Teori Belajar dan Pembelajaran
Omon Abdurakhman, Radif Khotamir Rusli
ABSTRACT
Learning theory is the core matter for a teacher in learning practices for students. This is related
to the teacher's professional ability in carrying out its main task in teaching. If associated with
a national education program, that a teacher must have sufficient scientific in pedagogical
science, the theory of learning is a fundamental. Therefore, this paper will discuss some theories
about teaching and learning in which is worldwidely known among education experts. The
methodology used in this work is a model of descriptive qualitative analysis which is
outlining a theory in detail so as to enable the reader to gives more in‐depth analysis. Therefore,
the content of theories might slightly simple, but the explanation will be essential matter.
Pendahuluan
Tokoh‐tokoh: John Locke (1632‐1704),
Thorndike, Skinner (1904‐1990), Ivan
Petrovich Pavlov (1849‐1936), Bandura
(1925), Bell, Gredler (1991), Gage, Berliner
(1984), Slavin (2000)
Teori behavioristik merupakan teori
belajar yang lebih menekankan pada
perubahan tingkah laku serta sebagai akibat
dari interaksi antara stimulus dan respon.
Koneksionisme (connectionism), merupakan
rumpun yang paling awal dari teori
beavioristik. Menurut teori ini tingkah laku
manusia tidak lain dari suatu hubungan
stimulus‐respons. Siapa yang menguasai
stimulus‐respons sebanyak‐banyaknya ialah
orang yang pandai dan berhasil dalam
belajar. Pembentukan hubungan stimulus‐
respons dilakukan melalui ulangan‐ulangan.
Tokoh yang terkenal mengembangkan
teori ini adalah Thorndike (1874‐1949),
dengan
eksperimentnya
belajar
pada
binatang yang juga berlaku bagi manusia
yang disebut Thorndike dengan trial and
error. Thorndike menghasilkan belajar
Connectionism karena belajar merupakan
proses pembentukan koneksi‐koneksi atara
stimulus dan respons Stimulus yaitu apa saja
yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan atau hal‐hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indra.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang
juga dapat berupa pikiran, perasaan atua
gerakan/tindakan. Thorndike mengemukakan
tiga prinsip atau hukum dalam belajar, yaitu:
1. Law of readines, belajar akan berhasil
apabila peserta didik memiliki kesiapan
untuk melakukan kegiatan tersebut
karena individu yang siap untuk
merespon
serta
merespon
akan
menghasilkan respon yang memuaskan
2. Law of exercise, belajar akan berhasil
apabila banyak latihan serta selalu
mengulang apa yang telah didapat.
3. Law of effect, belajar akan menjadi
bersemangat apabila mengetahui dan
mendapatkan hasil yang baik.
Pengkondisian
(conditioning),
merupakan perkembangan lanjut dari
koneksionisme. Teori ini didasari percobaan
Ivan Pavlov (1849‐1936) menggunakan
obyek yaitu anjing. Secara singkat adalah
sebagai berikut: Seekor anjing yang telah
dibedah sedemikian rupa, sehingga saluran
kelenjar ludahnya tersembul melalui pipinya,
dimasukan kedalam kamar gelap. Dikamar
itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di
depan moncongnya, tempat menyodorkan
makanan atau menyorotkan cahaya pada
waktu
diadakan
percobaan.
Pada
moncongnya yang telah dibedah itu
disambungkan
sebuah
pipa
yang
dihubungkan dengan sebuah tabung diluar
kamar. Dengan demikian dapat diketahui
keluar tidaknya air liur dari moncong anjing
itu pada waktu diadakan percobaan, alat‐alat
yang digunakan dalam percobaan itu antara
lain makanan, lampu senter, dan sebuah
bunyi‐bunyian.
Dari hasil percobaan yang dilakukan
dengan anjing itu Pavlov mendapat
kesimpulan bahwa gerakan‐gerakan reflek
itu dapat dipelajari, dapat berubah karena
mendapat latihan latihan, sehingga dari hasil
ini ia membedakan dua macam refleks, yaitu
refleks bawaan dan refleks hasil belajar.
Sebenarnya hasil‐hasil percobaan Pavlov
dalam hubungannya dengan belajar yang kita
perlukan sekarang ini adalah tidak begitu
penting. Mungkin beberapa hal yang ada
sangkut pautnya dengan belajar yang perlu
diperhatikan antara lain ialah bahwa dalam
belajar perlu adanya latihan‐latihan dan
kebiasaan‐kebiasaan yang telah melekat
pada diri dapat mempengaruhi dan bahkan
mengganggu proses belajar yang bersifat
skill.
Penguatan
(reinforcement),
merupakan pengembangan lebih lanjut dari
teori pengkondisian. Jika pada teori
pengkondisian (conditioning) yang diberi
kondisi adalah perangsangnya (stimulus),
maka pada teori penguatan (reinforcement)
yang dikondisikan atau diperkuat adalah
responsnya. Contohnya, soerang anak yang
belajar dengan giat dan dia dapat menjawab
semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian,
maka guru memberikan penghargaan pada
anak itu misal dengan nilai yang tinggi,
pujian, atau hadiah. Berkat pemberian
penghargaan ini, maka anak itu akan belajar
lebih rajin dan lebih bersemangat lagi untuk
mengulang agar mendapat penghargaan lagi.
Operant
conditioning,
Tokoh
utamanya
adalah
Skinner.
Skinner
memandang bahwa teori Pavlov tentang reflek
berhasrat hanya tempat untuk menyatakan
tingkah laku respon . tingkah
laku respon yang terjadi dari suatu
rangsangan.
Seperti Pavlov, Thorndike, dan
Watson, Skinner juga menyakini adanya pola
hubungan stimulus‐respons. Tetapi berbeda
dengan para pendahulunya, teori skinner lebih
menekankan pada perubahan prilaku yang
dapat
diamati
dengan
mengabaikan
kemungkinan yang terjadi dalam proses
berfikir pada otak seseorang.
Menurut Skinner, hubungan stimulus
dan respons yang terjadi melalui interksi
dalam lingkungannya, yang kemudian akan
menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh
tokoh‐tokoh sebelumnya. Sebab, pada
dasarnya stimulus‐stimulus yang diberikan
kepada sesorang akan saling berinteraksi dan
interaksi antar stimulus tersebut akan
mempengaruhi
bentuk
respon
yang
diberikan.
Beberapa konsep yang berhubungan dengan
operant conditioning:
1. Penguatan
positif
(positeve
reinforcement), ialah penguatan yang
menimbulkan
kemungkinan
untuk
bertambah tingkah laku. Contoh seorang
siswa yang mencapai prestasi tinggi
diberikan hadiah maka dia akan
mengulangi prestasi itu dengan harapan
dapat hadiah lagi. Penguatan bisa berupa
benda,
penguatan
sosial
(pujian,
sanjungan) atau token (seperti nilai
ujian).
2. Penguatan negatif (negatif reinforcement),
ialah penguatan yang menimbulkan
perasaan
menyakitkan
atau
yang
menimbulkan
keadaan
tidak
menyenangkan atau tidak mengenakan
perasaan sehingga dapat mengurangi
terjadinya sesuatu tingkah laku. Contoh
seorang siswa akan meninggalkan
kebiasaan
terlambat
mengumpulkan
tugas/PR karena tidak tahan selalu
dicemooh oleh gurunya.
3. Hukuman (Punishment), respons yang
diberi
konsekuensi
yang
tidak
menyenangkan atau menyakitkan akan
membuat seseorang tertekan. Contoh
seorang siswa yang tidak mengerjakan PR
tidak dibolehkan bermain
teman‐temannya saat jam
sebagai bentuk hukuman.
bersama
istirahat
Prinsip‐Prinsip Teori Behavior adalah:
a. Obyek psikologi adalah tingkah laku
b. Semua bentuk tingkah laku di kembalikan
pada reflek
c. Mementingkan pembentukan kebiasaan
Aristoteles berpendapat bahwa pada
watu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa‐
apa, seperti sebuah meja lilin yang siap
dilukis oleh pengalaman. Menurut John
Locke(1632‐1704), salah satu tokoh empiris,
pada waktu lahir manusia tidak mempunyai
”warna mental”. Warna ini didapat dari
pengalaman. Pengalaman adalah satu‐
satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea
dan pengetahuan adalah produk dari
pengalaman. Secara psikologis, seluruh
perilaku
manusia,
kepribadian,
dan
tempramen ditentukan oleh pengalaman
inderawi (sensory experience). Pikiran dan
perasaan disebabkan oleh perilaku masa lalu.
Kesulitan empirisme dalam menjelaskan
gejala psikologi timbul ketika orang
membicarakan apa yang mendorong manusia
berperilaku tertentu. Hedonisme, memandang
manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk
memenuhi kepentingan dirinya, mencari
kesenangan, dan menghindari penderitaan.
Dalam utilitarianismem perilaku anusia tunduk
pada prinsip penghargaan dan hukuman. Bila
empirisme digabung dengan hedonisme dan
utilitariansisme, maka itulah yang disebut
dengan behaviorisme.
Asumsi bahwa pengalaman adalah
paling berpengaruh dala pembentukan
perilaku, menyiratkan betapa plastisnya
manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apa pun
dengan menciptakan lingkungan yang
relevan.
Thorndike
dan
Watson,
kaum
behaviorisme
berpendirian:
organisme
dilahirkan tanpa sifat‐sifat sosial atau
psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman
dan prilaku digerakan atau dimotivasi oleh
kebutuhan
untuk
memperbanyak
kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Menurut Thorndike belajar merupakan
peristiwa terbentuknya asosiasi‐asosiasi
anatara peristiwa yang disebut stimulus dan
respon. Teori belajar ini disebut teori
“connectionism”. Eksperimen yang dilakukan
adalah dengan kucing yang dimasukkan pada
sangkar tertutup yang apabila pintunya
dapat dibuka secara otomatis bila knop di
dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri‐ciri
belajar dengan Trial dan Error Yaitu: adanya
aktivitas, ada berbagai respon terhadap
berbagai situasi, adal eliminasai terhadap
berbagai respon yang salah, ada kemajuan
reaksi‐reaksi mencapai tujuan. Thorndike
menemukan hukum‐hukum.
Hukum kesiapan (Law of Readiness) Jika
suatu organisme didukung oleh kesiapan
yang kuat untuk memperoleh stimulus maka
pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosaiasi
cenderung diperkuat. Semakin sering suatu
tingkah laku dilatih atau digunakan maka
asosiasi tersebut semakin kuat. Hukum
akibat hubungan stimulus dan respon
cenderung
diperkuat
bila
akibat
menyenangkan dan cenderung diperlemah
jika akibanya tidak memuaskan. Ivan
Petrovich
Pavlo
(1849‐1936).
Teori
pelaziman klasik adalah memasangkan
stimuli yang netral atau stimuli yang
terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak
terkondisikan, yang melahirkan perilaku
tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi
berulang‐ulang,
stimuli
yang
netral
melahirkan respons terkondisikan. Pavlo
mengadakan
percobaan
laboratories
terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di
beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi
bersarat pada anjing. Contoh situasi
percobaan tersebut pada manusia adalah
bunyi bel di kelas untuk penanda waktu
tanpa
disadari
menyebabkan
proses
penandaan sesuatu terhadap bunyi‐bunyian
yang berbeda dari pedagang makan, bel
masuk, dan antri di bank. Dari contoh
tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara
mengganti stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
respon yang diinginkan. Sementara individu
tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari
luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu
proses perubahan yang terjadi karena
adanya syarat‐syarat yang menimbulkan
reaksi.Yang
terpenting
dalam
belajar
menurut teori ini adalah adanya latihan dan
pengulangan. Kelemahan teori ini adalah
belajar hanyalah terjadi secara otomatis
keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.
Skinner (1904‐1990) menganggap
reward dan reinrforcement merupakan faktor
penting dalam belajar. Skinner berpendapat
bahwa tujuan psikologi adalah meramal
mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru
memberi penghargaan hadiah atau nilai
tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori
ini juga disebut dengan operant conditioning.
