IKP 2019
Indeks Kerawanan Pemilu
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
i
ii
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
SAMBUTAN
S
egala puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa
karena atas izin-Nya sehingga Indeks Kerawanan Pemilihan Umum
(IKP) tahun 2019 ini dapat diselesaikan. IKP 2019 adalah salah satu
produk hasil penelitian Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia pelaksanaan pemilihan umum, khususnya Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang akan dilaksanakan secara serentak tahun 2019 untuk pertama kalinya.
IKP 2019 merupakan upaya dari Bawaslu RI untuk melakukan pemetaan dan deteksi dini terhadap berbagai potensi pelanggaran dan
kerawanan untuk kesiapan menghadapi pelaksanaan Pemilu Legislatif
dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara serentak tahun 2019.
Dalam IKP ini, kerawanan didefinisikan sebagai Segala hal yang menimbulkan gangguan dan berpotensi menghambat proses pemilihan umum
yang inklusif dan benar.
Bawaslu menyusun IKP 2019 dengan menitikberatkan pada 4
(empat) dimensi utama yang dijadikan sebagai alat ukur yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis, berkualitas, dan
bermartabat. Keempat dimensi tersebut, yaitu (i) konteks sosial politik,
(ii) penyelenggaraan pemiliu yang bebas dan adil, (iii) kontestasi, dan
(iv) partisipasi. IKP 2019 tetap akan menggunakan 3 kategori kerawanan,
yaitu: (kerawanan) tinggi, menengah, dan rendah. Melalui kategorikategori tersebut diharapkan Bawaslu dan pemangku kepentingan
lainnya dapat membuat dan mengambil intervensi terukur terkait
kerawanan Pemilu yang terjadi di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Secara berkelanjutan Bawaslu telah melakukan penyusunan IKP
sejak Pemilu Legislatif tahun 2014. Pada proses penyusunan IKP 2019,
Bawaslu menyempurnakan produk IKP agar lebih terukur dan semakin
fungsional dengan tetap mengutamakan kejelasan dan konsistensi
metodologi dan analisisnya. Data, pengalaman penyelenggaraan pilkada
sebelumnya, serta pengetahuan tim ahli dalam mengidentifikasi dan
memproyeksi potensi terjadinya kerawanan pilkada dijadikan sebagai
basis utama menyusun IKP 2019.
IKP 2019 dirilis pada saat dimulainya tahapan kampanye. Hal ini
dimaksudkan agar semakin banyak tahapan yang diprediksi dan semakin
tinggi peluang melakukan pencegahan terhadap potensi pelanggaran
dalam setiap tahapan Pemilu. Melalui serangkaian tahapan, Bawaslu
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
iii
melibatkan berbagai pihak yang terdiri dari
kementerian/lembaga, akademisi, peneliti,
praktisi, dan pegiat Pemilu dalam proses
penyempurnaan IKP tersebut. Sementara
dalam tahapan pengumpulan data, Bawaslu
RI melibatkan seluruh Bawaslu di tingkat
Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota.
“Bersama Rakyat
Awasi Pemilu,
Bersama Bawaslu
Tegakkan
Keadilan Pemilu”
Untuk lingkup internal Bawaslu, hasil
IKP 2019 bermanfaat untuk memperkuat
pemetaan dan deteksi dini terhadap berbagai potensi pelanggaran dan kerawanan
menjelang Pemilu Tahun 2019. Indeks ini
akan memudahkan Bawaslu menyusun
strategi pengawasan berdasarkan daerah
yang rawan dan pada aspek apa saja bobot pengawasan difokuskan. Bagi para pemangku kepentingan, keberadaan IKP 2019
diharapkan dapat memberikan kontribusi
mewujudkan pemilihan umum yang jujur,
yang semakin baik. Hal ini tentu disesuaikan
dengan ketentuan perundang-undangan
dan mengedepankan asas demokrasi.
Kami menyampaikan terima kasih atas
partisipasi dari berbagai pihak yang telah
berperan aktif melakukan penyusunan IKP
2019. Besar harapan kami agar IKP 2019 ini
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk
kepentingan bangsa dan negara.
A B H AN
Ketua
iv
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
PENGANTAR
B
adan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia
merupakan lembaga negara yang memiliki tugas dalam pengawasan
pemilu, baik melalui pendekatan pencegahan maupun penindakan.
Pendekatan pencegahan dalam pengawasan pemilihan kepala daerah,
baik pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati,
serta walikota dan wakil walikota, memerlukan pemetaan dan penilaian
yang komprehensif atas potensi pelanggaran dan kerawanan dalam
penyelenggaraan pemilu.
Untuk itu Bawaslu melakukan serangkaian kajian dan analisis secara
deret waktu (time series) untuk memenuhi kebutuhan publik dan para
stakeholder akan informasi yang dapat memperkuat kualitas penyelenggaran
pemilu. Penguatan dan peningkatan kapasitas riset terus dilakukan oleh
Bawaslu RI guna menghasilkan analisis dan kajian kepemiluan yang bisa
diandalkan. Hal tersebut dilakukan seiring dengan komitmen Bawaslu untuk
meningkatkan peran dan fungsinya sebagai pusat pengkajian dan analisis
kepemiluan di Indonesia.
Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut, Bawaslu menyusun
Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sebagai rangkaian riset yang dilakukan
sebagai dasar merumuskan kebijakan, program, dan strategi pengawasan
di bidang kepemiluan. Melalui pendekatan pencegahan, IKP dibutuhkan
sebagai instrumen untuk mendeteksi tingkat kerawanan di setiap wilayah
yang hendak melangsungkan pilkada. Harapannya, segala bentuk potensi
kerawanan dapat diantisipasi, diminimalisir, dan dicegah. Pendekteksian
tingkat kerawanan dilakukan dengan cara mengidentifikasi ciri, karakteristik,
dan kategori kerawanan dari berbagai wilayah yang akan melangsungkan
pemilu atau pilkada. Tentu hal ini dilakukan dengan mendasarkan pada
data dan pengalaman empiris praktik penyelenggaraan pemilu atau pilkada
sebelumnya di masing-masing daerah.
Penyusunan IKP mendasarkan pada tiga dimensi yaitu kontenstasi,
partisipasi dan penyelenggaraan. Dimensi kontestasi mencakup subyek
peserta pemilu (partai politik dan kandidat) yang saling berkompetisi
dalam meraih posisi politik tertentu. Dalam dimensi kontestasi dilihat
seberapa adil dan setara proses kompetisi berlangsung di antara para
kontestan. Sementara dimensi partisipasi menyangkut subyek masyarakat
sebagai pemilih yang memiliki hak pilih. Dimensi ini melihat bagaimana hak
masyarakat dijamin serta diberikan ruang berpartisipasi untuk mengawasi
dan memengaruhi proses pemilihan umum.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
v
Adapun dimensi penyelenggaraan adalah penyelenggara pemilu yang
bertanggung jawab terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Dimensi
ini terkait bagaimana integritas dan profesionalitas penyelenggara dalam
menjamin pemilu berjalan jujur, adil, dan demokratis.
Dengan mengacu kepada IKP ini, Bawaslu menjalankan tugas
pencegahan dalam pengawasan pemilu dengan pemetaan yang lebih
komprehensif terkait dengan potensi pelanggaran dan kerawanan
penyelenggaraan pemilu. IKP juga diharapkan dapat membantu para
pemangku kepentingan dalam pemilu, seperti kementerian dan lembaga
negara, institusi akademik, masyarakat sipil, media, serta publik secara luas
dalam menyediakan sumber data rujukan, informasi, dan pengetahuan serta
rekomendasi dalam mengambil keputusan, terutama untuk lengkah-langkah
antisipasi terhadap berbagai hal yang dapat menghambat dan mengganggu
proses pemilu di berbagai daerah di Indonesia.
MOCHAMMAD AFIFUDDIN
Koordinator Divisi Pencegahan dan Sosialisasi
vi
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
DAFTAR ISI
SAMBUTAN.................................................................................................................... iii
PENGANTAR.................................................................................................................. v
DAFTAR ISI..................................................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
1.1.
IKP 2019: UNTUK INDONESIA SEMAKIN BAIK ................................ 2
1.2.
IKP 2019: PROSES PENYEMPURNAAN
PENYELENGGARAAN PEMILU ............................................................... 5
1.3.
IKP 2019: TUJUAN DAN RELEVANSI .................................................... 9
BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL ....................................................................... 13
2.1.
PEMILU, PELANGGARAN PEMILU,
DAN KERAWANAN PEMILU .................................................................... 15
2.2.
KONSTEKS SOSIAL-POLITIK ................................................................... 21
2.3.
PENYELENGGARAAN YANG BEBAS DAN ADIL ............................. 28
2.4.
KONTESTASI .................................................................................................. 33
2.5.
PARTISIPASI ................................................................................................... 35
BAB 3 METODE PENELITIAN ............................................................................... 39
3.1.
TAHAPAN PENYUSUNAN INDEKS......................................................... 40
3.2.
HIPOTESIS INDEKS ..................................................................................... 42
3.3.
JENIS PENELITIAN ...................................................................................... 42
3.4.
METODE PENGUMPULAN DATA INDEKS .......................................... 43
3.4.1. Data Primer........................................................................................... 43
3.4.2. Data Sekunder ................................................................................... 44
3.4.3. Wilayah ................................................................................................. 45
3.5.
METODE UJI VALIDITAS DAN REBILITAS .......................................... 46
3.6.
HASIL UJI VALIDITAS DAN REBILITAS ................................................ 47
3.7.
METODE ANALISIS INDEKS. ................................................................... 51
3.7.1. Kategorisasi .......................................................................................... 52
3.8.
LIMITASI ........................................................................................................... 53
BAB 4 INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019 DI INDONESIA...................... 57
1.
MODEL PENGUKURAN VARIABEL`...................................................... 59
4.1.
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI KEAMANAN ........................................................................ 61
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
vii
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
4.6.
4.7.
4.8.
4.9.
4.10.
4.11.
4.12.
4.13.
4.14.
4.15.
4.16.
4.17.
4.18.
4.19.
4.20.
4.21.
2.
viii
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI OTORITAS PENYELENGGARA PEMILU.................... 67
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PENYELENGGARA NEGARA ....................................... 73
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
RELASI KUASA DI TINGKAT LOKAL..................................................... 79
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN DIMENSI
KONTEKS SOSIAL POLITIK ...................................................................... 85
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
HAK PILIH ....................................................................................................... 90
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI KAMPANYE ........................................................................ 95
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PELAKSANAAN PEMUNGUTAN SUARA................ 101
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
AJUDIKASI KEBERATAN PEMILU........................................................... 107
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PENGAWASAN PEMILU ................................................. 112
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN DIMENSI
PENYELENGGARAAN PEMILU YANG BEBAS DAN ADIL............. 118
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI HAK POLITIK TERKAIT GENDER ............................... 124
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI REPRESENTASI MINORITAS ........................................ 129
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PROSES PENCALONAN ............................................................................ 134
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN DIMENSI
KONTESTASI ................................................................................................. 140
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PARTISIPASI PEMILIH ..................................................... 145
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PARTISIPASI PARTAI ....................................................... 151
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PARTISIPASI KANDIDAT................................................. 157
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PARTISIPASI PUBLIK ....................................................... 163
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN DIMENSI
PARTISIPASI POLITIK.................................................................................. 169
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN INDEKS
KERAWANAN PEMILU 2019 .................................................................... 174
ANALISIS DATA MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
VARIABEL INDEKS KERAWANAN PEMILU (Y)................................. 179
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
3.
4.
5.
ANALISIS DATA MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
VARIABEL INDEKS KERAWANAN PEMILU (Y)................................. 183
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019 DI KABUPATEN/KOTA...... 194
ISU KERAWANAN PEMILU 2019 DI KABUPATEN/KOTA .............. 202
BAB 5
5.1.
5.2.
5.3
5.3.1.
5.3.2.
5.3.3.
PENUTUP........................................................................................................ 237
KESIMPULAN ................................................................................................. 238
TINDAK LANJUT .......................................................................................... 239
REKOMENDASI ............................................................................................. 240
Komisi Pemilihan Umum ............................................................................ 240
Peserta Pemilu (Partai Politik dan Pasangan Calon) ...................... 241
Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum Dan
Keamanan ....................................................................................................... 241
5.3.4. Kementerian Dalam Negeri ...................................................................... 241
5.3.5. Pemerintah Daerah ...................................................................................... 242
5.3.6. Aparat Keamanan/Penegak Hukum ..................................................... 242
5.3.7. Masyarakat Sipil ............................................................................................ 242
5.3.8. Media ................................................................................................................ 243
LAMPIRAN 1 .................................................................................................................. 251
Pengumpulan Data IKP 2019 .................................................................................. 252
LAMPIRAN 2 Pelatihan Pengumpulan Data IKP 2019 ................................ 258
LAMPIRAN 3 Penyusunan Instrumen IKP 2019 ............................................. 261
LAMPIRAN 4 Dimensi Partisipasi Politik Tingkat Kabupaten/Kota ...... 263
LAMPIRAN 5 Dimensi Konteks Sosial-Politik Tingkat
Kabupaten/Kota............................................................................ 270
LAMPIRAN 6 Dimensi Kontestasi Tingkat Kabupaten/Kota .................... 276
LAMPIRAN 7 Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Tingkat
Kabupaten/Kota ........................................................................... 283
LAMPIRAN 8 Kabupaten/Kota dengan Kerawanan
Keamanan Tinggi ........................................................................... 290
LAMPIRAN 9 Kabupaten/Kota dengan Kerawanan
Otoritas Penyelenggara Pemilu Tinggi ................................ 291
LAMPIRAN 10 Kabupaten/Kota dengan Kerawanan
Penyelenggara Negara Tinggi................................................... 291
LAMPIRAN 11 Kabupaten/Kota dengan Kerawanan Relasi Kuasa
Lokal Tinggi ..................................................................................... 292
LAMPIRAN 12 Kabupaten/Kota dengan Kerawanan Proses Pencalonan
Tinggi LAMPIRAN 13 – Kabupaten/Kota dengan
Kerawanan Partisipasi Partai Tinggi ....................................... 294
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
ix
x
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BAB 1
PENDAHULUAN
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
1
1.1.
IKP 2019: UNTUK INDONESIA SEMAKIN BAIK
S
etelah mengalami goncangan dramatis pasca-reformasi, realitas
demokrasi Indonesia mengalami banyak perubahan dan peralihan.
Bukan sesuatu yang mudah bagi bangsa Indonesia melewati transisi
demokrasi yang demikian besar (big bang transition) hingga kemudian
relatif memperlihatkan kemajuan. Langkah-langkah besar dan mendasar
dilakukan untuk menjadikan demokrasi sebagai arah tuju negara dengan
mengamandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NRI) 1945.
Amandemen UUD NRI 1945 telah 4 kali dilakukan selama 1999 – 2002.
Amandeman tersebut mengubah sistem politik Indonesia secara prinsipil,
di antaranya, terhadap pemilihan umum (Pemilu): pembatasan periodesasi
masa jabatan presiden (dua kali masa jabatan); perubahan pemilihan presiden
dari sistem perwakilan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi
pemilihan langsung oleh rakyat; Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri; dan lainnya.
Meskipun Pemilu tidak sama dengan demokrasi, tetapi Pemilu adalah
konsep dan sekaligus wujud nyata dari demokrasi prosedural. Karena
tidak pernah ada satu pun negara demokratis yang sepenuhnya dijalankan
langsung oleh semua rakyat dan sepenuhnya untuk seluruh rakyat, maka
Pemilu merupakan cara yang paling kuat bagi rakyat untuk partisipasi dalam
demokrasi pewakilan modern (representative government). Keikutsertaan
rakyat merupakan kunci utama dalam menjalankan sistem pemerintahan
yang demokratis, sebagaimana konsep yang ditawarkan Mayo (dalam
Budiardjo 2006: 117):
“A Democratic political system is one in which public policies are made
on a majority basis, by representatives subject to effective popular
control at periodic elections which are conductet on the principle of
political equality and under conditions of political freedom.”
(Sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum
ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif
oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana yang menjamin
kebebasan politik).
Hal tersebut dipertegas Dahl (1980: 11) mengenai sistem pemerintahan
demokrasi di mana, “masyarakat memiliki kesempatan yang sangat luas dan
besar untuk turut dalam pembuatan keputusan.” Dahl (2001: 84) melanjutkan
2
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
bahwa, “...hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan
kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan
kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk
hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri.” Dan dalam Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,”
menjelaskan bahwa Indonesia menerapkan sistem pemerintahan dengan
nilai-nilai demokratis.
Untuk itu, dari waktu ke waktu kualitas penyelenggaraa Pemilu
yang terdiri dari sistem Pemilu (electoral system), tata kelola Pemilu
(electoral process), dan penegakan hukum Pemilu (electoral law); terus
disempurnakan. Sebagai contoh adalah keberadaan lembaga Komisi
Pemilihan Umum (KPU), penataan kelembagaan dan keanggotaan KPU,
penghapusan unsur Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia
(TNI/Polri) di parlemen, penggunaan sistem multipartai, pembatasan masa
jabatan presiden, keterbukaan akses informasi penghitungan suara, dan
sebagainya.
Kendati demikian, kita tidak bisa menutup mata terhadap sejumlah
masalah atau problem dalam Pemilu, salah satunya adalah konflik dalam
penyelenggaraan Pemilu. Konflik dalam Pemilu tidak semata berkaitan
dengan proses pencoblosan atau konstestasi politik di bilik suara. Akan
tetapi, juga berkaitan dengan proses pelembagaan demokrasi secara
menyeluruh, di antaranya seperti: penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT),
penyikapan masyarakat terhadap hoax, politik identitas, problem kaderisasi
partai politik, akselerasi pembangunan, perebutan akses sumber daya alam,
dan penegakan hukum.
Konflik dalam Pemilu mengejawantah dalam varian yang beragam dan
menyebar di setiap tahap Pemilu (pra Pemilu, saat Pemilu, pasca Pemilu),
sehingga Pemilu yang semula diposisikan sebagai institusi demokrasi untuk
kehidupan bangsa lebih baik bisa menjadi sumber malapetaka. Pemilu akan
menjadi sumber kerawanan karena menimbulkan rasa tidak aman, rasa tidak
tenang, hingga memungkinkan hal terburuk yaitu perpecahan bangsa. Untuk
mengantisipasi kerawanan dalam penyelenggaraan Pemilu perlu dilakukan
antisipasi sejak dini dengan pengawasan.
Pengawasan Pemilu adalah salah satu bagian penting dalam
penyelenggaraan Pemilu. Pengawasan Pemilu menjadi bagian yang
dikembangkan secara sistematis, misalnya, dengan membuka ruang bagi
kelompok pemantau secara luas dan pelembagaan pengawas Pemilu.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
3
Oleh karena itu, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu dibentuklah Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) sebagai lembaga tetap dengan kewenangan utama untuk
mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, menerima pengaduan, serta
menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana
Pemilu, serta kode etik.
Kelembagaan pengawas Pemilu diperkuat dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu di dalamnya terdapat
beberapa perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang Bawaslu. Perubahan
itu di antaranya berupa pembentukan lembaga tetap Pengawas Pemilu di
tingkat provinsi (Bawaslu Provinsi) dan menambah kewenangan menangani
sengketa Pemilu. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, kedudukan Bawaslu kembali diperkuat hingga
tingkat kabupaten/kota dan berubah menjadi tetap. Tugas dan kewenangan
Bawaslu bertambah tidak hanya sebagai pengawas, tetapi sekaligus sebagai
eksekutor atau pemutus perkara.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia
yang mempunyai tugas dalam pengawasan dan pencegahan. Dalam konteks
pencegahan dalam pengawasan Pemilu, maka diperlukan upaya pemetaan
yang komprehensif terkait potensi pelanggaran dan kerawanan dalam
penyelenggaraan Pemilu. Oleh karena itu, serangkaian kajian diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan publik dan stakeholders akan informasi yang
akurat dan valid — terutama dalam hal pengawasan dan pencegahan atas
kemungkinan kerawanan dalam penyelenggaraan Pemilu. Penguatan dan
peningkatan kapasitas kajian terus dilakukan Bawaslu RI guna menghasilkan
analisis dan temuan kePemiluan yang bisa diandalkan. Hal tersebut dilakukan
seiring dengan revitalisasi peran dan fungsi Bawaslu sebagai pusat kajian
dan analisis kePemiluan di Indonesia.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut di atas, Bawaslu menyusun Indeks
Kerawanan Pemilu (IKP) yang bertujuan untuk menyediakan data, analisis,
dan rekomendasi bagi jajaran pengawas Pemilu sebagai bahan perumusan
kebijakan, penyusunan program dan strategi dalam konteks pengawasan
serta pencegahan pelanggaran Pemilu. Selain itu, IKP juga diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi seluruh pemangku kepentingan Pemilu
2019 untuk menyiapkan langkah antisipatif atas potensi kerawanan Pemilu
2019. Di samping itu, melalui pendekatan pencegahan, IKP dibutuhkan
sebagai instrumen deteksi dini dari potensi kerawanan di Indonesia yang
hendak melangsungkan Pemilu Serentak pada tahun 2019. Harapannya
segala bentuk potensi kerawanan dapat diantisipasi, diminimalisasi, dan
4
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
yang terpenting adalah dicegah.
1.2.
IKP 2019: PROSES PENYEMPURNAAN
PENYELENGGARAAN PEMILU
U
ntuk menjalankan salah satu peran dan fungsi sebagai pusat
pengkajian dan analisis kePemiluan di Indonesia, sejak Pemilu
Legislatif tahun 2014, Bawaslu secara berkelanjutan mengerjakan
penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). IKP bertujuan menyajikan
analisis dan rekomendasi kebijakan berbasis riset dan data kePemiluan;
dasar dalam merumuskan kebijakan; serta program dan strategi pengawasan
Pemilu. Bawaslu, yang bekerja sama dengan tim ahli, menyusun IKP dengan
kejelasan dan konsistensi metode penelitian sehingga produk IKP menjadi
fungsional dan dapat diakses publik serta para pemangku kepentingan
lainnya.
Penyusunan IKP dapat diibaratkan sebagai perjalanan keterlibatan
Bawaslu (Pusat, Provinsi, dan kabupaten/kota) dalam menyempurnakan
penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Secara singkat kronologi
pengerjaan menyusun IKP adalah sebagai berikut:
Dalam penyusunan IKP 2015 (Bawaslu 2014), yang disusun menjelang
Pilkada serentak 2015, Bawaslu menumpukan penilaian pada lima aspek,
yaitu: (i) Profesionalitas Penyelenggara Pemilu, (ii) Politik Uang, (iii) Akses
Pengawasan, (iv) Partisipasi Masyarakat, dan (v) Keamanan Daerah.
Aspek-aspek tersebut diterjemahkan dalam 16 variabel dan 30 indikator.
Dalam tahapan analisis data, Aspek Profesionalitas diberi nilai 30, Aspek
Politik Uang diberi nilai 20, Aspek Akses Pengawasan diberi nilai 15, Aspek
Partisipasi Masyarakat diberi nilai 20, dan Aspek Keamanan Daerah diberi
nilai 15.
Dengan pembobotan kategori 0 – 1 (sangat aman), 1 – 2 (aman), 1 –
3 (cukup rawan), 1 – 4 (rawan), 1 – 5 (sangat rawan); maka hasil IKP 2015
menunjukkan 6 provinsi memiliki IKP tertinggi yaitu: Nusa Tenggara Timur
(2,59), Kalimantan Utara (2,74), Maluku (2,74), Papua (2,68), Sumatera Utara
(2,66), dan Sulawesi Selatan (2,54).
Tampak dari penilaian kelima aspeknya, IKP 2015 lebih memfokuskan
penilaian ke masalah profesionalitas penyelenggara Pemilu. Hal ini
menyebabkan beberapa praktik dalam proses kontestasi (persaingan)
antarpeserta Pemilu menjadi kurang terdedahkan dengan baik. Padahal
dalam konteks ini banyak muncul kerawanan, seperti pada ranah pencalonan,
mobilisasi birokrasi, kampanye hitam, dan lain sebagainya.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
5
Belajar dari pengalaman tersebut, Bawaslu melakukan sejumlah
perbaikan untuk IKP tahun 2017 (Bawaslu 2016) yang meliputi: (1) merumuskan
tujuan dan kegunaan Indeks Kerawanan Pemilu (Pilkada); (2) membuat
definisi konseptual dari Kerawanan Pemilu; (3) mengoperasionalisasi
konsep yang meliputi penentuan dimensi, variabel, indikator, dan item
indikator berupa pertanyaan; (4) melakukan pembobotan ulang setiap
variabel dan indikator dilakukan berdasar expert judgment para pakar dan
tim peneliti dengan menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process
(AHP) dalam menganalisis; serta (5) melakukan perubahan mekanisme
pengukuran dan analisis instrumen IKP.
Untuk penyempurnaan instrumen IKP 2017, Bawaslu menumpukan
perhatian hanya pada tiga dimensi penilaian saja yaitu: (i) Kontestasi, (ii)
Partisipasi, dan (iii) Penyelenggaraan. Ketiga dimensi ini diterjemahkan
menjadi 10 variabel dan 31 indikator dengan bobot faktor masing-masing
dimensi adalah kontestasi 35%, partisipasi 35%, dan penyelenggaraan 30%.
Adapun kategori skor IKP 2017 adalah 0 – 1,99 (Kerawanan Rendah); 2,00 –
2,99 (Kerawanan Sedang); 3,00 – 5,00 (Kerawanan Tinggi).
Terdapat tujuh provinsi yang melaksanakan Pilkada di tahun 2017
(Aceh, Bangka Belitung, Banten, Jakarta, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan
Papua Barat) dan secara keseluruhan tingkat kerawanan tingkat Provinsi
terbagi dua yaitu Kerawanan Tinggi dan Kerawanan Sedang. Dari hasil skor
akhir yang merangkum nilai dari keseluruhan dimensi, terdapat tiga daerah
berada di kategori Kerawanan Tinggi adalah: Papua Barat (3,38), Aceh
(3,32) dan Banten (3,13). Daerah dengan kategori Kerawanan Sedang secara
berurutan adalah: Sulawesi Barat (2,36), Jakarta (2,29), Bangka Belitung
(2,29), dan Gorontalo (2,01).
Untuk hasil IKP 2017 tingkat kabupaten/kota menunjukkan ada 4
daerah dengan tingkat Kerawanan Tinggi, yang semua berasal dari Provinsi
Papua, secara berurutan daerah tersebut adalah: Tolikara (3.50), Intan Jaya
(3.30), Nduga (3.24), dan Lanny Jaya (3.03). Empat puluh kabupaten/
kota berada di kategori Kerawanan Sedang yang dari sebaran wilayahnya
didominasi kabupaten/kota di Papua, Aceh, dan Papua Barat. Tetapi, ada
juga kabupaten/kota lain, seperti Takalar (2.88) yang berada di peringkat 7;
Kepulauan Mentawai (2.68) di peringkat 8; dan Buton (2.65) di peringkat 9.
Sementara itu, dalam penyusunan IKP 2018 (Bawaslu 2017) sebagai
kesiapan menghadapi pelaksanaan Pilkada Serentak 2018, Bawaslu tetap
menggunakan tiga dimensi, yakni: (i) Kontestasi, (ii) Partisipasi, dan (iii)
Penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu juga mempertahankan variabel dan
indikator, komposisi pembobotan, serta penggunaan metode AHP dalam
6
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
menentukan bobot dimensi. IKP 2018 mempertahankan dan menghilangkan
beberapa metode dari IKP 2017. Sebagai misal, mempertahankan jumlah
variabel, mengurangi indikator (dari 31 indikator menjadi 30 indikator),
menghapus indikator yang dinilai kurang relevan (seperti angka kemiskinan
dan kondisi budaya patriarki), mengelompokan ulang beberapa indikator,
serta perubahan pertanyaan penelitian untuk mempermudah proses
penggalian data dengan berorientasi pada penyajian data sekunder.
Dari 17 provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak 2018, terdapat
tiga provinsi yang masuk kategori nilai Kerawanan Tinggi, yaitu: Papua
(3,41), Maluku (3,25), dan Kalimantan Barat (3,04). Empat belas provinsi
lain mengindikasikan kategori Kerawanan Sedang, adalah: Sumatera Utara
(2,86), Sulawesi Tenggara (2,81, Kalimantan Timur (2,76), Maluku Utara (2,71),
Nusa Tenggara Timur (2,70), Jawa Timur (2,68), Sumatera Selatan (2,55),
Nusa Tenggara Barat (2,54), Sulawesi Selatan (2,53), Jawa Barat (2,52), Riau
(2,46), Lampung (2,28), Bali (2,19), dan Jawa Tengah (2,15). Sebagai catatan,
IKP 2018 menemukan bahwa tidak ada satu pun provinsi masuk kategori
Kerawanan Rendah dan indeks provinsi di Kerawanan Sedang berada di
angka 2,5, bahkan ada tiga provinsi (Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara,
dan Kalimantan Timur) yang berpotensi naik ke kategori Kerawanan Tinggi
karena memiliki skor di atas 2,75.
Di luar itu semua, Pemilu tahun 2019 memiliki mekanisme yang berbeda
dengan Pemilu sebelumnya, salah satunya adalah keserentakan pelaksanaan
pemilihan Legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota) dan pemilihan Presiden serta Wakil Presiden. Sebagai respons, Bawaslu
kemudian menyempurnakan penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu untuk
Pemilihan Umum tahun 2019 (IKP 2019). Melalui sejumlah diskusi panjang
dan Focus Group Discussion (FGD) (Lihat Lampiran), maka diperoleh
instrumen baru dengan dimensi yang relatif berbeda dengan dimensidimensi IKP sebelumnya (bdk. Bawaslu 2014, Bawaslu 2016, Bawaslu 2017).
“Kerawanan” dalam IKP 2019 tetap menggunakan rujukan kata
“rawan,” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI daring) berarti,
“mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya; gawat.” Secara
konseptual IKP 2019 didefinisikan sebagai: “Segala hal yang menimbulkan
gangguan dan berpotensi menghambat proses pemilihan umum yang
inklusif dan benar.”
Dari definisi tersebut dikembangkan indikator dari 4 dimensi, yaitu:
(i) Konteks Sosial-Politik, (ii) Penyelenggaraan yang Bebas dan Adil, (iii)
Kontestasi, dan (iv) Partisipasi. IKP 2019 tetap akan menggunakan 3 kategori
kerawanan, yaitu: (kerawanan) tinggi, menengah, dan rendah.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
7
Melalui kategori-kategori tersebut diharapkan Bawaslu dan
pemangku kepentingan lainnya dapat membuat dan mengambil intervensi
terukur terkait kerawanan Pemilu yang terjadi di tingkat kabupaten/kota
dan provinsi. Intervensi itu mencakup pada titik lemah election-cycles di
setiap tahap Pemilu sehingga pada akhirnya dapat terpetakan perbaikan
dengan cara saksama, teratur, dan solutif. Dengan demikian, kerawanan
yang tinggi dan yang menengah dapat dieleminir, serta kerawanan yang
rendah bisa direplikasi melalui indikator yang telah diukur. Jika hal ini
berlaku, maka pelaksanaan Pemilu yang bebas, adil, inklusif, dan demokratis
dapat terselenggara sesuai harapan dan amanat konstitusi negara Republik
Indonesia.
Gambar 1.2.1 Geneologi Indeks Kerawanan Pemilu
DIMENSI IKP 2014
• Profesionalitas
Penyelenggara Pemilu
• Politik Uang
• Akses Pengawasan
• Partisipasi Masyarakat
• Keamanan daerah
IKP
2015
IKP
2017
DIMENSI IKP 2018
• Kontestasi
• Partisipasi
• Penyelenggaraan
Pemilu
IKP
2018
IKP
2019
8
DIMENSI IKP 2017
• Kontestasi
• Partisipasi
• Penyelenggaraan
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
DIMENSI IKP 2019
• Konteks Sosial-Politik
• Pemilu yang Bebas
dan Adil
• Kontestasi
• Partisipasi
1.3.
IKP 2019: TUJUAN DAN RELEVANSI
P
enyusunan IKP 2019 secara umum dimaksudkan untuk (i)
Menyajikan analisis dan rekomendasi kebijakan berbasis riset dan
data kePemiluan; (ii) Dasar dalam merumuskan kebijakan, program,
dan strategi pengawasan Pemilu; dan (iii) Instrumen deteksi dini (early
warning instrument) dan pencegahan dari potensi kerawanan Pemilu.
Sasaran informasi IKP 2019 adalah Penyelenggara Pemilu lain (KPU, DKPP);
Pemerintah Pusat maupun Daerah; Lembaga Negara Non-Struktural (LNS);
lembaga pemantau Pemilu; Partai Politik dan kandidat yang berkompetisi
dalam Pemilu; kelompok-kelompok yang tertarik pada capaian Pemilu
dan berkeinginan untuk mempengaruhi (seperti pusat-pusat penelitian
dan lembaga-lembaga advokasi, Perguruan Tinggi); media dan pers;
lembaga penegakan hukum (termasuk lembaga investigasi, penuntut, dan
pengadilan); serta masyarakat sipil.
Dengan menggunakan 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34
provinsi, IKP 2019 secara khusus dimaksudkan untuk memberi informasi
terkait tingkat kerawanan Pemilu yang berguna bagi lembaga Bawaslu
sebagai input untuk melaksanakan tugas pencegahan pelanggaran Pemilu
dan pencegahan sengketa proses sesuai Undang-undang Pemilihan Umum.
Menjelang pelaksanaan Pemilu serentak 2019, IKP 2019 memiliki empat
relevansi yang berdimensi strategis. Pertama, relevansi IKP 2019 dalam
proses demokrasi adalah pengarusutamaan kerangka kebijakan fungsi dan
stragegi pengawasan dengan Bawaslu sebagai lembaga inisiator untuk
meningkatkan kualitas kerja sama dan koordinasi antara para pemangku
kepentingan Pemilu, lembaga pemerintah, dan badan negara independen.
