AGAMA NEGARA DAN NEGARA AGAMA
DEWASA INI
NEGARA AGAMA DEWASA INI
Negara yang secara eksplisit mengakui agama tertentu dalam konstitusinya atau dalam undang-undang dan dalam praktik pemerintahan sehari-hari dewasa ini dapat dikatakan cukup banyak jumlahnya. Dari 193 negara anggota PBB, terdapat 74 negara (38,34%) yang secara eksplisit menyatakan mengakui agama tertentu, di samping Tahta Suci Vatikan sebagai non-state UN member sebagai permanent observer di PBB. Agama yang diakui di ke-74 negara tersebut adalah:
Agama Kristen diakui di 41 negara; = 55,41%
Agama Islam diakui di 23 negara; = 31,08%
Agama Buddha diakui di 8 negara; = 10,81%
Agama Hindu di 1 negara saja, yaitu Nepal; = 1,35%
Agama Yahudi di 1 negara saja, yaitu Israel. = 1,35%
Bahkan, di Inggeris, sampai sekarang masih terdapat pengaturan tentang hak khusus perwakilan agama Anglikan Inggeris dan Presbyterian Skotlandia untuk mendapatkan jatah 26 orang anggota di House of Lords, masing-masing 13 orang. Demikian pula di wilayah otonom Alsace-Moselle, Perancis yang dikenal sebagai negara yang sangat sekularistik, masih memberlakukan sisa-sisa Napoleon Concordat 1801 yang memberikan status khusus kepada agama “Judaism, Roman Catholicism, Lutheranism dan Calvinism” dalam pemerintahan Alsace-Moselle sampai sekarang (tidak berubah oleh UU Tahun 1905, karena baru kembali menjadi wilayah Perancis dari Jerman sesudah PD II). Misalnya, Artikel 75 Konstitusi Costa Rica menegaskan: “The Catholic and Apostolic Religion is the religion of the State, which contributes to its maintenance, without preventing the free exercise in the Republic of other forms of worship that are not opposed to universal morality or good customs”; Article 2 Konstitusi Malta menyatakan “Agama Malta adalah Katolik dan Agama Apostolik”; Artikel 2 Konstitusi Argentina menyatakan, “the government supports the Roman Catholic Apostolic Faith, but the constitution does not establish a state religion”. Bahkan Sebelum tahun 1994, Konstitusi Argentina menegaskan bahwa “President of the Republic harus seorang penganut Roman Catholic”. Konstitusi Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark juga menegaskan status gereja negara (established church), seperti section 4 Konstitusi Denmark menyatakan bahwa “the Church of Denmark as the established church”.
Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok 74 negara di atas, karena Indonesia adalah negara Pancasila yang mengakui semua agama yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Namun, negara berkepentingan agar semua warganegara berketuhanan Yang Maha Esa dan beragama sesuai dengan keyakinannya masing-masing dalam rangka memastikan kualitas dan integritasnya sebagai warga bangsa. Karena itu, tidak perlu ragu bagi setiap agama, apalagi Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia untuk menyumbangkan nilai-nilai kebaikan menjadi sumber inspirasi dalam rangka perumusan kebijakan pemerintahan negara yang dituangkan dalam bentuk hukum tertentu berupa produk regulasi, produk administrasi, produk ajudikasi, atau produr hukum lainnya.
Sebaliknya, di dunia, terdapat lebih dari 193-74= 119 negara (61,66%) yang mengakui adanya agama negara atau agama yang diberikan perlakuan khusus oleh negara. Semua negara tersebut bahkan tidak menyebut kata Tuhan dan agama sama sekali dalam teks konstitusinya. Inilah yang dinamakan sebagai “Godless Constitution in the world”. Namun, meskipun Indonesia tidak memberikan pengakuan khusus kepada salah 1 agama, tetapi UUD NRI TAHUN 1945 justru merupakan “the most-Godly Constitution in the world”. Di dalamnya paling banyak disebut kata yang terkait dengan Tuhan dan Agama, yaitu mencapai 20 kata. Kata “Allah” 2x, “Ketuhanan Yang Maha Esa” 2x, kata “moral” 1x, kata “akhlak mulia” 1x, dan kata “agama” sebanyak 14x.
KONSEP KLASIK TENTANG TEOKRASI
Teokrasi Absolut = (i) Raja + Tuhan, (ii) Titisan Tuhan, (iii) Wakil Tuhan, atau (iv) Utusan Tuhan.
Status agama = (i) disebut sebagai agama negara dalam konstitusi; (ii) agama tertentu disebut eksplisit dengan pengakuan dan diberi perlakuan khusus oleh negara, sedangkan agama lain yang juga banyak dianut tidak disebut; (iii) agama tertentu
AGAMA KRISTEN (KATOLIK, PROTESTAN, ORTODOX) = 42 negara.
