DUA TIPE PERPU,
PEMBENTUKAN DAN PENCABUTANNYA
Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Kewenangan Regulatori Presiden
Dalam demokrasi, dipahami bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan di tangan wakil rakyat ataupun di tangan kepala negara dan kepala pemerintahan. Inilah yang ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat itulah yang berwenang mengatur dirinya sendiri sesuai dengan prinsip otonomi, yaitu “auto” “nomos” yang berarti mengatur dirinya sendiri, melalui perantaraan wakil-wakilnya di DPR yang menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 merupakan pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden hanya berhak mengajuk rancangan undang-undang kepada DPR, bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, seperti di era pra-reformasi.
Sebelum Perubahan UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Pasal ini dengan Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999 berubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”, sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menjadi berbunyi, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Karena itu, pada prinsipnya, pembentukan peraturan yang mengikat untuk umum hanya dapat dilakukan oleh rakyat melalui para wakilnya di DPR, atau dilakukan berdasarkan perintah atau kewenangan delegasian berdasarkan undang-undang (legislative delegation of rule-making power) atau hal-hal yang memang perlu diatur oleh pemerintah berdasarkan atribusi kewenangan menurut Undang-Undang Dasar. Karena itu, berdasarkan UUD 1945, Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk mengatur atau “regulatory power” dalam beberapa kategori sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Disamping itu, Presiden berwenang membahas bersama RUU untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap RUU menurut Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan akhirnya berwenang pula mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama itu menjadi UU sebagaimana mestinya menurut Pasal 20 ayat (4) dan (5) UUD 1945.
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Produk hukum inilah yang biasa dinamakan PERPU yang dapat ditetapkan dalam keadaan biasa atau dalam keadaan darurat;
Peraturan Pemerintah atribusian UUD 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 aat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestiya”. Ini merupakan kewenangan atribusi oleh UUD, diperintahkan atau tidak oleh undang-undang, Presiden dapat menerbitkan PP untuk mengisi kekosongan hukum atau untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Pemerintah delegasian Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jika UU mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengatur lebih lanjur sesuatu ketentuan udang-undang, Presiden berwnenang menetapkan Peraturan Pemerintah berdasarkan delegasi kewenangan oleh undang-undang (legislative delegation of rule-making power).
Peraturan Presiden (PERPRES) yang dapa ditetapkan oleh Presiden, baik atas dasar delegasi pengaturan lebih lanjut berdasarkan UU atau PP, ataupun berdasarkan prinsip “frij ermessen” dimana Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dianggap dengan sendiri berwenang mengatur sendiri hal-hal yang (i) bersifat administratif, dan (ii berkenaan dengan masalah internal pemerintahan dalam bentuk Peraturan Presiden.
Peraturan Menteri (PERMEN) sebagai produk regulasi berdasarkan kewenangan delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut berdasarkan UU, PP atau PERPRES tersebut di atas itulah selanjutnya dapat dilakukan sub-pelimpahan wewenang, atau sub-delegasi kewenangan regulatori kepada Menteri, yang diidealkan sebagai pejabat dengan kedudukan politik terendah yang dapat diberi kewenangan regulatori.
Kewenangan regulatori atau kewenangan untuk mengatur yang ada pada Presiden sebagai kepala pemerintahan terbatas hanya sebagaimana disebut di atas. Di luar mekanisme tersebut di atas, Presiden tidak boleh melampaui kewenangan konstitusional yang sudah ditentukan berdasarkan UUD 1945, termasuk dalam menngunakan instrumen PERPU untuk membuat kebijakan baru yang bersifat permanen atau bersifat sementara.
Pelimpahan wewenang regulatori kepada pejabat PNS atau ASN yang bukan pejabat politik, juga sebaiknya ditiadakan, dilarang, dan tidak dipraktikkan lagi sebagaimana sampai sekarang masih dipraktikkan berdasarkan pelbagai UU yang sesungguhnya bertentangan dengan prinsip UUD 1945. Pejabat ASN adalah pelayan, bukan pejabat pembubat hukum yang menentukan hak dan kewajiban warga negara dalam lalu lintas hukum.
Selain itu, keseluruhan sistem hierarki peraturan perundang-undangan di atas harus bersifat konsisten, tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang berada di atasnya. Norma hukum yang lebih tinggi itulah yang mempresuposisikan validitas norma hukum yang ada di bawahnya. Karena itu, PERMEN tidak boleh bertentangan dengan PERPRES, PERPRES tidak boleh bertentangan dengan PP, dan PP tidak boleh bertentangan dengan UU. Sedangkan UU dan PERPU tidak boleh bertentangan dengan UUD, kecuali PERPU untuk dan dalam keadaan darurat yang diperbolehkan untuk sementara waktu yang terbatas dan terawasi dengan ketat mengesampingkan atau menangguhkan keberlakuan suatu ketentuan UUD 1945 untuk maksud mengatasi keadaan bahaya hingga menjadi pulih kembali berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Namun, sebagaimana telah dikemukakan di atas, PERPU No. 1 Tahun 2020 ini tidak dapat dikategorikan sebagai PERPU untuk dan dalam keadaan darurat dimaksud, karena sama sekali tidak merujuk kepada ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Ketentuan Pasal 12 ini menyatakan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dari Pasal 12 ini dapat diketahui bahwa:
Syarat-syarat dan akibat hukum keadaan bahaya itu ditetapkan dengan undang-undang dalam pengertian bahwa pernyataan keadaan bahaya itu ditetapkan dengan undang-undang disertai pengaturan mengenai kebijakan-kebijakan khusus yang diberlakukan untuk mengatasi masalah dan mengembalikan keadaan menjadi pulih seperti keadaan semula; dan
Syarat-syarat dan akibat hukum keadaan bahaya itu perlu diatur lebih lanjut dalam dan dengan undang-undang yang tersendiri. Sampai sekarang, Undang-Undang yang masih berlaku mengenai hal ini adalah UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, tetapi isinya banyak yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, termasuk dengan ketentuan baru UUD 1945 pasca Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat pada tahun 1999-2002.
