Academia.eduAcademia.edu

PENILAIAN KINERJA KONVENSIONAL DAN ISLAM

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada saat sekarang ini dunia ekonomi sudah dirasakan makin mengglobal. Persaingan yang terjadi bukan antar perusahaan dalam satu negara saja melainkan juga antar negara. Persaingan juga meningkat bukan saja dari sisi jumlahnya tetapi juga intensitas persaingannya. Persaingan itu semakin dipertajam dengan berubahnya karakter lingkungan perusahaan. Lingkungan perusahaan yang dahulu hanya mengutamakan produksi dan mencari keuntungan. Sedangkan lingkungan perusahaan yang sekarang lebih mengutamakan kecepatan informasi dan penciptaan nilai bagi  pelanggan atau konsumennya. Perusahaan sekarang juga lebih bersaing berdasarkan kompetensi dan proses. Penilaian atau pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang penting dalam perusahaan.Selain digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan, pengukuran kinerja juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusahaan, misalnya untuk menentukan tingkat gaji karyawan maupun reward yang layak.Pihak manajemen juga dapat menggunakan pengukuran kinerja perusahaan sebagai alat untuk mengevaluasi pada periode yang lalu. Selama ini setiap perusahaan atau organisasi bisnis dalam menilai kinerja perusahaannya hanya selalu melihat dari aspek keuangan dengan menggunakan tolok ukur tradisional, kontemporer (balanced scorecard), dan juga CAMELS (capital, asset quality, management, earning, liquidity, dan sensitivity to market risk) yang hanya dapat melihat sisi paling luar dari prestasi sebuah perusahaan. Ini menjadi suatu fenomena dari realitas sosial, dimana lembaga keuangan berbasis syariah yang berpraktik dengan berdasarkan prinsip-prinsip syariah, kinerja manajemen diukur dengan tolok ukur tersebut, bisa saja berdampak pada perilaku manajemen (Niswatin, 2008). Metode penilaian kinerja yang populer digunakan saat ini yaitu metode balanced scorecard, yakni konsep kinerja yang menggabungkan antara kinerja keuangan dan non keuangan. Balanced scorecard terdiri atas empat perspektif, yaitu: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta inovasi dan pembelajaran. Keempat prinsip ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Seiring dengan perkembangan dunia bisnis saa tini yang tampaknya semakin mengalami peningkatan keagamaan, terlihat beberapa tahun belakangan ini pengkajian, pemikiran, dan diskusi tentang ekonomi Islam semakin marak terjadi, dan hal ini berpengaruh besar terhadap sistem ekonomi berdasarkan syariah pada umumnya dan lembaga keuangan syariah pada khususnya. Seperti yang kita ketahui, lembaga keuangan adalah salah satu alat yang digunakan untuk menegakkan aturan-aturan ekonomi, begitu pula dengan lembaga keuangan syariah, dimana lembaga inilah yang menjadi salah satu alat dalam penegakkan aturan-aturan Islam yang akan memberikan sumbangan positif terhadap pencapaian tujuan sosial ekonomi masyarakat, penciptaan iklim bisnis yang lebih baik dan lepas dari praktek kecurangan. Rumusan Masalah: Bagaimana konsep pengukuran kinerja? Bagaimana sistem pengukuran kinerja konvensional ? Bagaimana sistem pengukuran kinerja berdasarkan nilai-nilai Islam ? Tujuan penyusunan Makalah: Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah untuk menyelesaikan salah satu tugas dari mata kuliah Akuntansi Syariah dan memperoleh pengetahuan mengenai pengukuran kinerja yang berbasis konvensional dengan kinerja berbasis nilai-nilai Islam. BAB II PEMBAHASAN PENILAIAN KINERJA KONVENSIONAL DAN BERBASIS NILAI-NILAI ISLAM Pengertian Kinerja dan Pengukuran Kinerja Kinerja perusahaan dapat diukur dengan menganalisa dan mengevaluasi laporan keuangan. Informasi posisi keuangan dan kinerja perusahaan di masa lalu seringkali digunakan sebagai dasar untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja di masa depan. Pengukuran kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka pengukuran kinerja sesungguhnya merupakan penilaian perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang dimainkannnya dalam mencapai tujuan organisasi (Mulyadi, 2001:419). Sedangkan menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000:67) Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikanya. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Tujuan pokok pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam pencapaian sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan (Mulyadi, 2001:420). Pengukuran kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Manfaat pengukuran kinerja (Mulyadi, 2001:416) bagi pihak manajemen adalah untuk : Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian personel secara maksimum. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan. Penilaian kinerja akan menghasilkan data yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan yang berkaitan dengan karyawan seperti promosi, mutasi atau pemutusan hubungan kerja permanen. Data hasil evaluasi kinerja yang diselenggarakan secara periodik akan sangat membantu memberikan informasi penting dalam mempertimbangkan keputusan tersebut. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan. Organisasi memiliki suatu keinginan untuk mengembangkan karyawan selama masa kerjanya agar karyawan selalu dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis yang terus mengalami perubahan dan perkembangan. Sulit bagi perusahaan untuk mengadakan program pelatihan dan pengembangan bila perusahaan tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan karyawan yang dimilikinya. Hasil penilaian kinerja dapat menyediakan kriteria untuk memilih program pelatihan karyawan yang sesuai dan untuk mengevaluasi kesesuaian program pelatihan karyawan dengan kebutuhan karyawan. