Vol. 01, No. 02, Desember 2020
AL IRFANI: Journal of Qur'anic and Tafsir
(JQT)
| e-ISSN
2746-1025| Al
| p-ISSN
Ta’wil…………..
Irfani 2088-6829
| 77-106 | |
Wathani
(2020), Historisitas Tradisi
DOI: 10.51700/irfani.v1i02
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
HISTORISITAS TRADISI TA’WIL AL-QUR’AN AHL AS-SUNNAH
(Kajian Sejarah Ta’wil dengan Kerangka Analisis History of Ideas)
Syamsul Wathani * 1
*Affiliasi: Pascasarjana Program Doktoral UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Abstract
Keywords :
History of
Thought
Ta'wil
ahl as-Sunnah
Lughawi
Ushuli
Falsafi
Sufi
Theology
“The tradition of Ta’wil al-Qur’an has not developed as rapidly as the tradition
of interpretation. It could be that this is because the study of the ta'wil of the
Quran has received less attention, even though the history of the
representation of the Quran is very developed. This article Discuss the history
of the ta’wil al-Qur’an in the Ahl as-Sunnah Theology tradition. The study
framework used is the history of thoughts/ideas. Within the framework of this
study, this article finds several conclusions: As an exegetical method, classical
Islamic discourse has developed many ta'wil as a means of interpretation and
theory in understanding the text of the Qur'an. The Historical Discussion of
thinking about the ta’wil of the Qur'an in the tradition of ahl as-Sunnah shows
the development of the diversity of thoughts and knowledge used in
interpreting the al-Qur'an. Ibn Qutaybah in Ta'wil Musykil Al-Qur'an uses
linguistic analysis, gives birth to linguistic takwil (at-ta'wil al-lughawi), alGhazali wrote Qanun at Ta’wil which depicts the work of the Qur'anic
representations with a ta'wil Theological, al-Razi wrote Mafatih al-Ghaib with a
style of thought ta'wil falsafi, Ibn' Arabi wrote al-Futuhat al-Makkiyyah with a
Sufistic interpretation / ta'wil, and asy-Syatibi wrote al-Muwafaqat offering a
paradigm of Ta 'wil Ushuli.”
Abstrak
Kata Kunci :
Sejarah
“Tradisi penakwilan al-Qur’an tidaklah berkembang pesat sebagaimana tradisi
penafsiran. Bisa jadi hal demikian disebabkan karena kajian terhadap ta’wil al-
1
Coressponde to the author: Pascasarjana Program Doktoral UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Email address: Wathoni89@gmail.com
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 78
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Pemikiran
Ta’wil
ahl as-Sunnah
Lughawi
Ushuli
Falsafi
Sufi
Teologi
Qur’an kurang mendapatkan perhatian, padahal sejarah penakwilan al-Qur’an
sangat berkembang. Artikel ini mengkaji sejarah penakwilan al-Qur’an dalam
tradisi Teologi Ahl as-Sunnah. Kerangka kajian yang digunakan adalah sejarah
pemikiran/ide. Dengan kerangka kajian ini, artikel ini menemukan beberapa
kesimpulan: Sebagai metode penafsiran, diskursus Islam klasik sudah banyak
mengembangkan ta’wil sebagai perangkat penafsiran dan teori dalam
memahami teks al-Qur’an. Perjalanan pemikiran takwil al-Qur’an dalam tradisi
ahl as-Sunnah memperlihatkan pekembangan keragaman pemikiran dan ilmu
pengetahuan yang digunakan dalam menakwilkan al-Qur’an. Ibnu Qutaybah
dalam Ta’wil Musykil Al-Qur’an menggunakan analisi kebahasaan, melahirkan
takwil kebahasaan (at-ta’wil al-lughawi), al-Ghazali menulis Qanun at-Ta;wil yang
menurpakan karya penakwilan al-Qur’an yang bercorak Ta’wil Teologis, al-Razi
menulis Mafatih a-Ghaib dengan corak pemikiran ta’wil falsafi, Ibn ‘Arabi
menulis al-Futuhat al-Makkiyyah dengan model interpretasi/ta’wil sufistik, serta
asy-Syatibi menuis kitab al-Muwafaqat, menawarkan paradigma Ta’wil Ushuli.”
Pendahuluan
Dalam kajiannya mengenai pemikiran Islam (Islamic Thought), Abdullah Saeed memberikan
penjelasan mengenai adanya perjalan panjang lahir dan berkembangannya islam sebagai sebuah
tradisi berfikir, termasuk dalam membentuk Syari’at/fiqh.2 Perkembangan pemikiran ini tidak
terlepas dari adanya upaya pembacaan/penafsiran (exegetical ctivities) terhadap teks-teks
keagamaan (an-nusus ad-diniyah) keislaman itu sendiri, al-Qur’an dan Hadits. Dalam bahas
Hermeneutika Komarudian Hidayat, al-Qur’an dalam siklus perjalan Islam adalah sentral3 yang
melahirkan ragamnya penafsiran hingga hari ini. al-Qur’an adalah teks inti (core teks) bagi lahirnya
agama Islam. Sebagai sebuah agama risalah nubuwwah4 , Islam telah lahir memuat risalah ilahiyah
yang -dalam hemat penulis- membuka ruang untuk dibaca oleh generasi berikutnya.
Perjalanan upaya memahami al-Qur’an telah melahikan kekayakan Islam sebagai kajian
diskursif, kajian yang menekankan pada ketersambungan pemikiran dan relasi intelektual. Pasca
wafatnya Rasulullah Saw, Umat Islam dituntun untuk menjawab problematika kehidupan dengan
pegangan al-Qur'an dan as-Sunah. Umat Islam harus mampu menterjemahkan al-Qur'an dengan
konteks yang berbeda dari al-Qur'an saat diturunkan pada zaman Nabi Saw. Pada sisi lain, konteks
2
Abdullah Saeed, Pemikiran Islam Sebuah Pengantar, Terj. Sahiron Samsuddin (ed.) (Yogyakarta: Baitul Hikmah
Press, 2014), 75-76.
3
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1995), 15.
4
Muhammad Syahrur, Sunnah al-Rasuliyah wa Sunnah al Nabawiyah, (Bairut: Dar al-Saq, 2012), 102-103.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 79
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
perkembangan kehidupan Ummat kian mengalami pergeseran yang tak terbendung. Terlebih
paska Nabi wafat Umat Islam telah melakukan ekspansi besar-besaran (futuhat al-Islamiyah).
Tentu saja, problematika yang dihadapi umat Islam semakin kompleks dari problematika di
zaman Nabi Saw. Dengan demikian, peran yang diharapkan (expected role) dari al-Qur'an semakin
banyak. Aktifitas pemahaman atas al-Qur’an tidak akan pernah selesai. Dialektika yang terjadi juga
mengalami pasang surut seiring dengan keterbukaan, kecakapan dan kemampuan seorang
penafsir.5 Hal tersebut telihat di masa modern, dengan terjadi pergeseran paradigma (shifting para-
digm) dalam studi-studi al-Qur’an, dari sebuah paradigma yang didasarkan atas spekulasi teologis
berwatak literal ke arah yang lebih rasional dan kontekstual.
Kehadiran Sayyid Ahmad Khan di India dan Muhammad Abduh (1849-1905) di Mesir
merupakan tonggak penting dalam mengubah persepsi kaum Muslimin tentang makna teks alQur’an yang tidak lagi dianggap statis, melainkan dinamis dan historis. Pandangan tentang
historisitas makna merupakan ciri yang sangat mendasar dalam hermeneutika al-Quran
kontemporer. Historisitas makna ini semakin disadari ketika para pemikir Muslim mulai bersentuhan
dengan temuan-temuan terbaru di bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora, linguistik, kritik sastra dan
filsafat dalam pemikiran Barat kontemporer. Sebagaimana disebutkan di awal, tokoh-tokoh semisal
Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Hassan Hanafi, Amina Wadud-Muhsin, Ashgar Ali Enginer,
Farid Esack, dan Nasr Hamid Abu Zayd, merupakan para pemikir garda depan yang berupaya
merumuskan metodologi penafsiran al-Qur’an secara sistematis dengan berpijak pada pandangan
tentang historisitas makna teks al-Qur’an.
Jika ditelisik ke belakang, diskurus tafsir telah mengakar dalam banyak perjalanan kitab dan
nuansa (laun) tafsir yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir oleh tokoh Ahl as-Sunnah. Sejarah tentu
mencatat, para Sahabat dan Tabiin mencoba menggali makna al-Qur'an mulai dari masalah
personal, komunal dan bahkan bernegara, mulai dari masalah ibadah, muamalah, sampai
munakahah. Dari sinilah kemudian tafsir mulai berkembang. Tafsir diperlukan, sebab tidak semua
umat Islam mengikuti langsung pelajaran Nabi Saw, mereka pun banyak yang tidak mengerti
maksud dari beberapa ayat al-Qur'an. Mereka pun bertanya-tanya dan saling bertanya apa maksud
dari ayat-ayat tersebut, khususnya hal yang tidak dijelaskan secara detail. Maka, dalam catatan
historis, kemunculan ilmu asbab an-nuzul pun bagian dari usaha para sahabat untuk menerangkan
persaksian (musyahadah) mereka dari lisan Rasulullah saw mengenai turunnya sebuah ayat. Perjalan
memahami al-Qur’an pun dilalui dengan upaya ijtihad dari para ulama’.6
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika NasrAbu Zayd (Jakarta: Teraju,
2003), 36.
6
Fadzlurrahman, Islam, Terj. Senoaji Saleh (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 157-158.
5
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 80
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Lahirnya madzhab teologi dalam Islam, seperti: Ahl as-Sunnah, Mu’tazilah7 mencatat adanya
perkembangan sejarah perjalanan tafsir al-Qur’an.8 Perjalanan historis inipun memperlihatkan
adanya tradisi interpretasi al-Qur’an yang lahir, yakni tumbuhnya ta’wil terhadap al-Qur’an.9 Maka,
dalam tradisi Islam, terdapat dua cara “baku” untuk memahami al-Qur’an, yakni tafsir dan ta’wil.
Tafsir yang dipahami sebagai suatu cara untuk mengurai bahasa, konteks, dan pesan-pesan moral
yang dikandung teks-teks ajaran, mendudukkan teks sebagai “subjek” penafsiran. Paradigma tafsir
berepistemologi bayani. Sedang ta’wil adalah cara memahami teks dengan memposisikannya
sebagai “objek” kajian. Tapi, pemaknaan ta’wil lazim menunjuk pada apa yang dikenal sebagai atta’wil al-batini, yang agaknya equivalen dengan at-tafsir al-isyari.10Abdullah Saeed menekankan
upaya ta’wil sebagai upaya implisit dalam memahami al-Qur’an.11
Model penakwilan al-Qur’an dapat ditemukan secara melimpah di masa-masa awal munculnya
teologi dalam Islam, serta perkembangannya dapat dibaca melalui perkembangan perjalanan
teologi Islam ini dengan ketersinggungan budaya/peradaban keilmuan Islam. Dalam upaya
menakwilkan al-Qur’an, aliran teologis ini terkadang memunculkan perbedaan pendapat mengenai
makna sebuah ayat yang difahami -ta’wil-, sebab terkadang nampak masing-masing memiliki
wadah dan pembenaran dari al-Qur’an.
Artikel ini akan membahas potret historis, perjalanan perjalanan takwil al-Qur’an dalam tradisi
teologis asy‘ariyah, ahl as-sunnah. Fokus pembahasan yang akan diuraikan bagaimana perjalanan
dan corak/nuansa penakwilan Al-Qur’an yang ada dalam kelompok ahl as-sunnah. Penelitian
dilakukan untuk memberikan pengetahuan mengenai keragaman takwil dalam tradisi ahl as-sunnah
yang bisa dijadikan sebagai alternasi pembacaan al-Qur’an hari ini. Selain itu, untuk menenrangkan
adanya keragaman pengetahuan dalam kelompok teologis takwil al-Qur’an ahl as-Sunnah yang
memberikan nuansa berbeda dalam setiap interaksi interpretasi mereka terhadapt ayat-ayat alQur’an.
