Academia.eduAcademia.edu

Makalah KONSEP INFAQ MENURUT KITAB TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ

Makalah KONSEP INFAQ MENURUT KITAB TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ Disampaikan pada Forum Kajian Alquran Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Pada Hari Sabtu 7 September 2000 Oleh: MUHAMMAD NAJIB PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2000 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Alquran, jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.1 Semua rasul utusan Allah diberi tugas untuk mengajak manusia beribadah kepada-Nya.2 Islam memandang seluruh hidup manusia haruslah merupakan ibadah kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan definisi ibadah yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah. Ia menyatakan bahwa ibadah adalah sebuah kata yang menyeluruh, meliputi segala yang dicintai dan diridhai oleh Allah, menyangkut segala ucapan dan perbuatan yang tidak tampak maupun yang tampak.3 Dengan demikian, ibadah bukan saja berdzikir, shalat, dan puasa, tetapi juga menolong yang teraniaya, memberi makanan kepada yang kelaparan, dan memberi pakaian kepada yang telanjang. Ulama biasanya membagi ibadah ke dalam dua macam kategori, yakni ibadah mahdhah (murni hubungan dengan Tuhan) dan ibadah ghairu mahdhah (mencakup hubungan antar manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah). Jenis ibadah pertama biasa juga disebut sebagai ibadah ritual atau ibadah an sich, sedangkan ibadah yang kedua populer dengan sebutan muamalah atau ibadah sosial.4 Menurut Jalaluddin Rakhmat, ajaran Islam lebih menekankan ibadah muamalah dari pada ibadah ritual. Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengemukakan beberapa alasan, di antaranya adalah bahwa proporsi terbesar dari isi Alquran dan Hadis adalah berkenaan dengan urusan muamalah. Hal ini berdasarkan kepada hasil penelitian Ayatullah Khomeini yang mengungkapkan bahwa perbandingan ayat-ayat ibadah (an sich) dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan QS. al-Dzariyat (51): 56 QS. Al-Nahl (16): 36 dan QS. al-Anbiya’ (21): 25. 3 Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1995), h. 46. 4 Lihat Jalaluddin Rahman, Islam: Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer (Cet. I: Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997), h. 6-7. 1 2 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 3 sosial adalah satu berbanding seratus—untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah.5 Dengan berasumsi pada pendapat di atas, serta berpegang kepada keyakinan bahwa ajaran Islam adalah benar-benar merupakan pedoman hidup yang berasal dari Allah SWT, maka dapat dikatakan bahwa seharusnya dalam masyarakat muslim tidak akan ada masalah-masalah sosial yang berarti. Kalaupun ada, pasti akan dapat segera diatasi dengan menggunakan “resep-resep” ampuh yang ada dalam ajaran Islam terutama dalam Alquran. Akan tetapi, dalam kenyataannya pada banyak masyarakat muslim, seperti di Indonesia, justru terdapat masalah sosial yang berlarut-larut dan susah untuk diatasi. Di antaranya adalah terjadinya tingkat kesenjangan sosial yang begitu tinggi; yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin tambah sengsara. Masalah kesenjangan sosial tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika umat Islam memahami dan melaksanakan ajaran agamanya secara konsisten. Dalam Alquran jelas dinyatakan bahwa harta yang ada ditangan seseorang, terutama di tangan yang berkelebihan, sebahagian adalah milik orang yang “tidak punya”.6 Oleh karena itu harta tersebut harus didistribusikan kepada mereka sesuai dengan petunjuk-petunjuk agama. Untuk keperluan pendistribusian tersebut, dalam Islam dikenal ajaran yang disebut sebagai zakat, infak, dan sedekah. Dalam Alquran sendiri, ketiga term—dengan beberapa kata yang seakar—biasa digunakan.7 Adanya masalah-masalah sosial yang sulit teratasi di kalangan kaum muslimin, khususnya masalah kesenjangan sosial tersebut, yang menurut penulis antara lain disebabkan oleh kurangnya pengamalan ajaran Islam tentang zakat, infaq, dan sedekah, mendorong penulis untuk mengkaji dan menulis makalah tentang konsep infak yang ada dalam Alquran. Semoga kajian dan tulisan ini dapat dijadikan bahan diskusi yang akan menghasilkan suatu pemikiran yang berguna dan sekaligus dapat 5 Lihat Jalaluddin Rakhmat, op. cit., h. 48 dst. Lihat QS. al-Ma’arij (70): 24-25. 