Christianity (Main articles: Christian state, Christian republic, Christianity and politics, Christian democracy, Christian nationalism, and Christendom)
Catholicism = 5 + 11 = 16
1.2.1. Jurisdictions where Catholicism has been established as a state or official religion:
1.2.1.1. Costa Rica: Article 75 of the Constitution of Costa Rica confirms that "The Catholic and Apostolic Religion is the religion of the State, which contributes to its maintenance, without preventing the free exercise in the Republic of other forms of worship that are not opposed to universal morality or good customs."[44]
1.2.1.2. Liechtenstein: The Constitution of Liechtenstein describes the Catholic Church as the state religion and enjoying "the full protection of the State". The constitution does however ensure that people of other faiths "shall be entitled to practise their creeds and to hold religious services to the extent consistent with morality and public order".[45]
1.2.1.3. Malta: Article 2 of the Constitution of Malta declares that "the religion of Malta is the Catholic and Apostolic Religion".[46]
1.2.1.4. Monaco: Article 9 of the Constitution of Monaco describes the "Catholic, and apostolic religion" as the religion of the state.[47]
1.2.1.5. Vatican City: It is an elective, theocratic (or sacerdotal), absolute monarchy ruled by the Pope, who is also the Vicar of Christ.[48] The highest state functionaries are all Catholic clergy of various national origins. It is the sovereign territory of the Holy See (Latin: Sancta Sedes) and the location of the Pope's official residence, referred to as the Apostolic Palace.
1.2.2. Jurisdictions that give various degrees of recognition in their constitutions to Roman Catholicism without establishing it as the State religion:
1.2.2.1. Andorra.[49]
1.2.2.2. Argentina: Article 2 of the Constitution of Argentina explicitly states that the government supports the Roman Catholic Apostolic Faith, but the constitution does not establish a state religion.[50] Before its 1994 amendment, the Constitution stated that the President of the Republic must be a Roman Catholic.
1.2.2.3. East Timor: While the Constitution of East Timor enshrines the principles of freedom of religion and separation of church and state in Section 45 Comma 1, it also acknowledges "the participation of the Catholic Church in the process of national liberation" in its preamble (although this has no legal value).[51]
1.2.2.4. El Salvador: Although Article 3 of the Constitution of El Salvador states that "no restrictions shall be established that are based on differences of nationality, race, sex or religion", Article 26 states that the state recognizes the Catholic Church and gives it legal preference.[52][53]
1.2.2.5. Guatemala: The Constitution of Guatemala recognises the juridical personality of the Catholic Church. Other churches, cults, entities, and associations of religious character will obtain the recognition of their juridical personality in accordance with the rules of their institution.[54]
1.2.2.6. Italy: The Constitution of Italy does not establish a state religion, but recognizes the state and the Catholic Church as "independent and sovereign, each within its own sphere".[55] The Constitution additionally reserves to the Catholic faith singular position in regard to the organization of worship, as opposed to all other confessions.[56]
1.2.2.7. Panama: The Constitution of Panama recognizes Catholicism as "the religion of the majority" of citizens but does not designate it as the official state religion.[57]
1.2.2.8. Paraguay: The Constitution of Paraguay recognizes the Catholic Church's role in the nation's historical and cultural formation.[58]
1.2.2.9. Peru: The Constitution of Peru recognizes the Catholic Church as an important element in the historical, cultural, and moral formation of Peru and lends it its cooperation.[59]
1.2.2.10. Poland.[60]
1.2.2.11. Spain: The Constitution of Spain of 1978 abolished Catholicism as the official state religion, while recognizing the role it plays in Spanish society.[61]
1.3. Eastern Orthodoxy = 5
1.3.1. Greece: The Church of Greece is recognized by the Greek Constitution as the prevailing religion in Greece[62] and is the only country in the world where Eastern Orthodoxy is clearly recognized as a state religion.[63][64] However, this provision does not give exclusivity of worship to the Church of Greece, while all other religions are recognized as equal and may be practised freely.[65]
The jurisdictions below give various degrees of recognition in their constitutions to Eastern Orthodoxy, but without establishing it as the state religion:
1.3.2. Bulgaria: In the Bulgarian Constitution, the Bulgarian Orthodox Church is recognized as the traditional religion of the Bulgarian people, but the state itself remains secular.[66]
1.3.3. Cyprus: The Constitution of Cyprus states: "The Autocephalous Greek-Orthodox Church of Cyprus shall continue to have the exclusive right of regulating and administering its own internal affairs and property in accordance with the Holy Canons and its Charter in force for the time being and the Greek Communal Chamber shall not act inconsistently with such right."[67][note 2]
1.3.4. Finland: Both the Finnish Orthodox Church and the Evangelical Lutheran Church of Finland are "national churches".[68][69]
1.3.5. Georgia: The Georgian Orthodox Church has a constitutional agreement with the state, the constitution recognising "the special role of the Apostolic Autocephalous Orthodox Church of Georgia in the history of Georgia and its independence from the state".[70] (See also Concordat of 2002)
1.4. Protestantism = 4 (Anglican) + 2 (Calvinism) + 7 (Lutheran) + 8 (mixed) = 21
The following states recognize some form of Protestantism as their state or official religion:
1.4.1. Anglicanism
The Anglican Church of England is the established church in England as well as all three of the Crown Dependencies:
1.4.1.1. England: The Church of England is the established church in England, but not in the United Kingdom as a whole.[71] It is the only established Anglican church worldwide. The Anglican Church in Wales, the Scottish Episcopal Church and the Church of Ireland are not established churches and they are independent of the Church of England. The British monarch is the titular Supreme Governor of the Church of England. The 26 most senior bishops in the Church of England are Lords Spiritual and have seats in the House of Lords of the Parliament of the United Kingdom.