Metode Kajian
Artikel ini mengambil fokus pada pembahasan perjalan tradisi penakwilan al-Qur’an yang
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasatan fi Qadiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu‘tazilah,
(Maroko: al-Markaz al-Taqafi Al-‘Arabi, 2007), 141.
8
Ziauddin Ahmed, “A Survey of the Development of Theilogy in Islam,” dalam jurnal Islamic Studies, Vol. 11, No. 2,
(June, 1972): 96.
9
John Wansbrough, Qur'anic Studies: Sources and Methods Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University
Press, 1977), 119-227
10
Syamsul Wathani “Konstruksi Ta’wil Al-Qur’an Ibn Qutaybah : Telaah Hermeneutis-Epistemologis”, Tesis UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016. 3
11
Abdullah Saeed, “Some Reflection on the Contextualist Approach to Ethico-Legal Text of the Qur’an,” dalam
Bulletin of the School of Oriental and African Studies University of London, Vol. 71, No. 2 (2008): 221-222.
7
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 81
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
dilakukan oleh ulama’ ahl as-sunnah. Penulis membatasi wilayah kajian ta’wil ini dalam wilayah
ulama’ sunni dalam perjalanannya dengan melihat variannya baik dalam tradisi Bahasa, kalam,
ushul fiqh, tashawwuf, filsafat dan sebagainya. Karena merupakan bagian dari model kajian sejarah,
maka pendekatan/metode/model kajian yang penulis lakukan menggunakan pendekatan historis,
pendekatan keilmuan sejarah. Secara lebih speisifk, artikel ini menggunakan pendekatan sejarah
pemikiran.12 Sejarah pemikiran digunakan, sebab ta’wil al-Qur’an adalah bagian dari tradisi berfikir,
bagaian dari berfikir.13
Sejarah pemikiran (history of thought) disebut juga dengan history of ideas atau intellectual
history. Sejarah pemikiran dapat difahami sebagai kajian tentang peran gagasan dalam peristiwa
dan proses sejarah (study of the role of ideas in historical events and process). Pada dasarnya
semua sejarah adalah sejarah pemikiran, seorang sejarawan hanya melakukan kembali pikiran masa
lalu. 14 Pendekatan ini akan membaca pembentukan dan perkembangan konsepsi ta’wil al-Qur’an
dalam tradisi ahl as-sunnah. Dengan kerangka kerja analisis eksporasi kesejarahan (exploring
history) untuk melihat adanya pergerakan perkembangan pemikiran serta kekhasan pemikiran,
dalam hal ini pemikiran mengenai takwil dalam ahl as-Sunnah.
Diskursus Ta’wil
Sebagai sebuah terminus technicius,15 sebagian ulama menyamakan antara tafsir dan ta’wil dan
sebagian lain membedakannya. Ulama yang menyamakan kedua terminology tersebut melihat
pada penggunaan keduanya sebagai perangkat menyatu dalam memahami ayat al-Qur’an,16 dan
secara etimologis keduanya merujuk pada usaha yang sama.17 Adapun ulama yang membedakan
keduanya, pembedaannya terletak pada “sumber” yang digunakan dalam tataran operasional. Tafsir
didasarkan atas riwayat dari Rasul atau para sahabat, sementara ta’wil didasarkan atas dira>tsa>t,18
12
R.G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Oxford Uniuversity Press, 1956), 302.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 189-200.
14
R.G. Collingwood, The Idea of History, 302
15
Navid Kermani “From Revelation to Interpretation; Nash Hamid Abu Zayd and The Literary Study of The Qur’an”,
dalam Suha Taji-Farouki (ed), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’a>n, (London: Oxford University Press, 2004),
172.
16
Badruddin Abi ‘Abdillah Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdillah az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), II: 92.
17
Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1995),
II: 7.
18
Muhammad Husein az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1976), 16-17, azZarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, II: 92.
13
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 82
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
‘aql19, kekuatan ijtihad dan kekuatan berfikir mufassir sendiri. Sehingga, ta’wil tidak terpaku pada
riwayat semata.20
Ragib al-Asfahani dan al-Qusyairi menilai pegulatan spesifikasi terminology tafsir dan ta’wil
muncul akibat adanya spesifikasi dari ayat al-Qur’an itu sendiri yang membagi dirinya menjadi ayat
muhkam dan mutasyabih (QS. Al-Imran : 9). Dua pola ayat ini kemudian diambil oleh masingmasing terminologi interpretasi al-Qur’an tersebut. Ayat muhkam yang muatannya lebih jelas
disandingkan dengan terminologi tafsir, sedang ayat mutasyabih yang memiliki nuansa ambiguitas
disandingkan dengan terminologi ta’wil.
Masing-masing terminologi inipun memiliki pola kinerja yang berbeda. Tafsir memiliki
operasional kerja lebih umum dibandingkan dengan ta’wil. Tafsir bekerja pada tataran lafz dan
dilalah,21 menjelaskan ayat secara etimologis (mufradat), kemudian menjelaskannya secara umum
(bayan al-murad). Dalam memberikan penjelasan, tafsir banyak bertopang pada riwayat atau
penjelasan-penjelasan dari para ulama masa awal. Sedangkan, ta’wil memiliki operasional kerja
yang lebih spesifik. Ta’wil bekerja pada tataran makna (al-ma’ani), sehingga penggunaanya lebih
sempit, seperti ta’wil pada ayat ketuhanan (ilahiyat), atau menakwilkan sebuah mimpi (ru’ya).22
Karena penggunaannya pada tataran makna, maka ta’wil tidak tertopang penuh pada riwayat dan
zahir al-lafz.
Dari segi keakuratan hasil, tafsir dan ta’wil juga berbeda. Tafsir didomainkan pada
pengungkapan secara ‘ibarah dari sebuah lafadz ayat, sehingga maksud dari ayat tersebut bisa
ditetapkan secara jelas. Sedangkan ta’wil didomainkan dengan pengungkapan makna secara
isyarah, sehingga maksud sebuah ayat tidak bisa ditetapkan secara jelas, hanya bisa memilih makna
yang terbaik dengan jalur membandingkan (tarjih) berbagai kemungkinan makna (ahad almuhtamalat) yang ada.23 Walaupun didomainkan secara berbeda, baik pelaku tafsir maupun ta’wil
memiliki tataran aplikatif (isti’mal) yang sama, yakni usaha interpretasi/memahami al-Qur’an.24
Diskursus atau wacanan mengenai ta’wil al-Qur’an telah lama muncul.25 Bahkan abad awal
Islam, ia muncul terlebih dahulu dari tafsir. Meskipun tidak semua pandangan ini disepakati, semisal
adz-Dzahabi yang mencatat literatur-literatur klasik pasca abad III H baru dicatat dan ditemukan
19
Navid Kermani, From Revelation to Interpretation, 172.
az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, 16-17, az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, II: 92.
21
az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, II: 6.
22
az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, II: 92. Karena penggunaannya sempit, pelaku ta’wil biasanya
diidentikan dengan orang yang ahli, seperti: sufi, filosof, teolog atau lainnya yang notabene nya mereka secara umum
berbeda dengan mufassir. az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, II: 96.
23
az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, II: 8.
24
az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, II: 96.
25
Claude Gilliot, “Exegesis of the Qur’an: Classical and Medieval”, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.)
Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden: Brill, 2002), II: 100.
20
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 83
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
takwil sebagai sebuah diskurus keilmuan.26 Takwil kemudian muncul sebagai metode memahami
atau menginterpretasi al-Qur’an, namun disi lain ia menajdi sebuah wacana atau diskursus dalam
sejarah penakwilan al-Qur’an oleh beberapa kelompok teolog Islam.
Pembedanan
“wacana“ dan “metode“ sebenarnya didasarkan pada analisis al-Jabiri yang
membagi pemikiran menjadi dua yakni pemikiran dari pemikiran sebagai isi (wacana) dan
pemikiran sebagai alat (metode). Pemikiran sebagai wacana adalah sekumpulan pendapat dan
pemikiran yang dilahirkan oleh pemikiran sebagai alat (metode). Jika dikaitkan dengan syari’at,
maka bisa dicontohkan mengenai: Akhlak, doktrin keyakinan dan ajaran madzhab, serta pemikiran
lainnya yang berkaitan dengan pandangan manusia terhadap sesuatu. Adapun pemikiran sebagai
alat (metode) berfungsi memproduksikan pemikiran-pemikiran, baik pemikiran yang diproduksi
dalam krangka internal ideologi, atau bahkan krangka internal pengetahuan.27
Sebagai sebuah diskursus, Tafsir dan ta’wil merupakan kata sinonim yang berarti “menafsirkan”
menurut para pakar al-Qur’an periode awal, seperti Ibn ‘Abbas, al-Tabari, dan Mujahid. Namun
pada periode belakangan, term tafsir dan ta’wil mengalami pergeseran definisi. Tafsir diasosiasikan
dengan pemahaman berbasis ma’tsur atau riwayah (tradition, narration dan text), sedangkan ta’wil
dihubungkan dengan pemahaman berbasis ra’yu atau dirayah (reason, understanding dan opinion).
Dapat disimpulkan bahwa keduanya mempunyai definisi yang paralel, yakni penjelasan makna
kitab suci al-Qur’an.
Ibn Manzur (630-711 H/ 1233-1311 M), mendefiniskan ta’wil secara bahasa dengan
mengetahui sumber dan hasil. Kalimat yang tidak dapat dipahami secara tekstual -bertolak pada
lafdz zahir- memerlukan dalil yang dapat membuka makna tersirat di atas makna tersurat teks
tersebut. Maka, takwil memindah makna lahiriyah teks dari makna asli kepada makna yang
membutuhkan dalil yang seandainya tidak ada dalil tersebut, maka makna lahiryah teks tidak akan
ditinggalkan.28 Senada dengan pendapat ini, Raghib al-Ashfahani menyebutkan bahwa ta’wil
sebagai upaya memalingkan lafaz dari makna zhahir kepada makna yang muhtamal (potensi
makna lain) apabila makna muhtamal/ihtimal ini tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan alHadits.29
az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, 20-21. az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 416-418. M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), 224.
27
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam: Membincang Dialog Kritis Para Kritikus Muslim: Al-Ghazali, Ibnu
Rusyd, Thaha Husein dan Abid Al-Jabiri, (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), 14.
28
Muhammad ‘Imarah, Hadza Huwa al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa Ta’wil alIslami, (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dualiyyah, 2006)
29
Abu al-Qasim ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufaradat fi Gharib al-Qur’an, (Kairo: Mustafa al-Halabi, 1961), 31.
26
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 84
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Definisi ini menjadi diskursus klasik yang masih bertahan hingga hari ini.30 Beberapa pemikir
mencoba melempar diskursus ta’wil ke arah yang berbeda dengan klasik. Semisal Abu Zayn,
Hassan Hanafi dan Amin Abdullah.31 Amin Abdullah misalnya memberikan kejelasan bahwa
khazanah ilmu-ilmu al Quran ada dua cara untuk memahaminya, yaitu tafsir dan ta’wil. Tafsir
dikenal sebagai cara untuk mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung
dalam teks atau nash kitab suci yang dijadikan “subyek”. Sedang ta’wil adalah cara untuk
memahami teks atau pemahaman, pemaknaan, dan interpretasi terhadap teks sebagai “obyek“
kajian.32
Pendekatan dan pola pikir keagamaan yang bercorak hermeneutic, yang mulai berkembang
dalam dunia kesarjanaan Muslim kontemporer adalah disebabkan karena perjumpaan dan dialog
yang serius, intensif dan mendalam antara rumpun keilmuan ulum al-din (Ilmu-ilmu keagamaan
Islam tradisional-konvensional), al-fikr al-islamy (islamic thought atau ulum al-din yang telah
disistematisasikan secara rasional) dan dirasat islamiyyah (islamic studies; studi keislaman).33
Pandangan ini dapat difahami sebagai perkembangan konsep ta’wil sebagai sebuah kajian
diskursif. Penafsiran teks (tafsir) sebagai produk sejarah manusia, tidak terlepas dari gerak
perubahan sejarah sosial-budaya yang mengitarinya, sehingga muncul persoalan relevansi yang
selalu mengintip dari belakang tabir percaturan pemikiran keagamaan dan pemikiran keiIslaman
kontemporer.34
Diskursu Ta’wil Sunni
Dalam sejarah, banyak kajian yang menunjukkan bahwa sejak awal Islam takwil telah digunakan
sebagai cara membaca teks, memahami dan mengeksplor lebih jauh kandungan ayat al-Qur’an.