7 Misalnya, dalam QS.Al-Baqarah (2): 43 (Zakat), QS. al-Taubah (9): 104 (sedekah), QS. al-Taubah (9): 35 (infaq). 6 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 4 disosialisasikan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran umat untuk melakasanakan ajaran Islam, khususnya infaq, dalam kehidupan ini. B. Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas ajaran infaq yang ada dalam Alquran dengan merujuk sekaligus menyoroti penafsiran Ibn ‘Athiyah dalam kitabnya yang berjudul al-Muharrar al-Wajiz fi tafsir al-Kitab al-‘Aziz. Untuk itu, masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: Bagaimanakah konsep infaq dalam Alquran menurut kitab tafsir Ibn “Athiyah tersebut? Pokok permasalahan ini akan dibahas dengan menggunakan analisis filosofis. Oleh karena itu, penulis merumuskannya ke dalam sub-sub masalah, sebagai berikut: 1. Siapakah Ibn Athiyah itu dan bagaimana kitab tafsirnya tersebut? 2. Apakah hakekat infaq dalam konsep Alquran menurut kitab tafsir tersebut? 3. Bagaimanakah unsur-unsur (objek, subjek, dan sasaran) infaq menurut tafsir ibn ‘Athiyah? 4. Bagaimanakah urgensi infaq menurutnya? Perlu dikemukakan di sini bahwa dalam Alquran, kata infaq (dan kata yang seakar dengannya) juga digunakan dalam konteks pembicaraan menyangkut infaq yang subjek dan sasarannya adalah orang kafir dan kepentingan mereka.8 Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan bahwa infaq yang dibicarakan disini adalah infaq yang merupakan salah satu ibadah (dalam arti luas) dalam Islam. II. IBN ‘ATHIYAH DAN KITAB TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ A. Riwayat Hidup Ibn ‘Athiyah Al-Qadhi Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn Ghalib ibn ‘Abd al-Rahman ibn Ghalib ibn ‘Athiyah al-Andalusi lahir pada tahun 481 H. di Ghurnat. Saat itu adalah 8 Lihat QS. al-Anfal (8); 36. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 5 masa awal dari pemerintahan Daulah al-Murabhitun.* Ia dididik dan tumbuh dalam lingkungan keluarga berilmu dan penuh keutamaan. Dalam keluarganya ia senantiasa mendapatkan dorongan dari orang tuanya untuk mengembangkan potensi intelektual yang dimilikinya.9 Ibn ‘Athiyah adalah seorang yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi. Kemampuan pemahamannya baik dan cepat, serta mempunyai semangat yang membara dalam menuntut ilmu. Selain itu ia seorang yang rajin dan tekun.10 Oleh karena itu tidak mengherankan jika kemudian ia menjadi seorang ulama yang mumpuni. Ibn ‘Athiyah adalah seorang ahli fiqih (faqih) besar, menguasai ilmu Hadis, tafsir, serta bahasa dan sastra Arab. Sebagai seorang faqih ia adalah salah seorang pendukung utama mazhab Maliki.11 Sehubungannya dengan otoritasnya dalam bidang fiqih (mazhab Maliki), maka pemerintah dinasti al-Murabithun yang bermazhab Maliki mengangkatnya sebagai hakim atau qadhi diwilayah Andalusi (Spanyol).12 Sebagai seorang ahli tafsir ia menyusun sebuah kitab tafsir yang terkenal dengan nama al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz. Dalam kitab tafsirnya jelas tergambar bagaimana kemampuan Ibn ‘Athiyah sebagai seorang ahli tafsir yang sekaligus seorang faqih dari mazhab Maliki dan merupakan seorang ahli bahasa dan * Daulah al-Murabithun adalah adalah daulah yang berpusat di Maroko dan kekuasaannya meliputi Maroko dan Andalusia. Daulah ini didirikan oleh Abu Bakar al-Lamtuni pada tahun 448 H. Mereka mengakui khilafah Abbasiyah dan menganut mazhab Maliki yang tersebar luas di Afrika Utara 9 Lihat Manii’ Abd Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin (Cet I; Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri, 1978), h. 127; Lihat juga Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qura’an ( Cet. XIV; Beirut: Muassasah al-Risalah, t..th.), h. 364. 10 Lihat ibid. Lihat Manna al-Qattan, loc. cit. 12 LihatMuhammad Ali ash-Shobuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ilmu Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 1988), h. 265. 