Academia.eduAcademia.edu

Artikel Utk Jurnal Finiqas.docx

There are three types of murder that mentioned by God in the Qur'an, namely deliberate (planned), semi-intentionally, and unintentionally (fall into error). To be able to punish the murderer, it was required verification with sufficient evidence. In Islamic criminal law, there are three types of verification and evidences, namely pledge, testimony, and oath. Some scholars add support indication or allegation (qarinah). Based on the analysis ta'liliyah reasoning, which became as 'illat required proof with sufficient evidence that a person is not arbitrarily accuse others have been killed or commit criminal acts of persecution. While 'illat qisas in order to avoid a person from criminal acts of murder and torture as well as maintaining the blood of innocent people. Based on Istishlahiyah reasoning, giving punishment for the perpetrators in order to provide a deterrent effect for others so it does not happen similar cases again. While the necessary proof and evidence that maintained the benefit and not cause any damage with wrong punish people.

PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI UNTUK PEMBUNUHAN DAN PENGANIAYAAN Analisis Berdasarkan Penalaran Ta‘liliyah dan Istishlahiyah pada Dalil Alquran dan Hadith Oleh: M. Jafar Dosen Prodi Ahwal al-Syakhsyiyyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh E-Mail: asyibriqi@yahoo.com Abstract There are three types of murder that mentioned by God in the Qur'an, namely deliberate (planned), semi-intentionally, and unintentionally (fall into error). To be able to punish the murderer, it was required verification with sufficient evidence. In Islamic criminal law, there are three types of verification and evidences, namely pledge, testimony, and oath. Some scholars add support indication or allegation (qarinah). Based on the analysis ta'liliyah reasoning, which became as 'illat required proof with sufficient evidence that a person is not arbitrarily accuse others have been killed or commit criminal acts of persecution. While 'illat qisas in order to avoid a person from criminal acts of murder and torture as well as maintaining the blood of innocent people. Based on Istishlahiyah reasoning, giving punishment for the perpetrators in order to provide a deterrent effect for others so it does not happen similar cases again. While the necessary proof and evidence that maintained the benefit and not cause any damage with wrong punish people. Pendahuluan Jenis pembunuhan yang Allah sebutkan dalam Alquran ada tiga, yaitu pembunuhan sengaja (berencana), semi sengaja, dan tidak sengaja (tersalah). Pembunuhan sengaja adalah seseorang menyusun rencana untuk menghabisi nyawa orang lain dengan alat yang mematikan. Hukuman bagi si pelaku dalam hal ini adalah qisas (hukuman mati). Adapun pembunuhan semi sengaja adalah seseorang tidak bermaksud membunuh, tetapi hanya memukul dengan sesuatu yang tidak mematikan secara adat (kebiasaan). Namun, orang yang dipukul itu mati. Hukumannya adalah dengan membayar diyat sebanyak 100 (seratus) ekor unta. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja (tersalah) adalah seseorang tidak bermaksud memukul, apalagi membunuh. Sebagai contoh, ia bermaksud melempar buah mangga dengan sepotong kayu, tetapi kayu itu jatuh dan menimpa orang di bawahnya sehingga orang itu mati. Hukumannya adalah membayar diyat juga sebanyak 100 (seratus) ekor unta yang jenisnya lebih ringan dari hukuman pembunuhan semi sengaja tadi. Begitu juga pada tindak pidana penganiayaan yang membuat korbannya cacat seumur hidup. Ada yang berlaku qisas anggota badan dan ada juga yang berlaku diyat. Namun, untuk menghukum pelakunya diperlukan pembuktian dan alat bukti yang cukup kuat sehingga tidak salah dalam menegakkan rasa keadilan dalam kasus ini. Oleh karena demikian, makalah ini penulis fokuskan pembahasannya mengenai Pembuktian dan Alat Bukti untuk Pembunuhan dan Penganiayaan. Tujuannya, untuk mengetahui tatacara penggunaan penalaran ta‘liliyah dan istishlahiyah. Dalil-dalil tentang Pembuktian dan Alat Bukti untuk Pembunuhan dan Penganiayaan Para fuqaha` berbeda pendapat dalam menentukan dalil yang menetapkan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa tindak pidana-tindak pidana ini dapat dibuktikan melalui tiga jalan, yaitu: Ikrar Kesaksian Sumpah (al-Qasamah) Tetapi sebagian mereka berpendapat tindak pidana dapat dibuktikan melalui indikasi pendukung. Atas dasar ini, jalan pembuktian tindak pidana ada empat, yakni: Ikrar Kesaksian Sumpah Indikasi pendukung (al-Qarinah). Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wadh‘iy, (Kairo : Muassasah ar-Risalah, t.t.), hlm. 303. Tim Tsalisah (Terj.) Edisi Indonesia, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Editor: Ahsin Sakho Muhammad, dkk., Jilid IV, (Bogor : Kharisma Ilmu, t.t.), hlm. 107. Ikrar (Pengakuan) Secara bahasa, ikrar adalah menetapkan. Menurut istilah syara‘ adalah mengabarkan tentang hak atau mengakui hak tersebut. Dasar hukum bagi ikrar (pengakuan) adalah Alquran, hadith, dan ijma‘. Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islamiy…, hlm. 303. Tim Tsalisah (Terj.) Edisi Indonesia, Ensiklopedi Hukum Pidana…, hlm. 108-109. Alquran Allah Swt berfirman: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah. Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu". (QS. Ali ‘Imran (3) : 81). Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri…(QS. an-Nisa` (4) : 135). Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taubah (9) : 102). Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al-A‘raf (7) : 172). Keempat dalil ayat yang telah penulis sebutkan di atas adalah ayat-ayat yang umum, maksudnya tidak ditujukan secara khusus kepada pengakuan sebagai alat bukti dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan. Memang, ayat umum pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai dalil dalam kajian ushul fiqh. Tetapi ayat ini dipahami secara maslahah mursalah, karena maslahah mursalah tidak diketahui dan harus dicari, lalu maslahah itu ditemukan berdasarkan pertimbangan manusia dan ada dalil umum yang mendukungnya. Keempat ayat umum di atas karena sudah punya asumsi awal sebagai dalil bagi pengakuan sebagai salah satu alat bukti dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan, maka akhirnya tidak lagi menjadi umum. Hal ini karena untuk menjaga maslahah pada tingkat dharuriyyah, yaitu menyelamatkan nyawa manusia dari tindakan pembunuhan. Juga untuk menjaga maslahah pada tingkat hajiyat, yaitu menjaga anggota badan manusia dari tindakan penganiayaan. Bila terjadi, maka pelakunya harus dihukum dengan yang setimpal, yaitu nyawa dengan nyawa pada pembunuhan sengaja atau diyat pada pembunuhan semi sengaja dan tersalah. Juga kisas atau diyat anggota badan pada tindakan penganiayaan. Dalam hal penegakan hukum pada kasus ini, maka diperlukan pembuktian dengan pengakuan sebagai salah satu alat bukti. Hadith Adapun dari hadith adalah hadith tentang Ma‘iz yang mengaku berzina lalu Rasulullah Saw merajamnya, yaitu: 6316-حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمْ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثَهُ أَنَّهُ قَدْ زَنَى فَشَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَ وَكَانَ قَدْ أُحْصِنَ Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Bag. XXI, (Software al-Maktabah al-Syamilah Isdar Versi 3.15, 2006), hlm. 84.. Diriwayatkan kepada kami oleh MuÍammad bin MuqÉtil, diriwayatkan oleh ‘AbdullÉh, diriwayatkan YËnus dari Ibn SyihÉb, ia berkata: diriwayatkan kepada saya oleh AbË Salamah bin ‘Abd al-Rahman dari JÉbir bin ‘AbdillÉh al-AnÎÉrÊ, bahwa seorang laki-laki dari Bani Aslam datang kepada Rasulullah Saw dan bercerita (mengaku) bahwa dia telah berzina. Lalu dia bersaksi atas dirinya (untuk menguatkan pengakuannya) sebanyak empat kali. Setelah itu Rasulullah Saw memerintahkan sahabat untuk merajamnya, dia memang sudah muÍÎan. (Hadith nomor 6316). Begitu juga kasus wanita Ghamidiyah, sebagaimana dalam hadith berikut: واغد يا أنيس إلى امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها. Pergilah wahai Unays kepada wanita ini, jika ia mengaku, maka rajamlah dia. Adapun kedua riwayat hadith di atas sebagai dalil secara khusus untuk pengakuan dalam kasus zina. Tetapi diqiyaskan kepada pengakuan dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan. ‘Illat wajib rajam dalam kedua riwayat hadith di atas adalah untuk mencegah terjadinya tindak pidana zina karena dengan terjadinya zina akan mengaburkan keturunan. Padahal menjaga kemurnian keturunan merupakan maslahah pada tingkat dharuriyyat. Jika perzinaan telah terjadi, maka ‘illat hukumannya adalah zina. Untuk memastikan seseorang telah berzina, maka diperlukan pembuktian dengan adanya alat bukti, yaitu pengakuan sebagai salah satunya. Begitu pula pada tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. ‘Illat wajib kisas terhadap si pembunuh untuk mencegah terjadinya tindak pidana pembunuhan dan memelihara darah agar tidak terjadi kasus pembunuhan. Begitu juga kisas anggota badan yang berlaku pada tindak pidana penganiayaan. Jika pembunuhan telah terjadi, maka ‘illatnya adalah membunuh. Jadi, segi kesamaan antara pembuktian dengan cara pengakuan pada kasus zina dengan pembuktian pada kasus pembunuhan dan penganiayaan adalah maslahah dalam kategori dharuriyyat. Ijma‘ Semua ulama sepakat atas keabsahan ikrar sebagai alat bukti pada pembuktian tindak pidana karena dengannya mengabarkan yang bisa menghilangkan prasangka dan keraguan dari si pelaku. Orang yang berakal tidak mungkin membohongi dirinya dengan kebohongan yang membuatnya sengsara. Dengan demikian, pengakuan lebih kuat dibandingkan saksi. Ia menjadi bukti bagi orang yang mengaku (si pelaku) yang mewajibkan hukuman dan kisas terhadapnya, sebagaimana dalam hak-hak yang berkaitan dengan harta. Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islamiy…, hlm. 303. Tim Tsalisah (Terj.) Edisi Indonesia, Ensiklopedi Hukum Pidana…, hlm. 109. Kesaksian Kesaksian adalah cara yang biasa dipakai untuk menetapkan tindak pidana. Kebanyakan tindak pidana ditetapkan melalui saksi dan sangat sedikit yang ditetapkan tanpa melalui saksi. Dengan demikian, kesaksian memiliki peran yang sangat penting dalam menetapkan tindak pidana. Adapun dalil tentang kesaksian adalah Alquran dan hadith. Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islamiy…, hlm. 314. Tim Tsalisah (Terj.) Edisi Indonesia, Ensiklopedi Hukum Pidana…, hlm. 117-118. Alquran Allah Swt berfirman: …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai dari para saksi (yang ada)… (QS. al-Baqarah (2) : 282). …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…, (QS. at-Thalaq (65) : 2). Sama seperti empat ayat sebelumnya yang menjadi dalil umum bagi pengakuan, kedua ayat di atas juga demikian. Yaitu, dua ayat yang umum sebagai dalil bagi kesaksian karena tidak secara khusus ditujukan kepada dalil bagi kesaksian dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan. Karena pertimbangan maslahah dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan serta sudah ada asumsi awal sebagai dalil bagi kesaksian pada kasus tersebut, maka tidak lagi menjadi umum kedua ayat di atas. Hadith وعن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده " أن ابن محيضة الأصغر أصبح قتيلا على أبواب خيبر فقال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم أقم شاهدين على من قتله أدفعه إليكم برمته. Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, Nail al-Awtar min Asrar Muntaqal Akhbar, Juz VII, (t.t.p. : al-Muniriyah, t.t.), hlm. 113. Dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Ibnu Muhaidhah al-Asghar terbunuh di pintu Khaibar. Rasulullah Saw lalu bersabda: “Tegakkanlah dua orang saksi atas orang yang membunuhnya, aku akan menyerahkan orang tersebut kepada kalian sepenuhnya”. Untuk memahami hadith ini diperlukan penalaran ta‘liliyah. Di sini mengisyaratkan bahwa untuk memastikan seseorang telah membunuh sehingga pelakunya dikenakan hukuman kisas diperlukan alat bukti, yaitu dua orang saksi yang menyaksikan langsung terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut. Kalau tidak ada alat bukti dua orang saksi, maka dikhawatirkan ahli warisnya akan semena-mena menuduh orang lain membunuh keluarganya, sehingga muncullah mafsadah dalam tindak pidana pembunuhan tersebut. Artinya, orang yang belum tentu bersalah telah membunuh akan menjadi korban dari pemberlakuan hukuman kisas pada kasus pembunuhan itu. Jadi, ‘illat dikenakan hukuman kisas dalam hadith ini adalah membunuh yang dibuktikan dengan dua orang saksi. Sumpah (al-Qasamah) Al-Qasamah secara bahasa adalah sumpah (al-yamin). Adapun menurut istilah fuqaha` adalah sumpah yang diulang-ulang dalam tuduhan pembunuhan. Yang menyumpah adalah wali korban untuk memastikan pembunuhan atas orang yang dicurigai. Bisa juga orang yang dicurigai bersumpah untuk menghilangkan kecurigaan pembunuhan yang diarahkan kepada dirinya. Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islamiy…, hlm. 317. Tim Tsalisah (Terj.) Edisi Indonesia, Ensiklopedi Hukum Pidana…, hlm. 123. Al-Qasamah merupakan salah satu cara untuk menetapkan tindak pidana pada masa Jahiliyah kemudian Islam menetapkannya. Dalilnya adalah: فقال يا رسول الله ومن أين أصيب شاهدين وإنما أصبح قتيلا على أبوابهم قال فتحلف خمسين قسامة فقال يا رسول الله فكيف أحلف على ما لم أعلم فقال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فاستحلف منهم خمسين قسامة فقال يا رسول الله كيف نستحلفهم وهم اليهود فقسم رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ديته عليهم وأعلنهم بنصفها " - رواه النسائي. Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, Nail al-Awtar…, hlm. 113. …dia bertanya: “Wahai Rasulullah, darimana saya dapatkan dua orang saksi, sedangkan pembunuhan itu terjadi di depan pintu-pintu rumah mereka?”. Rasulullah bersabda: “Bersumpahlah lima puluh kali”. Dia berkata: “Bagaimana aku bersumpah, sedangkan aku tidak menyaksikan sesuatu dan tidak melihatnya?”. Nabi bersabda: “Bersumpahlah lima puluh kali”. Dia berkata: “Bagaimana kami bersumpah, sedangkan mereka adalah orang-orang Yahudi?”