Tentang PERPU
Coba perhatikan baik-baik apa sesungguhnya yang selama ini kita pahami sebagai PERPU atau kadang-kadang ditulis PERPPU. PERPU adalah singkat perkataan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai nama yang diberikan Undang-Undang sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, dan sampai sekarang di masa sesudah Reformasi untuk menyebut mengenai peraturan pemerintah yang digunakan sebagai pengganti undang-undang makakala Presiden perlu memberlakuan kebijakan baru yang dibentuk dengan undang-undang tetapi oleh karena pertimbangan kegentingan yang memaksa, peraturan itu belum sempat dimintakan persetujuannya kepada DPR, sehingga dipandang cukup untuk sementara waktu dituangkan dulu dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dinamakan PERPU. Karena itu, sebenarnya, PERPU itu berbentuk Peraturan Pemerintah.
Hal ini sangat terang dari rumusan UUD 1945 sendiri, yaitu pada Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3), yang menyatakan:
Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut;
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dari ketentuan Pasal 22 tersebut, yang dinamakan PERPU tidak lain merupakan Peraturan Pemerintah, tetapi berisi kebijakan normatif yang merupakan materi muatan Undang-Undang yang seharusnya dibentuk atas persetujuan bersama oleh DPR dengan Presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Namun, oleh karena kegentingan yang memaksa, maka berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1), materi undang-undang itu dituangkan dulu untk sementara dalam bentuk PERPU sampai nanti disetujui oleh DPR sehingga statusnya resmi berubah menjadi Undang-Undang biasa. UUD 1945 sendiri tidak menyebutkan nama resmi dari peraturan jenis ini, karena pada tahun 1945, hal ini belum tuntas dibahas oleh para perumus UUD 1945. Karena itu, ketika Soepomo dan kawan-kawan kembali terlibat menyusun naskah Konstitusi RIS Tahun 1949, penamaan peraturan ini baru dibuat baku dalam rumusan Konstitusi RIS, yaitu dinamakan undang-undang darurat, yaitu undang-undang yang dibentuk untuk dan dalam keadaan darurat. Bahkan nama yang sama terus dipakai ketika Soepomo dan kawan-kawan kembali dipercaya menyusun UUDS Tahun 1950.
Artinya, dari awal pembentukan UUD 1945, sebenarnya, yang dimaksudkan dengan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam rumusan Pasal 22 UUD 1945 itu tidak lain adalah undang-undang darurat, yaitu undang-undang yang dibentuk untuk dan dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Karena itu, kandungan pengertian mengenai peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 harus dibaca dalam kaitannya dengan ketentuan mengenai keadaan bahaya yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Keduanya jangan dipisahkan.
Namun, dalam praktik sejak zaman Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan seterusnya, telah terbentuk pengertian yang dikembangkan dalam praktik, yaitu adanya bentuk peraturan tersendiri yang dinamakan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) sebagai undang-undang yang ditetapkan dalam kegentingan yang memaksa, sehingga belum dapat dimintakan persetujuannya kepada DPR sebagaimana mestinya. Maka jadilah setiap Presiden telah memproduksi begitu banyak PERPU. Selain Presiden Soekarno, yang dapat dikatakan paling banyak menerbitkan PERPU adalah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, saya namakan bahwa hal ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang secara implisit juga berarti telah mengembangkan pengertian baru mengenai ketentuan Pasal 22 UUD 1945 berkenaan dengan pengertian pemerintah pemerintah pengganti undang-undang sebagai produk konstitusional yang sah dan setara kedudukannya dengan undang-undang biasa. Pengertian kedua ini tidak lain merupakan undang-undang yang bersifat sementara sambal menunggu persetujuan DPR sebagaimana mestinya.
Namun dengan dikembangkannya pengertian PERPU sebagai UU sementara tersebut, harus dicatat, tidak berarti bahwa PERPU yang terkait dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 yang berasal dari pemikiran awal menjadi tidak ada. PERPU yang dibentuk untuk dan dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12 UUD 1945 tetap harus dipahami secara berbeda dan tersendiri sebagai undang-undang darurat dari pengertian PERPU biasa yang tidak lain merupakan undang-undang sementara tersebut. Kedua tipe PERPU ini akan dibahas tersendiri pada bagian setelah ini. Yang jelas, keduanya sama-sama harus diakui ada dan sah secara konstitusional. Yang satu sah adanya karena memang ditentukan keberadaannya menurut UUD 1945, yaitu (i) untuk menetapkan berlakunya keadaan bahaya, disertai (ii) pengaturan mengenai kebijakan-kebijakan khusus yang akan digunakan dalam rangka mengatasi keadaan bahaya atau darurat dengan kebijakan yang berbeda dari keadaan biasa. Sedangkan yang kedua, timbul dari penafsiran di kemudian hari yang tumbuh dalam praktik menjadi konvensi ketatanegaraan yang juga merupakan salah satu bentuk perubahan konstitusi secara tidak formal (formal amendment), yaitu melalui praktik konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang menurut para ahli seperti C.F. Strong juga dianggap sah sebagai salah satu metode perubahan konstitusi modern.
