini ditunjukkan oleh prinsip kebijakan pertahanan nasional Korsel yang tidak mengalami perubahan yang signifikan terhadap dua hal tersebut walaupun pemerintahannya sudah mengalami pergantian.
Tabel 4.3 Perbedaan Prinsip Kebijakan Pertahanan Nasional Korsel pada Pemerintahan Tahun 2010 dan 2014
Tenets of National Defense Policy of Republic of Korea
2010*
2014**
The development of the Republic of Korea-United States military alliance and expansion of defense diplomacy and cooperation
Developing Republic of Korea-United States military alliance and reinforcing defense diplomacy and cooperation
Military support to advance inter-
Korean relations
Providing military measures and readiness in accordance with the changing inter-Korea relationship
Defense posture for comprehensive security
Establishing advanced military capabilities
Improving the cultivation, educational and training systems for defense personnel
Enhancement of management efficiency
Establishing a robust defense posture
Sthrengthening future-oriented self-defense capability
Bolstering innovative defense management and promoting the defense industry
Attractive military, rewarding military
The armed forces serving the people
Creating a proud and rewarding environment for military service
Implementing defense policies focusing on respect for the people.
Sumber:
*Ministry of National Defense of Republic of Korea, 2010, p. 41.
** Ministry of National Defense of Republic of Korea, 2014, p. 40.
Dalam Tabel 4.3 tersebut dapat terlihat persamaan dan perbedaan prinsip kebijakan pertahanan nasional pemerintah Korsel yang berkuasa pada tahun 2010 dan 2014. Persamaan dari dua pemerintahan tersebut adalah upaya pengembangan dan perluasan kerja sama dan diplomasi pertahanan dengan Amerika Serikat. Selain itu, kedua pemerintahan tersebut juga tetap berfokus pada ancaman yang berasal dari Korea Utara. Sementara itu, perbedaan kedua pemerintahan Korsel tersebut adalah upaya pembangunan kapabilitas militernya. Pemerintah baru yang berkuasa lebih cenderung berupaya membangun kapabilitas dengan berorientasi pada masa depan (future-oriented), sedangkan pemerintah padda tahun 2010 cenderung melihat pada kondisi terkini.
Aliansi Korsel dengan Amerika Serikat terus menguat, terutama setelah penandatanganan Joint Declaration in Commemoration of the 60th Anniversary of the ROK-U.S. Alliance pada tanggal 7 Mei 2013. Aliansi ini akan terus dipertahankan oleh kedua negara. Keberadaan aliansi ini tidak hanya untuk menjaga stabilitas keamanan di wilayah Semenanjung Korea, tetapi juga di kawasan Asia Pasifik dan untuk menghadapi tantangan yang muncul di abad ke-21 (Ministry of National Defense of Republic of Korea, 2014, p. 115).
Pemerintahan Korsel yang berganti pada tahun 2013 membangun kerja sama dengan pelbagai negara di dunia. Kerja sama-kerja sama yang dibangun Korsel dengan pebagai negara di bidang pertahanan pada tahun 2013 dan 2014 dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Kerja Sama Korsel dengan Negara-negara Lainnya di Bidang Pertahanan 2013—2014
Regional
Negara
Tanggal
Representasi Kerja Sama
Asia Timur
Jepang
Desember 2013
Pelaksanaan Search and Rescue Exercise (SAREX) kedelapan sebagai bentuk kerja sama di bidang penanggulangan bencana.
Oktober 2014
Pertemuan Wakil Menteri Pertahanan Korsel dan Jepang dalam Seoul Defense Dialogue (SSD) untuk bertukar pikiran terkait dengan kerja sama pertahanan dan bersepakat untuk menjaga stabilitas hubungan Korsel-Jepang.
China
Juni 2013
Kedua negara bersepakat untuk meningkatkan komunikasi strategis di bidang politik dan keamanan dengan mengadopsi ROK-China Joint Statement for Future Vision.
Juli 2014
Penandatanganan MoU untuk membentuk jaringan telefon langsung antara MND dan Kementerian Pertahanan Tiongkok.
Asia Tenggara dan Kepulauan Oceania
Vietnam
Juli 2014
Penandatanganan ROK-Vietnam MoU on the Protection of Classified Military Information.
Indonesia
Oktober 2013
Penandatanganan ROK-Indonesia Defense Agreement sebagai landasan kerja sama dalam bidang pertahanan nasional dan industri pertahanan.
Filipina
Oktober 2013
Penandatanganan MoU on Defense Cooperation
Singapura
Oktober 2013
Dukungan dari pemerintah Singapura untuk menghadapi Korea Utara yang disampaikan dalam ROK-Singapore Defense Strategic Dialogue.
Australia
Juli 2013
Pertemuan pertama Pertemuan Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Korsel dan Australia.