Selain itu, peran ini dapat dimaksimalkan berdasarkan ketentuan Pasal 93
Bagian Ketiga Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang tugas dan
kewenangan Bawaslu untuk melakukan pengawasan dan pencegahan,
serta Pasal 94 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang penindakan
pelanggaran.
Kedua, relevansi IKP 2019 sebagai basis empiris untuk organisasi
masyarakat sipil, antara lain perguruan tinggi; lembaga swadaya masyarakat
dan/atau organisasi masyarakat sipil; organisasi kepemudaan; organisasi
keagamaan; lembaga nirlaba dan kelompok strategis masyarakat lainnya
dalam memantapkan keterlibatan pencegahan dan pengurangan tingkat
kerawanan Pemilu. Indeks ini diharapkan memberi input tentang kondisi
terkini kerawanan Pemilu.
Ketiga, relevansi IKP 2019 terhadap orientasi kebijakan lembaga
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
9
internasional. Kerangka konseptual IKP 2019 dan analisis terhadap hasil
indeks mengacu juga pada konsep “Keadilan Pemilu” dari International
Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) dan
rekomendasi United Nations Development Programme (UNDP) terkait “HakHak Politik” (Political Right).
Keempat, relevansi strategis terkini dari IKP 2019 adalah momentum
menjelang Pemilu 2019 yang mengusung agenda pemetaan potensi
kerawanan Pemilu untuk merumuskan strategi pencegahan dalam rangka
menyukseskan penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019.
10
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
11
12
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BAB 2
KERANGKA
KONSEPTUAL
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
13
K
erawanan Pemilu dalam konteks demoratisasi adalah relasi yang
kompleks dengan konsep yang sangat beragam. Oleh karena itu,
penyusunan IKP 2019 dibutuhkan kejelasan konseptual serta perlu juga
melihat kontekstualisasinya di suatu tempat dan kurun waktu tertentu. Maka,
tantangan pertama yang dihadapi dalam pembuatan kerangka konseptual
adalah berhadapan dengan persoalan menerjemahkan dan merumuskan—
yang juga berarti menyederhanakan—ke dalam konsep yang operasional
dengan ukuran-ukuran yang obyektif. Konsekuensinya, pertama, melakukan
deduksi logis dari kerangka konseptual ke dalam variabel, dimensi, dan
indikator yang bisa dikelola (manageable), nyata (tangible), terukur; dan
kedua, menentukan metode penelitian yang tepat untuk mengukurnya.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual IKP 2019
Sumber: Tim Peneliti (2018)
14
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
2.1.
PEMILU, PELANGGARAN PEMILU
DAN KERAWANAN PEMILU
D
emokratisasi adalah sarana mencapai demokrasi. Walapun Pemilu
tidak sama dengan demokrasi, Pemilu adalah konsep dan sekaligus
wujud nyata demokrasi. Schumpeter (dalam Huntington 1991: 5)
menjelaskan bahwa metode demokratis adalah prosedur kelembagaan
untuk mencapai keputusan politik di mana individu memperoleh kekuasaan
untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut suara rakyat
dalam Pemilu. Menggarisbawahi Schumpeter, Lijphart (2012: 25) tegas
menyatakan, “...democracy is goverment by the freely elected representative
of the people.” Dengan lain kata, demokrasi mensyaratkan pemerintahan
sebagai perwakilan rakyat dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum yang
bebas. Maka, Pemilu yang demokratis adalah qonditio sine qua non bagi
adanya demokrasi1.
Pemilu memiliki arti penting bagi kehidupan bangsa dan pendalaman
demokrasi (deepening democracy). Hal-hal yang mendasari arti penting itu
adalah, pertama, Pemilu merupakan implementasi perwujudan kedaulatan
rakyat. Schumpeter (1947) menambahkan, bahwa salah satu konsepsi
modern menempatkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan
berkala sebagai kriteria utama sebuah sistem politik agar dapat disebutkan
demokrasi. Dengan asumsi bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat dan
karena rakyat yang berdaulat itu tidak bisa memerintah secara langsung,
maka Pemilu mengekspresikan kehendak rakyat tentang pemerintahan,
rakyat menentukan wakil-wakilnya dan para wakil rakyat tersebut akan
menentukan siapa yang akan memegang tampuk pemerintahan.
Kedua, Pemilu merupakan sarana untuk membentuk perwakilan
politik. Dengan Pemilu, rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang dipercaya
mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya. Dalam Introducing
Democracy 80: Questios and Answer, Bentham dan Boyle (2009: 60)
menyatakan bahwa, ”Elections demonstrate that political power derives
from the people and is held in trust from them; and that it is to the people
that politicians must account for their actions,” Pemilu adalah arena yang
menunjukkan kekuasaan politik berasal dari rakyat dan dipercayakan demi
kepentingan rakyat, dan kepada rakyat para pejabat bertanggung jawab
atas tindakan-tindakannya. Sehingga semakin tinggi kualitas Pemilu,
1
Meminjam istilah Von Buri (1873) dari ranah hukum (Teori Ekuivalensi atau Teori Condition Sine Qua Non), yaitu tiap syarat adalah sebab dan semua syarat nilainya sama: kalau satu
syarat tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. Jadi menurut teori ini tidak ada syarat yang
dihilangkan, sebab dapat mengubah akibat. Jelasnya semua faktor adalah syarat yang turut
serta menyebabkan suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht).
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
15
semakin baik kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih dalam lembaga
perwakilan rakyat.
Ketiga, Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin atau rotasi kekuasaan secara konstitusional. Pemilu bisa mengukuhkan pemerintahan yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan reformasi
pemerintahan. Fungsi ketiga ini diperkuat oleh Asshiddiqie (2006: mengenai tujuan penyelenggaraan Pemilu yaitu, “Untuk memungkinkan terjadinya
pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.” Pemilu yang integratif akan melahirkan kepercayaan rakyat untuk
memimpin kembali atau sebaliknya, jika rakyat tidak percaya maka pemerintahan itu akan berakhir dan diganti oleh pemerintah baru dukungan rakyat.
Keempat, Pemilu merupakan sarana pemimpin politik memperoleh
legitimasi. Pemberian suara merupakan pemberian mandat rakyat kepada
pemimpin yang dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemimpin
politik yang terpilih berarti mendapatkan legitimasi (keabsahan) politik dari
rakyat. Pemilu mengabsahkan pemerintahan yang berkuasa atau pemimpin
politik, termasuk program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan
demikian, pemerintah memiliki otoritas untuk memerintah termasuk juga
memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi para pelanggarnya.
Fungsi legitimasi politik, dalam kajian klasik Ginsberg (1982: 123), adalah
konsekuensi logis dari Pemilu, yaitu untuk mengubah keterlibatan politik
massa yang sporadis dan dapat membahayakan menjadi sumber utama
bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.
Kelima, Pemilu merupakan sarana partisipasi politik masyarakat untuk
turut serta menetapkan kebijakan publik. Rakyat secara langsung dapat
menetapkan kebijakan publik melalui dukungannya kepada kontestan Pemilu
dengan program-program yang dinilai aspiratif dengan kepentingan rakyat.
Konsekuensinya pemenang Pemilu dituntut harus merealisasikan janjijanjinya ketika telah memegang tampuk pemerintahan. Karena, menurut
Tocqueville (dalam Hikam 2015: 224), “demokrasi yang tidak dilandasi
partisipasi aktif dari masyarakat di dalam pranata-pranata politik dan sosial
yang egaliter akan menghapus ciri-ciri demokratis dalam budaya politik dan
pranata-pranata sosial.”
Pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Orde Baru dilakukan atas
desakan masyarakat pada tahun 1998. Terlepas dari permasalahan
percepatan Pemilu, Pemilu pertama itu diselenggarakan oleh lembaga
independen, Komisi Pemilihan Umum. Pemilu dengan “sistem proporsional
berkarakteristik sistem distrik” antusias diikuti 105.786.661 pemilih dan 48
partai—peserta Pemilu terbanyak sejak 1971 (KPU 2008).
16
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Selain itu, pada Pemilu 1999 untuk pertama kali tugas pengawasan
Pemilu diserahkan kepada lembaga yudikatif, Makamah Agung (MA), dan
badan-badan peradilan di bawahnya, sebagaimana diamanatkan Pasal 24
UU Nomor3 Tahun 1999. Walaupun masih belum sempurna, terbentuknya
lembaga Pengawas Pemilihan Umum (Panwas) merupakan upaya bangsa
Indonesia mewujudkan Pemilu demokratis yang jujur dan adil. Menyusul
Amandemen Keempat UUD NRI 1945 tahun 2002 yang mengatur dengan
jelas ketentuan mengenai pemilihan umum (Bab VIIB Pasal 22E UUD 1945)
Indonesia berturut-turut menyelenggarakan Pemilu langsung pada tahun
2004, 2009, 2014, dan 2019 (yang berlangsung secara serentak).
Setiap Pemilu yang diselenggarakan bangsa Indonesia, hampir
dipastikan, menjadi suatu peristiwa politik yang kompleks bahkan terumit di
dunia. Seperti yang ditulis Rumah Pemilu (2014), dengan mengutip Litbang
Kompas, Pemilu Indonesia dianggap sebagai kegiatan kePemiluan paling
kompleks di dunia karena berdasarkan data yang dimiliki Kompas, untuk
setiap Pemilu ada empat juta petugas di 550.000 TPS, yang tersebar di
berbagai penjuru sebuah negara yang terdiri atas 17.000 pulau, bertugas
mengelola 700 juta surat suara dengan 2.450 desain yang berbeda untuk
memfasilitasi pemilihan 19.700 kandidat dalam satu Pemilu presiden dan
532 dewan perwakilan di tingkat nasional dan daerah.
Dengan kerumitan tersebut dan bercermin dari Pemilu sebelumnya,
meskipun pemilihan Legislatif dan Presiden tahun 2004 diakui sukses dan
demokratis banyak lembaga seperti The Carter Centre, The Australian
Electoral Commission, The Economist, dan Freedom House; penyelenggaraan
Pemilu kala itu bukan tanpa masalah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam tabel di bawah ini.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
17
Tabel 2.1.1 Pelanggaran Pemilu
JENIS
PELANGGARAN
PEMILU
PEMILU
PILKADA
PILKADA
PILKADA
LEGISLATIF
PRESIDEN
SERENTAK
2017
SERENTAK
2014
2014
2015
2018
Pelanggaran
Administrasi
4.410
1.136
25
364
853
Pelanggaran
Pidana
137
81
54
149
291
65
114
156
712
Pelanggaran
Kode Etik
21
Kekerasan
13
Pelaksanaan
Logistik
36
Sengketa Calon
12
Pelanggaran
Hukum
Lain
TOTAL
4.547
1.238
143
479
1970
Sumber: Laporan Bawaslu
Sepanjang Pemilu Presiden 2014 dugaan pelanggaran terbanyak
adalah pelanggaran yang menyangkut pemasangan Alat Peraga Kampanye
(APK), permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), politik uang, dan
kampanye hitam. Pemilu Legislatif 2014 seluruh dugaan pelanggaran
ditindaklanjuti Bawaslu lalu diteruskan ke KPU dan oleh KPU 3740 (91%)
dugaan pelanggaran ditindaklanjuti. Dugaan pelanggaran pidana sebanyak
137 kasus (66 laporan dan 71 temuan) dan semua dugaan pelanggaran
pidana yang diterima Bawaslu diteruskan ke pihak kepolisian.
Berdasarkan laporan hasil survei Rumah Pemilu (2014) masalahmasalah yang paling sering muncul terkait informasi mengenai prosedur
Pemilu (24%), proses pendaftaran pemilih (15%), validitas hasil pemungutan
suara selama proses rekapitulasi bertingkat (9%), kelayakan fasilitas
TPS (8%), kompetensi KPPS, dan informasi mengenai waktu dan tempat
mencoblos (5%).
Pada tahun 2019, Indonesia kembali akan memasuki sejarah baru
penyelenggaraan Pemilu. Pemilu, yang dilaksanakan berdasarkan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017, akan memilih Presiden dan Wakil Presiden
18
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
serentak dengan Pemilihan Anggota DPR termasuk DPRD Provinsi dan
DPRD kabupaten/kota, serta DPD. Kecuali faktor keserentakan, Pemilu 2019
memiliki perbedaan dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya, yaitu: (i) diikuti
oleh 14 partai politik; (ii) mekanisme penetapan kursi menggunakan Sistem
Proporsional Terbuka dengan metode penghitungan Saint League2; (iii)
penambahan kursi DPR sebanyak 15 kursi (dari 560 kursi menjadi 575 kursi);
(iv) ambang batas parlemen (parliamentary threshold), yaitu ambang batas
perolehan suara partai politik untuk bisa masuk ke parlemen, dinaikkan
menjadi 4,0 persen (pada Pemilu 2014 ambang batas hanya 3,5 persen);
(v) partai atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan pasangan
calon adalah partai/gabungan partai politik yang mampu memenuhi
presidential threshold yaitu minimal mempunyai 20 persen kursi DPR atau
memiliki 25 persen suara sah nasional berdasarkan hasil Pemilu 2014,3 (vi)
penambahan TPS menjadi 801.838, sebuah angka yang cukup signifikan,
karena jumlah pemilih di setiap TPS menyusut dari 500 pemilih di Pemilu
sebelumnya menjadi 300 orang pemilih per TPS.
Perbedaan mekanisme dan teknis tersebut berbanding lurus dengan
kerumitan baru yang bukan tidak mungkin membuka peluang kecurangan
Pemilu (electoral fraud) di setiap tahapnya. Dalam penyusunan IKP 2019
definisi kecurangan Pemilu yang digunakan merujuk pada Lopez-Pintor
(2010:9), yaitu:
“any purposeful action taken to tamper with electoral activities and
election-related materials in order to affect the results of an election,
which may interfere with or thwart the will of the voters.”
(setiap tindakan yang diambil untuk mengutak-atik kegiatan Pemilu
dan materi yang terkait dengan Pemilu untuk mempengaruhi hasil
pemilihan, yang dapat mengganggu atau menggagalkan kehendak
para pemilih).
Kecurangan Pemilu yang paling sering terjadi adalah tindakan
langsung (dari eksekutif atau peserta Pemilu) atau tindakan pembiaran
(oleh penyelenggara Pemilu) yang mengganggu proses Pemilu.
2
Metode ini memiliki bilangan tetap untuk membagi perolehan suara masing-masing partai dengan logika jumlah perolehan suara tertinggi dari hasil pembagian diurutkan sesuai dengan alokasi kursi yang disediakan dalam satu daerah pemilihan, berhak untuk memperoleh
kursi.
3
Pemilu 2014 diikuti 12 partai (termasuk PKPI yang pada Pemilu 2019 ini tidak lolos verifikasi KPU), sehingga nanti hanya ada 11 partai peserta Pemilu 2014 yang lolos verifikasi KPU
yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sedangkan 4 partai baru
yang akan menjadi peserta Pemilu 2019 (Partai Garuda, Partai Berkarya, Perindo dan PSI) tidak
bisa mengusung calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
19
Lopez-Pintor (2010) membedakan kecurangan Pemilu dengan
malpraktik Pemilu (electoral malpractise), karena tidak semua malpraktik
Pemilu akan menjadi kecurangan. Birch (2011) menjelaskan bawah
malpraktik Pemilu (electoral malpractise) adalah, “... the manipulation
of electoral processes and outcomes so as to substitute personal or
partisan benefit for the public interest” (... proses manipulasi yang terjadi
pada setiap keseluruhan proses penyelenggaraan Pemilu yang bertujuan
untuk kepentingan perseorangan, kelompok atau partai politik dengan
menggadaikan kepentingan umum).
Malpraktik Pemilu lebih merupakan sebentuk kesalahan, ketidakefesienan, cacat tata kelola atau regulasi Pemilu (irregularitas) di berbagai
tingkatan dan tahap Pemilu. Iregularitas merupakan bentuk penyimpangan
yang tidak termasuk kategori pelanggaran kerangka hukum Pemilu, seperti
salah penulisan nama di daftar pemilih, kekurangan tinta atau kualitas tinta
yang buruk, ketidaksesuaian antara penghitungan di berbagai tingkatan,
kegagalan teknologi halaman web penyelenggara Pemilu mempublikasikan
hasil Pemilu, atau penundaan ajudikasi pengaduan. Walau demikian, malpraktik Pemilu bisa jadi simpton kecurangan Pemilu yang menimbulkan
ketidaknyaman yang juga bisa mempengaruhi proses dan hasil Pemilu tetapi
masih mungkin diperbaiki selama ada kehendak baik (Lopez-Pintor 2010).
Kecurangan Pemilu sangat kompleks, mulai dari modus kecurangan,
faktor penyebab, maupun agen yang terlibat. Hanya saja, yang pasti, kecurangan
berkorelasi dengan tingkat kerawanan. Semakin banyak kecurangan
semakin tinggi tingkat kerawanan yang akan meruntuhkanintegritas Pemilu.
Integritas Pemilu yang runtuh berarti runtuh pula legitimasi dan kredibilitas
pemerintah yang dihasilkan melalui penyelengaraan Pemilu yang langsung,
umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan juga konsep teoritis yang
telah diuraikan, objek kajian atau dimensi kerawanan Pemilu IKP 2019
adalah: Konteks Sosial Politik; (ii) Penyelengaraan yang Bebas dan Adil;
(iii) Kontestasi; dan (iv) Partisipasi. Keempat dimensi tersebut menjadi
pendasaran untuk pemahaman mengenai tingkat dan dinamika kerawanan
Pemilu serta untuk perumusan variabel dan indikator penyusunan IKP 2019
(lihat Gambar 2.1.1).
20
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 2.1.1 Kerangka Konseptual IKP 2019
2.2. KONTEKS SOSIAL-POLITIK
Konteks Sosial-Politik didefinisikan sebagai kondisi objektif untuk
keberlangsungan Pemilu demokratis yang bebas dan adil. Dimensi ini
secara operasional ditujukan untuk mengukur: (i) tingkat keamanan dalam
proses Pemilu (pra Pemilu, saat Pemilu, dan pasca Pemilu); (ii) otoritas
penyelenggara Pemilu; (iii) integritas dan profesionalitas penyelenggara
negara; dan (iv) relasi kuasa di tingkat lokal.
Tingkat Keamanan dalam Proses Pemilu. Setiap penyelenggaraan
Pemilu terbagi dalam 3 tahap, yaitu: (a) tahap prapemilihan, tahap ini
mencakup tahap penyusunan kerangka hukum, tahap perencanaan, tahap
pembelajaran dan edukasi, tahap registrasi pemilih, dan tahap kampanye;
(b) tahap pemilihan, tahap ini mencakup tahap pungut hitung dan tahap
verifikasi hasil;tahap pascapemilihan, tahap ini mencakup proses audit hasil,
proses, serta evaluasi pelaksanaan Pemilu (lihat Gambar 2.2.1).
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
21
Gambar 2.2.1 Tahap Pemilu
Sumber: IDEA (2010: 9)
Aspek keamanan di setiap tahap Pemilu merupakan kondisi dasar
yang signifikan diperlukan untuk penyelenggaraan Pemilu demokratis yang
bebas dan adil. Hal ini berkaitan dengan yang termaktub dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights,
UDHR) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi
dalam urusan pemerintahannya, baik dengan cara dipilih maupun memilih
wakil-wakilnya, melalui Pemilihan Umum yang jujur dan adil. Jaminan
tersebut juga berlaku dalam kerangka kebebasan menentukan (Pasal 18)
dan menyampaikan pilihan politik tanpa adanya gangguan (Pasal 19), baik
dalam bentuk; diskriminasi (Pasal 7), ancaman serta kekerasan (Pasal 3),
demi terciptanya Pemilu yang demokratis.
International Foundation for Electoral Systems (IFES 2011)
menyebutkan empat unsur kekerasan Pemilu yang terdiri dari: (i) tindakan
mencederai; (ii) ancaman mencederai; (iii) orang atau barang terkait
dengan proses Pemilu (iv) tindakan tersebut terjadi selama proses Pemilu
berlangsung. Serta dua jenis kekerasan Pemilu, yaitu kekerasan fisik dan
kekerasan non-fisik berupa ancaman, intimidasi, serta harassment (tindakan
yang mengganggu yang bersifat agresif). Maka, dapat disimpulkan bahwa
kekerasan Pemilu adalah setiap tidakan yang mencederai atau melakukan
22
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
ancaman untuk mencederai seseorang atau barang yang berkaitan dengan
keseluruhan proses Pemilu, atau tindakan yang mencederai atau melakukan
ancaman proses Pemilu itu sendiri selama berlangsung proses Pemilu.
Kekerasan Pemilu berkorelasi dengan situasi Pemilu. Tingkat keamanan
dalam proses Pemilu berkorelasi dengan kepercayaan dan partisipasi
masyarakat terhadap institusi Pemilu. Semakin aman proses Pemilu, semakin
tinggi kepercayaan dan partisipasi masyarakat. Demikian sebaliknya:
“Poor electoral integrity at any point in this electoral cycle can have
serious consequences for the legitimacy of a goverment, or the political
system more generally. This can be reflected in lower satisfaction
with democracy or confidence in goverment, or even, at its extreme,
unwillingness to accept and comply with laws put in place by an elected
goverment” (Birch and Muchlinski 2018: 118).
Ketidakamanan bisa jadi memperburuk atau memicu ketegangan
dalam proses bernegara yang akhirnya melemahkan legitimasi sistem
demokrasi. Oleh karena itu, IKP 2019 akan menjadikan keamanan Pemilu
sebagai salah satu indikator yang akan mengukurnya melalui kasus
penyelenggaraan Pemilu satu tahun terakhir (Pilkada 2017-2018).
Otoritas Penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu di Indonesia
diatur oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemilihan
umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang independen,
imparsial, dan mandiri. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang mengatur penyelenggara
dan peserta Pemilu, sistem pemilihan, manajemen Pemilu, dan penegakan
hukum; terbentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) sebagai satu kesatuan lembaga yang menyelenggarakan Pemilu.
Pendasaran Undang-Undang itu adalah kepentingan mengamankan
dan menjaga kemandirian lembaga penyelenggara Pemilu yang bebas dari
kendali pemerintah sehingga berpeluang lebih besar bagi terselenggaranya
Pemilu yang demokratis. Penyelenggaraan Pemilu oleh penyelenggara Pemilu
melingkupi faktor integritas dan profesionalitas penyelenggara Pemilu dalam
menjamin Pemilu berjalan demokratis. Lembaga penyelenggara Pemilu yang
bersifat tetap dan imparsial tidak hanya memainkan peranan penting dalam
mengamankan Pemilu yang bebas dan adil, tetapi juga dapat meningkatkan
relasi ideal yang terbuka dan netral terhadap para kontestan Pemilu.
Penyelenggara Pemilu yang menggantikan Lembaga Pemilihan
Umum (LPU) produk Orde Baru adalah KPU. Secara mendasar kedudukan
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
23
KPU indepeden, berbeda dengan LPU yang berkedudukan di bawah
Kementerian Dalam Negeri (dulu bernama Departemen Dalam Negeri),
sehingga memungkinkan untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai
penyelenggara pemilihan umum. Kemandirian keberadaan dan kedudukan
KPU sangat penting untuk upaya menegakkan salah satu pilar demokrasi
yaitu terselenggaranya Pemilu demokratis yang jujur dan adil. Oleh karena
itu, Amandemen UUD NRI 1945 menyatakan KPU sebagai salah satu
lembaga non-struktural yang diakui oleh konstitusi, dalam ayat (5) Pasal
22 E UUD 1945 disebutkan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Sejalan
dengan pengaturan dalam UUD 1945, kedudukan KPU sebagai lembaga
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dijabarkan lebih lanjut melalui
Pasal 3 ayat (1) sampai dengan (3) dalam Undang-undang Nomor 15 tahun
2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Bawaslu, seperti telah diungkapkan di Bab sebelumnya, terbentuk
sebagai lembaga ad hoc pelaksana pengawasan Pemilu melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu,
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu kabupaten/
kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Berdasarkan UndangUndang tersebut sebagian kewenangan dalam pembentukan Pengawas
Pemilu merupakan kewenangan dari KPU. Namun, berdasarkan Keputusan
Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review yang dilakukan Bawaslu
terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen Pengawas
Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan
utama dari Pengawas Pemilu adalah mengawasi pelaksanaan tahapan
Pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran
administrasi, pelanggaran pidana Pemilu, serta kode etik.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
juga menjadikan Bawaslu sebagai lembaga tetap, “Dalam penyelenggaraan
Pemilihan Umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin
agar pemilihan umum benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas
pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan.” Adapun aparatur
Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai dengan tingkat
kelurahan/desa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia
Pengawas Pemilu kabupaten/kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan,
dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat Kelurahan/desa.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu menetapkan lembaga ketiga penyelenggara Pemilu
ketiga, DKPP merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga Dewan
Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DKKPU). DKPP yang bersifat
24
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
independen menambah kuat pengawasan penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia. DKPP tidak terlibat dalam urusan teknis penyelenggaraan Pemilu.
Tugas dan wewenang DKPP adalah menegakkan kode etik baik bagi aparat
KPU maupun aparat Bawaslu di seluruh Indonesia. DKPP hanya berurusan
dengan etika penyelenggara Pemilu sebagai orang per orang yang harus
tunduk kepada ketentuan kode etik penyelenggara Pemilu. Yang dimaksud
orang per orang adalah KPU yang terdiri dari para komisioner di tingkat
pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota; Bawaslu hanya terdiri atas
pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat provinsi.
Tetapi dalam pengertian lebih luas adalah penyelenggara Pemilu, baik dalam
lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang
bekerja secara tetap ataupun yang bekerja secara tidak tetap atau ad hoc.
Penyelenggara Negara. Penyelenggara negara dalam konteks ini
adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri, yang diharapkan bisa
terlibat dalam mewujudkan Pemilu demokratis yang langsung, bebas,
rahasia, serta jujur dan adil. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara Pasal 9 ayat 1 menyebutkan, “Aparatur Sipil (ASN)
harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai
politik,” yang berarti di dalam Pemilu posisi ASN, termasuk TNI dan Polri,
netral dan profesional.
Fenomena politisasi birokrasi dalam kaitan dengan penyelenggaraan
Pemilu dapat dilihat seperti dalam kajian klasik Emmerson (1983) mengenai
budaya birokrasi. Budaya birokrasi merujuk pada kasus patrimonalisme
birokrasi ketika sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada penguasa
perseorangan (kingship rulerships) yang mengakumulasikan kekuasaannya
melalui hubungan tuan-hamba. Tradisi politik semasa Orde Baru, dikenal
istilah ABG (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ([A]BRI), [B]irokrat,
dan [G]olkar) sebagai bentuk patrimonialisme kekuasaan Soeharto dalam
menjaga stabilitas kekuasaannya. ABRI digunakan untuk mendisiplinkan
masyarakat, birokrat digunakan untuk mengendalikan administrasi
pemerintahan, dan Golkar untuk menyeragamkan pilihan politis masyarakat.
Akan tetapi, dibandingkan dengan ABRI, relasi Golkar dan birokrat sangat
kuat menunjukkan patrimoni kekuasaan karena sinergi keduanya memiliki
pengaruh kuat dan signifikan hingga pelosok masyarakat (Santoso 1997).
Di masa Reformasi, untuk mengikis politisasi birokrasi dalam
penyelenggaraan Pemilu seperti di rezim Orde Baru, netralitas ANS diatur
oleh beberapa aturan hukum. Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dan Polisi Republik Indonesia (Polri) di ranah politik praktis diminimalisir
sebagaimana diamanatkan oleh Tap MPR Nomor VII/2000 tentang Peran TNI
dan Polri, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
25
zepublik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia; di mana TNI dan Polri hanya melaksanakan tugas
negara tanpa adanya hak politik yang melekat dalam diri instansi tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil pada Pasal 4 Ayat 12, PNS dilarang memberikan
dukungan dengan cara ikut sebagai pelaksana kampanye untuk calon
Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara tegas melarang ANS
menjadi anggota dan pengurus partai politik. Meskipun demikian, netralitas
ANS di setiap Pemilu masih menjadi salah satu sumber kerawanan Pemilu.
Relasi Kuasa di Tingkat Lokal. Aspek ini terkait dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah, yang merupakan kebijakan mengenai sistem desentralisasi.
Desentralisasi identic dengan otonomi daerah dalam pengertian, “hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemberian otonomi daerah, sebagai perwujudan dari demokratisasi
dimaksudkan untuk mendekatkan pemerintah dan rakyat sehingga
pelayanan publik mudah direalisasikan karena ada kedekatan antara
penyedia layanan dan pengguna layanan. Pemilu dalam konteks otonomi
daerah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yang
spesifik mengatur pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung,
sebagai upaya menciptakan demokrasi di tingkat lokal yang prosedurnya
melalui pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) yang diselenggarakan
pada medio 2005
Pilkada memberi wujud nyata demokrasi ke tengah masyarakat,
di antaranya, sepertikan dikatakan Agustino (2017) adalah untuk: (i)
memberikan legitimasi kuat dengan dukungan suara pemilih nyata (real
voters), (ii) mendorong akuntabilitas dan responsivitas pimpinan daerah,
(iii) meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, dan (iv)
membuka peluang untuk perempuan terlibat dalam kontestasi politik.
Terlepas dari hal-hal positif tersebut di atas, sistem Pemilu desentralistik
berpotensial juga memunculkan sejumlah kerawanan, (i) tingginya biaya
politik (baik dari penyelenggara maupun kontestan), (ii) rentan memunculkan
konflik terutama jika ada yang menggunakan isu primordial, juga kerawanan
yang timbul akibat kontrol pusat ke daerah melemah dengan (iii) kehadiran
26
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
shadow-state yang berbentuk orang kuat lokal (local strong-man), (iv)
kemunculan informal economy, dan sebagainya (Agustino 2017). Berikut ini
adalah Tabel Dimensi Konteks Sosial-Politik.
Tabel 2.2.1 Dimensi, Subdimensi, dan
Subsubdimensi Konteks Sosial-Politik
Dimensi
Subdimensi
Subsubdimensi (+)
Subsubdimensi (-)
Terjadi ganguan keaSituasi kondusif pra
manan sebelum
Pemilu
(tahapan) Pemilu
Keamanan
Situasi kondusif
pada penyelenggaran Pemilu/
Pemilihan setahun
Terakhir
Kekerasan/Intimidasi
pada penyelenggara
Kekerasan/intimidasi
Antarpeserta Calon
Kekerasan/intimidasi
antarpemilih
Perusakan fasilitas
publik/nonpublik
Situasi kondusif
pasca Pemilu
(pada Pemilu
sebelumnya)
Konteks Sosial
Politik
Netralitas penyelenggara Pemilu
Terjadi kerusuhan
paska perhitungan
Keberpihakan Penyelenggara
Kasus Hukum penyelenggara
Abai terhadap tanggung jawab
Otoritas
Penyelenggara Pemilu,
Pelanggaran Standar
Pelaksanaan (Perbawaslu/SE/SOP)
Profesionalitas
penyelenggara
Pemilu
Koreksi putusan oleh
lembaga di
atasnya
Penyalahgunaan wewenang
Kasus pelanggaran
disiplin
Inkonsistensi Putusan
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
27
Tidak netralnya ASN
Integritas
Penyelenggara Negara
Konteks Sosial
Politik
Tidak netralnya Polri
Tidak netralnya TNI
Profesional dalam
penggunaan
kewenangan
Relasi kuasa
di tingkat
lokal (aktor
politik
lokal)
Rekrutmen politik
yang inklusif
Relasi kuasa
di tingkat
lokal (aktor
politi lokal)
Budaya politik partisipatif
Intimidasi oleh Polri
Intimidasi oleh TNI
Intimidasi oleh
Birokrasi
Kekerabatan politik/
dinasti
Orang kuat lokal
Kelompok bisnis
Mobilisasi dengan
ancaman/ intimidasi
Mobilisasi dengan
politik uang
Sumber: Bawaslu (2018)
2.3. PENYELENGGARAAN YANG BEBAS DAN ADIL
Pemilu yang demokratis ditandai dengan penyelenggaraan Pemilu
yang bebas dan adil. Untuk itu Indonesia menetapkan enam parameter atau
standar Pemilu yang demokratis yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil; sesuai termuat dalam pasal 22E ayat 1 Undang Undang Dasar 1945.
Pengertian “Luber Jurdil” adalah sebagai berikut: (i) Langsung berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh
diwakilkan; (ii) Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga
negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara; (iii) Bebas berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak
mana pun; (iv) Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat
rahasia, hanya diketahui oleh pemilih itu sendiri; (v) Jujur mengandung arti
bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk
memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih
sesuai dengan kehendaknya, dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang
sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih; (vi) Adil adalah
perlakuan yang sama terhadap peserta Pemilu dan pemilih, tanpa ada
pengistimewaan atau diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu.
28
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih atau peserta
Pemilu, tetapi juga kepada penyelenggara Pemilu. Undang-Undang Pemilu
dan Penyelenggara Pemilu yang menjadi turunannya kemudian menambah
beberapa kriteria lagi seperti transparan, akuntabel, tertib, dan profesional.
Standar Pemilu Indonesia paralel dengan standar atau tolak ukur
keberhasilan Pemilu demokratis yang bebas dan adil dari The International
Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 25 tahun 1966). Ada 8 prinsip
yang disodorkannya yaitu: (i) pemilihan umum berkala; (ii) hak pilih universal;
(iii) hak pilih yang sama; (iv) hak menduduki jabatan publik; (v) hak untuk
memilih; (vi) pemungutan suara rahasia; (vii) pemilihan yang jujur; dan, (viii)
memungkinkan ekspresi bebas dari kehendak rakyat.