Namun, di samping itu, sebelum menjelaskan secara lebh lanjut mengenai tipe PERPU tersebut, perlu juga ditegaskan dulu bahwa dari uraian mengenai hakikat bentuk PERPU sebagai peraturan pemerintah tersebut di atas, kita dapat membedakan antara bentuk hukum dan materi norma yang terdapat dalam suatu peraturan. Bentuk PERPU adalah Peraturan Pemerintah (PP), tetapi kandungan materinya adalah materi Undang-Undang (UU). Karena itu, pada dasarnya PERPU memang merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang ditetapkan untuk sementara waktu sebagai pengganti undang-undang sampai oleh DPR disetujui sehingga resmi pada waktunya berubah menjadi Undang-Undang. Artinya, PERPU dapat pula dipahami sebagai suatu undang-undang sementara, sebab pada saatnya nanti akan berubah statusnya menjadi undang-undang. Karena itu semua persyaratan substantif mengenai pengaturan oleh undang-undang juga berlaku untuk PERPU dalam pengertian undang-undang sementara ini. Dari segi , PERPU ini adalah undang-undang, tetapi dari segi bentuknya, ia adalah PP, yaitu Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang untuk sementara waktu.
Karena itu, kita mesti waspada mengenai perbedaan dan pembedaan antara bentuk dan isi, antara struktur dan substansi, dalam teori dan praktik. Secara teoritis, dapat saja terjadi, bahwa materi norma yang hendak diberlakukan adalah materi undang-undang, tetapi oleh Pemerintah dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah saja, ataupun dalam bentuk Peraturan Presiden. Hal yang sama mungkin saja terjadi, ada materi kebijakan normatif yang seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA), tetapi oleh Kepala Daerah dituangkan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah (PERKADA). Jikalau DPR, dan DPRD yang bersangkutan tidak aktif melakukan fungsi pengawasan normatif yang bersifat substantif mengenai pembentukan peraturan, yang seharusnya merupakan peraturan pelaksana saja dari undang-undang atau peraturan daerah, maka produk-produk “executive acts” tersebut akan berjalan sangat lancar dengan mengabaikan peran legislasi lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah. Hal ini dapat saja terjadi jika fungsi pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat tidak berjalan dengan baik. Pengawasan, bukan saja berkaitan dengan pelaksanaan anggaran, dan pelaksanaan program-program aksi pemerintahan dan pembangunan, tetapi juga pengawasan terhadap penjabaran kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang sebagai produk legislasi (legislative acts) ke dalam peraturan pelaksana undang-undang sebagai produk eksekusi (executive acts).
Karena itu, pengertian mengenai “wet in formeele zin” dan “wet in materiele zin” penting untuk dipahami dengan baik, sehingga konteks materi dengan bentuk hukumnya dapat dibedakan dengan benar. Dalam menjalankan fungsi pengujian pun, baik para hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung juga harus benar-benar awas dengan keduanya, sehingga tidak tergesa-gesa menentukan sikap terhadap permohonan pengujian yang diajukan kepadanya. Jangan hanya karena bentuk formalnya adalah peraturan di bawah undang-undang, Mahkamah Konstitusi serta merta menyatakan tidak berwenang menguji sesuatu peraturan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan pun suatu Peraturan Daerah dapat saja merupakan peraturan yang secara formal di bawah UU tetapi secara materiel, mempunyai karakteristik sebagai materi undang-undang, karena misalnya mengatur mengenai sanksi pidana atau hal-hal lain yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia yang merupakan ranah pengaturan oleh undang-undang berdasarkan UUD 1945.
Dua Tipe PERPU
Banyak orang yang salah mengerti mengenai hakikat PERPU dan gagal memahami perbedaan antara dua tipe PERPU dalam sistem konstitusi kita berdasarkan UUD 1945. Keduanya harus dibedakan, yaitu:
PERPU sebagai undang-undang biasa yang bersifat sementara, karena kegentingan yang memaksa belum mendapat persetujuan DPR berdasarkan Pasal 22 UUD 1945;
PERPU untuk dan dalam kondisi negara dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya menurut Pasal 12 jo Pasal 22 UUD 1945.
Biasanya orang membicarakan PERPU hanya terpaku pada perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan “kegentingan yang memaksa” yang ditentukan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Seperti telah dikutipkan di atas, Pasal 22 ayat (1) tersebut menentukan, “(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi telah menguraikan 3 syarat yang harus terpenuhi untuk keadaan genting yang memaksa itu, yaitu: (1) adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU menurut prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Namun, ketiga persyaratan ini masih bersifat umum, sama sekali belum dikaitkan dengan keadaan yang sangat berbeda antara keadaan bahaya yang bersifat darurat, dengan keadaan biasa yang tidak bersifat darurat.
Ketiga persyaratan tersebut, dapat dikatakan di samping masih terlalu umum, juga harus diakui lebih terkait dengan keadaan biasa. Meskipun ketiganya juga dapat dianggap berlaku dalam keadaan bahaya darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, tetapi syarat-syarat untuk PERPU dalam keadaan darurat memerlukan uraian persyaratan yang lebih rinci, berhubungan syarat-syarat dan akibat hukum keadaan darurat sangat berbeda dari keadaan biasa. Kebutuhan hukum dalam kedua keadaan dimaksud tentu membutuhkan sarana hukum yang berbeda. Kedua keadaan itu memerlukan rezim hukum yang sangat berbeda satu sama lain, karena keadaan normal hanya boleh didekati dengan rezim hukum yang juga normal, sedangkan keadaan bahaya atau darurat yang menyebabkan keadaan abnormal harus didekati dengan rezim hukum yang juga tidak normal. “Normale rechts voor normale tijd, en abnormale rechts voor abnormale tijd”. Jika keduanya dicampuradukkan, hukum normal diterapkan untuk keadaan tidak normal, atau sebaliknya, hukum darurat diterapkan untuk keadaan normal, maka hasilnya dapat dipastikan tidak akan ada keadilan yang pasti atau pun kepastian yang adil.