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai mereka. Dalam organisasi perusahaan, biasanya manajemen atas mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada manajemen dibawah mereka disertai dengan alokasi sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan wewenang tersebut. Penggunaan wewenang dan konsumsi sumber daya dalam pelaksanaan wewenang itu dipertanggungjawabkan dalam bentuk kinerja. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan. Penghargaan digolongkan dalam dua kelompok yaitu : Penghargaan intrinsik berupa puas diri yang telah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan telah tercapai sasaran tersebut. Penghargaan ekstrinsik, terdiri dari kompensasi yang diberikan kepada karyawan, baik berupa kompensasi langsung, tidak langsung, maupun yang berupa kompensasi non keuangan dimana ketiganya memerlukan data kinerja karyawan agar penghargaan tersebut dirasakan adil oleh karyawan yang menerima maupun yang tidak menerima penghargaan tersebut. Proses Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yang secara umum dibagi menjadi dua tahap utama yaitu tahap persiapan dan tahap penilaian (Mulyadi, 2001:424). Tahap Persiapan terdiri dari : Penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggung jawab.Penilaian kinerja harus diawali dengan penetapan garis batas tanggungjawab yang jelas bagi manajer yang akan dinilai kinerjanya. Batas tanggungjawab yang jelas ini akan dipakai sebagai dasar untuk menetapkan sasaran atau standar yang harus dicapai oleh manajer yang akan dinilai kinerjanya. Penetapan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja. Dalam menetapkan kriteria kinerja manajer perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain dapat atau tidaknya kriteria diukur, rentang waktu sumber daya dan biaya, bobot yang diperhitungkan atas kriteria, dan tipe kriteria yang digunakan dan aspek yang ditimbulkan Tahap Penilaian terdiri dari : Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya dan pelaporan dengan segala hasilnya. Informasi penyimpangan kinerja sesungguhnya dari sasaran yang telah ditetapkan diumpan balikkan dalam laporan kinerja kepada manajer yang bertanggungjawab untuk menunjukkan efisiensi dan efektivitas kinerjanya. Penentuan penyebab operasional dan perilaku penyimpangan yang merugikan. Penegakan perilaku dan tindakan yang diinginkan untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Metode Pengukuran Kinerja Konvensional Ukuran Keuangan Dalam manajemen konvensional, ukuran kinerja yang biasa digunakan adalah ukuran keuangan, karena ukuran keuangan mudah dilakukan pengukurannya (Mulyadi, 2001:446). Ukuran keuangan yang biasa digunakan adalah rasio keuangan meliputi : Rasio likuiditas, yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya bila jatuh tempo. Rasio ini merupakan rasio aktiva lancar terhadap utang lancar. Rasio leverage, yang mengukur hingga sejauh mana perusahaan dibiayai oleh utang. Rasio aktivitas, yang mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan sumber dayanya. Rasio profitabilitas, yang mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan investasi perusahaan. Rasio pertumbuhan, yang mengukur kemampuan perusahaan mempertahankan posisi ekonominya. Rasio penilaian mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar yang melampaui biaya industri. Balanced Scorecard (BSC) Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat telah merubah pola persaingan perusahaan dari industrial competition menjadi information competition telah mengubah acuan yang dipakai untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Menurut Kaplan & Norton Balanced Scorecard terdiri dari dua kata yaitu : Balanced Dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personel atau karyawan diukur secara seimbang dan dipandang dari dua aspek yaitu: keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, dan dari intern maupun ekstern. Balanced Scorecard memberikan suatu cara untuk mengkomunikasikan strategi suatu perusahaan pada manajer-manajer di seluruh perusahaan.Balanced Scorecard adalah kumpulan ukuran kinerja yang terintegrasi yang diturunkan dari strategi perusahaan yang mendukung strategi perusahaan secara keseluruhan. Tujuan dan ukuran Balanced Scorecard diturunkan dari visi dan strategi. Tujuan dan ukuran memandang kinerja perusahaan dari empat perspektif, finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan (Kaplan dan Norton, 2001). Scorecard Yaitu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang yang nantinya digunakan untuk membandingkan dengan hasil kinerja yang sesungguhnya. Tujuan dan pengukuran keuangan dalam Balanced Scorecard bukan hanya penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan non keuangan yang ada melainkan merupakan hasil dari proses top-down berdasarkan misi dan strategi dari suatu unit usaha. Misi dan strategi harus diterjemahkan oleh Balanced Scorecard menjadi suatu tujuan dan ukuran yang nyata. Kata “Balanced” disini menekankan keseimbangan antara beberapa faktor : Keseimbangan antara pengukuran eksternal bagi stakeholder dan konsumen dengan pengukuran internal bagi proses internal bisnis, inovasi dan proses belajar dan tumbuh Keseimbangan antara pengukuran hasil dari usaha masa lalu dengan pengukuran yang mendorong kinerja masa mendatang Keseimbangan antara unsur obyektivitas, yaitu pengukuran berupa hasil kuantitatif yang diperoleh secara mudah dengan unsur subyektivitas, yaitu pengukuran pemicu kinerja yang membutuhkan pertimbangan. Dengan demikian, Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen pengukuran dan pengendalian secara cepat dan komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manajemen tentang kinerja bisnis. Pengukuran kinerja tersebut memandang unit bisnis dari empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis dalam perusahaan serta proses pembelajaran