Sedangkan Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA
2010) merumuskan 15 standar internasional Pemilu yang demokratis: (i)
penyusunan kerangka hukum, (ii) sistem Pemilu, (iii) penentuan distrik
pemilihan dan definisi batasan unit Pemilu, (iv) hak memilih dan dipilih, (v)
penyelengara Pemilu, (vi) pendaftaran pemilih dan pemilih terdaftar, (vii)
akses kertas suara partai politik dan kandidat, (viii) kampanye Pemilu yang
demokratis, (ix) akses media dan kebebasan berekspresi, (x) pembiayaan
dan pengeluaran kampanye, (xi) pemungutan suara, (xii) penghitungan dan
tabulasi suara, (xiii) peran wakil partai dan kandidat, (xiv) pemantau Pemilu,
dan (xv) kepatuhan dan penegakkan hukum.
Pada poin (iv), Pemilu yang bebas dan adil mengharuskan pemberian
kesempatan warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan berupa
hak pilih. Hak pilih (memilih dan dipilih) adalah hak dasar setiap warga
negara yang merupakan hak asasi manusia berupa hak sipil dan hak politik.
Berdasarkan Pasal 25 pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik) menjadi pendorong negara untuk
berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi, memajukan, menegakan
dan memenuhi, serta menghormati juga mengakui hak pilih sebagai Hak
Asasi Manusia.
Aspek lain yang juga menjadi tolak ukur Pemilu yang demokratis adalah
kampanye. Pengertian kampanye—berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Pasal
angka 26—adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih
dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. Terdapat 9 jenis
kampanye yang menjadi acuan dari KPU (2004) yaitu: (a) debat publik/
debat terbuka antarcalon, (b) kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
29
perundang-undangan, (c) pemasangan alat peraga di tempat umum, (d)
penyebaran bahan kampanye kepada umum, (e) penyebaran melalui media
cetak dan media elektronik, (f) penyiaran melalui radio dan atau televise,
(g) pertemuan terbatas, (h) rapat umum, dan (i) tatap muka dan dialog.
Berbagai jenis kampanye acuan KPU di atas memperlihatkan arti penting
kampanye sekaligus rawan konflik dalam penyelenggaraan Pemilu karena
merupakan satu tahapan Pemilu yang mempertemukan kontestan dan
pemilih.
Aspek lain dalam penyelenggaraan Pemilu demokratis berhubungan
dengan hak individu dalam proses peradilan, serta berbagai hak individu dan
kelompok di bawah proses keberatan Pemilu, dan badan yang menangani
sengketa-sengketa tersebut. IFES (2011: 19) memberikan standar-standar
dalam penanganan keberatan Pemilu, yaitu: (i) hak untuk memperoleh
Pemulihan pada keberatan dan sengketa Pemilu; (ii) sebuah rezim standar
dan prosedur Pemilu yang didefinisikan secara jelas; (iii) arbiter yang
tidak memihak dan memiliki pengetahuan; (iv) sebuah sistem peradilan
yang mampu menyelesaikan putusan dengan cepat; (v) penentuan beban
pembuktian dan standar bukti yang jelas; (vi) ketersediaan tindakan
perbaikan yang berarti dan efektif; (vii) pendidikan yang efektif bagi para
pemangku kepentingan.
Dimensi Penyelenggaraan yang Bebas dan Adil secara operasional
ditujukan untuk mengukur: (i) hak pilih; (ii) kampanye; (iii) pelaksanaan
pemungutan suara; (iv) adjudikasi keberatan Pemilu; dan (v) pengawasan
Pemilu.
Tabel 2.3.1 Dimensi, Subdimensi, dan Subsubdimensi
Penyelenggaraan yang Bebas dan Adil
Dimensi
Subdimensi
Subsubdimensi (+)
Subsubdimensi (-)
Hilangnya hak pilih
Hak Pilih
Penyelenggara
an Pemilu
Yang Bebas
dan Adil
Kampanye
30
Akurasi data
pemilih
Penyampaian visi
misi dan program
peserta Pemilu
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Data pemilih tidak
komprehesif,
akurat, dan mutakhir
Kampanye di luar
jadwal
Penayangan iklan
kampanye di luar
jadwal
Substansi materi
kampanye dalam
berbagai media
(massa/elektronik/
sosial)
Kampanye
Materi kampanye
bersifat SARA
Materi kampanye
mengandung
ujaran kebencian
Materui Kampanye mengandung
HOAKS
Praktik politik uang
Pelaksanaan
kampanye
Penggunaan fasilitas
Negara
Konflik antar peserta
dan pendukung
Pelanggaran Dana
Kampanye
Ketersediaan
logistik (lokasi/
waktu/jumlah/
ketepatan)
Penyelenggara
an Pemilu
Yang Bebas
dan Adil
Distribusi logistik
pemungutan
suara terlambat
Distribusi logistik
pemungutan suara
tertukar/hilang/tidak sesuai
ketidaktersediaan
layanan dan
akses bagi pemilih
disabel
Pelaksanaan
Pemungutan
Suara
Ketersediaan akses
Ketidaktersediaan
akses pemilihan untuk Napi
Ketidaktersediaan
akses pemilihan
untuk Orang sakit/
renta
Proses Pemungutan Suara
Pelaksanaan pemunggutan tidak tepat
waktu
Proses penghitungan tidak terbuka
Penghitungan
Suara
Proses penghitungan tidak sesuai
dengan waktu yang
ditentukan
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
31
Rekapitulasi Suara
Pelaksanaan
Pemungutan
Suara
Rekapitulasi Suara
tidak tepat waktu
Rekapitulasi Suara
tidak akurat
Penetapan Hasil
tidak tepat waktu
Penetapan Hasil
Penetapan Hasil
tidak akurat
Penolakan Hasil
Pemilu tanpa
ajudikasi Keberatan
Ajudikasi
keberatan
Pemilu
Penyelenggara
an Pemilu
Yang Bebas
dan Adil
Pengawasan
Pemilu
Terjadi gugatan
terhadap hasil
Pemilu di MK
Relevansi putusan
MK
Peran lembaga
ajukasi tidak efektif
dan tidak efisien
Kehadiran saksi
perwakilan
peserta Pemilu
Tidak efektifnya
peran saksi
perwakilan peserta
Pemilu
Keberadaan
pemantau Pemilu
Tidak adanya
pemantau Pemilu
Tidak ada laporan
pelanggaran oleh
warga
Terdapat laporan
pelanggaran Pemilu
dari warga (<10
misal)
Tindak lanjut
temuan atau
laporan oleh
Bawaslu
Sumber: Bawaslu (2018)
32
Terjadi gugatan
terhadap hasi
Pemilu oleh Caleg di
Internal Partai
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Temuan pelanggaran
tidak ditindak lanjuti
oleh Bawaslu
Penerusan laporan
dugaan pelanggaran
pidana tidak
ditindaklanjuti
2.4. KONTESTASI
Sistem Pemilu di Indonesia, di antaranya dengan sistem demokrasi
multipartai, menjadikan Pemilu sebagai ajang kontestasi. Schattscheneider
(1999: 23) menyatakan bahwa demokrasi, “… is a system of stable competition
between two or more parties, both (or all) of which subscribe to common
rules for deciding who will govern” (… sistem yang berbasis persaingan
antar partai politik dan pemilihlah yang menentukan, sebagai pihak yang
berada di luar sistem dan organisasi partai). Sejalan dengan pendapat
Schattscheneider, Firmanzah (2010: 33) mengemukakan bahwa konsep
persaingan politik merupakan alat memenangkan kompetisi Pemilu sesuai
dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Partai politik perlu memonitor
dan mengevaluasi setiap strategi dan aktivitas yang dilakukan partai lain
dengan prinsip “zero sum,” setiap kemenangan dari satu pemain merupakan
kekalahan dari pihak lain.
Fondasi terpenting dari kontestasi tersebut adalah ketika persaingan
bisa menjadi representasi politik. Ada tiga pendekatan utama untuk
membaca representasi politik yaitu, pertama, the general theories of
representation (teori umum representasi) dengan dasar filosofi yang
mengaitkan kerangka “politik gagasan” dan kerangka kehadiran warga
negara (Pitkin 1969: 204). Semakin besar “kehadiran,” misalnya kelompok
perempuan dan kaum minoritas, maka semakin besar kesempatan
mengubah agenda dan membawa perspektif baru tentang presentasi
kelompok perempuan atau kaum minoritas. Pendekatan kedua, systemwide approaches to representation, pendekatan yang fokus pada dampak
sistem pemilihan dalam menentukan keterwakilan (representativeness).
Terakhir, pendekatan ketiga, normative theories of representation, berfokus
pada hubungan antara yang direpresentasi dengan yang merepresentasi.
Pendekatan ini mempertimbangkan fungsi wakil terpilih serta mendudukkan
dua entitas—yang mewakili dengan yang diwakili—saling berelasi dengan
relasi konggruensi, konkurensi, atau menyerupai (mirroring/resemblance).
Kehadiran perempuan di ranah politik Indonesia sudah lama diabaikan,
sehingga pengalaman perempuan berpolitik berada jauh di belakang
pengalaman politik laki-laki. Minimnya pengalaman perempuan untuk
berkontestasi serta menghadirkan diskursus menyulitkan praktik politik
bagi perempuan dalam mendapat ruang yang sama dengan laki-laki. Dari
kondisi tersebut sejak masa reformasi upaya-upaya mendorong perempuan
mengejar ketertinggalan dalam dunia politik dengan diterapkan affirmative
action bagi perempuan melalui kuota gender.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
33
Undang-Undang Pemilihan Umum Republik Indonesia sejak Pemilihan
Umum 2004 hingga tahun 2019 yang akan datang, menjamin keterwakilan
perempuan dalam lembaga legislatif. Ini tercantum dalam Pasal 65 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tentang Pemilihan Anggota
DPR/DPD/DPRD, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Pasal
55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, dan Pasal 245 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang baru saja ditetapkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Juli 2017. Adapun
kuota keterwakilan perempuan yang dimaksud adalah 30% dari jumlah
calon anggota legislatif dalam satu daerah pemilihan, untuk tiap-tiap
partai politik yang mengusungnya. Namun kuota tersebut hanya mengatur
untuk perempuan, sementara kelompok minoritas etnis dan agama, serta
kelompok difabel belum memperoleh hak serupa dalam penyelenggaraan
Pemilu.
Upaya mendorong keterwakilan perempuan melalui pencalonan
minimal 30% pada Pemilu 2004 menghasilkan 65 kursi dari total 550 Kursi
di DPR (setara 11% kursi). Pada Pemilu 2009, hasil Pemilu menunjukkan
peningkatan keterwakilan perempuan, dengan mendapatkan 101 kursi dari
total 560 kursi di parlemen yaitu setara dengan 18%. Sementara hasil Pemilu
2014 justru menunjukkan stagnasi jika tidak bisa dibilang kemunduran
karena angka perolehan kursi perempuan berkurang menjadi 97 kursi dari
560 kursi yaitu setara dengan 17%.
Dimensi Kontestasi ditujukan untuk mengukur: (i) hak politik gender,
(ii) representasi minoritas, dan (iii) proses pencalonan.
Tabel 2.4.1 Dimensi, Subdimensi, dan Subsubdimensi Kontestasi
Dimensi
KONTESTASI
34
Subdimensi
Hak politik
terkait gender
Subsubdimensi (+) Subsubdimensi (-)
Keterwakilan kuota
perempuan pada
daftar calon legislatif
Tidak terpenuhinya
kuota perempuan pada
daftar calon legislatif
Keterwakilan
golonganminoritas
pada daftar calonLegislative
Tdak adanya keterwakilankelompok
minoritas pada daftarcalon legislatif
keterwakilan
kelompok Disabilitas
Tdak adanya keterwakilankelompok
disabilitas pada daftar
calon legislatif
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Kepengurusan dan
keanggotaan
ganda partai politik
KONTESTASI
Ketidakabsahan dokumen persyaratan calon
Proses
pencalonan
Sengketa pencalonan
Pencalonan
anggota Legislative DPRD Kab./kota
Identifikasi hubungan
kekerabatan dengan
Penyelenggara
Terjadinya mahar politik
Sumber: Bawaslu (2018)
2.5. PARTISIPASI
Partisipasi politik merupakan konsep krusial tentang urgensi partisipasi
masyarakat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan
yang dibuat para wakilnya yang memiliki otoritas. Banyak konsep yang
berkaitan dengan partisipasi politik dalam Pemilu. Antara lain, konsep dari
Andrian dan Smith (2006) yang membedakan partisipasi politik menjadi
tiga yaitu partisipasi pasif, partisipasi aktif, dan protes. Partisipasi pasif
adalah keterlibatan politik seseorang sebatas ia meletakkan politik sebagai
sesuatu yang penting dan keterlibatannya dalam tataran wacana. Partisipasi
aktif adalah keterlibatan seseorang dalam organisasi atau menjadi relawan
dalam kegiatan Pemilu. Sementara protes adalah sebentuk partisipasi dalam
kegiatan aksi, seperti menandatangani petisi atau melakukan demonstrasi.
Konsep yang lebih klasik, misalnya dari McClosky (1972) menyatakan
bahwa partisipasi politik sebagai kegiatan sukarela masyarakat yang terlibat
dalam proses pengambilan kebijakan secara langsung atau tidak langsung,
seperti terlibat dalam proses Pemilu. Partisipasi politik dalam Pemilu
termasuk keterlibatan masyarakat secara aktif di partai politik, pencalonan
sebagai kandidat Pemilu, atau menjadi relawan tim pemantau suara di bilik
suara ketika Pemilu.
Dimensi Partisipasi dalam IKP kali ini dimaksudkan untuk mengukur:
(i) partisipasi pemilih, (ii) partisipasi partai politik, (iii) partisipasi kandidat,
dan (iv) partisipasi publik dalam pengawasan (lihat Tabel 2.5.1).
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
35
Tabel 2.5.1 Dimensi, Subdimensi, dan Subsubdimensi Partisipasi
Dimensi
Subdimensi
Subsubdimensi (+)
Partisipasi pemilih
sesuai target KPU
(≥77,5%)
Partisipasi
Pemilih
Partisipasi
Kandidat
Partisipasi
Politik
Kondisi geografis
yang mendukung
Subsubdimensi (-)
Partisipasi di bawah
target KPU (77,5%)
Jumlah suara tidak sah
Lokasi TPS yang sulit
dijangkau
Lokasi TPS yang tidak
bisa dijangkau (force
majeure)
Rendahnya partisipasi
kandidat perserta
Partisipasi kandidat Pemilu untuk
dari seluruh partai mematuh aturan
Pemilu
terdaftar sebagai
peserta Pemilu
Rendahnya partisipasi
kandidat peserta
Pemilu dalam proses
edukasi politik masyarakat
Rendahnya partisipasi
masyarakat dalam
pengawasan Pemilu
Partisipasi
Publik
Partisipasi masyarakat dalam penTidak adanya gerakan
gawasan Pemilu
pengawasan Pemilu
yang diinisiasi oleh
Masyarakat
Akses kelompok
masyarakat sipil
terhadap proses
tahapan Pemilu
Sumber: Bawaslu (2018)
36
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hambatan akses
pemantau terhadap
proses tahapan
Pemilu
Hambatan akses
media massa terhadap proses tahapan
Pemilu
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
37
38
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BAB 3
METODE
PENELITIAN
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
39
T
ujuan IKP 2019 adalah memberikan gambaran empiris terkait
tingkat kerawanan Pemilu di Indonesia ke dalam indeks yang seusai
dengan kondisi aktual (objektif), memiliki kejelasan (eksplanatif),
dan disepakati para pihak terkait (legitimate). Untuk mencapai tujuan
itu, persoalan memilih metode penelitian sama problematiknya dengan
menentukan kerangka konseptual. Masing-masing metode memiliki
kelebihan dan keterbatasan.
Membuat proyeksi kondisi kerawan Pemilu di setiap kabupaten/kota di
seluruh Indonesia didapat melalui indikator-indikator konkret berdasarkan
peristiwa atau data yang sudah terjadi (post-factum). Ukuran potensi
kerawanan Pemilu didapatkan berdasarkan analisis terhadap kondisi terkini
di suatu daerah dengan mempertimbangkan tahapan Pemilu (time series).
Kriteria sistemik variabel dan indikator yang akan dan bisa dijadikan ukuran
ditentukan berdasarkan, pertama, relevansi yaitu dimensi dan indikator yang
digunakan harus benar-benar relevan dengan kerawanan Pemilu yang akan
diukur. Kedua, signifikansi, yaitu dimensi dan indikator yang digunakan tidak
sekadar relevan, tapi juga secara signifikan akan memetakan kerawanan
Pemilu. Ketiga, adanya sumber data yang dapat digunakan dan kepastian
ketersediaan data.
Pembobotan dilakukan dengan membandingkan tingkat kerawanan
satu daerah dengan daerah lain pada level dimensi. Adapun di level
subdimensi, penilaian tingkat kerawanan dilakukan dengan cara mengambil
angka rata-rata. Sementara pada level subsubdimensi, penilaian karawanan
suatu daerah dilakukan dengan melihat jumlah skor dari subdimensi.
3.1.
TAHAPAN PENYUSUNAN INDEKS
IKP 2019 disusun dalam beberapa tahapan pada buklan Juni hingga
September 2018. Tahapan tersebut meliputi Tahapan Konstruksi, Tahapan
Instrumentasi, Tahapan Lapangan, dan Tahap Analisis dan Penyusunan
Laporan.
Pertama, Tahap Konstruksi yang berbentuk workshop dan FGD untuk
mengevaluasi instrumen IKP sebelumnya, menemukan, dan menentukan
teori yang relevan serta sesuai dalam konteks Pemilu Serentak tahun 2019.
Pada tahap ini pelibatan akademisi, pegiat Pemilu, perwakilan kementerian/
lembaga, dan perwakilan Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
mengeksplor variabel pendukung dan variabel penghambat kerawanan
Pemilu yang ideal.
40
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Kedua, Tahap Instrumentasi yang bermaksud untuk menyusun
instrumen, melakukan uji validitas dan realibilitas instrumen (try-out
research instrument), serta menentukan bobot faktor. Try-out instrumen
dilaksanakan di 35 kabupaten/kota (pada bulan Agustus selama 7 hari) di
Jawa Barat dan Banten atas alasan tertentu guna memastikan bahwa item
pertanyaan yang disebar secara nasional valid dan reliabel secara akademik –
dan mudah diimpelemntasikan. Pada tahap Instrumentasi diskusi mengenai
penyempurnaan indikator dan item pertanyaan tetap dilaksanakan dnegan
melibatkan akademisi, pegiat Pemilu, dan Bawaslu.
Ketiga, Tahap Penelitian sebagai tahap pelaksanaan IKP dalam bentuk
survei menggunakan seluruh populasi Bawaslu di seluruh kabupaten/kota
di Indonesia. Tahap ini diawali dengan kegiatan coaching bagi 514 Kordiv.
PHL. Bawaslu kabupaten/kota dan 34 Kordiv. PHL. Bawaslu Provinsi di
seluruh Indonesia selama dua hari. Manakala pengambilan data dibatasi
dalam waktu 10 hari hingga 31 Agustus (meskipun nyatanya data masuk
pada 6 Sepetmber 2018). Selanjutnya, data diolah, dikategori, dan dicek
kelengkapannya.
Terakhir, keempat, Tahap Analisis dan Penyusunan Laporan sebagai
tahapan menganalisis komponen utama (indeks), analisis struktural
(kausalitas), serta model prediksi. Pada tahap akhir, keterlibatan akademisi,
pegiat Pemilu, dan Bawaslu dalam penyempurnaan analisis dan laporan
terus dilakukan terutama sebelum launching IKP tingkat nasional (pada
25 September 2018). Secara singkat tahapan penyusunan IKP 2019 dapat
dilihat dalam gambar berikut ini:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
41
Gambar 3.1.1 Alur Kerja IKP 2019
TAHAP
PENELITIAN
TAHAP ANALISA &
PENYUSUNAN
LAPORAN
Penyusunan
Instrumen
Metode
Sampling
Analisisi
Komponen
Utama (Indeks)
Relevansi
Teori
Uji Validitas
& Realibitas
Coaching
Emurator
Analisis
Struktural
Eksploratori
Faktor
Penentuan
Bobot Faktor
Penentuan
Bobot Faktor
Model
Prediksi
DISEMINASI
PAKAR &
PRAKTISI
VERIFIKASI
BPS
VERIFIKASI
BPS
KORD.
STRATEGIS
KEMENTERIAN
TAHAP
KONSTRUKSI
TAHAP
INSTRUMENTASI
Evaluasi
Intrumen
Sumber: Bawaslu (2018)
3.2. HIPOTESIS INDEKS
Tingginya nilai Indeks Kerawanan Pemilu 2019 (Y) terwujud melalui
tingginya Potensi Kerawanan Konteks Sosial Politik (Y1), Penyelenggaraan
Pemilu yang Bebas dan Adil (Y2), Kontestasi (Y3), dan Partisipasi (Y4).
3.3. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berupa pengukuran
kondisi real atau biasa disebut Conditional Term dari berbagai fakta yang
terjadi di suatu lokasi area (Tabachnick and Fidell 2007). Penelitian kuantitatif
dilakukan dengan tujuan menguji teori-teori yang ada dengan menggunakan
metode survei untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada
saat penelitian dilakukan dengan tujuan melukiskan variabel atau kondisi
apa yang ada dalam suatu situasi. Pengumpulan datanya dilakukan dengan
42
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
menggunakan instrumen pengumpulan data kejadian (conditional term)
dan analisis datanya bersifat statistik, berdasarkan informasi pelaksanaan
Pemilu terakhir baik Pilkada maupun Pemilu sebelumnya di 514 kabupaten/
kota seluruh Indonesia (Total Sampling). Adapun sumber data penelitian
berasal dari penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu kabupaten/kota),
pihak kepolisian, dan media massa. Oleh karena kajian ini berujung pada
upaya untuk mendeteksi secara dini kerawanan penyelenggaraan Pemilu
2019, maka instrumen pertanyaan yang dijawab oleh narasumber bukan
bersifat persepsi, tetapi fakta (bahkan perlu menunjukkan bukti jawaban
berupa dokumen, video, rekaman suara, dan foto).
3.4. METODE PENGUMPULAN DATA INDEKS
3.4.1. Data Primer
Data primer disusun dan dikumpulkan berdasarkan instrumen isian
data item indikator yang dilakukan oleh Bawaslu kabupaten/kota di seluruh
Indonesia.
Dalam penggunaan intsrumen, IKP 2019 menyusun item-item sebagai
alat tes yang harus bisa mengukur variabel yang menjadi tujuan dalam
penelitian. Oleh sebab itu, uji coba instrumen dilakukan pada pertengahan
Agustus 2018 untuk mendapatkan keajegan instrumen. Suatu tes dapat
dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila tes tersebut menjalankan
fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur sesuai dengan makna dan tujuan
diadakannya tes tersebut. Validitas menunjukkan ukuran kemampuan suatu
instrumen untuk mengukur apa yang akan diukur. Jadi, dapat dikatakan
semakin tinggi validitas suatu alat tes, maka alat tes tersebut semakin
tepat dalam mengukur suatu variabel, atau semakin menunjukkan apa yang
seharusnya diukur.
Selain itu, instrumen isian IKP 2019 harus juga memiliki reliabilitas yang
tinggi. Reabilitas atau tingkat konsistensi hasil suatu pengukuran itu semakin
tinggi nilainya maka akan memberikan hasil pengukuran yang terpercaya
(consistent). Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama
intrumen pengukuran yang baik. Kadang-kadang reliabilitas disebut juga
sebagai keterpercayaan, keterandalan, keajegan, konsistensi, kestabilan,
dan sebagainya, namun ide pokok dalam konsep reliabilitas adalah sejauh
mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, artinya sejauh mana skor
hasil pengukuran terbebas dari kekeliruan pengukuran (measurement error).
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
43
Setelah mendapatkan instrumen yang valid dan reliabel, melalui
workshop dan FGD dan uji coba instrumen di 35 kabupaten/kota, maka
pada akhir Agustus dilakukanlah pengumpulan data secara nasional selama
10 hari dengan melibatkan seluruh Kordiv. PHL. Provinsi dan Kabupaten/
Kota seluruh Indonesia. Dengan menggunakan instrumen IKP 2019, para
Kordiv. PHL. yang sekaligus sebagai enumerator lapangan perlu memastikan
bahawa jawaban mereka disertai dengan bukti berupa dokumen, foto,
video, ataupun rekaman suara. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa
IKP 2019 tidak berdasar persepsi enum maupun narasumber, tapi berdasar
bukti otentik yang ada di masing-masing sumber data.
3.4.2. Data Sekunder
Data primer berperan sebagai basis utama mendapatkan data
kuantitatif IKP 2019. Selanjutnya data kuantitatif yang telah diverifikasi dan
divalidasi itu didukung dengan data sekunder. IKP 2019 menggunakan data
sekunder berupa dokumen-dokumen resmi dan laporan yang bersumber
dari: (i) Badan pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), (ii) Komisi Pemilihan
Umum (KPU), (iii) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), (iv)
Kepolisian, dan (v) media-massa.
Dokumen-dokumen resmi yang digunakan sebagai sumber data tidak
akan dijelaskan secara khusus karena pada prinsipnya dokumen-dokumen
tersebut adalah sumber data yang biasa digunakan dalam penelitian.
Dokumen resmi dalam IKP 2019 ini mengacu pada pengertian dokumen
dalam arti spesifik, menurut Renier (1997: 104), yaitu meliputi surat-surat
resmi dan surat-surat negara. Dalam konteks IKP 2019 dokumen-dokumen
resmi yang digunakan sebagai sumber data seperti: Keputusan KPU, Surat
Edaran Bawaslu, Keputusan DKPP, dan data kepolisian.
Penggunaan liputan media-massa, khususnya koran, sebagai sumber
data untuk mendapatkan data penjelas khusus, karena diyakini koran sebagai
sumber informasi yang relevan dalam merekam proses demokratisasi atau
peristiwa Pemilu selama periode tertentu secara terus menerus dari hari ke
hari. Tetapi, penggunaan koran sebagai sumber data harus disadari bahwa
koran memiliki keterbatasan, seperti bias editorial dan reporter, keterbatasan
wilayah jangkauan peliputan, keterbatasan ruang, dan kompetensi reporter.
Neuman (2000) mensyaratkan empat kondisi dalam menggunakan koran
sebagai sumber data, yaitu: ada rumusan secara spesifik mengenai isu yang
dibutuhkan, menetapkan jenis media, menyusun sistem untuk merekam
data yang dibutuhkan, dan mengukur data yang terkumpul untuk disajikan
dalam bentuk angka atau persentase.
44
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
3.4.3. Wilayah
Proses uji validitas dan reliabilitas instrumen (try-out instrument)
dilakukan di 35 kabupaten/kota di Jawa Barat dan Banten yang membutuhkan
waktu selama 1 minggu (11 – 17 Agustus 2018). Pemilihan 35 kabupaten dan
kota di Jawa Barat dan Banten bukan tanpa alasan, salah satunya adalah
waktu uji validitas dan reliabilitas yang sangat singkat, serta kemudahan
mengundang 35 Bawaslu kabupaten/kota yang dekat dengan Bawaslu RI.
Adapun wilayah-wilayah tersebut terlampir dalam Tabel 3.4.3.1 berikut ini:
Tabel 3.4.3.1 Wilayah Uji Validitas dan Relibilitas
No
Kabupaten/kota
No
Kabupaten/kota
1
Kabupaten Bogor
19
Kota Sukabumi
2
Kabupaten Sukabumi
20
Kota Bandung
3
Kabupaten Cianjur
21
Kota Cirebon
4
Kabupaten Bandung
22
Kota Bekasi
5
Kabupaten Garut
23
Kota Depok
6
Kabupaten Tasikmalaya
24
Kota Cimahi
7
Kabupaten Ciamis
25
Kota Tasikmalaya
8
Kabupaten Kuningan
26
Kota Banjar
9
Kabupaten Cirebon
27
Kabupaten Pangandaran
10
Kabupaten Majalengka
28
Kota Cilegon
11
Kabupaten Sumedang
29
Kabupaten Lebak
12
Kabupaten Indramayu
30
Kabupaten Pandeglang
13
Kabupaten Subang
31
Kabupaten Serang
14
Kabupaten Purwakarta
32
Kota Serang
15
Kabupaten Karawang
33
Kabupaten Tangerang
16
Kabupaten Bekasi
34
Kota Tangerang
17
Kabupaten Bandung Barat
35
Kota Tangerang Selatan
18
Kota Bogor
Sumber: Bawaslu (2018)
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
45
3.5. METODE UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Proses uji validitas dan reliabilitas instrumen IKP 2019 dilakukan dalam
tahapan-tahapan sebagai berikut:
1). Rekapitulasi data hasil Try Out dari 35 kabupaten/kota.
2). Proses cleaning data bermasalah agar tersisa data yang baik agar
menghasilkan pengukuran yang akurat dan tidak bias.
3). Coding data.
4). Analisis Validitas awal menggunakan Statistik Point Biserial (untuk
item-tem berskala nominal) yang berupa skor dikotomi dengan rumus
sebagai berikut :
Di mana:
X
= Rata-rata test untuk semua orang
Xi
= Rata-rata pada test hanya untuk orang-orang yang
menjawab benar pada item ke-I
= Proporsi dari orang yang menjawab benar pada item ke-i
i 1-p = Proporsi dari orang yang menjawab salah pada item ke-i
σ χ = Standar deviasi pada test untuk semua orang
π
Kriteria validitasnya adalah jika PB ≥ 0,30 item pertanyaan valid dan
PB < 0,30 item pertanyaan tidak valid.
π
5). Analisis validitas lanjutan menggunakan Statistik multivariate
Confirmatory Faktor Analysis (CFA) untuk menghasilkan analisis yang
lebih akurat terkait item-item yang dipertahankan, item-item yang
harus dibuang, atau item-item yang harus diperbaiki berdasarkan
pertimbangan output software Lisrel 8.7.
6). Analisis Reliabilitas menggunakan statistik multivariate. Confirmatory Faktor Analysis (CFA), untuk melihat apakah keseluruhan item-item
pertanyaan yang ada sudah konsisten dalam menghasilkan respon data
yang dibutuhkan, sehingga dapat digunakan untuk proses survei yang
sebenarnya.
46
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
3.6. HASIL UJI VALIDITAS DAN REBILITAS
Dari hasil pengujian terhadap indikator dari seluruh dimensi Konteks
Sosial Politik (Y1), Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil (Y2),
Kontestasi (Y3), dan Partisipasi (Y4) yang mencerminkan keadaan potensi
kerawanan pelaksanaan Pemilu suatu kabupaten/kota, sebagai berikut :
Dimensi Konteks Sosial Politik
No.
Kode
Koef.valid
Ket.
1
s1
0,782
Valid
2
s4
0,535
Valid
3
s8
0,411
Valid
4
s14
0,965
Valid
5
s18
0,645
Valid
6
s19
0,653
Valid
7
s20
0,673
Valid
8
s21
0,645
Valid
9
s22
0,906
Valid
10
s23
0,720
Valid
11
s25
0,844
Valid
12
s30
0,720
Valid
13
s31
0,597
Valid
14
s32
0,565
Valid
15
s33
0,977
Valid
16
s34
0,889
Valid
17
s39
0,753
Valid
18
s40
0,772
Valid
19
s45
0,782
Valid
20
s47
0,645
Valid
21
s48
0,930
Valid
22
s50
0,780
Valid
23
s51
0,336
Valid
24
s52
0,835
Valid
25
s53
0,835
Valid
26
s55
0,411
Valid
27
s57
0,550
Valid
28
s59
0,430
Valid
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
47
29
s61
0,565
Valid
30
s62
0,905
Valid
31
s63
0,511
Valid
32
s64
0,720
Valid
33
s65
0,565
Valid
34
s66
0,653
Valid
35
s67
0,653
Valid
36
s68
0,653
Valid
37
s69
0,974
Valid
38
s70
0,974
Valid
39
s71
0,974
Valid
40
s72
0,974
Valid
41
s73
0,974
Valid
42
s77
0,852
Valid
Koef.Rel
0,992
Ket.
Reliabel
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 79 item yang mencerminkan
kondisi kerawanan konteks sosial politik pelaksanaan Pemilu 2019 di
Indonesia, hanya terdapat 42 indikator valid dengan nilai korelasi di
atas 0,3 dan merupakan kumpulan indikator yang menghasilkan ukuran
konsisten sehingga hasil reliabilitas variabel pun cukup baik yaitu
mencapai angka 0,992
Dimensi Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil
48
No.
Kode
Koef.valid
Ket.
1
pe1
0,65
Valid
2
pe2
0,44
Valid
3
pe3
0,52
Valid
4
pe5
0,954
Valid
5
pe8
0,526
Valid
6
pe9
0,879
Valid
7
pe12
0,650
Valid
8
pe13
0,770
Valid
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
9
pe15
0,475
Valid
10
pe17
0,990
Valid
11
pe18
0,653
Valid
12
pe19
0,511
Valid
13
pe20
0,862
Valid
14
pe21
0,391
Valid
15
pe25
0,430
Valid
16
pe26
0,628
Valid
17
pe27
0,652
Valid
18
pe28
0,632
Valid
19
pe29
0,371
Valid
20
pe30
0,368
Valid
21
pe33
0,793
Valid
22
pe34
0,760
Valid
23
pe35
0,620
Valid
24
pe36
0,441
Valid
25
pe37
0,770
Valid
26
pe38
0,770
Valid
27
pe39
0,860
Valid
28
pe40
0,450
Valid
29
pe41
0,689
Valid
30
pe46
0,440
Valid
31
pe50
0,350
Valid
32
pe54
0,954
Valid
33
pe55
0,368
Valid
34
pe56
0,957
Valid
35
pe57
0,371
Valid
36
pe58
0,368
Valid
37
pe63
0,793
Valid
38
pe64
0,760
Valid
39
pe65
0,620
Valid
40
pe66
0,770
Valid
41
pe67
0,475
Valid
42
pe68
0,990
Valid
43
pe69
0,704
Valid
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
49
44
pe70
0,650
Valid
45
pe71
0,440
Valid
46
pe72
0,862
Valid
Koef. Rel
0,921
Ket.