. Kemudian Rasulullah memberi diyat kepada orang-orang yang ada di sisinya. (HR. an-Nasai). Dalil hadith ini juga menggunakan penalaran ta‘liliyah sebagaimana dalil hadith di atas. Bahkan, dalil hadith ini merupakan sambungan dari dalil di atas, maka teorinya sama. Di sini penekanannya pada alat bukti sumpah jika tidak ada dua orang saksi yang menyaksikan langsung terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa, untuk ditegakkan hukuman kisas diperlukan alat bukti yang sangat ketat supaya terjaga maslahah dan menghindar datangnya mafsadah. Indikasi (al-Qarinah) Hukum Islam sudah mengenal qarinah sejak keberadaannya. Banyak hukum syara‘ yang dibangun atas dasar qarinah. Di antaranya, qasamah didasarkan pada qarinah, baik ditemukan lauth (petunjuk) maupun tidak. Dasar qasamah menurut ulama yang tidak mensyaratkan adanya lauth adalah adanya korban di tempat orang-orang yang dicurigai. Adanya mayat di suatu tempat adalah qarinah (indikasi) bahwa kematian tersebut disebabkan oleh penduduk tempat tersebut. Adapun dasar qasamah yang mensyaratkan adanya lauth, karena lauth adalah qarinah bahwa orang yang dicugai adalah orang yang membunuh. Melihat seseorang di dekat korban dengan berlumuran darah adalah petunjuk. Petunjuk ini sebagai indikasi bahwa orang tersebut adalah pembunuhnya. Di antara qarinah adalah keengganan untuk bersumpah (nukul) menurut ulama yang berpendapat bahwa nukul bisa untuk memastikan tindak pidana. Ini karena menetapkan tindak pidana melalui nukul adalah menetapkan tindak pidana melalui qarinah, karena nukul tidak lain hanyalah indikasi bahwa kecurigaan yang diarahkan kepada orang yang dicurigai adalah benar. Tim Tsalisah (Terj.) Edisi Indonesia, Ensiklopedi Hukum Pidana…, hlm. 139. Qarinah atau persangkaan  di dalam hukum acara peradilan Islam adalah merupakan salah satu alat bukti yang sah di antara sekian banyak alat bukti yang ada dalam hukum acara Islam. Menurut Roihan Rasyid tidak semua qarinah  dapat dijadikan sebagai alat bukti, melainkan hanya qarinah  yang jelas saja, yang dalam hukum acara peradilan Islam disebut qarinah wadhihah  yang dapat dijadikan sebagai dasar pemutus, walaupun hanya atas satu qarinah wadhihah  tanpa didukung oleh alat bukti yang lain. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Edisi Baru), (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 174. Dengan kata lain bahwa qarinah wadhihah  ini dapat berdiri sendiri, tidak memerlukan perantara alat bukti lain dalam penerapannya sebagai alat bukti di dalam persidangan. Qarinah  itu terbagi menjadi dua, yakni : Qarinah Qanuniyyah,  yakni qarinah  yang ditentukan oleh undang-undang. Adapun pengertian daripada persangkaan undang-undang yakni persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu. Menurut M. Nur Rasaid, tentang menarik qarinah (persangkaan) menurut undang-undang ini haruslah dianggap sebagai perbandingan saja, yang oleh hakim harus dipertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu berlaku ketentuan tersebut. M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet.ke-3, (Jakarta : Sinar Grafika: 2003), hlm. 42. Qarinah Qadhaiyyah,  yakni qarinah  yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah dilakukan pemeriksaan perkara. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 88. Pengertian persangkaan hakim adalah persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal  titik tolak menyusun persangkaan. Persangkaan ini adalah persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan hakim sepenuhnya. Di dalam sejarah hukum acara peradilan Islam telah banyak sekali kasus-kasus serta permasalahan yang diputuskan melalui bukti persangkaan. Baik itu semasa hidupnya para Nabi dan Rasul, ataupun pada masa setelahnya. Akan tetapi perlu diketahui, bahwasanya dalam hukum Islam tidak dikenal pembagian hukum seperti halnya yang terdapat dalam hukum positif yang digolongkan menjadi hukum pidana dan hukum perdata. Sehingga contoh-contoh kasus yang terdapat di bawah ini apabila dimasukkan ke ranah hukum perdata terdapat contoh-contoh pidana dan perdata. Di antara contoh-contoh permasalahan yang diputus melalui  bukti persangkaan adalah sebagai berikut: Dalam kasus sengketa anak Dalam kasus ini adalah dicontohkan kasus persengketaan anak pada masa Nabi Sulaiman AS. Yakni ada dua orang perempuan yang bersengketa masalah anak. Keduanya mengaku bahwa anak tersebut adalah anak mereka. Lalu Sulaiman berucap, ”sebaiknya kamu berdua datang kepadaku dengan membawa sebilah pisau, yang dengan pisau itu aku akan membelah bayi ini menjadi dua bagian yang masing-masing di antara kamu akan memperoleh satu bagian.” Mendengar ucapan Sulaiman itu, Penggugat bersedia melakukannya. Sedangkan Tergugat berkeberatan dan menyatakan, ”jangan anda lakukan itu, semoga Allah SWT merahmatimu, sesungguhnya bayi itu anak Penggugat.” Dengan mendengar pernyataan Tergugat itu, Sulaiman memutuskan bahwa anak yang disengketakan itu adalah anak si Tergugat. Lihat Muslim bin al-Hajjaj, ØaÍÊÍ Muslim, Bag. IX, (Software al-Maktabah al-SyÉmilah IÎdar Versi 3.15, 2006), hlm. 123, hadith nomor 3245. Sulaiman mengambil dalil bahwa raut muka Penggugat yang ceria dan kerelaannya melakukan