dan pertumbuhan.Yang membedakan Balanced Scorecard dengan pengukuran konvensional adalah adanya keseimbangan antara ukuran kinerja yang digunakan, yang meliputi keseimbangan antara indikator keuangan dan non keuangan, keseimbangan antara unsur internal dan eksternal organisasi. Balanced Scorecard mencoba menerjemahkan misi dan strategi ke dalam seperangkat ukuran yang menyeluruh yang memberi kerangka kerja bagi pengukuran dalam manajemen strategik . Perspektif kinerja bisnis yang diukur dalam Balanced Scorecard pada dasarnya terdapat empat macam kinerja bisnis yang diukur dalam Balanced Scorecard yaitu (Kaplan dan Norton, 1996 : 23): Perspektif Keuangan Perspektif Pelanggan Perspektif Proses Internal Bisnis Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Perspektif Keuangan Balanced Scorecard menggunakan perspektif keuangan karena penilaian kinerja ini merupakan tujuan atau konsekuensi ekonomis yang telah dilakukan. Penilaian kinerja keuangan dapat dijadikan indikator apakah strategi perusahaan, implementasi dan keputusannya sudah memberikan perbaikan yang pengukuran keseluruhannya melalui prosentase rata-rata pertumbuhan pendapatan, dan rata-rata pertumbuhan penjualan dalam target market. Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis yaitu : Bertumbuh (growth) Perusahaan yang sedang bertumbuh berada pada awal siklus hidup perusahaan. Mereka menghasilkan produk dan jasa yang memiliki potensi pertumbuhan. Untuk memanfaatkan potensi ini, mereka harus melibatkan sumber daya yang cukup banyak untuk mengembangkan dan meningkatkan berbagai produk dan jasa baru, membangun dan memperluas fasilitas produksi, membangun kemampuan operasi, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung terciptanya hubungan global dan memelihara serta mengembangkan hubungan yang erat dengan pelanggan. Tujuan finansial keseluruhan perusahaan dalam tahap pertumbuhan adalah persentase tingkat pertumbuhan pendapatan, dan tingkat pertumbuhan penjualan di berbagai pasar sasaran, kelompok pelanggan dan wilayah. Tahap Bertahan (Sustain) Setelah melalui tahap pertumbuhan, perusahaan akan berada dalam tahap bertahan, situasi dimana unit bisnis masih memiliki daya tarik bagi penanaman investasi daninvestasi ulang, tetapi diharapkan mampu menghasilkan pengembalian modal yang cukup tinggi. Kebanyakan unit bisnis di tahap bertahan akan menetapkan tujuan finansial yang terkait dengan profitabilitas. Ukuran ini menganggap investasi modal di dalam unit bisnis sudah tetap. Ukuran yang digunakan untuk unit bisnis seperti ini menyelaraskan laba akuntansi dengan tingkat investasi yang ditanamkan, ukuran seperti pengembalian investasi, return on capital employed dan nilai tambah ekonomis yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja unit bisnis tahap ini. Tahap Penuaian (harvest) Dalam tahap kedewasaan dalam siklus hidupnya, tahap dimana perusahaan ingin “menuai” investasi yang dibuat pada dua tahap berikutnya. Bisnis tidak lagi membutuhkan investasi yang besar cukup untuk pemeliharaan peralatan dan kapabilitas, bukan perluasan atau pembangunan berbagai kapabilitas baru. Perspektif Pelanggan Kinerja ini dianggap penting dimasa sekarang karena mengingat semakin ketatnya persaingan dalam mempertahankan pangsa pasar lama dan merebut pangsa pasar baru. Sebelum tolok ukur kinerja pelanggan ditetapkan, terlebih dahulu ditetapkan pangsa pasar yang akan menjadi target atau sasaran serta mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan para (calon) pelanggan dalam segmen tersebut, sehingga tolok ukur yang digunakan dalam kategori ini dapat lebih terfokus. Tolok ukur kinerja pelanggan dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok pengukuran inti dan kelompok penunjang (Kaplan dan Norton, 1996: 59). Kelompok pengukuran inti (core measurement groups), terdiri dari : Pangsa Pasar Mengukur pangsa pasar dapat segera dilakukan bila kelompok pelanggan sasaran atau segmen pasar sudah ditentukan. Ukuran pangsa pasar keseluruhan yang didasarkan atas hubungan bisnis dengan perusahaan-perusahaanini ditentukan jumlah bisnis keseluruhan yang telah di berikan oleh perusahaan-perusahaan ini di dalam periode tertentu. Maksudnya, pangsa bisnis dengan pelanggan sasaran ini dapat menurun, jikalau pelanggan memberikan bisnis lebih sedikit kepada pemasok. Kemampuan meraih konsumen baru Secara umum perusahaan yang ingin menumbuhkan bisnis menetapkan sebuah tujuan berupa peningkatan basis pelanggan dalam segmen sasaran. Akuisisi pelanggan dapat diukur dengan banyaknya jumlah pelanggan baru atau jumlah penjualan kepada pelanggan baru di segmen yang ada. Kemampuan mempertahankan pelanggan Untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar dalam segmen pelanggan sasaran diawali dengan mempertahankan pelanggan yang ada di segmen tersebut. Penemuan riset pada rantai keuntungan jasa telah menunjukkan pentingnya retensi pelanggan. Selain mempertahankan pelanggan, banyak perusahaan menginginkan dapat mengukur loyalitas pelanggan melalui persentase pertumbuhan bisnis dengan pelanggan yang ada pada saat ini. Kelompok Pengukuran Diluar Kelompok Utama Atribut ini di bagi dalam tiga kategori yaitu : Atribut Produk dan Jasa Atribut produk dan jasa mencakup fungsionalitas produk atau jasa, harga dan mutu. Dua segmen pelanggan antara pelanggan yang menginginkan produsen berharga rendah yang terpercaya dengan pelanggan yang menginginkan pemasok yang menerapkan produk, bentuk dan jasa yang khusus. pelanggan yang menginginkan produsen berharga rendah yang terpercaya dengan pelanggan yang menginginkan pemasok yang menerapkan produk, bentuk dan jasa yang khusus. Hubungan Pelanggan Dimensi hubungan konsumen mencakup penyampaian produk atau jasa kepada pelanggan, yang meliputi dimensi waktu tanggap dan penyerahan, serta bagaimana perasaan