Reliabel
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 72 item yang mencerminkan
kondisi kerawanan penyelenggaraan pelaksanaan Pemilu 2019 yang Bebas
dan Adil di Indonesia, hanya terdapat 46 indikator valid dengan nilai korelasi
di atas 0,3 dan merupakan kumpulan indikator yang menghasilkan ukuran
konsisten sehingga hasil reliabilitas variabel pun cukup baik yaitu mencapai
angka 0,921.
Dimensi Kontestasi
No.
Kode
Koef.valid
Ket.
1
k1
0,550
Valid
2
k3
0,425
Valid
3
k5
0,501
Valid
4
k6
0,716
Valid
5
k7
0,667
Valid
6
k8
0,968
Valid
7
k10
0,643
Valid
8
k11
0,859
Valid
9
k12
0,380
Valid
10
k13
0,656
Valid
11
k14
0,578
Valid
12
k15
0,688
Valid
Koef.Rel
0,754
Ket.
Reliabel
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 15 item yang mencerminkan
kondisi kerawanan kontestasi pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, hanya
terdapat 12 indikator valid dengan nilai korelasi di atas 0,3 dan merupakan
kumpulan indikator yang menghasilkan ukuran konsisten sehingga hasil
reliabilitas variabel pun cukup baik yaitu mencapai angka 0,754.
50
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dimensi Partisipasi Politik
No.
Kode
Koef.valid
Ket.
1
pa1
0,494
Valid
2
pa3
0,565
Valid
3
pa4
0,977
Valid
4
pa5
0,889
Valid
5
pa6
0,753
Valid
6
pa7
0,772
Valid
7
pa8
0,782
Valid
8
pa9
0,645
Valid
9
pa10
0,689
Valid
10
pa11
0,440
Valid
11
pa12
0,350
Valid
12
pa13
0,954
Valid
13
pa14
0,652
Valid
14
pa16
0,632
Valid
15
pa17
0,371
Valid
16
pa20
0,368
Valid
Koef.Rel
0,817
Ket.
Reliabel
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 20 item yang mencerminkan kondisi
kerawanan partisipasi politik pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, hanya
terdapat 16 indikator valid dengan nilai korelasi di atas 0,3 dan merupakan
kumpulan indikator yang menghasilkan ukuran konsisten sehingga hasil
reliabilitas variabel pun cukup baik yaitu mencapai angka 0,817.
3.7. METODE ANALISIS INDEKS
IKP 2019 dihitung dengan menggunakan pendekatan kuantitatif
secara menyeluruh berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Konsep
yang digunakan adalah data driven, yaitu bahwa hasil indeks sangat
ditentukan oleh data yang ada di lapangan (Sharma, Mukherjee, Kumar, and
Dillon 2005). Formulasi perhitungan bobot dihitung secara hirarki dengan
kerangka CFA (Confirmatory Faktor Analysis), yang biasa digunakan untuk
menganalisis variabel unidimensional dari suatu variabel konstruk pada
analisis SEM (Structural Equation Modeling).
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
51
Beberapa justifikasi penggunaan CFA dalam analisis formulasi IKP
2019 adalah sebagai berikut: (a) data yang dikumpulkan di lapangan adalah
data indikatoryang tidak dapat diukur secara langsung melainkan hanya
bisa diukur dari indikator-indikator yang membentuknya, dan (b) data
yang sudah terkumpul adalah skala data biner (tipe jawaban ya dan tidak).
Dalam CFA telah banyak dikembangkan metode estimasi bobot model,
yang memungkinkan mendapatkan hasil bobot untuk skala data yang tidak
berdistribusi normal seperti Generalized Least Square, Scale free least
square, Asymptotically distribution free, serta pendekatan Bayesian. Untuk
data biner telah dikembangkan perhitungan polychoric correlation dan
asymptotic covariance matrices dalam CFA yang dalam aplikasinya telah
dikembangkan pada perangkat lunak Lisrel.
3.7.1. Kategorisasi
Tujuan akhir perhitungan IKP 2019 adalah mendapatkan gambaran
profil kerawanan Pemilu masing-masing kabupaten/kota. Nilai Indeks
yang didapatkan ditransformasi menjadi kategori yang mewakili tingkatan
kerawanan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Proses penentuan kategori
dilakukan dengan melihat distribusi atau sebaran indeks. Jika sebaran indeks
mengikuti distribusi normal, maka akan diambil ukuran berikut sebagai
threshold yaitu:
Tabel 3.7.1.1 Penentuan Kategori berdasarkan Interval Konfidensi
52
Indeks
Nilai Indeks
Kerawanan
< (Mean – 1.96* standard deviasi)
Rendah
Tinggi
Indeks < (Mean – 1.96* standard deviasi)
Sedang
Sedang
> (Mean – 1.96* standard deviasi)
Tinggi
Rendah
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
3.8. LIMITASI
Penyusunan IKP 2019 dilakukan secara serius dan hati-hati karena
skop kajiannya di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Oleh karena itu,
kajian ini perlu didesain sebaik mungkin agar menggambarkan kerawanan
di daerah yang diteliti. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kerawanan
yang nyata, maka mengidentifikasi limitasi menjadi penting, setidaknya,
dengan tujuan membuat kerangka batasan (framework of boundaries) agar
memahami batas-batas penyusunan IKP 2019 dan, yang terpenting, sebagai
pijakan perbaikan dan penyempurnaan IKP di masa mendatang. Beberapa
limitasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Penyusunan IKP 2019 berdasarkan konseptual untuk memahami
tingkat kerawanan Pemilu di Indonesia melalui keterkaitan antara Dimensi:
(i) Konteks Sosial-Politik, (ii) Penyelenggaraan yang Bebas dan Adil, (iii)
Kontesasi, serta (iv) Partisipasi. Variabel dan indikator IKP 2019 disusun
untuk menggambarkan keterkaitan tersebut dan memberi gambaran kondisi
kerawanan Pemilu di 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun,
dalam prosesnya IKP 2019 sangat mengandalkan data lapangan (data
driven) tanpa wawancara mendalam di setiap lokasi sampel. Implikasinya,
IKP 2019 mampu memberi proyeksi indikatif kerawanan Pemilu di daerah
sampel, tapi kurang memiliki daya penjelas untuk isu-isu yang lebih detail
dan kualitatif.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
53
Tantangan lain dalam penyusunan IKP 2019 adalah masalah teknis
pelaksanaan, seperti ketika pelatihan terhadap seluruh Kordiv. PHL. Bawaslu
Provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia yang memiliki kemampuan
teknologi informasi berbeda-beda. Dalam IKP 2019, Kordiv. PHL. tidak
hanya mengisi isian instrumen penelitian berdasar paper-based, tetapi juga
berdasar application-based. Masalah teknis berikutnya berkaitan dengan hal
sebelumnya yaitu memastikan input data dengan benar dan sesuai dengan
tenggat waktu yang ditentukan. Untuk itu dibutuhkan usaha lebih untuk
menyamakan tenggat penyelesaian IKP 2019 sebab pada pelaksanaannya
ada 17 kabupaten/kota yang tidak berhasil menyelesaikan pekerjaan tepat
pada waktunya.
54
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
55
56
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BAB 4
INDEKS
KERAWANAN
PEMILU 2019
DI INDONESIA
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
57
P
ada bab ini akan dibahas analisis data hasil survei nasional Badan
Pengawas Pemilihan Umum pada tahun 2018 yang berjudul “Indeks
Kerawanan Pemilu 2019” yang bertujuan untuk menganalisa rerata
skor Indeks Kerawanan Pemilu 2019 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia
dan seberapa besar pengaruh faktor-faktor ekstrinsik di setiap kabupaten/
kota secara bersama-sama terhadap tingkat Kerawanan Pemilu 2019 di
Indonesia. Dalam penelitian ini Indeks Kerawanan Pemilu 2019 (Y) diukur
terdiri dari 4 dimensi pengukuran, yaitu dimensi Konteks Sosial Politik (Y1),
Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil (Y2), Kontestasi (Y3), dan
Partisipasi (Y4). Analisis data hasil penelitian dilakukan secara statistik, baik
deskriptif maupun inferensial dengan struktur penyajian sebagai berikut:
1.
Model Pengukuran Variabel
1) Subdimensi Keamanan (Y11)
2) Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu (Y12)
3) Subdimensi Penyelenggara Negara (Y13)
4) Subdimensi Relasi Kuasa Lokal (Y14)
5) Dimensi Konteks Sosial Politik (Y1)
6) Subdimensi Hak Pilih (Y21)
7) Subdimensi Kampanye (Y22)
8) Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara (Y23)
9) Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu (Y24)
10)Subdimensi Pengawasan Pemilu (Y25)
11) Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil (Y2)
12) Subdimensi Hak Politik Terkait Gender (Y31)
13) Subdimensi Representasi Minoritas (Y32)
14)Subdimensi Proses Pencalonan (Y32)
15) Dimensi Kontestasi (Y3)
16) Subdimensi Partisipasi Pemilih (Y41)
17) Subdimensi Partisipasi Partai (Y42)
18) Subdimensi Partisipasi Kandidat (Y43)
19) Subdimensi Partisipasi Publik (Y44)
20)Dimensi Partisipasi Publik (Y44)
21) Variabel Indeks Kerawanan Pemilu 2019
58
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
2.
Model Persamaan Struktural (SEM)/Pengaruh Variabel Eksogen secara
bersama-sama terhadap Tingkat Kerawanan Pemilu 2019 di Indonesia.
3.
Analisis Klaster Pengelompokkan 514 kabupaten/kota berdasarkan
kesamaan karakteristik tingkat kerawanan setiap subdimensi penelitian.
Berikut disajikan hasil analisis data 514 kabupaten/kota di 34 Provinsi
di Indonesia yang diteliti pada bulan Agustus tahun 2018.
1.
MODEL PENGUKURAN VARIABEL
Dalam bab-bab sebelum telah diuraikan bahwa terdapat hal mendasar
yang membedakan pelaksanaan Pemilu 2019 dengan pelaksanaan Pemilu
sebelumnya, yaitu pelaksanaan Pemilu yang dilaksanakan serentak, baik
pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Hal ini jelas memberikan
dampak yang berbeda—baik dari segi pelaksanaan, situasi politik, kondisi
sosial masyarakat, pola-pola kampanye baik, menggunakan media masa
maupun media sosial—yang pasti akan menghasilkan situasi kerawanan
pada variasi dan tingkatan yang berbeda pula.
Oleh karena itu, pengukuran terhadap variabel yang diklasifikasikan
sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan Pemilu 2019 di
Indonesia sangat penting untuk dilakukan. Proses identifikasi secara
teoritik, konstruksi variabel menjadi instrumen serta pengujian validitas dan
reliabilitas harus dilakukan secara komprehensif agar menghasilkan suatu
pengukuran yang tepat dan tidak bias.
Pada penelitian ini terdapat dua variabel utama yang akan diuji
secara empiris yaitu variabel pengaruh (X) dan Indeks Kerawanan Pemilu
2019 (Y). Variabel pengaruh terdiri dari beberapa variabel bebas yang
merupakan kondisi sosial maupun politik suatu kabupaten/kota dan secara
teoritik (theoritical bridge) memiliki pengaruh terhadap tingkat kerawanan
pelaksanaan Pemilu. Sedangkan Indeks Kerawanan Pemilu 2019 (Y) diukur
terdiri dari 4 dimensi pengukuran, yaitu dimensi Konteks Sosial Politik (Y1),
Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil (Y2), Kontestasi (Y3), dan
Partisipasi (Y4). Dan masing-masing dimensi memiliki subdimensi serta
indikator yang diukur.
Indikator yang diukur akan menghasilkan skor sebagai penilaian tingkat
kerawanan subdimensi/dimensi. Oleh karena itu, dalam setiap analisisnya
akan dilihat indikator mana saja yang memiliki skor tinggi (> 66), sedang
(33 – 66 ), dan rendah (< 33) atau mungkin skor sangat rendah. Juga perlu
dilihat indikator mana yang merupakan faktor dominan yang membentuk
subdimensi/dimensi yang diukur sehingga dapat dirumuskan pola kebijakan
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
59
yang tepat dalam menurunkan situasi rawan ini agar mencapai kategori
pelaksanaan Pemilu yang optimal.
Untuk mengetahui indikator dominan yang dimaksud, dilakukan pengujian secara multivariat dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dan Structural Equation Modeling (SEM) sebab dimensi/subdimensi yang akan diukur merupakan variabel yang tidak bisa diukur secara
langsung (laten). Pengujian tersebur memiliki 2 fungsi utama yaitu:
-
Apakah model pengukuran dari dimensi/subdimensi sudah tepat?
(Apakah keseluruhan indikator sudah mampu merefleksikan dimensi/
subdimensi tersebut?)
-
Indikator mana yang merupakan indikator dominan dari dimensi/
subdimensi tersebut?
Suatu Model Persamaan Pengukuran suatu variabel dalam analisis
indikator dikatakan fit atau cocok dengan data, jika memenuhi kriteria uji
sebagai berikut:
-
Nilai statistik inferensi Chi square cukup kecil yaitu < 2 df (degred of
freedom)
-
Nilai p-value Chi square cukup besar yaitu > 0,05 atau mendekati 1
-
Nilai Statistik deskriptif RMSEA < 0,08
Hipotesis :
H 0 : Σ = Σ (θ) (Model persamaan struktural fit dengan data)
H 1 : Σ ≠ Σ (θ) (Model persamaan struktural tidak fit dengan data)
Kriteria Uji :
Terima hipotesis H0 pada taraf signifikan α jika kriteria uji di atas
terpenuhi.
Kesimpulan :
Jika H0 diterima, maka model persamaan struktural fit dengan data
Jika H0 ditolak, maka model persamaan struktural tidak fit dengan data.
60
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dari hasil try out dan primary survey yang dilakukan oleh tim peneliti,
didapatkan hasil analisis data secara deskriptif maupun inferensial untuk
seluruh variabel yang diteliti sebagai berikut:
4.1. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI KEAMANAN
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Keamanan dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia sebagai
berikut:
Tabel 4.1.1 Subdimensi Keamanan
Subdimensi Keamanan
Kerawanan Tinggi
Kerawanan Sedang
Kerawanan Rendah
Total
Jumlah
19
495
0
514
%
3,70
96,30
0,00
100,00
Gambar 4.1.1 Subdimensi Keamanan
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.1.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Keamanan dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi
di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar dari total
514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten/kota yang
memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Keamanan yang
berada pada kategori Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
61
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 495 kabupaten dan kota
(96,30%) memiliki skor kerawanan dimensi terkait Keamanan yang berada pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 19 kabupaten/kota (3,70%) lain
memiliki skor tingkat keamanan yang berada pada kategori Kerawanan
Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi Keamanan, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat
diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1.2 Rerata Skor Total Subdimensi Keamanan
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Subdimensi
Keamanan
44,42
Simpangan
Baku
3,73
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
44,5
Signifikan
33,33
Tidak
Signifikan
Subdimensi
Keamanan
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
45,0
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi
Keamanan secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai
nilai rerata sebesar 44,42 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata
skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 3,73 maka skor total
dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di
angka 44,5 adapun di atas itu, misal di angka 45,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 44,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
keamanan signifikan di angka 44,5 yang berarti kerawanan Pemilu 2019
terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Keamanan Memiliki Tingkat
Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
62
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Subdimensi Keamanan terdiri dari beberapa indikator penelitian,
antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya kerusuhan/kekerasan (berbasis agama/
budaya/suku/kelas/etnis) dalam setahun terakhir
40,05
0,298
2
Adanya kekerasan fisik pada penyelenggara
42,24
0,329
3
Adanya pemberitaan di media tentang keksus
kekerasan non fisik pada penyelenggara
44,80
0,538
4
Adanya pemberitaan di media tentang kasus
kekerasan non fisik pada antarpeserta/calon
37,48
0,613
5
Adanya kekerasan non fisik pada antarpemilih
46,64
0,248
6
Adanya pemberitaan di media tentang kasus
kekerasan fisik pada antarpemilih
47,08
0,455
7
Adanya pemberitaan di media tentang kasus
kekerasan non fisik pada antarpemilih
47,53
0,650
8
Adanya kasus perusakan/penghilangan fasilitas public
47,64
0,554
9
Adanya pemberitaan di media tentang kasus
perusakan/penghilangan fasilitas publik
49,19
0,673
10
Adanya laporan kepada pihak kepolisian tentang kasus perusakan/penghilangan fasilitas
publik
46,08
0,262
11
Adanya pemberitaan di media tentang kasus
perusakan/penghilangan fasilitas nonpublik
40,73
0,587
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikatorindikator Subdimensi Keamanan menggunakan software Lisrel 8,72 dapat
dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
63
Gambar 4.1.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori dari
Subdimensi Laten Keamanan
Adanya kerusuhan/kekerasan (berbasis
agamabudaya/suku/ kelas/etnis) dalam
setahun terakhir (40,054)
0,29
Adanya pemberitaan di media
tentang kasus kekerasan non fisik
pada antarpeserta/calon (37,48)
Adanya pemberitaan di media
tentang kasus perusakan/penghilangan fasilitas publik (49,19)
0,613
0,673
Keamanan
Adanya kasus perusakan/
penghilangan fasilitas publik
(47,64)
Adanya pemberitaan di media
tentang kasus kekerasan nonfisik
pada antarpemilih (47,53)
0,554
0,650
0,455
Adanya kerusuhan/kekerasan (berbasis
agamabudaya/suku/ kelas/etnis) dalam
setahun terakhir (40,054)
Tabel 4.1.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan
Analisis Faktor Konfirmatori Subdimensi Keamanan
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
dalam Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
64
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-11 indikator subdimensi
Keamanan mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Keamanan merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai
signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960
sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti
seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk subdimensi
Keamanan.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya pemberitaan di media tentang
kasus perusakan/penghilangan fasilitas publik dan Adanya pemberitaan di
media tentang kasus kekerasan non fisik pada antarpemilih, sebab kedua
indikator ini merupakan faktor yang paling dominan. Dengan kata lain, jika
waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu untuk menurunkan
potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara
dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi keamanan di
masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai
berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
65
ambar 4.1.3 Diagram Skor Subdimensi Keamanan 34 Provinsi di Indonesia
Keamanan
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
39,29
40,55
42,86
45,45
44,05
40,48
47,09
52,01
45,45
47,14
45,38
43,55
47,77
43,04
43,06
45,40
49,01
43,12
44,17
42,59
40,83
39,29
43,83
43,54
42,35
52,86
43,40
55,24
41,26
41,27
43,17
39,88
45,00
46,95
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00
Skor Nasional 44,42
66
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.2. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
OTORITAS PENYELENGGARA PEMILU
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu dari 514 kabupaten/kota
se-Indonesia sebagai berikut:
Tabel 4.2.1 Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.2.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu dari 514 kabupaten/kota yang
tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa
sebagian besar dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan
kabupaten dan kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait
Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu yang berada pada kategori
Kerawanan Sedang.
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 507 kabupaten/kota (98,64%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait otoritas penyelenggara Pemilu
yang berada pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 7 kabupaten/kota (1,36%)
lain memiliki skor tingkat otoritas penyelenggara Pemilu yang berada pada
kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Otoritas penyelenggara Pemilu, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata
agar dapat diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai
nilai toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
67
standar kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak
perlu diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2.2 Rerata Skor Total Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Subdimensi
Otoritas
Penyelen
gara Pemilu
45,68
Simpangan
Baku
3,14
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
45,5
Signifikan
33,33
Tidak
Signifikan
Subdimensi
Otoritas
Penyelenggara Memiliki Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
46,0
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi
otoritas penyelenggara Pemilu secara real dari 514 kabupaten dan kota
yang diteliti mencapai nilai rerata sebesar 45,68 dengan simpangan baku
(penyimpangan rerata skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar
3,14 maka skor total dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0)
ternyata signifikan di angka 45,5 adapun di atas itu, misal di angka 46,0
diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 45,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi otoritas
penyelenggara Pemilu signifikan di angka 45,5 yang berarti kerawanan
Pemilu 2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Otoritas
Penyelenggara Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek otoritas penyelenggara
Pemilu yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih
berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu terdiri dari beberapa
indikator penelitian, antara lain:
68
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Putusan DKPP - Netralitas tingkat Kab/Kota
51,00
0,403
2
Adanya laporan terkait Keputusan Penyelenggara
yang menguntungkan salah satu peserta
47,97
0,306
3
Adanya pemberitaan di media terkait keberpihakan penyelenggara
46,50
0,422
4
Adanya laporan hukum terkait keputusan penyelenggara
47,73
0,465
5
Adanya laporan terkait kasus hukum anggota
penyelenggara
38,26
0,299
6
Putusan DKPP -Profesionalitas tingkat Kab / Kota
54,04
0,390
7
adanya Teguran Bawaslu
52,46
0,307
8
Terdapat dokumen koreksi keputusan penyelenggara dari lembaga di atasnya
46,30
0,110
9
Putusan DKPP -Profesionalitas tingkat Kab / Kota
46,19
0,349
10
Teguran Bawaslu Kab/Kota tentang penyalahgunaan wewenang
41,15
0,349
11
Teguran Bawaslu tentang penayalahgunaan wewenang
39,45
0,358
12
adanya laporan pengaduan masyarakat tentang
penyalahgunaan wewenang
43,46
0,381
13
adanya pemberitaan di media tentang penyalahgunaan wewenang
46,13
0,385
14
Adanya Surat Keputusan pemberhentian anggota
penyelenggara karena kasus disiplin
44,80
0,334
15
Adanya dokumen Sanksi Administrasi yang diberikan terhadap anggota penyelenggara
47,84
0,336
16
Adanya dokumen Surat Peringatan internal
penyelengara
48,57
0,324
17
Adanya dokumen laporan Bawaslu tentang pelanggaran disiplin penyelenggara
44,55
0,420
18
Adanya dokumen teguran DKPP terhadap pelanggaran disiplin penyelenggara
44,55
0,420
19
Adanya pengaduan masyarakat terhadap pelanggaran disiplin penyelenggara
46,53
0,316
20
Adanya lebih dari 2 dokumen Keputusan yang
meralat keputusan sebelumnya pada kasus atau
masalah yang sama
38,84
0,136
21
Adanya pernyataan anggota penyelenggara di
media massa yang berbeda atau saling bertentangan satu sama lain
41,63
0,333
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
69
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu menggunakan software Lisrel
8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.2.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Otoritas Penyelenggara Pemilu
Putusan DKPP - Netralitas
tingkat Kab/Kota (51,00)
0,403
Adanya pemberitaan di
media terkait keberpihakan
penyelenggara (46,50)
Adanya dokumen teguran
DKPP terhadap pelanggaran
disiplin penyelenggara (44,55)
0,420
Adanya dokumen laporan
Bawaslu tentang pelanggaran
disiplin penyelenggara (44,55)
Otoritas
Penyelenggara
Pemilu
0,422
Adanya laporan hukum
terkait keputusan
penyelenggara (47,73)
0,465
0,420
0,390
Putusan DKPP Profesionalitas tingkat
Kab / Kota (54,04)
Tabel 4.1.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
70
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-21 indikator subdimensi
Otoritas Penyelenggara Pemilu mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Otoritas Penyelenggara Pemilu merupakan faktor yang signifikan, hal ini
disebabkan nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung >
Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan
H0 ditolak yang berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan
membentuk subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya laporan hukum terkait keputusan
penyelenggara dan Adanya pemberitaan di media terkait keberpihakan
penyelenggara, sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling
dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara
Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di
Indonesia, maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua
indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Otoritas
Penyelenggara Pemilu di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia,
disajikan diagram sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
71
Gambar 4.2.3 Diagram Skor Subdimensi Otoritas
Penyelenggara
34 Provinsi
diOtoritas
Indonesia
Gambar 4.2.3 Pemilu
Diagram Skor
Subdimensi
Penyelenggara Pemilu 34 Provinsi di Indonesia
Otoritas Penyelenggara Pemilu
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
39,16
40,57
46,33
49,12
49,57
44,43
48,65
51,67
47,97
52,05
51,17
46,01
45,53
47,87
47,59
46,22
47,39
44,39
47,83
41,23
47,53
42,86
45,11
44,02
43,76
44,34
43,15
42,89
42,86
41,77
44,22
43,00
45,58
47,41
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00
50,00 60,00
Skor Nasional 45,68
72
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.3. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PENYELENGGARA NEGARA
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori untuk
subdimensi Penyelenggara Negara dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.3.1 Subdimensi Penyelenggara Negara
Subdimensi Penyelenggara Negara
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
1
0,19
Kerawanan Sedang
513
99,81
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.3.1 Subdimensi Penyelenggara Negara
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.3.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Penyelenggara Negara dari 514 kabupaten/kota yang tersebar
di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten
dan kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi
Penyelenggara Negara yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
73
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 513 kabupaten/kota (99,81%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Penyelenggara Negara yang berada
pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 1 kabupaten/kota (0,19%) lain memiliki
skor tingkat Penyelenggara Negara yang berada pada kategori Kerawanan
Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Penyelenggara Negara, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar
dapat diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.3.2 Rerata Skor Total Subdimensi Penyelenggara Negara
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Subdimensi
Penyelenggara Negara
44,30
Simpangan
Baku
2,29
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
44,5
Signifikan
33,33
Tidak
Signifikan
Subdimensi Penyelenggara
Negara
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
45,0
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Penyelenggara Negara secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai nilai rerata sebesar 44,30 dengan simpangan baku (penyimpangan
rerata skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 2,29 maka skor
total dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka 44,5 adapun di atas itu, misal di angka 45,0 diketahui tidak
signifikan.
Dengan signifikan di angka 44,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
74
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Penyelenggara Negara signifikan di angka 44,5 yang berarti kerawanan
Pemilu 2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Penyelenggara
Negara Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Penyelenggara
Negara yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih
berada pada kategori Sedang (33,33-66,66).
Subdimensi Penyelenggara Negara terdiri dari beberapa indikator penelitian, antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya kasus tidak netralnya ASN
74,34
0,572
2
Adanya laporan terkait tidak netralnya ASN
63,04
0,596
3
Adanya pemberitaan di media massa terkait tidak
netralnya ASN
69,43
0,570
4
Adanya kasus tidak netralnya Polri
44,75
0,158
5
Adanya laporan terkait tidak netralnya Polri
43,52
0,283
6
Adanya pemberitaan di media massa terkait tidak
netralnya Polri
45,08
0,373
7
Adanya kasus tidak netralnya TNI
37,99
0,271
8
Adanya laporan terkait tidak netralnya TNI
37,99
0,173
9
Adanya pemberitaan di media massa terkait tidak
netralnya TNI
37,86
0,270
10
Adanya kasus intimidasi oleh POLRI
37,86
0,043
11
Adanya laporan terkait intimidasi oleh POLRI
37,62
0,092
12
Adanya pemberitaan di media massa terkait intimidasi oleh POLRI
38,47
0,368
13
Adanya kasus intimidasi oleh TNI
37,74
0,315
14
Adanya laporan terkait intimidasi oleh TNI
37,74
0,324
15
Adanya pemberitaan di media massa terkait intimidasi oleh TNI
37,74
0,307
16
Adanya kasus intimidasi oleh Petugas Birokrasi
37,09
0,553
17
Adanya laporan terkait intimidasi oleh petugas
birokrasi
37,48
0,527
18
Adanya pemberitaan di media massa terkait intimidasi oleh petugas birokrasi
46,64
0,534
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
75
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikatorindikator Subdimensi Penyelenggara Negara menggunakan software Lisrel
8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.3.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Penyelenggara Negara
Adanya kasus tidak
netralnya ASN (74,34)
0,572
Adanya laporan terkait tidak
netralnya ASN (63,04)
Adanya pemberitaan di media
massa terkait intimidasi oleh
petugas birokrasi (46,64)
0,596
0,534
Adanya laporan terkait
intimidasi oleh petugas
birokrasi (37,48)
Penyelenggara
Negara
Adanya pemberitaan di media
massa terkait tidak netralnya
ASN (69,43)
570
0,527
0,553
Adanya kasus intimidasi oleh
Petugas Birokrasi (37,09)
Tabel 4.1.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Penyelenggara Negara
76
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
dalam Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-18 indikator subdimensi
Penyelenggara Negara mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Penyelenggara Negara merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan
nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) =
1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang
berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk
subdimensi Penyelenggara Negara.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya laporan terkait tidak netralnya
ASN dan Adanya kasus tidak netralnya ASN, sebab kedua indikator ini
merupakan faktor yang paling dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan
biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi
kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara Pemilu
dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Penyelenggara
Negara di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram
sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
77
Gambar 4.3.3 Diagram Skor Subdimensi Penyelenggara
Gambar Negara
4.3.3 Diagram
Skor Subdimensi
Penyelenggara
34 Provinsi
di Indonesia
Negara 34 Provinsi di Indonesia
Penyelenggara Negara
38,70
41,13
42,20
44,23
44,68
43,79
43,80
46,37
45,13
48,72
47,18
46,10
46,25
45,61
44,21
46,38
46,81
44,22
47,45
41,92
45,96
42,88
42,57
44,43
42,55
41,84
44,07
47,94
44,38
39,95
43,95
42,82
45,96
42,06
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
0,00
10,00
20,00
30,00 40,00
50,00
Skor Nasional 44,30
78
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.4. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
RELASI KUASA DI TINGKAT LOKAL
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) dari
514 kabupaten/kota se-Indonesia sebagai berikut:
Tabel 4.4.1 Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal
Subdimensi Relasi kuasa di tingkat lokal
f
%
Kerawanan Tinggi
29
5,64
Kerawanan Sedang
176
34,24
Kerawanan Rendah
309
60,12
Total
514
100,00
Gambar 4.4.1 Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.4.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) dari 514
kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisi
menunjukkan bahwa sebagian besar dari total 514 kabupaten/kota seluruh
Indonesia merupakan kabupaten dan kota yang memiliki tingkat kerawanan
Pemilu terkait Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal)
yang berada pada kategori Kerawanan Rendah.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
79
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 309 kabupaten/kota (60,12%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Relasi Kuasa di Tingkat Lokal
(Aktor Politik Lokal) yang berada pada kategori RENDAH. Kemudian 176
kabupaten/kota (34,24%) lain memiliki skor tingkat Relasi Kuasa di Tingkat
Lokal (Aktor Politik Lokal) yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
Akan tetapi, 29 kabupaten/kota (5,64%) lain memiliki skor tingkat Relasi
Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) yang berada pada kategori
Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal), dilakukan pengujian
statistik Uji 1 rata-rata agar dapat diketahui apakah skor total subdimensi
tersebut telah mencapai nilai toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off)
oleh Bawaslu sebagai standar kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori
kerawanan yang tidak perlu diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.4.2 Rerata Skor Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Subdimensi
Relasi
kuasa
di tingkat
lokal
38,46
Simpangan
Baku
4,47
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
38,5
Signifikan
33,33
39,0
Tidak
Signifikan
Subdimensi Relasi
Kuasa Lokal Memliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Relasi
Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) secara real dari 514 kabupaten
dan kota yang diteliti mencapai nilai rerata sebesar 38,46 dengan simpangan
baku (penyimpangan rerata skor setiap responden terhadap rata-rata)
sebesar 4,47 maka skor total dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata
(µ0) ternyata signifikan di angka 38,5 adapun di atas itu, misal di angka 39,0
80
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 44,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) signifikan di angka 38,5
yang berarti kerawanan Pemilu 2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada
Subdimensi Relasi Kuasa Lokal Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus
Diwaspadai (> 33)”.
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Relasi Kuasa di
Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) yang perlu diwaspadai meskipun tingkat
kerawanannya masih berada pada kategori Sedang (33-66).
Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) terdiri
dari beberapa indikator penelitian, antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya kekerabatan politik/dinasti ditingkat
Kab/Kota
45,91
0,654
2
Adanya tokoh/kelompok dominan (tokoh
agama/etnis/) ditingkat Kab/Kota
44,49
0,720
3
Adanya tokoh/kelompok bisnis dominan
ditingkat Kab/Kota
49,97
0,665
4
adanya mobilisasi dengan menggunakan
ancaman/intimidasi
38,00
0,554
5
Adanya mobilisasi dengan menggunakan
politik uang
46,30
0,694
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) menggunakan
software Lisrel 8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
81
Gambar 4.4.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Relasi Kuasa di Tingkat Lokal
Adanya kekerabatan politik/dinasti
itingkat Kab/Kota (45,91)
0,654
Adanya tokoh/kelompok
dominan (tokoh agama/etnis/)
ditingkat Kab/Kota (44,49)
0,720
Adanya mobilisasi dengan
menggunakan politik uang
(46,30)
Aktor Politik
Lokal
Adanya tokoh/kelompok
bisnis dominan ditingkat
Kab/Kota 49,97)
0,66
0,694
0,554
Adanya mobilisasi dengan menggunakan
ancaman/intimidasi (38,00)
Tabel 4.1.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal)
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0,08 yang menurut Brown dan Cudeck
dalam Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-5 indikator subdimensi
Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) mendekati baik atau fit
dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
82
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Relasi Kuasa di Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) merupakan faktor yang
signifikan, hal ini disebabkan nilai signifikasi factor loading lambda yang
disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya
diambil keputusan H0 ditolak yang berarti seluruh indikator merupakan
faktor yang signifikan membentuk subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal
(Aktor Politik Lokal).