Operans conditioning adalah suatu proses
penguatan perilaku operans yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat
diulang kembali atau menghilang sesuai
keinginan.
Operant conditioning menjamin respon
terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan
stimuli maka guru tidak dapat membimbing
siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya.
Guru memiliki peran dalam mengontrol dan
mengarahkan siswa dalam proses belajar
sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.
Kelebihan serta Kekurangan Teori
Behavioristik
1. Kelebihan Teori Behavioristik
a. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan
peka terhadap situasi dan kondisi belajar.
b. Guru tidak membiasakan memberikan
ceramah sehingga murid dibiasakan
belajar mandiri. Jika murid menemukan
kesulitan baru ditanyakan pada guru yang
bersangkutan.
c. Mampu membentuk suatu prilaku yang
diinginkan mendapatkan pengakuan
positif dan prilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negative yang
didasari pada prilaku yang tampak.
d. Dengan
melalui
pengulangan
dan
pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan
siswa yang sudah terbentuk sebelumnya.
Jika anak sudha mahir dalam satu bidang
tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi
dengan pembiasaan dan pengulangan
yang berkesinambungan tersebut dan
lebih optimal.
e. Bahan pelajaran yang telah disusun
hierarkis dari yang sederhana sampai
pada yang kompleks dengan tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian‐bagian
kecil yang ditandai dengan pencapaian
suatu ketrampilan tertentu mampu
menghasilakan suatu prilaku yang
Prinsip belajar Skinners
konsisten terhadap bidang tertentu.
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan f. Dapat mengganti stimulus yang satu
pada siswa jika salah dibetulkan jika
dengan stimuls yang lainnya dan
benar diberi penguat.
seterusnya
sampai
respons
yang
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari
diinginkan muncul.
yang belajar. Materi pelajaran digunakan g. Teori ini cocok untuk memperoleh
sebagai sistem modul.
kemampuan yang membutuhkan praktek
3. Dalam
proses
pembelajaran
lebih
dan pembiasaan yang mengandung
dipentingkan aktivitas sendiri, tidak
unsure‐unsur kecepatan, spontanitas, dan
digunakan
hukuman.
Untuk
itu
daya tahan.
lingkungan
perlu
diubah
untuk h. Teori
behavioristik
juga
cocok
menghindari hukuman.
diterapakan untuk anak yang masih
4. Tingkah laku yang diinginkan pendidik
membutuhkan dominasi peran orang
diberi hadiah dan sebaiknya hadiah
dewasa, suka mengulangi dan harus
diberikan dengan digunakannya jadwal
dibiasakan, suka meniru, dan suka
variable
ratio
reinforce
dalam
dengan
bentuk‐bentuk
penghargaan
pembelajaran digunakan shapping
langsung.
2. Kekurangan Teori Behavioristik
a.
Sebuah konsekwensi untuk menyusun
bahan pelajaran dalam bentuk yangsudah
siap.
b. Tidak setiap pelajaran dapat
menggunakan metose ini.
c. Murid berperan sebagai pendengar dalam
proses pembelajaran dan menghafalkan
apa di dengar dan di pandang sebagai
cara belajar yang efektif.
d. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik
justru dianggap sebagai metode yang
paling efektif untuk menertibkan siswa.
e. Murid dipandang pasif, perlu motifasi
dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
f. Murid hanya mendengarkan dengan
tertib
penjelsan
dari
guru
dan
mendengarkan apa yang didengar dan
dipandang sebagai cara belajar yang efektif
sehingga inisiatf siswa terhadap suatu
permasalahan yang muncul secara
temporer tidak bisa diselesaikan oleh
siswa.
g. Cenderung mengarahakan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif,
tidak produktif, dan menundukkan siswa
sebagai individu yang pasif.
h. Pembelajaran siswa yang berpusat pada
guru(teacher cenceredlearning) bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada
hasil yang dapat diamati dan diukur.
i. Penerapan metode yang salah dalam
pembelajaran mengakibatkan terjadinya
proses
pembelajaran
yang
tidak
menyenangkan bagi siswa, yaitu guru
sebagai center, otoriter, komunikasi
berlangsung satu arah, guru melatih, dan
menentukan apa yang harus dipelajari
murid.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan
Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar
pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori
dan
praktek
pendidikan
dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai
hasil belajar. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan
semakin
kuat
bila
diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran,
sifat
materi
pelajaran,
karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang
dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah
obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga
belajar
adalah
perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah
untuk menjiplak struktur pengetahuan yag
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan
akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan.
Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar
atau guru itulah yang harus dipahami oleh
murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran,
pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang
selalu membutuhkan motivasi dan penguatan
dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur
dengan
menggunakan
standar‐standar
tertentu dalam proses pembelajaran yang
harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga
dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur
hanya pada hal‐hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal‐hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses
evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam
proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas
bagi
pebelajar
untuk
berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis‐
mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja
mesin atau robot. Akibatnya pebelajar
kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena
teori
behavioristik
memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar
atau orang yang belajar harus dihadapkan
pada aturan‐aturan yang jelas dan ditetapkan
terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta
didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di
luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian
yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku
wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon
pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test.
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab
secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,
hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi
bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori
ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pebelajar secara individual.
Berdasarkan masalah yang kita bahas, dapat
diambil kesimpulan:
a. Teori behavioristik merupakan teori
belajar yang lebih menekankan pada
perubahan tingkah laku serta sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus
dan respon.
b. Teori behaviristik terdiri dari dari 4
landasan: koneksionisme,
pengkondisian, penguatan, dan
Operant conditioning.
c. Menurut teori belajar behavioristik,
belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah
belajar apabila ia bisa menunjukkan
perubahan tingkah lakunya.
d. Aplikasi teori behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran tergantung
dari beberapa hal seperti: tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia.
e. Teori behavioristik dengan model
hubungan
stimulus‐responnya,
mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon
atau
perilaku
tertentu
dengan
menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan
semata.
Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
f. Menurut teori ini dalam belajar yang
penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada pebelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan
pebelajar
terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur
g. Faktor lain yang dianggap penting
oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan
(reinforcement).
Bila
penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Sebaliknya jika respon
dikurangi/dihilangkan
(negative
reinforcement) maka respon justru
malah semakin kuat juga.
h. Tokoh‐tokoh aliran behavioristik di
antaranya
adalah Thorndike, Watson, Clark
Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Berikut akan dibahas karya‐karya
para tokoh aliran behavioristik dan
analisis serta peranannya dalam
pembelajaran.
i. Ada tiga hukum belajar yang utama,
menurut Thorndike yakni (1) hukum
efek; (2) hukum latihan dan (3)
hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).
Ketiga hukum ini menjelaskan
bagaimana hal‐hal tertentu dapat
memperkuat respon.
j. Teori kaum behavoris lebih dikenal
dengan nama teori belajar, karena
seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perbahan
perilaku organise sebagai pengaruh
lingkungan. Behaviorisme tidak mau
memperoalkan apakah manusia baik
atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui
bagaimana perilakunya dikendalian
oleh faktor‐faktor lingkungan. Dalam
arti teori belajar yang lebih
menekankan pada tingkah laku
manusia.
Memandang
individu
sebagai
makhluk
reaktif
yang
memberirespon terhadap lingkungan.
k. S‐R psikologis artinya bahwa tingkah
laku manusia dikendalikan oleh
penghargaan atau reward dan
penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam
tingkah laku belajar terdapat jalinan
yang
erat
antara
reaksi‐reaksi
behavioural dengan stimulusnya. Guru
yang
menganut
pandangan
ini
berpandapat bahwa tingkah laku
siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkahl laku adalah
hasil belajar.
l. Belajar
merupakan
peristiwa
terbentuknya asosiasi‐asosiasi antara
peristiwa yang disebut stimulus dan
respon. Teori belajar ini disebut teori
“connectionism”.
Ciri‐ciri
belajar
dengan Trial dan Error Yaitu: adanya
aktivitas,
ada
berbagai
respon
terhadap berbagai situasi, adal
eliminasai terhadap berbagai respon
yang salah, ada kemajuan reaksi‐
reaksi mencapai tujuan.
m. Skinner (1904‐1990) menganggap
reward
dan
reinrforcement
merupakan faktor penting dalam
belajar. Skinner berpendapat bahwa
tujuan psikologi adalah meramal
mengontrol tingkah laku. Pada teori
ini guru memberi penghargaan hadiah
atau nilai tinggi sehingga anak akan
lebih rajin. Teori ini juga disebut
dengan operant conditioning. Operans
conditioning adalah suatu proses
penguatan perilaku operant yang
dapat
mengakibatkan
perilaku
tersebut dapat diulang kembali atau
menghilang sesuai keinginan.
n. Bandura (1925) mempermasalahkan
peranan penghargaan dan hukuman
dalam proses belajar, dikenal dengan
konsep belajar sosial (social learning).
Kaum
behaviorisme
tradisional
menjelaskan bahwa kata‐kata yang
semula
tidak
ada
maknanya,
dipasangkan dengan lambak atau
obyek yang punya makna (pelaziman
klasik). Teori belajar Bandura adalah
teori belajar sosial atau kognitif sosial
serta efikasi diri yang menunjukkan
pentingnya proses mengamati dan
meniru perilaku, sikap dan emosi
orang
lain.
Teori
Bandura
menjelaskan perilaku manusia dalam
konteks interaksi tingkah laku timbal‐
balik yang berkesinambungan antara
kognitif perilaku dan pengaruh
lingkungan.
Faktor‐faktor
yang
berproses dalam observasi adalah
perhatian,
mengingat,
produksi
motorik, motivasi.
Teori Kognitivisme
respon, lebih dari itu belajar melibatkan
proses berpikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman
tidak
selalu
berbentuk
perubahan
tingkah
laku
yang
bisa
diamati.Dari beberapa teori belajar kognitif
diatas (khusunya tiga di penjelasan awal)
dapat pemakalah ambil sebuah sintesis
bahwa masing masing teori memiliki
kelebihan dan kelemahan jika diterapkan
dalam dunia pendidikan juga pembelajaran.
Jika keseluruhan teori diatas memiliki
kesamaan yang sama‐sama dalam ranah
psikologi kognitif, maka disisi lain juga
memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam
proses pendidikan. Sebagai misal, Teori
bermakna
Ausubel
dan
discovery
Learningnya Bruner memiliki sisi pembeda.
Dari sudut pandang Teori belajar bermakna
Ausubel memandang bahwa justru ada
bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam
suatu hal mendapat penanganan dengan
teori belajar discoveri, karena siswa
cenderung
diberi
kebebasan
untuk
mengkonstruksi sendiri pemahaman tentang
segala sesuatu. Oleh karenanya menurut
teori belajar Bermakna guru tetap berfungsi
sentral sebatas membantu mengkoor‐
dinasikan pengalaman‐pengalaman yang
hendak diterima oleh siswa namun tetap
dengan
koridor
pembelajaran
yang
bermakna. Dari poin diatas dapat pemakalah
ambil garis tengah bahwa beberapa teori
belajar kognitif diatas, meskipun sama‐sama
mengedepankan proses berpikir, tidak serta
merta dapat diaplikasikan pada konteks
pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih
untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini
dengan kompleksitas proses dan sistem
pembelajaran sekarang maka harus benar‐
benar diperhatikan antara karakter masing‐
masing teori dan kemudian disesuakan
dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
Istilah "Cognitive" berasal dari kata cognition
artinya
adalah
pengertian,
mengerti.
Pengertian yang luasnya cognition (kognisi)
adalah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan.
Dalam
pekembangan
selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini
menjadi populer sebagai salah satu wilayah
psikologi manusia/satu konsep umum yang
mencakup semua bentuk pengenalan yang
meliputi setiap perilaku mental yang
berhubungan dengan masalah pemahaman,
memperhatikan, memberikan, menyangka,
pertimbangan,
pengolahan
informasi,
pemecahan
masalah,
pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir
dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang
berpusat di otak ini juga berhubungan
dengan konasi (kehendak) dan afeksi
(perasaan) yang bertalian dengan rasa.
Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis,
tingkah laku seseorang itu senantiasa
didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana
tingkah laku itu terjadi.
Teori kognitif adalah teori yang
umumnya dikaitkan dengan proses belajar.
Kognisi adalah kemampuan psikis atau
mental manusia yang berupa mengamati,
melihat,
menyangka,
memperhatikan,
menduga dan menilai. Dengan kata lain,
kognisi menunjuk pada konsep tentang
pengenalan. Teori kognitif menyatakan
bahwa proses belajar terjadi karena ada
variabel penghalang pada aspek‐aspek
Ciri‐ciri Aliran Kognitivisme
kognisi seseorang. Teori belajar kognitiv
lebih mementingkan proses belajar daripada 1. Mementingkan apa yang ada dalam diri
manusia
hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar
melibatkan hubungan antara stimulus dan 2. Mementingkan keseluruhan dari pada
bagian‐bagian
3. Mementingkan peranan kognitif
4. Mementingkan kondisi waktu sekarang
5. Mementingkan pembentukan struktur
kognitif
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam
belajar memperoleh dan mempergunakan
bentuk‐bentuk reppresentatif yang mewakili
obyek‐obyek itu di representasikan atau di
hadirkan dalam diri seseorang melalui
tanggapan, gagasan atau lambang, yang
semuanya merupakan sesuatu yang bersifat
mental, misalnya seseorang menceritakan
pengalamannya selama mengadakan perja‐
lanan keluar negeri, setelah kembali
kenegerinya sendiri. Tampat‐tempat yang
dikunjuginya selama berada di lain negara
tidak dapat diabawa pulang, orangnya
sendiri juga tidak hadir di tempat‐tempat itu.
Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi
semulanya tanggapan‐tanggapan, gagasan
dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata‐
kata yang disampaikan kepada orang yang
mendengarkan ceritanya.
Tokoh‐Tokoh Teori Kognitivisme
Jean Piaget, teorinya disebut "Cognitive
Developmental"
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa
proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan
fungsi intelektual dari konkret menuju
abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang
bahwa proses berpikir sebagai aktivitas
gradual dari fungsi intelektual dari konkret
menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmentat
karena
penelitiannya
mengenai tahap tahap perkembangan pribadi
serta perubahan umur yang mempengaruhi
kemampuan belajar individu. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental mem‐
berikan kemampuan‐kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelek‐
tual adalah tidak kuantitatif, melainkan
kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir
atau kekuatan mental anak yang berbeda
usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Suhaidi, Jean Piaget mengklasifi‐
kasikan perkembangan kognitif anak menjadi
empat tahap:
Tahap
sensory‐motor,
yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi
pada usia 0‐2 tahun, Tahap ini diidentikkan
dengan kegiatan motorik dan persepsi yang
masih sederhana.
Tahap
pre‐operational,
yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi
pada usia 2‐7 tahun. Tahap ini diidentikkan
dengan mulai digunakannya symbol atau
bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pada kesan yang
agak abstrak.
Tahap
concrete‐operational,
yang
terjadi pada usia 7‐11 tahun. Tahap ini
dicirikan dengan anak sudah mulai
menggunakan aturan‐aturan yang jelas dan
logis. Anak sudah tidak memusatkan diri
pada karakteristik perseptual pasif.
Tahap
formal‐operational,
yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi
pada usia 11‐15 tahun. Ciri pokok tahap yang
terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir
abstrak dan logis dengan menggunakan pola
pikir "kemungkinan". Dalam pandangan Piaget,
proses adaptasi seseorang dengan lingkungan‐
nya terjadi secara simultan melalui dua bentuk
proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
terjadi jika pengetahuan baru yang diterima
seseorang cocok dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya,
akomodasi terjadi jika struktur kognitif yang
telah dimiliki seseorang harus direkonstruk‐
si/dikode ulang disesuaikan dengan informasi
yang baru diterima. Dalam teori perkem‐
bangan kognitif ini Piaget juga menekankan
pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar
seseorang dapat terus mengembangkan dan
menambah pengetahuan sekaligus menjaga
stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat
dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara
asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang
dapat menyatukan pengalaman luar dengan
struktur dalamya. Proses perkembangan intelek
seseorang berjalan dari disequilibrium menuju
equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Teori Kognitif Bruner
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat
perkembangan kognitif manusia berkaitan
dengan
kebudayaan.
Bagi
Bruner,
perkembangan kognitif seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan,
terutama bahasa yang biasanya digunakan.
Menurut Bruner untuk mengajar
sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak
mancapai tahap perkembangan tertentu.
Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan padanya.
Dengan lain perkataan perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan
dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan
tingkat perkembangannya. Penerapan teori
Bruner yang terkenal dalam dunia
pendidikan adalah kurikulum spiral dimana
materi pelajaran yang sama dapat diberikan
mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan
tinggi disesuaikan dengan tingkat perkem‐
bangan kognitif mereka. Cara belajar yang
terbaik menurut Bruner ini adalah dengan
memahami konsep, arti dan hubungan
melalui proses intuitif kemudian dapat
dihasilkan suatu kesimpulan. (discovery
learning).
Teori Kognitif Ausebel
Yang memandang bahwa Proses belajar
terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan
pengetahuan yang dimilikinya dengan
pengetahuan baru yang dimana Proses
belajar terjadi melaui tahap‐tahap:
1). Memperhatikan stimulus yang diberikan
2). Memahami makna stimulus menyimpan
dan menggunakan informasi yang sudah
dipahami.
Menurut Ausubel siswa akan belajar
dengan
baik
jika
isi
pelajarannya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa
(advanced organizer), dengan demikian akan
mempengaruhi pengaturan kemampuan
belajar siswa. Advanced organizer adalah
konsep atau informasi umum yang mewadahi
seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari
oleh siswa. Advanced organizer memberikan
tiga manfaat yaitu : Menyediakan suatu
kerangka konseptual untuk materi yang akan
dipelajari. Berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan
antara
yang
sedang
dipelajari dan yang akan dipelajari. Dapat
membantu siswa untuk memahami bahan
belajar secara lebih mudah.
Pandangan Kognitivisme terhadap belajar
Teori kognitif adalah teori yang umumnya
dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi
adalah kemampuan psikis atau mental
manusia yang berupa mengamati, melihat,
menyangka, memperhatikan, menduga dan
menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk
pada konsep tentang pengenalan. Teori
kognitif menyatakan bahwa proses belajar
terjadi karena ada variabel penghalang pada
aspek‐aspek kognisi seseorang. Teori belajar
kognitiv lebih mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon, lebih dari itu belajar
melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi
dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman
tidak
selalu
berbentuk
perubahan tingkah laku yang bisa diamati.Dari
beberapa teori belajar kognitif diatas
(khusunya tiga di penjelasan awal) dapat
pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa
masing masing teori memiliki kelebihan dan
kelemahan jika diterapkan dalam dunia
pendidikan
juga
pembelajaran.
Jika
keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan
yang sama‐sama dalam ranah psikologi
kognitif, maka disisi lain juga memiliki
perbedaan jika diaplikasikan dalam proses
pendidikan. Sebagai misal,
Teori
bermakna
Ausubel
dan
discovery Learningnya Bruner memiliki sisi
pembeda. Dari sudut pandang Teori belajar
Bermakna Ausubel memandang bahwa justru
ada bahaya jika siswa yang kurang mahir
dalam suatu hal mendapat penanganan
dengan teori belajar discoveri, karena siswa
cenderung
diberi
kebebasan
untuk
mengkonstruksi sendiri pemahaman tentang
segala sesuatu. Oleh karenanya menurut
teori belajar Bermakna guru tetap berfungsi
sentral sebatas membantu mengkoor‐
dinasikan pengalaman‐pengalaman yang
hendak diterima oleh siswa namun tetap
dengan koridor pembelajaran yang bermak‐
na. Dari poin diatas dapat pemakalah ambil
garis tengah bahwa beberapa teori belajar
kognitif
diatas,
meskipun
sama‐sama
mengedepankan proses berpikir, tidak serta
merta dapat diaplikasikan pada konteks
pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih
untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini
dengan kompleksitas proses dan sistem
pembelajaran sekarang maka harus benar‐
benar diperhatikan antara karakter masing‐
masing teori dan kemudian disesuakan
dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
Teori Kognitivistik dalam Pendidikan
3. Impilkasi Teori Bermakna Ausubel adalah
seorang pendidik, mereka harus dapat
memahami bagaimana cara belajar siswa
yang baik, sebab mereka para siswa tidak
akan dapat memahami bahasa bila
mereka tidak mampu mencerna dari apa
yang mereka dengar ataupun mereka
tangkap.
Dan dari ketiga macam teori diatas jelas
masing‐masing mempunya implikasi yang
berbeda, namun secara umum teori
kognitivisme
lebih
mengarah
pada
bagaimana memahami struktur kognitif
siswa.
Teori kognitif adalah teori yang
umumnya dikaitkan dengan proses belajar.
Kognisi adalah kemampuan psikis atau
mental manusia yang berupa mengamati,
melihat,
menyangka,
memperhatikan,
menduga dan menilai. Dengan kata lain,
kognisi menunjuk pada konsep tentang
pengenalan. Adapun teori yang tekenal
antara lain: Jean Piaget, teorinya disebut
"Cognitive Developmental" yang Dalam
teorinya, Piaget memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi
intelektual dari konkret menuju abstrak,
Teori
Perkembangan
Kognitif,
dikembangkan oleh Bruner, yang dimana
Burner memandang perkembangan kognitif
manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi
Bruner, perkembangan kognitif seseorang
sangat
dipengaruhi
oleh
lingkungan
kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya
digunakan.
Teori
Perkembangan
Kognitif,
dikembangkan
oleh
Ausebel,
yang
mengatakan bahwa siswa akan belajar
dengan
baik
jika
isi
pelajarannya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa
(advanced organizer), dengan demikian akan
mempengaruhi pengaturan kemampuan
belajar siswa.
Adapun Impilikasi Teori Kognitivisme dalam
dunia pendidikan yang lebih dispesifikasikan
dalam Pembelajaran sesuai dengan Teori
yang telah dikemukan diatas sebagai berikut:
1. Implikasi teori perkembangan kognitif
Piaget dalam pembelajaran adalah Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan
orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa
yang sesuai dengan cara berfikir anak;
Anak‐anak akan belajar lebih baik apabila
dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar
dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik‐baiknya; Bahan yang harus
dipelajari anak hendaknya dirasakan baru
tetapi tidak asing; Berikan peluang agar
anak belajar sesuai tahap perkembangan‐
nya. Di dalam kelas, anak‐anak
hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan diskusi dengan teman‐
temanya.
2. Implikasi Teori Bruner dalam Proses
Pembelajaran yaitu menghadapkan anak
pada suatu situasi yang membingungkan
atau suatu masalah; anak akan berusaha
membandingkan realita di luar dirinya
dengan model mental yang telah
dimilikinya; dan dengan pengalamannya
anak akan mencoba menyesuaikan atau
Teori Belajar Humanistik
mengorganisasikan kembali struktur‐
struktur idenya dalam rangka untuk Psikologi humanistik adalah perspektif
mencapai keseimbangan di dadalam psikologis yang menekankan studi tentang
seseorang secara utuh. Psikolog humanistik
benaknya.
melihat perilaku manusia tidak hanya
melalui penglihatan pengamat, malainkan
juga melalui pengamatan atas perilaku
individu mengintegral dengan perasaan batin
dan citra dirinya.
Berdasarkan teori belajar humanistik
tujuan belajar adalah untuk memanusiakan
seorang manusia. Kegiatan belajar dianggap
berhasil apabila si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya. Murid dalam
proses belajar harus berusaha agar secara
perlahan dia mampu mencapai aktualisasi
diri dengan baik. Teori belajar humanistik ini
berusaha memahami perilaku belajar dari
sudut pandang pelaku yang belajar, tidak dari
sudut pandang pengamatan.