Asia Barat Daya
India
Januari 2014
Pembentukan General Security of Military Agreement
Asia Tengah
Azerbaijan
Desember 2013
Pembentukan MoU on Defense Exchanges and Cooperation.
Timur Tengah
Arab Saudi
Februari 2013
Pembentukan ROK-Saudi Arabia Defense Cooperation Agreement
Lybia
Oktober 2013
Kesepakatan untuk membentuk MoU on Defense Industry ad Logistics Cooperation dan pembukaan kantor atase pertahanan Libya di Korsel.
Eropa
Rusia
Oktober 2013
Kunjungan tingkat militer senior pertama sejak empat tahun terakhir
Polandia
Oktober 2013
Penandatanganan ROK-Poland Defense Cooperation Agreement.
Swedia
Desember 2013
Pertukaran MoU on Defense Industry and Logistics Cooperation.
Amerika Tengah dan Selatan, serta Kanada
-
-
-
Afrika
-
-
-
Sumber: Ministry of National Defense of Republic of Korea, 2014, pp. 130—138.
Dalam Tabel 4.4, dapat dilihat bahwa Korsel membentuk beberapa perjanjian kerja sama pada akhir tahun 2013, khususnya dengan negara-negara di kawasan Asia. Namun, tidak ada perjanjian kerja sama yang dibentuk dengan negara-negara Afrika dan Amerika Latin serta Kanada. Walaupun ada kunjungan-kunjungan diplomatik yang dilakukan dengan negara-negara Amerika Latin dan Kanada, tidak ada perjanjian yang mengikat dan membentuk suatu komitmen.
Berkaitan dengan anggaran pertahanan, Korsel berkomitmen untuk terus meningkatkan anggaran pertahanannya karena pemerintahnya menyadari ada kepentingan yang besar untuk menghadapi ancaman militer dan pengembangan nuklir dari Korea Utara. Peningkatan anggaran pertahanan tersebut dapat dilihat dari alokasi anggaran pertahanan Korsel pada dua tahun masa pemerintahan Park Geun-hye yang ditunjukkan pada Tabel 4.5 berikut.
Tabel 4.5 Alokasi Anggaran Pertahanan Korsel Tahun Anggaran 2014
Unit: Billion Won, %
Kategori
Tahun Anggaran 2013
Tahun Anggaran 2014
Perubahan
Tingkat Kenaikan
Total Anggaran Pertahanan
34.497,0
35.705,6
1.208,6
3,5
Force Operating Costs
Subtotal
24.322,1
25.196,0
873,9
3,6
Troop Operating Costs
14.284,7
14.840,9
556,2
3,9
Operations and Maintenance Costs
10.037,4
10.355,1
317,7
3,2
Force Improvement Budget
10.174,9
10.509,6
334,7
3,3
Sumber: Ministry of National Defense of Republic of Korea, 2014, p. 174.
Berdasarkan Tabel 4.5 tersebut terjadi kenaikan anggaran pertahanan sebesar 3,5% untuk total anggaran pertahanan. Sementara itu, untuk biaya operasi militer, peningkatan terjadi sebesar 3,59%. Peningkatan anggaran pertahanan untuk perubahan atau pembangunan kapabilitas sebesar 3,3%. Peningkatan ini juga akan terjadi pada beberapa mendatang. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Program Jangka Menengah Anggaran Pertahanan Korsel yang ditunjukkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Program Jangka Menengah Anggaran Pertahanan Korsel
Unit: Trillion Won, %
Category
2014
Project Years
2015
2016
2017
2018
2019
Total
Defense Budget
(Increase Rate)
35,7
(3,5)
38,5
(7,9)
41,5
(7,8)
44,6
(7,4)
47,6
(6,7)
50,6
(6,3)
222,9
(7,2)
Force Operating Costs
(Increase Rate)
(Share)
25,2
(3,6)
(70,6)
26,8
(6,3)
(69,5)
28,4
(6,1)
(68,4)
30,1
(5,9)
(67,4)
31,6
(5,1)
(66,4)
33,2
(4,9)
(65,6)
150,1
(5,6)
(67,3)
Force Improvement Budget
(Increase Rate)
(Share)
10,5
(3,3)
(29,4)
11,7
(11,8)
(30,5)
13,1
(11,5)
(31,6)
14,5
(10,9)
(32,6)
16
(10)
(33,6)
17,4
(9)
(34,4)
72,8
(10,6)
(32,7)
Sumber: Ministry of National Defense of Republic of Korea, 2014, p. 177.
Secara keseluruhan anggaran pertahanan Korsel akan terus mengalami peningkatan sekitar 6,3—7,9%. Peningkatan anggaran pertahanan ini tidak difokuskan untuk biaya operasi militer, tetapi untuk pembangunan kapabilitas. Anggaran yang dipersiapkan untuk operasi militer hanya sebesar 4,9—6,3%, sedangkan untuk pembangunan kapabilitas sebesar 9—11,8%.
Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia
Indonesia dan Dua Strategi
The statement lists Jokowi’s four foreign policy priorities as 1) promoting
Indonesia’s identity as an archipelagic state, 2) enhancing the global role
of middle power diplomacy, 3) expanding engagement in the Pacific region, and 4) further reform of the foreign ministry to emphasise economic diplomacy — support Jokowi would have no doubt liked to
have received when he was a furniture exporter. (Connelly, 2014: 5—6)
As Jokowi learns more about foreign affairs through the practice of it, he
may come to his own views on the subject. But until he does, he will rely
upon a team of advisers for foreign policy advice. academics recruited to
tutor Jokowi as he prepared his candidacy, the leadership of Jokowi’s
political party, an experienced vice president, military leaders, and
professional diplomats. (Connelly, 2014: 6)
Kebutuhan anggaran untuk pelaksanaan Joint Development KFX/IFX terus mengalami peningkatan pada periode 2011—2020. Pada tahun anggaran 2011, kebutuhan anggaran yang sebesar USD 2,7 juta. Pada tahun 2012, kebutuhan anggaran meningkat hingga USD 6,3 juta. Selain itu, total kebutuhan anggaran pada periode 2013—2014 mencapai USD 240 juta. Pada periode 2015—2020, kebutuhan anggaran mencapai USD 190,4 juta/tahun. (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, 4 Agustus 2010)
Sementara itu, Bappenas menyusun perencanaan anggaran pelaksanaan Joint Development KFX/IFX seperti yang tertuang pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Perencanaan Anggaran Pelaksanaan Joint Development KFX/IFX
Tahap
Total Anggaran
Indonesia Cost Share
(20% dari Anggaran Total)
TDP
(2011—2012)
USD 50 juta
USD 10 juta
(*Rp 100 milyar)
EMDP
(2013—2020)
USD 4,95 milyar
USD 990 juta
(*Rp 9,9 trilyun)
Total
USD 5 milyar
USD 1 milyar
(*Rp 10 trilyun)
*Asumsi: USD 1 = Rp 10.000,00
Sumber: Paparan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia
Dana yang dipersiapkan Indonesia adalah USD 1 milyar untuk 20 tahun atau sekitar USD 50 juta/tahun. Nilai ini setara dengan Rp 500 milyar/tahun atau Rp 0,5 trilyun/tahun dengan estimasi nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp 10.000,00. Kebutuhan anggaran pada tahun 2011—2020 sebesar USD 1,2 milyar. Dengan demikian, ada selisih sebesar USD 200 juta yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia.
Berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi global yang berdampak pada melemahnya perekonomian Indonesia, permasalahan tersebut diatur pada dewan legislatif dan penganggaran yang sudah ditetapkan sebelumnya (S. Damayanti, wawancara melalui email). Hal ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah terhadap MoU yang telah disepakati dengan Korsel. Penganggaran dana untuk pengembangan KFX/IFX ditentukan melalui sistem pembentukan anggaran yang berlaku di Indonesia.
Kebutuhan anggaran diajukan oleh lembaga pemerintahan terkait. Dalam proyek KFX/IFX, anggaran dibentuk berdasarkan analisis dari PMU. Namun, anggaran diajukan oleh Balitbang kepada Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan (Dirjen Renhan) Kemhan. Pengajuan dana dilakukan oleh Balitbang karena PMU merupakan unit kecil yang tidak dapat mewakili instansi secara menyeluruh (S. Kusmayati, wawancara, 4 September 2015). Dirjen Renhan mengatur pengalokasian seluruh anggaran pertahanan yang ada. Seluruh anggaran pertahanan, termasuk anggaran untuk pelaksanaan proyek KFX/IFX diajukan ke Bappenas untuk dikaji bersama dengan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Di dalam kajian Bappenas dan Kementerian Keuangan ada pagu indikatif yang menunjukkan ketersediaan anggaran. (R.J.W. Dalam, wawancara, 24 Agustus 2015)
Anggaran pertahanan beserta anggaran untuk bidang lainnya yang disusun oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan disampaikan kepada parlemen dalam rapat pleno. Anggaran yang disetujui dalam rapat pleno ini yang akan dikeluarkan pada bulan Oktober setiap tahunnya. Untuk memahami sistem pembentukan anggaran ini, perhatikan Gambar 4.6 berikut!
Sumber: Kombinasi Paparan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Wawancara dengan P.M. Hutabarat pada 25 Agustus 2015.