Namun elan vital ta’wil ini terlihat semakin terkikis dari pengetahuan atau diskursus interpretasi alQur’an hari ini. Maka, penting menurut penulis untuk melihat akar tradisi ta’wil dalam sejarah Islam,
terutama kalangan sunni. Pemaknaan ta’wil sebagai sebuah terminologi ini menunjukan adanya
suatu pergeseran pada terminologi takwil. Pergerseran ini muncul karena terpengaruh oleh unsur
di luar Islam yang kemudian diperkenalkan oleh mutakallimin, fuqaha’ dan kaum filosof setelah
Tahir Chaudari, “Tafsir Literature: its Origin and Development, dalam N. K. Singh dan A. R. Agwan (ed.),
Encyclopaedia of the Holy Qur’an, (Delhi: Global Vision Publishing House, 2000), 1474-1475
31
Merkena telah memperkenalkan istilah hermenutika -yang difahami sebagai ta’wil- terlebih dahulu ke dunia
Islam dan menjadikannyas kajian Islam yang produktif. Nasr Hamid Abu Zayd, Ishkaliyyah al-Qira’ah wa Aliyyat alTa’wil (Maroko: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 2007), 13-15.
32
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 184.
33
M. Amin Abdullah, “Mempertautkan Ulum al-Diin. Al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan
Keilmuan Islam untuk Peradaban Global”, dalam Marwan Saridjo (ed.), Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga
Rampai, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2009), 261-298.
34
M. Amin Abdullah, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, (Yoyakarta: LPPI, 2000), 4-5.
30
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 85
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
abad 3 H. termasuklah di dalamnya kalangan sunni.35 Dalam oreinatsi analisis makna (semantik),
analisis dari tokoh-tokoh ini dapat dipetakkan dalam skema berikut:36
At-Tafhim
Al-Fahm
Nabi
Muhammad
dan al-Qur’an
1. Tabayun
2. Taradus
3. Ta’addud al-Ma’na
Bangsa/Bahas
a Arab
Mufassir
1.
2.
3.
4.
Al-Lughawiyun
Balaguyun
Falasifah
Ushuliyun
1.
2.
3.
Lafz
Majaz
Tathawwur ad-Dalali
Kelahiran takwil sebagai sebuah diskursus memahami/interpretasi al-Qur’an telah ditemukan
beragam, sebab beragam keilmuan yang digunakan. Maka, Sejak awal masa Islam, keragaman
makna (tafsir dan takwil) telah disinggung oleh ulama ortodoks, terutama ortodoksi Sunni.37
Namun tradisi Sunni memperlihatkan keragaman model penakwilan dalam beberapa karya tokoh
besarnya.
Ibn Qutaybah, Ta’wil Musykil (Ta’wil Bahasa)
Dengan menulis kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an, Ibn Qutaybah tergolong ke dalam kelompok Ulama’
Sunni yang menulis mengenai al-Qur’an, tentu setelah tokoh besar pendiri kelompok Sunni, Abu
Mansur al-Maturidi dengan kitab Ta'wilat Ahl al-Sunnah. Masa kelahiran Ibn Qutaybah pada awal
abad III H (207 H), membuat ia berada pada situasi perdebatan teologis yang masih sangat tajam.
35
Muhammad al-Sayyid al-Jiliyand, al-Imam Ibn Taymiyah wa Qadiyyah al-Ta’wil (Riyad: Maktabah Ukaz, 1983), 45-
46.
Syamsul Wathani, “Tradisi Akademik dalam Khalaqah Tafsir: Orientasi Semantik al-Qur’an Klasik dalam Diskursus
Hermeneutik” dalam Jurnal Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016, 101.
37
Su‘ud bin Abdullah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassirin Asbabuh wa Atharuh, (Riyad: Dar Shibiliya, 1997), 16-19.
36
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 86
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Ibn Qutaybah menemukan jalan hidup, sebagai seorang yang ahli bahasa, sejarah, sya’ir disamping
juga seorang teolog Sunni. Ia disebut sebagai seorang teoritis kajian kebahasaan al-Qur’an,38 dan
seorang teolog. Bahkan posisi Ibn Qutaybah ketika itu menjadi juru bicara Sunni (Khatib ahl as-
Sunnah).39
Ibn Qutaybah adalah seorang tokoh Sunni yang berusaha merumuskan definisi beserta konsep
ta’wil al-Qur’an yang sebenarnya. Dari pemahaman terhadap al-Qur’an surat al-Imran ayat 7.40 Ibn
Qutaybah melihat ayat tersebut isinya memuat permasalahan kebahasaan al-Qur’an, muhkam dan
mutasyabih.41 Dengan pandangan ini, maka terminologi interpretasi yang lahir pun mengarah pada
pemahaman ayat melalui sistem kebahasaan, selain kesadaran akan pluralitas makna ayat alQur’an.42 Dimensi pluralitas ini sebenarnya tidak hanya diakui dalam tradisi satu aliran saja, semua
aliran Islam yang memiliki mu’awwil masing masing juga meyakini hal tersebt. Al-Zamaksyari
mislanya memandang muhkam sebagai ayat yang terbebas dari ketidakjelasan, sedangakan
mutasyabih adalah ayat yang mengandung ambiguitas (mutasyabihat) dan banyak kemungkinan
makna (muhtamalat).43
Ibn Qutaybah melihat ayat mutasyabih memiliki kerancauan makna disebabkan oleh
kerancauan internal kebahasaan dan struturalnya. Inilah yang kemudian dikategorikan oleh Ibn
Qutaybah sebagai sebuah kemusykilan. Kesulitan atau musykil al-Qur’an bisa disebabkan oleh
faktor internal berupa struktural al-Qur’an dan faktor eksternal berupa kognisi pembaca yang
bersifat relatif, musykil bagi ulama’ yang satu belum tentu musykil bagi ulama’ lainnya.44
Karena tidak ada batas yang jelas antara muhkam dan mutasyabih, maka ayat yang muhkam
bagi satu pihak, bisa jadi mutasyabih bagi pihak lain.
Konsep ini kemudian berdampak pada
penggunaan ayat al-Qur’an untuk saling mematahkan pendapat satu pihak oleh pihak yang lain.
M. Nur Kholis setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), 161.
Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Riyadh: al-Malakah al-‘Arabiyah, 1984), 363.
40
Abu Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaybah ad-Dinawari, al-Masail wa al-Ajwabah fi al-Hadis wa atTafsir, (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1990), 212-214.
41
Jane Dammen McAuliffe, “Text anda Textuality: Q.S 3:7 as a point of Interpretation” dalam Issa J. Boulatta (ed.),
Literary Structures of Religous Meaning in The Qur’an, (Richmond: Curzon press, 2000), 58-59.
42
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur’an, Terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1997), 1.
43
Sahiron Syamsuddin, “Muhkam-Mutasyabih; an Analitycal study of at-Tabari and al-Zamakshari’s interpretation”
dalam Journal of Qur’anic Studies, 1999, 65-70.
44
Pengembangan yang biasa ikut mengalir dalam diskursus mutasya>bih ini adalah kemungkinan yang terjadi
dalam ayat al-Qur’an yang mengandung multiplitas makna (ih}tima>l li al-ma’na>), serta kemungkinan lain terjadinya
kesukaran memahami yang dilandaskan kepada pembaca (reader) atau mufassir/mu’awwil sendiri (interpreter).
Kemungkinan multiplitas makna memang diawali dari dalam al-Qur’an itu sendiri, diwakili dengan bahasa majaz
sebagai salah satu wajahnya. Bahasa majaz sebagai sebuah fenomenan kebahasaan al-Qur’an memfasilitasi para
pembacanya untuk leluasa bereksplorasi, yang barangtentu disesuaikan dengan wawasan, keluasan analisis atau
horizon pemahamannya dalam melakukan proses produksi makna. ‘Abd as-Salam, “Ihtimalat ad-Dilalah fi an-Nusus alQur’aniyah”, dalam Journal of Qur’anic Studies, vol. 2, No. 2, 2000, 172.
38
39
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 87
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Tak pelak lagi, kepentingan pun bermain di situ. Ayat digunakan untuk memperkuat pendapat
masing-masing pihak. Ayat yang mendukung pendapatnya dianggap sebagai ayat muhkam dan
ayat yang sesuai dengan pendapat lawannya dianggap sebagai ayat mutasyabih. Hal ini tampak
jelas terlihat dalam debat teologis di kalangan ulama kalam. Terdapat golongan-golongan atau
mazhab-mazhab yang masing-masig menguatkan pendapat mereka dengan sama-sama
berpegang pada dasar yang sama, yaitu al-Qur’an, tetapi memiliki pemahaman yang saling
menafikan satu sama lain.45
Berangkat dari kesadaran muatan al-Qur’an ini, Ibn Qutaybah menawarkan ta’wil sebagai
sebuah konsep pemahaman. Ibn Qutaybah mendefinisikan ta’wil al-Qur’an sebagai sebuah
pemahaman (afham), pandangan (absar) dalam menyingkapi sebuah makna dan menjelaskannya
(al-kasyfu wa at-tawdih).46 Dari pandangan ini, Ibn Qutaybah kemudian menawarkan tiga definisi
ta’wil –sebagaimana kebanyakan ulama’ sunni-, yaitu: orientasi mengembalikan makna (ar-ruju’ wa
al-awdu wa al ‘aqibah), orientasi mengungkap makna yang tersembunyi (al-bayan wa al-kasyfu wa
at-tafsir) serta orientasi memalingkan makna pembicaraan dari makna asal (tahrif al-kalam ‘an
mawadi’ihi).47 Definisi ini yang menentukan langkah yang dikonstruksikan secara teknis oleh Ibn
Qutaybah dalam mendekatinya. Bisa dibilang Ibn Qutaybah kemudian menggeser orientasi makna
ta’wil dari pemahaman kata (leksikal) menuju pemahaman yang bersifat ilmu (orientasi menuju
pemahaman).48
Paradigma tawil yang ditawarkan oleh Ibn Qutaybah adalah paradigma ta’wil bahasa (ta’wil al-
Lughawiyyin an-Nahwiyin). Ahli ta’ wil meyakini bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi dan
ekspresi manusia merupakan ‘wadah makna-makna’ (the locus of meaning), sekaligus sistem
penandaan (dilal) yang banyak dimainkan dalam diskursus usuliyyu>n. Karena itu wacana ta’wil
sering diartikan sebagai pemahaman simbolik, mentransformasikan ungkapan-ungkapan zahir
tertentu dalam teks, hingga makna yang dikandung teks menjadi lebih luas dan kaya. Hal senada
ini –dalam catatan az-Zahabi- pernah dialkukan oleh Ibn ‘Abbas, pendekatan bahasa dan logika,
dengan basis penguasaan sastra Arab.49
Dengan paradigma ta’wil bahasa ini, Ibn Qutaybah meyakini bahwa ayat musykil –termasuk
mutasyabih, yang dijdaikan satu-satunya obyek ta’wil kebanyakan ulama- adalah ayat yang bisa
difahami maknanya melalui ta’wil. Sebelum menawarkan pendekatan ta’wil, Ibn Qutaybah
menekankan bahwa kepekaan, perasaan, logika serta ilmu bahasa-sastra dan sejarah menajdi
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nass: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Markaz ast-Tsaqafi al-‘Arabi, 1998),
239-240.
46
Ibn Qutaybah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, (Mesir: Dar at-Turas, 1973), 77, 23.
47
Ibn Qutaybah, Ta’wil Musykil al-Qur’an,77, 23.
48
Khalid Abd al-Rahman al-‘Akk, Usul at-Tafsir wa Qawa’iduhu (Beirut: Dar an-Nafa’is, 1986), 54-55.
