Academia.eduAcademia.edu

Political Outlook 2022 Meneropong Poros Koalisi Partai Politik

2021, Literasi Unggul School of Research Analysis

Jika Pilpres mendatang diselenggarakan pada Februari 2024, maka secara matematis, setiap partai politik kontestan Pemilu mempunyai waktu efektif tersisa 26 bulan lagi menuju gelaran tersebut. Tahun 2022 dipastikan berbeda dengan 2021. Jika pada 2021 partai politik memasuki fase warming-up (pemanasan) dengan mulai melempar nama kandidat yang akan diusung ke publik untuk mengetahui popularitas dan elektabilitas calonnya, maka pada 2022 diprediksi partai-partai politik yang memiliki hajat untuk mengusung calon pada Pilpres 2024 akan lebih intens melakukan pendekatan dan penjajakan dengan partai-partai politik lainnya dalam membentuk koalisi, termasuk upaya strategis internal dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitas calon yang mereka usung.

1 Political Outlook 2022: Meneropong Poros Koalisi Partai Politik BOY ANUGERAH Jika Pilpres mendatang diselenggarakan pada Februari 2024, maka secara matematis, setiap partai politik kontestan Pemilu mempunyai waktu efektif tersisa 26 bulan lagi menuju gelaran tersebut. Tahun 2022 dipastikan berbeda dengan 2021. Jika pada 2021 partai politik memasuki fase warming-up (pemanasan) dengan mulai melempar nama kandidat yang akan diusung ke publik untuk mengetahui popularitas dan elektabilitas calonnya, maka pada 2022 diprediksi partai-partai politik yang memiliki hajat untuk mengusung calon pada Pilpres 2024 akan lebih intens melakukan pendekatan dan penjajakan dengan partai-partai politik lainnya dalam membentuk koalisi, termasuk upaya strategis internal dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitas calon yang mereka usung. Pilpres 2024 sendiri diprediksi banyak akademisi dan praktisi politik akan berlangsung lebih cair dan kompetitif. Presiden Joko Widodo dipastikan tidak akan bisa berkontestasi lagi karena terbentur dengan aturan masa jabatan maksimal dua periode merujuk pada konstitusi. Di sisi lain, partai dengan suara terbanyak pada Pemilu 2019, yakni PDI-P, masih kesulitan mencari sosok figur yang reliable untuk dimajukan sebagai kandidat. Realiable di sini maksudnya adalah memiliki elektabilitas yang tinggi untuk dimajukan sebagai calon presiden dan merupakan elit partai. Meskipun bisa mengusung calon presiden sendiri karena memiliki kursi lebih dari 20 persen di parlemen (presidential threshold), kecil kemungkinan hal tersebut dilakukan oleh PDI-P. Kultur politik nasional yang memadukan model Jawa-Non-Jawa, Militer-Sipil, Nasionalis-Religius, Pria-Wanita, akan menjadi pertimbangan bagi PDI-P untuk setidaknya menggandeng satu hingga dua partai lain dalam memajukan kandidatnya. Belum solidnya PDI-P dalam menuju gelaran Pilpres 2024 merupakan peluang bagi partai-partai politik lainnya dalam memajukan calonnya. PKB secara lugas menyatakan akan memajukan Gus Muhaimin sebagai calon presiden, demikian juga dengan Gerindra dan Golkar yang akan memajukan Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto. Baik PKB, Gerindra, maupun Golkar sebagai partai politik lima besar pada Pemilu 2019, memiliki kans yang sangat besar untuk memajukan calon masing-masing. Kuncinya adalah model koalisi partai politik yang akan dibentuk, yang mana di satu sisi sebagai mekanisme pemenuhan prosedur presidential threshold (20 persen kursi, 25 persen suara sah nasional), dan di sisi lain memenuhi aspek kedikenalan (popularity), kedisukaan (likeability), dan kedipilihan oleh publik (electability). Persistensi keempat partai pemenang Pemilu 2019 tersebut di atas dalam mengusung elit-elitnya 2 sebagai calon presiden tentu saja akan berdampak pada model koalisi yang akan sulit terbentuk di antara mereka. Meskipun ada yang mencoba membentuk formasi koalisi PDI-P dan Gerindra misalnya dengan memadukan Puan Maharani dan Prabowo Subianto atau Prabowo Subianto dan Puan Maharani, model koalisi ini sulit terbentuk. PDI-P sebagai pemenang Pemilu 2019 kecil kemungkinan mau menempatkan elitnya sebagai calon wakil presiden. Demikian juga Prabowo Subianto yang notabene memiliki elektabilitas sangat jauh di atas