Gambar 4.6 Proses Penyusunan Anggaran Indonesia
Dalam pelaksanaan Joint Development KFX/IFX, permasalahannya terletak pada ketiadaan rincian rencana penggunaan anggaran untuk EMDP. Pada TDP permasalahan ini tidak terjadi karena rincian penggunaan anggaran tercantum di dalam PA. Sementara itu, EMDP tidak mencantumkan rincian penggunaan anggaran yang jelas dalam PA (R.J.W. Dalam, wawancara, 24 Agustus 2015). Indonesia hanya diberitahu jumlah total dana yang harus diinvestasikan (P.M. Hutabarat, wawancara, 25 Agustus 2015). Hal ini yang menghambat pelaksanaan EMDP.
Selain itu, beberapa tahun terakhir terdapat sejumlah dana yang tidak terpakai karena adanya penundaan kerja sama. Misalnya pada tahun 2013 atau tahun 2014, dana yang dianggarkan sebesar Rp 1,2 trilyun, tetapi yang digunakan hanya Rp 300 milyar. Tahun ini dianggarkan Rp 1,5 trilyun, tetapi proyek masih belum dilaksanakan. Bahkan, untuk tahun depan, dana yang diminta untuk dipersiapkan sebesar Rp 2,1 trilyun, tetapi tidak ada kepastikan kebutuhan anggaran. (R.J.W. Dalam, wawancara, 24 Agustus 2015)
Walaupun belum ada kesepakatan terkait dengan rincian anggaran EMDP, PMU sudah membentuk perkiraan kebutuhan anggaran. Perkiraan kebutuhan anggaran ini yang diajukan ke Bappenas.
BAB VI
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bappenas. Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015—2019: Buku I. Jakarta: Bappenas, 2014.
Bappenas. Visi dan Arah Pembangunan Jangka Panjang 2005—2025. Jakarta: Bappenas, n.d.
Barston, Ronald Peter. Modern Diplomacy 4th Edition. New York: Routledge, 2013.
Brown, C. dan Ainley, K. Understanding International Relations 3rd Edition. New York: Palgrave MacMillan, 2005.
Cottey, Andrew dan Anthony Foster. Reshaping Defence Diplomacy: New Roles for Military Cooperation and Assistance. New York: Routledge, 2004.
Melissen, Jan (Ed.). The New Public Diplomacy. New York: Palgrave MacMillan, 2005.
Ministerio de Defensa. Defense Diplomacy Plan. Ministerio de Defensa, 2012.
Taylor, Brendan, dkk. Defence Diplomacy: Is the game Worth of Candle? Canberra: Strategic and Defence Studies of Australian National University.
Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri.
Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2010—2014.
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan.
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 tentang Organisasi, Tata Kerja, dan Sekretariat Komite Kebijakan Industri Pertahanan.
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2015—2019.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Jurnal/Makalah Ilmiah/Laporan
Barnett, Michael dan Raymond Duvall. “Power in International Politics.” International Organization 59, Winter 25: 39—75, 2005.
Connelly, Aaron L. “Indonesia Foreign Policy under President Jokowi.” Lowy Institute for International Politics, October 2014.
Gindarsah, Iis. “Indonesia’s Defence Diplomacy: Harnessing the hedging Strategy against Regional Uncertainty.” RSIS Working Paper, No. 293, 9 Juni 2015.
Mulloy, Garren. “Japan’s Defense Diplomacy and ‘Cold-Peace’ in Asia.” Asia Journal of Global Studies 1(1): 2—14, 2007.
Muthanna, K.A. “Military Diplomacy.” Journal of Defence Studies, Volume 5(1): 1—15, 2005.
Prawindarti, Lianita. An Early Test for the ASEAN Security Community. Nanyang: Nanyang Technological University, 2006.
Robert, Jervis. “Cooperation under the Security Dilemma.” World Politics, Volume 30, Issue 2: 167—214, January 1978.
Rolfe, Jim. “Regional Defence Diplomacy: What s It and What are Its Limits?” CSS Strategic Paper 21/2015, 2015.
S. Rajaratnam School of International Studies. Defence Diplomacy in Southeast Asia (Conference Report). Nanyang: S. Rajaratnam School of International Studies, 30 Nopember 2010.
Swistek, Goran. “The Nexus between Public Diplomacy and Military Diplomacy in Foreign Affairs and Defence Policy.” The Quarterly Journal, Volume XI (2): 79—86, Spring 2012.
Tang, Shiping. “Fear in International Politics: Two Positions.” International Studies Review, Volume 10: 451—471, 2008.
U.S. Department of State. The U.S. Department of State at Work Politics among Nations: the Struggle for Power and Peace. U.S. Department of State, Juni 2008.
Walin, Matthew. “Military Public Diplomacy.” American Security Project, Februari 2015.
Pernyataan Institusional
General Statement M. Marty M.Natalegawa dalam General Debate of 66th Session of the United Nations General Assembly di New York pada 26 September 2011.