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya tokoh/kelompok dominan
(tokoh agama/etnis/) ditingkat Kab/Kota dan Adanya mobilisasi dengan
menggunakan politik uang, sebab kedua indikator ini merupakan faktor
yang paling dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki
penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan
Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara Pemilu dapat mendahulukan
penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Relasi Kuasa di
Tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal) di masing-masing provinsi di seluruh
Indonesia, disajikan diagram sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
83
Gambar 4.4.3 Diagram Skor Subdimensi Relasi Kuasa di
4.3.3 Diagram
Skor
Subdimensi
Penyelenggara
TingkatGambar
Lokal (Aktor
Politik
Lokal)
34 Provinsi
di Indonesia
Negara 34 Provinsi di Indonesia
Penyelenggara Negara
38,70
41,13
42,20
44,23
44,68
43,79
43,80
46,37
45,13
48,72
47,18
46,10
46,25
45,61
44,21
46,38
46,81
44,22
47,45
41,92
45,96
42,88
42,57
44,43
42,55
41,84
44,07
47,94
44,38
39,95
43,95
42,82
45,96
42,06
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
0,00
10,00
20,00
30,00 40,00
50,00
Skor Nasional 44,30
84
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.5. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN DIMENSI
KONTEKS SOSIAL-POLITIK
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk Dimensi Konteks Sosial-Politik dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.5.1 Dimensi Konteks Sosial-Politik
Dimensi Konteks Sosial Politik
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
3
0,58
Kerawanan Sedang
511
99,42
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.5.1 Dimensi Konteks Sosial-Politik
Dimensi Konteks Sosial Politik
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.5.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap Dimensi
Konteks Sosial-Politik dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi
di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar dari total
514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten/kota yang
memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Dimensi Konteks Sosial-Politik
yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
85
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 511 kabupaten/kota (99,42%)
memiliki skor kerawanan Dimensi Konteks Sosial-Politik yang berada pada
kategori SEDANG. Akan tetapi, 3 kabupaten/kota (0,58%) lain memiliki skor
tingkat Konteks Sosial-Politik yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Dimensi
Konteks Sosial-Politik, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar
dapat diketahui apakah skor total dimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.5.2 Rerata Skor Total Dimensi Konteks Sosial-Politik
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Dimensi
Konteks
Sosial
Politik
44,89
Simpangan
Baku
2,54
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
45,0
Signifikan
33,33
45,5
Tidak
Signifikan
Dimensi
Konteks
Sosial
Politik
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Dimensi Konteks
Sosial-Politik secara real dari 514 kabupaten/kota yang diteliti mencapai
nilai rerata sebesar 44,89 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata
skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 2,54 maka skor total
dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan
di angka 45,0 adapun di atas itu, misal di angka 45,5 diketahui tidak signifikan.
86
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dengan signifikan di angka 45,0 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total Dimensi Konteks
Sosial-Politik signifikan di angka 45,0 yang berarti kerawanan Pemilu 2019
terkait Konteks Sosial-Politik pada Dimensi Konteks Sosial Politik Memiliki
Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33)”.
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat yang perlu diwaspadai meskipun
tingkat kerawanannya masih berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Dimensi Konteks Sosial-Politik terdiri dari beberapa subdimensi penelitian, antara lain:
No.
Sub Dimensi
Skor
Korelasi
1
Keamanan
44,42
0,706
2
Otoritas Penyelenggaraan Pemilu
45,68
0,750
3
Penyelenggara Negara
44,30
0,703
4
Relasi Kuasa di tingkat Lokal (Aktor Politik Lokal)
38,46
0,693
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari subdimensisubdimensi pada Dimensi Konteks Sosial-Politik menggunakan software
Lisrel 8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.4.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Dimensi Konteks Sosial-Politik
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
87
Tabel 4.4.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis
Faktor Konfirmatori Dimensi Konteks Sosial-Politik
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
dalam Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 subdimensi dari
Dimensi Konteks Sosial-Politik mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh subdimensi pada Dimensi
Konteks Sosial-Politik merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan
nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) =
1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang
berarti seluruh subdimensi merupakan faktor yang signifikan membentuk
Dimensi Konteks Sosial-Politik.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada Dimensi Konteks Sosial-Politik
514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus
menurunkan tingkat kerawanan dari seluruh subdimensi yang ada, dengan
tentunya mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu subdimensi.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari subdimensi yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu subdimensi Otoritas Penyelengggara Pemilu dan
Keamanan, sebab kedua subdimensi ini merupakan faktor yang paling
dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara
Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka
penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua subdimensi di
atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan Dimensi Konteks SosialPolitik di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram
sebagai berikut:
88
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.5.3 Diagram Skor Dimensi Konteks Sosial-Politik
34 Provinsi
di Indonesia
Gambar 4.5.3 Diagram
Skor Dimensi
Konteks Sosial-Politik
34 Provinsi di Indonesia
Kondisi Sosial Politik
39,14
40,19
44,10
46,63
46,05
42,86
46,44
49,84
46,69
49,06
47,84
45,26
46,81
46,37
44,82
46,34
48,04
43,87
47,00
41,24
45,44
41,99
44,09
44,04
43,07
44,98
43,88
48,25
42,87
40,86
44,01
42,74
46,74
44,86
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
0,00
10,00
20,00
30,00 40,00
50,00
Skor Nasional 44
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
89
4.6. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
HAK PILIH
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Hak Pilih dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia sebagai
berikut:
Tabel 4.6.1 Subdimensi Hak Pilik
Hak Pilih
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
220
42,80
Kerawanan Sedang
294
57,20
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.6.1 Subdimensi Hak Pilik
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.6.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap Subdimensi Hak Pilih dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi di
Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar dari total 514
kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten dan kota yang
memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Hak Pilih yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 294 kabupaten/kota (57,20%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Hak Pilih yang berada pada
kategori SEDANG. Akan tetapi, 220 kabupaten/kota (42,80%) lain memiliki
90
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
skor tingkat Hak Pilih yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Hak Pilih, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat diketahui
apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai toleransi maksimal
yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar kondisi daerah yang
masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu diwaspadai, disajikan
tabel sebagai berikut:
Tabel 4.6.2 Rerata Skor Total Subdimensi Hak Pilik
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Hak Pilih
67,41
Simpangan
Baku
6,38
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
67,5
Signifikan
33,33
68,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Keamanan
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Hak
Pilih secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai nilai
rerata sebesar 67,41 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata skor
setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 6,38 maka skor total dugaan
terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka
67,5 adapun di atas itu, misal di angka 68,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 67,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi Hak Pilih
signifikan di angka 67,5 yang berarti kerawanan Pemilu 2019 terkait Konteks
Sosial-Politik pada Subdimensi Hak Pilih Memiliki Tingkat Kerawanan Yang
Harus Diwaspadai (> 33)”.
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Hak Pilih yang perlu
diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada kategori
Sedang (33 – 66).
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
91
Subdimensi Hak Pilih terdiri dari beberapa indikator penelitian, antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya laporan/temuan terkait pemilih yang memenuhi syarat tetapi tidak terdaftar dalam DPT
66,648
0,930
2
Adanya laporan/temuan terkait pemilih yang
tidak memiliki KTP-el
72,140
0,734
3
Adanya laporan/temuan terkait pemilih yang
73,541
tidak memenuhi syarat tetapi terdaftar dalam DPT
0,793
4
adanya mobilisasi dengan menggunakan ancaman/intimidasi
73,541
0,793
5
Tidak adanya kordinasi petugas KPU dengan
Disdukcapil setempat terkait Daftar Pemilih
61,401
0,114
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Hak Pilih menggunakan software Lisrel 8,72 dapat dilihat pada
tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.6.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Hak Pilih
Adanya laporan/temuan terkait
pemilih yang memenuhi syarat tetapi
tidak terdaftar dalam DPT (66,65)
0,930
Adanya laporan/temuan
terkait pemilih yang tidak
memiliki KTP-el (72,14)
Otoritas
Penyelenggara
Pemilu
0,734
Adanya laporan/temuan
terkait pemilih yang tidak
memenuhi syarat tetapi
terdaftar dalam DPT (73,54)
0,793
0,114
Tidak adanya kordinasi petugas KPU
dengan Disdukcapil setempat terkait
Daftar Pemilih (61,40)
92
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Tabel 4.6.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan
Analisis Faktor Konfirmatori Subdimensi Hak Pilih
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
dalam Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 indikator subdimensi
Hak Pilih mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Hak Pilih merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai signifikasi
factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga
dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti seluruh
indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk subdimensi Hak
Pilih.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya laporan/temuan terkait pemilih
yang memenuhi syarat tetapi tidak terdaftar dalam DPT dan Adanya laporan/
temuan terkait pemilih yang tidak memenuhi syarat tetapi terdaftar dalam
DPT, sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling dominan.
Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu
untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia,
maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator
di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Hak Pilih di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
93
Gambar 4.6.3 Diagram Skor Subdimensi Hak Pilih 34
Provinsi di Indonesia
94
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.7. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI KAMPANYE
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Kampanye dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia sebagai
berikut:
Tabel 4.7.1 Subdimensi Kampanye
Kampanye
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
76
14,79
Kerawanan Sedang
438
85,21
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Tabel 4.7.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Kampanye dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34
provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten dan
kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Kampanye
yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 438 kabupaten/kota (85,21%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Kampanye yang berada pada
kategori SEDANG. Akan tetapi, 76 kabupaten/kota (14,79%) lain memiliki
skor tingkat Kampanye yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Kampanye, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat diketahui
apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai toleransi maksimal
yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar kondisi daerah yang
masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu diwaspadai, disajikan
tabel sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
95
Tabel 4.7.2 Rerata Skor Total Subdimensi Kampanye
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Kampanye
60,42
Simpangan
Baku
1,80
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
60,5
Signifikan
33,33
61,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Kampanye
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi
Kampanye secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai
nilai rerata sebesar 60,42 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata
skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 1,80 maka skor total
dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di
angka 60,5 adapun di atas itu, misal di angka 61,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 60,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Kampanye signifikan di angka 60,5 yang berarti kerawanan Pemilu 2019
terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Kampanye Memiliki Tingkat
Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33)”.
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Kampanye yang
perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada
kategori Sedang (33 – 66).
Kampanye terdiri dari beberapa indikator penelitian, antara lain:
No.
96
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya pemberitaan di media massa tentang
kampanye di luar jadwal
70,195
0,478
2
Adanya laporan masyarakat tentang kampanye
di luar jadwal
65,603
0,474
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
3
Adanya laporan masyarakat tentang iklan kampanye di luar jadwal
4
Adanya temuan Bawaslu tentang materikampa44,969
nye bersifat SARA
0,358
5
Adanya laporan masyarakat tentang materi
kampanye bersifat SARA
60,856
0,239
6
Adanya pemberitaan di media massa tentang
materi kampanye yang mengandung ujaran
kebencian
62,179
0,329
7
Adanya laporan masyarakat tentang materi
kampanye yang mengandung ujaran kebencian
62,646
0,249
8
Adanya temuan Bawaslu tentang praktik
penyebaran hoaks terkait Pemilu
45,192
0,371
9
Adanya pemberitaan di media massa tentang
praktikpenyebaran hoaks terkait Pemilu
64,047
0,389
10
Adanya laporan masyarakat tentang parktik
penyebaran hoaks terkait Pemilu
61,323
0,248
11
Adanya pemberitaan di media massa tentang
praktik politik uang
72,374
0,525
12
Adanya temuan Bawaslu tentang penggunaan
fasilitas negara dalam kampanye oleh peserta
Pemilu
66,226
0,421
13
Adanya pemberitaan di media massa tentang
penggunaan fasilitas negara dalam kampanye
oleh peserta Pemilu
66,148
0,452
14
Adanya laporan masyarakat tentang penggunaan fasilitas negara dalam kampanye oleh
peserta Pemilu
48,193
0,556
15
Adanya temuan Bawaslu tentang konflik antarpeserta dan antarpendukung
62,568
0,372
16
Adanya pemberitaan di media massa tentang
konflik antarpeserta dan antarpendukung
66,381
0,506
17
Adanya laporan masyarakat tentang konflik
antarpeserta dan antarpendukung
61,946
0,350
18
Laporan dana kampanye yang tidak sesuai jum60,778
lah dan peruntukan
61,401
0,274
-0,004
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
97
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator Subdimensi Kampanye menggunakan software Lisrel 8,72 dapat dilihat
pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.7.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori dari
Subdimensi Laten Kampanye
Adanya pemberitaan
di media massa tentang kampanye
di luar jadwal (70,19
0,478
Adanya pemberitaan di media massa
tentang konflik antarpeserta dan
antarpendukung (66,38)
0,506
Kampanye
Adanya laporan masyarakat
tentang penggunaan fasilitas
negara dalam kampanye oleh
peserta Pemilu (48,19)
0,556
0,525
Adanya pemberitaan di media massa
tentang praktik politik uang (73,37)
Tabel 4.7.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis
Faktor Konfirmatori Subdimensi Kampanye
98
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good Fit,
hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck dalam
Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi, menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 indikator subdimensi Kampanye mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Kampanye merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti seluruh
indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk subdimensi Kampanye.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya laporan masyarakat tentang penggunaan fasilitas negara dalam kampanye oleh peserta Pemilu dan Adanya
pemberitaan di media massa tentang praktik politik uang, sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling dominan. Dengan kata lain, jika
waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara
dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Kampanye di
masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai
berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
99
Gambar 4.7.3 Diagram Skor Subdimensi Kampanye 34
Provinsi di Indonesia
Skor Nasional 60,42
100
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.8. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PELAKSANAAN PEMUNGUTAN SUARA
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara dari 514 kabupaten/kota
se-Indonesia sebagai berikut:
Tabel 4.8.1 Subdimensi Pemungutan Suara
Pelaksanaan Pemungutan Suara
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
22
4,28
Kerawanan Sedang
492
95,72
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.8.1 Subdimensi Pemungutan Suara
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.8.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara dari 514 kabupaten/kota yang
tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa
sebagian besar dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan
kabupaten dan kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait
Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara yang berada pada kategori
Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
101
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 492 kabupaten/kota (95,72%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Pelaksanaan Pemungutan Suara
yang berada pada kategori SEDANG. Akan tetapi,, 22 kabupaten/kota
(4,28%) lain memiliki skor tingkat Pelaksanaan Pemungutan Suara yang
berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Pelaksanaan Pemungutan Suara, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata
agar dapat diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai
nilai toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai
standar kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak
perlu diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.8.2 Rerata Skora Total Subdimensi Pemungutan Suara
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Pelaksanaan
Pemungutan
Suara
50,34
Simpangan
Baku
3,39
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
50,5
Signifikan
33,33
51,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Pelaksanaan
Pemungutan
Suara
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi
Pelaksanaan Pemungutan Suara secara real dari 514 kabupaten dan kota
yang diteliti mencapai nilai rerata sebesar 50,34 dengan simpangan baku
(penyimpangan rerata skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar
3,33 maka skor total dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0)
ternyata signifikan di angka 50,5 adapun di atas itu, misal di angka 51,0
diketahui tidak signifikan.
102
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dengan signifikan di angka 50,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Pelaksanaan Pemungutan Suara signifikan di angka 51,0 yang berarti
kerawanan Pemilu 2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi
Pelaksanaan Pemungutan Suara Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus
Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Pelaksanaan
Pemungutan Suara yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya
masih berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara terdiri dari beberapa
indikator penelitian, antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Distribusi logistik terlambat dan mengganggu
tahapan
62,179
0,218
2
Terdapat temuan/laporan terkait logistik tidak
sesuai dengan spesifikasinya
62,568
0,235
3
Terdapat laporan Bawaslu dan panitia pemilihan
tentang surat suara yang tertukar
50,195
0,396
4
Terdapat laporan Bawaslu dan panitia pemilihan
tentang surat suara yang hilang
44,191
0,172
5
Tidak ada fasilitas di TPS bagi pemilih disabilitas
46,741
0,524
6
Tidak ada TPS di lapas bagi pemilih Napi
47,106
0,562
7
Tidak ada TPS di rumah sakit bagi pemilih di
rumah sakit
56,226
0,618
8
Pelaksanaan pemungutan suara melebihi jam
yang ditentukan
39,567
0,296
9
Adanya Laporan terkait penggelembungan dan
pengurangan suara di TPS
46,376
0,478
10
Adanya laporan terkait penggelembungan dan
pengurangan suara di kecamatan
54,475
0,414
11
Penyelenggara memutuskan untuk menunda
pengumuman hasil Pemilu walau proses penghitungan suara sudah selesai
51,265
0,193
12
Adanya laporan terkait penggelembungan dan
pengurangan suara di kabupaten
51,654
0,244
13
Adanya pemberitaan media terkait penolakan
atas penetapan hasil Pemilu
53,186
0,469
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
103
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara menggunakan software Lisrel
8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.8.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Pelaksanaan Pemungutan Suara
Tidak ada fasilitas di TPS bagi
pemilih disabilitas (46,74)
0,524
Tidak ada TPS di lapas
bagi pemilih Napi (47,11)
0,562
Pelaksanaan
Pemungutan
Suara
Tidak ada TPS di rumah
sakit bagi pemilihdi
rumah sakit (56,23)
0,618
0,478
Adanya Laporan terkait
penggelembungan dan
pengurangan suara di TPS (46,38)
Tabel 4.8.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara
104
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 indikator subdimensi
Pelaksanaan Pemungutan Suara mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Pelaksanaan Pemungutan Suara merupakan faktor yang signifikan, hal ini
disebabkan nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung >
Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan
H0 ditolak yang berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan
membentuk subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Tidak ada TPS di rumah sakit bagi pemilih
di rumah sakit dan Tidak ada TPS di lapas bagi pemilih Napi, sebab kedua
indikator ini merupakan faktor yang paling dominan. Dengan kata lain, jika
waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu untuk menurunkan
potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara
dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Pelaksanaan
Pemungutan Suara di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan
diagram sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
105
Gambar 4.8.3 Diagram Skor Subdimensi Pelaksanaan
Pemungutan Suara 34 Provinsi di Indonesia
Skor Nasional 50,34
106
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.9. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
AJUDIKASI KEBERATAN PEMILU
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu dari 514 kabupaten/kota seIndonesia sebagai berikut:
Tabel 4.9.1 Subdimensi Ajukasi Keberatan Pemilu
Ajudikasi Keberatan Pemilu
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
223
43,39
Kerawanan Sedang
291
56,61
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.9.1 Subdimensi Ajukasi Keberatan Pemilu
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.9.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu dari 514 kabupaten/kota yang
tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa
sebagian besar dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan
kabupaten dan kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait
Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu yang berada pada kategori
Kerawanan Sedang.
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 291 kabupaten/kota (56,61%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Ajudikasi Keberatan Pemilu yang
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
107
berada pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 223 kabupaten/kota (43,39%)
lain memiliki skor tingkat Ajudikasi Keberatan Pemilu yang berada pada
kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Ajudikasi Keberatan Pemilu, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar
dapat diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.9.2 Rerata Skor Total Subdimensi Ajukasi Keberatan Pemilu
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Ajudikasi
Keberatan
Pemilu
52,35
Simpangan
Baku
6,36
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
52,5
Signifikan
33,33
53,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Ajudikasi
Pemilu
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi
Ajudikasi Keberatan Pemilu secara real dari 514 kabupaten dan kota
yang diteliti mencapai nilai rerata sebesar 52,35 dengan simpangan baku
(penyimpangan rerata skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar
6,36 maka skor total dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0)
ternyata signifikan di angka 52,5 adapun di atas itu, misal di angka 53,0
diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 52,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Ajudikasi Keberatan Pemilu signifikan di angka 53,0 yang berarti kerawanan
Pemilu 2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Ajudikasi Pemilu
Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
108
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Ajudikasi Keberatan
Pemilu yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih
berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu terdiri dari beberapa indikator
penelitian, antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya keberatan penetapan perolehan suara
calon legislatif di internal partai
43,945
0,563
2
Adanya permohonan sengketa hasil Pemilu di MK
61,089
0,855
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu menggunakan software Lisrel 8,72
dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.9.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori dari Subdimensi
Laten Ajudikasi Keberatan Pemilu
Tidak ada fasilitas
di TPS bagi pemilih
disabilitas (43,94)
0,563
Ajudikasi
Keberatan
Pemilu
0,855
Tidak ada TPS di lapas bagi
pemilih Napi (61,09)
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
109
Tabel 4.9.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis
Faktor Konfirmatori Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0, 08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 indikator subdimensi
Ajudikasi Keberatan Pemilu mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Ajudikasi Keberatan Pemilu merupakan faktor yang signifikan, hal ini
disebabkan nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung >
Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan
H0 ditolak yang berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan
membentuk subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya permohonan sengketa hasil Pemilu
di MK dan Adanya keberatan penetapan perolehan suara calon legislatif
di internal partai, sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling
dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara
Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di
Indonesia, maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua
indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Ajudikasi
Keberatan Pemilu di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan
diagram sebagai berikut:
110
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.9.3 Diagram Skor Subdimensi Ajudikasi
Keberatan Pemilu 34 Provinsi di Indonesia
Skor Nasional
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
111
4.10. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PENGAWASAN PEMILU
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Pengawasan Pemilu dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.10.1 Subdimensi Pengawasan Pemilu
Pengawasan Pemilu
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
39
7,59
Kerawanan Sedang
475
92,41
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.10.1 Subdimensi Pengawasan Pemilu
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.10.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Pengawasan Pemilu dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di
34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten
dan kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi
Pengawasan Pemilu yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
112
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 475 kabupaten/kota (92,41%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Pengawasan Pemilu yang berada
pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 39 kabupaten/kota (7,59%) lain
memiliki skor tingkat Pengawasan Pemilu yang berada pada kategori
Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Pengawasan Pemilu, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat
diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.10.2 Rerata Skor Total Subdimensi Pengawasan Pemilu
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Pengawasan
Pemilu
46,30
Simpangan
Baku
3,76
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
46,5
Signifikan
33,33
47,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Pengawasan
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi
Pengawasan Pemilu secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti
mencapai nilai rerata sebesar 46,30 dengan simpangan baku (penyimpangan
rerata skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 3,76 maka
skor total dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata
signifikan di angka 46,5 adapun di atas itu, misal di angka 47,0 diketahui
tidak signifikan. Dengan signifikan di angka 46,5 berarti dapat disimpulkan
bahwa “Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Pengawasan Pemilu signifikan di angka 47,0 yang berarti kerawanan Pemilu
2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Pengawasan Memiliki
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
113
Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Pengawasan Pemilu
yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada
kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Pengawasan Pemilu terdiri dari beberapa indikator penelitian, antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Saksi perwakilan peserta Pemilu tidak hadir
saat proses pemungutan suara
45,039
0,675
2
Saksi perwakilan perserta Pemilu tidak hadir saat
penghtungan hasil voting
43,215
0,653
3
Saksi perwakilan peserta Pemilu tidak mengikuti
secara lengkap proses pemungutan suara
51,306
0,711
4
Saksi perwakilan peserta Pemilu tidak mengikuti
secara lengkap proses penghitungan hasil Pemilu
46,984
0,682
5
Tidak adanya lembaga pemantau Pemilu yang
terdaftar di KPU
58,414
0,307
6
Adanya laporan masyarakat tentang pelanggaran
Pemilu
61,697
0,585
7
Adanya laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh Bawaslu
35,538
0,344
8
Adanya temuan panwas yang tidak dapat ditindaklanjuti
47,714
0,451
9
Adanya rekomendasi Bawaslu yang tidak
39,932
0,362
10
Adanya rekomendasi Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU
41,391
0,293
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Pengawasan Pemilu menggunakan software Lisrel 8,72 dapat
dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
114
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.10.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Pengawasan Pemilu
Saksi perwakilan peserta Pemilu
tidak hadir saat proses pemungutan
suara (45,04)
0,675
Saksi perwakilan perserta Pemilu
tidak hadir saat penghtungan hasil
voting (43,21)
0,653
Pengawasan
PEMILU
Saksi perwakilan peserta
Pemilu tidak mengikuti secara
lengkap proses pemungutan
suara (51,31)
0,711
0,682
Saksi perwakilan peserta Pemilu tidak
mengikuti secara lengkap proses penghitungan hasil Pemilu (46,98)
Tabel 4.10.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Pengawasan Pemilu
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
115
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-10 indikator subdimensi
Pengawasan Pemilu mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Pengawasan Pemilu merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan
nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) =
1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang
berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk
subdimensi Pengawasan Pemilu.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Saksi perwakilan peserta Pemilu tidak
mengikuti secara lengkap proses pemungutan suara dan Saksi perwakilan
peserta Pemilu tidak mengikuti secara lengkap proses penghitungan hasil
Pemilu, sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling dominan.
Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu
untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia,
maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator
di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Pengawasan
Pemilu di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram
sebagai berikut:
116
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.10.3 Diagram Skor Subdimensi Pengawasan
Pemilu 34 Provinsi di Indonesia
Skor Nasional 46,30
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
117
4.11. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN DIMENSI
PENYELENGGARAAN PEMILU YANG BEBAS DAN ADIL
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil dari 514
kabupaten/kota se-Indonesia sebagai berikut:
Tabel 4.11.1 Dimensi Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil
Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
27
5,25
Kerawanan Sedang
487
94,75
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.11.1 Dimensi Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.11.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap Dimensi
Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil dari 514 kabupaten/kota
yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa
sebagian besar dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan
Kabupaten/Kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Dimensi
Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil yang berada pada kategori
Kerawanan Sedang.
118
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 487 kabupaten/kota (94,75%)
memiliki skor kerawanan Dimensi Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan
Adil yang berada pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 27 kabupaten/kota
(5,25%) lain memiliki skor tingkat Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan
Adil yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Dimensi
Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil, dilakukan pengujian statistik
Uji 1 rata-rata agar dapat diketahui apakah skor total dimensi tersebut telah
mencapai nilai toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu
sebagai standar kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan
yang tidak perlu diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.11.2 Rerata Skor Total Dimensi Penyelenggaraan Pemilu
yang Bebas dan Adil
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Penyelenggaraan
Pemilu Yang
Bebas dan
Adil
53,80
Simpangan
Baku
2,49
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
54,0
Signifikan
33,33
54,5
Tidak
Signifikan
Dimensi
Penyelenggaraan
Pemilu
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Dimensi
Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil secara real dari 514
kabupaten/kota yang diteliti mencapai nilai rerata sebesar 53,80 dengan
simpangan baku (penyimpangan rerata skor setiap responden terhadap
rata-rata) sebesar 2,49 maka skor total dugaan terhadap populasi atau
hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka 54,0 adapun di atas itu,
misal di angka 54,5 diketahui tidak signifikan.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
119
Dengan signifikan di angka 54,0 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil signifikan di angka 54,0 yang berarti
kerawanan Pemilu 2019 terkait Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan
Adil pada Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Memiliki Tingkat Kerawanan
Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat yang perlu diwaspadai meskipun
tingkat kerawanannya masih berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil terdiri dari beberapa subdimensi penelitian, antara lain:
No.
Sub Dimensi
Skor
Korelasi
1
Hak Pilih
67,41
0,561
2
Kampanye
60,42
0,616
3
Pelaksanaan Pemungutan Suara
50,34
0,769
4
Ajudikasi Keberatan Pemilu
52,35
0,406
5
Pengawasan Pemilu
46,30
0,802
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari subdimensi-subdimensi pada Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil menggunakan
software Lisrel 8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
120
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.11.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori dari Dimensi
Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil
Tabel 4.11.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-5 subdimensi dari
Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil mendekati baik atau
fit dengan data.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
121
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh subdimensi pada Dimensi
Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil merupakan faktor yang
signifikan, hal ini disebabkan nilai signifikasi factor loading lambda yang
disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil
keputusan H0 ditolak yang berarti seluruh subdimensi merupakan faktor
yang signifikan membentuk Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas
dan Adil.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada Dimensi Penyelenggaraan
Pemilu Yang Bebas dan Adil 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, maka
penyelenggara Pemilu harus menurunkan tingkat kerawanan dari seluruh
subdimensi yang ada, dengan tentunya mempertimbangkan skala prioritas
penurunan mutu subdimensi.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari subdimensi yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu subdimensi Pengawasan Pemilu dan Pelaksanaan
Pemungutan Suara, sebab kedua subdimensi ini merupakan faktor yang
paling dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki
penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan Pemilu 2019
di Indonesia, maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari
kedua subdimensi di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan Dimensi Penyelenggaraan
Pemilu yang Bebas dan Adil di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia,
disajikan diagram sebagai berikut:
122
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.11.3 Diagram Skor Dimensi Penyelenggaraan
Pemilu Yang Bebas dan Adil 34 Provinsi di Indonesia
Skor Nasional 53,80
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
123
4.12. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
HAK POLITIK TERKAIT GENDER
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Hak Politik Terkait Gender dari 514 kabupaten/kota seIndonesia sebagai berikut:
Tabel 4.12.1 Subdimensi Hak Politik terkait Gender
Hak politik terkait gender
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
39
7,59
Kerawanan Sedang
475
92,41
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.12.1 Subdimensi Hak Politik terkait Gender
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.12.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Hak Politik Terkait Gender dari 514 kabupaten/kota yang tersebar
di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan nkabupaten
dan kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Hak
Politik Terkait Gender yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 475 kabupaten/kota (92,41%)
124
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Hak Politik Terkait Gender yang
berada pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 39 kabupaten/kota (7,59%) lain
memiliki skor tingkat Hak Politik Terkait Gender yang berada pada kategori
Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Hak Politik Terkait Gender, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar
dapat diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.12.2 Rerata Skor Total Subdimensi Hak Politik
terkait Gender
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Hak politik
terkait
gender
53,50
Simpangan
Baku
3,97
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
53,5
Signifikan
33,33
54,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Hak Politik
Gender
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Hak
Politik Terkait Gender secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti
mencapai nilai rerata sebesar 53,50 dengan simpangan baku (penyimpangan
rerata skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 3,97 maka skor total
dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di
angka 53,5 adapun di atas itu, misal di angka 54,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 53,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi Hak
Politik Terkait Gender signifikan di angka 54,0 yang berarti kerawanan
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
125
Pemilu 2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Hak Politik
Gender Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Hak Politik Terkait
Gender yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih
berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Hak Politik Terkait Gender terdiri dari beberapa indikator
penelitian, antara lain :
No.
1
Indikator
Tidak terpenuhinya quota perempuan
pada daftar calon legislatif
Skor
53,79
Korelasi
0,79
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Hak Politik Terkait Gender menggunakan software Lisrel 8,72
dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.12.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Hak Politik Terkait Gender
Tidak terpenuhinya quota
perempuan pada daftar calon
legislatif (53,50)
0,313
Hak Politik
Terkait Gender
126
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Tabel 4.12.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Hak Politik Terkait Gender
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-1 indikator subdimensi
Hak Politik Terkait Gender mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Hak Politik Terkait Gender merupakan faktor yang signifikan, hal ini
disebabkan nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung >
Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan
H0 ditolak yang berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan
membentuk subdimensi Hak Politik Terkait Gender.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Tidak terpenuhinya quota perempuan
pada daftar calon legislatif, sebab kedua indikator ini merupakan faktor
yang paling dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki
penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan
Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara dapat mendahulukan
penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Hak Politik Terkait
Gender di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram
sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
127
Gambar 4.12.3 Diagram Skor Subdimensi Hak Politik
Terkait Gender 34 Provinsi di Indonesia
Skor Nasional 53,50
128
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.13. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
REPRESENTASI MINORITAS
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Representasi Minoritas dari 514 kabupaten/kota seIndonesia sebagai berikut:
Tabel 4.13.1 Subdimensi Representasi Minoritas
Representasi minoritas
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
221
43,00
Kerawanan Sedang
293
57,00
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.13.1 Subdimensi Representasi Minoritas
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.13.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Representasi Minoritas dari 514 kabupaten/kota yang tersebar
di 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten
dan kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi
Representasi Minoritas yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 293 kabupaten/kota (57,00%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Representasi Minoritas yang
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
129
berada pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 221 kabupaten/kota (43,00%)
lain memiliki skor tingkat Representasi Minoritas yang berada pada kategori
Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Representasi Minoritas, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar
dapat diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.13.2 Rerata Skor Total Subdimensi Representasi Minoritas
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Representasi
minoritas
71,18
Simpangan
Baku
8,30
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
71,5
Signifikan
33,33
72,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Representasi
Minoritas
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi
Representasi Minoritas secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti
mencapai nilai rerata sebesar 71,18 dengan simpangan baku (penyimpangan
rerata skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 8,30 maka
skor total dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata
signifikan di angka 71,15 adapun di atas itu, misal di angka 8,30 diketahui
tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 71,15 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Representasi Minoritas signifikan di angka 71,15 yang berarti kerawanan
Pemilu 2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Representasi Minoritas
Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
130
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Representasi
Minoritas yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih
berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Representasi Minoritas terdiri dari beberapa indikator
penelitian, antara lain :
No.
1
Indikator
Skor
Tidak adanya keterwakilan kelompok
disabilitas pada daftar calon legislatif
71,50
Korelasi
0,69
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikatorindikator Subdimensi Representasi Minoritas menggunakan software Lisrel
8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.13.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Representasi Minoritas
Tidak adanya keterwakilan
kelompok disabilitas pada
daftar calon legislatif (71,2)
0,237
Representasi
Minoritas
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
131
Tabel 4.13.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Representasi Minoritas
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-1 indikator subdimensi
Representasi Minoritas mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Representasi Minoritas merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan
nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) =
1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang
berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk
subdimensi Representasi Minoritas.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading yang
paling besar, yaitu indikator Tdak adanya keterwakilan kelompok disabilitas
pada daftar calon legislatif, sebab kedua indikator ini merupakan faktor
yang paling dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki
penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan
Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara dapat mendahulukan
penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Representasi Minoritas di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram
sebagai berikut:
132
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.13.3 Diagram Skor Subdimensi Representasi
Minoritas
34 Provinsi
di Indonesia
Gambar
4.13.3 Diagram
Skor Subdimensi
Representasi
Minoritas 34 Provinsi di Indonesia
Representasi minoritas
64,29
64,71
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
0,00
54,55
55,26
75,00
85,71
75,00
72,41
73,08
72,73
75,00
76,47
72,92
65,38
66,67
70,00
83,33
82,61
70,00
77,78
80,00
84,62
68,18
75,00
67,86
60,00
67,57
70,00
78,57
50,00
74,07
75,00
66,67
69,57
20,00
40,00 60,00
80,00 100,00
Skor Nasional 71,18
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
133
4.14. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PROSES PENCALONAN
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Proses Pencalonan dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.14.1 Subdimensi Proses Pencalonan
Proses pencalonan
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
9
1,75
Kerawanan Sedang
505
98,25
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.14.1 Subdimensi Proses Pencalonan
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 1.14.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Proses Pencalonan dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di
34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten dan
kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Proses
Pencalonan yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
134
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 505 kabupaten/kota (98,25%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Proses Pencalonan yang berada
pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 9 kabupaten/kota (1,75%) lain memiliki
skor tingkat Proses Pencalonan yang berada pada kategori Kerawanan
Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Proses Pencalonan, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat
diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.14.2 Rerata Skor Total Subdimensi Proses Pencalonan
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Proses
pencalonan
48,62
Simpangan
Baku
2,40
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
48,5
Signifikan
33,33
49,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Representasi
Minoritas
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Proses
Pencalonan secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai
nilai rerata sebesar 48,62 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata
skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 2,40 maka skor total
dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di
angka 48,5 adapun di atas itu, misal di angka 49,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 48,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi Proses
Pencalonan signifikan di angka 48,5 yang berarti kerawanan Pemilu 2019
terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Proses Pencalonan Memiliki
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
135
Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Proses Pencalonan
yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada
kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Proses Pencalonan terdiri dari beberapa indikator
penelitian, antara lain:
No.