49
az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, I:77-85.
45
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 88
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
perangkat sekaligus piranti ta’wil yang ia tawarkan. Sehingga, dengan keilmuan bahasa mini mal
dua hal ini dapat dilakukan dalam ta’wil: (1) bahwa makna yang dipilih dalam pen-ta’wil-an
termasuk salah satu kemungkinan makna yang dikandung dalam lafaz yang di-ta’wil-kan. (2)
bahwa ta’wi>l dapat dilakukan jika terdapat dalil (burhan) atau argumentasi yang mendukung
pengalihan dari makna tekstual ke makna lainnya.
Bagi Ibn Qutaybah, ta’wi>l bukanlah sebuah interpretasi alegoris yang menolak semua
pertimbangan linguistik atau semantik atau mengesampingkan keduanya. Melainkan ta’wil yang
sesuai dengan konteks bahasa dimasanya, tidak bertentangan dengan pengertian linguistik dan
ajaran-ajaran umum al-Qur’an. Penalaran secara teoritis pemahaman al-Qur’an yang digagas oleh
Ibn Qutaybah menjadi pijakan awal semua pembahasan mengenai ta’wil, disamping rekaman alQur’an sendiri dalam surat al-Imran diatas.
Sandaran ini membuat gambaran ta’wil dimasa awal
minimal dapat dilihat dalam tiga kata: penjelasan kebahasaan (eksplanasi), penjelasan analisis
istinbati (intelegensi) dan analisis simpulan makna (konklusi). Sebagaimana yang diluapkan pula
dalam kritiknya mengenai ta’wil dimasanya. Dalam membentuk paradigma ini, berikut beberapa
pendekatan dalam ta’wil menurut Ibn Qutaybah:
Abu Hamid al-Ghazali, Qanun at-Ta’wil (Ta’wil Teologi)
Perkembangan model penakwilan al-Qur’an berlanjut pada fase peralihan dari masa salaf
menuju khalaf, dimana tradisi akademik ahl as-Sunnah juga berkembangan seiring berkembangnya
ilmu pengeahuan. Ahl as-Sunnah dalam fase ini terwakili dalam soosk imam al-Ghazali, Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M), ulama’ yang dikenal sebagai huujatul Islam
sampai hari ini. Al-Ghazali menjadi salah satu intelektual Islam yang dicatat dalam sejarah Islam
memiliki karya yang lengkap, mulai dari Filsafat, Tafsir, Hadits hingga Ushul Fiqh. Dunia Islam
terutama tradisi sunni mengenal Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asySyafi’i (W. 505) sebagai Hujjah al-Islam. Gelar tersebut menggambarkan kedudukan agung alGhazali dalam sejarah Islam. Banyak kalangan yang menganggap bahwa didunia Islam al-Ghazali
adalah orang kedua yang memiliki pengaruh besar setelah Nabi Muhammad saw. Sebab Imam AlGhazali menghasilkan begitu banyak karya. Sedemikian banyak, sehingga tidak ditemukan jumlah
yang pasti mengenai karya-karya al-Ghazali tersebut.
Dengan banyaknya karya al-Ghazali, maka, sebenarnya diskusi al-Ghazali tentang ta'wil
terdapat dalam enam teks berbeda - dari karya al-Ghazali sendiri sendiri-. Ada banyak model
penakwilan al-Qur’an yang dimainkan oleh al-Ghazali, terutama dalam diskursus antara teks non-
Sufi dan pengaruh sufi, serta perbedaan epistemologis al-Ghazli sendiri antara makna yang
berkaitan dengan aktivitas dunia (hukum, etika, dll) serta yang berkaitan dengan aktivitas akhirat
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 89
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
(kondisi hati, batin, jiwa dll).50 Takwil non-sufi terlihat dalam karya imam al-Ghazali, antara lain:
Faysal al-Tafriqa bayna al-Islam wa zandaqa dan al-Mustasfa min ilmi ushul,. Dalam kitab Faysal, alGhazali menganjurkan keterbukaan terhadap ta'wil ayat Al-Qur’an.51 Adapun dalam karya almustashfa, Al-Ghazali menggunakan logika silogisme/silogistik untuk mempertahankan
obyektivitasnya, ia mengambil posisi dalam melihat polemik interpretasi ayat hokum dari Imam
Syafi’i melawan hermeneutikanya imam Hanafi.52
Adapun dalam model ta’wil sufi, pemikiran al-Ghazali tersebar dalam empat teks -karya- yang
dipengaruhi sufi yang berkaitan dengan kegiatan Akhirat, maka al-Ghazali menakwilkan dengan
makna tersembunyi Al-Qur’an. Diantara empat karya tersebut adalah (1) kitab adab tilawah Al-
Qur’an (ihya 'ulumuddin), (2) Jawahir Al-Qur’an (3) Miskat al-Anwar dan (4) Kitab Qawaid al-'Aqaid
(di ihya 'umududdin). Dalam Adab, Jawahir dan Mishkat, al -Ghazali melegitimasi pendekatan sufi
terhadap Al-Qur’an dengan menggarisbawahi saling melengkapi antara interpretasi eksoteris dan
esoterik.53
Tentu, selain karya ini, al-Ghazali juga memiliki karya yang bernuansa takwil teologis, yakni
Qanun at-Ta’wil. Di samping kitab al-Mustasfa yang merangkum serangkaian metodologis
pemahaman al-Ghazali terhadap teks, ada satu karya beliau yang lain yang terkait dengan kajian
tafsir dan ta’wil, yaitu kitab Qanun al-Ta’wil. Di dalam kitab ini dijumpai sejumlah argumentasi yang
menjadi pedoman dasar dalam upaya pembacaan teks. Kitab Qanun al-Ta’wil ini gagasan-gagasan
orisinal al-Ghazali yang bersifat filosofis bukan sistematis metodologis mengenai filosofi membaca
dan menafsirkan teks. Jika Qanun at-Ta’wil berisikan prinsip dan aplikasi pemaknaan al-Qur’an
menggunakan ta’wil, maka dalam kitan al-Qistas al-Mustaqim, juga berkaitan dengan praktik
hermeneutika ta’wil al-Ghazali. Kedua karya ini -sejauh penelusuran penulis- memiliki
kesinambungan sejarah dalam penulisannya.
Al-Ghazali menulis buku tersebut dengan sebuah pertanyaan besar, dalam kondisi bagaimana
seseorang bisa dianggap kafir? Pertanyaan lain yang senada adalah siapa yang bisa disebut
beriman dan siapa pula yang bisa disebut kafir? Menurut al-Ghazali, orang yang beriman adalah
Martin Wittingham, Al-Ghazali and The Qur’an One Book Many Meanings, (New York: Routlede Taylor and
Francis Group, 2007), 28.
51
Martin menyebut dengan istilah “toleransi takwil”. Ini menurut penulis dapat diabca pada upaya penakwilan AlGhazali dalam kitab tersebut berkaitan dengan terminology-terminologi religious dalam Islam.
52
Martin Wittingham, Al-Ghazali and The Qur’an, 28.
53
Esotorik artinya rahasia atau tersembunyi. Dalam bahasa Arab kata tersebut memiliki kesamaan makna dengan
kata “Bathin”,lawan kata “zhahir”. Secara etimologi,bathin berarti “sesuatu yang dikandung oleh sesuatu” (ma yujad
dakhil al-sya’i). Bila dikaitkan dengan teks,bathin artinya makna yang tersembunyi (al-kahfi),rahasia (al-sirriyy),dalam
(al-‘amiq), tertutup (al-mastur), yang tersembunyi bagi selain ahlinya (al-maktum ‘an ghair ahlih). Proses penafsiran
esoterik disebut takwil,yang secara teknis bermakna hermeneutika (hermeunetic) simbolis dan spiritual. Adil al-Awa’,
“Bathin –Zhahir”,dalam Ma’an Ziyadah, (Ed.), Al-Maushu’ah Al-Falsafiyyah Al-Arabiyyah, (Saudi Arabia: Ma’had AlInna’ Al-‘Arabi, 1986), 175. Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen, 1975), 25.
50
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 90
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
mereka yang percaya kepada Rasul dan semua yang diajarkannya. Sementara orang yang kafir
adalah mereka yang tidak percaya kepada Rasul dan semua yang diajarkannya.
Al-Ghazali
mengakui bahwa sepintas lalu definisi ini tampak sederhana,tetapi sebenarnya tidak. Bagi kalangan
Asy’ari,mereka menganggap praktik agama yang mereka lakukan dan percayai adalah sesuai
dengan ajaran Nabi,sementara kalangan lain diluarnya tidak menjalankan ajaran Nabi secara
penuh. Implikasi dari definisi al-Ghazali adalah bahwa bagi kalangan Asy’ari, semua orang yang
tidak sepaham dengannya adalah kafir karena mereka tidak percaya kepada semua ajaran Nabi.
Demikian pula kelompok-kelompok lain akan mengkafirkan semua kelompok diluar mereka.
Di dalam kekisruhan yangt mungkin muncul, al-Ghazali mencoba mengatasinya dengan kitab
Qanun at-Ta’wil (aturan-aturan penafsiran). Yang juga membahas penegasn al-Ghazali, bahwa tidak
bisa seseorang dengan semena-mena mengkafirkan orang lain hanya karena perbedaan pendapat
atau mazhab. Jika melihat lebih jauh terhadap kondisi di sekitar hidupnya al-Ghazali, setidaknya
dijumpai bahwa al-Ghazali> mengurai fakta pluralitas sosial yang disikapi secara beragam
sebagimana ia tulis dalam kitab al-Mustasfa. Saat itu terdapat dua kelompok besar yang memberi
sikap berbeda terhadap pluralitas pemikiran, yaitu: musawwibah dan mukhaththi’ah. Kelompok
pertama adalah mereka yang menyatakan bahwa jika terjadi pluralitas pendapat, maka semuanya
benar. Kelompok pertama ini mewakili kelompok toleran yang cenderung dipilih al-Ghazali sendiri.
Sementara kelompok kedua justru berargumen bahwa jika ada pluralitas pemikiran, maka
semuanya salah, kecuali satu. Kelompok ini mewakili kelompok absolutis. Hal semacam ini sejatinya
tidaklah aneh karena perdebatan yang terjadi di masa adalah di seputar metafisika termasuk
mengenai bagaimana menjembatani antara akal dan wahyu.54
Sekte apapun baik dari kalangan tradisionalis maupun rasionalis, keduanya sama-sama
menjadikan teks sebagai referensi dari argument mereka. Hanya saja, keduanya berbeda dalam
memposisikan an-naql dan al-‘aql. Kesejaran al-Ghazali yang banyak bertengkar dengan banyak
tokoh teologis, terlihat sangat banyak disinggung oleh al-Ghazali dalam Qanun at-Ta’wil nya. Ada
lima kelompok yang dikemukakan al-Ghazali dalam Qanun al-Ta’wil terkait pandangan mereka
terhadap posisi akal dan wahyu. Pertama, kelompok yang menempatkan wahyu di atas akal (tajrid
al-nadzar ‘ila al-manqul). Kelompok ini adalah kelompok tekstualis yang sebenarnya sangat aman
dalam beragama, sebab mereka bisa langsung menerapkan seluruh ajaran agama sesuai dengan
teksnya. Tetapi, menurut al-Ghazali, kelompok ini tidak ideal. Kedua, kelompok yang menempatkan
akal di atas wahyu (tajrid al-nadzar ‘ila al-ma’qul). Kelompok ini, berisi para filsuf dan pemikir
spekulatif. Para filsuf yang dimaksud oleh al-Ghazali terutama adalah al-Farabi dan Ibn Sina. Ibn
54
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Qanun al-Ta’wil, (Damaskus: Dar al-Bayan, 1993), 15- 20.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 91
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Sina, misalnya, menyatakan bahwa sangat tidak mungkin diterima konsep mengenai kebangkitan
jasad, yang ada adalah kebangkitan ruhani.55
Ketiga, kelompok yang berada di tengah tetapi cenderung dekat kepada kelompok yang
mengagungkan akal. Kalangan rasional Mu’tazilah bisa masuk dalam kelompok ini. Keempat,
kelompok yang berada di tengah tetapi cenderung dekat dengan kelompok yang mengagungkan
wahyu. Kelima, kelompok yang mencoba menggabungkan antara akal dan wahyu secara
proporsiaonal. al-Ghazali menganggap kelompok kelima ini adalah kelompok yang paling ideal.