11 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 6 sastra Arab. Mengenai kitab ini, akan dijelaskan lebih jauh dalam pembahasan berikut. B. Kitab Tafsir al-Muharrar al-Wajiz Kitab tafsir yang disusun Ibn ‘Athiyah dinamai dengan Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz. Al-Muharrar berarti pembebas, artinya, kitab ini merupakan pembebas dari penafsiran-penafsiran yang bersifat janggal. Sedangkan al-Wajiz berarti ringkas, artinya bahwa kitab ini merupakan ringkasan dari kitabkitab sebelumya. Yang dimaksud ringkas ini adalah dalam cara pengungkapan uraian-uraian tafsirnya, yang meskipun singkat tetapi padat dan jelas.13 Tafsir ini juga dikenal dengan tafsir Ibn ‘Athiyah,14 disandarkan kepada nama pengarangnya. Tafsir Ibn ‘Athiyah digolongkan sebagai tafsir bi al-matsur.15 Tafsir bi alMatsur yang juga biasa disebut sebagai tafsir bi al-riwayah atau tafsir bi al-manqul adalah penafsiran ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain atau dengan Hadis Nabi atau dengan ucapan sahabat. Ulama lain memasukkan juga penafsiran ayat Alquran dengan perkataan Tabi’in sebagai tafsir bil matsur .16 Dalam kitab tafsir ini, Ibnu ‘Athiyah banyak menyebutkan sejumlah Hadis atau atsar yang ia nukil dari para ulama tafsir bil matsur termasyhur yang mendahuluinya. Ibn ‘’Athiyah dalam hal ini banyak menukil dari al-Thabary dan Ibn Hayyan al-Tsa’labiy. Dalam menukil, ia memilih Atsar yang lebih mendekati kebenaran.17 13 Lihat Manii’ ‘Abd Halim Mahmud, op. cit., h. 125 & 126. Lihat ash-Shobuni, op. cit., h 262. 15 Lihat ibid., h. 263 dst. 14 16 Lihat ash-Shobuni, op. cit., h. 90-91; Bandingkan dengan ‘Abd al-Hayy alFarmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy: Dirasah Manhajiah Mawdhu’iyah, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar (Cet. II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 12-13. 17 Lihat ash-Shobuni, op. cit., h. 265.; Lihat juga Manii’ ‘Abd Halim Mahmud, op. cit., h. 126. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 7 Di dalam kitabnya, Ibn ‘Athiyah tidak hanya membatasi pada tafsir bi almanqul yang diriwayatkan tetapi juga ia menambahkan padanya semangat ilmiah melimpah sebagai refleksi kecerdasannya yang menjadikan tafsirnya semakin mempesona dan digemari. Kitab tersebut terdiri atas sepuluh jilid berukuran besar, dan sampai kini aslinya masih tetap berbentuk manuskrip. Syaikh Muhammad alZahabi menyebutkan, di “Darul Kutub al-Misriyah” kitab itu hanya ditemukan empat jilid, padahal kitab ini cukup terkenal dan sering dikutip oleh para mufassir. Ibn ‘Athiyah sangat memperhatikan bukti-bukti sastra dan karya Nahwu.18 Dalam kitab Fatawinya, Ibn Taimiyah membandingkan kitab tafsir ini dengan kitab tafsir al-Zamakhsyari. Ia mengemukakan penilaiannya bahwa tafsir Ibn ‘Athiyah adalah lebih baik dari pada tafsir al-Zamakhsyari. Kelebihan tafsir Ibn ‘Athiyah terletak kepada segi penukilan dan pembahasannya yang lebih shah serta lebih jauh dari bid’ah. Meskipun tafsir tersebut juga memuat sebagian hal yang janggal, akan tetapi ia tetap jauh lebih baik daripada tafsir al-Zamakhsyari. Bahkan mungkin ia merupakan kitab tafsir yang paling rajih.19 III. PENAFSIRAN IBNU ‘ATHIYAH TENTANG INFAQ A. Pengertian Infaq Dari segi etimologi, kata infaq merupakan derivasi dari kata nafaqa. Kata nafaqa yang terdiri dari huruf nun (‫)ث‬, fa (‫)ف‬, dan qaf (‫ )ق‬menurut Ibnu Faris antara lain bermakna “ keterputusan dan kelenyapan “. Kata infaq merupakan bentuk masdar dari kata anfaqa. Dalam bahasa Arab jika dikatakan anfaqa al-Rajul itu berarti “menjadi miskin atau habis hartanya”.20 Dari segi leksikal kata infaq berarti mengorbankan harta dan semacamnya dalam hal kebaikan .21 18 Lihat al-Qattan, op. cit., h. 364-365. 19 Lihat ash-Shobuni, loc. cit. Lihat Abu Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis alLughah, juz V (t.tp.: Dal al-Fikr, t.th.), h. 454. 21 Lihat Ibrahim Mushthafa, (et al.), al-Mu’jam al-Wasith., juz II (Teheran: al-Maktabat al-Islamiyat, t.th.), h. 942. 20 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 8 Dengan demikian, kalau makna leksikal ini dihubungkan dengan tinjauan kata infaq dari segi etimologis di atas, maka dapat dipahami bahwa harta yang dikorbankan atau didermakan pada kebaikan itulah yang mengalami keterputusan atau lenyap dari kepemilikan orang yang mengorbankannya. Berdasarkan pengertian di atas, maka setiap pengorbanan (pembelanjaan) harta dan semacamnya pada kebaikan disebut al-infaq. Dalam Alquran, kata infaq dan kata yang seakar dengannya digunakan sebanyak 73 kali.22 Denotasi kata infaq dalam Alquran lebih luas daripada yang dipahami sehari-hari. Dalam istilah sehari-hari, infak itu adalah pendermaan harta yang bersifat sunnat, identik dengan sedekah (dibedakan dengan zakat).23 Akan tetapi, dalam istilah Alquran tidak demikianlah adanya. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran Ibn ‘Athiyah terhadap ayat-ayat infaq, yang antara lain akan dikemukakan dalam uraian berikut ini. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 267, Allah berfirman: ‫ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ ءاﻣﻨﻮا أﻧﻔﻘﻮا ﻣﻦ ﻃﯿﺒﺎت ﻣﺎ ﻛﺴﺒﺘﻢ وﻣﻤﺎ أﺧﺮﺟﻨﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻷرض وﻻ ﺗﯿﻤﻤﻮا اﻟﺨﺒﯿﺚ‬ (267)‫ﻣﻨﮫ ﺗﻨﻔﻘﻮن وﻟﺴﺘﻢ ﺑﺂﺧﺬﯾﮫ إﻻ أن ﺗﻐﻤﻀﻮا ﻓﯿﮫ واﻋﻠﻤﻮا أن اﷲ ﻏﻨﻲ ﺣﻤﯿﺪ‬ ‘Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicinkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.’24 Dalam tafsir Ibn ‘Athiyah dikemukakan beberapa qaul dari kalangan muta’awwalun (sahabat dan tabi’in) dalam ayat di atas. berkenaan dengan pengertian kata anfiqu Terjadi perbedaan pendapat di antara mereka mengenai yang dimaksud kata tersebut, apakah yang dimaksud adalah zakat ataukah al-Tathawwu’ 22 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1998), h. 4. 23 Lihat Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infak dan Sedekah (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 14-15. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 9 (sedekah). ‘Ali ibn Abi Thalib, ‘Ubaidah al-Salmaniy, dan Muhammad ibn Sirin berpendapat bahwa yang dimaksud adalah zakat. Sedangkan al-Barra’ ibn ‘Azib, alHasan ibn Abi al-Hasan, dan Qatadah berpendirian bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah al-Tathawwu’. Ibn ‘Athiyah menyatakan bahwa kata anfiqu dalam ayat ini dapat diartikan dengan keduanya. Kalau ia diartikan sebagai zakat, maka itu berarti secara hukum ia wajib, sedangkan kalau diartikan sebagai al-Tathawwu’, maka itu berarti ia identik dengan apa yang diistilahkan sekarang sebagai sedekah (sunnat).25 Dalam penafsiran di atas tergambar jelas bagaimana status ibn ‘Athiyah sebagai ahli hukum dalam mempengaruhi pendekatan penafsirannya, khususnya dalam menafsirkan kata anfiqu dalam ayat tersebut. Ayat lain yang menggunakan kata yang seakar dengan kata infaq adalah QS. al-Baqarah (2): 215, sebagai berikut: ‫ﯾﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻣﺎذا ﯾﻨﻔﻘﻮن ﻗﻞ ﻣﺎ أﻧﻔﻘﺘﻢ ﻣﻦ ﺧﯿﺮ ﻓﻠﻠﻮاﻟﺪﯾﻦ واﻷﻗﺮﺑﯿﻦ واﻟﯿﺘﺎﻣﻰ واﻟﻤﺴﺎﻛﯿﻦ واﺑﻦ اﻟﺴﺒﯿﻞ‬ (215)‫وﻣﺎ ﺗﻔﻌﻠﻮا ﻣﻦ ﺧﯿﺮ ﻓﺈن اﷲ ﺑﮫ ﻋﻠﯿﻢ‬ ‘Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.’26 Dalam tafsir Ibn ‘Athiyah dikemukakan kembali perbedaan pendapat mengenai ayat tersebut. Ibnu Juraij dan yang lainnya berkata bahwa ayat ini berbicara tentang infaq dalan arti shadaqah sunnat. Sementara itu ada yang berpendapat ayat ini merupakan ayat tentang zakat (wajib) dan dengan demikian kata al-Waladaani dalam ayat ini dinasakh oleh ayat-ayat zakat yang datang kemudian. As-Suddi berkata bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkannya zakat, baru setelah 24 Departemen Agama RI., Al-Quraan Dan Terjemahnya (Depag RI.: Jakarta, 1983), h. 67. 25 Lihat Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn ‘Athiyah al-Ghurnaty, alMuharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, juz II (t.d), h. 243-244. 26 Departemen Agama RI. op. cit., h. 52. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 10 ayat tentang zakat diturunkan maka ayat ini pun mansukh. Al-Mardawiy ragu kalau as-Suddiy berpendapat demikian. Menurutnya al-Suddiy itu berpendapat bahwa ayat tersebut memang merupakan ayat tentang zakat. Dan kata al-Waladani mansukh setelah ayat zakat (QS. Al-Taubah: 60) turun kemudian. Terhadap pertentangan pendapat ini, Ibnu ‘Athiyah dalam anotasi kitab tafsirnya tersebut mengemukakan pendapat at-Thabary. Dalam kitab Jami’ul Bayan, at-Thabari mengatakan bahwa sesungguhnya al-Suddiy mengatakan bahwa ayat ini bukanlah ayat tentang zakat, tetapi ia hanya berbicara tentang infaq kepada anggota keluarga dan sedekah. Adapun mengenai masalah ayat ini dinasakh oleh ayat zakat, menurut at-Thabary mungkin memang pendapat itu benar mungkin juga tidak, yang jelas tidak ada dalil yang kuat yang mendukung pendapat tersebut. Menurut at-Thabary, kemungkinan ayat ini merupakan anjuran kepada orang-orang yang bertaqwa untuk melakukan perbuatan terpuji yakni menafkahkan harta kepada orang tua, kaum kerabat, dan seterusnya (sebagaimana yang disebut dalam ayat tersebut). Dan juga Allah menginformasikan kepada hamba-hambanya tentang pihak-pihak yang utama untuk mendapatkan infaq atau nafkah.27 Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kata infaq (kata yang seakar dengannya) dapat ditafsirkan sebagai zakat, sebagai nafkah kepada para anggota keluarga serta kaum kerabat, dan sebagai infaq untuk kemaslahatan yang disunnahkan syara’ seperti menolong orang dan lain-lain. B. Unsur-unsur Infaq 1. Objek Infaq Menurut al-Maraghi, kata infaq mempunyai arti yang sama dengan kata infadz yakni hilang atau lenyap. Hanya saja kata infadz mengandung pengertian hilang secara keseluruhan. Sedangkan infaq hanya berarti hilang sebahagian.28 Dari 27 Lihat Ibn Athiyah, op. cit., h. 42-43. Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz I, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dengan judul, Terjemah Tafsir al-Maraghi ( Cet. I; Semarang: Toha Putra, 1985), h. 66. 28 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 11 sini dapat dipahami bahwa objek infaq itu hanyalah sebahagian dari sesuatu yang kita “miliki”. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 219, Allah SWT berfirman sebagai berikut: ‫ﯾﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻋﻦ اﻟﺨﻤﺮ واﻟﻤﯿﺴﺮ ﻗﻞ ﻓﯿﮭﻤﺎ إﺛﻢ ﻛﺒﯿﺮ وﻣﻨﺎﻓﻊ ﻟﻠﻨﺎس وإﺛﻤﮭﻤﺎ أﻛﺒﺮ ﻣﻦ ﻧﻔﻌﮭﻤﺎ وﯾﺴﺄﻟﻮﻧﻚ‬ (219)‫ﻣﺎذا ﯾﻨﻔﻘﻮن ﻗﻞ اﻟﻌﻔﻮ ﻛﺬﻟﻚ ﯾﺒﯿﻦ اﷲ ﻟﻜﻢ اﻵﯾﺎت ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻔﻜﺮون‬ Ibn ’Athiyah menafsirkan kata al-‘Afwa dalam ayat di atas dengan makna “menafkahkan segala yang bermanfaat dalam diri dan harta dengan tidak menghabiskannya; Yang diinfakkan adalah apa yang tersisa dari kebutuhan.” Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: (‫ﻣﻦ ﻛﺎن ﻟﮫ ﻓﻀﻞ ﻓﻠﯿﻨﻔﻘﮫ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﮫ ﺛﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﯾﻌﻮل ﻓﺎ ن ﻓﻀﻞ ﺷﯿﺊ ﻓﻠﯿﺘﺼﺪق ﺑﮫ )اﻟﺤﺪ ﯾﺚ‬ ‘Siapa yang ada padanya kelebihan, maka hendaklah ia menafkahkannya kepada dirinya (keluarganya), kemudian kepada yang kesulitan (orang miskin), dan jika masih ada sisa, maka hendaklah disedekahkan.’29 Mengenai objek infaq, Alquran menyebutkan hal-hal sebagai berikut: * . . . anfiqu min ma razaqnakum . . . (QS. II: 254). * . . . min thayyibat ma kasabtum wa min ma akhrajna lakum min al-ardhi . . . (QS.II: 267). * . . . qul ma anfaqtum min khairin . . . (QS. II: 215). * . . . min ma tuhibbun . . . (QS. III: 92). Dari ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa objek infaq adalah sesuatu yang direzkikan oleh Allah SWT kepada kita. Rezki dalam bahasa Arab disebut rizq yang berarti “pemberian”. Dalam istilah, kata ini banyak dipahami untuk pengertian barang-barang yang dimanfaatkan oleh hewan dan manusia, termasuk di dalamnya barang-barang yang halal dan haram. Akan tetapi, sebahagian orang mengatakan bahwa istilah rizq ini hanya dipakai untuk hal-hal yang halal.30 Terlepas dari perbedaan pendapat tentang cakupan pengertian rizq, maka tentu dalam konteks 29 Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 63. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 12 ajaran infaq Alquran, khususnya yang dibicarakan di sini, adalah rizq halal yang ada pada manusia. Dalam QS. al-Baqarah (2): 267 dikemukakan bahwa objek infaq itu adalah min thayyibat ma kasabtum wa min ma akhrajna lakum min al-ardhi . . . (QS.II: 267). Lafad kasabtum dalam ayat tersebut ditafsirkan oleh Ibn ‘Athiyah sebagai hasil usaha yang berasal dari kerja fisik, transaksi perdagangan, dan warisan. Sedangkan lafad min ma akhrajna lakum min al-ardhi ia tafsirkan sebagai tumbuhtumbuhan, barang tambang, harta karung, dan yang serupa dengannya.31 Selanjutnya dalam beberapa ayat disebutkan bahwa objek infaq itu adalah almal ‘harta benda’ (Misalnya, QS. II: 274). Dalam QS. al-Baqarah (2): 272 dikemukakan bahwa objek infaq itu adalah khair. Menurut Ibn ‘Athiyah,—dengan berdasarkan kepada qaul dari Ikrimah—al-khair pada ayat-ayat infaq adalah berarti al-mal.32 Dari penafsiran-penafsiran di atas, kelihatannya objek infaq itu hanyalah sesuatu yang bersifat materi. Namun demikian, ketika Ibn ‘Athiyah menafsirkan QS. Ali Imran (3): 92, ia memperluas cakupan objek infaq itu, yaitu dari hal-hal yang bersifat materi saja kemudian mencakup juga hal-hal yang bersifat non-materi. Dalam ayat tersebut, Allah SWT berfirman: (92)‫ﻟﻦ ﺗﻨﺎﻟﻮا اﻟﺒﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻔﻘﻮا ﻣﻤﺎ ﺗﺤﺒﻮن وﻣﺎ ﺗﻨﻔﻘﻮا ﻣﻦ ﺷﻲء ﻓﺈن اﷲ ﺑﮫ ﻋﻠﯿﻢ‬ ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. . . .33 Ketika Ibn ‘Athiyah menafsirkan kata min ma tuhibbun ‘sebahagian yang kamu cintai’ dalam ayat tersebut, antar lain ia menyatakan bahwa yang termasuk hal-hal yang dicintai manusia itu adalah al-maal (harta benda), kesehatan, peringatan, dst.34 30 31 Lihat, al-Maraghi, loc. cit. Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 245. 