136
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya penolakan KPU terhadap calon legislatif yang terdaftar dalam keanggotaan dua atau
lebih partai politik
53,11
0,33
2
Adanya laporan/temuan Bawaslu tentang Daftar Calon Legislatif yang mencantumkan kandidat yag berstatus sebagai pengurus di dua atau
lebih partai politik
54,28
0,37
3
Adanya laporan/temuan Bawaslu/Bawaslu
Kab./Kota tentang Daftar Calon Legislatif yang
mencantumkan kandidat yag berstatus sebagai
anggota di dua atau lebih partai politik
51,26
0,25
4
Adanya penolakan KPU/KPUD terhadap ketidakabsahan dokumen persyaratan calon peserta
Pemilu
52,92
0,38
5
Adanya pemberitaan di media massa tentang
sengketa pencalonan DPRD Kab./Kota
49,97
0,46
6
Adanya laporan/temuan Bawaslu tentang
sengketa pencalonan DPRD Kab./Kota
53,31
0,49
7
Adanya laporan/temuan Bawaslu tentang
identifikasi hubungan kekerabatan antara
peserta dan penyelenggara Pemilu
51,12
0,59
8
Adanya pemberitaan di media massa tentang
identifikasi hubungan kekerabatan antara
peserta dan penyelenggara Pemilu
42,85
0,45
9
Adanya laporan/temuan Bawaslu tentang
praktik mahar politik
46,53
0,35
10
Adanya pemberitaan di media massa tentang
praktik mahar politik
38,11
0,13
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Proses Pencalonan menggunakan software Lisrel 8,72 dapat
dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.14.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Proses Pencalonan
Adanya pemberitaan di media massa
tentang sengketa pencalonan DPRD
Kab./Kota (49,97)
0,46
Adanya laporan/temuan Bawaslu
tentang sengketa pencalonan
DPRD Kab./Kota (53,31)
0,492
Proses
Pencalonan
Adanya laporan/temuan
Bawaslu tentang identifikasi
hubungan kekerabatan antara
peserta dan penyelenggara
Pemilu (51,12)
0,593
0,446
Adanya pemberitaan di media massa tentang
identifikasi hubungan kekerabatan antara
peserta dan penyelenggara Pemilu (42,85)
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
137
Tabel 4.14.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Proses Pencalonan
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0, 08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-10 indikator subdimensi
Proses Pencalonan mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Proses Pencalonan merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai
signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960
sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti
seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk subdimensi
Proses Pencalonan.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya laporan/temuan Bawaslu tentang
identifikasi hubungan kekerabatan antara peserta dan penyelenggara Pemilu
dan Adanya laporan/temuan Bawaslu tentang sengketa pencalonan DPRD
Kabupaten/Kota, sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling
dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara
Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di
Indonesia, maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua
indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Proses Pencalonan di
masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai berikut:
138
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.14.3 Diagram Skor Subdimensi Proses
Pencalonan
34 Provinsi
di Indonesia
Gambar
4.14.3 Diagram
Skor Subdimensi
Proses
Pencalonan 34 Provinsi di Indonesia
Proses pencalonan
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
44,51
45,87
47,97
50,99
43,48
46,14
48,98
49,83
50,59
46,81
49,02
52,94
52,17
53,29
48,79
51,98
47,34
52,36
48,99
47,50
47,10
48,72
46,20
48,03
47,62
49,86
49,94
49,86
48,41
45,41
46,11
46,74
49,47
50,09
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00
Skor Nasional 48,62
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
139
4.15. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN DIMENSI KONTESTASI
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk Dimensi Kontestasi dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia sebagai
berikut:
Tabel 4.15.1 Dimensi Kontestasi
Kontestasi
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
9
1,75
Kerawanan Sedang
505
98,25
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.15.1 Dimensi Kontestasi
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 1.15.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap Dimensi
Kontestasi dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar dari total 514 kabupaten/
kota seluruh Indonesia merupakan Kabupaten/Kota yang memiliki tingkat
kerawanan Pemilu terkait Dimensi Kontestasi yang berada pada kategori
Kerawanan Sedang.
140
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 505 kabupaten/kota (98,25%)
memiliki skor kerawanan Dimensi Kontestasi yang berada pada kategori
SEDANG. Akan tetapi, 9 kabupaten/kota (1,75%) lain memiliki skor tingkat
Kontestasi yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Dimensi
Kontestasi, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat diketahui
apakah skor total dimensi tersebut telah mencapai nilai toleransi maksimal
yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar kondisi daerah
yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu diwaspadai,
disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.15.2 Rerata Skor Total Dimensi Kontestasi
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Kontestasi
50,62
Simpangan
Baku
2,20
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
48,5
Signifikan
33,33
51,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Proses
Pencalonan
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Dimensi Kontestasi
secara real dari 514 kabupaten/kota yang diteliti mencapai nilai rerata
sebesar 50,65 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata skor setiap
responden terhadap rata-rata) sebesar 2,20 maka skor total dugaan
terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka
50,5 adapun di atas itu, misal di angka 51,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 50,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total Dimensi Kontestasi
signifikan di angka 50,5 yang berarti kerawanan Pemilu 2019 terkait
Kontestasi pada Dimensi Kontestasi Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus
Diwaspadai (> 33).”
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
141
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat yang perlu diwaspadai meskipun
tingkat kerawanannya masih berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Dimensi Kontestasi terdiri dari beberapa subdimensi penelitian,
antara lain:
No.
Sub Dimensi
Skor
Korelasi
1
Hak Politik Gender
53,50
0,313
2
Representasi Minoritas
71,18
0,237
3
Proses Pencalonan
48,62
0,939
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari sub-subdimensi
pada Dimensi Kontestasi menggunakan software Lisrel 8,72 dapat dilihat
pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.15.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Dimensi Kontestasi
142
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Tabel 4.15.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model
Persamaan Analisis Faktor Konfirmatori Dimensi Kontestasi
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
dalam Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-3 subdimensi dari
Dimensi Kontestasi mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh subdimensi pada Dimensi
Kontestasi merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai
signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960
sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti
seluruh subdimensi merupakan faktor yang signifikan membentuk Dimensi
Kontestasi.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada Dimensi Kontestasi 514
kabupaten/kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus
menurunkan tingkat kerawanan dari seluruh subdimensi yang ada, dengan
tentunya mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu subdimensi.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari subdimensi yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu subdimensi Proses Pencalonan dan Hak Politik
Terkait Gender, sebab kedua subdimensi ini merupakan faktor yang paling
dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara
Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka
penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua subdimensi di
atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan Dimensi Kontestasi di masingmasing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
143
Gambar 4.15.3 Diagram Skor Dimensi Kontestasi 34
Provinsi
Indonesia
Gambar 4.15.3
DiagramdiSkor
Dimensi Kontestasi 34
Provinsi di Indonesia
Kontestasi
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
46,38
47,57
50,12
51,52
47,09
48,56
46,09
51,17
51,85
52,53
49,51
51,78
53,67
53,86
54,80
50,21
54,16
50,82
54,75
50,62
49,93
49,75
51,47
48,56
50,18
49,56
50,62
51,35
52,10
50,97
48,47
49,07
51,28
51,85
40,0042,0044,0046,0048,0050,0052,0054,0056,00
Skor Nasional 50,65
144
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.16. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PARTISIPASI PEMILIH
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Partisipasi Pemilih dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.16.1 Subdimensi Partisipasi Pemilih
Partisipasi Pemilih
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
9
1,75
Kerawanan Sedang
505
98,25
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.16.1 Subdimensi Partisipasi Pemilih
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.16.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Partisipasi Pemilih dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di
34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten dan
kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Partisipasi
Pemilih yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
145
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 505 kabupaten/kota (98,25%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Partisipasi Pemilih yang berada
pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 9 kabupaten/kota (1,75%) lain memiliki
skor tingkat Partisipasi Pemilih yang berada pada kategori Kerawanan
Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Partisipasi Pemilih, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat
diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.16.2 Rerata Skor Total Subdimensi Partisipasi Pemilih
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Partisipasi
Pemilih
46,36
Simpangan
Baku
2,93
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
46,5
Signifikan
33,33
47,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Proses
Pencalonan
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Partisipasi
Pemilih secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai nilai
rerata sebesar 46,36 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata skor
setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 2,93 maka skor total dugaan
terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka
46,5 adapun di atas itu, misal di angka 57,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 46,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Partisipasi Pemilih signifikan di angka 46,0 yang berarti kerawanan Pemilu
2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Partisipasi Pemilih
Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
146
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat pada aspek Partisipasi Pemilih
yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada
kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Partisipasi Pemilih terdiri dari beberapa indikator
penelitian, antara lain:
No
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya laporan, data survei, atau pemberitaan
yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat di bawah target KPU 77,5%
58,98
0,59
2
Adanya laporan, data pemetaan, dan pemberitaan tentang lokasi TPS yang sulit dijangkau
53,42
0,57
3
Adanya laporan masyarakat tentang lokasi TPS
46,13
yang sulit dijangkau
0,65
4
Adanya laporan penyelenggara tentang lokasi
TPS yang tidak dapat djangkau karena bencana dan kerusuhan (force majeure)
38,72
0,15
5
Adanya pengaduan masyarakat tentang lokasi
TPS yang tidak dapat dijangkau karena bencana dan kerusuhan (force majeure)
37,99
0,23
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Partisipasi Pemilih menggunakan software Lisrel 8,72 dapat
dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
147
Gambar 4.16.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Partisipasi Pemilih
Adanya laporan, data survei, atau pemberitaan yang
menyatakan bahw partisipasi masyarakat di bawah
targe KPU 77,5% (58,98)
0,595
Adanya laporan, data pemetaan,
dan pemberitaan tentang lokasi
TPS yang sulit dijangkau (53,42)
0,567
Partisipasi
PEMILIH
Adanya laporan masyarakat
tentang lokasi TPS yang sulit
dijangkau (46,13)
0,655
Tabel 4.16.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan
Analisis Faktor Konfirmatori Subdimensi Partisipasi Pemilih
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-1 indikator subdimensi
Partisipasi Pemilih mendekati baik atau fit dengan data. Hasil di atas
menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi Partisipasi Pemilih
merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai signifikasi factor
148
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960 sehingga dalam
uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti seluruh indikator
merupakan faktor yang signifikan membentuk subdimensi Partisipasi
Pemilih.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya laporan masyarakat tentang lokasi
TPS yang sulit dijangkau dan Adanya laporan, data survei, atau pemberitaan
yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat di bawah target KPU 77,5%,
sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling dominan. Dengan
kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu untuk
menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka
penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Partisipasi Pemilih di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
149
Gambar 4.16.3 Diagram Skor Subdimensi Partisipasi Pemilih
34 Provinsi di Indonesia
Gambar 4.16.3 Diagram Skor Subdimensi Partisipasi Pemilih 34 Provinsi di Indonesia
Partisipasi Pemilih
40,98
41,95
41,58
47,61
50,75
44,96
47,37
48,58
47,85
43,95
46,90
51,52
44,63
47,57
42,98
43,16
41,67
47,71
48,42
45,61
51,58
49,19
48,09
45,86
49,25
48,42
46,51
48,42
47,74
41,23
44,44
48,68
45,44
45,54
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
0,00
10,00 20,00 30,00 40,00
50,00 60,00
Skor Nasional 46,36
150
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.17. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PARTISIPASI PARTAI
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Partisipasi Partai dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.17.1 Subdimensi Partisipasi Partai
Partisipasi Partai
f
%
8
1,56
Kerawanan Sedang
506
98,44
Kerawanan Rendah
0
0,00
514
100,00
Kerawanan Tinggi
Total
Gambar 4.17.1 Subdimensi Partisipasi Partai
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.17.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Partisipasi Partai dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34
provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten dan
kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Partisipasi
Partai yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
151
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 506 kabupaten/kota (98,44%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Partisipasi Partai yang berada pada
kategori SEDANG. Akan tetapi, 8 kabupaten/kota (1,56%) lain memiliki skor
tingkat Partisipasi Partai yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Partisipasi Partai, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat
diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.17.2 Rerata Skor Total Subdimensi Partisipasi Partai
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Partisipasi
Partai
45,51
Simpangan
Baku
2,51
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
45,5
Signifikan
33,33
46,0
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Partisipasi
Partai
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Partisipasi
Partai secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai nilai
rerata sebesar 45,51 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata skor
setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 2,51 maka skor total dugaan
terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka
45,5 adapun di atas itu, misal di angka 46,0 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 45,5 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Partisipasi Partai signifikan di angka 45,5 yang berarti kerawanan Pemilu
152
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Partisipasi Partai
Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Partisipasi Politik pada aspek Partisipasi Partai yang perlu
diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada kategori
Sedang (33 – 66).
Subdimensi Partisipasi Partai terdiri dari beberapa indikator penelitian,
antara lain:
No
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya laporan, data survey dan pemberitaan
tentang maraknya pelanggaran aturan Pemilu
oleh partai peserta Pemilu
48,30
0,45
2
Adanya peserta Pemilu yang tidak memenuhi
proses adminsitrasi kepesertaan Pemilu
53,75
0,70
3
Adanya peserta Pemilu yang mengundurkan
diri dari kontestasi Pemilu
50,31
0,60
4
Adanya laporan, data survei, dan pemberitaan
bahwa peserta Pemilu tidak melakuan sosialisasi tentang Pemilu kepada masyarakat
39,32
0,39
5
Adanya laporan, data survei, atau pemberitaan
bahwa peserta Pemilu tidak melakukan sosialisasi tentang visi, misi, dan program serta
nama-nama kandidat
38,59
0,24
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikatorindikator Subdimensi Partisipasi Partai menggunakan software Lisrel 8,72
dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
153
Gambar 4.17.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Partisipasi Partai
Adanya peserta Pemilu yang tidak
memenuhi proses adminsitrasi
kepesertaan Pemilu (53,75)
0,699
Partisipasi
Partai
0,597
Adanya peserta Pemilu yang
mengundurkan diri dari kontestasi Pemilu (50,31)
Tabel 4.17.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan
Analisis Faktor Konfirmatori Subdimensi Partisipasi Partai
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-5 indikator subdimensi
Partisipasi Partai mendekati baik atau fit dengan data.
154
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Partisipasi Partai merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai
signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960
sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti
seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk subdimensi
Partisipasi Partai.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading yang
paling besar, yaitu indikator Adanya peserta Pemilu yang tidak memenuhi
proses adminsitrasi kepesertaan Pemilu dan Adanya peserta Pemilu
yang mengundurkan diri dari kontestasi Pemilu, sebab kedua indikator
ini merupakan faktor yang paling dominan. Dengan kata lain, jika waktu
dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi
kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka penyelenggara dapat
mendahulukan penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Partisipasi Partai
di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai
berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
155
Gambar 4.17.3 Diagram Skor Subdimensi Partisipasi Partai
Gambar 4.17.3 Diagram
Skor Subdimensi Partisipasi Partai
34 Provinsi di Indonesia
34 Provinsi di Indonesia
Partisipasi Partai
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
46,72
41,81
43,78
42,51
47,10
42,34
47,25
48,65
46,68
47,03
46,26
48,22
46,96
46,36
40,54
48,65
42,34
45,24
47,30
44,14
45,14
44,70
43,90
46,72
44,40
47,03
44,92
47,03
44,56
42,34
42,94
43,24
47,75
52,76
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00
Skor Nasional 45,51
156
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.18. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
SUBDIMENSI PARTISIPASI KANDIDAT
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Partisipasi Kandidat dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.18.1 Subdimensi Partisipasi kandidat
Partisipasi Kandidat
f
%
Kerawanan Tinggi
52
10,12
Kerawanan Sedang
462
89,88
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.18.1 Subdimensi Partisipasi Kandidat
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.18.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Partisipasi Kandidat dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di
34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten dan
kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Partisipasi
Kandidat yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 462 kabupaten/kota (89,88%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Partisipasi Kandidat yang berada
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
157
pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 52 kabupaten/kota (10,12%) lain
memiliki skor tingkat Partisipasi Kandidat yang berada pada kategori
Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi
Partisipasi Kandidat, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat
diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai nilai
toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.18.2 Rerata Skor Total Subdimensi Partisipasi Kandidat
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Partisipasi
Kandidat
45,91
Simpangan
Baku
3,20
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
46,0
Signifikan
33,33
46,5
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Partisipasi
Kandidat
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Partisipasi
Kandidat secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai
nilai rerata sebesar 45,91 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata
skor setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 3,20 maka skor total
dugaan terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di
angka 46,0 adapun di atas itu, misal di angka 46,5 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 46,0 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Partisipasi Kandidat signifikan di angka 46,0 yang berarti kerawanan Pemilu
2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Partisipasi Kandidat
Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
158
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Partisipasi Politik masyarakat pada aspek Partisipasi Kandidat
yang perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada
kategori Sedang (33 – 66).
Subdimensi Partisipasi Kandidat terdiri dari beberapa indikator
penelitian, antara lain:
No
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya laporan, data survei, dan pemberitaan
tentang maraknya pelanggaran aturan Pemilu
oleh tim sukses kandidat peserta Pemilu
43,21
0,53
2
Adanya kandidati peserta Pemilu yang tidak
memenuhi proses adminsitrasi kepesertaan
Pemilu
55,75
0,75
3
Adanya kandidat peserta Pemilu yang mengundurkan diri dari konsetasi Pemilu
48,75
0,60
4
Adanya laporan, data survei atau pemberitaan
bahwa kandidat peserta Pemilu tidak melakukan sosialisasi tentang visi, misi dan program
serta nama - nama kandidat.
37,99
0,25
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
159
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikator-indikator
Subdimensi Partisipasi Kandidat menggunakan software Lisrel 8,72 dapat
dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.18.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Partisipasi Kandidat
Adanya kandidat peserta
Pemilu yang mengundurkan diri dari konsetasi
Pemilu (55,75)
0,745
Partisipasi
Kandidat
0,604
Adanya laporan/temuan Bawaslu
tentang identifikasi hubungan
kekerabatan antara peserta dan
penyelenggara Pemilu (48,75)
Tabel 4.18.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Partisipasi Kandidat
160
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 indikator subdimensi
Partisipasi Kandidat mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Partisipasi Kandidat merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan
nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) =
1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang
berarti seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk
subdimensi Partisipasi Kandidat.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu indikator Adanya kandidati peserta Pemilu yang
tidak memenuhi proses adminsitrasi kepesertaan Pemilu dan Adanya
kandidat peserta Pemilu yang mengundurkan diri dari konsetasi Pemilu,
sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling dominan. Dengan
kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu untuk
menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka
penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Partisipasi
Kandidat di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram
sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
161
Gambar 4.18.3 Diagram Skor Subdimensi Partisipasi Kandidat
34 Provinsi di Indonesia
Gambar 4.18.3 Diagram Skor Subdimensi Partisipasi Kandidat 34 Provinsi di Indonesia
Partisipasi Kandidat
40,00
41,57
43,00
44,85
46,19
40,00
45,86
49,23
42,42
48,67
48,82
48,77
47,92
46,67
42,22
47,56
48,89
47,25
46,00
45,93
51,00
44,62
44,04
43,81
42,86
48,00
48,92
52,67
43,62
40,00
45,68
47,08
47,56
49,28
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00
50,00 60,00
Skor Nasional 45,91
162
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.19.
ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN SUBDIMENSI
PARTISIPASI PUBLIK
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk subdimensi Partisipasi Publik dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.19.1 Subdimensi Partisipasi Publik
Partisipasi Publik
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
90
17,51
Kerawanan Sedang
424
82,49
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.19.1 Subdimensi Partisipasi Publik
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.19.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Subdimensi Partisipasi Publik dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di
34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar
dari total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan kabupaten dan
kota yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Subdimensi Partisipasi
Publik yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
163
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 424 kabupaten/kota (82,49%)
memiliki skor kerawanan dimensi terkait Partisipasi Publik yang berada
pada kategori SEDANG. Akan tetapi, 90 kabupaten/kota (17,51%) lain
memiliki skor tingkat Partisipasi Publik yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Subdimensi Partisipasi Publik, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar
dapat diketahui apakah skor total subdimensi tersebut telah mencapai
nilai toleransi maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai
standar kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang
tidak perlu diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.19.2 Rerata Skor Tunggal Subdimensi Partisipasi Publik
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Partisipasi
Publik
48,08
Simpangan
Baku
4,43
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
48,0
Signifikan
33,33
48,5
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Partisipasi
Publik
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Subdimensi Partisipasi
Publik secara real dari 514 kabupaten dan kota yang diteliti mencapai nilai
rerata sebesar 48,08 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata skor
setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 4,43 maka skor total dugaan
terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka
48,0 adapun di atas itu, misal di angka 48,5 diketahui tidak signifikan.
164
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Dengan signifikan di angka 48,0 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total subdimensi
Partisipasi Publik signifikan di angka 48,0 yang berarti kerawanan Pemilu
2019 terkait Konteks Sosial-Politik pada Subdimensi Partisipasi Publik
Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Partisipasi Politik masyarakat pada aspek Partisipasi Publik yang
perlu diwaspadai meskipun tingkat kerawanannya masih berada pada
kategori Sedang (33,33-66,66).
Subdimensi Partisipasi Publik terdiri dari beberapa indikator penelitian,
antara lain:
No
Indikator
Skor
Korelasi
1
Adanya laporan, data survei atau pemberitaan partisipasi masyarakat dalam pengawasan
Pemilu
49,86
0,81
2
Adanya hambatan media massa terhadap akses proses tahapan Pemilu
45,97
0,53
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari indikatorindikator Subdimensi Partisipasi Publik menggunakan software Lisrel 8,72
dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
165
Gambar 4.19.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Subdimensi Laten Partisipasi Publik
Adanya laporan, data survei
atau pemberitaan partisipasi masyarakat dalam
pengawasan Pemilu (49,86)
0,811
Partisipasi
Publik
0,533
Adanya hambatan media massa
terhadap akses proses tahapan
Pemilu (45,97)
Tabel 4.19.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Subdimensi Partisipasi Publik
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
dalam Bachrudin (2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 indikator subdimensi
Partisipasi Publik mendekati baik atau fit dengan data.
166
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh indikator pada subdimensi
Partisipasi Publik merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai
signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960
sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti
seluruh indikator merupakan faktor yang signifikan membentuk subdimensi
Partisipasi Publik.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada aspek keamanan 514 kabupaten/
kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus menurunkan
tingkat kerawanan dari seluruh indikator yang ada, dengan tentunya
mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu indikator.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari indikator yang memiliki factor loading yang
paling besar, yaitu indikator Adanya laporan, data survei atau pemberitaan
partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu dan Adanya laporan, data
survei atau pemberitaan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu,
sebab kedua indikator ini merupakan faktor yang paling dominan.
Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu
untuk menurunkan potensi kerawanan keamanan Pemilu 2019 di Indonesia,
maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua indikator
di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan subdimensi Partisipasi Publik
di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai
berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
167
Gambar 4.19.3 Diagram Skor Subdimensi Partisipasi Publik
Gambar 4.19.334
Diagram
SkordiSubdimensi
Partisipasi Publik
Provinsi
Indonesia
34 Provinsi di Indonesia
Partisipasi Publik
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
46,94
44,54
48,57
50,65
51,02
45,24
49,75
58,24
50,65
48,57
47,90
45,86
47,62
47,25
47,62
50,48
47,62
50,31
45,71
49,21
42,86
47,25
49,78
42,86
42,86
42,86
46,72
65,71
49,39
47,62
43,92
42,86
48,57
47,83
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00
Skor Nasional 48,08
168
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
4.20. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN
DIMENSI PARTISIPASI POLITIK
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk Dimensi Partisipasi Politik dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.20.1 Subdimensi Partisipasi Politik
Partisipasi Politik
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
1
0,19
Kerawanan Sedang
513
99,81
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
514
100,00
Gambar 4.20.1 Subdimensi Partisipasi Politik
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.20.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap
Dimensi Partisipasi Politik dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34
provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar dari
total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan Kabupaten/Kota
yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Dimensi Partisipasi Politik
yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
169
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 513 kabupaten/kota (99,81%)
memiliki skor kerawanan Dimensi Partisipasi Politik yang berada pada
kategori SEDANG. Akan tetapi, 1 kabupaten/kota (0,09%) lain memiliki skor
tingkat Partisipasi Politik yang berada pada kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Dimensi
Partisipasi Politik, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar dapat
diketahui apakah skor total dimensi tersebut telah mencapai nilai toleransi
maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar kondisi
daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.20.2 Rerata Skor Total Subdimensi Partisipasi Politik
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
Partisipasi
Politik
46,18
Simpangan
Baku
2,17
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
46,0
Signifikan
33,33
46,5
Tidak
Signifikan
Sub
dimensi
Partisipasi
Politik
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang
Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Dimensi Partisipasi
Politik secara real dari 514 kabupaten/kota yang diteliti mencapai nilai
rerata sebesar 46,18 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata skor
setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 2,17 maka skor total dugaan
terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka
46,0 adapun di atas itu, misal di angka 46,5 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 46,0 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total Dimensi Partisipasi
Politik signifikan di angka 46,0 yang berarti kerawanan Pemilu 2019
terkait Partisipasi Politik pada Dimensi Partisipasi Politik Memiliki Tingkat
170
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33).”
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat yang perlu diwaspadai meskipun
tingkat kerawanannya masih berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Dimensi Partisipasi Politik terdiri dari beberapa subdimensi penelitian,
antara lain:
No.
Sub Dimensi
Skor
Korelasi
1
Partisipasi Pemilih
46,36
0,675
2
Partisipasi Partai
45,51
0,584
3
Partisipasi Kandidat
45,91
0,682
4
Partisipasi Publik
48,08
0,454
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari subdimensisubdimensi pada Dimensi Partisipasi Politik menggunakan software Lisrel
8,72 dapat dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.20.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori dari
Dimensi Partisipasi Politik
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
171
Tabel 4.20.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan Analisis Faktor
Konfirmatori Dimensi Partisipasi Politik
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-3 subdimensi dari
Dimensi Partisipasi Politik mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh subdimensi pada Dimensi
Partisipasi Politik merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan nilai
signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) = 1,960
sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang berarti
seluruh subdimensi merupakan faktor yang signifikan membentuk Dimensi
Partisipasi Politik.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada Dimensi Partisipasi Politik 514
kabupaten/kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus
menurunkan tingkat kerawanan dari seluruh subdimensi yang ada, dengan
tentunya mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu subdimensi.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari subdimensi yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu subdimensi Partisipasi Kandidat dan Partisipasi
Pemilih, sebab kedua subdimensi ini merupakan faktor yang paling dominan.
Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki penyelenggara Pemilu
untuk menurunkan potensi kerawanan Pemilu 2019 di Indonesia, maka
penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari kedua subdimensi di
atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan Dimensi Partisipasi Politik
di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai
berikut:
172
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.20.3 Diagram Skor Dimensi Partisipasi Politik
Gambar 4.20.3
Skor
Partisipasi Politik 34
34Diagram
Provinsi
diDimensi
Indonesia
Provinsi di Indonesia
Partisipasi Politik
9. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
8. SUMATERA SELATAN
7. BENGKULU
6. JAMBI
5. KEPULAUAN RIAU
4. RIAU
34. PAPUA
33. PAPUA BARAT
32. MALUKU
31. MALUKU UTARA
30. SULAWESI TENGGARA
3. SUMATERA BARAT
29. SULAWESI SELATAN
28. SULAWESI TENGAH
27. SULAWESI BARAT
26. SULAWESI UTARA
25. GORONTALO
24. NUSA TENGGARA TIMUR
23. NUSA TENGGARA BARAT
22. BALI
21. KALIMANTAN TIMUR
20. KALIMANTAN SELATAN
2. SUMATERA UTARA
19. KALIMANTAN TENGAH
18. KALIMANTAN BARAT
17. KALIMANTAN UTARA
16. JAWA TIMUR
15. DI YOGYAKARTA
14. JAWA TENGAH
13. DKI JAKARTA
12. JAWA BARAT
11. BANTEN
10. LAMPUNG
1. ACEH
43,22
42,12
43,45
45,68
48,50
42,93
47,23
49,90
46,45
46,64
47,31
49,14
46,53
46,93
42,58
46,83
44,40
47,13
47,14
45,66
48,40
46,41
45,96
45,26
45,38
47,23
46,65
51,09
45,91
42,02
44,23
45,90
47,06
49,00
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00
Skor Nasional 46,18
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
173
4.21. ANALISIS DATA MODEL PENGUKURAN INDEKS
KERAWANAN PEMILU 2019
Berdasarkan hasil perhitungan secara deskriptif terhadap hasil
penelitian di 34 Provinsi di Indonesia, maka didapat hasil Analisis Kategori
untuk Indeks Kerawanan Pemilu 2019 dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia
sebagai berikut:
Tabel 4.21.1 Indeks Kerawan Pemilu 2019
IKP 2019
Jumlah
%
Kerawanan Tinggi
2
0,39
Kerawanan Sedang
511
99,42
Kerawanan Rendah
0
0,00
Total
513
99,81
Gambar 4.21.1 Indeks Kerawanan Pemilu 2019
Kerawanan Tinggi
Kerawawan Sedang
Kerawanan Rendah
Tabel 4.21.1 di atas merupakan hasil analisa deskriptif terhadap Indeks
Kerawanan Pemilu 2019 dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 34
provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar dari
total 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia merupakan Kabupaten/Kota
yang memiliki tingkat kerawanan Pemilu terkait Indeks Kerawanan Pemilu
2019 yang berada pada kategori Kerawanan Sedang.
174
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Terlihat dari tabel tersebut sebanyak 512 kabupaten/kota (99,61%)
memiliki skor kerawanan Indeks Kerawanan Pemilu 2019 yang berada pada
kategori SEDANG. Akan tetapi, 2 kabupaten/kota (0,39%) lain memiliki
skor tingkat Indeks Kerawanan Pemilu 2019 yang berada pada kategori
Kerawanan Tinggi.
Untuk menyajikan pengujian secara menyeluruh terhadap Indeks
Kerawanan Pemilu 2019, dilakukan pengujian statistik Uji 1 rata-rata agar
dapat diketahui apakah skor total tersebut telah mencapai nilai toleransi
maksimal yang ditetapkan (Cut Off) oleh Bawaslu sebagai standar
kondisi daerah yang masuk ke dalam kategori kerawanan yang tidak perlu
diwaspadai, disajikan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.21.2 Rerata Skor Total Indeks Kerawan Pemilu 2019
Variabel
Rerata Persentase
Real Sampel
Rerata
IKP 2019
48,88
Simpangan
Baku
1,99
Hipotesis
Rerata
Persentase
(µ0)
Keputusan
Cut Off
49,0
Signifikan
33,33
49,5
Tidak
Signifikan
IKP 2019
Memiliki
Tingkat
Kerawanan
Yang Harus
Diwaspadai
Dari tabel di atas, terlihat bahwa rerata skor total Indeks Kerawanan
Pemilu 2019 secara real dari 514 kabupaten/kota yang diteliti mencapai nilai
rerata sebesar 48,88 dengan simpangan baku (penyimpangan rerata skor
setiap responden terhadap rata-rata) sebesar 1,99 maka skor total dugaan
terhadap populasi atau hipotesis rerata (µ0) ternyata signifikan di angka
49,0 adapun di atas itu, misal di angka 49,5 diketahui tidak signifikan.
Dengan signifikan di angka 49,0 berarti dapat disimpulkan bahwa
“Kerawanan Pemilu 2019 di seluruh indonesia, skor total Indeks Kerawanan
Pemilu 2019 signifikan di angka 49,0 yang berarti kerawanan Pemilu 2019
terkait Indeks Kerawanan Pemilu 2019 pada Indeks Kerawanan Pemilu 2019
Memiliki Tingkat Kerawanan Yang Harus Diwaspadai (> 33,33).”
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
175
Dengan kata lain, 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia
memiliki Konteks Sosial Politik masyarakat yang perlu diwaspadai meskipun
tingkat kerawanannya masih berada pada kategori Sedang (33 – 66).
Indeks Kerawanan
Pemilu 2019 terdiri dari beberapa
dimensi penelitian, antara lain:
No.
