Academia.eduAcademia.edu

Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam

Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam Rangga Sa’adillah S.A.P.1, Dewi Winarti 2, Daiyatul Khusnah 3 1 STAI Taswirul Afkar, Surabaya Email : rangga@taswirulafkar.ac.id 2 PW Fatayat NU, Jawa Timur Email : dewiwinarti@gmail.com 3 PW Fatayat NU, Jawa Timur Email : daiyatulkhusnah@gmail.com Keywords: Epistemology of Islamic Education, Axiology of Islamic Education, Bayani, Burhani, Irfani. Abstract: The terms of epistemology and axiology in education are endless discussions. The descriptions of epistemology and axiology regarding the concept and its relevance to Islamic education increasingly show views on the horizon of Islamic education. This article aims to elaborate the concepts of epistemology and axiology in the perspective of Islamic education. To describe the terms of epistemology and axiology in the perspective of Islamic education, the method used in this article is literature combined with annotated bibliography as a guide for annotating literature and analyzing discussion. This article produces several elaborative discussions including epistemology as a philosophical way to formulate knowledge, it can help us to develop new concepts in Islamic education such as bayani, burhani and irfani. Meanwhile, axiology as a philosophical guide to capture the existence of values can be used to reaffirm the essence of basic values in Islamic education. Kata kunci: Epistemologi Pendidikan Islam, Aksiologi Pendidikan Islam, Bayani, Burhani, Irfani. Abstrak: Terma epistemologi dan aksiologi dalam pendidikan menjadi pembahasan yang tidak ada habisnya. Uraian-uraian tentang epistemologi dan aksiologi mengenai konsep dan relevansinya terhadap pendidikan Islam semakin menunjukkan pandangan tentang cakrawala pendidikan Islam. Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi konsep epistemologi dan aksiologi dalam perspektif pendidikan Islam. Untuk menjabarkan terma epistemologi dan aksiologi dalam perspektif pendidikan Islam, metode yang digunakan dalam artikel ini adalah kepustakaan dipadu dengan annotated bibliografi sebagai panduan untuk melakukan anotasi kepustakaan dan analisis pembahasan. Artikel ini menghasilkan beberapa diskusi elaboratif diantaranya adalah epistemologi sebagai sebuah cara filosofi untuk merumuskan ilmu, dapat membantu kita untuk konsep-konsep baru dalam pendidikan Islam seperti bayani, burhani dan irfani. Sementara aksiologi sebagai panduan filosofis untuk menangkap eksistensi nilai dapat kita gunakan untuk kembali mempertegas esensi dari nilai-nilai dasar dalam pendidikan Islam. Received: June 1, 2021. Revised: June 23, 2021. Accepted: June 28, 2021 1. Pendahuluan Sampai saat ini banyak ditemukan gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh para ahli yang menjawab kelemahan berbagai permasalahan di dunia pendidikan Islam, seperti melakukan upaya erklaren dan verstehen. Melakukan erklaren dalam bidang pendidikan Islam berarti meneliti secara positivistik dipadu dengan teori-teori relevan untuk menjelaskan efektivitas teori terhadap fokus kajian 34 35 Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 1, April 2021, Hal. 34-47 yang diteliti. Sementara verstehen ialah upaya untuk memahami dan menerangkan konsep-konsep seperti konsep filosofis dalam pendidikan Islam seperti epistemologi dan aksiologi. Aktivitas verstehen juga berarti memberikan syarah terhadap konsep utama kemudian memecahnya menjadi unit-unit analisis untuk dikembangkan menjadi wawasan keilmuan yang baru. Artikel ini ditulis dalam rangka melakukan upaya verstehen terhadap konsep epistemologi dan aksiologi dalam perspektif pendidikan Islam. Apa pentingnya melakukan verstehen terhadap dua konsep (epistemologi dan aksiologi) yang memang sudah tidak asing lagi dijelaskan dan dijabarkan? Tentu saja meski banyak bacaan yang telah menjelaskan konsep epistemologi dan aksiologi pendidikan Islam tidak akan habis konsep tersebut diurai, justru setiap uraian akan menghasilkan syarah baru yang sesuai dengan selalu kontekstual. Selain itu, upaya untuk melakukan verstehen terhadap konsep epistemologi dan aksiologi pendidikan Islam juga dalam rangka melakukan perbaikan-perbaikan terhadap permasalahan pendidikan Islam yang akan selalu muncul sesuai dengan kontekstual zaman. Oleh sebab itu Nata, memberikan alternatif jawaban untuk mengurai permasalahan tersebut dengan kembali mengkaji konsep epistemologi yang digali dari sumber ajaran Islam. Alternatif jawaban ini dilontarkan untuk mengajukan semacam rekonstruksi. Memang gagasan ini dinilai terlalu radikal bila bertujuan untuk merekonstruksi. Meski demikian urgensitas kajian epistemologi yang digali berdasarkan sumber otoritatif dalam pendidikan Islam dinilai sebagai upaya yang seharusnya ditempuh, mengingat landasan pendidikan Islam ialah ajaran Islam itu sendiri (Abudin Nata, 2014). Bila upaya memahami epistemologi pendidikan Islam dengan cara merekonstruksi dinilai sebagai upaya yang radikal. Cara sebaliknya, yakni memahami epistemologi pendidikan Islam dengan cara menyelidiki kontruksi yang tersusun di dalamnya diharapkan menjadi upaya yang tidak dianggap macam-macam. Upaya menyelidiki konstruksi epistemologi pendidikan Islam dilakukan untuk menyelidiki bahwa sejatinya pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam yang penuh dengan hikmah (wisdom). Atas dasar itu dibentuklah praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada tarap ini, paradigma epistimologi pendidikan Islam menuntut adanya desain besar tentang ontologi epistimologi dan aksiologi pendidikan Islam. Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas ilmu pendidikan Islam dengan ditopang oleh konstruk pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utama yang pada waktunya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan. Islam sebagai paradigma dalam ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam, dengan berpijak pada tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya ditanamkan elemen-elemen pendidikan sebagai world view (pandangan filosofis Islam) terhadap pendidikan (Daulay & Tobroni, 2019; Tobroni, 2018). Aksiologi secara khusus menjadi bagian tersendiri dalam pembahasan filsafat ilmu. Secara spesifik sebenarnya pengantar untuk memahami bagaimana sejatinya aksiologi telah diulas oleh Suriasumantri (Suriasumantri, 2007). Sebelum lebih jauh bagaimana pengertian aksiologi secara interkonektif terhadap pendidikan Islam, terlebih dahulu didefinisikan secara harfiah terma aksiologi. Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani bermula dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori (Nuzulah et al., 2008; Sholihah et al., 2019). Definisi etimologi aksiologi bermula dari kata axia yang sepadan dengan kata nilai, value, dan logos sepadan dengan kata pikiran atau ilmu. Dengan demikian secara etimologi, aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Sholihah et al., 2019). Definisi tersebut diperkuat oleh Nuzulah et al., (2008) dari sisi kefilsafatannya, aksiologi ialah cabang filsafat ilmu yang membincangkan persoalan tujuan ilmu pengetahuan dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Hakikat yang ingin direngkuh oleh aksiologi ialah manfaat suatu ilmu pengetahuan itu untuk manusia. Sementara objek aksiologi adalah Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 Rangga Sa’adillah S.A.P., Dewi Winarti, Daiyatul Khusnah Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam nilai kegunaan ilmu sebab ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut bisa bermanfaat untuk masyarakat. Meneruskan ruanglingkup aksiologi yang menyangkut permasalahan nilai atau bisa dikatakan aksiologi ialah ilmu tentang nilai, teori yang membahas tentang nilai -- Sholihah et al., (2019) menyatakan bahwa aksiologi juga mempelajari tentang penilaian seseorang terhadap eksistensi objek yang dinilai apakah baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, bagaimana nilai itu diagungkan oleh sebuah kelompok masyarakat, dan bagaimana nilai itu begitu dihargai pada kelompok masyarakat yang lain. Memang, pada dasarnya persoalan nilai inilah yang menjadi topik serius dalam perbincangan aksiologi. Yusub (2015) mengemukakan, bahwa dari pengertiannya sendiri aksiologi begitu jelas memperbincangkan persoalan nilai. Nilai ialah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan agar pertimbangan tersebut dihargai oleh orang lain. Pada hakekatnya nilai berbentuk abstrak, akan tetapi eksistensinya ada. Nilai menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk menentukan sikap, tindakan, benda patut dihargai atau justru harus diasingkan. Akan tetapi meski nilai berbentuk abstrak, hasil yang menjadi tujuan nilai bisa berbentuk konkrit. Misalnya prestasi yang dilihat sebagai bukti nyata atas perolehan kerja keras. Kerja keras ialah suatu nilai, prestasi merupakan hasil. Dengan melalui nilai kerja keras maka hasil yang akan diperoleh adalah prestasi yang membanggakan. Perhatian aksiologi terhadap nilai menjadikan aksiologi begitu penting bila diinterkoneksikan dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam ialah usaha sadar untuk membimbing anak didik supaya menuju pribadi utama (Zuhairini, 1995). Pribadi yang utama dalam usaha mendidik inilah yang wilayah garapan aksiologi. Pribadi utama adalah kata yang multi tafsir, misal Marimba (1962) menyatakan proses membimbing anak didik hendaklah menjadi insan kamil. Maka menyimak dua pendapat tersebut yakni pribadi utama dan insan kamil itulah arah tujuan pendidikan Islam, dengan kata lain pendidikan Islam harus melakukan segenap upaya untuk menjadi anak tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Inilah semisal interkoneksi antara aksiologi dengan pendidikan Islam. Melalui aksiologi, pendidikan Islam dapat fokus membidik target dan sasaran kegiatan pendidikannya. Sementara melalui pendidikan Islam, aksiologi menegaskan bahwa ilmu itu memiliki nilai guna, dan ilmu itu bukan hanya sebagai seperangkat mekanisme rasio yang bebas nilai, dengan kata lain itu setidaknya terikat oleh nilai (Islam). 2. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan. Sebagaimana penelitian kepustakaan pada lazimnya, teknik yang digunakan yaitu melakukan telaah terhadap sumber-sumber kepustakaan meliputi literatur, buku, jurnal catatan dan sejenisnya yang berhubungan dengan isu kajian epistemologi dan aksiologi dalam perspektif pendidikan Islam (Zed, 2004). Metode kepustakaan yang digunakan dalam artikel ini kemudian dipadu dengan prosedur annotated bibliography yakni sebuah prosedur sekunder yang digunakan untuk membantu inventarisasi kepustakaan yang digunakan dalam menganalisis isu kajian epistemologi dan aksiologi (Putra, 2014). Secara operasional metode kepustakaan terdiri dari enam langkah yakni, pemilihan topik, eksplorasi, menentukan fokus, pengumpulan data, persiapan penulisan, dan penulisan artikel. Pemilihan topik adalah langkah awal dari penulisan artikel ini topik yakni topik tentang epistemologi dan aksiologi dalam perspektif pendidikan Islam. Dua topik yang telah ditentukan kemudian dieksplorasi sumber kepustakaannya melalui eksplorasi literatur, buku, maupun jurnal sekaligus tahap eksplorasi ini adalah tahap pertama dalam annotated bibliography. Langkah ketiga adalah menentukan fokus sebagai sub topik yang akan dipecah menjadi unit-unit analisis yang menjadi inti pembahasan dalam artikel ini seperti: pengertian epistemologi dan aksiologi, model pemikiran epistemologi, sistem Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 36 37 Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 1, April 2021, Hal. 34-47 epistemologi, jenis-jenis aksiologi dan konsep aksiologi dalam pendidikan Islam. Penentuan fokus dalam metode kepustakaan menjadi langkah kedua dalam tahap annotated bibliography. Tahap terakhir dalam annotated bibliography sekaligus menjadi langkah keempat metode kepustakaan adalah pengumpulan data. Langkah pengumpulan data dilakukan dengan menginventarisir pustakapustaka yang diperoleh dari tahap pertama annotated bibliography (langkah eksplorasi). Pada langkah ini literatur akan membentuk anotasi atau pola yang semula dalam langkah pertama annotated bibliography literatur hanya terkumpul saja, pada langkah ini literatur dapat dikelompokkan pada sub topik yang menjadi unit analisis dalam pembahasan artikel ini seperti pengertian epistemologi dan aksiologi, model pemikiran epistemologi, sistem epistemologi, jenis-jenis aksiologi dan konsep aksiologi dalam pendidikan Islam. Langkah kelima adalah persiapan penulisan dengan cara membuat kerangka kepenulisan atau outline. Kerangka kepenulisan ini berfungsi sebagai panduan atau peta dalam kepenulisan artikel sekaligus sebagai pemungkas dari tahap keenam dalam metode kepustakaan. Metode Kepustakaan Analisis Pemilihan Topik Eksplorasi informasi Pengumpulan Data Persiapan Penulisan Penyajian Annotated Bibliography Menentukan Fokus Konsep Epistemologi Pengertian epistemologi Model epistemologi Sistem epistemologi Konsep Aksiologi Pengertian Aksiologi Jenis-jenis aksiologi Konsep aksiologi Penulisan Artikel Gambar 1. Alur Perpaduan Metode Kepustakaan dengan Annotated Bibliography 3. Hasil dan Pembahasan a. Kajian Konsep Epistemologi dalam Pendidikan Islam Epistemologi secara umum menjadi objek studi tersendiri dalam filsafat ilmu. Pembahasan tentang epistemologi dalam filsafat ilmu