Academia.eduAcademia.edu

Local Lockdown Solusi Perangi Pandemi?

2020, The Columnist

Local Lockdown Solusi Perangi Pandemi? Oleh Desi Sommaliagustina Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal memutuskan untuk menutup total akses ke wilayahnya atau disebut dengan Local Lockdown. Local Lockdown di Kota Tegal dilakukan selama empat bulan ke depan. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19. Local Lockdown di Kota Tegal akan diterapkan pada 30 Maret 2020 dan berakhir 30 Juli 2020. Tegal menjadi kota pertama di Indonesia yang berani menerapkan langkah lockdown di Indonesia. Tentu saja, kebijakan Local Lockdown Pemkot Tegal ini akan berimbas ke aktivitas ekonomi kota bekas Karesidenan Pekalongan tersebut. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menghentikan laju persebaran Covid-19 di wilayah Kota Tegal karena Kota Tegal telah ditetapkan masuk zona merah Covid-19. Daerah di Indonesia yang masuk dalam zona merah tentu tidak hanya Tegal, mengingat penyebaran Covid-19 ini di Indonesia memang cukup cepat. Sejumlah informasi menyebutkan, per tanggal 28 Maret 2020, Covid-19 sudah merebak di 28 provinsi di Indonesia dengan jumlah pasien positif mencapai 1046 orang dan tingkat kematian 8,3%. Melihat angka kematian yang cukup tinggi di Indonesia akibat Covid-19 tersebut, Indonesia sebenarnya punya waktu sekitar dua bulan sebelum Covid-19 yang sebelumnya mewabah di Wuhan itu datang ke Indonesia. Pada akhir Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyalakan alarm bahaya. Alarm bahaya dari WHO tersebut seharusnya disikapi dengan serius dan cepat tanggap oleh pemerintah Indonesia sejak awal. Namun yang sangat disayangkan respon awal pemerintah pada pandemi Covid-19 cukup membuat kita miris. Menantang Peneliti Harvard University, salah seorang Menteri berkelakar Covid-19 tidak masuk Indonesia karena pada gemar makan nasi kucing, Arus Kritik Terhadap Pemerintah Tidaklah berlebihan apabila kemudian arus kritik terus datang kepada pemerintah. Diantara kritik itu mengatakan pemerintah terlambat mengantisipasi penyebaran Covid-19 di Indonesia. Hal ini dikarenakan korban akibat Covid-19 terus berjatuhan, rumah-rumah sakit kerepotan menghadapi pasien yang terus berdatangan, disamping pemerintah juga kelabakan untuk memasok alat kesehatan serta obat-obatan yang sudah langka di pasaran. Kondisi buruk lainnya adalah rumah-rumah sakit menghadapi kekurangan tenaga medis. Keadaan semakin buruk karena Alat Pelindung Diri (APD) untuk dokter terbatas, sehingga sejumlah dokter meninggal, dan yang terpapar terus bertambah. Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi tenaga kesehatan di lapangan juga sangat kompleks. Bukan saja berkaitan dengan masalah keterbatasan APD, para medis juga dihadapkan pada stigma negatif karena merawat pasien Covid-19. Misalnya peristiwa seorang perawat diusir dari tempat kosnya dan tidak diterima oleh tetangga karena menjalankan tugasnya. Peristiwa seperti ini tentu saja akan memberi dampak negatif pada tenaga kesehatan karena menurunkan motivasi dan akhirnya muncul masalah psikologis serta penurunan imunitas tenaga kesehatan itu sendiri. Seharusnya saat perhatian dunia terpusat pada masalah wabah virus corona atau Covid-19 yang sudah dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan merenggut banyak korban jiwa ini, maka kita sebagai bangsa yang berbudi luhur harus saling bergandengan tangan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang menjadi masalah kita bersama. Di tengah kondisi Indonesia yang kian buruk, sudah saatnya kita menghentikan perbedaan pandangan termasuk menghentikan perdebatan setuju dan tidak setuju local lockdown atau karantina perbatasan dilakukuan karena wabah Covid-19. Perdebatan itu dirasa tidak ada faedahnya mengingat virus corona sudah menyebar ke 28 provinsi di Indonesia. Melihat cepatnya penyebaran Covid-19 di Indonesia maka sangat diperlukan upaya strategis dan kongkrit untuk menanggulanginya. Diantara bentuk penanggulangan itu misalnya dalam hal pemenuhan ketersediaan tenaga medis dan peralatan medis, perlindungan yang baik terhadap tenaga kesehatan, perbaikan prosedur penanganan pasien, dan menjamin ketersediaan logistik dan keuangan bagi masyarakat menengah kebawah terutama ketika kebijakan Social Distencing dilakukan. Hal ini mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor informal dan berstrata sosial kelas menengah ke bawah yang akan mengalami dampak negatif apabila keadaan terus memburuk. Sebab sebagaimana yang kita ketahui, hari ini pemerintah mengeluarkan kebijakan Social Distancing untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun, melihat kondisi hari ini yang jauh dari kata baik, dimana kecepatan penyebaran virus lebih tinggi dari kemampuan pemerintah mendeteksi mereka yang terpapar. Maka kebijakan Social Distencing dirasa masih belum cukup efektif. Tidak efektifnya kebijakan Social Distencing dapat dilihat ketika anjuran pemerintah untuk jaga jarak, kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah dari rumah belum sepenuhnya ditaati. Hari ini kita masih bisa melihat orang-orang tetap bekerja di luar rumah. Pengendara ojek online masih tetap menjemput dan mengantarkan penumpangnya, pedagang buah masih berkeliling komplek menjajakan dagangannya, begitupun pedagang bakso, dan sejumlah pedagang lainnya. Hal demikian tentu saja berisiko dimana korban baru akibat terpapar wabah virus corona tidak bisa diprediksi. Local Lockdown VS Social Distancing Apabila kebijakan Social Distancing yang dilakukan pemerintah hari ini tidak efektif maka langkah lain yang bisa dilakukan adalah local lockdown. Local lockdown sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka (10) Undang Undang (UU) nomor 6 tahun 2018 disebut Karantina Wilayah. Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Artinya melihat isi Pasal 1 Angka (10) UU nomor 6 tahun 2018 ini maka pemerintah bisa melakukan kebijakan lockdown di daerah yang terkena Covid-19 untuk mencegah penyebaran virus ke daerah lain secara lebih luas. Sedangkan untuk menjamin nasib masyarakat yang berpenghasilan rendah dan diperoleh secara harian maka local lockdown harus dibatasi jangka waktu berlakunya. Misalnya selama dua hingga tiga pekan atau hitungan bulan. Adapun kebutuhan masyarakat harus dijamin oleh pemerintah sebagaimana amanat undang-undang seperti yang terkandung dalam Pasal 6 UU nomor 6 tahun 2018 dimana dinyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Begitu pula pada Pasal 8 Undang Undang nomor 6 tahun 2018 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. Dengan korban yang terus bertambah, maka karantina lokal merupakan salah satu solusi yang cukup baik untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang cukup tinggi di Indonesia dengan catatan pemerintah harus menjalankan amanat UU termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan masayarakat yang sedang di karantina. Sehingga apabila kemudian local lockdown dilakukan dan kebutuhan masyarakat dipenuhi maka masyarakat tidak perlu gamang terhadap kebutuhan sehari-harinya selama masa karantina berlangsung. Namun, yang menjadi pertanyaan apabila local lockdown dilakukan akankah seluruh kebutuhan masyarakat terpenuhi?