Academia.eduAcademia.edu

EKSTRADISI SEBAGAI SEBUAH PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dalam konteks globalisasi dan internasionalisasi saat ini, perkembangan kompleksitas pola hubungan antar negara, komunikasi lintas batas nasional, dan hubungan antar masyarakat global telah mendorong berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan lintas batas negara atau kejahatan transnasional. Perkembangan kejahatan transnasional yang begitu cepat, menuntut negara-negara dunia, dalam kerangka penegakan hukum nasional dan mendorong terciptanya keamanan internasional, untuk memiliki sebuah instrumen hukum yang diakui secara bersama atau umum berdasarkan kebiasaan internasional dalam rangka memerangi dan memberantas kejahatan transnasional. Salah satu hambatan dalam mengatasi bentuk-bentuk kejahatan transnasional adalah kesulitan untuk menangkap pelaku kejahatan dan membawanya ke hadapan persidangan. Hal ini dikarenakan seringkali seorang pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di suatu negara, untuk menghindari jeratan hukum, maka pelaku kejahatan tersebut pergi ke negara lain sehingga berada di luar yurisdiksi hukum negara dimana dia melakukan tindak pidana sebelum dapat dilakukannya proses hukum terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Untuk bisa menangkap dan membawa pelaku tindak pidana tersebut kembali ke negara dimana tindak pidana dilakukan, negara bersangkutan perlu melakukan koordinasi dengan negara dimana pelaku tindak pidana bersembunyi, untuk kemudian meminta kepada negara tersebut agar bersedia menyerahkan pelaku tindak pidana tersebut. Ilustrasi tersebut memperlihatkan bahwa karakteristik kejahatan transnasional yang melibatkan dua negara atau lebih menuntut adanya interaksi dua atau lebih sistem hukum nasional dalam rangka penanganan kejahatan transnasional tersebut, khususnya dalam hal menentukan dan menempatkan kembali pelaku pidana pada yurisdiksi hukum yang paling berwenang untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana tersebut. Mekanisme penyerahan kembali pelaku tindak pidana ke negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ekstradisi. Interaksi diantara dua negara atau lebih dalam berjalannya ekstradisi ini mengandung 2 aspek utama yaitu aspek hukum dan aspek politik. Aspek hukum merujuk kepada terjadinya interaksi 2 atau lebih sistem hukum nasional yang memungkinkan terjadinya ekstradisi. Sedangkan aspek politik merujuk kepada orientasi politik luar negeri masing-masing negara yang terlibat dan kemudian menentukan apakah akan terjadi ekstradisi atau tidak. Jika melihat kepada sejarah munculnya ekstradisi dan prakteknya selama ini, dapat dilihat bahwa

EKSTRADISI SEBAGAI SEBUAH PERJANJIAN INTERNASIONAL Pendahuluan Dalam konteks globalisasi dan internasionalisasi saat ini, perkembangan kompleksitas pola hubungan antar negara, komunikasi lintas batas nasional, dan hubungan antar masyarakat global telah mendorong berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan lintas batas negara atau kejahatan transnasional. Perkembangan kejahatan transnasional yang begitu cepat, menuntut negara-negara dunia, dalam kerangka penegakan hukum nasional dan mendorong terciptanya keamanan internasional, untuk memiliki sebuah instrumen hukum yang diakui secara bersama atau umum berdasarkan kebiasaan internasional dalam rangka memerangi dan memberantas kejahatan transnasional. Salah satu hambatan dalam mengatasi bentuk-bentuk kejahatan transnasional adalah kesulitan untuk menangkap pelaku kejahatan dan membawanya ke hadapan persidangan. Hal ini dikarenakan seringkali seorang pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di suatu negara, untuk menghindari jeratan hukum, maka pelaku kejahatan tersebut pergi ke negara lain sehingga berada di luar yurisdiksi hukum negara dimana dia melakukan tindak pidana sebelum dapat dilakukannya proses hukum terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Untuk bisa menangkap dan membawa pelaku tindak pidana tersebut kembali ke negara dimana tindak pidana dilakukan, negara bersangkutan perlu melakukan koordinasi dengan negara dimana pelaku tindak pidana bersembunyi, untuk kemudian meminta kepada negara tersebut agar bersedia menyerahkan pelaku tindak pidana tersebut. Ilustrasi tersebut memperlihatkan bahwa karakteristik kejahatan transnasional yang melibatkan dua negara atau lebih menuntut adanya interaksi dua atau lebih sistem hukum nasional dalam rangka penanganan kejahatan transnasional