Karena itu kedua tipe PERPU tersebut sudah seharusnya dibedakan dan dipsahkan satu dengan yang lain. Dari segi prosedur pembentukan undang-undang, keduanya sama-sama dibentuk dengan cara yang tidak lazim, dengan cara yang menyimpang dari ketentuan biasa. Namun dari segi substansi materi normanya, keduanya sangat berbeda. PERPU tipe pertama berisi kebijakan permanen sebagaimana kebijakan yang tertuangkan dalam undang-undang basa pada umumnya, sedangkan materi kebijakan PERPU itu kedua, murni dimaksudkan untuk waktu yang terbatas, yaitu untuk dan selama keadaan darurat saja, tidak untuk maksud yang bersifat permanen.
Perpu yang pertama sebagaimana telah dikemukakan di atas, dimaksudkan sebagai pengganti undang-undang pada umumnya, yang diniatkan untuk pada saatnya setelah mendapat persetujuan DPR akan berlaku permanen sebagai undang-undang biasa; atau jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka PERPU itu harus dicabut. PERPU tipe pertama ini berisi kebijakan-kebijakan yang penting untuk segera dituangkan dalam bentuk UU, tetapi oleh karena kegentingan yang memaksa, tidak tersedia cukup waktu untuk mengajukan, membahas, dan mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR-RI guna mengesahkannya menjadi undang-undang. Karena itu, untuk sementara waktu, kebijakan-kebijakan baru dimaksud dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang atau PERPU untuk sementara waktu, sampai persetujuan DPR dapat diperoleh sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena statusnya adalah undang-undang biasa pada umumnya, tentu saja, PERPU tipe pertama ini dapat saja mengubah pelbagai ketentuan dalam undang-undang lain dan bahkan mempraktikkan metode “omnibus” untuk mengubah banyak undang-undang secara sekaligus, asalkan materinya tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan PERPU tipe kedua tidak dimaksudkan untuk berlaku permanen, melainkan hanya untuk sementara waktu selama keadaan darurat. PERPU tipe kedua ini: (i) dapat dipakai sebagai sarana pemberlakuan keadaan darurat, dan sekaligus (ii) sebagai sarana penuangan kebijakan hukum yang bersifat khusus untuk mengatasi dan menaggulangi masalah-masalah yang timbul dalam keadaan bahaya atau darurat; serta (iii) sebagai sarana untuk memulihkan keadaan sehingga kembali kepada keadaan semula menurut sistem hukum yang normal; dan (iv) pengaturan tentang pencabutan atau berakhirnya keadaan darurat disertai pengaturan mengenai segala akibat hukum setelah keadaan bahaya atau darurat dinyatakan berakhir, dalam Ketentuan Peralihan atau Ketentuan Penutup. Bahkan dalam statusnya sebagai produk hukum yang bersifat sementara untuk dan dalam keadaan darurat tersebut, tindakan pemerintahan dalam keadaan darurat itu (Emergency Powers) dapat menangguhkan atau mengesampingkan pelbagai ketentuan undang-undang lain dan bahkan menangguhkan berlakukan pasal-pasal tentang hak asasi manusia dan lain-lain yang telah ditentukan dan dijamin oleh UUD 1945. Tindakan mengensampingkan atau menangguhkan berlakunya undang-undang lain, atau bahkan ketentuan UUD 1945, sama sekali tidak dapat dilakukan oleh PERPU tipe pertama, karena pada hakikatnya, PERPU tipe pertama adalah undang-undang biasa yang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Jika syarat-syarat pembentukan kedua tipe PERPU ini lebih dirinci mencakup kedua keadaan itu sekaligus, ketiga kriteria yang dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi dapat lebih diperjelas menjadi empat kriteria berikut.
Adanya kebutuhan mendesak (compelling need) yang berdasarkan prinsip “rule of necessity” pada umumnya atau dalam keadaan darurat (state of emergency) mengharuskan aparatur pemerintahan negara bertindak segera untuk mengatasi masalah yang timbul yang menyangkut kepentingan umum atau kepentingan negara yang apabila tidak dilakukan akan menimbulkan korban atau jika dilakukan akan melanggar undang-undang yang berlaku.
Adanya kebutuhan mendesak (compelling need) yang berdasarkan prinsip “rule of necessity” pada umumnya atau dalam keadaan darurat (state of emergency) mengharuskan diberlakukannya suatu kebijakan baru yang jika tidak diberlakukan akan merugikan kepentingan umum atau kepentingan negara tetapi apabila diberlakukan akan melanggar undang-undang yang berlaku.
Kedua hal tersebut harus diatasi segera dengan membentuk undang-undang baru, tetapi proses pembentukannya menurut prosedur yang biasa tidak mungin dapat dilakukan karena kendala waktu (limited time constraint), sehingga persetujuan bersama DPR tidak mungkin dapat dipenuhi sebagaimana mestinya.
Jika ketiga kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana mestinya, yaitu:
Dalam keadaan biasa, PERPU tersebut berfungsi sebagai undang-undang sementara sampai mendapat persetujuan DPR sehingga PERPU berubah menjadi undang-undang biasa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, atau PERPU tersebut harus dicabut apabila tidak mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (3) UUD 1945.