Tujuan utama pendidik adalah
membantu murid untuk mengembangkan
diri sendiri dengan cara membantu masing‐
masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia dan mambantu
dalam mewujudkan semua potensi yang ada
dalam diri. Selain teori belajar behavioristik
dan teori belajar kognitif, sebuah teori
belajar humanistik juga sangat penting untuk
dimengerti.
Aliran psikologi humanistik sangat
terkenal dengan konsepsi bahwa esensinya
manusia itu baik menjadi dasar keyakinan
dan mengajari sisi kemanusiaan. Psikologi
humanistik utamanya didasari atas atau
merupakan
realisasi
dari
psikologi
eksistensial
dan
pemahaman
akan
keberadaan dan tanggung jawab sosial
seseorang. Dua psikolog yang ternama, Carl
Rogers dan Abraham Maslow, memulai
gerakan psikologi humanistik perspektif baru
mengenai
pemahaman
kepribadian
seseorang dan meningkatkan kepuasan
hidup mereka secara keseluruhan.
Studi psikologi humanistik melihat
manusia, pemahaman, dan pengalaman
dalam diri manusia, termasuk dalam
kerangka belajar dan belajar. Mereka
menekankan karakteristik yang dimiliki oleh
makluk manusia seutuhnya seperti cinta,
kesedihan, peduli, dan harga diri. Psikolog
humanistik mempelajari bagaimana orang‐
orang dipengaruhi oleh persepsi dan makna
yang melekat pada pengalaman pribadi
mereka. Aliran ini menekankan pada pilihan
kesadaran, respon terhadap kebutuhan
internal, dan keadaan saat ini yang menjadi
sangat penting dalam membentuk perilaku
manusia.
Pendekatan pengajaran humanistik
didasarkan pada premis bahwa siswa telah
memiliki kebutuhan untuk menjadi orang
dewasa yang mampu mengaktualisasi diri,
sebuah istilah yang digunakan oleh Maslow
(1954). Aktualisasi diri orang dewasa yang
mandiri, percaya diri, realistis tentang tujuan
dirinya, dan fleksibel. Mereka mampu
menerima dirinya sendiri, perasaan mereka,
dan lain‐lain di sekitarnya. Untuk menjadi
dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa
perlu ruang kelas yang bebas yang
memungkinkan mereka menjadi kreatif.
Tujuan dasar pendidikan humanistik
adalah mendorong siswa menjadi mandiri
dan independen, mengambil tanggung jawab
untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif
dan tertarik dengan seni, dan menjadi ingin
tahu tentang dunia di sekitar mereka. Sejalan
dengan itu, prinsip‐prinsip pendidikan
humanistik disajikan sebagai berikut.
a. Siswa harus dapat memilih apa yang
mereka ingin pelajari. Guru humanistik
percaya bahwa siswa akan termotivasi
untuk mengkaji materi bahan ajar jika
terkait
dengan
kebutuhan
dan
keinginannya.
b. Tujuan pendidikan harus mendorong
keinginan siswa untuk belajar dan
mengajar mereka tentang cara belajar.
Siswa harus memotivasi dan merangsang
diri pribadi untuk belajar sendiri.
c. Pendidik humanistik percaya bahwa nilai
tidak relavan dan hanya evaluasi diri
(selfevaluation)
yang
bermakna.
Pemeringkatan mendorong siswa belajar
untuk mencapai tingkat tertentu, bukan
untuk kepuasan pribadi. Selain itu,
pendidik humanistik menentang tes
objektif,
karena
mereka
menguji
kemampuan siswa untuk menghafal dan
tidak
memberikan
umpan
balik
pendidikan yang cukup kepada guru dan
siswa.
d. Pendidik humanistik percaya bahwa, baik
perasaan maupun pengetahuan, sangat
penting dalam proses belajar dan tidak
memisahkan domain kognitif dan afektif.
e. Pendidik
humanistik
menekankan
perlunya siswa terhindar dari tekanan
lingkunngan, sehingga mereka akan
merasa aman untuk belajar. Setelah siswa
merasa aman, belajar mereka menjadi
lebih mudah dan lebih bermakna.
Aplikasi Teori Humanistik Carl Roger
Teori Roger dalam bidang pendidikan adalah
dibutuhkannya 3 sikap dalam fasilitator
belajar yaitu (1) realitas di dalam fasilitator
belajar, (2) penghargaan, penerimaan, dan
kepercayaan, dan (3) pengertian yang
empati.
1. Realitas di dalam fasilitator belajar
Merupakan sikap dasar yang penting.
Seorang fasilitator menjadi dirinya sendiri
dan tidak menyangkal diri sendiri, sehingga
ia dapat masuk kedalam hubungan dengan
pelajar tanpa ada sesuatu yang ditutup‐
tutupi.
2. Penghargaan dan kepercayaan
Menghargai pendapat, perasaan, dan
sebagainya membuat timbulnya penerimaan
akan satu dengan lainnya. Dengan adanya
penerimaan tersebut, maka akan muncul
kepercayaan akan satu dengan lainnya.
3. Pengertian yang empati
Untuk mempertahankan iklim belajar atas
dasar inisiatif diri, maka guru harus memiliki
pengertian yang empati akan reaksi murid
dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran
yang sensitif bagi jalannya proses pendidikan
dengan tidak menilai atau mengevaluasi.
Pengertian akan materi pendidikan dipan‐
dang dari sudut murid dan bukan guru.
Guru menghubungan pengetahuan
akademik ke dalam pengetahuan terpakai
seperti memperlajari mesin dengan tujuan
untuk memperbaikai mobil. Experiential
Learning menunjuk pada pemenuhan
kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas
belajar experiential learning mencakup:
keterlibatan
siswa
secara
personal,
berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan
adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam
proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan
pembelajaran, yaitu:
a. Menjadi manusia berarti memiliki
kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa
tidak harus belajar tentang hal‐hal yang
tidak ada artinya.
b. Siswa akan mempelajari hal‐hal yang
bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan
pelajaran
berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
c. Pengorganisasian
bahan
pengajaran
berarti mengorganisasikan bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi
siswa.
d. Belajar yang bermakna dalam masyarakat
modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia
menunjukkan sejumlah prinsip‐prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah:
a. Manusia itu mempunyai kemampuan
belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila
materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud‐
maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di
dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
diangap mengancam dan cenderung
untuk ditolaknya.
d. Tugas‐tugas belajar yang mengancam diri
ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman‐ancaman
dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri siswa
rendah, pengalaman dapat diperoleh
dengan berbagai cara yang berbeda‐beda
dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa
dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana siswa
dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab
terhadap
proses
belajar itu.
h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan
pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan
maupun intelek, merupakan cara yang
dapat memberikan hasil yang mendalam
dan lestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri,
kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah
dicapai terutama jika siswa dibiasakan
untuk mawas diri dan mengritik dirinya
sendiri dan penilaian dari orang lain
merupakan cara kedua yang penting.
j. Belajar yang paling berguna secara sosial
di dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai
proses
belajar,
suatu
keterbukaan
yang
terus
menerus
terhadap pengalaman dan penyatuannya
ke dalam diri sendiri mengenai proses
perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka
mencakuo konsep mengajar guru yang
fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti
oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975
mengenai kemampuan para guru untuk
menciptakan kondidi yang mendukung yaitu
empati, penghargaan dan umpan balik positif.
Ciri‐ciri guru yang fasilitatif adalah:
a. Merespon perasaan siswa
b. Menggunakan ide‐ide siswa untuk
melaksanakan interaksi yang sudah
dirancang
c. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
d. Menghargai siswa
e. Kesesuaian antara perilaku dan per‐
buatan
f. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa
(penjelasan
untuk
mementapkan
kebutuhan segera dari siswa)
g. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang
fasilitatif mengurangi angka bolos siswa,
meningkatkan angka konsep diri siswa,
meningkatkan upaya untuk meraih prestasi
akademik termasuk pelajaran bahasa dan
matematika
yang
kurang
disukai,
mengurangi tingkat problem yang berkaitan
dengan disiplin dan mengurangi perusakan
pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi
lebih spontan dan menggunakan tingkat
berpikir yang lebih tinggi.
Implikasi Teori Belajar Humanistik
Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas
guru sebagai fasilitator. Berikut ini adalah
berbagai cara untuk memberi kemudahan
belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini
merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari
beberapa (petunjuk):
a. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian
kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas
b. Fasilitator membantu untuk memperoleh
dan memperjelas tujuan‐tujuan per
orangan di dalam kelas dan juga tujuan‐
tujuan kelompok yang bersifat umum.
c. Dia mempercayai adanya keinginan dari
masing‐masing siswa untuk melaksana‐
kan tujuan‐tujuan yang bermakna bagi
dirinya, sebagai kekuatan pendorong,
yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna tadi.
d. Dia mencoba mengatur dan menyediakan
sumber‐sumber untuk belajar yang paling
luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai
suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
f. Di
dalam
menanggapi
ungkapan‐
ungkapan di dalam kelompok kelas, dan
menerima baik isi yang bersifat intelek‐
tual dan sikap‐sikap perasaan dan
mencoba untuk menanggapi dengan cara
yang sesuai, baik bagi individual ataupun
bagi kelompok
g. Bilamana cuaca penerima kelas telah
mantap, fasilitator berangsur‐sngsur
dapat berperanan sebagai seorang siswa
yang turut berpartisipasi, seorang
anggota kelompok, dan turut menyatakan
pendangannya sebagai seorang individu,
seperti siswa yang lain.
h. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta
dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan
juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja
digunakan atau ditolak oleh siswa
i. Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan‐ungkapan yang menandakan
j.
adanya perasaan yang dalam dan kuat
selama belajar
Di dalam berperan sebagai seorang
fasilitator, pimpinan harus mencoba
untuk
menganali
dan
menerima
keterbatasan‐keterbatasannya sendiri.
Aplikasi Teori Humanistik Terhadap
Pembelajaran Siswa
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk
pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode‐
metode yang diterapkan. Peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi
fasilitator bagi para siswa sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai
makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada
siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama
(student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan
siswa memahami potensi diri, mengembang‐
kan potensi dirinya secara positif dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses
belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah:
a. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
b. Mengusahakan partisipasi aktif siswa
melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas, jujur dan positif.
c. Mendorong siswa untuk mengembangkan
kesanggupan siswa untuk belajar atas
inisiatif sendiri
d. Mendorong siswa untuk peka berpikir
kritis, memaknai proses pembelajaran
secara mandiri
e. Siswa
di
dorong
untuk
bebas
mengemukakan
pendapat,
memilih
pilihannya sendiri, melakukkan apa yang
diinginkan dan menanggung resiko
dariperilaku yang ditunjukkan.
f. Guru menerima siswa apa adanya,
berusaha memahami jalan pikiran siswa,
tidak menilai secara normatif tetapi
mendorong siswa untuk bertanggung‐
jawab atas segala resiko perbuatan atau
proses belajarnya.
g. Memberikan kesempatan murid untuk
maju sesuai dengan kecepatannya
h. Evaluasi diberikan secara individual
berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran
berdasarkan
teori
humanistik ini cocok untuk diterpkan pada
materi‐materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani,
perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan
aplikasi ini adalah siswa merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan
terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri
secara bertanggungjawab tanpa mengurangi
hak‐hak orang lain atau melanggar aturan,
norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Ciri‐ciri guru yang baik dan kurang baik
menurut Humanistik
Guru yang baik menurut teori ini adalah:
Guru yang memiliki rasa humor, adil,
menarik,
lebih
demokratis,
mampu
berhubungan dengan siswa dengan mudah
dan wajar.Ruang kelas lebih terbuka dan
mampu menyesuaikan pada perubahan.
Sedangkan guru yang tidak efektif
adalah guru yang memiliki rasa humor yang
rendah,mudah menjadi tidak sabar,suka
melukai perasaan siswaa dengan komentar
yang menyakitkan,bertindak agak otoriter, dan
kurang peka terhadap perubahan yang ada.