tersebut, khususnya dalam hal menentukan dan menempatkan kembali pelaku pidana pada yurisdiksi hukum yang paling berwenang untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana tersebut. Mekanisme penyerahan kembali pelaku tindak pidana ke negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ekstradisi. Interaksi diantara dua negara atau lebih dalam berjalannya ekstradisi ini mengandung 2 aspek utama yaitu aspek hukum dan aspek politik. Aspek hukum merujuk kepada terjadinya interaksi 2 atau lebih sistem hukum nasional yang memungkinkan terjadinya ekstradisi. Sedangkan aspek politik merujuk kepada orientasi politik luar negeri masing-masing negara yang terlibat dan kemudian menentukan apakah akan terjadi ekstradisi atau tidak. Jika melihat kepada sejarah munculnya ekstradisi dan prakteknya selama ini, dapat dilihat bahwa ekstradisi pada hakikatnya adalah kesepakatan diantara dua negara atau lebih atau paling tidak menunjukan adanya hubungan kerjasama bilateral maupun multilateral diantara dua negara atau lebih. Ekstradisi tidak akan terjadi jika diantara dua negara atau lebih yang terlibat tidak memiliki sebuah kesepakatan formil maupun hubungan bilateral dan multilateral. Ada atau tidaknya kesepakatan dan hubungan bilateral maupun multilateral tersebut sangat tergantung kepada orientasi kebijakan politik luar negeri masing-masing negara, sehingga dalam kerangka ini, ekstradisi sebagai sebuah instrumen hukum internasional pada dasarnya sangat tergantung kepada aspek politik yang dimanifestasikan dalam bentuk kesepakatan dan hubungan bilateral maupun multilateral diantara dua negara atau lebih. Di sisi lain, ekstradisi juga muncul dan dapat terjadi akibat dari dorongan kebutuhan negara-negara dalam rangka penegakan hukum. Berkembangnya modus operandi tindak pidana, perkembangan teknologi informasi, dan semakin mudahnya lalu lintas manusia dan aset melewati batas-batas wilayah negara, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menjadikan ekstradisi sebagai sebuah pilihan instrumen hukum internasional yang memang dibutuhkan negara untuk menunjang penegakan hukum. Dalam kerangka ini, dimana aspek penegakan hukum lebih dominan dibandingkan aspek politik, ekstradisi dipandang sebagai sebuah bentuk perjanjian internasional yang memiliki kekuatan mengikat dan mensyaratkan adanya hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat di dalamnya. Tinjauan Pustaka Perjanjian Internasional Perjanjian internasional merupakan salah satu bagian penting yang membentuk hukum internasional. Perjanjian internasional menunjukan keberadaan hubungan antar negara-negara dalam berbagai bidang, dimana untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing negara yang terlibat dalam hubungan antar negara tersebut dibuatlah sebuah pengaturan dan kesepakatan bersama yang mengikat para pihak. Dengan demikian, dalam perjanjian internasional telah melekat aspek hukum yang ditunjukan dengan pengaturan pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban serta mekanisme sanksi. Aspek hukum inilah yang kemudian menempatkan perjanjian internasional sebagai salah satu instrumen yang membangun hukum internasional. Merujuk kepada Konvensi Wina Tahun 1969, pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie adalah sebagai berikut: Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969. “Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”. Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya. Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional dengan rumusan yang lebih luas, yaitu: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84. Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu: an international agreement; Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik internasional yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum internasional atau permasalahan lintas negara. by subject of international law (termasuk entitas di luar negara); Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional. in written form; Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969. governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik); Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional (International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan suatu dokumen disebut sebagai governed by international law jika sudah memenuhi dua elemen, yaitu: Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum; Tunduk pada rezim hukum internasional. whatever form. Definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian daripada sekedar judul perjanjian internasional itu sendiri. Dengan kata lain, penamaan atau judul dari suatu perjanjian internasional bisa berbeda, tetapi pengaturannya tetap bersumber pada hukum perjanjian internasional sebagaimana yang dituangkan di dalam Konvensi Wina 1969. Ekstradisi Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana Hukum Internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang bisa dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2004), hal. 28. Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa terdapat sebuah perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain. Arthur Nusbaum; A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I, (Bandung: Bina Cipta, 1969), hal. 3) Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa latin “ekstradere”. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan, yang arti dan maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition berarti penyerahan. I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 12. Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral, multilateral regional, maupun berbentuk peraturan perundang-undangan nasional Negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang Model Treaty on Extradition, meskipun hanya berupa model hukum saja, dan belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai acuan oleh Negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua Negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini. I Wayan Parthiana, Op.Cit., Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, hal. 128. Meskipun terdapat banyak perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semuanya itu menganut asas-asas dan kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan di dalam prakteknya, ada Negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua Negara tersebut belum terikat pada perjanjian ekstradisi, atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegangan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar Negara-negara di dunia. Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat dan pasti (terhukum, terpidana), oleh Negara tempatnya berada (Negara-diminta) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (Negara-peminta), atas permintaan dari Negara-peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya. Ibid., hal. 129. Berdasarkan rumusan ekstradisi di atas, maka dapat ditarik beberapa unsurnya, yaitu: Unsur subyek, yaitu Negara-diminta dan Negara/Negara-negara peminta; Unsur obyek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, atau terhukum/terpidana; Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu; dan Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan mengadili dan atau penghukumannya (pelaksanaan hukuman). Ibid. Selain unsur-unsur tersebut, ekstradisi memiliki beberapa asas yang telah diakui secara internasional, yaitu sebagai berikut: Ibid., hal. 130. Asas kejahatan ganda (double criminality principle), yaitu bahwa kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum Negara-peminta maupun hukum Negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing Negara berbeda-beda. Sudah cukup apabila hukum kedua Negara sama-sama mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana. Setidaknya ada tiga puluh dua jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000), Hal. 229-230.; Asas kekhususan (principle of speciality), yaitu apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya; Asas ne bis in idem atau non bis in idem, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti, maka permintaan Negara-peminta harus ditolak oleh Negara-diminta Untuk mengetahui lebih lanjut tentang asas ini lihat kepada Pasal 20 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.; Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal). Jika Negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh Negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka Negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga saat ini belum ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam praktek Negara-negara; Asas tidak menyerahkan warga Negara (non extradition of nationals). Jika orang yang diminta ternyata adalah warga Negara dari Negara-diminta, maka Negara-diminta “dapat” menolak permintaan dari Negara peminta. Asas ini berlandaskan pada suatu pemikiran, bahwa Negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga Negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya; Asas daluwarsa, yaitu bahwa