Kelompok inilah yang disebut sebagai kelompok terbaik. Al-Ghazali menilai jika kelompok kelima
inilah yang paling susah meskipun ia mengklaim dirinya berada pada kelompok ini.56 Posisi tengah
yang dipilih oleh al-Ghazali bisa ditemukan dalam fakta gugatan dia terhadap para filsuf. Namun
pada saat yang sama dia juga mengkritik para fatalis dan tekstualis. Meski wahyu dinggap sebagai
sumber kebenaran, namun bukan berarti akal diabaikan. Al-Ghazali justru menganggap bahwa akal
adalah pihak yang merekomendasikan agama. Akal memiliki posisi penting, karena hanya akallah
yang bisa memberi justifikasi kebenaran agama dan wahyu.57
Adapun dalam diskusi ta’wil al-Qur’an, al-Ghazali mengelompokkan tipologi kalangan yang
menerima dan menolak takwil ke dalam empat macam; Pertama, kalangan yang secara ekstrim
hanya menerima makna literalnya semata. Kedua, mereka yang hanya berpegang kepada akal,
kalangan ini di asumsikan pada kaum filosof. Ketiga, kelompok yang menganggap riwayat bi alma’thu>r sebagai dalil utama dan mengabaikan peran takwil. Keempat, kalangan yang mampu
memadukan argument teks dan rasionalnya sebagai dalil utama, oleh al-Ghazali kalangan ini
disebut sebagai kalangan moderat.58 Upaya-upaya untuk menemukan titik temu antara Jabariyah
dan Qadariyah terus digalakan oleh pengikut al-Ash’ari seperti: al-Baqillani (w. 1013) al-Juwaini>
(w. 1085), al-Ghazali (w. 1111) dan lainnya.
Dalam hal ini al-Ghazali (w. 505 H) membuat mekanisme takwil agar penakwil tidak
menakwilkan al-Qur’an secara liar.59 Karta ini -hemat penulis- merupakan karya pertama -secara
lengkap- yang memberikansyarat dan kualifikasi ketat bagi penakwil. Membahas secara tersurat
standar seorang penakwil, sehingga dapat menilai secara akademik tumbuh kembangnya penafsir
liar yang dikhawatirkan akan menafsirkan secara bebas kalam Tuhan. Al-Ghazali sangat menyadari
55
al-Ghazali, Qanun al-Ta’wil, 15- 20.
al-Ghazali, Qanun al-Ta’wil, 15- 20.
57
al-Ghazali, Qanun al-Ta’wil, 15- 20.
58
al-Ghazali, Qanun al-Ta’wil, 15-20.
59
Imam al-Ghazali menjabarkan kategori penakwil ke dalam tiga bagian; kalangan awam, ‘Alim dan ‘Arif. Namun
dari ketiganya hanya Alim dan Arif yang dianggap memumpuni dalam melakukan takwil. Berbeda dengan kalangan
awam dilarang menakwilkan teks karena dikhawatirkan akan menyimpang. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 302-306.
56
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 92
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
dan memahami perlu adanya ketentuan seorang penafsir atau penakwil. Karena itu, syarat dan
kualifikasi tersebut dirumuskan oleh al-Ghazali dalam Qanun al-Ta’wil.
Menurut al-Ghazali kandungan makna yang diperoleh melalui takwil boleh jadi menghasilkan
makna yang berdekatan atau bahkan berjauhan dengan lafadz itu sendiri. Karena itu, Ketegasan
dalil (indikator/ qarinah), analogi (qiyas), serta bukti apapun yang mampu menguatkan adanya
pengalihan/ta’wil sangat diperlukan terlebih ketika makna tersebut sangat berjauhan dengan
makna literal teks. Upaya ini dilakukan untuk menghindari ketidak-jelasan dalil yang dihadirkan
oleh penakwil. Sementara Ibn Rushd (w. 595 H) mengatakan bahwa takwil tidak lepas dari majaz,
sebab penyingkapan makna akan diperoleh darinya. Kondisi ini tidak memungkinkan kita untuk
melepas sedikit pun dari bagian-bagian makna alegoris, karena tidak saja diperlukan makna kedua
tetapi perlu menggandeng kedua makna secara bersamaan. Ini menunjukan bahwa takwil tidak
secara mudah dapat diterapkan tanpa melalui proses seleksi sangat ketat. Itu sebabnya ibn Rushd
kemudian mengaitkan takwil dengan ilmu logika (mantiq) sebagai pijakan berpikir dan
mengkategorikan ke dalam tiga hal; al-burhani, al-jadali dan al-khitabi.60 Hajir Dawir menyimpulkan
bahwa dalam pandangan filsafat antara al-Ghazali dan Ibn Rushd sangat bertentangan, tetapi
keduanya sependapat dalam menyikapi takwil.61
Upaya untuk mengembalikan ta’wil dari stigma negatif, serta mengarahkan ta’wil ke ranah
yang seharusnya
dikerjakan oleh al-Ghazali dengan memadukan antara aspek bahasa/dalil
(indikator/ qarinah), analogi (qiyas). Upaya demikian ternyata membuahkan hasil yang gemilang,
sehingga dapat mengembalikan ta’wil sebagai satu ilmu keislaman -keilmuan interpretasi alQur’an- yang diakui oleh masyarakat. Bahkan karya ini bisa menjadi tolak ukur (miqyas) dalam
riset/penelitian mengkaji adanya penyelewengan (al-munharif) dalam tafsir al-Qur’an. Peran besar
al-Ghazali ini telah mengangkat namanya menjadi demikian popular di kalangan kaum Muslim dan
ajaran yang dibawanya itu segera berkembang di tengah-tengah masyarakat. Buku-buku yang
ditulisnya pun menjadi konsumsi best seller yang dibaca oleh banyak orang. Selain sebagai seorang
teolog sunni yang sukses membentuk aturan penakwilan, al-Ghazali juga secara khusus menjadi
role model dalam metode interpretasi yang dikonstruksikan oleh para sufi , sejajar dengan tokoh
lainnya, semisal: Abu Nasr al-Sarraj, , Ibn ‘Arabi, al-Nisaburi, al-Khashani, dan al-Simnani.
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Ta’wil Falsafi)
Abu al-Walid ibn Rushd, Fasl al-Maqal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Shari’ah min al-Ittisal, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
tt.), 26,31.
61
Hajir Dawir Hashush, “Qanun al-Ta’wil bayn al-Ghazali wa Ibn Rushd,” dalam Majallah Kuliyyah al-Tarbiyyah alAsasiyah, Vol. 19, No. 81, 264-274.
60
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 93
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Fase perlembangan diskursus ta’wil ahl as-Sunnah ditandai dengan kelaihran ulama’ raionalis
baru bagi ahl as-Sunnah, yakni
Fakhruddin al-Razi (544-605H). Ia dikenal dnegan master of
Qur’anic Reasioning, dengan analisis pemaknaan nya sangat kuat dengan naunsa rasionalitasfalsafinya. Ar-Razi dikenal sebagai seorang ulama’ yang mampu mensinergikan antara ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum.62 Ia merupakan seorang ulama yang multidisipliner. Ia mengusai berbagai
disiplin ilmu baik ilmu agama, sosial humaniora maupun sains.63 Semuanya terlihat jelas dalam
pemahamannya mengenai ayat al-Qur’an dalam kitab Mafatih al-Ghaib. Bahkan Aqil mencatat,
bahwa Ibn ‘Arabi adalah sosok representatif dalam tafsir yang mengejawantahkan komperhensifitas
penafsiran berdasarkan beragam disiplin ilmu.64
Kehidupan ar-Razi dilingkupi dengan banyaknya perselisihan dalam persoalan mazhab fikih,
teologi dan filsafat. Sehingga tak heran jika di daerah Rayy saja –yang notabene merupakan daerah
kelahirannya- terdapat tiga kelompok besar mazhab fikih yaitu: syafi’iyah, ahnaf dan syi’ah, belum
lagi teologi seperti Muktazilah, Murjiah, Bathiniyah dan al-Karrasiyah dan seterusnya. Dalam tafsir,
ar-Razi juga berhadapan dengan perdebatan teologis, berseberangan dengan al-Ka’bi dan alJubba’i sebagai oposisi teologi Sunni.65 Dengan demikian ar-Razi sebagai seorang ilmuan,
kematangan ilmunya terbangun dari sebuah dinamika dan dialektika dengan kondisi yang
mengitarinya.66
Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib dan Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil merupakan magnum
opusnya yang bisa digunakan untuk melacak pemikiran ta’wil dan tafsirnya yang tergolong tafsir bi
al-ra’yi, hal ini karena penafsirannya didominasi oleh sumber ijtihad dan tuntutan kaidah bahasa
'arab dan kesusastraan, serta teori ilmu pengetahuan.67 Tafsir Mafatih al-Ghaib sendiri dapat
dikategorikan sebagai al-tafsir al-‘ashri al-‘ilmi> al-i’tiqadi al-falsafi. Tentang pentingnya akal, arRazi menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk mengetahui. Manusia diajak untuk berpikir
(tafakkur) dan merenungi (ta’ammul) untuk mengetahui hakikat sesuatu. Oleh karena itu, ar-Razi
memahami Al-Qur'an secara rasional karena menurutnya Allah SWT. telah menganugerahkan akal
kepada manusia supaya mampu mengenal-Nya berikut tanda-tanda kekuasaan-Nya.68
Sebagai penganut ilmu kalam aliran Asy‘ari, ia sering menghadirkan perdebatan kelompoknya
dengan
kelompok
Mu‘tazilah,
ia
menghadirkan
perdebatan
tersebut
dengan
tujuan
62
Abdul Mustaqim, Madzhab Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka 2003), 67.
Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka Salman, 2000), 134.
64
Jihad Muhammad al-Nasirat, ”al-Tafsir al-Muqarin; Ishkaliyyah al-Mafhum,” dalam Jurnal Silsilah al-‘Ulum alInsaniyyah wa al-Ijtima’iyyah, Vol. 30 No. 1 (2015), 43-46.
65
Fakhr al-Din Al-Razi, Al Tafsir Al- Kabir Aw Mafatih Al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 27:12
66
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), 211-212
67
Sya’ban Muhammad Ismail, al-Madkhal Li al-Dirasat al-Sunnah Wa al-‘Ulum al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Ansar.
t.t), 282.
68
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III:15.
63
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 94
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
mengungkapkan kelemahan argumen-argumen kelompok Mu‘tazilah. Ia menentang keras dan
membantahnya dengan segala kemampuan yang ada. Hanya saja, al-Ra>zi dalam perdebatanperdebatan tersebut, acap kali tidak memberikan bantahan yang seimbang dengan argumenargumen Mu‘tazilah yang ia paparkan. Di samping nuansa teologi, dengan melacak tafsir Mafatih
al-Ghaib pembaca akan mampu menangkap jati diri Al-Razi sebagai seorang filosof dan ahli ilmu
kalam handal yang banyak terpengaruh oleh tokoh-tokoh besar semisal: al-Ghazali, al-Juwaini dan
al-Baqillani.69
Dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyyah, ar-Razi selalu berusaha mengungkapkan kebesaran
Tuhan, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang ada, karena dominannya pembahasan pada permasalahan ini, tafsir Mafatih al-
Ghaib sering dipandang sebagai ensiklopedi ilmiah tentang ilmu-ilmu eksakta dan ilmu kealaman.