pelanggan setelah membeli produk/jasa dari perusahaan yang bersangkutan. Citra dan Reputasi Dimensi citra dan reputasi menggambarkan faktor-faktor tak berwujud yang membuat pelanggan tertarik kepada suatu perusahaan. Sebagian perusahaan melalui pengiklanan dan mutu produk serta jasa yang diberikan, mampu menghasilkan loyalitas pelanggan jauh melampaui berbagai aspek produk dan jasa yang berwujud. Untuk lebih jelasnya tentang perspektif pelanggan atau konsumen dalam konsep Balanced Scorecard dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Kepuasan Pelanggan Retensi Pelanggan Akuisisi Pelanggan Pangsa Pasar Sumber: Robert S. Kaplan and David P Norton, 2000:60 Gambar 2.1 Perspektif pelanggan dalam konsep Balanced Scorecard Perspektif Proses Internal Bisnis Dalam perspektif internal bisnis, yang membedakan perspektif internal bisnis dalam pendekatan tradisional dan pendekatan Balanced Scorecard adalah dalam hal inovasi, dalam pendekatanBalanced Scorecard, proses inovasi dimasukkan dalam proses internal bisnis sedangkan dalam pendekatan tradisional, sistem pengukuran kinerja hanya dipusatkan pada bagaimana menyampaikan barang atau jasa yang diproduksi ke pelanggan perusahaan. Pendekatan Balanced Scorecard membagi pengukuran perspektif proses internal bisnis dalam tiga bagian (Kaplan dan Norton, 1996:82) : Proses Inovasi Dalam proses inovasi, perusahaan mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan pasar baru, dan paracustomer masa kini dan masa mendatang dengan cara merancang dan mengembangkan produk baru yang sesuai dan mampu memenuhi kebutuhan konsumen sehingga kedua hal tersebut merupakan hasil yang sangat penting dan tidak terpisahkan. Proses Operasi Proses operasi perusahaanmencerminkanaktivitasyangdilakukan perusahaan, mulai saat diterimanya order dari pelanggan sampai dengan pada saatjasa tersebutditerima oleh pelanggan. Tahap purna jual Pada tahap ini perusahaan berusaha untuk memberikan manfaat tambahan terhadapparapelangganyangtelahmenggunakan produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Halini dilakukan agar para customer mempunyai loyalitas terhadap perusahaan.Tolak ukur yang biasa digunakan oleh perusahaan pada tahap ini adalah tingkat efisiensi per pelayanan purna jual, jangka waktu penyelesaian perselisihan, dan kadar limbah berbau yang dihasilkan perusahaan. Untuk lebih jelasnya tentang perspektif proses internal bisnis dalam konsep Balanced Scorecard dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Sumber: Robert S. Kaplan and David P Norton, 2000:84 Gambar 2.2 Perspektif proses internal bisnis dalam konsep Balanced Scorecard Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Tujuan perspektif ini adalah untuk mendorong perusahaan menjadi organisasi yang belajar(learning organization) sekaligus mendorong pertumbuhannya. Pendekatan Balanced Scorecard menekankan pentingnya investasi untuk masa depan, bukan hanya dalam area investasi tradisional. Dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran yang akan diukur diantaranya adalah kemampuan karyawan (Kaplan dan Norton, 1996:110). Tolok ukur yang digunakan antara lain kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas per karyawan. Proses belajar dan bertumbuh suatu organisasi bersumber dari 3 prinsip yaitu people, system, dan organizational procedure (Norton dan Kaplan, 2001) yaitu : People Tenaga kerja pada perusahaan dewasa ini lebih dituntut untuk dapat berpikir kritis dan melakukan evaluasi terhadap proses dan lingkungan untuk dapat memberikan usulan perbaikan. Oleh sebab itu, dalam pengukuran strategi perusahaan, salah satunya harus berkaitan secara spesifik dengan kemampuan pegawai, apakah perusahaan telah mencanangkan peningkatan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dalam kaitan dengan sumber daya manusia ada tiga hal yang perlu ditinjau dalam menerapkan Balanced Scorecard yaitu : Tingkat Kepuasan Karyawan Kepuasankaryawan merupakan suatu prakondisi untuk meningkatkan produktivitas, kualitaspelayanan kepada konsumen, dan kecepatan bereaksi. Kepuasan karyawanmenjadi hal yang penting khususnya bagi perusahaan jasa. Tingkat Perputaran Karyawan (Retensi Karyawan) Retensi karyawan adalah kemampuan perusahaan untuk mempertahankan pekerja-pekerja terbaiknya untuk terus berada dalam organisasinya. Perusahaan yang telah melakukan investasi dalam sumber daya manusia akan sia-sia apabila tidak mempertahankan karyawannya untuk terus berada dalam perusahaannya. Tingkat produktivitas karyawan Digunakan untuk mengetahui produktivitas karyawan dalam periode tertentu. Semakin tinggi tingkat produktivitas karyawan, berarti menunjukkan semakin tinggi output yang dihasilkan oleh masing-masing karyawan. System Motivasi dan ketrampilan karyawan saja tidak cukup untuk menunjang pencapaian tujuan proses pembelajaran dan bertumbuh apabila mereka tidak memiliki informasi yang memadai. Karyawan di bidang operasional memerlukan informasi yang cepat, tepat waktu, dan akurat sebagai umpan balik. Oleh sebab itulah karyawan membutuhkan suatu sistem informasi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yangmemadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Organizational Procedure Prosedur yang dilakukan suatu organisasi perlu diperhatikan untuk mencapai suatu kinerja yanghandal. Prosedur dan perbaikan rutinitas harus diluruskan karena karyawan yang sempurna dengan informasi yang melimpah tidak akan memberikan kontribusi pada keberhasilan usaha apabila mereka tidak dimotivasi untuk bertindak selaras dengan tujuan perusahaan atau apabila mereka tidak diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan bertindak. Untuk lebih jelasnya tentang perspektifpembelajaran dan pertumbuhandalam konsep Balanced Scorecard dapat dilihat pada gambardibawah ini: Sumber: Robert