sebenarnya telah tuntas dikuliti oleh Suriasumantri (2007). Pengertian epistemologi dalam pembahasan ini tidak kembali mengulang pembahasan yang telah dikupas oleh Suriasumantri, dengan mengutip beberapa pendapat pendapat yang khusus mendalami pendidikan Islam, bagian ini ingin mengkonstruk pendapat-pendapat tersebut. Sembari mengumpulkan definisi epistemologi menurut beberapa ahli yang begitu menaruh perhatian terhadap pendidikan Islam, dalam bagian ini juga dikumpulkan pengertian pendidikan Islam menurut beberapa ahli. Pada dasarnya epistemologi bermula dari fan ilmu filsafat yang mempelajari tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan (Ramadhan, 2019). Bila memperdalam ilmu epistemologi dalam pendidikan Islam terutama pendapat-pendapat ahli pendidikan Islam mengenai terma epistemologi itu sendiri maka akan ditemukan kekhususan. Seperti epistemologi menurut Qomar (2005) epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang dipikirkan. Menurut Tafsir (2009) epistemologi ialah ilmu yang menyelidiki tentang objek pengetahuan, bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan bagaimana cara mengukur benar tidaknya pengetahuan itu. Melengkapi pendapat tersebut, Azra (1999) menjelaskan epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 Rangga Sa’adillah S.A.P., Dewi Winarti, Daiyatul Khusnah Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam Menuju pada terma pendidikan Islam, menurut Al-Atttas (1984) pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan yang secara berangsurangsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa dalam rangka membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Sementara menurut Al-Ghulayaini sebagaimana dikutip oleh Ghofur (2016) bahwa pendidikan Islam ialah usaha menginternalisasikan akhlakul karimah di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyirami dengan petunjuk serta nasihat, sehingga menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud kebaikan, keutamaan, dan cinta bekerja supaya bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Menyambung pendapat tersebut Zuhairini (1995) menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau sesuatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan, dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggungjawab sesuai nilai-nilai Islam. Merujuk pada berbagai pendapat di atas, dapat ditarik sebuah garis besar terma epistemologi pendidikan Islam ialah objek pengetahuan, kiat memperoleh pengetahuan dan cara mengukur benar tidaknya pengetahaun yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, akhlak, mengembangkan fitrah dan semua potensi manusia secara maksimal agar menjadi muslim yang baik, memiliki pola pikir logis-kritis, bertakwa, berguna bagi diri dan lingkungannya, dan dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat tentu saja yang sejalan dengan ajaran Islam (Ghofur, 2016; Nurdin et al., 2019). Terdapat tiga model berpikir epistemologi dalam pendidikan Islam yakni: model berpikir bayani, burhani dan irfani. Pertama, model berpikir bayani adalah pendekatan dengan menggunakan analisis teks. Maka sumber Epistimologi bayani ialah teks. Epistimologi Bayani bersumber pada 2 hal yakni, Teks nash (Al-Quran dan Sunnah rasulullah). Model berfikir seperti ini sudah lama dipergunakan para fuqohah, mutaalimin, dan ushulliyin. Pendekatan ini digunakan untuk memahami dan menganalisis teks untuk mengeluarkan makna zahir dari lafad dan ibarah yang zahir pula. Epstemologi bayani bertumpu pada landasan berfikir yang didasarkan teks suci yang memiliki otoritas penuh menentukan arah kebenaransebuah kitab dan fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung didalamnya. Kedua, model berfikir burhani. Berfikir burhani ialah model berpikir dengan mendayagunakan potensi indra, eksperimen dan hukum hukum logika. Artinya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu, harus bertumpu kepada kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal. Sumber pengetahuan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang yang berkaitan dengan alam nyata, baik yang bersifat alam, sosial, corak model yang dilakukan adalah pendekatan induktif yakni menganalisis dari penelitian empiris. Ketiga, model berfikir irfani. Pendekatan Irfani suatu pendekatan yang digunakan dalam pemikiran Islam untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafad dan ibarah juga merupakan istinbat dari makrifah qolbiyah dan Al-Quran. Pendekatan irfani pendekatan bertumpu pada instrumen pengalaman batin, qolb, wijidan, basirah dan intuisi. Metode yang digunakan dengan manhaj kasfi riyadoh, mujahadah dan manhaj ikhtishafi (analog) yakni metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analog. Pendekatan irfani sebenarnya menolak mitologi dan justru membersihkannya dari persoalan tahayul. Pendekatan irfani bahkan justru membimbing penganut agama untuk menangkap haqiqoh dibalik syariah. Ketiga model epistemologi itulah yang menjadi mozaik dalam perspektif pemikiran pendidikan Islam. Seorang tokoh ilmuwan muslim yang termasyhur mengenalkan gagasan trinitas model epistemologi pendidikan Islam adalah Abid Al-Jabiri, seorang ilmuwan Eropa yang hingga kini gagasannya selalu layak untuk dielaborasi. Meski Al-Jabiri mengenalkan trinitas model epistemologi akan tetapi sebenarnya Al-Jabiri justru lebih memilih untuk mengembangkan model epistemologi Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 38 39 Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 1, April 2021, Hal. 34-47 burhani. Sebagaimana masyarakat Eropa yang condong terhadap metode erklaren, model epistemologi burhani juga sebagai upaya untuk memformulasikan ilmu pengetahuan sebagai hal yang rasional bukan terintervensi dengan prasangka terlebih mitologi. Suriasumantri menjelaskan bahwa obyek epistemologi merupakan segala proses yang berkaitan dengan upaya memperoleh pengetahuan juga menghantarkan pada tercapainya tujuan, yaitu bukan untuk menjawab sebuah permasalahan apakah yang saya tahu, melainkan untuk mengungkap persyaratan yang memungkinkan “saya” dapat tahu dan membongkar susunan pengetahuan hingga menjadi konstruk ilmu (Suriasumantri, 2007). Tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan, meski tidak bisa dipungkiri, bukan demikian – yang menjadi perhatian dan bidikan epistemologi ialah hasrat untuk merengkuh potensi pengetahuan, adalah potensi untuk merengkuh pengetahuan tentang pendidikan Islam. Semakna dengan pendapat tersebut, Qomar menegaskan bahwa epistemologi pendidikan Islam menuntut untuk mengembangkan pendidikan Islam secara konseptual dengan kata lain, pemikir pendidikan Islam ditantang untuk memproduksi ilmu pendidikan Islam bukan hanya sebatas knowledge