1.4.1.2. Guernsey: The Church of England is the established church in the Bailiwick of Guernsey, and the leader of the Church of England in the territory is the Dean of Guernsey.[72]
1.4.1.3. Isle of Man: The Church of England is the established church on the Isle of Man. The Bishop of Sodor and Man is an ex officio member of the Legislative Council of the upper house of the Tynwald.[73]
1.4.1.4. Jersey: The Church of England is the established church in Jersey, and the leader of the church on the island is the Dean of Jersey, a non-voting member of the States of Jersey.
1.4.2. Calvinism
1.4.2.1. Scotland: The Church of Scotland is the national church of Scotland, but not the United Kingdom as a whole.[74] Whilst it is the national church, it 'is not State controlled' and the monarch is not the 'supreme governor' as in the Church of England.[74]
1.4.2.2. Tuvalu: The Church of Tuvalu is the state religion, although in practice this merely entitles it to "the privilege of performing special services on major national events".[75] The Constitution of Tuvalu guarantees freedom of religion, including the freedom to practice, the freedom to change religion, the right not to receive religious instruction at school or to attend religious ceremonies at school, and the right not to "take an oath or make an affirmation that is contrary to his religion or belief".[76]
1.4.3. Lutheranism
Jurisdictions where a Lutheran church has been fully or partially established as a state recognized religion include the Nordic countries.
1.4.3.1. Denmark: Section 4 of the Constitution of Denmark confirms the Church of Denmark as the established church.[77]
1.4.3.2. Faroe Islands: The Church of the Faroe Islands is the state church of the Faroe Islands, an autonomous administrative division within the Danish Realm.[78]
1.4.3.3. Greenland: The Church of Denmark is the state church of Greenland, an autonomous administrative division within the Danish Realm.[79]
1.4.3.4. Iceland: The Constitution of Iceland confirms the Church of Iceland as the state church of Iceland.[80]
1.4.3.5. Norway: The Church of Norway is described in the English version of the Norwegian Constitution as the "Established Church" in Article 16.[81] The Norwegian translation uses the term folkekirke or "people's church" which is the same term used for the Church of Denmark in the Danish Constitution. Since 2017, the Church of Norway has been fully independent of any state control. Lutheranism is not deemed the 'state religion'. However, article 16 of the Constitution requires that the state support the Church of Norway and Article 4 requires that the Norwegian monarch be a member of it.[82]
Jurisdictions that give various degrees of recognition in their constitutions to Lutheranism without establishing it as the state religion:
1.4.3.6. Finland: The Evangelical Lutheran Church of Finland has a special relationship with the Finnish state, its internal structure being described in a special law, the Church Act.[81] The Church Act can be amended only by a decision of the synod of the Evangelical Lutheran Church and subsequent ratification by the Parliament of Finland. The Church Act is protected by the Constitution of Finland and the state cannot change the Church Act without changing the constitution. The church has the power to tax its members. The state collects these taxes for the church, for a fee. On the other hand, the church is required to give a burial place for everyone in its graveyards.[81] The President of Finland also decides the themes for intercession days. The church does not consider itself a state church, as the Finnish state does not have the power to influence its internal workings or its theology, although it has a veto in those changes of the internal structure which require changing the Church Act. Neither does the Finnish state accord any precedence to Lutherans or the Lutheran faith in its own acts.