Hal ini adalah corak baru di luar kebiasaan para mufassir pada masa itu. Sehingga sebagian ulama’
telah menyebut Al-Razi sebagai pelopor penafsiran bercorak ilmi.70 Dalam penafsirna ayat Kauniyah
-misalnya dalam tafsir QS. Al-Imran : 109-, ar-Razi juga menekankan bagaimana dengan
kontemplasi terhadap nikmat Allah tersebut mampu menyadarkan hati dan ruh agar tidak
berpaling dari-Nya (pengayaan spiritual). Ar-Razi menegaskan bahwa sangat disayangkan mereka
yang diberikan akal lebih namun tidak mengoptimalkan dengan baik. Mereka mambaca,
mendengar dan bahkan mengetahui ayatayat-Nya tetapi mereka tidak merenungkannya sehingga
jiwa dan hati mereka menjadi kering.71
Jika ditinjau dari segi bahasa dan sastra yang ditonjolkan, tafsir Mafatih al-Ghaib ini
dikategorikan sebagai kitab tafsir bercorak adabi-lughawi. Pada bagian awal-awal penafsiran ayat,
pembaca akan menemukan pemaparan penafsiran al-Razi dengan kaidah dan pilihan bahasa yang
sangat tinggi. Beliau banyak melibatkan ilmu balaghah dalam mengungkap maksud ayat-ayat yang
ditafsirkannya. Hal ini memanglah wajar, karena Al-Razi adalah salah satu ulama’ tafsir yang sangat
dalam ilmunya dalam balaghah dan mantiq. Beliau tidak pernah melewatkan permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan gramatika dan sastra.72
Ibn ‘Arabi (Ta’wil Sufi)
Kelanjutan khazanah penakwilan al-Qur’an dalam tradisi ahl as-Sunnah, terdapat tradisi ta’wil
dengan model interpretasi sufistik, yang terejawantahkan dalam sosok Ibn ‘Arabi (W. 638 H.). Ta’wil
sufistik sebagaimana dipraktikan Ibn ‘Arabi> merupakan penyingkapan makna-makna batin yang
69
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, I:3-15.
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, I:3-15.
71
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, IX:138-139
72
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, I:3-15.
70
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 95
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
tak terbatas dari dalam teks. Sebagai simbol, al-Qur’a>n tidak mungkin ditafsirkan sekali jadi untuk
semua situasi dan kondisi. Al-Qur’a>n merupakan lautan makna yang terbuka lebar bagi eksplorasi
penafsiran yang tidak mengenal batas.73
Dalam
hal
penafsiran
al-Qur’an,
Ibn
‘Arabi
seringkali
menyatakan
bahwa
Tuhan
menyingkapkan tabir rahasia makna-makna suatu teks al-Qur’an kepada seorang gnostis yang
tidak pernah dilakukan-Nya kepada yang lain, dan “penyingkapan—kasyf” dapat dipercaya selama
tidak berseberangan atau bertentangan dengan makna literal. Semua itu merupakan penafsiran
terhadap ayat-ayat yang dapat memperluas pemahaman kita terhadap penyingkapan diri Realitas
ke-Tuhan-an. Sehingga yang diperoleh adalah sebuah penafsiran yang membawa kita mengetahui
makna batin al-Qur’an. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa hati merupakan sumber
pengetahuan selain indera dan akal. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari hati dalam perspektif
epistemologi Islam disebut dengan pengetahuan ‘irfani atau metode intuitif dalam bahasa
Mulyadhi Kartanegara.74
Bagi seorang sufi, setiap ayat dalam al-Qur’an mempunyai makna za>hir dan makna batin. Ibn
‘Arabi menegaskan dengan menyatakan secara berulang-ulang bahwa ilmu yang diperolehnya
melalui “pembukaan atau ketersingkapan” bertumpu pada makna al-Qur’an. Bahkan karya
monumentalnya, al-Futuhat al-Makkiyyah menegaskan bahwa argumentasi tidak berarti apapun
jika tanpa (didasarkan pada) penafsiran al-Qur’an.75 Multiplisitas makna (ihtimal a-ma’na)
merupakan bentuk yang umum ditemukan dalam model interpretasi sufistik. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa interpretasi simbolik merupakan pemaknaan yang bergerak dari batin ke zahir,
yang merepresentasikan aktualisasi tak habishabisnya dari ketidak-terbatasan kalam Tuhan (infinite
potensial of the Quran). Kehadiran Tuhan yang tak terbatas (infinite presence) adalah hal yang
menyebabkan ketidak-terbatasan makna teks al-Quran.76
Agar dapat memasuki kesemestaan alam pikiran Ibn ‘Arabi dalam memahami atau menafsirkan
al-Qur’an, menurut Chittick, pertama-pertama yang harus dilakukan adalah membuang segala
bentuk pra-konsepsi tentang bagaimana sebuah teks mesti dipahami. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi,
(ajaran) al-Qur’an bersifat konkret, pengejawantahan linguistis Yang Maha Wujud, Tuhan itu sendiri.
Pada saat yang bersamaan, firman yang terwahyukan tersebut diwarnai dengan kasih (rahmah) dan
bimbingan (hida>yah).77 Firman Tuhan melalui ayatnya merupakan petunjuk, seperti halnya dengan
Henry Corbin, Creative Imagination in The Sufism of Ibn ‘Arabi ( New York: Routledge, 2008), 25-43.
A. Khudori Sholeh “M. Abid Al-Jabiri: Model Epitemologi Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer
(Yogyakarta: Jendela, 2003), 230-255.
75
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn ‘Arabî’s Metaphysics of Imagination (New York: University
New York Press, 1989), xv.
76
Ian Almond, Sufism and Deconstruction: a Comparative Study of Derrida and Ibn ‘Arabi (New York: Routledge,
2004), 63-76.
77
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, xv.
73
74
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 96
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
alam semesta, yang melalui ayat-ayat-Nya segala sesuatu yang ada merupakan manifestasi-Nya.
Ibn ‘Arabi> berpegang pada kenyataan bahwa kata ayah (tanda kekuasaan Allah) dalam al-Qur’an
digunakan untuk menunjuk pada sesuatu, baik ayat-ayat (yang termaktub) di dalam Kitab Suci
maupun fenomena yang dapat dijumpai dalam kosmos.78 Jadi, tanda-tanda kekuasaan-Nya
terejawantahkan dalam berbagai wujud yang Dia wujudkan. Maka, model interpretasi sufistik pada
dasarnya tidak memiliki metodologi tafsir secara teoritis. Ketika melakukan interpretasi, seorang
sufi lebih mengandalkan inspirasi mistis (mystical ideas), yang bertumpu pada asosiasi kesatuan
moral, literal, spiritual dan simbol maknawi.79
Ibn ‘Arabi tidak menolak makna literal dan makna zahir. Ia berbeda dengan para sufi dalam
tafsir sufinya yang menolak makna zahir
dan hanya menerima makna batin
ayat. Dengan
demikian, dapatlah diketahui, landasan utama yang digunakan Ibn ‘Arabi dalam menafsirkan alQur’an tampaknya sangat sederhana namun unik, karena ia tidak membatasi diri terhadap apa
yang tersurat dan interpretasi-interpretasi artifisial. Bagi Ibn ‘Arabi, Tuhan mengungkapkan setiap
makna yang dapat dipahami oleh setiap pengucap bahasa melalui pengertian literal suatu teks
(ayat).80 Dialah Tuhan yang telah menciptakan para pengucap bahasa, menjadikan bahasa
mewujud, dan mewahyukan al-Qur’an.
Dalam tradisi sufistik, keterpaduan eksoterisme-esoterisme dalam interpretasi al-Qur’a>n
maupun aplikasi amalan merupakan kenyataan yang susah diingkari. Tentang hermeneutika
sufistik, Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa makna-makna spiritual bukan merupakan makna tambahan
yang bersumber dari luar, namun merupakan makna yang secara inherent terkandung di dalam
setiap kata literal.81 Dalam tataran praksis-aplikatif, Ibn ‘Arabi> menegaskan, hukum syariat mutlak
menjadi kriteria bagi keberhasilan perjalanan spiritual seseorang.82 Tidak ada satu pun fase
perjalanan spiritual yang di dalamnya seorang sufi mendapat legalitas untuk melanggar atau
menyimpang dari hukum-hukum al-Qur’an dan al-Hadith.83
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan, bahwa metode tafsir Ibn ‘Arabi dalam memahami
al-Qur’an melalui penyingkapan (mukasyafah), yang di dalamnya juga terdapat unsur-unsur
falsafinya. Ibn ‘Arabi yang banyak dikategorikan sebagai sufi-falsafi, memegang prinsip tekstualitas
78
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 246.
Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam (Berlin and New York: De Gruyter, 1980),
136-142; Gerhard Bowering, “The Light Verse: Qur’anic Text and Sufi Interpretation,” dalam Jurnal Oriens, Vol. 36
(2001), 19
80
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, xvi.
81
Syed Rizwan Zamir, “Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an: The Hermeneutics of Imitation and “Adab” in Ibn ‘Arabi’s
Interpretation of the Qur’an,” dalam Jurnal Islamic Studies, Vol. 50, No. 1 (2011), 9-11.
82
Nuraisah Sutan Harahap, Meraih Hakikat Melalui Syariat; Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi (Bandung:
Mizan, 2005), 85.
83
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 271-272.
79
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 97
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
yang ketat dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Pendekatan literal ini kemudian membuat Ibn
‘Arabi> sangat terikat dan ketat dalam menjalankan hukum-hukum dan tunutan-tunutan preskriptif
al-Qur’an.84 Bagi kaum sufi, syariat sebagai representasi eksoterisme Islam adalah sama pentingnya
dengan hakikat dalam membentuk totalitas penghambaan. Karakteristik tafsir yang demikian itu
memang menguatkan asumsi banyak pengkaji spiritualitas Islam selama ini, yakni sebagai seorang
sufi sekaligus filsuf muslim, Ibn ‘Arabi mempunyai corak pemikiran yang khas yang tidak semua
kaum sufi memilikinya.
As-Syatibi, al-Muwafaqat (Ta’wil Ushuli)
Kelahiran as-Syatibi (w. 790 H) menndakan keberlansungan keilmuan ta’wil di kalangan ahl asSunnah. Kelahiran ulama’ Granada Sepanyol ini menandakan adanya pengembangan keilmuan
Islam yang pesat, terutama dalam kemajuan ilmu hokum Islam (Ushul al-Fiqh). Codoba tentu saja
selain tokoh Sunni yang ahli dalam bidang tafsir, kelahiran Cordoba, Sepanyol yakni al-Qurthubi
dengan karya besarnya, Tafsir Ahkam al-Qur’an.
Kelahiran as-Syatibi dengan karyanya al-Muwafaqat telah menampakkan pandangan
progressif seorang teolog Sunni dalam memahami al-Qur’an. Dalam dua karyanya,
al-Jabiri
menjelaskan model studi Islam klasik. Dengan argumentasi yang apik dan sistematis, Al-Jabiri
sampai pada kesimpulan bahwa sistem dan struktur epistemologi ilmu-ilmu naqli dan aqli tidak
lepas dari model nalar bayani, burhani dan juga model nalar ‘irfani. As-Syatibi -menurut al-Jabiritelah berhasil mengalihkan studi ushul al-fiqh dari al-mumasilat al-qiyasiyah al-zanniyah (praktek
prinsip persamaan dalam qiyas yang bersifat relatif) dalam kerangka epistemologi bayani menjadi
al-mumarasat al-istidlaliyah al-qath’iyyah (praktek inferensial yang bersifat mutlak ) dalam
kerangka epistemologi burhani. Hal ini menegaskan posisi as-Syatibi -bagi al-Jabiri- sebagai
sebuah peralihan intelektual keislaman yang luar biasa.
Dalam kaitannya dengan penakwilan al-Qur’an, As-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat
mencatat terdapat empat aliran besar dalam pola pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan hadis,
Yaitu: pertama, zhahiriyyah, mazhab fiqih yang berlandaskan pada Al-Qur’an, sunnah dan ijmâ`,
tetapi menolak intervensi akal dalam bentuk qiyas, ta`lil, istihsan dan lain sebagainya. Zhahiriyyah
terambil dari nama tokoh panutannya, Daud bin Ali al-Zhahiriy. Dalam memahami teks keagamaan
zhahiriyyah berpegangan kepada tiga prinsip dasar : (1) berpegang teguh pada lahiriah teks. (2)
Maksud teks yang sebenarnya terletak pada yang zhahir, bukan di balik teks. (3) Mencari sebab di
balik penetapan syariat adalah sebuah kekeliruan.