permintaan Negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta sudah daluwarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua belah pihak. Selain keenam asas tersebut, dalam ekstradisi juga diakui asas resiprositas atau prinsip timbal balik. Jika suatu Negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari Negara lain, maka Negara tersebut juga harus memberikan perlakuan yang baik terhadap Negara yang bersangkutan. Dalam konteks ekstradisi, jika kita mengharapkan Negara lain akan menyerahkan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diminta untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum nasional Negara kita, maka harus ada jaminan yang seimbang bahwa Negara kita pada suatu saat diminta oleh Negara tersebut untuk menyerahkan tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum nasional Negara tersebut. Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 401. Pembahasan Sebagai sebuah instrumen hukum dalam hukum internasional, keberadaan ekstradisi dalam perkembangannya telah ditunjang oleh berbagai konvensi internasional. Dalam konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya. Konvensi-konvensi tersebut diantaranya adalah: Sapto Handoyo, Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional, Jurnal Academia, Vol. 6, 2010, hal. 8. Konvensi Menentang Kejahatan Perbudakan (Slavery Convention 1926, beserta dengan protokol-protokolnya); Konvensi Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas Prostitusi (Convention for The Suppression of The Traffic in Persons and of The Exploitation of The Prostitution of Others, 1949); Konvensi Tentang Kejahatan Genocide (Convention on The Prevention and The Punishment of the Crime of Genocide, 1948); Kejahatan Penerbangan yang diatur di dalam tiga konvensi, yaitu: Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), hal. 64-65. Konvensi Tokyo, 14 September 1963 (Kejahatan-kejahatan dan Tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan di dalam Pesawat Udara/Convention of Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft); Konvensi Den Haag, 16 Desember 1970 (Penanggulangan Pembajakan atau Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum /Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft ); Konvensi Montreal, 23 September 1971 (Penanggulangan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Keamanan Penerbangan Sipil / Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation). Konvensi Tentang Kejahatan Terhadap Orang-orang yang Dilindungi Secara Internasional (Convention on The Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973); Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Perlakuan atau Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan (Convention Against Torture and Others Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1987); Keberadaan pengaturan tentang ekstradisi dalam konvensi-konvensi internasional seperti beberapa konvensi yang dinyatakan di atas menjadi indikasi bahwa ekstradisi pada hakikatnya adalah sebuah aturan hukum yang memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak yang terikat di dalamnya. Seluruh negara yang terikat dan/atau meratifikasi konvensi-konvensi internasional di atas, memiliki hak sekaligus kewajiban secara hukum untuk menggunakan ekstradisi dalam upaya penegakan hukum. Konvensi sebagai bentuk dari sebuah perjanjian internasional berarti juga bahwa konvensi-konvensi tersebut menjadi sumber hukum internasional, hal ini dikarenakan perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari : perjanjian internasional (international convention), kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab (general principles of law recognized by civilized nations), keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli. Perjanjian Internasional apabila dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya menjadi sumber yang paling utama dan ini dapat terlihat dari Pasal 38 Statuta ICJ yang meletakkan perjanjian internasional pada urutan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian internasional menduduki posisi tertinggi dalam hierarki sumber hukum internasional. Selain itu, banyak sumber hukum internasional lain seperti kebiasaan internasional yang sudah dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian internasional. Dalam kerangka ini, ekstradisi tidak lagi dilihat sebagai sebuah kebiasaan internasional, akan tetapi sebuah perjanjian internasional yang diturunkan dari perjanjian internasional sebelumnya. Karakter