melainkan sampai pada tataran sains yang kemudian diturunkan secara konseptual menuju tataran praktis (Qomar, 2005). Penguasaan seseorang terhadap epistemologi, dapat menghantarkan seseorang untuk menyelidiki susunan suatu ilmu. Level selanjutnya apabila seseorang menguasai epistemologi, ia memiliki kemampuan untuk menemukan dan menyusun ilmu. Jadi sebenarnya epistemologi merupakan basis awal seseorang untuk memproduksi ilmu, bila basis ini dikuasai dengan baik maka bukan hanya persoalan produksi ilmu melainkan rekonstruksi terhadap ilmu yang dianggap tidak kontekstual dapat dicapai oleh orang tersebut. Melalui epistemologi diharapkan.dapat menumbuhkan kesadaran. bahwa jangan sampai seseorang puas. dengan sekedar memperoleh dan memahami suatu pengetahuan akan tetapi mengabaikan cara untuk. memperoleh pengetahuan. Dengan penguasaan. basis epistemologi yang matang, seseorang bukan hanya pasif menerima ilmu melainkan diharapkan dapat menjadi produsen yang aktif, kreatif dan dinamis, bukan hanya ber-taqlid pada pendapat, melainkan paham akan asal muasal pendapat, pada tataran yang lebih tinggi penguasaan terhadap epistemologi dapat memberikan bekal kepada seseorang untuk bisa merekonstruksi ilmu (Nurdin et al., 2019; Rosidin, 2013). Menyambung pernyataan di atas, epistemologi itu adalah persolan “memasak”, bukan persoalan “masakan”. Artinya dalam epistemologi yang menjadi bahan perbincangan adalah bukan produk ilmu yang sudah jadi, melainkan bagaimana ilmu yang sudah jadi tersebut di-“masak” hingga menjadi “masakan”. Pengayaan tentang wawasan sekaligus pngalaman dalam mengkonstruk sebuah ilmu menjadi bahan yang penting dalam epistemologi. Penyelidikan terhadap proses terjadinya ilmu tersebut membutuhkan ilmu tersendiri untuk mengupas, menguliti, dan menganalisis, misal bagaimana ilmu fiqih itu muncul? Maka dibutuhkan penguasaan terhadap ilmu ushul fiqih berikut qawaid fiqhiyah. Melalui perannya sebagai penyelidik ilmu, epistemologi dapat menghantarkan seseorang untuk memahami lebih dalam bagaimana asal muasal ilmu itu lahir (Kusaeri & S.A.P., 2015a; Putra, 2014). Sejalan dengan perannya, epistemologi pendidikan. Islam memiliki fungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi. dan penemu bahkan pengembang. ilmu pengetahuan. Melalui epistemologi dapat memberikan sebuah clue bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan. diperlukan cara atau metode. tertentu karena epistemologi menyuguhkan proses bagaimana pengetahuan dicercap diserap diobservasi hingga disuguhkan sebagai sebuah ilmu pengetahuan atau sains. Proses yang demikian ini patut diperhatikan guna memberikan pemahaman yang holistik tentang struktur ilmu pengetahuan – tentu saja dengan mengetahui proses di-“masak”nya ilmu pengetahuan akan lebih afdhal dibanding dengan hanya mengetahui “masakan” ilmu pengetahuan tersebut yang sudah jadi. Kaitannya dengan pendidikan Islam, epistemologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar, yakni epistemologi menjadi titik tolak timbulnya akibat-akibat dalam ilmu pendidikan Islam. Mencermati Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 Rangga Sa’adillah S.A.P., Dewi Winarti, Daiyatul Khusnah Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam hal demikian ini, apabila saat ini dijumpai terdapat kelemahan. dan kemunduran dalam dunia pendidikan Islam, maka yang terlebih dahulu menjadi garapan ialah bagaimana epistemologi itu digarap. Bangunan ilmu pengetahuan yang melalui “masakan” epistemologi yang matang tentunya akan melahirkan ilmu pengetahuan yang kokoh dan akan selalu kontekstual dengan zaman (Kusaeri & S.A.P., 2015a; Rosidin, 2013). Sejatinya bila membandingkan antara epistemologi pendidikan Islam dengan epistemologi pendidikan Barat akan tampak berbeda – dan bila dicermati serta direnungkan lebih dalam maka epistemologi pendidikan Islam akan tampil lebih kokoh. Nata (2020) termasuk salah satu pakar yang memberikan optimisme tentang kokohnya epistemologi pendidikan Islam. Akan tetapi menjadi hambatan pembangunan berkelanjutan dalam mengkokohkan epistemologi pendidikan Islam adalah kemauan. para pakar pendidikan Islam untuk. membangun epistemologi pendidikan Islam belum nampak dan belum kompak. Para pengelola pendidikan Islam. saat ini pada umumnya belum melaksanakan pendidikan.Islam berdasarkan bangunan epistemologi yang Islami. Mereka cenderung menerima, menjiplak, meniru, dan menggunakan berbagai teori, konsep dan. ilmu pendidikan yang berasal dari Barat secara a priori. Nata melanjutkan pendapatnya sembari mengutip pendapat Qomar, bahwa sepertinya, umat Islam yang di-pandegani oleh para pakar pendidikan Islam belum menyadari seutuhnya terhadap keberadaan, fungsi, peran dan pengaruh epistemologi pendidikan Islam terhadap masa depan pendidikan Islam. Mereka belum sepenuhnya berkecimpung dalam membangun epistemologi pendidikan Islam untuk masa depan pendidikan Islam. Bahkan justru sebagai buntut atas mengekornya cendekiawan-cendekiawan muslim terhadap epistemologi Barat, sangat nyata sekali upaya menenggelamkan dan mendekonstruksi epistemologi Islam yang telah dibangun dalam kitabkitab turats, misal saja menjamurnya upaya-upaya untuk mengkritik dan menggugat kitab Ta’lim alMuta’allim sebagai kitab usang yang tertinggal jaman tidak lagi cocok dipelajari di jaman milenial ini. Tindakan tersebut justru bukan malah menghargai dan mengangkat karya ulama’ melainkan mendekonstruksi karya tersebut. Padahal dalam kitab tersebut termaktub etika-etika seorang murid yang harus dipegang teguh tatkala ia berinteraksi dengan guru. Era milenial yang tidak mengenal sekat antara guru dan murid sebenarnya sangat dibutuhkan sekat etika untuk memoderasi relasi guru murid supaya dalam proses pembelajar terdapat hikmah yang terkandung di dalamnya. Tampaknya karena kemajuan zaman, bangunan epistemologi pendidikan Islam sudah dianggap usang (Abuddin Nata, 2020). Anggapan bahwa epistemologi pendidikan Islam telah usang, lekang termakan zaman –seolaholah epistemologi Barat lah yang menjadi tumpuan. Dampak negatif dari kiblat yang salah arah berbuntut pada watak, sikap, kepribadian, karakter dan mental siswa yang berlepas dari kendali fitrahnya. Dalam situasi demikian ini, Nata mengingatkan – pendidikan Islam sedang terperangkap, seperti ungkapan “minyak babi cap onta”, yakni mereknya unta yang menggambarkan. lambang kehalalan dan Islami sementara isinya babi yang melambangkan keharaman. dan bertentangan dengan Islam (tauhid) (Abuddin Nata, 2020). Qomar mewanti-wanti, sejatinya pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kejayaan, tetap lah tidak layak dijadikan role model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun, dan ramah terhadap kehidupan