S. Kaplan and David P Norton, 2000:112 Penilaian Kinerja Berbasis Nilai-Nilai Islam Organisasi dalam Perspektif Islam Organisasi dalam konteks pembahasan ini adalah perusahaan yang dalam pengertian tradisional mempunyai tujuan memaksimalkan laba untuk kepentingan pemilik perusahaan (stockholders) tanpa harus ada kewajiban sosial (social responsibility).Pengertian tradisional ini begitu dominan, sehingga sampai saat ini masih banyak perusahaan yang menggunakan konsep tersebut.Akan tetapi konsep ini bukannya tanpa masalah. Karena motivasi untuk memperoleh laba maksimal, secara psikologis, akan menstimulasi timbulnya perilaku egoistik secara berlebihan (Triyuwono, 2009:184-185). Organisasi dalam perspektif Islam tidak lain adalah “amanah”, yaitu amanah menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Menurut Triyuwono (2009:188): Amanah adalah sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain untuk digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan keinginan yang mengamanahkan. Ini artinya bahwa pihak yang mendapat amanah tidak memiliki hak penguasaan (pemilikan) mutlak atas apa yang diamanahkan. Ia memiliki kewajiban untuk memelihara amanah tersebut dengan baik dan memanfaatkannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi amanah. Pemberi amanah, dalam hal ini adalah Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Tuhan menciptakan manusia sebagai wakilnya di bumi (Khalifatullah fil Ardh), sebagaimana difirmankan dalam Alqur’an : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (QS.Al-Baqarah[2]:30). Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi (QS.Fathir[35]:39). Tuhan menghendaki bahwa organisasi yang dikelola manusia harus dilakukan dengan cara-cara yang adil.Untuk mengetahui dengan tepat apa yang dimaksud dengan adil, penerima amanat (manusia) dapat menggunakan potensi internal yang dimilikinya secara baik dan seimbang. Potensi internal yang fitrah tersebut adalah akal dan hati nurani (Triyuwono, 2009:190). Konsep amanah menuntut bahwa tugas dan tanggung jawab harus diwakilkan kepada orang-orang yang berkompeten dan dapat dipercaya (Abu Sinn, 2006:239). Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (An-Nisa’[4]:58). Seorang manajer perusahaan adalah pemegang amanat dari pemegang sahamnya, yang wajib mengelolah perusahaan dengan baik, sehingga menguntungkan pemegang saham dan memuaskan konsumennya. Rasulullah SAW. Bersabda : “Setiap hamba itu adalah pengembala (pemelihara) harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas harta yang dikelolahnya”. (HR. Muslim) (Rivai dan Arviyan,2010:483). Konsep Amanah Triyuwono (2006, 188) dalam Mulawarman (2009:126) menjelaskan shari’ate enterprise theory sebagai ekstensi enterprise theory dimana organisasi dimetaforakan sebagai amanah.Metafora amanah dalam organisasi memunculkan tiga bagian penting, yaitu pemberi amanah, penerima amanah dan amanah itu sendiri. Tugas manusia sebagai pengemban amanah dalam perspektif bisnis dijelaskan Triyuwono (2006, 183) dalam Mulawarman (2009:127-128) memperlihatkan dua bentuk utama: Pertama, dalam pandangan syari’ah, bukan hanya sekedar bisnis semata, tetapi ia semacam ibadah yang tidak hanya meliputi transaksi-transaksi ekonomi, tetapi juga rasa saling menolong sesama (masyarakat pada umumnya), rasa pedulipada lingkungan dan rasa cinta pada Tuhan. Kedua, amanah mengindikasikan eksistensi kesadaran individu tentang perannya sebagai wakil Allah dan memainkan peran sesuai aturan dan norma-norma Tuhan. Amanah untuk menyebarkan rahmat merupakan tugas universal setiap diri manusia sebagai khalifah tanpa dibatasi ruang dan waktu (Triyuwono 2006, 189).Amanah kekhalifahan dapat diformulasikan sebagai bentuk kepedulian mengelola alam semesta bagi kepentingan diri, sosial dengan tetap berpedoman pada keseimbangan alam.Semuanya harus merujuk pada pertanggungjawaban kepada Allah.Konsep khalifatullah menjadi perilaku setiap Muslim dalam menjalankan aktivitas rutinnya, termasuk dalam menjalankan ma’isyah (mencari penghidupan) untuk mendapatkan kekayaan (maal) (Mulawarman, 2009:129). Meskipun kekayaan telah diperoleh dengan hasil kerja keras manusia, namun pada hakikatnya kekayaan hanyalah milik Allah manusia hanya sebagai pengemban tugas di bumi yang diberikan kepercayaan untuk mengelolah segala sesuatu milik Allah di alam semesta. Dengan demikian kekayaan hanyalah pinjaman Allah kepada manusia, masyarakat, lingkungan, alam semesta. Allah memberikan hak sementara, berupa pinjaman. Hal ini juga ditegaskan oleh Hamka (1984, 244) dalam Mulawarman (2009:130) sebagai berikut: Oleh karena harta benda itu pada hakikatnya bukan kita sendiri yang empunya dan bukan pula masyarakat, melainkan harta Allah sendiri yang diserahkan kepada masyarakat manusia untuk mengaturnya sebaik-baiknya, dengan penuh keadilan, sehingga masyarakat mendapat dan perseorangan mendapat pula, maka tertanamlah dalam perasaan seorang Muslim yang sejati bahwa harta itu hanyalah pinjaman Tuhan. Dalam bentuk yang lebih operasional amanah yang dimetaforakan dalam Triyuwono (2009:194) diturunkan menjadi metafora “zakat” yang diartikan sebagai berikut: …bahwa organisasi bisnis orientasinya tidak lagi profit-oriented, “stakeholders-oriented,” tetapi zakat-oriented. Dengan orientasi zakat ini, perusahaan berusaha untuk mencapai “angka” pembayaran zakat yang tinggi.Dengan demikian, laba bersih (net profit) tidak lagi menjadi ukuran kinerja (performance) perusahaan, tetapi sebaliknya zakat menjadi ukuran kinerja perusahaan. Mannan (1997, 256) dalam Triyuwono dan Mohammad (2001:31) menyatakan bahwa zakat meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi.Dalam bidang moral, zakat berusaha mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat yang khas yang diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggungjawab sosial yang mereka miliki. Sedangkan zakat dalam bidang ekonomi mencegah pemupukan kekayaan dalam tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan disebarkan sebelum sempat menjadi sangat berbahaya di tangan pemiliknya. Sementara itu amanah secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari (amina- amanatan) yang berarti jujur atau dapat dipercaya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia amanah berarti pesan, perintah, keterangan atau wejangan (Indrawidjaja, 2012). Sedangkan amanah secara terminologi (istilah) terdapat beberapa pendapat, diantaranya menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Amanah adalah sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya.Sedangkan menurut Ibn Al-Araby, amanah adalah segala sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya atau sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya untuk diambil manfaatnya (Indrawidjaja, 2012). Berdasarkan pengertian amanah menurut etimologis dan terminologi di atas, Indrawidjaja (2012) menyimpulkan bahwa: Amanah adalah  menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun jasa.Amanah merupakan hak bagi mukallaf yang berkaitan dengan hak orang lain untuk menunaikannya karena menyampaikan amanah kepada orang yang berhak memilikinya adalah suatu kewajiban. Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam Indrawidjaja (2012) membagi amanah kepada 3 macam, yaitu : Amanah manusia terhadap Tuhan yaitu semua ketentuan Tuhan yang harus dipelihara berupa melaksanakan semua perintah Tuhan dan meninggalkan semua larangan-Nya. Termasuk di dalamnya menggunakan semua potensi dan anggota tubuh untuk hal-hal yang bermanfaat serta mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan. Sesungguhnya seluruh maksiat adalah perbuatan khianat kepada Allah Azza wa Jalla. Amanah manusia kepada orang lain, diantaranya mengembalikan titipan kepada yang mempunyainya, tidak menipu dan berlaku curang, menjaga rahasia dan semisalnya yang merupakan kewajiban terhadap keluarga, kerabat dan manusia secara keseluruhan. Termasuk pada jenis amanah ini adalah pemimpin berlaku adil terhadap masyarakatnya, ulama berlaku adil terhadap orang-orang awam dengan memberi petunjuk kepada mereka untuk memiliki i'tikad yang benar, memberi motivasi untuk beramal yang memberi manfaat kepada mereka di dunia dan akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menyuruh berusaha yang halal serta memberikan nasihat-nasihat yang dapat memperkokoh keimanan agar terhindar dari segala kejelekan dan dosa serta mencintai kebenaran dan kebaikan. Amanah dalam katagori ini juga adalah seorang suami berlaku adil terhadap istrinya berupa salah satu pihak pasangan suami-istri tidak menyebarkan rahasia pasangannya, terutama rahasia yang bersifat khusus yaitu hubungan suami istri. Amanah manusia terhadap dirinya sendiri yaitu berbuat sesuatu yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya baik dalam urusan agama maupun dunia, tidak pernah melakukan yang membahayakan dirinya di dunia dan akhirat. Dengan memperhatikan pendapat Ahmad Musthafa Al-Maraghi tersebut, amanah melekat pada diri setiap manusia sebagai mukallaf dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, individu dan makhluk sosial.Menurut Herdiansyah (2011).Disamping 3 macam amanah tersebut di atas, terdapat satu macam amanah lagi yakni Amanah terhadap lingkungan.Amanah terhadap lingkungan hidup berupa memakmurkan dan melestarikan lingkungan (Q.S. 11 : 61), tidak berbuat kerusakan di muka bumi (Q.S.7 :85). Eksploitasi terhadap kekayaan alam secara berlebihan tanpa memperhatikan dampak negatifnya yang berakibat rusaknya ekosistem, ilegal loging, ilegal maning dan pemburuan binatang secara liar merupakan sikap tidak amanah terhadap lingkungan yang berakibat terjadinya berbagai bentuk bencana alam seperti gempa bumi, longsor dan banjir serta bencana lainnya yang mempunyai dampak rusak bahkan musnahnya tatanan sosial kehidupan manusia (Herdiansyah, 2011). Konsep Kerja Dalam Islam “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 105) Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya.  Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian.  Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak; apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara (Bustami, 2012). Ummu Salmiyah (2008) menyatakan bahwa dalam melakukan setiap pekerjaan, aspek etika merupakan hal mendasar yang harus selalu diperhatikan. Seperti bekerja dengan baik, didasari iman dan taqwa, sikap baik budi, jujur dan amanah, kuat, kesesuaian upah, tidak menipu, tidak merampas, tidak mengabaikan sesuatu, tidak semena-mena (proporsional), ahli dan profesional, serta tidak melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum Allah atau syariat Islam (Al-qur’an dan hadits). Sementara menurut Jaya (2010) etika kerja dalam Islam dibagi menjadi lima yaitu : bekerja dengan niat mengabdikan diri kepada Allah SWT. (QS. Al-Baqarah [4]: 21 dan An-Nisa [4]: 59), bekerja dengan ikhlas dan amanah (QS. An-Nisa [4]: 58 dan Al-Maidah [5]: 1), bekerja dengan tekun (“Sesungguhnya Allah suka apabila seseorang itu melakukan sesuatu pekerjaan dengan tekun”[Riwayat Al-Baihaqi]), bekerja dengan semangat gotong royong (Al-Maidah [5]: 2), dan bekerja dengan orientasi kebahagian manusia sejagad (Al-Maidah [5]: 8). Adapun rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasulullah SAW.dapat dilihat sebagai berikut: Pertama Rasululllah selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya“.Kedua Rasululllah melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi dan adanya penetapan skala prioritas.Ketiga Rasululllah tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun.“Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya“. Keempat Rasululllah selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.Kelima Rasululllah tidak pernah menangguhkan pekerjaan.Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas. Keenam Rasululllah bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.Ketujuh Rasululllah adalah pribadi yang sangat menghargai waktu.Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umatnya.Kedelapan Rasulullah menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan.Rasululllah bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi.Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Senada dengan hal tersebut Djakfar (2008: 196-197) mengemukakan sifat-sifat dasar dalam prophetic values of business and management yang melekat pada diri Rasulullah SAW.sebagai berikut: Siddiq, benar, nilai dasarnya ialah integritas, nilai-nilai dalam bisnisnya berupa kejujuran, ikhlas, terjamin, keseimbangan emosional. Amanah, nilai dasarnya terpercaya, dan nilai-nilai dalam bisnisnya ialah adanya kepercayaan, bertanggung jawab, transparan, tepat waktu. Fathana, nilai dasarnya ialah memiliki pengetahuan luas, nilai-nilai dalam bisnis ialah memiliki visi, pemimpin yang cerdas, sadar produk dan jasa, serta belajar berkelanjutan. Tabligh, nilai dasarnya ialah komunikatif, dan nilai bisnisnya ialah supel, penjual yang cerdas, deskripsi tugas, delegasi wewenang, kerja tim, koordinasi, ada kendali dan supervisi. Syaja’ah, artinya berani, nilai bisnisnya, mau dan mampu mengambil keputusan, menganalisis data, keputusan yang tepat, cepat tanggap. Nilai-nilai dasar inilah yang telah mengantar Rasulullah SAW.menjadi seorang pelaku bisnis yang andal dan berhasil serta di percaya oleh semua kalangan yang pernah bermitra dengannya. Sifat-sifat dasar itu mungkin dalam era modern ini sudah mulai menipis karena jarang sekali diterapkan oleh pelaku bisnis (Djakfar, 2008:196-197). Kebanyakan pelaku bisnis lebih mengedepankan tuntutan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dibandingkan tuntutan moral, namun sebagai pelaku bisnis muslim tentunya memiliki kesadaran dalam menjalankan bisnisnya bahwa bekerja bukan hanya mencari harta dan keuntungan sebanyak-banyaknya, akan tetapi hanya sebatas wadah untuk melakukan kebaikan dan membantu sesama. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Islam bekerja merupakan suatu kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu, muslim mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya dengan menerapkan sifat-sifat dasar yang dimiliki Rasulullah SAW. Prinsip- Prinsip Bisnis (Mua’malah) Dalam Islam Agama Islam sebagai agama yang sempurna (kaffah) telah memberikan ketentuan-ketentuan bagi umat manusia dalam melakukan aktivitasnya di dunia, termasuk dalam bidang perekonomian. Dengan berpegang teguh pada aturan-aturan Islam, manusia dapat mencapai tujuan yang tidak semata-mata bersifat materi melainkan juga yang bersifat rohani yang didasarkan pada falah (kesejahteraan) (Ismanto, 2009:25). Menurut Ismanto (2009:27-37) prinsip-prinsip bisnis (Mua’malah) dalam Islam meliputi: Prinsip Kesatuan (Tauhid) Prinsip kesatuan atau tauhid adalah landasan utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syari’at Islam.Setiap aktivitas manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhid.Dari konsep ini, Islam menawarkan keterpaduan, agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan ajaran. Prinsip Kebolehan (Ibahah) Prinsip ini berkaitan dengan kehalalan sesuatu yang dijadikan objek dalam kegiatan ekonomi.Islam memiliki konsep yang jelas mengenai halal dan haram. Dengan prinsip kebolehan ini berarti konsep halal dan haram tidak saja pada barang yang dihasilkan dari sebuah hasil usaha, tetapi juga pada proses mendapatkannya. Artinya barang yang diperoleh harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syari’ah Islam. Prinsip Keadilan (al-‘adl) Keadilan merupakan prinsip dasar dan utama yang harus ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan; termasuk kehidupan berekonomi. Prinsip ini mengarahkan pada para pelaku keuangan syari’ah agar dalam melakukan aktivitas ekonominya tidak menimbulkan kerugian (madharat) bagi orang lain. Prinsip kehendak bebas(al-hurriyah) Kehendak bebas (independency) merupakan kontribusi Islam yang paling orisinil. Manusia sebagai khalifah di muka bumi-sampai batas-batas tertentu- mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya pada pencapaian kesucian diri. Berdasarkan prinsip kehendak bebas ini manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, termasuk menepati maupun mengingkarinya (Bekun:24). Kebebasan dalam Islam kebebasan yang terbatas, terkendali, dan terikat dengan keadilan yang diwajibkan Allah. Prinsip Pertanggungjawaban Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil bagi umat Islam. Islam mengajarkan bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakannya, termasuk dalam hal ini adalah kegiatan bisnis (naqvi, 1993).Tanggung jawab tersebut juga berlaku bagi para pelaku keuangan syari’ah. Prinsip Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran Kebenaran adalah nilai kebenaran yang dianjurkan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks bisnis, kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan perilaku yang benar, yang meliputi, proses akad (transaksi), proses pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan margin keuntungan (laba). Prinsip Kerelaan (ar- ridha) Prinsip kerelaan ini menjelaskan bahwa segala bentuk kegiatan ekonomi harus dilaksanakan suka rela, tanpa ada unsur paksaan antara pihak-pihak yang terlibat dengan kegiatan tersebut.Prinsip kerelaan dalam Islam merupakan dasar penerimaan dan perolehan objek transaksi yang jelas-jelas bersifat halal dan perolehan objek transaksi yang jelas-jelas bersifat halal dan tidak bertentangan dengan ajaran agama (Musa, 