Aplikasi Teori Humanistik Dalam Belajar
Aplikasi Teori Belajar Humanistik Dalam
Kegiatan Pembelajaran. Teori humanistik
sering dikritik karena sukar diterapkan
dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini
diangagap lebih dekat dengan bidang filsafat,
teori kepribadian dan psikoterapi dari pada
bidang
pendidikan,
sehingga
sukar
menterjemahkannya ke dalam langkah‐
langkah yang lebih kongkret dan praktis.
Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu
memanusiakan
manusia,
maka
teori
humanistik mampu memberikan arah
terhadap semua komponen pembelajaran
untuk mendukung tercapainya tujuan
tersebut.
Semua komponen pendidikan temasuk
tujuan
pendidikan
diarahkan
pada
terbentuknya manusia yang ideal, manusia
yang dicita‐citakan, yaitu manusia yang
mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu,
sangat perlu diperhatikan bagaimana
perkembangan
peserta
didik
dalam
mengaktualisasi
dirinya,
pemahaman
terhadap dirinya, serta realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik
khusus individu dalam belajar perlu
diperhatikan oleh guru dalam merencanakan
pembelajaran. Karena seseorang akan dapat
belajar dengan baik jika mempunyai
pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat
membuat pilihan‐pilihan secara bebas ke
arah mana ia akan berkembang. Dengan
demikian
teori
humanistik
mampu
menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal
tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu
para pendidik dalam memahami arah belajar
pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya
pembelajaran apapun dan dalam konteks
manapun akan selalu diarahkan dan
dilakukan untuk mencapai tujuannya.
Meskipun teori humanistik ini masih sukar
diterjemahkan ke dalam langkah‐langkah
pembelajaran yang praktis dan operasional,
namun sumbangan teori ni amat besar. Ide‐
ide, konsep‐konsep, taksonomi‐taksonomi
tujuan yang telah dirumuskannya dapat
membantu para pendidik dan guru untuk
memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal
ini akan dapat membantu mereka dalam
menentukan komponen‐komponen pembe‐
lajaran seperti perumusan tujuan, penentuan
materi, pemilihan strategi pembelajaran,
serta pengembangan alat evaluasi, ke arah
pembentukan manusia yang dicita‐citakan
tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang
secara sistematis, tahap demi tahap secara
ketat,
sebagai
mana
tujuan‐tujuan
pembelajaran yang telah dinyatakan secara
eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar
yang dapat diatur dan ditentukan, serta
pengalaman‐pengalaman belajar yang dipilih
untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru
tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam
Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan
dengan teori humanistik. Menurut teori ini,
agr belajar bermakna bagi siswa, diperlukan
insiatif dan keterlibatan penuh dari siswa
sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar
eksperiensial (experiential learning).
Dalam prakteknya teori humanistik ini
cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta
membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses belajar. Oleh sebab itu,
walaupun secara ekspilsit belum ada pedman
baku tantang langkah‐langkah pembelajaran
dengan pendekatan humanistik, namun
paling tidak langkah‐langkah pembelajaran
dengan pendekatan humanistik, namun
paling tidak langkah‐langkah pembelajaran
yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya
Irawan (2001) dapat digumakan sebagi
acuan.
Langkah‐langkah yang dimaksud adalah
sebagi berikut :
a. Menentukan
tujuan‐tujuan
pembe‐
lajaran.
b. Menentukan materi pembelajaran.
c. Mengidentifikasi kemampuan awal (entri
behavior) siswa.
d. Mengidentifikasi topik‐topik pelajaran
yang memungkinkan siswa secara aktif
melibatkan diri atau mengalami dalam
belajar.
e. Merancang fasilitas belajar seperti
lingkungan dan media pembelajaran.
f. Membimbing siswa belajar secara aktif.
g. Membimbing siswa untuk memahami
hakikat
makna
dari
pengalaman
belajarnya.
h. Membimbing
siswa
membuat
konseptualisasi pengalaman belajarnya.
i. Membimbing
siswa
dalam
mengaplikasikan konsep‐konsep baru ke
situasi nyata.
j. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa
Teori Humanistik lebih melihat pada sisi
perkembangan
kepribadian
manusia/individu. Humanistik mencoba
untuk
melihat
kehidupan
manusia
sebagaimana manusia melihat kehidupan
mereka. Mereka berfokus pada kemampuan
manusia untuk berfikir secara sadar dan
rasional untuk dalam mengendalikan hasrat
biologisnya, serta dalam meraih potensi
maksimal
mereka.
Dalam
pandangan
humanistik, manusia bertanggung jawab
terhadap hidup dan perbuatannya serta
mempunyai kebebasan dan kemampuan
untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.
Kelemahan
atau
kekurangan
pandangan
Rogers
terletak
pada
perhatiannya yang semata‐mata melihat
kehidupan diri sendiri dan bukan pada
bantuan
untuk
pertumbuhan
serta
perkembangan
orang
lain.
Rogers
berpandangan bahwa orang yang berfungsi
sepenuhnya tampaknya merupakan pusat
dari dunia, bukan seorang partisipan yang
berinteraksi dan bertanggung jawab di
dalamnya.
Selain itu gagasan bahwa seseorang
harus dapat memberikan respon secara
realistis terhadap dunia sekitarnya masih
sangat sulit diterima. Semua orang tidak bisa
melepaskan subjektivitas dalam memandang
dunia karena kita sendiri tidak tahu dunia itu
secara objektif.
Rogers juga mengabaikan aspek‐
aspek tidak sadar dalam tingkah laku
manusia karena ia lebih melihat pada
pengalaman masa sekarang dan masa depan,
bukannya pada masa lampau yang biasanya
penuh dengan pengalaman traumatik yang
menyebabkan seseorang mengalami suatu
penyakit psikologis.
Di sini melihat dari kelemahan
pandangan Rogers yang bisa dijadikan
masukan
sebagai
penyempurnaan
pandangan Rogers yang berfokus pada diri.
ilmu
informasi.
Hakekat
manajemen
pembelajaran berdasarkan teori belajar
sibernetik adalah usaha guru untuk membantu
siswa mencapai tujuan belajarnya secara
efektif.
Menurut teori sibernetik, belajar
adalah pengolahan informasi. Seolah‐olah
teori ini mempunyai kesamaan dengan teori
kognitif yaitu dengan mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajar. Proses belajar
memang penting dalam teori sibernetik,
namun yang lebih penting lagi adalah sistem
informasi yang diproses yang akan dipelajari
siswa.
Informasi
inilah
yang
akan
menentukan proses. Bagaimana proses
belajar akan berlangsung, sangat ditentukan
oleh sistem informasi yang dipelajari.
Pengertian Belajar Menurut Teori Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori
belajar yang relatif baru dibandingkan
dengan teori‐teori belajar yang sudah
dibahas sebelumnya. Teori ini berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi dan
ilmu informasi. Menurut teori sibernetik,
belajar adalah pengolahan informasi. Proses
belajar memang penting dalam teori
sibernetik, namun yang lebih penting lagi
adalah sistem informasi yang diproses yang
akan dipelajari siswa. Informasi inilah yang
akan menentukan proses. Bagaimana proses
belajar akan berlangsung, sangat ditentukan
oleh sistem informasi yang dipelajari.
Asumsi lain dari teori sibernetik
adalah bahwa tidak ada satu proses
belajarpun yang ideal untuk segala situasi,
dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara
belajar sangat ditentukan oleh sistem
informasi. Sebuah informasi mungkin akan
dipelajari oleh seorang siswa dengan satu
macam proses belajar, dan informasi yang
sama mungkin akan dipelajari siswa lain
melalui proses belajar yang berbeda.
Hakekat manajemen pembelajaran
Teori Belajar Sibernetik
berdasarkan teori belajar sibernetik adalah
Teori belajar sibernetik merupakan teori usaha guru untuk membantu siswa mencapai
belajar yang relatif baru di bandingkan dengan tujuan belajarnya secara efektif dengan cara
teori‐teori belajar yang sudah dibahas memfungsikan unsur‐unsur kognisi siswa,
sebelumnya. Teori ini berkembang sejalan terutama unsur pikiran untuk memahami
stimulus dari luar melalui proses pengolahan
dengan perkembangan teknologi dan
informasi. Proses pengolahan informasi
penyandian pada tahapan WM, dalam
adalah sebuah pendekatan dalam belajar
bentuk verbal, visual, ataupun semantik,
yang mengutamakan berfungsinya memory.
dipengaruhi oleh peran proses kontrol dan
Model
proses
pengolahan
informasi
seseorang
dapat
dengan
sadar
memandang memori manusia seperti
mengendalikannya.
komputer
yang
mengambil
atau
mendapatkan informasi, mengelola dan c. Long Term Memory (LTM)
mengubahnya dalam bentuk dan isi, Long Term Memory (LTM) diasumsikan;
kemudian menyimpannya dan menampilkan 1) berisi semua pengetahuan yang telah
kembali informasi pada saat dibutuhkan.
dimiliki oleh individu,
2)
mempunyai
kapasitas tidak terbatas, dan
Teori Pemprosesan Informasi
3) bahwa sekali informasi disimpan
Dalam upaya menjelaskan bagaimana
didalam LTM ia tidak akan pernah
suatu informasi (pesan pengajaran) diterima,
terhapus atau hilang.
disimpan, dan dimunculkan kembali dari
Persoalan “lupa” pada tahapan ini
ingatan serta dimanfaatkan jika diperlukan, disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan
telah dikembangkan sejumlah teori dan memunculkan kembali (retrieval failure)
model pemprosesan informasi oleh pakar informasi yang diperlukan. Ini berarti, jika
seperti Berlner dan Gage. Komponen informasi ditata dengan baik maka akan
pemrosesan informasi diplah menjadi tiga memudahkan proses penelusuran dan
berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, pemunculan
kembali
informasi
jika
bentuk informasi, serta proses terjadinya diperlukan.
“lupa”. Ketiga komponen tersebut adalah:
Teori Belajar dalam aliran Sibernetik (Landa)
a. Sensory Receptor (SR)
Sensory Receptor (SR) merupakan sel tempat Salah satu penganut aliran sibernetik adalah
pertama kali informasi diterima dari luar. Di Landa. Ia membedakan ada dua macam
dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk proses berpikir, yaitu proses berpikir
aslinya, informasi hanya ditangkap dalam algoritmik dan proses berpikir heuristik.
bentuk aslinya, informasi hanya dapat Proses berpikir algoritmik, yaitu proses
bertahan dalam waktu yang sangat singkat, berpikir yang sistemis, tahap demi tahap,
dan informasi tadi mudah terganggu atau linier, konvergen, lurus menuju ke satu target
tujuan tertentu. Contoh‐contoh proses
berganti.
algoritmik misalnya kegiatan menelpon,
b. Working Memory (WM)
Working Memory (WM) diasumsikan mampu menjalankan mesin mobil, dan lain‐lain.
menangkap informasi yang diberi perhatian Sedangkan cara berpikir heuristik, yaitu cara
(attention)
oleh
individu.
Pemberian berpikir devergen, menuju ke beberapa
perhatian ini dipengaruhi oleh peran target tujuan sekaligus. Memahami suatu
konsep yang mengandung arti ganda dan
persepsi. Karakteristik WM adalah bahwa;
1) Informasi di dalamnya hanya mampu penafsiran biasanya menuntut seseorang
bertahan kurang lebih 15 detik apabila untuk menggunakan cara berpikir heuristik
tanpa upaya pengulangan atau rehearsal. misalnya operasi pemilihan atribut geometri,
2) informasi dapat disandi dalam bentuk penemuan cara‐cara pemecahan masalah,
yang berbeda dari stimulusnya aslinya. dan lain‐lain.
Proses belajar akan berjalan dengan
Asumsi pertama berkaitan dengan
penataan jumlah informasi, sedangkan baik jika materi pelajaran yang hendak
asumsi kedua berkaitan dengan pesan dipelajari atau masalah yang hendak
proses kontrol. Artinya, agar informasi dipecahkan (dalam istilah teori sibernetik
dapat bertahan dalam WM, maka adalah sistem informasi yang hendak
upayakan jumlah informasi tidak dipelajari) diketahui ciri‐cirinya. Materi
melebihi kapasitas WM disamping pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan
melakukan
rehearsal.