perintahnya adalah menunjukkan bahwa sang Penggugat menyimpan maksud jahat, di mana untuk mencapai maksud dan tujuannya dia sanggup dan rela melakukan apa saja. Sedangkan dari pernyataan Tergugat telah terungkap, bahwa dia tidak sanggup menyakiti badan jasmani anak yang disengketakan, dia lebih memilih melepaskannya. Sikap Tergugat ini merupakan bukti bahwa dia benar-benar ibu kandung anak yang disengketakan itu. Karena seorang ibu yang mengandung dan melahirkan pasti memiliki kasih sayang yang ditanamkan Allah ke dalam hatinya terhadap anak yang dikandung dan dilahirkannya itu. Dan yang demikian itu telah ditunjukkan oleh sikapnya yang rela menderita berpisah dengan anak kandungnya demi keselamatan buah hatinya tersebut, dan bukanlah sebaliknya. Sikap kontroversi dari dua orang perempuan yang bersengketa masalah anak itu telah dipahami oleh Sulaiman sebagai indikasi yang sangat kuat untuk memutuskan, bahwa anak yang disengketakan itu adalah anak kandung Tergugat. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, alih bahasa Adnan Qohar, cet. ke-2, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 3-4. Dalam kasus Yusuf dengan Zulaikha Kisah ini diabadikan di dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 23-28. Yakni diceritakan ketika Qitfir, suami Zulaikha pergi, Zulaikha mengajak dan memaksa Yusuf untuk berbuat mesum, akan tetapi Nabi Yusuf  tidak mau, lalu berlarilah Nabi Yusuf menuju pintu untuk keluar dari rumah. Tiba di pintu baju Nabi Yusuf ditarik dari belakang oleh Zulaikha sehingga koyak baju Yusuf, dan tepat pada waktu itu suami Zulaikha tiba dari bepergian. Karena tertangkap basah, Zulaikha mengadu kepada suaminya bahwa Yusuf mengajaknya dan memaksanya untuk berbuat mesum. Pada saat yang kritis itu, berkatalah seorang bayi yang masih dalam buaian dari keluarga Zulaikha: ”jika baju Yusuf koyak di bagian muka berarti Yusuflah yang salah, tetapi jika koyak di bagian belakang berarti Yusuflah yang benar.” Lantas suami Zulaikha melihat baju Yusuf, ternyata koyak di bagian belakang, berarti Yusuflah yang benar. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan…, hlm. 174. Dalam perkara tindak kejahatan miras Umar bin Khatab dan Ibnu Mas’ud telah menjatuhkan putusan hukuman had Had adalah hukuman yang sudah ditentukan syara‘ untuk jenis kejahatan tertentu. Lihat Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab ra, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 95. terhadap seorang lelaki yang diketahui secara nyata mulutnya berbau minuman keras dan muntah minuman keras. Terhadap putusan ini tidak ada seorangpun yang menentangnya. Karena putusan tersebut telah dijatuhkan berdasarkan indikatornya yang sangat kuat. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan…, hlm. 7. Dalam perkara tindak kejahatan penggelapan barang Muhammad SAW memerintahkan Zubair menyidik Tersangka paman Hayyi bin Akhtab yang diduga melakukan  tindak pidana penggelapan terhadap harta Hayyi bin Akhtab, dengan jalan menyiksanya agar mau mengeluarkannya. Penyiksaan ini dilakukan karena diketahui adanya indikator yang sangat kuat yang memberi petunjuk, bahwa dia adalah pelakunya. Nabi bersabda kepada Zubair, ”limit waktunya begitu singkat, sedangkan harta yang dihabiskan dalam limit waktu tersebut begitu banyak.” Kasus posisinya adalah sebagai berikut, ketika Rasulullah melakukan invasi ke Khaibar. Sebagian penduduknya melakukan perlawanan, dan sebagian lainnya menyerah secara damai. Sisi kota yang penduduknya menyerah secara damai telah diduduki oleh Rasulullah, sedangkan sisi kota yang penduduknya melakukan perlawanan, telah dikepung dan dihalau oleh Rasulullah beserta pasukannya ke Khaibar selama empat belas hari. Di antara mereka adalah orang-orang Yahudi Bani Nadhir. Ketika itu mereka membawa harta kekayaan yang amat banyak berupa mas dan intan yang dimasukkan ke dalam kantong kulit sapi. Karena merasa terdesak, mereka kemudian bernegosiasi dengan Rasulullah. Bani Abu Huqaiq mengirim dutanya dengan membawa pesan permohonan perdamaian kepada Rasulullah. Permohonan perdamaian mereka telah diterima oleh Rasulullah dengan syarat, mereka harus meninggalkan seluruh harta kekayaannya dan keluar dari Khaibar dengan pakaian yang melekat di tubuhnya semata, jika  mereka melanggar perjanjian tersebut, maka suaka politik akan dicabut. Mereka menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Rasulullah. Akan tetapi ternyata mereka mengingkari perjanjiannya dengan menggelapkan harta kekayaannya berupa mas dan intan yang mereka masukkan ke dalam kantong kulit sapi yang dibawa oleh Hayyi dari Nadhir tersebut di atas. Rasulullah mencurigai kalau kantong kulit sapi beserta segala isinya itu telah digelapkan oleh paman Hayyi bin Akhtab ketika dihalau ke Khaibar, karena Rasulullah melihat dia telah berjalan mondar-mandir