dan tujuan ekstradisi sejak pertengahan abad ke-19 telah sangat maju dan manusiawi dimana tujuan yang bersifat diskriminatif baik atas dasar etnis, ras, dan latar belakang politik dalam perjanjian ekstradisi masa lampau telah ditiadakan dan sekaligus dimuat sebagai prinsip-prinsip yang wajib dipenuhi oleh para negara pihak dalam perjanjian tersebut. Romli Atmasasmita, Ekstradisi Dalam Meningkatkan Kerjasama Penegakan Hukum, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No. 1 Oktober 2007, hal. 6. Sudah tidak adanya tujuan-tujuan ekstradisi yang bersifat diskriminatif, rasialis, maupun politis, menunjukan bahwa saat ini ekstradisi benar-benar dijadikan instrumen hukum internasional yang digunakan dalam rangka menunjang upaya penegakan hukum, khususnya dalam rangka membantu mengatasi kejahatan transnasional yang terus berkembang pesat. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi, seperti yang dinyatakan di atas, bahwa dalam ekstradisi terdapat prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh para pihak. Penggunaan kata “wajib” dalam sebuah perjanjian internasional yang memiliki kekuatan hukum, berarti bahwa ada unsur paksaan dalam menjalankan ketentuan yang bersifat wajib tersebut, dengan kata lain ada kewajiban hukum dalam sebuah perjanjian ekstradisi, dimana dalam setiap kewajiban hukum akan ada sanksi hukum bagi segala tindakan yang melanggar kewajiban hukum tersebut. Saat ini, perkembangan praktik hukum internasional dalam perjanjian ekstradisi mencerminkan satu persepsi yang sama yaitu bahwa penyerahan seseorang dari suatu negara ke negara tertentu lainnya dapat diwujudkan baik berdasarkan suatu perjanjian maupun resiprositas atau berdasarkan suatu “comity” semata-mata. Sekalipun masih banyak negara yang lebih suka melaksanakan ekstradisi melalui suatu perjanjian, akan tetapi masih terjadi penyerahan/ekstradisi didasarkan atas dasar asas resiprositas atau comity saja. Ibid. Ekstradisi yang didasarkan kepada asas resiprositas dan/atau comity inilah yang membuat ekstradisi dipandang sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang penegakan hukum, dimana ekstradisi dibutuhkan untuk dapat menjamin berjalannya proses penegakan hukum, maka dalam sebuah ekstradisi harus ada kewajiban hukum yang dapat mengikat para pihak dan hal ini hanya dapat dimungkinkan jika ekstradisi dipandang sebagai sebuah perjanjian internasional yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Dalam kaitannya dengan upaya pelaksanaan ekstradisi untuk meminta diserahkannya seseorang yang menjadi terdakwa/tersangka sebuah kasus tindak pidana dari Negara-diminta kepada Negara-peminta, maka pertanyaan besar yang muncul adalah apakah Negara-diminta wajib melaksanakan permintaan penyerahan seseorang tersebut kepada Negara-peminta? Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui teori perjanjian pada umumnya, sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (UN Convention on the Law of the Treaty) tahun 1969, dan dapat dijawab berdasarkan praktik hubungan internasional. Pertama, berdasarkan prinsip-prinsip umum perjanjian internasional yang berlaku, “pacta sunt servanda” (Pasal 26) dan ketentuan bahwa, suatu negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasional (Pasal 27), maka permintaan ekstradisi wajib dipenuhi sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Namun di dalam praktik hubungan internasional, khususnya di dalam perjanjian ekstradisi bilateral, prinsip-prinsip umum di atas dapat disimpangi sepanjang penyimpangan tersebut disepakati kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Penyimpangan semacam ini dapat dibenarkan sepanjang dilakukan atas dasar “itikad baik” (in good faith), dan tidak juga bertentangan dengan prinsip “state souvereignty” sebagaimana dicantumkan dalam setiap perjanjian bilateral atau multilateral pada umumnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Penyimpangan tersebut dapat diketahui dari ketentuan mengenai “refusal” (penolakan) atau “exception” (kekecualian) di dalam perjanjian ekstradisi. Semakin banyak syarat penolakan suatu permintaan ekstradisi dimuat dalam suatu perjanjian ekstradisi maka semakin sulit perjanjian tersebut dapat diwujudkan secara efektif. Romli Atmasasmita, Op.Cit., 2007, hal. 7-8. Penolakan dan pengecualian terhadap prinsip-prinsip umum perjanjian internasional dalam sebuah perjanjian ekstradisi pada dasarnya bukanlah sebuah hal yang prinsip dan seharusnya diminimalisir jika berbicara dalam konteks