Sedangkan dalam urutan yang teratur, linier, sekuensial,
sedangkan materi pelajaran lainnya akan
lebih tepat bila disajikan dalam bentuk
“terbuka” dan memberi kebebasan kepada
siswa untuk berimajinasi dan berpikir.
Misalnya,
agar
siswa
mampu
memahami suatu rumus matematika,
mungkin akan lebih efektif jika presentasi
informasi tentang rumus tersebut disajikan
secara algoritmik. Alasannya, karena suatu
rumus matematika biasanya mengikuti
urutan tahap demi tahap yang sudah teratur
dan mengarah ke satu target tertentu. Namun
untuk memahami makna suatu konsep yang
lebih luas dan banyak mengandung
interpretasi, misalnya konsep keadilan atau
demokrasi, akan lebih baik jika proses
berpikir siswa dibimbing ke arah yang
“menyabar” atau berpikir heuristik, dengan
harapan pemahaman mereka terhadap
konsep itu tidak tunggal, motonon, dogmatik,
atau linier.
Aplikasi Teori Belajar Sibernetik dalam
Pembelajaran
Belajar bukan sesuatu yang bersifat alamiah,
namun terjadi dengan kondisi‐kondisi
tertentu, yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal. Sehubungan hal tersebut, maka
pengelolaan pembelajaran dalam teori
belajar sibernetik, menuntut pembelajaran
untuk diorganisir dengan baik yang
memperhatikan kondisi internal dan kondisi
eksternal.
Kondisi internal peserta didik yang
mempengaruhi proses belajar melalui proses
pengolahan informasi dan yang sangat
penting untuk diperhatikan oleh seorang
guru dalam mengelola pembelajaran antara
lain:
1. Kemampuan awal peserta didik
Kemampuan awal peserta didik
yaitu peserta didik telah memiliki
pengetahuan, atau keterampilan yang
merupakan prasyarat sebelum mengikuti
pembelajaran.
Dengan
adanya
kemampuan prasyarat ini peserta didik
diharapkan mampu mengikuti proses
pembelajaran dengan baik. Kemampuan
awal peserta didik dapat diukur melalui
tes awal, interview, atau cara‐cara lain
yang cukup sederhana seperti melontar‐
kan pertanyaan‐pertanyaan.
2. Motivasi
Motivasi berperan sebagai tenaga
pendorong yang menyebabkan adanya
tingkah laku ke arah tujuan tertentu.
Dalam proses belajar, motivasi intrinsik
lebih menguntungkan karena dapat
bertahan lebih lama. Kebutuhan untuk
berprestasi yang bersifat intrinsik
cenderung relatif stabil, mereka ini
berorientasi pada tugas‐tugas belajar
yang memberikan tantangan. Pendidik
yang dapat mengetahui kebutuhan
peserta didik untuk berprestasi dapat
memanipulasi
motivasi
dengan
memberikan tugas‐tugas yang sesuai
untuk peserta didik.
3. Perhatian
Perhatian merupakan strategi
kognitif untuk menerima dan memilih
stimulus yang relevan untuk diproses
lebih lanjut diantara sekian banyak
stimulus yang datang dari luar. Perhatian
dapat
membuat
peserta
didik
mengarahkan
diri
ketugas
yang
diberikan, melihat masalah‐masalah yang
akan diberikan, memilih dan memberikan
fokus pada masalah yang akan
diselesaikan, dan mengabaikan hal‐ hal
lain yang tidak relevan. Faktor‐faktor yang
mempengaruhi
perhatian seseorang
adalah faktor internal yang mencakup:
minat, kelelahan, dan karakteristik
pribadi. Sedangkan faktor eksternal
mencakup: intensitas stimulus, stimulus
yang baru, keragaman stimulus, warna,
gerak dan penyajian stimulus secara
berkala dan berulang‐ulang.
4. Persepsi
Persepsi merupakan proses yang
bersifat kompleks yang menyebabkan
orang dapat menerima atau meringkas
informasi
yang
diperoleh
dari
lingkungannya. Persepsi sebagai tingkat
awal struktur kognitif seseorang. Untuk
membentuk persepsi yang akurat
mengenai stimulus yang diterima serta
mengembangkannya
menjadi
suatu
kebiasaan perlu adanya latihan‐latihan
dalam bentuk berbagai situasi. Persepsi
seseorang menjadi lebih mantap dengan
meningkatnya pengalaman.
apa yang diingatnya akan berkurang
jumlahnya. Ada tiga faktor yang
mempengaruhi retensi, yaitu: materi yang
dipelajari pada permulaan (original
learning), belajar melebihi penguasaan
(over learning), dan pengulangan dengan
interval waktu (spaced review).
8. Transfer
Transfer merupakan suatu proses
yang telah pernah dipelajari, dapat
mempengaruhi
proses
dalam
mempelajari materi yang baru. Transfer
belajar atau transfer latihan berarti
aplikasi atau pemindahan pengetahuan,
keterampilan, kebiasaan, sikap, atau
respon‐respon lain dari satu situasi ke
situasi lain.
5. Ingatan
Ingatan adalah suatu sistem aktif
yang menerima, menyimpan, dan
mengeluarkan kembali yang telah
diterima seseorang. Ingatan sangat
selektif, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu
ingatan sensorik, ingatan jangka pendek,
dan ingatan jangka panjang yang relatif
permanen.
Penyimpanan
informasi
dalam jangka panjang dilakukan dalam
berbagai bentuk, yaitu melalui kejadian‐
Kondisi
eksternal
yang
sangat
kejadian khusus (episodic), gambaran
(image), atau yang berbentuk verbal berpangaruh terhadap proses belajar dengan
bersifat abstrak. Daya ingat sangat proses pengolahan informasi antara lain:
menentukan hasil belajar yang diperoleh a) Kondisi belajar
Kondisi belajar dapat menyebabkan
peserta didik.
adanya modifikasi tingkah laku yang dapat
dilihat sebagai akibat dari adanya proses
6. Lupa
Lupa
merupakan
hilangnya belajar. Cara yang ditempuh pendidik untuk
informasi yang telah disimpan dalam mengelola pembelajaran sangat bervariasi
ingatan jangka panjang. Seseorang dapat tergantung pada kondisi belajar yang
melupakan
informasi
yang
telah diharapkan.
diperoleh karena memang tidak ada b) Tujuan belajar
Tujuan belajar merupakan komponen
informasi yang menarik perhatian,
kurang adanya pengulangan atau tidak sistem pembelajaran yang sangat penting,
ada pengelompokan informasi yang sebab komponen‐komponen lain dalam
diperoleh, mengalami kesulitan dalam pembelajaran harus bertolak dari tujuan
mencari kembali informasi yang telah belajar yang hendak dicapai dalam proses
disimpan, ingatan telah aus dimakan belajarnya. Tujuan belajar yang dinyatakan
waktu atau rusak, ingatan tidak pernah secara spesifik dapat mengarahkan proses
dapat
mengukur
tingkat
dipakai, materi tidak dipelajari sampai belajar,
ketercapaian
tujuan
belajar,
dan
dapat
benar‐benar dikuasai, adanya gangguan
dalam bentuk informasi lain yang meningkatkan motivasi belajar.
menghambatnya
untuk
mengingat c) Pemberian umpan balik
Pemberian umpan balik merupakan
kembali.
suatu hal yang sangat penting bagi peserta
didik, karena memberikan informasi tentang
7. Retensi
Retensi adalah apa yang tertinggal keberhasilan, kegagalan, dan tingkat kompe‐
dan dapat diingat kembali setelah tensinya.
Berdasarkan
deskripsi
proses
seseorang mempelajari sesuatu, jadi
informasi
yang
terjadi
kebalikan lupa. Apabila seseorang belajar, pengolahan
merupakan
interaksi
faktor
internal
dan
setelah beberapa waktu apa yang
dipelajarinya akan banyak dilupakan, dan eksternal dari peserta didik, maka aplikasi
pengelolaan kegiatan pembelajaran berbasis
teori sibernetik yang baik untuk dilakukan
bagi pendidik agar dapat memperlancar
proses belajar peserta didik adalah sebagai
berikut:
a. Menarik perhatian.
b. Memberitahukan tujuan pembelajaran
kepada siswa.
c. Merangsang ingatan pada prasyarat
belajar.
d. Menyajikan bahan perangsang.
e. Memberikan bimbingan belajar.
f. Mendorong unjuk kerja.
g. Memberikan balikan informatif.
h. Menilai unjuk kerja.
i. Meningkatkan retensi dan alih belajar
1) Model
pembelajaran
kooperatif
(cooperative learning)
Dalam pembelajaran kooperatif, guru
memberikan stimulus berupa kuis atau
pertanyaan‐pertanyaan
sebagai
tes
kemampuan prasyarat siswa, sehingga siswa
aktif berfikir. Dan belajar menurut sibernetik
adalah pengolahan informasi oleh siswa.
Pengolahan informasi ini terjadi karena
adanya stimulus dari guru yang berupa
informasi.
2) Model pembelajaran open ended
Tujuan dari pembelajaran open‐ended
menurut Nohda ialah untuk membantu
mengembangkan kegiatan kreatif dan pola
pikir matematis siswa melalui problem
solving. Dengan kata lain, kegiatan kreatif
dan pola pikir matematis siswa harus
dikembangkan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan setiap siswa. Hal yang
harus
digarisbawahi
adalah
perlunya
memberi kesempatan siswa untuk berfikir
dengan bebas sesuai dengan minat dan
kemampuannya. Aktivitas kelas yang penuh
dengan ide‐ide matematika ini pada
gilirannya akan memacu kemampuan berfikir
tingkat tinggi siswa.
Implementasi dalam belajar, antara lain:
a. Menentukan tujuan‐tujuan pembelajaran.
b. Menentukan materi pembelajaran
c. Mengkaji sistem informasi yang ter‐
kandung dalam materi pelajaran.
d. Menentukan pendekatan belajar yang
sesuai dengan sistem informasi tersebut.
e. Menyusun materi pelajaran dalam urutan
yang sesuai dengan sistem informasinya.
f. Menyajikan materi dan membimbing siswa
belajar dengan pola yang sesuai dengan
urutan materi pelajaran.
Kelebihan dan Kelemahan Teori Sibernetik
Model Pembelajaran Aliran Sibernetik
Menurut teori sibernetik dikatakan proses
belajar sangat ditentukan oleh sistem
informasi
yang
dipelajari.
Hal
ini
diasumsikan bahwa tidak ada satu proses
belajarpun yang ideal untuk segala situasi,
dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara
belajar sangat ditentukan oleh sisitem
informasi. Maka dari itu pemilihan model
sebagai sarana pengolahan informasi harus
melihat karakteristik siswa yang dihadapi.
Contoh : Materi segiempat (SMP kelas
VIII) diajarkan menggunakan model Jigsaw
jika karakter peserta didik bisa bekerja
secara
mandiri,
namun
lebih
baik
menggunakan STAD jika siswanya belum bisa
bekerja secara mandiri.
Model pembelajaran yang sesuai
dengan aliran sibernetik, antara lain:
Kelebihan strategi pembelajaran yang
berpijak pada teori pemrosesan informasi
adalah:
a. Cara berfikir yang berorientasi pada
proses lebih menonjol.
b. Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
ekonomis.
c. Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih
lengkap.
d. Adanya keterarahan seluruh kegiatan
belajar kepada tujuan yang ingin dicapai.
e. Adanya transfer belajar pada lingkungan
kehidupan yang sesungguhnya.
f. Kontrol belajar memungkinkan belajar
sesuai dengan irama masing‐masing
individu.
g. Balikan informatif memberikan rambu‐
rambu yang jelas tentang tingkat unjuk
kerja yang telah dicapai dibandingkan
dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Sedangkan kelemahan dari teori
sibernetik adalah terlalu menekankan pada
sistem informasi yang dipelajari, dan kurang
memperhatikan bagaimana proses belajar.