manusia. Pendidikan Barat memang maju, tetapi sebatas lahiriyah, ruhaniahnya kering kerontang, padahal yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang insan yang terdidik jasmaniyah dan lahiriyahnya (Qomar, 2005). Padahal bila ditelisik tasalsul dari epistemologi Barat tentu sangat berbeda dengan tasalsul epistemologi yang lahirdari rahim pendidikan Islam. Epistemologi Barat lahir dari sebuah refleksi pemikiran kebuntuan agama, keringnya spiritualisme, pengagungan terhadap materialisme, supremasi terhadap logika, penyangkalan terhadap kalam illahi dan pengabaian terhadap nilai-nilai luhur etika yang kemudian digantikan dengan pragmatisme (Arifin, 2015; Qomar, 2005; Tafsir, 2009). Tasalsul Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 40 41 Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 1, April 2021, Hal. 34-47 yang demikian ini tentu saja berbeda dengan epistemologi yang disemai dari pendidikan Islam. AlSharaf (2007) menjelaskan tatkala menyelidiki golden age dari dunia Islam yang menyemai epistemologi yang sejuk, dan bahkan berdampak pada renaissance di dunia Barat. Epistemologi pendidikan Islam dibangun berdasarkan pondasi yang kokoh yakni fundamen pendidikan Islam tidak lain adalah Al-Qur’an serta Al-Sunnah. Promotor pembangun epistemologi pendidikan Islam adalah mereka yang adil, dlabith, dan tsiqah sehingga epistemologi yang dibangun dalam pendidikan Islam bukanlah struktur ilmu pengetahuan yang bebas nilai melainkan struktur ilmu pengetahuan yang mencerahkan serta berbasis pada nilai-nilai fundamen dalam ajaran Islam (Tobroni et al., 2019). Epistemologi pendidikan Islam bersumber pada ajaran Islam yang ortodoks yakni Al-Quran dan Al-Hadits, keduanya merupakan sumber primer dalam menggali dan menginspirasi bangunan keilmuan pendidikan Islam. Al-Quran dan Al-Hadits merupakan ayat qauliyah yang tak terbantahkan kebenarannya dalam ajaran Islam, oleh karena itu sumber primer tersebut secara verbatim disabdakan dan tersampaikan pada generasi ke generasi secara mutawatir sementara penafsiran atas sumber ortodoks tersebut adalah secara qadri uqulihim. Akan tetapi penafsiran yang berbeda-beda pada masing-masing mufassir tetap akan kembali pada sumber yang sama yakni Al-Quran dan Al-Hadits. Tidak perlu disebutkan secara spesifik ayat-ayat mana saja yang menjadi promotor dalam menggerakkan mufassir untuk terus menggali epistemologi pendidikan Islam hadist-hadits yang diriwayatkan oleh siapa saja yang menjadi inspirator ahli hadist untuk terus bergerak memproduksi epistemologi pendidikan Islam, yang jelas keduanya adalah sumber epistemologi pendidikan Islam yang tak terbantahkan. Selain ayat qauliyah yang menjadi sumber dan landasan epistemologi pendidikan Islam, ayat kauniyah juga dapat menjadi sumber dan landasan epistemologi pendidikan Islam. Bila ayat qauliyah menjadi sumber tak terbantahkan secara verbatim lain halnya dengan ayat kauniyah yang bersifat ijtihadiyah dalam epistemologi pendidikan Islam. Ayat kauniyah adalah ayat-ayat Allah yang tersebar di alam jagat raya ini, diri manusia dan juga fenomena sosial. Dengan mendalami ayat qauliyah manusia bisa memahami kalam Tuhan dan Rasul-Nya. Sementara dengan ayat kauniyah manusia bisa menyelidiki tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang bertebaran di alam semesta ini. Penggalian ayat-ayat kauniyah berbeda proses dengan penggalian ilmu pada ayat kauliyah. Penggalian ilmu pada ayat kauniyah bukan lagi dilakukan melalui metode penafsiran melainkan dengan metode eksperimen di mana metode tersebut perlu keterlibatan panca indera untuk membuktikan ayat-ayat kauniyah yang bekerja dalam Kuasa Tuhan. Metode semacam ini lebih populer disebut sebagai metode ilmiah (Kusaeri, 2015; Rosidin, 2013). Mencermati dua sumber dan landasan dalam epistemologi pendidikan Islam yang terdiri dari ayat qauliyah dan ayat kauniyah dapat diartikan bahwa sebetulnya bangunan epistemologi pendidikan Islam tidak mengenal sekat antara ilmu agama dengan ilmu umum. Tidak membedakan ilmu agama fardu semetara ilmu umum atau sains terabaikan. Sejatinya istilah dikotomi tidak dikenal dalam epistemologi pendidikan Islam (Putra, 2014). Ayat qauliyah dan ayat kauniyah sama-sama dari Allah Sang Pendidik pertama, epistemologi pendidikan Islam tidak mengabaikan salah satunya lebih-lebih keduanya. b. Kajian Konsep Aksiologi dalam Pendidikan Islam Aksiologi secara khusus menjadi bagian tersendiri dalam pembahasan filsafat ilmu. Secara spesifik sebenarnya pengantar untuk memahami bagaimana sejatinya aksiologi telah diulas oleh Suriasumantri (Suriasumantri, 2007). Sebelum lebih jauh bagaimana pengertian aksiologi secara interkonektif terhadap pendidikan Islam, terlebih dahulu didefinisikan secara harfiah terma aksiologi. Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani bermula dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori (Nuzulah et al., 2008; Sholihah et al., 2019). Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 Rangga Sa’adillah S.A.P., Dewi Winarti, Daiyatul Khusnah Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam Definisi etimologi aksiologi bermula dari kata axia yang sepadan dengan kata nilai, value, dan logos sepadan dengan kata pikiran atau ilmu. Dengan demikian secara etimologi, aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Sholihah et al., 2019). Definisi tersebut diperkuat oleh Nuzulah et al., (2008) dari sisi kefilsafatannya, aksiologi ialah cabang filsafat ilmu yang membincangkan persoalan tujuan ilmu pengetahuan dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Hakikat yang ingin direngkuh oleh aksiologi ialah manfaat suatu ilmu pengetahuan itu untuk manusia. Sementara objek aksiologi adalah nilai kegunaan ilmu sebab ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut bisa bermanfaat untuk masyarakat. Meneruskan ruanglingkup aksiologi yang menyangkut permasalahan nilai atau bisa dikatakan aksiologi ialah ilmu tentang nilai, teori yang membahas tentang nilai -- Sholihah et al., (2019) menyatakan bahwa aksiologi juga mempelajari tentang penilaian seseorang terhadap eksistensi objek yang dinilai apakah baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, bagaimana nilai itu diagungkan oleh sebuah kelompok masyarakat, dan bagaimana nilai itu begitu dihargai pada kelompok masyarakat yang lain. Memang, pada dasarnya persoalan nilai inilah yang menjadi topik serius dalam perbincangan aksiologi. Yusub (2015) mengemukakan, bahwa dari pengertiannya sendiri aksiologi begitu jelas memperbincangkan persoalan nilai. Nilai ialah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan agar pertimbangan tersebut dihargai oleh orang lain. Pada hakekatnya nilai berbentuk abstrak, akan tetapi