1954:52-53). Prinsip Kemanfaatan Dalam melakukan kegiatan bisnis atau muamalah para pelaku keuangan syari’ah harus didasarkan pada pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan madlarat, baik bagi pelakunya maupun masyarakat secara keseluruhan.Dengan demikian, semua bentuk aktivitas perekonomian yang mendatangkan kerusakan bagi masyarakat tidak dibenarkan. Prinsip Haramnya Riba Prinsip ini merupakan implementasi dari prinsip keadilan. Adanya pelarangan riba dalam aktivitas ekonomi, karena terdapatnya unsur dhulm (aniaya) di antara para pihak yang melakukan kegiatan tersebut, yang salah satunya adalah pihak yang didzalimi. Hal ini dapat merusak tatanan perekonomian yang didasarkan pada ajaran Islam. Kinerja Dalam Perspektif Agama Agama Islam memandang bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad jika sang pekerja bersikap konsisten terhadap peraturan Allah, suci niatnya dan tidak melupakan-Nya. Dengan bekerja, masyarakat bisa melaksanakan tugas kekhalifahannya, menjaga diri dari maksiat, dan meraih tujuan yang lebih besar (Qardhawi, 1997:107). Sementara itu agama Budha memandang bahwa kerja itu paling sedikit mempunyai tiga fungsi, yaitu : memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya; agar orang bisa mengatasi egoismenya dengan berjalan bergabung dengan orang lain untuk melaksanakan tugas bersama; dan menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan untuk kehidupan yang layak (Schumacher, 1981:53 dalam Alimuddin, 2008). Kedua pandangan di atas memiliki makna positif yang kuat, dimana ketika bekerja dipandang sebagai suatu ibadah maka kerja itu memiliki hubungan sosial (hubungan horizontal) dan sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan (hubungan vertikal). Dan ketika kerja dimaksudkan sebagaimana dalam pandangan Budha, maka akan melahirkan sebuah ketulusan dalam bekerja, memiliki makna spiritual dan pada akhirnya akan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya. Berdasarkan cara pandang agama Islam dan Budha tergambar bahwa orientasi kinerja tidak hanya untuk pemaksimalan laba semata seperti penggunaan pada metode penilaian kinerja konvensional, tetapi orientasi kinerja perlu meliputi dimensi yang lebih luas dan menyeluruh, yakni kesejahteraan para stakeholder meliputi: investor, karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas, lingkungan/sosial dan generasi yang akan datang. Elemen Penilaian Kinerja Yang Sesuai Dengan Perspektif Islam Hasil penelitian Alimuddin (2011) yang menemukan empat elemen penilaian kinerja yang sesuai dengan perspektif Islam yaitu: Pertama, Kinerja Materia lyang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini adalah keuntungan atau laba yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang diperoleh dengan cara jujur, tidak merugikan orang lain dan digunakan untuk investasi demi keberlangsungan hidup perusahaan. Kedua, Kinerja Mental yang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini yaitu dalam melakukan sebuah pekerjaan hendaknya dilakukan dengan tekun dan perasaan bahagia, menikmati hasil yang diperoleh, dan menumbuhkan kepercayaan diantara sesama. Ketiga, Kinerja Spritual yang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Menganggap bekerja sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT. Selalu merasa bersyukur dengan hasil yang diperoleh dan tetap taat dan konsisten dengan aturan serta hukum-hukum Allah. Keempat, Kinerja Persaudaraan yang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini yaitu terciptanya hubungan sosial yang harmonis baik dalam lingkungan perusahaan maupun lingkungan masyarakat sekitar dengan memberikan pekerjaan kepada orang-orang miskin, berbagi dengan masyarakat sekitar, memenuhi kebutuhan masyarakat dengan produk dan jasa yang halal dan memiliki kualitas tinggi dengan harga terjangkau. BAB III PENUTUP SIMPULAN: Pengukuran kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka pengukuran kinerja sesungguhnya merupakan penilaian perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang dimainkannnya dalam mencapai tujuan organisasi. Manfaat yang diperoleh dari penilaian kinerja ini terutama menjadi pedoman dalam melakukan tindakan evaluasi bagi pembentukan organisasi sesuai dengan pengharapan dari berbagai pihak yaitu pihak manajemen serta komisaris perusahaan. Elemen penilaian kinerja yang sesuai dengan perspektif Islam yaitu: Pertama, Kinerja Materialyang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini adalah keuntungan atau laba yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang diperoleh dengan cara jujur, tidak merugikan orang lain dan digunakan untuk investasi demi keberlangsungan hidup perusahaan. Kedua, Kinerja Mental yang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini yaitu dalam melakukan sebuah pekerjaan hendaknya dilakukan dengan tekun dan perasaan bahagia, menikmati hasil yang diperoleh, dan menumbuhkan kepercayaan diantara sesama. Ketiga, Kinerja Spritual yang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.Menganggap bekerja sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT.Selalu merasa bersyukur dengan hasil yang diperoleh dan tetap taat dan konsisten dengan aturan serta hukum-hukum Allah. Keempat, Kinerja Persaudaraan yang menjadi indikator penilaian dalam elemen ini yaitu terciptanya hubungan sosial yang harmonis baik dalam lingkungan perusahaan maupun lingkungan masyarakat sekitar dengan memberikan pekerjaan kepada orang-orang miskin, berbagi dengan masyarakat sekitar, memenuhi kebutuhan masyarakat dengan produk dan jasa yang halal dan memiliki kualitas tinggi dengan harga terjangkau. DAFTAR PUSTAKA Robert S. Kaplan and David P Norton, 2000:60 Skripsi Penilaian Kinerja Perusahaan Berdasarkan Perspektif Islam ( Bmt Al-Amin Makassar). 2013: Icha Mustamin Page 1