di sekitar gua. Maka Rasulullah bertanya kepada paman Hayyi, ”apa yang kamu lakukan terhadap kantong kulit sapi beserta segala isinya yang dibawa oleh Hayyi dari Nadhir? Dia menjawab, ”kami membelanjakannya untuk keperluan hidup dan biaya perang. ”Rasulullah berkata, limit waktunya begitu singkat, sedangkan harta yang dibelanjakan begitu banyak.” Kemudian Rasulullah menyerahkan paman Hayyi kepada Zubair untuk disiksa agar bersedia menerangkan yang sebenarnya. Oleh karena paman Hayyi tidak mengaku, para sahabat pun memeriksa gua tersebut. Mereka menemukan di dalam gua itu sebuah kantong kulit sapi beserta segala isinya. Maka Rasulullah memutuskan hukuman mati terhadap dua orang laki-laki dari Bani Abul Huqaiq, salah satunya adalah suami Shafiyah, yang dinilai telah melanggar janji yang diucapkannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan…, hlm. 8-10. Contoh-contoh di atas adalah contoh kasus-kasus yang diputuskan berdasarkan bukti qarinah (persangkaan). Para imam dan khalifah selalu menjatuhkan putusan berupa hukuman potong tangan terhadap Terdakwa yang diketahui secara nyata barang curiannya berada di tangannya. Bukti persangkaan dari indikator-indikator seperti dalam kasus-kasus tersebut di atas menempati kedudukan alat bukti yang lebih kuat dari keterangan saksi dan pengakuan. Keterangan saksi dan pengakuan merupakan berita yang mengandung nilai-nilai kebohongan dan kebenaran. Sedangkan barang bukti yang berada di tangan merupakan alat bukti yang nyata dan tidak diragukan lagi. Seseorang ketika melihat ada korban mati terbunuh dengan darah tercecer, dan dilihatnya ada seorang lelaki lain yang berdiri di atas kepala korban memegang sebilah pedang yang terhunus berlumuran darah, maka adakah dia akan meragukan untuk mengatakan kalau lelaki itu pembunuhnya? Faktanya lelaki itu telah memegang barang bukti berupa alat yang digunakan untuk membunuhnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan…, hlm. 7. Suatu putusan yang dijatuhkan berdasarkan bukti persangkaan dari indikatornya yang nyata tidak dapat dikatakan sebagai putusan yang menyimpang. Karena, sekiranya gugatan  Penggugat tidak benar, tentulah gugatan itu ditolak oleh Tergugat dengan sumpahnya. Dan jika tergugat menolak mengangkat sumpah, maka penolakannya itu merupakan indikator nyata yang menunjukkan kebenaran gugatan Penggugat. Dengan demikian asas praduga tak bersalah harus dikalahkan. Banyak implikasi dan indikasi yang lebih kuat, selain sikap menolak mengangkat sumpah, yang dapat ditangkap oleh indera. Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron A.M, cet. ke-4, (Surabaya : Bina Ilmu, 1993), hlm. 120. Para hakim yang cerdas serta arif  bijaksana dapat membebaskan  hak-hak rakyat yang terampas dengan memperhatikan qarinah-qarinah  yang jelas adanya, maka para hakim tidak lagi meminta bukti kesaksian dan juga tidak meminta suatu pengakuan. Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam…, hlm. 121. Hakim wajib untuk selalu mencari kebenaran, sehingga hakim harus menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu pikirannya. Dia tidak boleh memutus di kala amat marah ataupun lapar, di kala sedih yang mencemaskan, amat takut, mengantuk, panas dingin atau sibuk hatinya sehingga hal hal itu akan memalingkannya dari pengetahuan yang benar dan pemahaman yang cermat. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mudzakir AS, jilid ke-14, (Bandung : Al-Ma’arif, 1988), hlm. 28. Tatacara Penggunaan Penalaran Ta‘liliyah dan Istishlahiyah Dalam Pembuktian dan Alat Bukti untuk Pembunuhan dan Penganiayaan Tatacara penggunaan penalaran ta‘liliyah dalam pembuktian dan alat bukti untuk pembunuhan dan penganiayaan Teori penalaran ta‘lÊliyah adalah penalaran yang berusaha mengungkap apa yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukum dalam Alquran dan hadith, atau apa yang menjadi ‘illat dari sesuatu perbuatan. Dalam teori penalaran ta‘lÊliyah ada ketentuan yang disebutkan ‘illatnya, ada yang diisyaratkan saja dan ada yang tidak disebutkan ‘illatnya sama sekali. MuÍammad SalÉm MadkËr, al-IjtihÉd al-IslÉm fÊ al-TasyrÊ‘ al-IslÉmÊ, (Ttp : DÉr al-NahÌah ‘Arabiyah, 1984), hlm. 42. Adapun pada mewajibkan adanya alat bukti dalam menetapkan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan supaya seseorang tidak sewenang-wenang dalam mendakwa atau menuduh orang lain telah membunuh atau melakukan penganiayaan. ‘Illat ini terdapat dengan jelas di dalam hadith berikut: عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو يعطى الناس بدعواهم لادعى ناس دماء رجال وأموالهم, ولكن البينة على المدعى واليمين على من أنكر. (رواه متفق عليه والبيهقى). Al-Hafiz bin Hajar al-‘Asqalany, Bulugh al-Maram, (Semarang : Toha Putra, t.t.), hlm. 291. Dari Ibn ‘Abbas Ra bahwa Nabi Saw bersabda: “Jika diberikan (kebebasan) kepada manusia untuk mendakwa