84
Nurasiah Sutan Harahap, Meraih Hakikat, 100-108.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 98
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Kedua, batiniyyah, kelompok yang meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada
dua sisi dalam syariat; zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedang yang batin
hanya diketahui oleh Imam. Kelompok ini muncul pertama kali pada masa al-Ma`mun (w 218),
salah seorang penguasa Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu`tashim (w 227). Dalam
memahami teks-teks keagamaan
ada dua pola pemaknaan yang digunakan; (1) maksud dari
sebuah teks bukan pada makna zhahir tetapi terletak pada makna di balik simbol zhahirnya. (2)
mengkultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks.85
Ketiga, al-muta`ammiqûn fi al-qiyas (rasionalis dan cenderung liberal).
Sebagian ulama
menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w 716 H) yang dikenal dengan
teori maslahat yang dipahaminya sebagai sebab yang dapat mengantarkan kepada tujuan syariat
Allah dalam ibadah (al-`ibadat) dan mu`amalah (al-mu`amalat). al-Thufi sebagai tokoh ushul fiqh
liberative menjelaskan hubungan antara maslahat dan nash (dalil syar`i) dengan pola pemahaman
yang berkisar pada tigal hal; (1) Dalil syar`i sejalan dengan maslahat. (2) Jika tidak sejalan tetapi
memungkinkan untuk dikompromikan melalui takhshish atau taqyid maka keduanya dapat
digunakan dalam batas-batas tertentu. (3) Jika terjadi benturan antara maslahat dan nash dan tidak
bisa dikompromikan, maka maslahat harus dikedepankan dan nash ditinggalkan.86 Kelompok
terakhir, keempat adalah al-rasikhan fi al-‘ilm (mendalam ilmunya dan moderat).87 As-Syatibi dalam
al-Muwafaqat memahami pernyataan-pernyataan al Qur’an tidak cukup hanya dengan mengerti
makna lahiriahnya saja tetapi harus juga memahami konteks yang menyertainya maupun konteks
di luarnya yang disebutnya sebagai “muqtadayat al-ahwal”.
Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan mashlahat atau maksud di balik teks
berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam
menyikapi persoalan. Sebaliknya terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada
upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariat. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak
dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan
perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. As-Syatibi
menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al-`ilm)88,
sedangkan al-Qaradhawi menyebutnya dengan manhaj wasathiy (metode tengahan-moderat).
Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur’an dan hadis.
85
Abu Ishaq Ibrahm bin Musa Asy-Syathibi, al-I`tisham, (Riyadh : Maktabat al-Riyâdh, t.th.), I:331.
Ahmad Abdurrahim al-Saih, Risalah fi Ri’ayat al-Mashlahah li al-Imam al-Thufi (Kairo : Dar al-Mashriyyah, 1993),
39-56.
87
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah, (Makkah; Tawzi Abbas Ahmad,
1975), II:394.
88
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, II:391.
86
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 99
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Menawarkan
jalan
tengah
ini,
as-Syatibi
melahirkan
teori
al-Maqashid.
Teori
pemaknaan/penakwilan tang berdiri atas dua asas, pertama, kausasai atau enumerasi syari’ah (ta’lil)
dengan menarik mashlahah dan menolak mafsadah. Kedua, produk induksi menjadi dasar ijtihad
terhadap kasus-kasus yang belum tersentuh oleh nash dan qiyas. Dengan demikian, as-Syatibi
menawarkan ushul al-fiqh model penalaran baru. Bagi as-Syatibi, al-ushul atau kaidah-kaidah
fundamental pengembangan hukum Islam terfokus pada kulliyat al-syari’ah yang meliputi
daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Ketiga tingkatan al-masalih yang menjadi kulliyat al-syari’ah ini
bersifat qath’i karena beberapa alasan: pertama, sebagian kulliyat mengacu kepada prinsip rasional
(ushul aqliyah); kedua, kulliyat itu merupakan hasil dari induktif secara menyeluruh (istiqra’ al-kulli)
dari dalil-dalil syari’ah dan dalam melahirkan pengetahuan yang selalu pasti (al-ma’rifah alyaqiniyah). Ketiga, perpaduan antara prinsip rasional dan induksi menyeluruh yang bersifat qath’i
tersebut melahirkan kaidah yang qath’i pula.89
Menurut as-Syatibi, ketidakmengertian pembaca tentang konteks dari sebuah pernyataan akan
melahirkan kesalahpahaman dan kesulitan-kesulitan tersendiri bahkan juga bisa menimbulkan
konflik. Analisis konteks ini dimaksudkan sebagai cara atau usaha manusia untuk dapat memahami
maksud utama sebuah pernyataan (khitab). As-Syatibi menyebutnya sebagai maqasid al-Syari'ah
dan ini berarti kemaslahatan manusia. Para ulama klasik dengan pandangan dan pikirannya yang
berbeda-beda sesungguhnya juga tidak lepas dari tanggungjawabnya mewujudkan tujuan tersebut
melalui cara menafsirkan atau mentakwilkan teks-teks suci yang juga dilakukan secara berbedabeda.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa ta'wil harus berdasarkan dengan dalil
(qarinah) yang kuat, karena merupakan syarat utama sebagai ta'wil yang shahih, jika tidak
berdasarkan pada dalil yang shahih maka ta'wil tersebut adalah ta'wil batil dan mengikuti hawa
nafsu. Selain itu, sebelum melakukan ta'wil seorang muawwil juga harus memperhatikan makna
zhahir lafazh terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu. Hal ini dikuatkan oleh pendapat AzZarkasyi bahwa "La mathmaha fi al-wushul ila al-bathin qabla ihkam al-zhahir", tidak ada harapan
sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zhahirnya.90 Dalam masalah ini, para
ulama suhuliyun telah meletakkan kaidah-kaidah ta'wil dan as-Syatibi juga mengemukakan
demikian dalam al-Muwafaqat nya. Di antaranya sebagai berikut;
1. Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang diambil
adalah yang shahih dan tidak ada ta'wil. Seperti antara QS.An-Nisa': 2 dan ayat 6. Pada ayat
yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim (mutlak), yaitu orang
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, 1/29-30. Ahmad Al-Raisuni, Nazariyat al-Maqashid ‘inda Al-Imam Syatibi, (Riyadh :
Dar al-‘Ilmiah, 1992), 143.
90
Jalaluddin Abd ar-Rahman As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2010), 758.
89
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 100
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini
bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah untuk memberikan harta anak
yatim ketika sudah usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita'wil dengan
mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada makna majazi.91
2. Ta'wil tidak boleh menggugurkan nash syar'i lainnya, karena ta'wil merupakan salah satu
metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni tidak bisa
mengalahkan nash yang bersifat qath'iy. Seperti QS. Al-Maidah: 6 (س ُحوا ِب ُر ُءو ِس ُك ْم َوأ َ ْر ُجلَ ُك ْم إِلَى ْال َك ْع َبي ِْن
َ )وا ْم
َ
kemudian dibaca kasrah ( )أ َ ْر ُج ِل ُك ْمoleh kalangan Syi'ah, mereka memilih kasrah bukan fathah
dengan alasan athaf. Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya)
mengusap kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada dua hal;
pertama, menggugurkan hadith-hadith shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki.
Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid) pada
mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.92
3. Lafadz yang ingin dita'wil adalah lafadz ambigu dan bisa dita'wil.93 Menurut kalangan Hanafiyah,
lafazh yang ingin dita'wil harus lafazh nash dan zhahir. Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum
yang dapat dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid),
atau lafazh bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna metaforis (majazi), dan
sebagainya. Maka, jika ta'wil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.94
4. Ta'wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan pada dalil
yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari pada makna zhahir.95 Misalkan
mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshish), atau memberikan
batasan (taqyid) pada nash mutlak berdasarkan dalil yang memberikan batasan (mentaqyid).
Maka, ta'wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah (marjuh), atau sederajat
kekuatannya (musawi) dengan lafazh yang dita'wil, tidak diterima.
5. Orang yang hendak melakukan ta'wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmuilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar'i. Orang yang tidak memiliki kualifikasi tersebut dilarang
melakukannya karena akan terjatuh pada perbuatan yang dilarang yaitu mengucapkan sesuatu
tanpa ilmu. (QS. Al-Isra': 36).
6. Ta'wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar'i, atau makna urf
(kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS. Al-Baqarah: 228) dengan arti haid atau
91
Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Tesis Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah, Palestina,
2007, 39.
92
Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, 39-40.
93
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, III:330
94
Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, 36.
95
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, III:331.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 101
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
suci adalah ta'wil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru`. Ta'wil yang tidak
sesuai makna bahasa, syar'i, atau urf, tidak diterima.96
7. Jika ta'wil dengan qiyas maka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama Syafi'iyah.97
Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi perbedaan
(i'tibar al-fariq) antara far' dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki (al-'abd) dengan
hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum perbudakan. Sedangkan qiyas khafiy, masih
dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak adanya sisi perbedaan (i'tibar al-fariq) antara far' dan
ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamr ketika diminum dalam jumlah yang sedikit.
Karena mungkin khamr memiliki kelebihan (lebih keras) bila dibandingkan dengan anggur.98
Selain menetapkan aturan dalam menta'wil, dalam kajian al-Qur’an, para ulama juga
menetapkan beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat AlQur'an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi seorang mujtahid dan
mufassir; (a) mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur'an terutama ayat-ayat hukum, (b)
mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum ,membedakan mana yang shahih dan mana yang
dhaif, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma', dan perbedaan pendapat, (c) mengusai
ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad. (d) mengusai bahasa Arab (ushlub al-‘qrabiyah) dengan baik,
(e) mengetahui maqashid shari'ah dengan baik, dan beraqidah yang lurus, terpercaya, dan wara'.99
Kesimpulan
Sebagai metode penafsiran, dalam diskursus Islam klasik sejatinya sudah banyak berkembang
teori-teori dalam memahami atau menafsirkan teks-teks al-Qur’an, hadits atau sumber lainnya
yang sering dikenal dengan tafsir-ta’wil sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Qutaybah, alGhazali, ‘Ibn ‘Arabi, al-Sya>t}ibi dan al-Razi serta pakar klasik lainnya. Dalam kerangka analisis
history of idea, perkembangan pemikiran ta’wil al-Qur’an dalam tradisi teologis ahl as-Sunnah
dapat di lihat sebagai sebuah perkembangan pemikiran dengan beragam corak berfikirnya.
Dalam kerangka analisis history of idea, perkembangan pemikiran ta’wil al-Qur’an dalam tradisi
teologis ahl as-Sunnah dapat di lihat sebagai sebuah perkembangan pemikiran dengan beragam
corak berfikirnya, atau corak/nuansa penakwilan Al-Qur’an mereka. Kelahiran Ibn Qutaybah pada
awal abad III H (207 H) dengan menulis kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an. Ibn Qutaybah mewakili
96
Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000),
II:759.
97
Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, II:759.
98
Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, 39.
99
Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, II:1027-1032. Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, 11 12.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 102
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Ulama’ Sunni yang melakukan bupaya menakwilkan al-Qur’an menggunakan pendekatan
kebahasan. Paradigma tawil yang ditawarkan oleh Ibn Qutaybah adalah paradigma ta’wil bahasa
(ta’wil al-Lughawiyyin an-Nahwiyin).
Kelahiran imam al-Ghazali pada perebgahan abad kelima sampai abad enam awal (450-505 H)
menandai fase perkembangan model penakwilan al-Qur’an dalam tradisi ahl as-Sunnah, fase
peralihan dari masa salaf menuju khalaf. Melalui karyanya Qanun at-Ta’wil, cora pemikiran
penakwilan yang diuratakan bercorak Ta’wil Teologis. Ada banyak perdebatan teologis dan
persoalan pengkafiran (takfir) dalam sekte keislaman yang menngambil sembarangan ayat alQur’an lalu menakwilkan sesuai kebutuhan mereka. Maka, al-Ghazali menuis Qanun at-Ta’wil
(aturan-aturan penafsiran) untuk mengatasi peroalan penakwilan yang dilakukan secara
sembarangan.