Dalam kondisi negara dalam keadaan darurat, PERPU ditetapkan mengiri atau bersamaan dengan dekalarasi atau pernyataan keadaan bahaya atau pemberlakuan keadaan bahaya/darurat oleh Presiden sebagaimana mestinya menurut Pasal 12 UUD 1945 junto Pasal 22 UUD 1945. PERPU ini merupakan undang-undang darurat yang hanya dimaksudkan untuk berlaku selama keadaan darurat.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan adanya dua syarat mutlak diterbitkannya PERPU, baik tipe pertama ataupun tipe kedua, yaitu: (i) adanya kebutuhan absolut yang bersifat mendesak atau memaksa (absolute compelling need) untuk memberlakukan suatu undang-undang baru, dan (ii) adanya keterbatasan waktu untuk mengikuti prosedur biasa dalam proses pembentukan undang-undang (limited time constraint). Bahkan, dalam kondisi negara dalam keadaan darurat diharuskan pula (iii) adanya pemberlakuan atau deklarasi keadaan darurat itu sendiri sebagai persyaratan mutlak sahnya pemberlakuan PERPU sebagai undang-undang darurat sebagaimana mestinya.
Pembedaan kedua macam PERPU itu juga berkembang dalam praktik di pelbagai negara demokrasi konstitusional lain di seluruh dunia sesuai dengan kebutuhan zaman. Dalam praktik di Amerika Serikatpun perkembangan semacam ini, juga dialami, sehingga sampai sekarang diakui adanya 2 macam undang-undang, yang satu dalam keadaan darurat, dan yang lain bukan dalam keadaan darurat tetapi cara pembentukannya dilakukan berdasarkan prinsip kegentingan yang memaksa sebagaimana praktik di Indonesia. Bahkan peraturan di bawah undang-undang pun dapat dibentuk menurut tatacara yang tidak lazim, meskipun bukan dalam keadaan darurat. Misalnya, dalam studi yang dilakukan oleh Abbe R. Gluck, Anne Joseph O’Connell, dan Rosa Po, juga tergambar adanya praktik yang tidak konvensional dalam pembentukan hukum, terutama dalam proses pembentukan peraturan di bawah undang-undang yang diberi pengecualian berdasarkan putusan “judicial review” oleh pengadilan federal berdasarkan prinsip “good cause exception”, yaitu untuk tidak mengikuti ketentuan procedural yang dinilai terlalu kaku dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mendesak dibutuhkan untuk kepentingan umum.
Abbe R. Gluck, Anne Joseph O’Connell, dan Rosa Po, “Unorthodox Lawmaking, Unorthodox Reulemaking”, Columbia Law Review, Volume 115, No. 7, 2020. Hal itu disebut juga sebagai “emergency rule-making”, meskipun bukan dalam kondisi negara dalam keadaan darurat.
Dengan demikian, ada undang-undang atau peraturan yang dapat ditetapkan dalam keadaan darurat, dan ada pula undang-undang atau peraturan yang bersifat khusus yang diperkenankan menyimpang dari prosedur pembentukan yang biasa, meskipun bukan dalam keadaan darurat, melainkan hanya karena alasan kegentingan yang memaksa sebagaimana praktik di Indonesia. Artinya, PERPU juga dapat dilihat dari dua keadaan, yaitu PERPU yang dibentuk ketika negara berada dalam keadaan darurat, dan ada pula PERPU yang biasa, yang ditetapkan bukan dalam keadaan darurat yang bersifat sementara, tetapi karena kegentingan yang memaksa ditetapkan sebagai undang-undang yang bersifat sementara sampai mendapat persetujuan DPR sehingga resmi berubah menjadi undang-undang yang berlaku untuk kepentingan permanen.
PERPU sebagai undang-undang darurat diniatkan hanya untuk berlaku sementara selama dalam keadaan darurat dan justru diperlukan untuk mengatasi segala hal dalam masa keadaan darurat tersebut. Sedangkan PERPU sebagai undang-undang sementara, diniatkan untuk berlaku sebagai undang-undang biasa memuat kebijakan-kebijakan yang dumaksudkan untuk berlaku terus menerus secara permanen. Alasan kegentingan memaksa itu menjadi dasar untuk menyimpang dari prosedur pembentukan undang-undang yang biasa, tetapi materinya tetap mengikuti kaedah-kaedah yang lazim dalam pembentukan undang-undang. Sedangkan alasan kegentingan yang memaksa dalam kondisi keadaan darurat, dapat menjadi landasan konstitusional bagi Presiden untuk menetapkan PERPU dalam pengertian undang-undang darurat dengan cara menyimpang dari aturan konstitusional yang lazim, baik menyangkut prosedurnya maupun menyangkut substansi norma yang diatur di dalamnya, sepanjang tidak melampaui ketentuan, seperti misalnya, tetap menjamin perlindungan atas hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) yang ditentukan dalam Pasal 28i ayat (1) UUD 1945.