32 Lihat ibid., h. 261. Lihat Depag RI. op. cit., h. 91. 34 Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 503. 33 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 13 Dengan demikian, objek infak itu bukan hanya hal yang bersifat materi, yakni harta benda, tetapi juga hal yang bersifat non-materi, seperti kesehatan dan peringatan. Hal tersebut sejalan dengan penafsiran Syekh al-Syirasi dalam tafsir al-Amtsalnya. Ketika al-Syirasi menafsirkan kata infaq (yunfiqun) dalam QS. al-Baqarah (2): 3, ia menyatakan bahwa orang-orang bertaqwa tidak hanya menginfakkan harta mereka saja, tetapi mereka juga menginfakkan ilmu, pemikiran, dan jasa. Dengan kata lain mereka menginfakkan seluruh kemampuan mereka kepada yang membutuhkannya tanpa mengharapkan balasan darinya. Infaq adalah hukum yang lazim berlaku dalam kehidupan dalam kehidupan ini. Seperti halnya dalam susunan organ tubuh manusia, jantung yang bekerja tidak hanya untuk dirinya, tetapi ia menginfakkan apa yang dia miliki (memompa darah) untuk semua bagian-bagian tubuh, seperti otak dan paru-paru. Pada dasarnya kehidupan menjadi tak berarti tanpa infaq.35. 2. Subjek Infaq (al-munfiqu) Dari uraian terdahulu dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek infaq (almunfiqu) adalah yang memiliki kelebihan. Kalau kelebihan yang dimaksud adalah kelebihan harta benda, mungkin tidak semua orang dapat menjadi al-munfiqu. Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan bahwa objek infaq itu mencakup juga hal-hal yang bersifat non-materi, maka rasanya tidak ada orang yang tidak dapat menjadi almunfiqu. Menurut ibn ‘Athiyah, orang yang berinfaq “di jalan Allah” dalam kenyataannya dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yakni: a. Orang yang berinfaq benar-benar karena mengharap ridha Allah SWT. Mereka ini sama sekali tidak mengharapkan apa-apa dari orang yang diberinya infak. b. Orang yang berinfaq karena mengharapkan sesuatu balasan dari orang yang dibantunya dan ini berarti tidak karena Allah. 35 Disadur dari Syaikh Nashir Makarim asy-Syirazi, al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah al-Munzal (jilid I), diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dkk. dengan judul Tafsir al-Amtsal, juz I (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, t.th.), h. 68. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 14 c. Orang yang berinfaq karena terpaksa, seperti untuk menolak hukuman yang berlaku padanya jika tidak berinfaq. Orang yang seperti ini juga dianggap berinfaq tidak karena Allah dan tentu Allah tidak akan ridha dengan infak yang dikeluarkannya.36 3. Sasaran Infaq (al-Munfaqu) Mengenai petunjuk Alquran tentang pihak-pihak yang menjadi sasaran infaq, dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 215. Dalam ayat ini dikemukakan lima pihak yang menjadi al-munfaqu (sasaran infaq), yakni al-waladani (kedua orang tua), al-aqrabin (kerabat dekat), al-yatama (anak yatim), al-masakin (orang-orang miskin), dan ibn al-sabil. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa Ibn ‘Athiyah mengemukakan adanya perbedaan pendapat mengenai arti infaq dalam ayat tersebut. Ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut berbicara tentang infaq wajib, yakni zakat, sedangkan sebagian orang menyatakan bahwa ayat itu berbicara tentang sedekah (al-tathawwu’). Konsekuensi dari pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini merupakan ayat zakat adalah timbulnya anggapan bahwa ayat tersebut atau kata al-waladani dalam ayat tersebut menjadi mansukh setelah turunnya ayat zakat yang tidak memasukkan al-waladani di antara delapan pihak yang berhak menerima zakat.37 Dalam anotasi tafsir ibn ‘Athiyah dikemukakan pandangan al-Thabary mengenai perbedaan pendapat di atas. Antara lain, ia menyatakan bahwa tidak ada dalil yang kuat tentang berlakunya hukum nasikh-mansukh terhadap ayat tersebut. Lebih lanjut al-Thabary mengatakan bahwa ayat itu bisa dipahami sebagai dorongan Allah SWT kepada hambanya agar senantiasa berinfaq, bukan hanya infaq dalam hal arti zakat, tetapi juga infaq dalam arti luas yakni menafkahkan harta kepada ibu bapak, kerabat dekat, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Dalam ayat ini Allah mengajari hambanya prioritas-prioritas pihak yang berhak menerima infaq (al- 36 37 Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 231. Lihat Ibn ‘Athiyah, ibid., h. 42 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 