sesamanya, maka mereka akan mendakwa darah dan harta. Tetapi alat bukti (saksi) atas si pendakwa dan sumpah bagi orang yang ingkar (terdakwa). (HR. Bukhari, Muslim, dan Baihaqi). Maksud hadith ini, ketika alat bukti tidak cukup dari penggugat, maka diberikan hak kepada si tergugat untuk bersumpah yang menunjukkan dia tidak bersalah. Jika dia tidak mau bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada si penggugat untuk menguatkan alat bukti yang pada awalnya tidak cukup. Karena prinsip dari pembuktian adalah keterbuktian secara meyakinkan, bukan alat buktinya. Berdasarkan prinsip ini, maka digunakanlah alat bukti sebagai pendukung keterbuktian secara meyakinkan. Karena dalam pembunuhan yang penting bukan siapa pelakunya, tapi yang penting korban atau keluarganya dibayar diyat. Dalam fiqh, jika pelakunya tidak ditemukan karena tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan, maka diyat dibayar oleh pemerintah. Seperti dalam kasus konflik bersenjata di Aceh sebelumnya, pada awal masa perdamaian MoU Helsinki pemerintah membayar dana diyat kepada keluarga korban konflik bersenjata tersebut, walaupun dana yang diterima belum sebanding dengan nyawa korbannya sebagaimana yang ditetapkan syara‘. Karena dana diyat yang dibayar hanya untuk beberapa kali saja dan tidak berkesinambungan. Besar dana yang dibayar pun hanya 3 (tiga) juta rupiah untuk sekali bayar. ‘Illat wajib kisas terhadap si pembunuh untuk mencegah terjadinya tindak pidana pembunuhan dan memelihara darah agar tidak terjadi kasus pembunuhan. Begitu juga kisas anggota badan yang berlaku pada tindak pidana penganiayaan. Jika pembunuhan telah terjadi, maka ‘illatnya adalah membunuh. Al-ImÉm AbÊ ×Émid MuÍammad bin MuÍammad al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ min ‘ilmi al-UÎËl, Cet. I, (Beirut : DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), hlm. 507. Oleh karena itu, untuk memastikan seseorang telah membunuh agar bisa dihukum dengan hukuman kisas diperlukan adanya alat bukti. Karena jika tidak, maka terjadi tindakan semena-mena dalam menuduh seseorang telah membunuh. Sehingga, tindak pidana pembunuhan dengan alasan kisas akan merajalela. Dari dalil-dalil yang menjadi alat bukti sebagai pembuktian dalam kasus tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan, hanya dalil-dalil hadith mengenai pengakuan, kesaksian dan sumpah yang menggunakan teori penalaran ta‘liliyah. Tatacara penggunaan penalaran istishlahiyah dalam pembuktian dan alat bukti untuk pembunuhan dan penganiayaan Maksud syara‘ (maqasid al-syar‘iyyah) terhadap makhluk ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala sesuatu yang di dalamnya terkandung pemeliharaan terhadap kelima pokok tadi, maka dia disebut maslahah. Sedangkan setiap sesuatu yang dapat menghilangkan pokok-pokok itu, maka dia dinamakan mafsadah, menolaknya adalah dengan maslahah. Memelihara pokok-pokok yang lima tadi berkisar pada tingkatan daruriyat. Ini merupakan martabat (tingkatan) yang paling kuat di dalam maslahat. Misalnya, ketetapan syara‘ untuk membunuh orang kafir yang menyesatkan (mengganggu) orang lain dan menghukum ahli bid‘ah yang mengajak orang lain untuk mengikuti bid‘ahnya, maka kedua contoh ini dapat menghilangkan agama dari sisi makhluk yang bernama manusia. Keputusan mewajibkan qisas karena dengannya dapat terpelihara jiwa seseorang. Keputusan mewajibkan hukuman bagi peminum arak karena dengannya dapat terpelihara akal yang merupakan modal paling berharga dalam pembebanan hukum. Keputusan mewajibkan hukuman zina karena dengannya akan terpelihara kemurnian keturunan. Keputusan mewajibkan hukuman bagi perampok dan pencuri karena dengannya akan terpelihara harta yang merupakan sumber kehidupan. Semua itu adalah kebutuhan primer (daruriyat) manusia dalam menempuh kehidupannya dan haram hukumnya menghilangkan kelima pokok tadi. Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ…, hlm. 275-276. Oleh karena demikian, maka kemaslahatan yang terkandung di dalam penghukuman kisas terhadap pembunuh adalah terpeliharanya jiwa seseorang. Apabila pembunuhan telah terjadi, maka perlu diberikan hukuman terhadap si pelakunya agar tindak pidana seperti itu tidak terulang kembali karena dapat memberikan efek jera bagi yang lain. Oleh karena itu perlu dibuktikan pembunuhnya supaya kemaslahatan tetap terjaga dan tidak munculnya kerusakan (mafsadah) yang baru, yakni salah menghukum orang karena tidak cukup alat bukti. Dari dalil-dalil yang menjadi alat bukti sebagai pembuktian dalam kasus tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan, dalil-dalil ayat mengenai pengakuan dan kesaksian menggunakan teori penalaran istishlahiyah. Karena ayat-ayat tersebut bersifat umum yang pada dasarnya tidak bisa menjadi dalil bagi tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Tetapi karena