Pemberlakuan PERPU
Bagaimanakah prosedur pemberlakuan PERPU? Secara sederhana, kapan saja, Presiden menganggap adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak dapat ditunda mengenai suatu kebijakan pemerintahan yang perlu dijalankan, namun, jika dilaksanakan dengan tanpa lebih dulu mengaturnya dengan undang-undang, maka kebijakan tersebut akan melanggar undang-undang, maka timbul kebutuhan nyata untuk membentuk undang-undang baru. Namun, dalam waktu yang tersedia, dinilai tidak cukup waktu untuk membentuk undang-undang menurut tatacara yang biasa, sehingga dalam keadaan kegentingan yang memaksa itu, berlakulah ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (PERPU). Dengan demikian, pemberlakuan PERPU itu dapat dilakukan secara sepihak oleh Presiden kapan saja menurutnya hal itu dibutuhkan, dengan catatan bahwa PERPU itu hanya bersifat sementara sampai pada persidangan DPR berikutnya, hal itu diajukan oleh Presiden untuk selanjutnya apabila telah mendapat persetujuan bersama oleh DPR-RI sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, maka PERPU itu akan berubah menjadi UU. Jika tidak disetujui, maka PERPU itu harus dicabut sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena PERPU adalah produk hukum Presiden, maka naskah PERPU ditulis dalam Kepala Surat Presiden Republik Indonesia, belum dalam bentuk Undang-Undang. Penomeran PERPU juga belum didasarkan atas penomeran undang-undang sebagaimana yang sudah diundangkan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. Namun, oleh karena tipe PERPU, sebagaimana digambarkan diatas ada dua macam, yaitu PERPU dalam keadaan biasa tetapi memenuhi syarat kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945, dan PERPU yang ditetapkan untuk dan dalam keadaan darurat menurut Pasal 12 UUD 1945, maka pemberlakuan keduanya juga memerlukan penjelasan yang berbeda.
PERPU pertama, sepenuhnya dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersifat sementara, sampai disetujui bersama oleh DPR, dengan sendirinya akan berubah menjadi undang-undang sebagaimana mestinya dengan muatan kebijakan yang juga akan berlaku permanen sesuai dengan undang-undang pada umumnya. Sedangkan PERPU tipe kedua adalah PERPU yang ditetapkan untuk dan dalam keadaan darurat. Maksud, PERPU itu ditetapkan (i) untuk memberlakukan keadaan darurat dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat khusus dan berjangka waktu sementara sampai keadaan darurat berakhir, dan (ii) dalam keadaan darurat yang sudah dideklarasikan oleh Presiden sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Karena itu, penetapan PERPU tipe kedua ini dapat dilakukan dengan didahului atau secara bersama dengan Keputusan Presiden yang mendeklarasikan perubahan keadaan dari keadaan normal kepada keadaan darurat menurut Pasal 12 UUD 1945 dan UU tentang Keadaan Bahaya. Bahkan, selain Keppres dan PERPU, dapat pula ditambah dengan Instruksi Presiden (INPRES) yang lebih operasional memandu pelaksanaan oleh lembaga-lembaga pelaksana di lapangan. Dengan demikian, ada 3 instrumen hukum yang dapat ditetapkan sekaligus ada hari yang sama, yaitu:
Keppres yang mendeklarasikan keadaan darurat;
PERPU yang berisi kebijakan-kebijakan yang bersifat sementara yang dapat menangguhkan berlakunya pelbagai undang-undang, termasuk kebijakan khusus yang menangguhkan hak asasi manusia atau berlakunya ketentuan tertentu dalam UUD 1945 untuk sementara waktu sampai keadaan pulih kembali;
INPRES yang memandu pelaksanaan operasional dan arahan-arahan teknis bagi lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana, baik di tingkat pusat provinsi, maupun kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Bahkan, ketika sejak awal menghadapi ancaman Covid-19, UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang merupakan undang-undang peninggalan zaman Orde Lama yang masih berlaku sampai sekarang yang mejabarkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-satunya ketentuan mengenai keadaan darurat dalam UUD 1945, seharusnya juga ikut diubah dengan PERPU yang tersendiri, yaitu PERPU tentang Keadaan Darurat atau Bahaya. Dengan demikian, pada waktu yang sama dapat ditetapkan 4 instrumen hukum sekaligus, yaitu:
PERPU tentang Keadaan Bahaya;
Keputusan Presiden tentang Keadaan Bahaya Covid-19;
PERPU tentang Covid-19;
INPRES tentang Penanganan Covid-19.
Khusus mengenai instrumen pemberlakuan keadaan darurat dan pengakhiran atau pencabutan keadaan darurat dapat diperdebatkan mengenai dua kemungkinan instrumen, yaitu (i) dengan Undang-Undang, atau (ii) dengan Keputusan Presiden. Pasal 12 UUD 1945 menentukan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan instrumen hukum tertulis berbentuk apakah, Presiden menyatakan keadaan bahaya? Dalam rumusan Pasal 12 UUD 1945 tersebut terdapat 2 hal, yaitu: (i) Yang menyatakan atau mendeklarasikan keadaan bahaya itu adalah Presiden, baik untuk menyatakan mulai berlakunya maupun untuk menyatakan berakhirnya keadaan bahaya itu; (ii) ketentuan mengenai syarat-syarat dan akibat hukum keadaan darurat itu ditetapkan dengan undang-undang, dalam pengertian bahwa hak itu (a) secara umum “diatur dengan undang-undang”, dan (b) secara kasuistik ditetapkan dengan “undang-undang” yang khusus diberlakukan untuk dan selama keadaan darurat yang bersangkutan disertai pengaturan tentang kebijakan-kebijakan khusus yang ditentukan untuk mengatasi keadaan dan selama keadaan bahaya tersebut.