Menurut teori sibernetik, belajar adalah
pengolahan informasi. Asumsi lain dari teori
sibernetik adalah bahwa tidak ada satu
proses belajarpun yang ideal untuk segala
situasi, dan yang cocok untuk semua siswa.
Teori Belajar Menurut Landa dengan model
pendekatannya yang disebut algoritmik dan
heuristik
mengatakan
bahwa
belajar
algoritmik menuntut siswa untuk berpikir
sistematis, tahap demi tahap, linear, menuju
pada target tujuan tertentu, sedangkan
belajar heuristik menuntut siswa untuk
berpikir devergen, menyebar ke beberapa
target tujuan sekaligus. Kelemahan dari teori
ssibernetik adalah terlalu menekankan pada
sistem informasi yang dipelajari, dan kurang
memperhatikan bagaimana proses belajar.
Teori Kecerdasan Majemuk
Teori Kecerdasan Majemuk adalah sebuah
fenomena dalam dunia pendidikan di akhir
abad ke‐20 dan menjadi sebuah tren dalam
dunia pendidikan Indonesia akhir‐akhir ini.
Adalah Howard Earl Gardner (1943‐ ), seorang
peneliti di Project Zero milik Universitas
Harvard, yang mencetuskan ide mengenai
kecerdasan
yang
menentang
aliran
kecerdasan utama dan tradisional yang ada
saat itu. Ide itu dituangkannya dalam buku
Frames Of Mind (1983) yang kemudian
diikuti oleh belasan buku lain yang mengulas
mengenai kecerdasan majemuk ini.
Pemahaman
tradisional
mengenai
kecerdasan berawal dari kejadian ketika para
pemimpin kota Paris berkumpul di La Belle
Epoque pada tahun 1900 dan berbicara
dengan seorang ahli psikologi bernama
Alfred Binet dengan permintaan yang tidak
biasa: Apakah dia mampu merancang sebuah
ukuran yang dapat memperkirakan anak
muda mana yang akan sukses dan mana yang
akan gagal dari sekolah dasar Paris?
Dan kenyataan sejarah yang terjadi,
Binet memenuhi permintaan tak biasa ini.
Dalam waktu singkat, penemuannya menjadi
terkenal dengan sebutan ”tes kecerdasan”;
ukurannya, ”IQ”. Seperti model baju hasil
perancang terkenal Paris, tes ini kemudian
tersebar ke negara‐negara lain, terutama
Amerika Serikat. Pasca Perang Dunia I, tes IQ
dipakai untuk menguji satu juta orang
Amerika yang mendaftar menjadi tentara,
dan benar‐benar mencapai kesuksesan. Sejak
saat itu, tes IQ menjadi salah satu sukses
terbesar ilmu psikologi–sebuah alat ukur
yang ilmiah dan berdaya besar (powerful).
Namun hegemoni IQ lama kelamaan
membuat banyak orang ragu mengenai
konsep kecerdasan yang dibawanya mulai
dari Leo Vygotsky, Robert J. Stenberg sampai
Daniel Goleman. Dengan berawal dari
keraguan
atas
pemahaman
tentang
kecerdasan yang selama ini ada, Gardner
kemudian menyusun sebuah konsep yang
akhirnya kita kenal sebagai Teori Kecerdasan
Majemuk (KM).
Konsep
Yang
Melandasi
Kecerdasan Majemuk
Dan
Teori
Howard Gardner melihat kecerdasan sebagai
’kapasitas seseorang untuk memecahkan
masalah atau untuk menciptakan sesuatu yang
berharga untuk sebuah atau beberapa latar
budaya’. Gardner menyusun kriteria‐ kriteria
yang disebut sebagai ’tanda’ kecerdasan
sebagai berikut:
1. Isolasi kemampuan akibat kerusakan otak.
Setiap kecerdasan dilaksanakan oleh salah
satu bagian otak. Bila bagian dari otak tadi
diisolasi atau lumpuh seperti dalam kasus
pasien yang menderita luka otak, harus
terbukti bahwa kecerdasan tersebut
lenyap. Contoh yang jelas ialah bagaimana
suatu kemampuan berbahasa lenyap bila
bagian tertentu dari otak seorang pasien
mengalami luka. Jadi, kecerdasan harus
dibuktikan dengan adanya kemungkinan
melakukan isolasi terhadap bagian otak
tertentu.
2. Keberadaan idiot savant (orang yang
sangat cerdas pada hal tertentu tetapi
tidak memahami hal yag lain), anak‐anak
autis dan orang‐orang yang memiliki
kelebihan.
3. Seperangkat kinerja atau kinerja inti (core
operation) yang dapat dikenali.
Setiap kecerdasan memiliki inti dari
rangkaian operasinya. Jadi, misalnya
kecerdasan verbal/linguistik memiliki inti
berupa kemampuan untuk mengolah kata
dan berbahasa.
4. Sejarah perkembangan yang jelas, diikuti
dengan seperangkat unjuk kerja ‘end‐
state’ yang dapat dijelaskan.
Suatu kecerdasan harus memper‐
lihatkan adanya suatu sejarah perkem‐
bangan yang dapat dikenali dengan jelas
dengan hasil akhir tingkat tinggi. Tingkat
perkembangan dari kecerdasan tadi yang
sangat tinggi nyata bedanya dengan
tingkat perkembangan yang biasa atau
yang tertinggal. Selanjutnya suatu kecer‐
dasan juga memperlihatkan kapan umum‐
nya hal ini mulai, berkembang dan
menurun.
5. Sejarah evolusi dan kemungkinan‐
kemungkinan evolusi.
Adanya bekas‐bekas dari dalam
sejarah umat manusia dan evolusinya
mengenai awal kehadiran kecerdasan.
Sejarah manusia meninggalkan jejak‐jejak
kecerdasan‐kecerdasan tadi seperti lukisan
gua di Altamira yang menunjukkan
kemampuan manusia untuk menggunakan
kecerdasan
tertentu
untuk
mengungkapkan makna hidupnya pada
masa purbakala sekalipun
6. Adanya dukungan dari uji eksperimen
psikologis.
7. Adanya
dukungan
dari
penemuan
psikometri.
8. Keterjemahan sebuah sistem simbol.
Kemampuan untuk dikodekan dalam
suatu sistem simbol artinya setiap
kecerdasan cenderung dapat diungkapkan
melalui simbol‐simbol tertentu. Setiap cara
untuk memahami sesuatu selalu ada pada
setiap budaya, tidak perduli kondisi sosio‐
ekonomi dan pendidikannya. Walupun
telah berkembang jenis keterampilan pada
budaya yang berbeda, namun hadirnya
kecerdasan adalah bersifat universal.
Dengan kata lain, kecerdasan berakar pada
keberadaan spesies manusia itu sendiri.
Para kandidat yang dapat disebut
sebagai ‘kecerdasan’ harus memenuhi
kriteria‐kriteria tersebut. Pengelompokan
yang dilakukan Gardner lebih condong
kepada pengelompokan secara intuitif
dibandingkan pengelompokan mengguna‐
kan penilaian ilmiah.
Pada
awalnya
Howard
Gardner
merumuskan tujuh kecerdasan. Daftar awal
ini bersifat sementara. Dua kecerdasan yang
pertama telah biasa dipakai di sekolah‐
sekolah. Tiga kecerdasan berikutnya banyak
diidentifikasi orang di bidang seni. Dan dua
yang terakhir oleh Howard Gardner disebut
‘kecerdasan personal’. Ketujuh kecerdasan
itu adalah:
1. Kecerdasan
verbal/bahasa
(verbal
linguistic
intelligence):
merupakan
kemampuan seorang dalam meng‐
gunakan kata‐kata, baik secara lisan
maupun tulisan, untuk mengekspresikan
ide‐ide atau gagasan‐gagasan yang
dimilikinya. Kemampuan ini berkaitan
dengan pengembangan bahasa secara
umum.
Orang
yang
mempunyai
kecerdasan bahasa tinggi akan berbahasa
lancar, baik dan lengkap. Ia mudah untuk
mengetahui dan mengembangkan bahasa
dengan mudah mengerti urutan dan arti
kata‐kata
dalam
belajar
bahasa,
menjelaskan,
me‐ngajarkan,dan
menceritakan pemikirannya pada orang
lain. Misalnya: bahasa, puisi, humor,
berpikir simbolik,dan sebagainya.
2. Kecerdasan logika/matematik (logical/
mathematical intelligence): merupakan
kecerdasan yang berkaitan dengan
kemampuan penggunaan bilangan dan
logika secara efektif, seperti yang dimiliki
matematikawan, saintis, dan programmer.
Termasuk dalam kecerdasan ini adalah
kepekaan pada pola logika, abstraksi,
kategorisasi, dan perhitungan.orang yang
mempunyai kecerdasan ini sangat mudah
membuat klasifikasi dan kategorisasi
dalam pemikiran serta cara kerja,
berpikir ilmiah, termasuk berpikir deduktif
dan induktif akan muncul bila ada
masalah
baru
dan
berusaha
menyelesaikannya.
3. Kecerdasan visual/ruang (visual/spatial
intelligence): adalah kemampuan untuk
menangkap dunia ruang visual secara
tepat
atau
berhubungan
dengan
4.
5.
6.
7.
kemampuan
indera
pandang
dan
berimajinasi, seperti yang dimiki oleh
para navigator, pemburu, dan arsitek.
Yang termasuk dalam kecerdasan ini
adalah kemampuan untuk mengenal
bentuk dan benda secara tepat,
melakukan perubahan bentuk benda
dalam pikiran dan mengenali perubahan
tersebut,
menggambarkan
suatu
hal/benda dalam pikiran dan meng‐
ubahnya dalam bentuk nyata, serta
mengungkapkan data dalam suatu grafik.
Kecerdasan
tubuh/gerak
(body/
kinesthetic
intelligence):
merupakan
kemampuan seseorang untuk secara aktif
menggunakan bagian‐bagian atau seluruh
tubuhnya untuk berkomunikasi dan
memecahkan masalah. Orang yang
mempunyai kecerdasan ini dengan
mudah mengekspresikan dengan gerak
tubuh misalnya menari, permainan olah
raga,
pantomim,
mengetik,
dan
sebagainya.
Kecerdasan musikal/ritmik (musical/
rhythmic
intelligence):
merupakan
kemampuan untuk mengembangkan dan
mengekspresikan, menikmati bentuk‐
bentuk musik dan suara, peka terhadap
ritme, melodi dan intonasi, serta
kemapuan memainkan alat musik,
menyanyi, menciptakan lagu, menikmati
lagu, dan nyayian.
Musik dapat
menenangkan pikiran, mamacu kembali
aktivitas,
memperkuat
semangat
nasional,dan
meningkatkan
iman.
sebagainya.
Kecerdasan interpersonal (interpersonal
intelligence):
berhubungan
dengan
kemampuan
bekerja
sama
dan
berkomunikasi baik verbal maupun non
verbal. Mampu mengenali perbedaan
perasaan, temperamen, maupun motivasi
orang lain. Pada tingkat lebih tinggi
kecerdasan ini dapat membaca konteks
kehidupan orang lain. Tampak pada guru,
konselor, teraphis, politisi, pemuka
agama.
Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal
intelligence): kemampuan pemahaman
terhadap aspek internal, seperti perasaan,
proses berpikir, refleksi diri, intuisi, dan
spiritual. Identitas diri dan kemampuan
transeden manusia. Kecerdasan ini
sifatnya paling individual, dan untuk
menggunakan
diperlukan
semua
kecerdasan yang lain.
Dalam buku Frames of Mind
Howard Gardner memperlakukan kecerdasan
personal sebagai “sebuah
pasangan”. Karena hubungannya sangat erat
pada
budaya
tertentu,
kedua
jenis
kecerdasan itu kerap dijadikan satu. Namun,
Gardner tetap berpendapat bahwa cukup
logis untuk memisahkan keduanya. Gardner
mengatakan bahwa ketujuh kecerdasan itu
jarang beroperasi sendiri‐sendiri. Mereka
dapat digunakan secara bersamaan dan
saling
melengkapi
ketika
seseorang
membangun ketrampilan atau memecahkan
masalah.