Indikator
Skor
Korelasi
1
Konteks Sosial Politik
44,89
0,754
2
Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan Adil 53,80
0,787
3
Kontestasi
50,65
0,687
4
Partisipasi Politik
46,18
0,740
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot) untuk model persamaan dalam analisis faktor dari sub-sub pada
Indeks Kerawanan Pemilu 2019 menggunakan software Lisrel 8,72 dapat
dilihat pada tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 4.21.2 Diagram Jalur Analisis Faktor Konfirmatori
dari Indeks Kerawanan Pemilu 2019
176
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Tabel 4.21.3 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Persamaan nalisis Faktor
Konfirmatori Indeks Kerawanan Pemilu 2019
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.077
Model Mendekati fit
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA di bawah 0.08 yang menurut Brown dan Cudeck
(dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini terpenuhi,
menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kecocokan model faktor, dari ke-4 dimensi dari Indeks
Kerawanan Pemilu 2019 mendekati baik atau fit dengan data.
Hasil di atas menunjukkan bahwa seluruh dimensi pada Indeks
Kerawanan Pemilu 2019 merupakan faktor yang signifikan, hal ini disebabkan
nilai signifikasi factor loading lambda yang disebut thitung > Ttabel (0,05;8926) =
1,960 sehingga dalam uji hipotesisnya diambil keputusan H0 ditolak yang
berarti seluruh dimensi merupakan faktor yang signifikan membentuk
Indeks Kerawanan Pemilu 2019.
Artinya, jika para pembuat kebijakan ingin menurunkan tingkat
kerawanan pelaksanaan Pemilu 2019 pada Indeks Kerawanan Pemilu 2019
514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, maka penyelenggara Pemilu harus
menurunkan tingkat kerawanan dari seluruh dimensi yang ada, dengan
tentunya mempertimbangkan skala prioritas penurunan mutu sub.
Prioritas utama penurunan kerawanan yang harus dilakukan adalah
dengan menurunkan kualitas dari dimensi yang memiliki factor loading
yang paling besar, yaitu dimensi Penyelenggaraan Pemilu Yang Bebas dan
Adil dan Konteks Sosial Politik, sebab kedua dimensi ini merupakan faktor
yang paling dominan. Dengan kata lain, jika waktu dan biaya yang dimiliki
penyelenggara Pemilu untuk menurunkan potensi kerawanan Pemilu 2019
di Indonesia, maka penyelenggara dapat mendahulukan penurunan dari
kedua dimensi di atas.
Untuk melihat variasi tingkat kerawanan Indeks Kerawanan Pemilu
2019 di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, disajikan diagram sebagai berikut:
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
177
Gambar 4.21.3 Diagram Skor Indeks Kerawanan Pemilu 2019
34 Provinsi di Indonesia
178
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
2.
ANALISIS DATA MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
VARIABEL INDEKS KERAWANAN PEMILU (Y)
Analisis Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling/
SEM) merupakan suatu model persamaan untuk menganalisa hubungan
atau pengaruh antar variabel yang bersifat laten (tidak dapat diukur) secara
simultan. Jika CFA digunakan untuk mengukur suatu variabel laten melalui
indikator-indikatornya (disebut model pengukuran), maka SEM dilakukan
untuk melihat pengaruh satu atau beberapa variabel laten terhadap variabel
laten lainnya (disebut model struktural), serta digunakan juga untuk melihat
variabel laten independen manakah yang paling dominan memengaruhi
variabel laten dependen dalam model.
Sama seperti CFA, suatu Model Struktural dalam SEM dikatakan fit
atau cocok dengan data, jika memenuhi kriteria uji sebagai berikut:
-
Nilai statistik inferensi Chi square cukup kecil yaitu < 2 df (degred of
freedom)
-
Nilai p-value Chi square cukup besar yaitu > 0,05 atau mendekati 1
-
Nilai Statistik deskriptif RMSEA < 0,08
Hipotesis:
H0 : Σ = Σ(θ) (Model pengaruh persamaan struktural fit dengan data)
H1 : Σ ≠ Σ(θ) (Model pengaruh persamaan struktural tidak fit dengan data)
Kriteria Uji:
Terima hipotesis H0 pada taraf signifikan α jika kriteria uji di atas terpenuhi.
Kesimpulan:
Jika H0 diterima, maka model pengaruh persamaan struktural fit
dengan data
Jika H0 ditolak, maka model pengaruh persamaan struktural tidak fit
dengan data.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
179
Hasil uji model serta estimasi parameter Loading Estimation (nilai
bobot Gamma) untuk model pengaruh persamaan struktural variabel
laten eksogen secara bersama-sama terhadap Indeks Kerawanan Pemilu
di Indonesia menggunakan software Lisrel 8,72 dapat dilihat pada diagram
jalur dan tabel uji kesesuaian model berikut:
Gambar 2.1 Diagram Jalur Diagram Jalur Pengaruh Berbagaai Situasi
terhadap Tingkat Kerawanan Pemilu 2019
Tabel 4.5.1 Ukuran Goodnes of Fit Untuk Model Pengaruh Persamaan Struktural
180
Indeks Kesesuaian
Nilai
Keterangan
RMSEA
0.065
Model Mendekati fit
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara statistik output
pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model mendekati Good
Fit, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks kesesuaian model dengan
menggunakan RMSEA yang mendekati 0,08 yang menurut Brown dan
Cudeck (dalam Bachrudin 2002) bahwa apabila kriteria uji statistik ini
terpenuhi, menunjukkan bahwa model pengukuran Good Fit. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kecocokan model Pengaruh Persamaan
Struktural Variabel Laten Estimation (nilai bobot Gamma) untuk model
pengaruh persamaan struktural variabel laten eksogen secara bersama-sama
terhadap Indeks Kerawanan Pemilu 2019 di Indonesia adalah mendekati
baik atau fit dengan data.
-
Hubungan Variabel Pengawasan Pemilu oleh Masyarakat (X1) dengan
IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara variabel Pengawasan Pemilu oleh Masyarakat (X1)
dengan Variabel IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia
dengan nilai korelasi yang berada pada angka 0,315 meskipun dengan
kategori Lemah.
-
Hubungan Variabel Perbedaan Sumber Data pemilih (X2) dengan IKP
2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara variabel Perbedaan Sumber Data Pemilih (X2) dengan
Variabel IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan nilai
korelasi yang berada pada angka 0,084 dan dengan kategori Sangat
Lemah.
-
Hubungan Variabel Kampanye di Luar Jadual (X3) dengan IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara variabel Kampanye di Luar Jadual (X3) dengan Variabel
IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan nilai korelasi
yang berada pada angka 0,315 meskipun dengan kategori Lemah.
-
Hubungan Variabel Kampanye bersifat SARA (X4) dengan IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara variabel Kampanye bersifat SARA (X4) dengan Variabel
IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan nilai korelasi
yang berada pada angka 0,203 meskipun dengan kategori Lemah.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
181
-
Hubungan Variabel Kampanye Menggunakan Ujaran Kebencian (X5)
dengan IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara variabel Kampanye menggunakan ujaran Kebencian
(X5) dengan Variabel IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia
dengan nilai korelasi yang berada pada angka 0,093 dan dengan
kategori sangat Lemah.
-
Hubungan Variabel Temuan Praktik Politik Uang (X6) dengan IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara variabel Temuan Praktik Politik Uang (X6) dengan Variabel IKP
2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan nilai korelasi yang
berada pada angka 0,201 meskipun dengan kategori Lemah.
-
Hubungan Variabel Tidak Melaporkan Dana Kampanye (X7) dengan
IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara variabel Tidak Melaporkan Dana Kampanye (X7) dengan
Variabel IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan nilai
korelasi yang berada pada angka 0,055 dan dengan kategori Lemah.
-
Hubungan Variabel Bencana Alam Setahun Terakhir (X8) dengan IKP
2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara variabel Bencana Alam Setahun Terakhir (X8) dengan Variabel
IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan nilai korelasi
yang berada pada angka 0,308 meskipun dengan kategori Lemah.
- Hubungan Variabel Kasus Kekerasan Fisik Pada Penyelenggara
(X9) dengan IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara variabel Kasus Kekerasan Fisik Pada Penyelenggara
(X9) dengan Variabel IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia
dengan nilai korelasi yang berada pada angka 0,091 dan dengan kategori
Lemah.
-
Hubungan Variabel Kasus Kekerasan Non Fisik Pada Penyelenggara
(X10) dengan IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara variabel Kasus Kekerasan Fisik Pada Penyelenggara
182
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
(X9) dengan Variabel IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia
dengan nilai korelasi yang berada pada angka 0,030 dan dengan
kategori Lemah.
-
Hubungan Variabel Kasus Hukum Anggota Penyelengara (X11) dengan
IKP 2019 (Y)
Dari Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara variabel Kasus Hukum Anggota Penyelengara (X11)
dengan Variabel IKP 2019 (Y) di 514 kabupaten/kota di Indonesia
dengan nilai korelasi yang berada pada angka 0,286 meskipun dengan
kategori Lemah.
3.
ANALISIS DATA MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
VARIABEL INDEKS KERAWANAN PEMILU (Y)
Dari berbagai peta kecenderungan pada 16 subdimensi di atas,
melalui analisis klaster, responden dapat dibagi ke dalam tiga kelompok
atau klaster tingkat kerawanan Pemilu secara signifikan. Berikut tabel klaster
kecenderungan kerawanan dari 514 kabupaten/kota tersebut.
Tabel 3.1. Klaster Kecenderungan Tingkat Kerawanan Pemilu 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
183
Kelompok pertama cenderung memiliki Tingkat Kerawanan yang
Rendah pada semua dimensi terkait hal-hal berikut:
1)
Subdimensi Keamanan (Y11)
2) Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu (Y12)
3) Subdimensi Penyelenggara Negara (Y13)
4) Subdimensi Relasi Kuasa Lokal (Y14)
5) Subdimensi Hak Pilih (Y21)
6) Subdimensi Kampanye (Y22)
7) Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara (Y23)
8) Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu (Y24)
9) Subdimensi Pengawasan Pemilu (Y25)
10) Subdimensi Hak Politik Terkait Gender (Y31)
11) Subdimensi Representasi Minoritas (Y32)
12) Subdimensi Proses Pencalonan (Y32)
13) Subdimensi Partisipasi Pemilih (Y41)
14) Subdimensi Partisipasi Partai (Y42)
15) Subdimensi Partisipasi Kandidat (Y43)
16) Subdimensi Partisipasi Publik (Y44)
Kabupaten/Kota yang masuk dalam Kelompok Pertama adalah:
184
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
1
KABUPATEN
BANGGAI LAUT
51
KABUPATEN
JOMBANG
101
KABUPATEN
PENAJAM PASER UTARA
151
KOTA JAKARTA
TIMUR
2
KABUPATEN
BANYUASIN
52
KABUPATEN
KAPUAS
102
KABUPATEN
PENUKAL
ABAB LEMATANG ILIR
152
KOTA JAKARTA
UTARA
3
KABUPATEN
BENGKULU
SELATAN
53
KABUPATEN
KAPUAS HULU
103
KABUPATEN
PESISIR BARAT
153
KOTA JAMBI
4
KABUPATEN
BLORA
54
KABUPATEN
KARANGANYAR
104
KABUPATEN
PESISIR SELATAN
154
KOTA KUPANG
5
KABUPATEN
LANI JAYA
55
KABUPATEN
KATINGAN
105
KABUPATEN
PINRANG
155
KOTA LHOKSEUMAWE
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
6
KABAUPATEN TAPANULI
TENGAH
56
KABUPATEN
KAYONG UTARA
106
KABUPATEN
PRINGSEWU
156
KOTA
MAGELANG
7
KABUPATEN
ACEH BARAT
57
KABUPATEN
KEBUMEN
107
KABUPATEN
PULAU TALIABU
157
KOTA MAKASSAR
8
KABUPATEN
ACEH SELATAN
58
KABUPATEN
KENDAL
108
KABUPATEN
PUNCAK
158
KOTA METRO
9
KABUPATEN
KEPULAUAN
SERIBU
59
KABUPATEN
KEPULAUAN
MERANTI
109
KABUPATEN
SAMBAS
159
KOTA MOJOKERTO
10
KABUPATEN
BANDUNG
60
KABUPATEN
KEPULAUAN
SANGHIHE
110
KABUPATEN
SEKADAU
160
KOTA PADANG
PANJANG
11
KABUPATEN
BANGKA
61
KABUPATEN
KERINCI
111
KABUPATEN
SERAM BAGIAN TIMUR
161
KOTA PADANG
SIDIMPUAN
12
KABUPATEN BANGKA
BARAT
62
KABUPATEN
KOLAKA UTARA
112
KABUPATEN
SERANG
162
KOTA PAGAR
ALAM
13
KABUPATEN
BANGLI
63
KABUPATEN KONAWE
UTARA
113
KABUPATEN
SERUYAN
163
KOTA PALEMBANG
14
KABUPATEN
BANJARNEGARA
64
KABUPATEN
KOTAWARINGIN
BARAT
114
KABUPATEN
SIAU TAGULANDANG
164
KOTA PANGKALPINANG
15
KABUPATEN
BANTUL
65
KABUPATEN
KUPANG
115
KABUPATEN
SIDOARJO
165
KOTA PEKANBARU
16
KABUPATEN
BANYUWANGI
66
KABUPATEN
LAMPUNG
BARAT
116
KABUPATEN
SIJUNJUNG
166
KOTA PRABUMULIH
17
KABUPATEN
BARITO KUALA
67
KABUPATEN LOMBOK
UTARA
117
KABUPATEN
SIMEULUE
167
KOTA
PROBOLINGGO
18
KABUPATEN
BARITO TIMUR
68
KABUPATEN
LUWU
118
KABUPATEN
SUBANG
168
KOTA SAWAHLUNTO
19
KABUPATEN
BARITO UTARA
69
KABUPATEN
MAGETAN
119
KABUPATEN
SUKABUMI
169
KOTA SIBOLGA
20
KABUPATEN
BELITUNG
70
KABUPATEN
MALANG
120
KABUPATEN
SUMBAWA
BARAT
170
KOTA SOLOK
21
KABUPATEN
BELITUNG
TIMUR
71
KABUPATEN
MAMASA
121
KABUPATEN
SUPIORI
171
KOTA SUBULUSSALAM
22
KABUPATEN
BELU
72
KABUPATEN
MAMUJU
122
KABUPATEN
TABANAN
172
KOTA SUKABUMI
23
KABUPATEN
BENER MERIAH
73
KABUPATEN
MAMUJU TENGAH
123
KABUPATEN
TAMBRAUW
173
KOTA SURABAYA
24
KABUPATEN
BENGKALIS
74
KABUPATEN
MAPPI
124
KABUPATEN
TANAH LAUT
174
KOTA TANGERANG SELATAN
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
185
186
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
25
KABUPATEN
BENGKAYANG
75
KABUPATEN
MAROS
125
KABUPATEN
TANJUNG
JABUNG
BARAT
175
KOTA TANJUNGBALAI
26
KABUPATEN
BENGKULU
TENGAH
76
KABUPATEN
MEMPAWAH
126
KABUPATEN
TANJUNG
JABUNG TIMUR
176
KOTA TARAKAN
27
KABUPATEN
BERAU
77
KABUPATEN
MERANGIN
127
KABUPATEN
TAPANULI
SELATAN
177
KOTA TEGAL
28
KABUPATEN
BIAK NUMFOR
78
KABUPATEN
MERAUKE
128
KABUPATEN
TEBO
178
KOTA TUAL
29
KABUPATEN
BIMA
79
KABUPATEN
MINAHASA
SELATAN
129
KABUPATEN
TELUK TELUK
WONDAMA
179
KABUPATEN
KUBU RAYA
30
KABUPATEN
BINTAN
80
KABUPATEN
MINAHASA
UTARA
130
KABUPATEN
TOLI-TOLI
180
KABUPATEN
LABUHANBATU
SELATAN
31
KABUPATEN
BOJONEGORO
81
KABUPATEN
MOJOKERTO
131
KABUPATEN TORAJA
UTARA
181
LAMPUNG TIMUR
32
KABUPATEN
BONDOWOSO
82
KABUPATEN
MUARA ENIM
132
KABUPATEN
TRENGGALEK
182
LOMBOK BARAT
33
KABUPATEN
BONE
83
KABUPATEN
MUARO JAMBI
133
KABUPATEN TULANG
BAWANG
BARAT
183
KABUPATEN
PADANG LAWAS
34
KABUPATEN
BREBES
84
KABUPATEN
MUKOMUKO
134
KABUPATEN
WAROPEN
184
KABUPATEN
PANGKAJENE
KEPULAUAN
35
KABUPATEN
BULUNGAN
85
KABUPATEN
MUNA
135
KOTA JAKARTA PUSAT
185
KABUPATEN
PIDIE
36
KABUPATEN
BUOL
86
KABUPATEN
MURUNG RAYA
136
KOTA JAKARTA SELATAN
186
KABUPATEN
SUMBA TENGAH
37
KABUPATEN
BUTON TENGAH
87
KABUPATEN
MUSI BANYUASIN
137
KOTA BANDAR
LAMPUNG
187
KABUPATEN
SUMBAWA
38
KABUPATEN
CIAMIS
88
KABUPATEN
MUSI RAWAS
138
KOTA BANJAR
188
KABUPATEN
TANAH DATAR
39
KABUPATEN
CIREBON
89
KABUPATEN
NGADA
139
KOTA BANJARMASIN
189
KABUPATEN TULANG
BAWANG
40
KABUPATEN
DEIYAI
90
KABUPATEN
NGAWI
140
KOTA BEKASI
190
KABUPATEN
WAKATOBI
41
KABUPATEN
DELI SERDANG
91
KABUPATEN
NIAS BARAT
141
KOTA BLITAR
42
KABUPATEN
ENREKANG
92
KABUPATEN
OGAN ILIR
142
KOTA BONTANG
43
KABUPATEN
FLORES TIMUR
93
KABUPATEN
OGAN KOMERING ULU
143
KOTA BUKITTINGGI
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
44
KABUPATEN
GIANYAR
94
KABUPATEN
OGAN KOMERING ULU
SELATAN
144
KOTA CIMAHI
45
KABUPATEN
GORONTALO
95
KABUPATEN
PACITAN
145
KOTA CIREBON
46
KABUPATEN
GORONTALO
UTARA
96
KABUPATEN
PAMEKASAN
146
KOTA DENPASAR
47
KABUPATEN
HUMBANG
HASUNDUTAN
97
KABUPATEN
PANIAI
147
KOTA DEPOK
48
KABUPATEN INDRAGIRI HILIR
98
KABUPATEN
PARIGI MOUTONG
148
KOTA DUMAI
49
KABUPATEN
JAYAPURA
99
KABUPATEN
PEGUNUNGAN
ARFAK
149
KOTA GUNUNG
SITOLI
50
KABUPATEN
JENEPONTO
100
KABUPATEN
PEGUNUNGAN
BINTANG
150
KOTA JAKARTA
BARAT
NO
NAMA DAERAH
Kelompok kedua cenderung Memiliki Tingkat Kerawanan yang Tinggi
pada semua dimensi terkait hal-hal berikut:
1)
Subdimensi Keamanan (Y11)
2) Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu (Y12)
3)
Subdimensi Penyelenggara Negara (Y13)
4)
Subdimensi Relasi Kuasa Lokal (Y14)
5)
Subdimensi Hak Pilih (Y21)
6)
Subdimensi Kampanye (Y22)
7)
Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara (Y23)
8)
Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu (Y24)
9)
Subdimensi Pengawasan Pemilu (Y25)
10) Subdimensi Hak Politik Terkait Gender (Y31)
11)
Subdimensi Proses Pencalonan (Y32)
12) Subdimensi Partisipasi Pemilih (Y41)
13) Subdimensi Partisipasi Partai (Y42)
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
187
14) Subdimensi Partisipasi Kandidat (Y43)
15) Subdimensi Partisipasi Publik (Y44)
Akan tetapi, cenderung Memiliki Tingkat Kerawanan yang Rendah
pada semua dimensi terkait hal-hal berikut:
16) Subdimensi Representasi Minoritas (Y32)
Kabupaten/Kota yang masuk dalam kelompok ini adalah:
188
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
1
KABUPATEN ACEH
BARAT DAYA
37
KABUPATEN KUTAI
TIMUR
73
KABUPATEN SRAGEN
2
KABUPATEN ACEH
TIMUR
38
KABUPATEN LABUHANBATU UTARA
74
KABUPATEN SUKOHARJO
3
KABUPATEN BANGGAI
39
KABUPATEN LAMONGAN
75
KABUPATEN SUMBA
BARAT
4
KABUPATEN ACEH
TENGAH
40
KABUPATEN LAMPUNG
TENGAH
76
KABUPATEN SUMENEP
5
KABUPATEN ACEH
TENGGARA
41
KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
77
KABUPATEN TASIKMALAYA
6
KABUPATEN ACEH
UTARA
42
KABUPATEN LOMBOK
TIMUR
78
KABUPATEN TELUK
BINTUNI
7
KABUPATEN AGAM
43
KABUPATEN MAGELANG
79
KABUPATEN TOJO UNAUNA
8
KABUPATEN ASAHAN
44
KABUPATEN MALINAU
80
KABUPATEN KARO
9
KABUPATEN BANGGAI
KEPULAUAN
45
KABUPATEN MALUKU
BARAT DAYA
81
KOTA BENGKULU
10
KABUPATEN BARRU
46
KABUPATEN MALUKU
TENGAH
82
KOTA BINJAI
11
KABUPATEN BLITAR
47
KABUPATEN MAMBERAMO RAYA
83
KOTA CILEGON
12
KABUPATEN BOGOR
48
KABUPATEN MAMBERAMO TENGAH
84
KOTA JAYAPURA
13
KABUPATEN BOLAANG
MONGONDOW
49
KABUPATEN MAYBRAT
85
KOTA KOTAMOBAGU
14
KABUPATEN BOLAANG
MONGONDOW UTARA
50
KABUPATEN MELAWI
86
KOTA LANGSA
15
KABUPATEN BOVEN
DIGOEL
51
KABUPATEN MUNA
BARAT
87
KOTA PALOPO
16
KABUPATEN BUNGO
52
KABUPATEN NATUNA
88
KOTA PAREPARE
17
KABUPATEN BURU
SELATAN
53
KABUPATEN NDUGA
89
KOTA PARIAMAN
18
KABUPATEN CIANJUR
54
KABUPATEN NIAS
UTARA
90
KOTA PAYAKUMBUH
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
19
KABUPATEN DAIRI
55
KABUPATEN NUNUKAN
91
KOTA SABANG
20
KABUPATEN DHARMASRAYA
56
KABUPATEN PASAMAN
92
KOTA SERANG
21
KABUPATEN DOGIYAI
57
KABUPATEN PATI
93
KOTA SORONG
22
KABUPATEN DONGGALA
58
KABUPATEN POLEWALI
MANDAR
94
KOTA SUNGAI PENUH
23
KABUPATEN FLORES
TIMUR
59
KABUPATEN PONOROGO
95
KOTA TEBING TINGGI
24
KABUPATEN GRESIK
60
KABUPATEN POSO
96
KOTA TOMOHON
25
KABUPATEN HALMAHERA BARAT
61
KABUPATEN PURBALINGGA
97
KOTA YOGYAKARTA
26
KABUPATEN HALMAHERA SELATAN
62
KABUPATEN ROKAN
HILIR
98
KABUPATEN LABUHANBATU
27
KABUPATEN HALMAHERA TENGAH
63
KABUPATEN SAMOSIR
99
KABUPATEN LANGKAT
28
KABUPATEN HALMAHERA TIMUR
64
KABUPATEN SAMPANG
100
KABUPATEN MALUKU
TENGGARA BARAT
29
KABUPATEN JEMBER
65
KABUPATEN SANGGAU
101
KABUPATEN MANOKWARI
30
KABUPATEN KAUR
66
KABUPATEN SAROLANGUN
102
KABUPATEN MESUJI
31
KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI
67
KABUPATEN SEMARANG
103
KABUPATEN MUSI
RAWAS UTARA
32
KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD
68
KABUPATEN SINJAI
104
KABUPATEN PASAMAN
BARAT
33
KABUPATEN KOLAKA
69
KABUPATEN SITUBONDO
105
KOTA PEMATANGSIANTAR
34
KABUPATEN KONAWE
70
KABUPATEN SLEMAN
35
KABUPATEN KOTABARU
71
KABUPATEN SOLOK
36
KABUPATEN KUDUS
72
KABUPATEN SOLOK
SELATAN
Kelompok ketiga cenderung Memiliki Tingkat Kerawanan yang Rendah
pada semua dimensi terkait hal-hal berikut:
1)
Subdimensi Keamanan (Y11)
2) Subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu (Y12)
3) Subdimensi Penyelenggara Negara (Y13)
4) Subdimensi Relasi Kuasa Lokal (Y14)
5) Subdimensi Hak Pilih (Y21)
6)
Subdimensi Kampanye (Y22)
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
189
7) Subdimensi Pelaksanaan Pemungutan Suara (Y23)
8) Subdimensi Ajudikasi Keberatan Pemilu (Y24)
9) Subdimensi Pengawasan Pemilu (Y25)
10) Subdimensi Hak Politik Terkait Gender (Y31)
11) Subdimensi Proses Pencalonan (Y32)
12) Subdimensi Partisipasi Pemilih (Y41)
13) Subdimensi Partisipasi Partai (Y42)
14) Subdimensi Partisipasi Kandidat (Y43)
15) Subdimensi Partisipasi Publik (Y44)
Akan tetapi, cenderung Memiliki Tingkat Kerawanan yang Tinggi pada
semua dimensi terkait hal-hal berikut:
16)
Subdimensi Representasi Minoritas (Y32)
Kabupaten/Kota yang masuk dalam kelompok ini adalah:
190
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
1
KABUPATEN ACEH
SINGKIL
76
KABUPATEN KUNINGAN
151
KABUPATEN TANA
TORAJA
2
KABUPATEN ACEH
TAMIANG
77
KABUPATEN LAHAT
152
KABUPATEN TANAH
BUMBU
3
KABUPATEN BALANGAN
78
KABUPATEN LAMANDAU
153
KABUPATEN TANGERANG
4
KABUPATEN BANGKALAN
79
KABUPATEN LAMPUNG
SELATAN
154
KABUPATEN TANGGAMUS
5
KABUPATEN BATU BARA
80
KABUPATEN LANDAK
155
KABUPATEN TAPIN
6
KABUPATEN JAYAWIJAYA
81
KABUPATEN LEBAK
156
KABUPATEN TEGAL
7
KABUPATEN BONE BOLANGO
82
KABUPATEN LEBONG
157
KABUPATEN TEMANGGUNG
8
KABUPATEN BULELENG
83
KABUPATEN LEMBATA
158
KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN
9
KABUPATEN GAYO LUES
84
KABUPATEN LINGGA
159
KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
10
KABUPATEN ACEH
BESAR
85
KABUPATEN LOMBOK
TENGAH
160
KABUPATEN TOBA
SAMOSIR
11
KABUPATEN ACEH JAYA
86
KABUPATEN LUMAJANG
161
KABUPATEN TOLIKARA
12
KABUPATEN ALOR
87
KABUPATEN LUWU
TIMUR
162
KABUPATEN TUBAN
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
13
KABUPATEN ASMAT
88
KABUPATEN LUWU
UTARA
163
KABUPATEN TULUNGAGUNG
14
KABUPATEN BADUNG
89
KABUPATEN MADIUN
164
KABUPATEN WAJO
15
KABUPATEN BANDUNG
BARAT
90
KABUPATEN MAJALENGKA
165
KABUPATEN WONOSOBO
16
KABUPATEN BANGKA
SELATAN
91
KABUPATEN MAJENE
166
KABUPATEN YAHUKIMO
17
KABUPATEN BANGKA
TENGAH
92
KABUPATEN MALAKA
167
KABUPATEN YALIMO
18
KABUPATEN BANJAR
93
KABUPATEN MALUKU
TENGAH
168
KABUPATEN KAIMANA
19
KABUPATEN BANTAENG
94
KABUPATEN MANDAILING NATAL
169
KABUPATEN KOLAKA
TIMUR
20
KABUPATEN BANYUMAS
95
KABUPATEN MANGGARAI
170
KABUPATEN KONAWE
KEPULAUAN
21
KABUPATEN BARITO
SELATAN
96
KABUPATEN MANGGARAI BARAT
171
KOTA AMBON
22
KABUPATEN BATANG
97
KABUPATEN MIMIKA
172
KOTA BALIKPAPAN
23
KABUPATEN BATANGHARI
98
KABUPATEN MINAHASA
173
KOTA BANDA ACEH
24
KABUPATEN BEKASI
99
KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
174
KOTA BANDUNG
25
KABUPATEN BENGKULU
UTARA
100
KABUPATEN MOROWALI UTARA
175
KOTA BANJARBARU
26
KABUPATEN BIREUEN
101
KABUPATEN NABIRE
176
KOTA BATAM
27
KABUPATEN BOALEMO
102
KABUPATEN NAGEKEO
177
KOTA BATU
28
KABUPATEN BOLAANG
MONGONDOW SELATAN
103
KABUPATEN NGANJUK
178
KOTA BAUBAU
29
KABUPATEN BOLAANG
MONGONDO TIMUR
104
KABUPATEN NIAS
179
KOTA BIMA
30
KABUPATEN BOMBANA
105
KABUPATEN NIAS
SELATAN
180
KOTA BITUNG
31
KABUPATEN BOYOLALI
106
KABUPATEN OGAN
KOMERING ILIR
181
KOTA BOGOR
32
KABUPATEN BULUKUMBA
107
KABUPATEN OGAN
KOMERING ULU TIMUR
182
KOTA GORONTALO
33
KABUPATEN BURU
108
KABUPATEN PADANG
LAWAN UTARA
183
KOTA KEDIRI
34
KABUPATEN BUTON
109
KABUPATEN PANDEGLANG
184
KOTA KENDARI
35
KABUPATEN BUTON
SELATAN
110
KABUPATEN PANGANDARAN
185
KOTA MADIUN
36
KABUPATEN BUTON
UTARA
111
KABUPATEN PASANGKAYU
186
KOTA MALANG
37
KABUPATEN CILACAP
112
KABUPATEN PASER
187
KOTA MANADO
113
KABUPATEN PASURUAN
188
KOTA MATARAM
38
KABUPATEN DEMAK
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
191
192
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
39
KABUPATEN DOMPU
114
KABUPATEN PEKALONGAN
189
KOTA MEDAN
40
KABUPATEN EMPAT
LAWANG
115
KABUPATEN PELALAWAN
190
KOTA PADANG
41
KABUPATEN ENDE
116
KABUPATEN PEMALANG
191
KOTA PALANGKARAYA
42
KABUPATEN FAKFAK
117
KABUPATEN PESAWARAN
192
KOTA PALU
43
KABUPATEN GARUT
118
KABUPATEN PIDIE
JAYA
193
KOTA PEKALONGAN
44
KABUPATEN GOWA
119
KABUPATEN POHUWATO
194
KOTA PONTIANAK
45
KABUPATEN GROBOGAN
120
KABUPATEN
PROBOLINGGO
195
KOTA SALATIGA
46
KABUPATEN GUNUNG
MAS
121
KABUPATEN PULANG
PISAU
196
KOTA SAMARINDA
47
KABUPATEN GUNUNG
KIDUL
122
KABUPATEN PULAU
MOROTAI
197
KOTA SEMARANG
48
KABUPATEN HALMAHERA UTARA
123
KABUPATEN PUNCAK
JAYA
198
KOTA SINGKAWANG
49
KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN
124
KABUPATEN PURWAKARTA
199
KOTA SURAKARTA
50
KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH
125
KABUPATEN PURWOREJO
200
KOTA TANGERANG
51
KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA
126
KABUPATEN RAJA
AMPAT
201
KOTA TANJUNG PINANG
52
KABUPATEN INDRAGIRI
HULU
127
KABUPATEN REJANG
LEBONG
202
KOTA TASIKMALAYA
53
KABUPATEN INDRAMAYU
128
KABUPATEN REMBANG
203
KOTA TERNATE
54
KABUPATEN INTAN JAYA
129
KABUPATEN ROKAN
HULU
204
KOTA TIDORE KEPULAUAN
55
KABUPATEN JEMBRANA
130
KABUPATEN ROTE
NDAP
205
KABUPATEN KUTAI
BARAT
56
KABUPATEN JEPARA
131
KABUPATEN SABU
RAIJUA
206
KABUPATEN KUTAI
KARTANEGARA
57
KABUPATEN KAMPAR
132
KABUPATEN SARMI
207
KABUPATEN LAMPUNG
UTARA
58
KABUPATEN KARANGASEM
133
KABUPATEN SELATAN
208
KABUPATEN LUBUK
LINGGAU
59
KABUPATEN KARAWANG
134
KABUPATEN SELUMA
209
KABUPATENMAHAKAM
ULU
60
KABUPATEN KARIMUN
135
KABUPATEN SERAM
BAGIAN BARAT
210
KABUPATEN MANGGARAI TIMUR
61
KABUPATEN KEDIRI
136
KABUPATEN SIAK
211
KABUPATEN MOROWALI
62
KABUPATEN KEEROM
137
KABUPATEN SIGI
212
KABUPATEN NAGAN
RAYA
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
NO
NAMA DAERAH
63
KABUPATEN KEPAHIANG
138
KABUPATEN SIKKA
213
KABUPATEN PADANG
PARIAMAN
64
KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS
139
KABUPATEN
214
KABUPATEN PAKPAK
BHARAT
65
KABUPATEN KEPULAUAN ARU
140
KABUPATEN SINTANG
215
KABUPATEN SERDANG
BEDAGAI
66
KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
141
KABUPATEN SOPPENG
216
KABUPATEN SIDENRENG
RAPPANG
67
KABUPATEN KEPULAUAN SULA
142
KABUPATEN SORONG
217
KABUPATEN TAPANULI
UTARA
68
KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN
143
KABUPATEN SORONG
SELATAN
218
KABUPATEN WAY
KANAN
69
KABUPATEN KETAPANG
144
KABUPATEN SUKAMARA
219
KABUPATEN WONOGIRI
70
KABUPATEN KLATEN
145
KABUPATEN SUMBA
BARAT DAYA
71
KABUPATEN
KLUNGKUNG
146
KABUPATEN SUMBA
TIMUR
72
KABUPATEN KONAWE
SELATAN
147
KABUPATEN SUMEDANG
73
KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR
148
KABUPATEN TABALONG
74
KABUPATEN KUANTAN
SINGINGI
149
KABUPATEN TAKALAR
75
KABUPATEN KULON
PROGO
150
KABUPATEN TANA
TIDUNG
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
193
4.