sudah diasumsikan sejak awal sebagai dalil bagi kasus tindak pidana tersebut, maka tidak lagi menjadi umum. Ini semua demi menjaga maslahah supaya tidak semena-mena dalam menghukum pelakunya. Kesimpulan Alat bukti untuk menetapkan pelaku tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan menurut mayoritas ulama ada tiga, yakni ikrar (pengakuan), kesaksian, dan sumpah. Adapun sebagian ulama lainnya menambahkan qarinah (indikasi) sebagai alat bukti. Yang menjadi dalil atas ikrar sebagai alat bukti adalah ayat-ayat Alquran dan hadith-hadith yang umum. Tetapi karena ayat-ayat tersebut sudah diasumsikan sejak awal sebagai dalil bagi pengakuan dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan, maka tidak lagi menjadi umum. Sedangkan hadith-hadith secara khusus ditujukan kepada pengakuan zina, tetapi diqiyaskan kepada pengakuan dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan dari segi sama-sama menjaga maslahah pada tingkat dharuriyyat. Adapun yang menjadi dalil kesaksian sebagai alat bukti adalah ayat-ayat yang umum dan hadith yang khusus. Ayat yang umum pada kesaksian juga sama dengan ayat yang umum pada pengakuan. Karena sudah ada asumsi awal sebagai dalil bagi kesaksian pada kasus pembunuhan dan penganiayaan, maka tidak lagi menjadi umum. Sedangkan yang menjadi dalil sumpah sebagai alat bukti adalah hadith yang khusus. Sementara dalil untuk qarinah (persangkaan) hanya dengan memakai logika saja berdasarkan analisis kasus-kasus yang terjadi dalam sejarah hukum acara peradilan Islam. Menurut penalaran ta‘liliyah alat bukti diperlukan untuk mengungkapkan pelaku pembunuhan dan penganiayaan supaya tidak sewenang-wenang dalam mendakwa si pembunuh. Sedangkan menurut penalaran istishlahiyah alat bukti diperlukan agar terpelihara kemaslahatan dan tidak menimbulkan kerusakan dengan salah menghukum orang dengan kisas. *****000***** Daftar Pustaka Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wadh‘iy, Kairo : Muassasah ar-Risalah, t.t. Al-Hafiz bin Hajar al-‘Asqalany, Bulugh al-Maram, Semarang : Toha Putra, t.t. Al-ImÉm AbÊ ×Émid MuÍammad bin MuÍammad al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ min ‘ilmi al-UÎËl, Cet. I, Beirut : DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, alih bahasa Adnan Qohar, cet. ke-2, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet.ke-3, Jakarta : Sinar Grafika: 2003. Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, Nail al-Awtar min Asrar Muntaqal Akhbar, Juz VII, t.t.p. : al-Muniriyah, t.t. Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Bag. XXI, Software al-Maktabah al-Syamilah Isdar Versi 3.15, 2006. Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab ra, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1999. Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron A.M, cet. ke-4, Surabaya : Bina Ilmu, 1993. MuÍammad SalÉm MadkËr, al-IjtihÉd al-IslÉm fÊ al-TasyrÊ‘ al-IslÉmÊ, Ttp : DÉr al-NahÌah ‘Arabiyah, 1984. Muslim bin al-Hajjaj, ØaÍÊÍ Muslim, Bag. IX, Software al-Maktabah al-SyÉmilah IÎdar Versi 3.15, 2006. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Edisi Baru), Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mudzakir AS, jilid ke-14, Bandung : Al-Ma’arif, 1988. Tim Tsalisah (Terj.) Edisi Indonesia, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Editor: Ahsin Sakho Muhammad, dkk., Jilid IV, Bogor : Kharisma Ilmu, t.t. BIODATA PENULIS M. Jafar, lahir di Meunasah Cibrek Tunong, Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara, 1 Januari 1971, adalah dosen dengan jabatan fungsional Lektor A.K. 300 dalam bidang keahlian Ushul Fiqh di Jurusan Syari’ah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Menyelesaikan pendidikan terakhir di program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 2012 dengan gelar akademik Master of Arts (MA) dalam bidang ilmu agama Islam di Konsentrasi Fiqh Modern, dengan judul Tesis Hukuman Rajam Menurut Perspektif Ushul Fiqh; Analisis Terhadap Dalil-Dalil Hadith. Selanjutnya pada tahun 2012 melanjutkan studi Program Doktor di Pascasarjana IAIN yang sama sampai sekarang. Karya-karya ilmiahnya yang dipublikasikan antara lain; Hukum Rajam dan HAM ; Analisis Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Dalam Bidang Jinayah (Proceeding Seminar Internasional di STAIN Malikussaleh, 2011). Nikah Cina Buta Dalam Masyarakat Aceh Menurut Perspektif Fiqh Syafi‘iyah (Proceeding Seminar Internasional di STAI Al-Aziziyah, Samalanga, 2011). Sanksi Adat Masyarakat Aceh pada Pembatalan Pinangan (Khitbah) Menurut Perspektif Fiqh Syafi‘iyah (Proceedings of the ADIC 2012, Kuala Lumpur, Malaysia). Bulan Maret 2012 lalu juga tampil sebagai presenter dalam acara Acheh Development International Confrerence (ADIC2012) di International Islamic University Malaysia (IIUM), Gombak, Kuala Lumpur, Malaysia. 21