eksistensinya ada. Nilai menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk menentukan sikap, tindakan, benda patut dihargai atau justru harus diasingkan. Akan tetapi meski nilai berbentuk abstrak, hasil yang menjadi tujuan nilai bisa berbentuk konkrit. Misalnya prestasi yang dilihat sebagai bukti nyata atas perolehan kerja keras. Kerja keras ialah suatu nilai, prestasi merupakan hasil. Dengan melalui nilai kerja keras maka hasil yang akan diperoleh adalah prestasi yang membanggakan. Perhatian aksiologi terhadap nilai menjadikan aksiologi begitu penting bila diinterkoneksikan dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam ialah usaha sadar untuk membimbing anak didik supaya menuju pribadi utama (Zuhairini, 1995). Pribadi yang utama dalam usaha mendidik inilah yang wilayah garapan aksiologi. Pribadi utama adalah kata yang multi tafsir, misal Marimba (1962) menyatakan proses membimbing anak didik hendaklah menjadi insan kamil. Maka menyimak dua pendapat tersebut yakni pribadi utama dan insan kamil itulah arah tujuan pendidikan Islam, dengan kata lain pendidikan Islam harus melakukan segenap upaya untuk menjadi anak tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Inilah semisal interkoneksi antara aksiologi dengan pendidikan Islam. Melalui aksiologi, pendidikan Islam dapat fokus membidik target dan sasaran kegiatan pendidikannya. Sementara melalui pendidikan Islam, aksiologi menegaskan bahwa ilmu itu memiliki nilai guna, dan ilmu itu bukan hanya sebagai seperangkat mekanisme rasio yang bebas nilai, dengan kata lain itu setidaknya terikat oleh nilai (Islam). Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang penuh dengan perangkat nilai, atau bahkan bisa disebut sebagai ajaran yang berbasis nilai. Maka apabila membahas tentang aksiologi pendidikan Islam sebenarnya hampir sama dengan menguliti nilai-nilai pendidikan yang ada dalam ajaran Islam. Seperti halnya sumber ajaran Islam, pendidikan Islam haruslah dibangun pada dua fundamen yang kokoh dan telah menjadi warisan dari Nabi Muhammad, laqad taraktu fikum amraini lan tazillu ma tamassaktum bihima, kitaballahi wa sunnata rasulihi. Dua pusaka tersebut adalah fundamen aksiologi dalam pendidikan Islam. Selain bertumpu pada dua warisan fundamen yang kokoh (Al-Quran dan Hadits) dan tak terbantahkan, aksiologi pendidikan Islam juga harus bertumpu pada tujuan yang jelas. Mengurai tujuan pendidikan Islam secara aksiologis perlu menghadirkan pendapat pakar seperti Al-Shaibany Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 42 43 Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 1, April 2021, Hal. 34-47 (1979) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam itu untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang dapat mengubah tingkahlaku individu pada kehidupan pribadi hingga kehidupan bermasyarakat bahkan juga membawa misi kedamaian alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Demikian juga, proses pendidikan itu juga termuat aktivitas-aktivitas pengajaran sebagai sebuah perwujudan profesi pengajar. Tentu saja tujuan yang disampaikan oleh Al-Shaibany (1979) masih terlalu abstrak untuk diurai dalam nilai-nilai yang konkrit. Fazlurrahman H. (2018) dan Husniyah (2019) mencoba untuk menguraikan maksud Al-Shaibany bahwa tujuan pendidikan Islam yang diharapkan oleh Al-Shaibany (1979) merambah pada dualisme yang pertama adalah ideal yakni nilainilai yang ditransformasikan dalam proses pendidikan, dan yang kedua adalah objectives yakni capaian pembelajaran yang sifatnya lebih konkrit atau lebih populer disebut dengan aktualisasi kompetensi dasar menuju ke indikator dalam proses pembelajaran. Ideal dan objectives ialah semacam dualisme nilai pendidikan Islam yang ingin disampaikan oleh Al-Shaibany (1979). Sementara Nata sebagaimana yang dikutip oleh Fithriani (2019) memberikan pendapat yang cukup mudah dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam berdasarkan pada empat nilai, diantaranya: pertama, nilai petunjuk akhlak Kedua, nilai untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi dan kebahagiaan di akhirat. Ketiga, nilai usaha keras untuk meraih masa depan yang baik dan keempat, nilai yang mengkombinasikan kepentingan hidup di dunia serta di akhirat. Meneruskan pendapat Nata di atas, Rahmat (2011) lebih melengkapi. Pendidikan Islam hendaknya bermuatan etika profetik yakni nilai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sebagai pengemban misi Illahiyah. Rahmat memerinci nilai profetik sebagai berikut: Tabel 1. Pendidikan Islam bermuatan etika profetik No Nilai 1. Nilai Ibadah 2. Nilai Ihsan 3. Nilai Futuristik 4. Nilai Rahmatan lil ‘alamin 5. Nilai Amanah 6. Nilai Dakwah 7. Nilai Tabsyir Keterangan Falsafah pendidikan Islam harus dilandaskan pada niat suci untuk beribadah kepada Allah Falsafah pendidikan Islam hendaknya dikembangkan untuk berbuat baik seluruh alam semesta dan dilarang berbuat kerusakan dalam bentuk apapun Falsafah pendidikan Islam hendaknya kontekstual dengan perkembangan zaman dan dapat menyiapkan geneasi masa depan untuk menghadapi tantangantantangan zaman. Falsafah pendidikan Islam hendaknya ditujuan untuk ke-maslahatan alam bukan hanya untuk manusia melainkan alam semesta. Ilmu yang diperoleh oleh guru dan yang ditransferkan kepada siswa harus disadari bahwa semuanya adalah amanah dari Allah. Aktualisasi dari ajaran pendidikan Islam ialah wujud menyampaikan kebenaran Islam dalam rangka mengajak untuk kebaikan. Falsafah pendidikan Islam hendaknya memberikan optimisme kepada umat manusia tentang masa depan yang cerah. Sumber QS. Al-Dzariyat ayat 51 dan QS Ali Imran ayat: 190-191. QS. Al-Qashash ayat 77. QS. Al-Hasyr ayat 18. QS. Al-Anbiya’ ayat 107. QS. Al-Ahzab ayat 72. QS. Al-Fushshilat ayat: 33. QS. Al-Baqarah ayat 119. Sumber: diolah dari Rahmat. (2011). Pendidikan Islam sebagai Ilmu (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi). Sulesana, 6(2), 136–148. Mencermati dasar, tujuan, dan macam-macam nilai dalam aksiologi pendidikan Islam sebenarnya cukup kompleks bila dikontekstualisasikan dengan keadaan saat ini. Mengingat trinitas tujuan pendidikan pada umumnya, bahwa kegiatan pendidikan haruslah menggamit tiga ranah yakni afektif, kognitif, dan psikomotor. Maka sejatinya arah aksiologi pendidikan Islam ialah berusaha Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 Rangga Sa’adillah S.A.P., Dewi Winarti, Daiyatul Khusnah Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam mengarusutamakan ranah afektif untuk kembali lagi diutamakan dalam proses pendidikan yang tampaknya pada akhir-akhir ini ranah tersebut tergeserkan oleh domain kognitif sehingga implikasi dari pengabaian terhadap ranah afektif ialah melahirkan split personality pada diri siswa (Putra, 2020; S.A.P. et al., 2020). Kembali lagi mendalami dan mencermati aksiologi pendidikan Islam yang cukup esoterik tersebut tugas selanjutnya ialah mengaktualisasikan kepada siswa bagaimana konsep nilainilai aksiologis tersebut dapat membumi terlebih mendarah-daging pada diri siswa. Hendaknya tugas untuk membumikan ranah afektif atau aksiologi pada siswa ialah menyemai benih-benih aqidah dan ibadah. Aqidah dan ibadah ialah dua nilai dasar untuk menanamkan nilai-nilai sekunder sebagai akibat dari emanasi nilai dasar. Dengan kokohnya nilai dasar tersebut tentu saja kedepannya siswa tidak akan mudah terombang-ambing dengan kontaminasi nilai-nilai asing yang sebenarnya tidak memiliki dasar dalam pendidikan Islam atau bahkan nilai tersebut sangat bertentangan dengan Islam itu sendiri. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak akan tetapi keberadaannya bisa dirasakan. Keberadaan dari nilai tidak bisa tertangkap dalam empirisme yang berbasis panca indera juga tidak terjangkau dengan akal dan rasio (Tafsir, 2009). Sebab nilai adalah emanasi dari empirisme dengan rasionalisme – lebih-lebih dalam pendidikan Islam nilai ialah value tidak teridentifikasi dalam kelompok idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme (Nuzulah et al., 2008). Nilai dalam pendidikan Islam ialah buah dari perbuatan manusia yang dikategorikan sebagai ibadah, rasa yang dihasilkan dari buah itulah yang disebut sebagai nilai atau value. Kategori semacam ini sekaligus untuk menyangkal bahwa nilai-nilai dalam pendidikan Islam bukan ekstrim idealisme, ekstrim realisme, ekstrim pragmatisme dan juga ekstrim eksistensialisme melainkan nilai dalam pendidikan Islam berada dalam posisi tengah-tengah kokoh berdiri di atas ke-tawasuth-an (Kusaeri & S.A.P., 2015a). Nilai aqidah dalam pendidikan Islam tidak bisa dikategorikan dalam kelompok idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme. Sebab nilai aqidah dalam pendidikan Islam berpangkal pada keyakinan atau ketauhidan yakni tentang tauhid, keimanan kepada malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari akhir dan qada’ dan qadar yang baik maupun yang buruk (Sholihah et al., 2019). Dengan demikian inti dari nilai aqidah ialah nilai tentang kepercayaan seorang mukmin terhadap rukun iman. Internalisasi nilai aqidah dalam pendidikan Islam sangat penting dilakukan sejak dini selain untuk meneguhkan status keimanan internalisasi nilai aqidah mampu melatih anak memadukan fungsi akal dengan fungsi wahyu (Sholihah et al., 2019). Akal sebagai potensi burhani yang selalu berkonteks dengan sunnatullah dinugerahkan oleh Allah untuk menyelidiki fenomena-fenomena dengan segala kecanggihan potensi yang ada di dalamnya. Sedangkan wahyu sebagai potensi bayani yang Allah Kalamkan kepada manusia untuk membimbing manusia supaya mengenal dan mendekati Rabb-Nya. Keduanya dipadukan dengan tawazun sehingga menghasilkan bashirah yang mampu membimbing manusia untuk menjadi seorang ulul albab, yakni pribadi yang bertafakkur dan bertadzakkur (Kusaeri & S.A.P., 2015b; Nizar, 2005; Rosidin, 2013). Nilai pendidikan Islam yang selanjutnya ialah ibadah. Ibadah ialah sebuah aktualisasi penghambaan secara totalitas kepada Allah. Seperti halnya yang terdapat dalam QS. Al-Dzariyat ayat 56, bahwa tujuan diciptakannya manusia ialah untuk beribadah kepada Allah. Kehidupan manusia di dunia merupakan wahana untuk menghamba dan menyerahkan diri secara total kepada Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa harusnya manusia mampu membangun komunikasi vertikal antara dirinya dengan Allah mampu memasang radar sinyal atau isyarah komunikasi antara dirinya dengan Allah sebagai Sang Pencipta manusia berikut alam semesta. Komunikasi yang intens dan yang baik harus senantiasa dibangun oleh manusia supaya dalam menjalani kehidupannya tidak terjerumus dalam jurang kesesatan (Zuhairini, 1995). Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 44 45 Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 1, April 2021, Hal. 34-47 Seperti halnya dalam pendidikan pun juga sama, harus ada nilai untuk menghamba kepada Allah. Segala aktivitas mendidik, atau aktivitas mencari ilmu apabila didasari oleh nilai menghamba dan mencari rida Allah akan menjadikan segala aktivitas tersebut menjadi lebih bermakna. Berbeda halnya apabila aktivitas pendidikan yang didasari oleh nilai pragmatisme semisal. Dalam aktivitas pendidikan tersebut pastilah yang lebih diutamakan ialah keuntungan semacam materi. Bila dalam aktivitas pendidikan tidak mendapat keuntungan maka visi pragmatisme dalam pendidikan seolah hilang sirna. Sementara bila aktivitas pendidikan tersebut memang berlandas untuk meraih rida Allah meskipun tidak ada keuntungan semacam materi, aktivitas yang mulia tersebut tetap akan berjalan pada relnya (Marimba, 1962; Zuhairini, 1995). 4. Kesimpulan Epistemologi pendidikan Islam ialah objek pengetahuan, cara mengobservasi pengetahuan dan cara mengukur benar tidaknya pengetahuan yang berkaitan dengan. pembentukan kepribadian, akhlak, mengembangkan fitrah dan semua. potensi manusia secara maksimal agar menjadi muslim yang baik, memiliki pola pikir logis-kritis, bertakwa, berguna bagi diri dan lingkungannya, dan dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat tentu saja yang sejalan dengan ajaran Islam. Epstemologi keilmuan Islam terbagi atas metode bayani, burhani dan irfani. Tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahaun, meski tidak bisa dipungkiri, bukan demikian – yang menjadi perhatian dan bidikan epistemologi ialah hasrat untuk merengkuh potensi pengetahaun, yakni potensi untuk merengkuh pengetahuan tentang pendidikan Islam. Sumber dan landasan dalam epistemologi pendidikan Islam yang terdiri dari ayat qauliyah dan ayat kauniyah dapat diartikan bahwa sebetulnya bangunan epistemologi pendidikan Islam tidak mengenal sekat antara ilmu agama dengan ilmu umum. Tidak membedakan ilmu agama fardu sementara ilmu umum atau sains terabaikan. Sejatinya istilah dikotomi tidak dikenal dalam epistemologi pendidikan Islam. Ayat qauliyah dan ayat kauniyah samasama dari Allah Sang Pendidik pertama, epistemologi pendidikan Islam tidak mengabaikan salah satunya lebih-lebih keduanya. Aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dari sisi kefilsafatannya, aksiologi ialah cabang filsafat ilmu yang membincangkan persoalan tujuan ilmu pengetahuan dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Hakikat yang ingin direngkuh oleh aksiologi ialah manfaat suatu ilmu pengetahuan itu untuk manusia. Sementara objek aksiologi adalah nilai kegunaan ilmu sebab ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut bisa bermanfaat untuk masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang abstrak akan tetapi keberadaannya bisa dirasakan. Keberadaan dari nilai tidak bisa tertangkap dalam empirisme yang berbasis panca indera juga tidak terjangkau dengan akal dan rasio. Sebab nilai adalah emanasi dari empirisme dengan rasionalisme – lebih-lebih dalam pendidikan Islam nilai ialah value tidak teridentifikasi dalam kelompok idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme. Nilai dalam pendidikan Islam ialah buah dari perbuatan manusia yang dikategorikan sebagai ibadah, rasa yang dihasilkan dari buah itulah yang disebut sebagai nilai atau value. Kategori semacam ini sekaligus untuk menyangkal bahwa nilai-nilai dalam pendidikan Islam bukan ekstrim idealisme, ekstrim realisme, ekstrim pragmatisme dan juga ekstrim eksistensialisme melainkan nilai dalam pendidikan Islam berada dalam posisi tengah-tengah kokoh berdiri di atas ke-tawasuth-an Daftar Pustaka Al-Atttas, S. M. A.