Dengan demikian, pernyataan “ditetapkan dengan undang-undang” dalam rumusan Pasal 12 itu dapat saja ditafsirkan terbagi ke dalam dua pengertian umum dan khusus, yaitu (i) Undang-Undang yang akan mengatur ketentuan umum mengenai keadaan darurat, dan (ii) Undang-undang yang ditetapkan khusus untuk memberlakukan keadaan darurat dan mengatur kebijakan khusus untuk dan selama keadaan darurat atau bahaya tersebut. Namun,undang-undang kategori kedua ini karena kegentingan yang memaksa, dituangkan sementara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Dalam kalimat kedua rumusan Pasal 12 tersebut jelas dinyatakan bahwa “syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya, yang ditetapkan dengan undang-undang itu adalah “syarat dan akibatnya keadaan bahaya”. Syaratnya apa dan akibatnya apa itu yang “ditetapkan dengan undang-undang”. Perkataan “ditetapkan” disini dapat pula dipahami mengandung makna “diatur dengan undang-undang”, yaitu mengenai apa saja syarat-syarat dan apa pula akibat-akibat permberlakuan keadaan bahaya itu harus diatur dengan undang-undang. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pernyataan berlakunya keadaan darurat atau bahaya tersebut tidak harus terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan, melainkan cukup dituangkan dalam bentuk keputusan administrasi saja, yaitu Keputusan Presiden, tetapi pengaturan mengenai syarat dan akibatnya keadaan bahaya itu diatur lebih dulu dengan atau dalam undang-undang. Hal ini jelas dari kalimat pertama yang menentukan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Artinya, pernyataan keadaan bahaya itu bukan di dalam undang-undang yang mengharuskan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, melainkan cukup dinyatakan oleh Presiden saja.
Dengan demikian, pernyataan bahwa syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya “ditetapkan dengan undang-undang” lebih tepat dipahami dalam pengertian “diatur dengan undang-undang”. Undang-undang yang dimaksud dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu (i) undang-undang yang mengatur keadaan bahaya secara umum, dan (ii) undang-undang yang secara spesifik mengatur kebijakan khusus untuk dan dalam keadaan darurat kasus per kasus, hingga keadaan darurat itu pulih kembali. Undang-undang kategori kedua ini, oleh karena keadaan yang genting dan memaksa, dapat dituangkan lebih dulu dalam bentuk PERPU keadaan darurat. Sedangkan undang-undang yang berlaku umum dapat juga diubah dalam suasana keadaan darurat, sehingga perubahannya juga dapat dilakukan dalam bentuk PERPU. Misalnya, UU No. 23 Tahun 1959 pada mulanya juga adalah PERPU. Jika dalam suasana krisis Covid-19 dewasa ini, UU No, 23 Tahun 1959 itu hendak diperbaiki agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman terutama setelah terjadinya Perubahan UUD 1945, maka UU No. 23 Tahun 1959 itu dapat saja diperbaiki atau diubah, atau bahkan diganti dengan undang-undang baru yaitu dengan PERPU tentang Keadaan Bahaya sebagai penjabaran dari ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Dengan demikian, untuk menghadapi ancaman bahaya Covid-19, sudah seharusnya Pemerintah menerbitkan (i) Keputusan Presiden yang menyatakan berlakunya Keadaan Bahaya Covid-19; (ii) PERPU tentang Keadaan Bahaya sebagai penjabaran Pasal 12 UUD 1945 yang dimaksud untuk mengubah atau menggantikan UU No. 23 Tahun 1959; (iii) PERPU tentang Penanggulangan Bahaya Covid-19 Tahun 2020 yang berisi kebijakan-kebijakan khusus yang menyimpang untuk semenara waktu dari pelbagai ketentuan Undang-Undang yang berlaku untuk maksud mengatasi keadaan darurat sampai keadaan biasa pulih kembali; dan ditambah dengan (iv) Instruksi Presiden (INPRES) tentang Upaya Penanggulangan Bahaya Covid-19 yang berisi kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah teknis operasional penanggulangan keadaan bahaya Covid-19 oleh seluruh jajaran organ pemerintahan pusat dan daerah di seluruh Indonesia.
Pengajuan Rancangan dan Pencabutan PERPU
Menurut UU No. 12 Tahun 2011 jo UU MD3, pencabutan PERPU dilakukan dengan UU. Ini tidak tepat dan sudah seharusnya diperbaiki. PERPU ditetapkan secara sepihak oleh Presiden, maka pencabutannya seharusnya juga cukup dilakukan secara sepihak oleh Presiden sendiri, yaitu dicabut secara administratif dengan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai produk administrasi. Namun, dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011, ditentukan bahwa:
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;
Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang;
DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi UndangUndang;
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana diulangi lagi oleh Pasal 52 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, PERPU harus mendapat persetujuan DPR-RI paling lambat dalam persidangan yang berikut. Dalam Penjelasan Pasal 52 Ayat (1) ini, ditegaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.” Karena itu, Presiden harus mengajukan PERPU yang ditetapkannya untuk disetujui atau ditolak oleh DPR secepatnya, sebelum masa sidang berikutnya tersebut. Menurut Pasal 52 ayat (2) UU tersebut, “Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang”.
Artinya, setelah menetapkan PERPU, Pemerintah segera harus menyusun Rancangan UU tentang penetapan PERPU itu menjadi undang-undang. Hal yang sama harus dilakukan jika PERPU itu tidak mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR, yaitu DPR atau Pemerintah harus mengajukan Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6). Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU itu ditetapkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yaitu yang menyatakan, “Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku”. Dengan demikian, rapat paripurna DPR yang menyatakan menolak PERPU, dan yang menyatakan mencabut PERPU serta menetapkan UU tentang pencabutannya adalah rapat paripurna yang sama. Karena itu, dalam sidang atau rapat paripurna yang dimaksud, Rancangan UU tentang Pengesahan PERPU dan Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU sudah harus siap dan tersedia untukditetapkan dalam rapat paripurna DPR-RI yang tersebut.