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019 DI KABUPATEN/KOTA
Merujuk pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hanya 2
(dua) kabupaten yang berkategori Kerawanan Tinggi (> 66), sementara 512
kabupaten/kota lainnya berkategori Kerawanan Sedang (33 – 66), dan tidak
satu pun kabupaten/kota yang berkategori Kerawanan Rendah (< 33).
Kabupaten yang berkategori Kerawanan Tinggi adalah Kabupaten
Lombok Timur (70,02) dan Kabupaten Teluk Bintuni (66,47) (lihat Gambar
4.1). Walau demikian, jika dianalisis lebih mendalam bukan berarti daerahdaerah lain yang tidak masuk dalam kategori Kerawanan Tinggi tidak perlu
diwaspadai, karena jika diperhatikan hasil dari skor masing-masing dimensi
IKP 2019—Konteks Sosial-Politik, Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan
Adil, Kontestasi, dan Partisipasi—terdapat beberapa daerah yang justru
berada dalam kategori Kerawanan Tinggi.
Untuk Dimensi Konteks Sosial Politik, kabupaten yang berkategori
Kerawanan Tinggi (lihat Gambar 4.2) meliputi:
1.
2.
3.
Kabupaten Teluk Bintuni (73,50).
Kabupaten Lombok Timur (71,89).
Kabupaten Sarolangun (69,59).
Untuk Dimensi Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil,
kabupaten yang berkategori Kerawanan Tinggi (lihat Gambar 4.3) meliputi:
1.
Kabupaten Sorong Selatan (79,93).
2.
Kabupaten Maluku Tenggara Barat (76,32).
3.
Kabupaten Flores Timur (75,99).
4.
Kabupaten Lombok Timur (73,36).
5.
Kabupaten Teluk Bintuni (73,03).
6.
Kabupaten Mamberamo Raya (73,03).
7.
Kabupaten Aceh Tenggara (72,04).
8.
Kabupaten Boven Digoel (71,38).
9.
Kabupaten Tana Toraja (70,72).
10. Kota Payakumbuh (70,72).
11. Kabupaten Rokan Hulu (70,07).
12. Kabupaten Nduga (69,74).
13. Kabupaten Sarolangun (69,74).
194
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
14. Kabupaten Magelang (69,41).
15. Kota Palopo (69,08).
16. Kabupaten Nabire (69,08).
17. Kabupaten Aceh Utara (68,75).
18. Kabupaten Buton Utara (68,42).
19. Kabupaten Bolaang Mongondow (68,09).
20. Kabupaten Nias Utara (67,11).
21. Kabupaten Poso (67,11).
22. Kabupaten Labuhanbatu (66,78).
23. Kabupaten Raja Ampat (66,78).
24. Kabupaten Kaur (66,78).
25. Kabupaten Aceh Tengah (66,45).
26. Kabupaten Alor (66,12).
27. Kabupaten Pasaman Barat (66,12).
Untuk Dimensi Partisipasi yang berkategori Kerawanan Tinggi (lihat
Gambar 4.5) hanya berlaku di Kabupaten Lombok Timur (73,11). Sedangkan
untuk Dimensi Kontestasi, kabupaten/kota yang berkategori Kerawanan
Tinggi (lihat Gambar 4.4) meliputi:
1.
Kabupaten Buton Utara (80,25).
2.
Kota Kendari (76,54).
3.
Kabupaten Flores Timur (71,60).
4.
Kota Palopo (69,14).
5.
Kota Gorontalo (67,90).
6.
Kabupaten Purwakarta (66,67).
7.
Kota Batu (66,67).
8.
Kabupaten Kepulauan Talaud (66,67).
9.
Kota Sungai Penuh (66,67).
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
195
Gambar 4.1 Kabupaten/Kota dengan Kerawanan Tinggi dan Sedang
196
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.2 Dimensi Konteks Sosial Politik
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
197
Gambar 4.3 Dimensi Penyelenggaraan yang Bebas dan Adil
198
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.4 Dimensi Kontestasi
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
199
Gambar 4.5 Dimensi Partisipasi
200
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 4.6 IKP 2019 Tingkat Kabupaten/Kota
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
201
5.
ISU KERAWANAN PEMILU 2019 DI KABUPATEN/KOTA
Temuan Bawaslu di lapangan pada poin 4 di atas yaitu kabupaten/
kota dengan tingkat Kerawanan Tinggi serta kabupaten/kota dengan skor
masing-masing dimensi IKP 2019—Konteks Sosial-Politik, Penyelenggaraan
Pemilu yang Bebas dan Adil, Kontestasi, dan Partisipasi—berkategori
Kerawanan Tinggi. Selain itu, Bawaslu juga mendeteksi 10 isu yang
berpotensi mendorong kerawanan Pemilu menjadi tinggi. Kesembilan isu
tersebut adalah:
1)
Hak pilih.
Isu Hak Pilih termasuk isu dengan sebaran yang luas, terjadi di
248 kabupaten/kota (lihat Gambar 5.1), dengan Kerawanan Tinggi (>
66). Ada 4 kabupaten dengan skor tertinggi (100) yaitu Kabupaten
Pasaman Barat (Sumatera Barat), Kabupaten Karo (Sumatera Utara),
Kabupaten Nduga (Papua), dan Kabupaten Sarolungun (Jambi).
Isu Hak Pilih, di antaranya, berkaitan dengan akurasi
data yang dalam beberapa kasus ketidakakuratan data pemilih
oleh penyelenggara Pemilu dikarenakan perbedaan sumber dalam
Penyusunan Daftar Pemilih. Persoalan dalam Penyusunan Daftar
Pemilih adalah pemilikan E-KTP, pendataan hak pilih warga binaan di
rumah tahanan dan pasien rumah sakit, serta pekerja yang berada di
perkebunan (seperti di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat). Salah satu
akibat dari ketidakakuratan pendataan ini adalah kasus ketika Bawaslu
RI menemukan kejanggalan pembengkakan jumlah pemilih tambahan
dari 100 menjadi 600 orang pemilih di lembaga pemasyarakatan di
Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara).
2) Sengketa (Ajudikasi Keberatan Pemilu)
Isu Sengketa ditemukan di 233 kabupaten/kota (lihat Gambar
5.2) dengan 24 kabupaten/kota berskor tertinggi (100). Indikator isu
Sengketa berkaitan di antaranya dengan gugatan hasil Pemilu. Salah
satu kasus di isu ini adalah permohonan 5 lima pasangan calon Bupati
dan Wakil Bupati
202
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Mimika, Papua, yang Pengajuan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada Serentak 2018 mendaftar ke Mahkamah Konstitusi (MK).
3) Representasi Minoritas
Ada 221 kabupaten/kota berkategori Kerawanan Tinggi untuk
Isu Representasi Minoritas (lihat Gambar 5.3). Isu ini berkaitan dengan
tidak adanya keterwakilan kelompok minoritas dan disabilitas pada
daftar calon legislatif.
4) Partisipasi Publik
Isu yang terjadi terjadi di 90 kabupaten/kota ini dengan Kabupaten
Bungo di Provinsi Jambi memiliki skor tertinggi yaitu 100 (lihat Gambar
5.4). Isu Partisipasi Publik menekankan rendahnya partisipasi masyarakat
untuk terlibat dalam mengawasi Pemilu. Di tengah maraknya media
sosial yang membuka peluang masyarakat terlibat lebih aktif dalam
proses pengawasan Pemilu, skor untuk keterlibatan masyarakat hanya
di angka 49,86 (kategori Kerawanan Sedang).
5) Partisipasi Kandidat
Isu Partisipasi Kandidat berkaitan, antara lain, dengan masih
rendahnya partisipasi kandidat peserta Pemilu dalam proses edukasi
politik masyarakat. Temuan di lapangan masih kerap ditemukan laporan,
data survei, dan pemberitaan media bahwa peserta atau kandidat
Pemilu tidak melakukan sosialisasi visi, misi, dan program. Isu ini terjadi
di 52 kabupaten/kota dengan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur,
berskor tertinggi yaitu di angka 83,33 (lihat Gambar 5.5).
6) Pengawasan Pemilu
Isu ini berkaitan dengan isu Partisipasi Publik, di mana rendahnya
partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Isu Pengawasan
Pemilu terjadi di 39 kabupaten/kota dengan Kabupaten Aceh Utara,
Aceh, berskor tertinggi yaitu 93,75 (lihat Gambar 5.6).
7) Hak gender
Isu Gender berkaitan dengan tidak terpenuhinya kuota perempuan
pada daftar calon legislatif yang merupakan konsekuensi logis dari
penurunanan keterpilihan keterwakilan perempuan. Pada Pilkada 2015,
angka keterpilihan keterwakilan perempuan 37,1 persen dan pada
Pilkada 2017, angka keterpilihan perempuan 26,67 persen, sedangkan
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
203
pada Pilkada 2018 angka keterpilihannya hanya sebesar 30,69 persen.
Isu ini terjadi di 39 kabupaten/kota (lihat Gambar 5.7).
8) Kampanye
Isu Kampanye terjadi di 27 kabupaten/kota dengan Kabupaten
Lomok Timur, Nusa Tenggara barat, berskor tertinggi (lihat Gambar
5.8). Isu ini merupakan isu yang berkaitan dengan materi kampanye
yang bersifat SARA dan mengandung ujaran kebencian, dan “politik
uang”. Kasus kampanye dengan muatan SARA, di antaranya, ditemukan
Bawaslu dalam spanduk kampanye di Kalimantan Barat serta kasus di
Jawa Barat ketika tersebar isu SARA melalui media sosial (twitter).
9) Partisipasi Pemilih
Isu Partisipasi Pemilih terjadi di 9 kabupaten/kota (lihat Gambar
5.9). Isu yang berkaitan dengan jumlah pemilih yang tidak sesuai target
KPU serta TPS yang sulit dijangkau/terkena bencana
10) Pelaksanaan Pemungutan Suara
Isu Pelaksanaan Pemungutan Suara terjadi di 22 kabupaten/
kota dengan Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, berskor
tertinggi yaitu 80,00 (lihat Gambar 5.10). Isu ini berkaitan, antara lain,
dengan distribusi logistik pemungutan suara, rekapitulasi, penetapan
hasil, dan penolakan hasil. Salah satu kasus dari isu ini adalah penundaan
penyelenggaraan pemungutan suara, seperti yang terjadi di Kabupaten
Nduga, Papua, karena keterlambatan distribusi logistik. Hal serupa
ditemukan di Kabupaten Jayawijaya, Papua, di mana salah satu TPS
batal menyelenggarakan pemungutan suara karena logistik Pilkada
dilarikan oleh anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS) sehingga akhirnya diadakan pemungutan suara susulan.
Isu-isu di atas akan menjadi potensi kerawanan dalam tahapan
Pemilu Serentak 2019 (lihat gambar 5.1 dan Gambar 5.2). Yang secara
sederhana terbagi dalam 4 aspek kerawanan, yaitu: Keamanan,
Netralitas ANS, Penggunaan Ujaran Kebencian dan Politisasi SARA,
serta Praktik Politik Uang.
204
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.1 Daerah Rawan Tinggi berdasarkan Tahapan Pemilu
Aspek Keamanan dengan mendasarkan pada subdimensi Keamanan
dan Relasi Kuasa di Tingkat Lokal terdapat di 94 kabupaten/kota (18,3
persen) dengan tingkat Kerawanan Tinggi dan 420 kabupaten/kota
(81,7 persen) dengan tingkat Kerawanan Sedang. Aspek Netralitas ASN
dengan mendasarkan pada subdimensi Otoritas Penyelenggara Pemilu,
Penyelenggara Negara, Relasi Kuasa di Tingkat Lokal, dan Kampanye
terdapat di 88 kabupaten/kota (17,1 persen) dengan tingkat Kerawanan
Tinggi dan 426 kabupaten/kota (82,5 persen) dengan tingkat Kerawanan
Sedang.
Penggunaan Ujaran Kebencian dan Politisasi SARA dengan
mendasarkan pada subdimensi Relasi Kuasa di Tingkat Lokal, Kampanye,
dan Partisipasi Pemilih terdapat 90 kabupaten/kota (17,5 persen) dengan
tingkat Kerawanan Tinggi dan 424 kabupaten/kota (82,5 persen) dengan
tingkat Kerawanan Sedang. Sementara itu, potensi Praktik Politik Uang
dengan mendasarkan pada subdimensi Kampanye, Partisipasi Pemilih,
Relasi Kuasa Tingkat Lokal, Pelaksanaan Pemungutan Suara, Pengawasan
Pemilu, dan Partisipasi Publik terdapat 177 kabupaten/kota (34,4 persen)
dengan tingkat Kerawanan Tinggi dan 337 kabupaten/kota (65,6 persen)
dengan tingkat Kerawanan Sedang.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
205
Gambar 5.2 Uraian Rawan Tinggi Tahapan Pemilu
206
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.1 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk
Isu Hak Pilih
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
207
208
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
209
210
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
211
Gambar 5.2 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk Isu
Sengketa (Ajudikasi Keberatan Pemilu)
212
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
213
214
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
215
216
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.3 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk Isu
Representasi Minoritas
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
217
218
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
219
220
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
221
Gambar 5.4 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk Isu
Partisipasi Publik
222
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
223
224
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.5 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk Isu
Partisipasi Kandidat
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
225
226
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.6 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk Isu
Pengawasan Pemilu
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
227
228
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.7 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk
Isu Gender
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
229
230
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.8 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk
Isu Kampanye
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
231
232
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
233
Gambar 5.9 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk Isu
Partisipasi Pemilih
234
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Gambar 5.10 Kerawanan Tinggi Kabupaten/Kota untuk Isu
Pelaksanaan Pemungutan Suara
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
235
236
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BAB 5
PENUTUP
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
237
5.1.
KESIMPULAN
H
asil Indeks Kerawanan Pemilu untuk Pemilihan Umum tahun 2019 (IKP
2019) untuk tingkat provinsi menunjukkan semua daerah bertingkat
Kerawanan Sedang (33 – 66). Meski begitu ada beberapa provinsi
yang berada pada angka di atas skor 50, secara berurutan adalah sebagai
berikut: Papua Barat (52,83), DI Yogyakarta (52,14), Sumatera Barat (51,21),
dan Maluku (51,02). Setiap provinsi-provinsi tersebut memiliki karakteristik
kerawanan yang berbeda. Papua Barat, Sumatera Barat, dan Maluku
misalnya, memiliki kerawanan untuk Dimensi Penyelenggaraan Pemilu
yang Bebas dan Adil serta terkait Dimensi Kontestasi. Yogyakarta memiliki
karakteristik kerawanan Dimensi Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan
Adil, Kontestasi, dan Partisipasi. Merujuk pada keseluruhan indeks di tingkat
provinsi, rerata pengaruh terbesar kerawanan Pemilu tahun 2019 adalah
Dimensi Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil serta terkait Dimensi
Kontestasi.
Jika diteropong secara mendetail, maka ada beberapa isu penting yang
membuat kerawanan berada pada tingkat Kerawanan Sedang, di antaranya:
Hak Pilih, Kampanye, Pelaksanaan Pemungutan Suara, Ajudikasi Keberatan
Pemilu, Pengawasan Pemilu, Representasi Gender dan Representasi
Minoritas, serta dalam Proses Pencalonan.
Sementara itu, hasil Indeks Kerawanan Pemilu tahun 2019 (IKP 2019)
untuk tingkat kabupaten/kota terdapat 2 kabupaten yang bertingkat
Kerawanan Tinggi yaitu Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Teluk
Bintuni, sementara 512 kabupaten/kota lainnya bertingkat Kerawanan
Sedang (Lihat Lampiran). Karakteristik wilayah kabupaten yang memiliki
tingkat Kerawanan Tinggi memiliki corak kerawanan yang beragam di mana
setiap kabupaten memiliki dimensi dan indikator kerawanan yang bisa
berbeda satu sama lain. Patut digarisbawahi, meski skor total IKP suatu
kabupaten/kota tergolong tidak tinggi, tetapi ada dimensi dan indikator
yang memiliki skor Kerawanan Tinggi yaitu Dimensi Penyelenggaraan Pemilu
yang Bersih dan Adil serta Dimensi Konteks Sosial-Politik dibandingkan
dengan dimensi Partisipasi dan Kontestasi (untuk elaborasi lebih mendalam
rujuk bagian akhir Bab 4).
238
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
5.2. TINDAK LANJUT
Sebagai tindak lanjut IKP 2019, dengan masih terdapat daerah-daerah
dengan tingkat Kerawanan Tinggi dan daerah-daerah yang berpotensi
menimbulkan Kerawanan Tinggi, maka Bawaslu menginstruksikan kepada
seluruh jajaran Pengawas Pemilu hal-hal sebagai berikut:
1.
2.
Pencegahan
a.
Mempelajari IKP Pilkada 2019 ini sebagai bahan untuk memahami
kondisi dan potensi kerawanan Pemilu di wilayah masing-masing.
b.
Menyusun strategi pengawasan untuk pencegahan pelanggaran
Pemilu dan sengketa, dengan mempertimbangkan karakter serta
kondisi di daerah masing-masing.
c.
Membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan
lembaga Penyelenggara Pemilu serta stakeholder Pemilu terutama
Pemerintah Daerah, Kepolisian Daerah, Perguruan Tinggi, serta
tokoh agama dan tokoh masyarakat, untuk mendapatkan data dan
informasi serta mengefektifkan kerja kolaboratif untuk pencegahan
pelanggaran Pemilu; terutama terkait dengan antisipasi penggunaan
isu-isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA), politisasi
birokrasi, politik identitas, dan politik uang yang akan berimplikasi
pada terganggunya tahapan dan Integritas Pemilu.
d.
Mengoptimalkan sosialisasi, penyediaan informasi publik, dan
pendidikan politik, kepada masyarakat, tim kampanye, relawan,
serta pasangan calon, baik melalui kegiatan koordinasi maupun
menggunakan media massa (media cetak, media elektronik maupun
media sosial) untuk mengefektifkan pencegahan pelanggaran serta
menumbuhkembangkan pengawasan partisipatif.
Pengawasan
a.
Bersikap dan bertindak proaktif dalam menjalankan agenda dan
kegiatan pengawasan Pemilu, serta bersikap responsif terhadap
laporan dugaan pelanggaran Pemilu.
b.
Bekerja secara taktis dengan menggerakkan sumber daya
struktural organisasi pengawas Pemilu untuk mencapai efektivitas
pengawasan.
c.
Memperkuat supervisi kepada jajaran Pengawas Pemilu di bawahnya
untuk memastikan integritas dan profesionalitas penyelenggaran
pengawasan Pemilu.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
239
d.
3.
5.3
Melibatkan peran kelompok masyarakat dalam kegiatan
pengawasan Pemilu untuk mendeteksi dan melaporkan dugaan
pelanggaran; terutama terkait dengan daftar pemilih, penggunaan
isu sara dalam kampanye, politik uang, politisasi birokrasi, dan
politik identitas.
Penindakan Pelanggaran dan Sengketa
a.
Melaporkan secara aktif dan berkala ke jajaran pengawas lebih
tinggi terkait penanganan pelanggaran pilkada.
b.
Memperkuat koordinasi untuk membangun kesepahaman dengan
penegak hukum dalam sentra penegakkan hukum terpadu
(Gakkumdu), untuk mengoptimalkan penanganan pelanggaran
pidana pilkada.
c.
Memperkuat pemahaman dan kemampuan dalam memeriksa
dan memutus pelanggaran administrasi pilkada dan penyelesaian
sengketa.
d.
Memperkuat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, serta Komisi Aparatur Sipil Negara terkait pengawasan
terhadap netralitas ASN dan pengunaan fasilitas negara
e.
Menyediakan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memberikan
informasi dan melaporkan dugaan pelanggaran pilkada.
REKOMENDASI
IKP 2019 mensinyalir masih tingginya potensi kerawanan Pemilu
2019 hampir di semua dimensi: Konteks Sosial-Politik, Penyelenggaraan
yang Bebas dan Adil, Kontesasi, dan Partisipasi. Berdasarkan hal tersebut,
Bawaslu menyadari bahwa upaya pencegahan membutuhkan partisipasi
banyak pihak. Untuk itu Bawaslu merekomendasikan kepada sejumlah pihak
beberapa hal berikut ini:
5.3.1. Komisi Pemilihan Umum
a.
240
Mengoptimalkan supervisi ke struktur di bawahnya dalam
memastikan integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilihan
legislatif dan pemilihan presiden.
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
b.
Memberikan perhatian saksama pada persoalan daftar pemilih serta
menjamin bahwa setiap pemilih yang hendak melakukan pemilihan
dapat melaksanakan haknya tersebut.
c.
Memastikan profesionalisme struktur di bawahnya dalam rangka
menyelenggarakan seluruh tahapan Pemilu sesuai dengan undangundang.
d.
Memastikan setiap TPS mudah dijangkau pemilih, tidak ada pemilih
yang terkendala masalah geografis.
5.3.2. Peserta Pemilu (Partai Politik dan Pasangan Calon)
a.
Melakukan kampanye bersih dengan menghindari penggunaan
isu SARA, politik identitas, politik uang, menghindari pelibatan
ASN, TNI/Polri, dan penggunaan fasilitas negara.
b.
Menjaga soliditas partai politik dalam proses pemilihan legislatif.
c.
Menjaga soliditas koalisi partai politik dalam proses pemilihan
presiden.
d.
Melaksanakan dan mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan di setiap tahapan Pemilu.
5.3.3. Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum
Dan Keamanan
a.
Mengkoordinasikan serta melakukan supervisi terhadap aparat
pemerintah dan aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya masing-masing.
5.3.4. Kementerian Dalam Negeri
a.
Memastikan netralitas ASN dan pemerintah daerah dalam Pileg
dan Pilpres.
b.
Mencegah terjadinya penggunaan
pelaksanaan kampanye.
c.
Menindaklanjuti setiap rekomendasi Pengawas Pemilu terkait
pelanggaran yang dilakukan oleh ASN dan pemerintah daerah.
fasilitas
negara
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
dalam
241
5.3.5. Pemerintah Daerah
a.
Memastikan netralitas ASN Pemerintah Daerah dalam Pileg dan
Pilpres dan menindaklanjuti setiap rekomendasi pengawas atas
dugaan pelanggaran.
b.
Mencegah terjadinya penggunaan
pelaksanaan kampanye.
c.
Memfasilitasi kegiatan sosialisasi dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengawasan/pemantauan Pemilu.
fasilitas
negara
dalam
5.3.6. Aparat Keamanan/Penegak Hukum
a.
Memberikan perlindungan terhadap penyelenggara Pemilu dari
potensi tindak kekerasan.
b.
Memberikan perlindungan kepada pemilih untuk menggunakan
hak pilihnya secara bebas, adil, dan mandiri terutama atas
kekerasan fisik terhadap pemilih.
c.
Memastikan netralitas aparat penegak keamanan/penegak
hukum dalam pelaksanaan Pileg dan Pilpres.
5.3.7. Masyarakat Sipil
242
a.
Masyarakat sipil terlibat aktif dalam mengawal proses Pileg dan
Pilpres Serentak untuk meminimalisasi potensi kecurangan yang
terjadi.
b.
Masyarakat sipil aktif mengawal dan menjaga kondusivitas
pelaksanaan Pileg dan Pilpres Serentak.
c.
Masyarakat sipil menjaga soliditas warga agar tidak terjadi
retakan sosial akibat polarisasi pilihan Pilpres.
d.
Masyarakat sipil harus bijak bermedia sosial dengan cara
menyaring sebelum menyebar (saring sebelum sharing (S3)).
e.
Meningkatkan partisipasi kelompok perempuan dan minoritas
seperti kelompok disabilitas dan pemilih marjinal lainnya dalam
Pilkada Serentak tahun 2019.
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
5.3.8. Media
a.
Mengedepankan kode etik jurnalistik dan penyiaran agar jalannya
Pileg dan Pilpres berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil, termasuk tidak memberitakan isu-isu sensitif yang
memicu kerawanan yang memicu konflik di tengah-tengah
masyarakat.
b.
Menyajikan liputan dan pemberitaan berimbang (cover both
sides) dalam konteks memberikan informasi yang produktif
bagi publik dan jauh dari berita bohong (hoax) dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
243
244
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
DAFTAR
PUSTAKA
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
245
Agustino, L. 2017. Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta.
Andrain, C.F. and Smith, J.T. 2006. Political Democracy, Trust and Social Justice: A Comparative Overview. Boston: Northeastern University Press.
Asshiddiqie, J. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.
Bawaslu. 2014. Indeks Kerawanan Pilkada 2015. Jakarta: Badan Pengawas
Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Bawaslu. 2016. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017. Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Bawaslu. 2017. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018. Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Bawaslu. 2018. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Tahun 2019. Jakarta: Badan
Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Beetham, D. and Boyle, K. 2009. Introducing Democracy 80: Questios and
Answer. Paris: Unesco Publishing.
Birch, S. 2011. Electoral Malpractice. Oxford: Oxford University Press.
Birch, S. & Muchlinski, D. 2018. Electoral Violence: Patterns and Trends. In
Holly Ann Garnett and Margarita Zavadskaya. Electoral Integrity and
Political Regimes. New York: Routledge.
Budiardjo, M. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Dahl, R. 1980. Analisa Politik Modern. Terjemahan. Jakarta: Dewaruci Pers.
Dahl, R. 2001. Perihal Demokrasi. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
DKPP diakses dari http://dkpp.go.id/_file/publikasi/pengenalan_dkpp_
para_hakim_agun g_dan_hakim_tinggi
Emmerson, D.K. 1983. Understanding The New Order, Bureaucratic Pluralism in Indonesia. Asian Survey Vol. XXII, 11 November 1983.
Firmanzah. 2010. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning,
Ideologi Politik dan Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
246
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Ginsberg, B. 1982. The Consequences of consent: Elections, Citizen control
and Popular Acquisecence. Mass:Addison-Wesley Publishing.
Hikam, M.A.S. 2015. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Huntington, S.P. 1991. Gelombang Demokrasi Ketiga. Terjemahan. Jakarta:
Rajawali Press.
IDEA. 2010. Keadilan Pemilu Ringkasan Buku Acuan International IDEA (terjemahan atas kerja sama International IDEA, Bawaslu RI, dan Centro).
Jakarta: IDEA.
IDEA. 2002. Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum : Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu Seri Buku Panduan. Terjemahan. Stockholm: International IDEA.
IFES Indonesia. 2011. Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu. Terjemahan. Washington D.C.: International
Foundation for Electoral System.
KBBI daring diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rawan
KPU diakses http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2008/11/Pemilu-1999
Lijphart,
A.
2012. Patterns
of
Democracy: G ove r n ment
Forms andPerformance in Thirty-Six Countries. NY: Yale University Press.
Lopez-Pintor, R. 2010. Assessing Electoral Fraud in New Democracies, a Basic Conceptual Framework. IFES White Paper.
McClosky, H. 1972. Political Partisipation. New York: The Macmillan Company.
Neuman, L.W. 2000. Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approach, 4th Edition. USA: Allyn & Bacon.
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
247
PBB. 1948. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights/UDHR), Resolusi Majelis Umum PBB 217 A (III),
10 Desember 1948.
Pitkin, H.F. 1969. Representation. New York: Atherton Press.
Renier, G.J. 1997. History its Purpose and Method. Terjemahan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rumah Pemilu diakses di http://www.rumahPemilu.com/laporan/Rumah-Pemilu-2014-di-Indonesia-Laporan-Akhir-April-2015.pdf
Santoso, P.B. 1997. Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan
Struktural. Jakarta: Rajawali Press.
Schattschneider, E.E. 2009. Party government: American Government in
Action. New Brunswick: Transaction Publisher.
Sharma, S., Mukherjee, S., Kumar, A., & Dillon, W.R. 2005. A simulation study
to investigate the use of cutoff values for assessing model fit in covariance structure models. Journal of Business Research 58(1): 935-943.
Tabachnick, B.G. and Fidell, L.S. 2007. Using Multivariate Statistics. New
York: Allyn and Bacon.
248
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
249
250
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
LAMPIRAN
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
251
LAMPIRAN 1 – Pengumpulan Data IKP 2019
Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara
Kota Gunung Sitoli, Sumatera Utara
252
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Kabupaten Memberano Tengah, Papua
Kabupaten Tegal, Jawa Tengah
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
253
Kota Pasuruan, Jawa Timur
Kabupaten Buru, Maluku
254
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Kabupaten Belitung Timur, Bangka-Belitung
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
255
Kabupaten Kepahiang, Bengkulu
Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat
256
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat
Kota Bima, Nusa Tenggara Barat
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
257
LAMPIRAN 2 – Pelatihan Pengumpulan Data IKP 2019
258
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
259
260
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
LAMPIRAN 3 – Penyusunan Instrumen IKP 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
261
262
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
LAMPIRAN 4 – Dimensi Partisipasi Politik Tingkat Kabupaten/Kota
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
263
264
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
265
266
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
267
268
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
269
LAMPIRAN 5 – Dimensi Konteks Sosial-Politik Tingkat Kabupaten/Kota
270
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
271
272
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
273
274
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
275
LAMPIRAN 6 – Dimensi Kontestasi Tingkat Kabupaten/Kota
276
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
277
278
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
279
280
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
281
282
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
LAMPIRAN 7 – Dimensi Penyelenggaraan Pemilu Tingkat Kabupaten/Kota
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
283
284
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
285
286
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
287
288
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
289
LAMPIRAN 8 – Kabupaten/Kota dengan Kerawanan Keamanan Tinggi
NO.
290
KABUPATEN/KOTA
SKOR
1
KABUPATEN MAMBERAMO RAYA
90.48
2
KABUPATEN SAROLANGUN
84.52
3
KABUPATEN TELUK BINTUNI
83.33
4
KABUPATEN MANOKWARI
82.14
5
KABUPATEN MALINAU
79.76
6
KABUPATEN MINAHASA
78.57
7
KABUPATEN GORONTALO UTARA
73.81
8
KABUPATEN LOMBOK TIMUR
72.62
9
KABUPATEN BIREUEN
72.62
10
KABUPATEN LUWU
69.05
11
KABUPATEN PONOROGO
67.86
12
KABUPATEN MURUNG RAYA
67.86
13
KABUPATEN SORONG
67.86
14
KABUPATEN HALMAHERA TENGAH
66.67
15
KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN
66.67
16
KABUPATEN SLEMAN
66.67
17
KABUPATEN SANGGAU
66.67
18
KABUPATEN NATUNA
66.67
19
KABUPATEN NIAS BARAT
66.67
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
LAMPIRAN 9 – Kabupaten/Kota dengan Kerawanan
Otoritas Penyelenggara Pemilu Tinggi
NO.
KABUPATEN/KOTA
SKOR
1.
KABUPATEN LOMBOK TIMUR
74.70
2.
KABUPATEN HALMAHERA TENGAH
70.48
3.
KOTA KENDARI
68.67
4.
KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN
68.07
5.
KOTA SABANG
68.07
6.
KOTA GORONTALO
67.47
7.
KABUPATEN FAKFAK
66.27
LAMPIRAN 10 – Kabupaten/Kota dengan Kerawanan
Penyelenggara Negara Tinggi
NO
KABUPATEN/KOTA
SKOR
1.
KABUPATEN TELUK BINTUNI
82.98
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
291
LAMPIRAN 11 – Kabupaten/Kota dengan Kerawanan
Relasi Kuasa Lokal Tinggi
292
NO.
KABUPATEN/KOTA
1
KABUPATEN WAY KANAN
86
2
KABUPATEN PONOROGO
86
3
KABUPATEN GUNUNG MAS
86
4
KABUPATEN LOMBOK TIMUR
86
5
KABUPATEN GORONTALO UTARA
86
6
KABUPATEN TELUK BINTUNI
86
7
KABUPATEN JAYAWIJAYA
86
8
KABUPATEN DOGIYAI
86
9
KABUPATEN SAROLANGUN
86
10
KABUPATEN WAJO
78
11
KABUPATEN LAMPUNG UTARA
74
12
KABUPATEN CIAMIS
74
13
KABUPATEN KARAWANG
74
14
KABUPATEN BOJONEGORO
74
15
KABUPATEN JEMBER
74
16
KABUPATEN NIAS UTARA
74
17
KABUPATEN KARO
74
18
KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN
74
19
KOTA KOTAMOBAGU
74
20
KABUPATEN POSO
74
21
KABUPATEN SINJAI
74
22
KABUPATEN KOLAKA TIMUR
74
23
KABUPATEN KEPULAUAN ARU
74
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019
SKOR
LAMPIRAN 12 – Kabupaten/Kota dengan Kerawanan
Proses Pencalonan Tinggi
NO.
KABUPATEN/KOTA
SKOR
1
KOTA BANDA ACEH
76.81
2
KOTA LANGSA
75.36
3
KOTA METRO
72.46
4
KOTA MOJOKERTO
72.46
5
KABUPATEN NUNUKAN
69.57
6
KABUPATEN BENER MERIAH
68.12
7
KABUPATEN PIDIE JAYA
68.12
8
KABUPATEN PASURUAN
66.67
9
KABUPATEN KAPUAS
66.67
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
293
LAMPIRAN 13 – Kabupaten/Kota dengan
Kerawanan Partisipasi Partai Tinggi
NO.
294
KABUPATEN/KOTA
SKOR
1.
KABUPATEN ACEH JAYA
75.68
2.
KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT
75.68
3.
KABUPATEN BULUNGAN
75.68
4.
KABUPATEN MEMPAWAH
75.68
5.
KABUPATEN BERAU
75.68
6.
KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
72.97
7.
KABUPATEN MINAHASA SELATAN
72.97
8.
KABUPATEN MIMIKA
72.97
INDEKS KERAWANAN PEMILU 2019