-N. (1984). Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Filsafat Pendidikan Islam. Mizan. Al-Shaibany, O. M. al-T. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. Bulan-Bintang. Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 Rangga Sa’adillah S.A.P., Dewi Winarti, Daiyatul Khusnah Kajian Filosofis Konsep Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan Islam Al-Sharaf, A. (2007). Developing Scientific Thinking Methods and Applincations in Islamic Education. Education, 133(3), 272–283. Arifin, S. (2015). Sufisme dan Spiritualisme Postmodern. In Tasawuf Jalan Rohani Menuju Allah. UMM Press. Azra, A. (1999). Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu. Daulay, H. P., & Tobroni. (2019). Islamic Education In Indonesia: A Historical Analysis of Development and Dynamics. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 109–126. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Fithriani. (2019). Implikasi Aksiologi Dalam Filsafat Pendidikan. Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 83–92. Ghofur, A. (2016). KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (Studi atas Pemikiran Kependidikan Prof. H. M. Arifin, M. Ed). POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, 2(2), 239. https://doi.org/10.24014/potensia.v2i2.2577 H., M. F. (2018). Pendekatan Aksiologis Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam dan Barat. Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), 6(2), 157–174. https://doi.org/10.15642/jpai.2018.6.2.157-174 Husniyah, N. I. (2019). Aksiologis Pendidikan Islam (Perspektif Islam dan Barat). At-Tuhfah: Jurnal Keislaman, 8(1), 12–25. Kusaeri, R. S. S. A. P. (2015). Telaah Epistemologi Pendekatan Saintifik untuk Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Islamica, 9(2), 344–372. Kusaeri, & S.A.P., R. S. (2015a). Telaah Epistemologis Pendekatan Saintifik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 9(2), 344–372. Kusaeri, & S.A.P., R. S. (2015b). Mensinergikan Pendekatan Saintifik dengan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Prosiding Halaqoh Nasional & Seminar Internasional Pendidikan Islam, 152–164. Marimba, A. D. (1962). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. PT Al-Ma’arif. Nata, Abuddin. (2020). Bangunan Epistemologi Pendidikan Http://Abuddin.Lec.Uinjkt.Ac.Id/Bangunan-Epistimologi-Pendidikan-Islam. http://abuddin.lec.uinjkt.ac.id/bangunan-epistimologi-pendidikan-islam Islam. Nata, Abudin. (2014). Sejarah Pendidikan Islam. Kencana. Nizar, A.-R. S. (2005). Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat Press. Nurdin, A., A. Samad, S. A., & Samad, M. (2019). Dasar Epistemologi Dalam Filsafat Pendidikan Islam. Jurnal MUDARRISUNA: Media Kajian Pendidikan Agama Islam, 9(2), 454–470. https://doi.org/10.22373/jm.v9i2.5183 Nuzulah, F., Yadri, U., & Fitria, L. (2008). Aksiologi Pendidikan Menurut Macam-macam Filsafat Dunia. In Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan & Sumber Belajar Teori Dan Praktik (Issue, pp. 1–15). Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Putra, R. S. S. A. (2014). Pendekatan Saintifik dalam Perspektif Pendidikan Islam [Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya]. http://digilib.uinsby.ac.id/846/ Putra, R. S. S. A. (2020). Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Melalui Pendekatan Saintifik dalam Membentuk Sikap Spiritual Siswa Sekolah Menengah Atas di Sidoarjo (Studi Fenomenologi Pengalaman Guru dan Siswa pada SMA di Sidoarjo) [Universitas Muhammadiyah Malang]. http://eprints.umm.ac.id/65683/ Qomar, M. (2005). Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 46 47 Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 1, April 2021, Hal. 34-47 Erlangga. Rahmat. (2011). Pendidikan Islam sebagai Ilmu (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi). Sulesana, 6(2), 136–148. Ramadhan, S. S. (2019). Epistemologi Islam Menurut Abid Al Jabiri Skripsi Program Studi Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri. Institut Agama Islam Negeri Purwokerto. Rosidin. (2013). Epistemologi Pendidikan Islam. Diandra Kreatif. S.A.P., R. S., Tobroni, Ishomuddin, & Khozin. (2020). Pendekatan Saintifik untuk Pendidikan Agama Islam (Fenomena Pembelajaran PAI di SMA Rujukan Sidoarjo dan Implikasinya pada Sikap Spiritual Siswa) (Issue June). MejaTamu. https://www.researchgate.net/publication/324009092 PENDEKATAN_SAINTIFIK_PEMBELAJARAN_PENDIDIKAN_AGAMA_ISLAM_PADA_ SEKOLAH_DASAR_ISLAM_TERPADU Sholihah, M., Aminullah, & Fadlillah. (2019). Aksiologi Pendidikan Islam (Penerapan Nilai-Nilai Aqidah dalam Pembelajaran Anak di MI). Jurnal Auladuna, 01(02), 63–82. Suriasumantri, J. S. (2007). Filsafat ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tafsir, A. (2009). Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Rosda Karya. Tobroni. (2018). Character Formation Of The Good Deeds Through Transformative Fashionable Sufism Human Resources Development Model of Muslim in PT Telkom Indonesia. European Journal of Training and Development Studies, 5(4), 26–44. Tobroni, T., Ishomuddin, I., & Khozin, K. (2019). Dampak Pendekatan Saintifik terhadap Sikap Spiritual Siswa dalam Pembelajaran PAI di SMA di Sidoarjo. Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), 7(2), 143–166. Yusub, F. H. (2015). Pemikiran Fazlur Rahman tentang Aksiologi dan Implikasinya terhadap Pengembangan Pendidikan Islam [Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim]. https://doi.org/10.1145/3132847.3132886 Zed, M. (2004). Metode penelitian kepustakaan. https://books.google.co.id/books?id=iIV8zwHnGo0C Yayasan Obor Zuhairini. (1995). Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Doi:10.33086/jic.v3i1.2135. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013 Indonesia.