penegakan hukum. Ketentuan penolakan dan pengecualian yang justru akan menghambat berjalannya sebuah proses ekstradisi, dalam cara pandang yang sederhana, justru hanya akan membuat perjanjian ekstradisi tersebut sama sekali tidak berguna, karena tujuan utama dari munculnya ekstradisi adalah mempermudah proses penyerahan seseorang tersangka atau terdakwa kasus tindak pidana dengan cara menjembatani perbedaan sistem hukum diantara dua negara atau lebih yang terlibat dalam proses ekstradisi tersebut. Dengan demikian jika ternyata sebuah perjanjian ekstradisi justru “menambah” perbedaan diantara dua sistem hukum nasional, maka seharusnya perjanjian ekstradisi tersebut tidak diperlukan karena pada akhirnya akan mempersulit upaya penegakan hukum yang akan dijalankan. Sebagai contoh, di dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura tahun 2007, pada Pasal 1 ditegaskan: “Each Party agrees to extradite to other...any person who is found in the territory of the Requested Party and is wanted in Requesting Party for any prosecution or for the imposition or enforcement of a sentence in respect of an extraditable offence, as described in Article 2of this Treaty, committed within the jurisdiction of the Requesting Party”. Ketentuan tersebut diperkuat Pasal 2 ayat (4) yang menegaskan bahwa perjanjian ini dapat berlaku surut 15 (lima belas) tahun sejak perjanjian ini berlaku efektif. Kedua ketentuan tersebut secara tersurat memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk mengusut kembali para pelaku kejahatan, termasuk korupsi yang terjadi di masa lampau. Namun demikian, ketentuan yang terlihat “menguntungkan” Indonesia tersebut dikesampingkan oleh banyaknya kewajiban masing-masing negara terutama Indonesia, untuk dapat melaksanakan perjanjian ini secara efektif. Pertama, dalam Pasal 4 tentang “Mandatory Exception to Extradition”, dimuat sebanyak 9 (sembilan) syarat penolakan yang bersifat wajib pada ayat (1) dan ayat (2); sedangkan di dalam Pasal 5, tentang “Discretionary Exception to Extradition”, telah dimuat sebanyak 8 (delapan) syarat penolakan opsional, dengan pengecualian pada ayat (2) dan ayat (3). Sebagai perbandingan, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia, hanya memuat 5 (lima) syarat penolakan, baik yang bersifat “Mandatory obligation” maupun yang bersifat “Non-mandatory obligation” (Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2)). Kemajuan dan “keberuntungan” Indonesia dalam Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura tersebut adalah diterimanya ketentuan penolakan prinsip nasionalitas dengan bersyarat sebagaimana tampak dalam Pasal 5 ayat (3) dihubungkan dengan bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c. Kedua ketentuan tersebut merupakan celah hukum bagi Indonesia yang dapat digunakan untuk memulangkan pelaku kejahatan asal warga negara Indonesia. Dalam perjanjian ini, masih ada ketentuan yang menguntungkan Indonesia, yaitu prinsip penolakan menyerahkan warga negara dapat diterobos dengan menetapkan bahwa status kewarganegaraan seseorang di negara yang diminta ditetapkan ketika orang yang bersangkutan melakukan kejahatan (lex tempus delicti) sehingga kemungkinan untuk meminta WNI yang telah berubah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura masih dapat dilakukan. Keuntungan kedua bagi Indonesia adalah, ketentuan penolakan dengan alasan kewarganegaraan (nasionalitas) dikesampingkan untuk perkara-perkara terorisme dan perkara suap atau korupsi (Pasal 5 ayat (2)). Keuntungan ketiga, walaupun perjanjian ekstradisi tersebut masih mempertahankan prinsip “dual criminality” dengan sistem daftar enumerative (enumerative list) akan tetapi masih dimungkinkan untuk tidak ditafsirkan secara ketat (kaku) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2). Namun demikian, syarat penolakan lainnya yang bersifat wajib (Mandatory obligation) in casu Pasal 4 dan yang bersifat “non-mandatory” (Pasal 5), menghambat pelaksanaan bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (3). Terlepas dari keuntungan dan kerugian masing-masing pihak seperti yang digambarkan dalam contoh perjanjian ekstradisi di atas, permasalahan serius yang harus disadari dan dicermati bersama adalah bahwa ekstradisi kemudian dalam praktiknya tidak lagi menjadi instrumen penegakan hukum, tetapi telah dijadikan instrumen bargaining untuk kepentingan nasional dan politik luar negeri suatu negara. Hal ini berbeda jika ekstradisi benar-benar dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah perjanjian internasional yang mengikat yang merupakan turunan dari konvensi-konvensi internasional, maka “pertarungan” kepentingan nasional tersebut dapat dikesampingkan dengan mengedepankan penegakan hukum pemberantasan kejahatan transnasional sebagai tujuan utama dari diadakannya sebuah perjanjian ekstradisi. Mengutip pendapat Ketut Mandra I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981, hlm. 16., yang mengatakan bahwa peranan atau fungsi perjanjian internasional dalam pembentukan dan perkembangan hukum internasional dapat diperinci atau digolongkan ke dalam tiga macam, yakni: Merumuskan atau menyatakan (declare) atau menguatkan kembali (confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law); Merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan (abolish) kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future conducts); Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali, yang belum ada sebelumnya. Berdasarkan kepada pendapat di atas, jika ekstradisi dipandang sebagai sebuah perjanjian internasional, maka ekstradisi harus menguatkan kembali prinsip-prinsip hukum yang telah ada sebelumnya, dalam hal ini adalah prinsip-prinsip hukum yang ada dalam berbagai konvensi internasional yang mengatur ketentuan tentang ekstradisi. Penguatan kembali prinsip-prinsip hukum ini pada dasarnya adalah untuk menegaskan kembali apa sebenarnya tujuan dari keberadaan ekstradisi dan bagaimana peranannya dalam perkembangan hukum internasional. Ekstradisi yang muncul atas dasar kebutuhan untuk memudahkan proses penegakan hukum dalam mengatasi berbagai bentuk kejahatan transnasional, haruslah benar-benar secara konsisten dipandang dalam kerangka hukum pada tataran implementasinya, sehingga tujuan utama penegakan hukum yang ada dalam ekstradisi dapat tercapai. Pelaksanaan ekstradisi yang tidak berdasarkan atas perjanjian internasional, yaitu hanya berdasarkan kepada asas resiprositas atau comity saja, haruslah dipandang sebagai sesuatu yang bersifat alternatif ketika memang perjanjian internasional belum memungkinkan untuk terjadi. Dalam hal ini, keberadaan asas resiprositas dan comity pada dasarnya adalah untuk memudahkan berjalannya proses ekstradisi itu sendiri, sehingga tujuan penegakan hukum dapat tercapai tanpa terkendala faktor-faktor lain seperti hubungan diplomatik, perbedaan kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri, dan faktor-faktor lain yang lebih bersifat politis. Kesimpulan Berdasarkan kepada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Ekstradisi memiliki tujuan utama penegakan hukum, dimana ekstradisi berperan sebagai instrumen internasional yang membantu menjamin terlaksananya penegakan hukum meskipun terdapat hambatan-hambatan yang bersifat politis maupun teknis (seperti perbedaan sistem hukum nasional, perbedaan kebijakan dan politik hukum, dan lain-lain); Untuk dapat menjamin berjalannya penegakan hukum melalui ekstradisi, maka ekstradisi haruslah dipandang sebagai sebuah perjanjian internasional yang diturunkan dari konvensi-konvensi internasional yang telah ada sebelumnya, dengan sifat mengikat secara hukum sehingga di dalamnya terdapat kewajiban mutlak dan bersifat prinsip terkait dengan pencapaian tujuan utama dari ekstradisi; Keberadaan asas resiprositas dan comity harus dipandang sebagai sebuah alat bantu untuk menjamin berjalannya ekstradisi dalam rangka penegakan hukum meskipun tidak terdapat perjanjian ekstradisi diantara dua negara terkait; bukan sebaliknya, dianggap sebagai pilihan utama dalam menjalankan ekstradisi yang pada akhirnya membuat aspek politis dalam pelaksanaan ekstradisi lebih besar dibandingkan aspek hukum itu sendiri. Daftar Pustaka Buku: Arthur Nusbaum; A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I, (Bandung: Bina Cipta, 1969). Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009). Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979). I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990). ------------------------, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2004). Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003. Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000). Jurnal: I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981. Romli Atmasasmita, Ekstradisi Dalam Meningkatkan Kerjasama Penegakan Hukum, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No. 1 Oktober 2007. Sapto Handoyo, Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional, Jurnal Academia, Vol. 6, 2010. 15