15 munfaqu).38 Dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa hendaknya infaq itu terlebih dahulu dimulai dari pihak-pihak terdekat yang memang butuh bantuan. Hal yang senada dengan pandangan al-Thabary disampaikan oleh Subhi alShalih. Al-Shalih menyatakan bahwa ada sebagian orang berpendapat bahwa setiap ayat yang mengandung soal infaq (di luar zakat) dipandang sebagai dinasakh oleh ayat-ayat yang menegaskan kewajiban zakat. Akan tetapi para ulama yang memahami Alquran dengan teliti dan cermat, semuanya berpendapat bahwa ayatayat infaq merupakan anjuran kepada orang-orang yang bertakwa untuk melakukan perbuatan terpuji. Karena itu, infaq dapat ditafsirkan sebagai zakat, sebagai infaq kepada para anggota keluarga dan kerabat (nafaqah), dan sebagai infaq untuk kemaslahatan yang disunnahkan syara (sedekah)’.39 Jadi, ada tiga macam wujud infaq, yakni: zakat, shadaqah (sedekah), dan nafaqah (nafkah). Zakat secara etimologi berasal dari akar kata zaka (‫)ز ﻛﻰ‬. Menurut Ibn Faris, kata yang terdiri dari huruf Zai (‫)ز‬, Kaf (‫)ك‬, dan huruf Mu’tal (‫ )ى‬mempunyai makna “kesuburan dan bertambah”, serta “pensucian”.40 Dalam Mu’jam al-Wasith, ditambah lagi makna yang lain, yaitu “keberkahan” dan “baik”.41 Dalam terminologi syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula,42— terlihat adanya kaitan antara makna etimologi dan makna terminologi di atas, yakni bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Berdasarkan QS. al-Taubah: 60, maka pihak 38 Lihat ibid. Lihat Subhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet.VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 350. 40 Lihat ibn Faris, op. cit. juz III, h. 17. 41 Lihat Ibrahim Mushthafa (et.al), op. cit. juz I, h. 398 42 Taqiuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz I(Bandung: Syirakah Ma’arif, t.th.), h. 1-2. 39 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 16 yang memenuhi syarat atau berhak mendapat zakat ada delapan golongan, yakni: fakir, miskin, ‘amil, muallaf, hamba, orang-orang berutang, sabilillah, dan musafir.43 Adapun jenis infaq yang disebut sebagai nafaqah adalah belanja yang dipakai untuk membiayai kebutuhan hidup, bagi istri, anak-anak, kerabat dekat yang lemah (‘ajiz)an, dan bagi perawatan barang milik kepunyaannya, seperti hewan piaraan.44 Jenis infaq yang lain adalah sedekah. Sedakah berasal dari bahasa Arab, alShadaqah. Al-Shadaqah berasal dari akar kata shadaqa, yang berarti “benar”.45 Sehubungan dengan itu, harta yang didermakan biasa disebut sebagai sedekah karena bersedekah merupakan bukti kebenaran iman seseorang kepada Allah dan bahwa ia membenarkan adanya hari kemudian.46 Sebenarnya, dalam Alquran kata shadaqah biasa juga digunakan dalam arti zakat.47 Akan tetapi menurut istilah, shadaqah atau sedekah adalah mengeluarkan/menggunakan sebagian dari yang kita miliki secara suka rela dan bebas (sunnat), artinya subjek, objek dan sasarannya tidak ditentukan oleh syara; setiap orang dapat menjadi subjek dan sasaran sedekah.48 C. Urgensi Infaq Dalam tafsir Ibn ‘Athiyah, persoalan infaq nampaknya cenderung didekati dengan menggunakan tinjauan hukum. Hal ini dapat diketahui dari uraian-uraian terdahulu, yakni ketika ia menafsirkan pengertian infaq dalam bebarapa ayat di atas, yang dikemukakan adalah masalah apakah ayat infaq tersebut berbicara tentang zakat ataukah tathawwu’. Kalau zakat berarti hukumnya wajib, sedangkan kalau 43 Uraian selengkapnya lihat Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Cet. XXVII; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 210 dst. 44 Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkngan Hidup , Asuransi Hingga Ukhuwah (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995), h. 174. 45 Lihat A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia (t.d), h. 823. Lihat Yusuf Qardahawi, Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa Falsafatina fi Dhau’I al-Qur’an wa al-Sunnah, Juz I (Cet. XXII; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994), h. 41. 47 T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 27. 46 48 Bandingkan dengan Didin Hafidhuddin, op. cit., h. 14-15. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 17 tathawwu’ itu berarti hukumya adalah mandub atau sunnat. Lebih dari itu, penulis belum mendapatkan keterangan yang lebih kongkrit tentang urgensi infaq dalam tafsir tersebut. Tapi yang jelas, infaq adalah sesuatu yang penting karena ia adalah kewajiban atau anjuran Allah SWT. IV. KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: A. Ibn ‘Athiyah dalam kitab tafsirnya yang berjudul al-Muharrar al-Wajis fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz—sebuah kitab tafsir bil-matsur—telah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan didukung oleh kemampuannya sebagai ahli tafsir, sekaligus sebagai ahli hukum (faqih), bahasa dan sastra Arab, dan ilmu Hadis. B. Dalam penafsiran ibn ‘Athiyah tentang pengertian infaq dapat diketahui denotasi (cakupan) dari kata infaq tersebut. Denotasi infaq sebagai salah satu jenis ibadah dalam Islam mencakup zakat, sedekah, dan juga nafaqah. C. Unsur-unsur infaq meliputi objek, subjek (al-munfiqu) dan sasaran (al-munfaqu) infaq. Adapun objek infaq adalah sebagian dari rezki (halal) yang diberikan Allah kepada kita, baik yang bersifat materi maupun yang bersifat non-materi. Sedangkan, subjek infaq itu adalah setiap orang yang beriman, serta sasarannya adalah orangorang yang membutuhkan, dimulai dari keluarga terdekat, lalu anak yatim, kemudian faqir/miskin, ibn sabil, dst. D. Menurut tafsir ibn ‘Athiyah, infaq merupakan sesuatu yang urgen karena ia merupakan kewajiban atau anjuran dari Allah SWT. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 18 KEPUSTAKAAN Al-Qur’an al-Karim Departemen Agama RI., Al-Quraan Dan Terjemahnya (Depag RI.: Jakarta, 1983). al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy: Dirasah Manhajiah Mawdhu’iyah, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar (Cet. II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996). Hafidhuddin, Didin. Panduan Praktis tentang Zakat, Infak dan Sedekah (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 1998). Al-Husaini, Taqiuddin Abu Bakr bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, juz I(Bandung: Syirkah Ma’arif, t.th.) Ibn ‘Athiyah, Abu Muhammad ‘Abd al-Haq. al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, juz II (t.d). Ibn Zakariya, Abu Husain Ahmad ibn Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz III & V (t.tp.: Dal al-Fikr, t.th.). Mahmud, Manii’ Abd Halim. Manahij al-Mufassirin (Cet I; Kairo: Dar al-Kitab alMishri, 1978). al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi, juz I, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dengan judul, Terjemah Tafsir al-Maraghi ( Cet. I; Semarang: Toha Putra, 1985). Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia (t.d). Mushthafa, Ibrahim (et al.), al-Mu’jam al-Wasith., juz I & II (Teheran: al-Maktabat al-Islamiyat, t.th.). Qardawi, Yusuf. Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa Falsafatina fi Dhau’I al-Qur’an wa alSunnah, Juz I (Cet. XXII; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994). al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi ‘Ulum al-Qura’an ( Cet. XIV; Beirut: Muassasah al-Risalah, t..th.). Rahman, Jalaluddin. Islam: Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer (Cet. I: Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997). Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1995). Rasjid, Sulaiman.sjid, Fiqh Islam (Cet. XXVII; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994). al-Shalih, Subhi. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet.VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1991). Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1998). ash-Shobuni, Muhammad Ali. al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ilmu Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 1988). asy-Syirazi, Syaikh Nashir Makarim. al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah al-Munzal (jilid I), diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dkk. dengan judul Tafsir al-Amtsal, juz I (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, t.th.). Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkngan Hidup , Asuransi Hingga Ukhuwah (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995). Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 19 Tugas : M.K. Tafsir Semester/Angk. : I/V KONSEP INFAQ MENURUT KITAB TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ Oleh: MUHAMMAD NAJIB Nim: 091 03 05 99 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. ABD. MUIN SALIM Drs. NASHIRUDDIN PILO, M.A. PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2000 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) 20 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)