Fase perlembangan diskursus ta’wil ahl as-Sunnah ditandai dengan kelaihran ulama’ raionalis
baru bagi ahl as-Sunnah, yakni
Fakhruddin al-Razi (544-605H). Ia dikenal dnegan master of
Qur’anic Reasioning, dengan menulis tafsir Mafatih a-Ghaib. Tafsir Mafatih al-Ghaib sendiri dapat
dikategorikan sebagai al-tafsir al-‘ashri al-‘ilmi al-i’tiqadi al-falsafi. Corak pemikiran ta’wil al-Qur’an
ar-Razi adalah ta’wil falsafi. Ar-Razi menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk mengetahui.
Manusia diajak untuk berpikir (tafakkur) dan merenungi (ta’ammul) untuk mengetahui hakikat
sesuatu.
Kelanjutan khazanah penakwilan al-Qur’an dalam tradisi ahl as-Sunnah, terdapat tradisi ta’wil
dengan model interpretasi sufistik, yang terejawantahkan dalam sosok Ibn ‘Arabi (W. 638 H.), yang
menulis, al-Futuhat al-Makkiyyah. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa
menyingkapkan tabir rahasia makna-makna suatu teks al-Qur’an, kasyf dapat dipercaya selama
tidak berseberangan atau bertentangan dengan makna literal. Ibn ‘Arabi muncul dengan ta’wil alQur’an model Ilmu pengetahuan yang bersumber dari hati, pengetahuan ‘irfani atau metode
intuitif. Kelahiran asy-Syatibi (w. 790 H) menndakan keberlansungan keilmuan ta’wil di kalangan ahl
as-Sunnah, dengan menuis kitab al-Muwafaqat , asy-Syatibi menawarkan paradigma Ta’wil Ushuli.
Bagi asy-Styatibi, ta’wil mesti dilakukan oleh al-rasikhan fi al-‘ilm (kelompok yang mendalam
ilmunya dan moderat). Dalam al-Muwafaqat, asy-Syathibi menegaskan bahwa dalam memahami
pernyataan-pernyataan al Qur’an tidak cukup hanya dengan mengerti makna lahiriah nya saja
tetapi harus juga memahami konteks yang menyertainya maupun konteks di luarnya yang
disebutnya sebagai “muqtadayat al-ahwal”.
Daftar Pustaka
‘Abd as-Salam. “Ihtimalat ad-Dilalah fi an-Nuus al-Qur’aniyah”, dalam Journal of Qur’anic Studies.
vol. 2. No. 2, 2000.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 103
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Abdullah, Amin. Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
___. Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, Yoyakarta, LPPI, 2000.
___. Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2006.
___. “Mempertautkan Ulum al-Diin. Al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan
Keilmuan Islam untuk Peradaban Global”, dalam Marwan Saridjo (ed.), Mereka Bicara
Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2009.
Ahmed, Ziauddin “A Survey of the Development of Theology in Islam,” dalam jurnal Islamic Studies,
Vol. 11, No. 2, (June, 1972).
Almond, Ian. Sufism and Deconstruction: a Comparative Study of Derrida and Ibn ‘Arabi. New York:
Routledge, 2004.
al-‘Akk, Khalid Abd al-Rahman. Ushul at-Tafsir wa Qawa‘iduhu. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1986.
al-Asfahani, Abu al-Qasim ar-Raghib. al-Mufaradat fi Gharib al-Qur’an, Kairo: Mustafa al-Halabi,
1961.
al-Awa’, Adil “Bathin –Zhahir”,dalam Ma’an Ziyadah, (Ed.), Al-Maushu’ah Al-Falsafiyyah Al-
Arabiyyah, Saudi Arabia: Ma’had Al-Inna’ Al-‘Arabi, 1986.
Arkoun, Mohammed Berbagai Pembacaan al-Qur’an, Terj. Machasin. Jakarta: INIS, 1997
Bowering, Gerhard. The Mystical Vision of Existence in Classical Islam. Berlin and New York: De
Gruyter, 1980.
___. “The Light Verse: Qur’anic Text and Sufi Interpretation,” dalam Jurnal Oriens, Vol. 36
(2001).
Chaudari, Tahir. “Tafsir Literature: its Origin and Development, dalam N. K. Singh dan A. R. Agwan
(ed.), Encyclopaedia of the Holy Qur’an,. Delhi: Global Vision Publishing House, 2000.
Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn ‘Arabî’s Metaphysics of Imagination. New York:
University New York Press, 1989.
Collingwood, R.G. The Idea of History Oxford: Oxford Uniuversity Press, 1956.
Corbin, Henry. Creative Imagination in The Sufism of Ibn ‘Arabi. New York: Routledge, 2008
ad-Dinawari, Abu Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaybah. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis. Pntq.
Muhammad Zuhri al-Bukha>ri. Mesir: Maktabah Kulliyah al-Azhariyyah, t.t.
. Ta’wil Musykil al-Qur’an. Mesir: Dar at-Turas, 1973.
. al-Masail wa al-Ajwabah fi al-Hadis wa at-Tafsir. Pntq. Marwan al-‘Atiyyah. Beirut: Da>r Ibn
Kasir, 1990.
Al-Faisan, Yusuf bin Abdullah. Ikhtilaf al-Mufassirin Asbabuhu wa Atharuhu. Riyad: Dar al-Shibiliya,
1997.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad, Qanun al-Ta’wil, Damaskus: Dar al-Bayan,
1993.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 104
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad, Iljam al-‘Awam ‘an Ilm al-Kalam. Beirut: Dar alFikr, 1996
Gilliot, Claude. “Exegesis of the Qur’a>n: Classical and Medieval”, dalam Jane Dammen McAuliffe
(ed.) Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: Brill, 2002. Vol. II.
Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina,
1995.
Harahap, Nuraisah Sutan. Meraih Hakikat Melalui Syariat; Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn
‘Arabi. Bandung: Mizan, 2005.
Hashush, Hajir Dawir. “Qanun al-Ta’wil bayn al-Ghazali wa Ibn Rushd,” dalam Majallah Kuliyyah al-
Tarbiyyah al-Asasiyah, Vol. 19, No. 81.
Ibn ‘Arabi, Tarjuman al-Asywaq. Beirut: Dar Sadir, 2003.
Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika NasrAbu Zayd,
Jakarta: Teraju, 2003.
Imarah, Muhammad. Hadza Huwa al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa
Ta’wil al-Islami. Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dualiyyah, 2006.
Ismail, Sya’ban Muhammad. al-Madkhal Li al-Dirasat al-Sunnah Wa al-‘Ulum al-Islamiyah. Kairo:
Dar al-Ansar. t.t.
al-Jiliyand, Muhammad al-Sayyid. al-Imam Ibn Taymiyah wa Qadiyyah al-Ta’wil. Riyad: Maktabah
Ukaz, 1983.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Kermani, Navid. “From Revelation to Interpretation; Nash Hamid Abu Zayd and The Literary Study
of The Qur’an”, dalam Suha Taji-Farouki (ed.). Modern Muslim Intellectuals an the Qur’an.
London: Oxford University Press, 2004.
al-Mirzanah, Syafa’atun dan Sahiron Syamsuddin. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam.
Yogyakarta, Lemlit UIN SuKa. 2011.
McAuliffe, Jane Dammen. “Text anda Textuality: Q.S 3:7 as a point of Interpretation” dalam Issa J.
Boulatta (ed.). Literary Structures of Religous Meaning in The Qur’an. Richmond: Curzon
press, 2000.
Mustaqim, Abdul. Madzhab Tafsir. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. London: George Allen, 1975.
al-Nasirat, Jihad Muhammad. ”al-Tafsir al-Muqarin; Ishkaliyyah al-Mafhum,” dalam Jurnal Silsilah al-
‘Ulum al-Insaniyyah wa al-Ijtima’iyyah, Vol. 30 No. 1 (2015).
Rahman, Fazlur Islam . Terj. Senoaji Saleh, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Ar-Razi, Fakhr al-Din. Al Tafsir Al- Kabir Aw Mafatih Al-Ghaib. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 2009.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 105
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
Ibn Rushd, Abu al-Walid. Fasl al-Maqal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Shari’ah min al-Ittisal, Kairo: Dar
al-Ma’arif, tt..
Al-Raisuni, Ahmad. Nazariyat al-Maqashid ‘inda Al-Imam Syatibi. Riyadh : Dar al-‘Ilmiah, 1992.
Saeed, Abdullah. Pemikiran Islam Sebuah Pengantar, Terj. Sahiron Samsuddin (ed.). Yogyakarta:
Baitul Hikmah Press, 2014.
___. “Some Reflection on the Contextualist Approach to Ethico-Legal Text of the Qur’an,”
dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies University of London, Vol. 71,
No. 2 (2008).
al-Saih, Ahmad Abdurrahim. Risalah fi Ri`ayat al-Mashlahah li al-Imam al-Thufi. Kairo : Dar alMashriyyah, 1993
Shatat, Kan'an Musthafa Sa'id. At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Tesis Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah,
Palestina, 2007.
Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsaq Press, 2006.
Sholeh, A. Khudori. “M. Abid Al-Jabiri: Model Epitemologi Islam”, dalam Pemikiran Islam
Kontemporer. Yogyakarta: Jendela, 2003.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Ciputat: Lentera Hati, 2013
as-Suyuti, Jalaluddin Abd ar-Rahman. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,
2010.
Syahrur, Muhammad. Sunnah al-Rasuliyah wa Sunnah al Nabawiyah., Bairut: Dar al-Saq, 2012.
Asy-Syaukani, Muhammad 'Ali. Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul. Riyadh: Dar AlFadhilah, 2000.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren
Nawasea Press. 2009.
___. “Muhkam and Mutasha bih: An Analitycal Study of al-Thabari’s and al-Zamakhshari’s
Interpretations”, dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 1, No. 9. (2013)
Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syarî`ah. Makkah ; Tawzi Abbas
Ahmad al-Baz, 1975.
___., al-I`tisham, Riyadh : Maktabat al-Riyadh, t.th.
Tabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1992.
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1990.
Wansbrough, John. Qur'anic Studies: Sources and Methods Scriptural Interpretation. Oxford: Oxford
University Press, 1977.
Wathani, Syamsul. “Konstruksi Ta’wil Al-Qur’an Ibn Qutaybah : Telaah Hermeneutis-Epistemologis”,
Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 106
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani
Vol. 01, No. 02, Desember 2020
Wathani (2020), Historisitas Tradisi Ta’wil………….. | Al Irfani | 77-106 |
___. “Tradisi Akademik dalam Khalaqah Tafsir: Orientasi Semantik al-Qur’an Klasik dalam
Diskursus Hermeneutik” dalam Jurnal Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016.
Wijaya, Aksin. Nalar Kritis Epistemologi Islam: Membincang Dialog Kritis Para Kritikus Muslim: Al-
Ghazali, Ibnu Rusyd, Thaha Husein dan Abid Al-Jabiri, Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012.
Whittingham, Martin. al-Ghazali and the Qur’an; One Book Many Meanings. New York: Routlede
Taylor and Francis Group, 2007.
Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1976.
Zahwu, Muhammad Abu. al-Hadis wa al-Muhaddisun. Riyadh: al-Malakah al-‘Arabiyah, 1984.
az-Zarkasyi, Badruddin Abi ‘Abdillah Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdillah. al-Burhan fi ‘Ulum al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007.
Zamir, Syed Rizwan. “Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an: The Hermeneutics of Imitation and “Adab” in Ibn
‘Arabi’s Interpretation of the Qur’an,” dalam Jurnal Islamic Studies, Vol. 50, No. 1 (2011)
az-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azim Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al‘Arabi, 1995.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Mafhum an-Nass: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Markaz ast-Tsaqafi al‘Arabi, 1998.
. shkaliyyah al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, Maroko: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 2007.
. al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasatan fi Qadiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘inda al-Mu‘tazilah.
Maroko: al-Markaz al-Taqafi Al-‘Arabi, 2007.
e-ISSN 2746-1025 |p-ISSN 2088-6829 | h. 107
homepage journal: https://journal.staidk.ac.id/index.php/irfani