Puan Maharani. Maka dengan situasi seperti ini, banyak yang memprediksi bahwa akan terbentuk dua poros politik yang dimotori oleh PDI-P dan Gerindra yang mengusung elitnya masing-masing. Poros ini akan menarik dukungan dari partai-partai lain di bawahnya yang tidak terlalu persisten mengusung calon karena terbentur presidential threshold dan belum memiliki figur unggulan seperti Partai Nasdem, PPP, PAN, Partai Demokrat, dan PKS. Peluang untuk terciptanya poros ketiga sangat terbuka lebar. Selain belum solidnya PDI-P dalam memajukan calon, pembelajaran penting dari dua Pilpres terakhir yang berujung polarisasi di masyarakat, menghendaki gelaran Pilpres hadir dengan minimal tiga pasang calon untuk dipilih rakyat. Peluang ini sangat mungkin untuk dimanfaatkan oleh PKB maupun Golkar. PKB memiliki peluang lebih besar dibandingkan dengan Golkar. Pertama, figur Gus Muhaimin lebih kuat dibandingkan dengan calon Golkar. Kedua, platform PKB yang religius memungkinkan untuk menggandeng poros Islam seperti PPP, PKS, dan PAN. Formasi koalisi PKB, PPP, PKS, dan PAN sendiri menghasilkan akumulasi 29.26 persen suara sah nasional atau memenuhi ambang batas pencalonan untuk presiden. Ketiga, Gus Muhaimin merupakan figur alternatif karena belum pernah mengikuti kontestasi Pilpres. Sebagai catatan, kemenangan SBY dan Joko Widodo pada Pilpres dalam kurun 2004 hingga 2019 sedikit banyak ditentukan oleh atribut mereka sebagai figur alternatif. Namun demikian, politik bersifat sangat likuid dan dinamis. Asumsiasumsi di atas dapat berubah disebabkan oleh dinamika politik praksis dan legislasi nasional. Saat ini muncul fenomena menarik, yakni banyaknya calon-calon alternatif untuk Pilpres 2024 yang menduduki tangga teratas survei nasional, hanya saja mereka tidak memiliki kendaraan politik (bukan dari partai politik), sebut saja seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Erik Thohir. Ganjar Pranowo dan Sandiaga Uno juga memiliki elektabilitas tinggi pada survei, namun mereka berasal dari partai politik dan kandidasi mereka akan terbentur pada elitisme praksis politik partai mereka masing-masing. Sedangkan dalam konteks legislasi nasional, saat ini mencuat isu agar dilakukan revisi pada UU Pemilu agar presidential threshold diturunkan, bahkan kalau perlu dibuat hingga nol persen. Judicial review mengenai isu ini bahkan secara empirik sudah terjadi sebanyak 13 kali dengan hasil semua ditolak oleh MK. Isu legislasi nasional tampaknya tidak terlalu memiliki magnitudo kuat 3 pada model koalisi yang akan terbentuk ke depan. Hanya saja munculnya calon-calon alternatif yang tidak memiliki partai pengusung memiliki kans untuk merubah peta koalisi. Partai Nasdem secara lugas menyatakan niatnya untuk mengadakan konvensi dalam menjaring calon-calon potensial pada Pilpres 2024. Hal ini dapat menjadi kendaraan bagi Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, termasuk juga Ganjar Pranowo yang tidak didukung elit partainya untuk maju. Jika elektabilitas nama-nama ini tetap berkibar sepanjang dua tahun ke depan, besar kemungkinan partai-partai politik yang merangkul mereka dapat menjadi poros baru dalam pencalonan. Model koalisi di era pasca reformasi adalah model koalisi yang bersifat pragmatis yang mana pursuing of power adalah hal yang lebih penting dari platform yang melekat pada masing-masing partai itu sendiri. Oleh sebab itu, elektabilitas calon yang diusung di mata publik menjadi faktor penting dalam model koalisi yang dibentuk. Tahun 2022 adalah tahapan penting dalam pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah saat ini mencanangkan target pertumbuhan ekonomi 5 hingga 6 persen sepanjang tahun depan. Situasi pemulihan ekonomi nasional dan kecenderungan pertumbuhan ekonomi positif pada 2022 tersebut suka tidak suka akan dimanfaatkan oleh partai-partai politik di pemerintahan sebagai klaim kesuksesan mereka. Beberapa calon yang diunggulkan untuk maju Pilpres 2024 yang menduduki jabatan sebagai kepala daerah juga akan memanfaatkan governansi masingmasing sebagai turbo dalam menaikkan elektabilitas masingmasing, termasuk menarik atensi partai politik untuk mengusung mereka. *****