Pada dasarnya, Howard Gardner
mengatakan bahwa dia membuat dua pokok
pikiran yang paling penting tentang
kecerdasan majemuk. Yaitu:
1. Teori ini mempertimbangkan kemam‐
puan
kognitif
manusia
secara
keseluruhan. Teori ini membuat ‘definisi
baru’ mengenai kecerdasan. Dan manusia
adalah
organisme
yang
memiliki
seperangkat kecerdasan dasar.
2. Orang‐orang
memiliki
kombinasi
kecerdasan yang unik. Howard Gardner
mengatakan bahwa tantangan terbesar
dalam managemen sumber daya manusia
adalah ‘bagaimana mendapatkan ke‐
untungan yang sebesar‐besarnya dari
keunikan
setiap
orang
yang
memperlihatkan
kecerdasan
yang
berbeda‐beda’.
Sejak daftar kecerdasan yang dipublikasikan
Gardner dalam buku Frames of Mind (1983)
terdapat
banyak
diskusi
mengenai
kemungkinan adanya kandidat‐kandidat lain
yang dapat disebut sebagai kecerdasan.
Penelitian lanjutan dan refleksi yang
dilakukan Gardner bersama koleganya
menghasilkan
empat
kemungkinan:
kecerdasan naturalis (naturalist intelligence),
kecerdasan spiritual, kecerdasan eksistensial
dan kecerdasan moral. Pada tahun 1999
melalui bukunya, Intelligence Reframed;
Multiple intelligences for the 21st century,
Gardner menambahkan kecerdasan naturalis
pada daftar kecerdasan majemuknya.
Dimana, Kecerdasan naturalis (naturalistic
intelligence) adalah kecerdasan yang terkait
dengan kemampuan mengerti flora dan fauna
dengan baik, dapat memahami dan
menikmati alam dan menggunakannya
secara produktif dalam bertani, berburu, dan
mengembangkan pengetahuan akan alam.
Banyak dimiliki oleh pakar lingkungan,
misalnya mengenali perubahan lingkungan
dengan cara melihat gejala lain seperti
adanya daun patah dapat digunakan untuk
memastikan siapa yang baru saja melintas.
Jika kecerdasan naturalis dimasukkan
ke dalam daftar secara langsung sebagai
kecerdasan yang kedelapan, kecerdasan
spiritual masih dipertimbangkan karena
memiliki aspek‐aspek yang lebih kompleks.
Menurut Howard Gardner ada banyak
masalah
menyangkut
hal
tersebut,
contohnya, sekitar ‘isi’ dari kecerdasan
spiritual, bagaimana orang memandang
kebenaran spiritual satu dengan yang
lainnya.
Kecerdasan
eksistensial,
adalah
kandidat
yang
berikutnya.
Gardner
menganggap kecerdasan ini memenuhi
kriteria. Namun, bukti empiriknya masih
terlalu lemah –meskipun akan sangat
menarik
bila
terdapat
kecerdasan
kesembilan. Oleh karena itu Howard Gardner
masih
menunda
untuk
memasukkan
kecerdasan ini ke dalam daftar. Bila
kecerdasan eksistensial ini masuk dalam
daftar, maka kecerdasan spiritual yang disebut
lebih awal akan masuk dalam lingkup
kecerdasan eksistensial.
Kandidat terakhir dalam daftar Howard
Gardner adalah kecerdasan moral. Dalam
eksplorasinya, Gardner mulai bertanya‐tanya
apakah mungkin untuk menghubungkan
antara kawasan kecerdasan dengan kawasan
moral. Isu sentral kawasan moral adalah
kemampuan seseorang untuk membentuk
perilaku, mengerti dan menaati aturan dan
membangun sikap‐sikap hidup yang menjadi
batu bata kehidupan seseorang. Lebih jauh,
Gardner berpendapat para penulis dan
peneliti belum pernah mempertimbangkan
bahwa kawasan‐kawasan moral adalah
produk dari kecerdasan manusia.
Sehingga sampai saat ini, Gardner
membuat teori kecerdasan majemuk yang
tersusun atas delapan jenis kecerdasan.
Namun,
Gardner
tidak
menutup
kemungkinan bahwa terdapat jenis‐jenis
kecerdasan yang lain, seperti kecerdasan
eksistensial –yang masih dipertimbangkan.
Belajar dalam Teori Kecerdasan Majemuk
Belajar adalah usaha untuk menghidupkan
secara utuh dan alamiah seluruh kecerdasan
yang dimiliki individu. Dari sudut pandang
teori
humanistik,
dasar‐dasar
teori
kecerdasan majemuk memang sangat
humanis, yang memberi tekanan pada
positive
regards
(pandangan
positif),
acceptance
(dukungan),
awareness
(kesadaran), self‐worth (nilai diri) yang
kesemuanya itu bermuara pada aktualisasi
diri yang optimal. Psikologi humanistik
menekankan
pada
personal
growth
(perkembangan individu), sesuai dengan
arah dari teori kecerdasan majemuk.
Pembelajaran adalah suatu proses
membangun/memicu,
memperkuat,
mencerdaskan, dan mentransfer kecerdasan.
Pada hakikatnya seorang pendidik adalah
seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam
aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun
konatif (Riyanto Theo, 2002). Seorang
pendidik hendaknya mampu membangun
suasana belajar yang kondusif untuk belajar‐
mandiri (self‐directed learning). Ia juga
hendaknya mampu menjadikan proses
pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi
diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya
kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita
hanya dapat membantu peserta didik untuk
menemukan dirinya dan mengaktualisasikan
dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki
“self‐hidden potential excellence” (mutiara
talenta yang tersembunyi di dalam diri),
tugas pendidikan yang sejati adalah
membantu peserta didik untuk menemukan
dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Persoalannya
adalah
bagaimana
menciptakan kondisi kelas bagi tumbuh
kembangnya kecerdasan majemuk pada diri
para siswa, mengingat banyak orang
mempersepsi bahwa kelas yang baik adalah
kelas yang diam, teratur, tertib, dan taat pada
guru. Kelas yang ramai selalu diterima
sebagai kelas yang negatif, tidak teratur,
walaupun mungkin ramainya kelas tersebut
disebabkan
karena
siswa
berdebat,
berdiskusi, bereksplorasi, atau kegiatan‐
kegiatan positif lainnya. Guru‐guru yang ada
pun seringkali lebih menyukai pada kelas
yang tertib, teratur, siswa‐siswanya patuh
dan tidak kritis.
Sistem pendidikan hendaknya berpusat
pada peserta didik, artinya kurikulum,
administrasi,
kegiatan
ekstrakurikuler
maupun
kokurikulernya,
sistem
pengelolaannya harus dirumuskan dan
dilaksanakan demi kepentingan peserta
didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah
atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya
memusatkan pada kepentingan kebutuhan
kerja secara sempit harus dikembalikan
kepada kepentingan pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian peserta didik
secara utuh. Seperti misalnya kemampuan
bernalar, berpikir aktif‐positif, kreatif,
menemukan alternatif dan prosesnya
menjadi pribadi yang utuh (process of
becoming). Peserta didik hendaknya benar‐
benar dikembalikan sebagai subjek (dan juga
objek) pendidikan dan bukannya objek
semata‐mata.
Pendidikan dan pembelajaran yang
mendasarkan pada kecerdasan majemuk
membuka kesempatan pada para siswanya
untuk kritis dan mungkin tidak patuh karena
siswa menemukan kebenaran‐kebenaran lain
dari kebenaran yang dipegang oleh gurunya.
Masalahnya, sejauh mana kesiapan para guru
dan pengelola pendidikan lainnya dalam
rangka mengembangkan sumber daya
manusia Indonesia? Dapatkah sekolah atau
lembaga‐lembaga pendidikan lain memenuhi
semua fasilitas untuk kepentingan mengasah
kecerdasan yang sesuai dengan gaya belajar
secara proporsional? Apakah guru atau
tenaga‐tenaga kependidikan lain siap
mengadakan pembaharuan terhadap dirinya?
Semua jawaban terpulang pada mereka yang
terlibat dalam proses pendidikan dan
pembelajaran.
Kelebihan
Dan
Kekurangan
Teori
Kecerdasan Majemuk
Sebagai sebuah teori, apa yang dikemukakan
oleh Howard Gardner ini tentu memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan‐
kelebihan teori kecerdasan majemuk antara
lain sebagai berikut ini.
1. Pembelajaran dapat lebih fokus terhadap
suatu kecenderungan kecerdasan dan
punya hasil yang optimal.
2. Memberikan sudut pandang baru
terhadap
pengembangan
potensi
manusia.
3. Memberi harapan dan semangat baru,
terutama terhadap si pembelajar.
4. Membuka kesempatan pada si pembelajar
untuk kritis dan berpikiran terbuka.
5. Menghindari
adanya
penghakiman
terhadap manusia dari sudut pandang
kecerdasan/inteligensi.
Dan
kelemahan‐kelemahannya
sebagai
berikut:
1. Memiliki kontroversi terutama dalam
pandangan ahli psikologi tradisional,
antara lain mencampuradukkan penger‐
tian kecerdasan, ketrampilan dan bakat.
2. Bersifat personal/individual sehingga
teori ini lebih efektif digunakan untuk
mengembangkan pembelajaran orang per
orang
daripada
mengembangkan
pembelajaran massa/klasikal.
3. Membutuhkan fasilitas yang lengkap
sehingga membutuhkan biaya besar
untuk operasional klasikal atau massal.
4. Tenaga kependidikan di Indonesia belum
sepenuhnya siap melaksanakan teori ini
dalam praktek di dalam kelas K‐12 ataupun
juga pembelajaran yang melibat‐ kan
pemelajar dewasa, karena sudut pandang
kebanyakan orang masih sudut pandang
tradisional.
Bertolak dari permasalahan tersebut, maka
untuk menerapkan konsep kecerdasan
majemuk diperlukan
suatu
reformasi
pendidikan.
Untuk dapat mengadakan reformasi
pendidikan,
hal‐hal
berikut
perlu
mendapatkan pertimbangannya:
a) pembelajar dijadikan subjek pendidikan
dan pusat proses pembelajaran;
b) teori aktivitas diri dan aktif‐positif
merupakan dasar dari proses belajar;
c) tujuan pendidikan dirumuskan berkaitan
dengan pertumbuhan dan perkembangan
si pembelajar daripada tekanan pada
penguasaan materi pembelajaran;
d) kurikulum sekolah disusun dalam
kerangka kegiatan bersama atau kegiatan
yang bersifat “proyek”;
e) perlunya secara rutin kontrol informal di
kelas dan sosialisasi mengajar dan belajar
atau kegiatan bersama di tengah‐tengah
arus deras individualisme;
f) hendaknya banyak diterapkan keaktifan
berpikir dan berargumentasi daripada
sekedar menghafal atau mengingat‐ingat
saja;
g) pendidikan hendaknya mengembangkan
kreativitas siswa.
Teori Howard Gardner tentang
kecerdasan
majemuk
memang
masih
memerlukan kajian dan banyak pengalaman
lapangan. Namun, setidaknya teori ini telah
banyak mengingatkan kepada kita bahwa
manusia memang diciptakan unik.
Allahu a’lam
DAFTAR
PUSTAKA
Budinungsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djali. 2011. Psikologi Penddidikan. Jakarta : PT Bumi Aksara
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Uno, Hamzah B & Masri Kuadrta.2009.Mengelola Kecerdasan dalam
Pembelajaran.Jakarta: PT Bumi Aksara
Yudhawati, 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Yulaelawati, Ella. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Pakar
Raya.
http://aguswedi.blogspot
.com
http://rhazhie.blogspot.c
om
http://superiandriyan.blogspot.com/2013/02/makalah‐teori‐belajar‐
kognitivisme.htmlDR. C. http://job1.excellent‐corp.com/artikel/9‐aplikasi‐teori‐
humanistik‐carl‐roger‐dalam‐ pendidikan.html
http://eskarinaputri.blogspot.com/2012/05/makalah‐teori‐humanistik‐carl‐rogers.html