Jika ketentuan demikian ditaati, maka tidak perlu ada kekuatiran mengenai berlarut-larutnya mekanisme penetapan PERPU menjadi UU ataupun pencabutannya sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, kelemahan aturan tersebut dapat dilihat dari segi administrasi. Pertama, PERPU sama sekali belum diundangkan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara, tetapi ketika dicabut dengan UU, maka dengan sendirinya pencabutannya itu akan diundangkan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. Pengaturan demikian jelas tidak tepat. Kedua, PERPU ditetapkan secara sepihak oleh Presiden, maka seharusnya, pencabutannya juga cukup dilakukan secara sepihak oleh Presiden sebagai pejabat yang menetapkan berlakunya. Presiden yang menetapkan dan Presiden pula yang harus mencabutnya. Kewenangan kontrol oleh DPR sudah cukup dengan kewenangannya untuk menyatakan mennyetuji atau tidak menyetujuiPERPU itu, sedangkan selebihnya, cukup Presiden yang menetapkan pencabutannya. Ketiga, pencabutan dilakukan dengan undang-undang, berarti pencabutan harus dilakukan secara bersama-sama oleh Presiden dan DPR melalui persidangan di DPR. Mekanisme demikian jelas melanggar ketentuan UUD 1945 yang menentukan bahwa “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peratruan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Karena itu, jika PERPU ditolak oleh DPR, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 junctis Pasal 52 ayat (4) dan (5) UU No. 12 Tahun 2011.
Karena itu, pencabutan PERPU yang sudah dinyatakan ditolak atau tidak mendapat persetujuan oleh DPR, cukup dituangkan dalam bentuk keputusan yang ditandatangani oleh Presiden sebagai pejabat yang menetapkan PERPU itu. Artinya, pencabutan PERPU cukup dilakukan dengan keputusan administrasi saja, bukan dalam bentuk produk regulasi ataupun legislasi. Pelbagai ketentuan mengenai pembentukan dan pencabutan PERPU ini seharusnya memang perlu diatur tersendiri. Karena itu, dalam Pasal 53 UU No. 12 Tahun 2011 juga ditentukan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.” Dengan perkataan “diatur dengan Peraturan Presiden” tersebut menunjukkan bahwa sudah semestinya ada Peraturan Presiden yang tersendiri mengatur mengenai soal PERPU ini. Sayangnya, sampai sekarang Perpres yang dimaksud belum dibentuk. Yang ada adalah Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan (LNRI Tahun 2014 No. 199). Namun, Perpres ini tidak mengatur secara tersendiri mengenai PERPU, melainkan mengatur pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 secara umum. Padahal, UU No. 12 Tahun 2011 mengamanatkan untuk disusunnya Peraturan Presiden yang tersendiri mengenai PERPU. Seyogyanya, hal-hal yang bersifat administratif mengenai perancangan, pengajuan, persetujuan menjadi UU, dan pencabutan PERPU diatur tersendiri dengan Peraturan Presiden sesuai dengan amanat Pasal 53 UU No. 12 Tahun 2011.
Di dalamnya, sebaiknya diatur mengenai format rumusan PERPU, dan mekanisme penetapan dan pengajuannya oleh Presiden kepada DPR dengan maksud untuk dibahas guna mendapatkan keputusan diterima atau ditolak oleh DPR. Dalam hal PERPU disetujui oleh DPR juga perlu diatur bagaimana format PERPU diubah menjadi format UU. Sebagai perbandingan, mungkinkah naskah PERPU disetarakan dengan naskah Konvensi Internasional, dan naskah RAPBN yang dituangkan menjadi undang-undang dengan selembar naskah dengan lampiran. UU yang ditetapkan oleh DPR hanya berupa lembaran naskah UU, sedangkan naskah APBN dan Konvensi Internasional ditempatkan sebagai lampiran UU yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari naskah UU itu sendiri. Demikian pula dengan UU yang ditetapkan oleh DPR cukup 1 lembar saja, sedangkan PERPU dijadikan lampiran yang tidak terpisahkan dengan UU. UU itu menyatakan pesetujuan DPR dan menetapkan PERPU tersebut berlaku sebagai UU. Sedangkan jika PERPU itu ditolak, maka DPR cukup menetapkan 1 lembaran Keputusan DPR yang menyatakan menolak, sehingga atas dasar itu, Presiden menetapkan Keputusan Presiden yang menyatakan mencabut PERPU yang bersangkutan.
Dengan demikian, dapat dibedakan dengan jelas dan tegas di antara fungsi-fungsi atau kewenangan kelembagaan, dan di antara produk hukum keputusan legislasi atau regulasi, dan produk hukum keputusan administrasi. PERPU sebagai produk regulasi ditetapkan oleh Presiden sampai mendapat persetujuan oleh DPR, berubah statusnya menjadi UU. Tetapi UU yang ditetapkan oleh DPR itu cukup dalam bentuk lembaran UU sebagaimana UU APBN atau UU Konvensi Internasional. Karena itu, format PERPU tidak perlu diubah lebih dulu dalam bentuk RUU. Karena keputusan yang dibutuhkan dari DPR hanya 2 kemungkinan pernyataan, yaitu (i) menyetujui PERPU menjadi UU atau (ii) menolak atau tidak menyetujui PERPU menjadi UU. Karena itu, pernyataan menerima cukup dituangkan dalam kertas keputusan yang berlaku sebagai UU, sedangkan jika DPR menolak, maka pernyataan penolakan itu tidak perlu berbentuk UU, melainkan cukup dalam risalah rapat ditegaskan menolak atau dituangkan dalam bentuk keputusan tersendiri yang menyatakan menolak PERPU, sehingga atas dasar itu, Presiden mencabut PERPU dengan menetapkan Keputusan Presiden yang mencabut PERPU tersebut secara administratif.
14