1.4.3.7. Sweden: The Church of Sweden was the state church of Sweden between 1527 when king Gustav Vasa broke all ties with Rome and 2000 when the state officially became secular. Much like in Finland, it does have a special relation to the Swedish state unlike any other religious organizations. For example, there is a special law that regulates certain aspects of the church and the members of the royal family are required to belong to it in order to have a claim to the line of succession. A majority of the population still belongs to the Church of Sweden.
1..4.4. Other/mixed
1.4.4.1. Armenia: The Armenian Apostolic Church has a constitutional agreement with the State: "The Republic of Armenia shall recognise the exclusive mission of the Armenian Apostolic Holy Church, as a national church, in the spiritual life of the Armenian people, in the development of their national culture and preservation of their national identity."
1.4.4.2. Dominican Republic: The constitution of the Dominican Republic specifies that there is no state church and provides for freedom of religion and belief. A concordat with the Holy See designates Catholicism as the official religion and extends special privileges to the Catholic Church not granted to other religious groups. These include the legal recognition of church law, use of public funds to underwrite some church expenses, and complete exoneration from customs duties.[86]
1.4.4.3. France: The local law in Alsace-Moselle accords official status to four religions in this specific region of France: Judaism, Roman Catholicism, Lutheranism and Calvinism. The law is a remnant of the Napoleonic Concordat of 1801, which was abrogated in the rest of France by the law of 1905 on the separation of church and state. However, at the time, Alsace-Moselle had been annexed by Germany. The Concordat, therefore, remained in force in these areas, and it was not abrogated when France regained control of the region in 1918. Therefore, the separation of church and state, part of the French concept of Laïcité, does not apply in this region.[87]
1.4.4.4. Haiti: While Catholicism has not been the state religion since 1987, a 19th-century concordat with the Holy See continues to confer preferential treatment to the Catholic Church, in the form of stipends for clergy and financial support to churches and religious schools. The Catholic Church also retains the right to appoint certain amounts of clergy in Haiti without the government's consent.[88][89]
1.4.4.5. Hungary: The preamble to the Hungarian Constitution of 2011 describes Hungary as "part of Christian Europe" and acknowledges "the role of Christianity in preserving nationhood", while Article VII provides that "the State shall cooperate with the Churches for community goals." However, the constitution also guarantees freedom of religion and separation of church and state.[90]
1.4.4.6. Portugal: Although Church and State are formally separate, the Catholic Church in Portugal still receives certain privileges.[91]
1.4.4.7. Samoa: In June 2017, Parliament voted to amend the wording of Article 1 of the constitution, thereby making Christianity the state religion. Part 1, Section (1)(3) reads "Samoa is a Christian nation founded on God the Father, the Son and the Holy Spirit." The status of the religion had previously only been mentioned in the preamble, which Prime Minister Tuilaepa Aiono Sailele Malielegaoi considered legally inadequate.[92][93]
1.4.4.8. Zambia: The preamble to the Zambian Constitution of 1991 declares Zambia to be "a Christian nation", while also guaranteeing freedom of religion.[94]
KRISTEN 42 negara
Katolik 16
Ortodoxs 05
Protestan 21
AGAMA ISLAM
SUNNY
SYI’AH
AGAMA HINDU 01
AGAMA YAHUDI 01
Republik Israel
AGAMA BUDDHA
Governments where Buddhism, either a specific form of it, or Buddhism as a whole, has been established as an official religion:
Bhutan
Bhutan: The Constitution defines Buddhism as the "spiritual heritage of Bhutan". The Constitution of Bhutan is based on Buddhist philosophy.[31] It also mandates that the Druk Gyalpo (King) should appoint the Je Khenpo and Dratshang Lhentshog (The Commission for Monastic Affairs).[32]
Cambodia Cambodia: The Constitution declared Buddhism as the official religion of the country.[33] About 98% of Cambodia's population is Buddhist.[34]
Sri Lanka Sri Lanka: The constitution of Sri Lanka states under Chapter II, Article 9, "The Republic of Sri Lanka declares Buddhism as the state religion and accordingly it shall be the duty of the Head of State and Head of Government to protect and foster the Buddha Sasana".[35]
In some countries, Buddhism is not recognized as a state religion, but holds special status:
Thailand Thailand: Article 67 of the Thai constitution: "The State should support and protect Buddhism. In supporting and protecting Buddhism, the State should promote and support education and dissemination of dharmic principles of Theravada Buddhism, and shall have measures and mechanisms to prevent Buddhism from being undermined in any form. The State should also encourage Buddhists to participate in implementing such measures or mechanisms.[36]
Laos Laos: According to the Lao Constitution, Buddhism is given special privilege in the country. The state respects and protects all the lawful activities of Buddhism.[37]
Mongolia Mongolia: Government supports the re-emergence of Buddhism after 70 years of Communist Rule, as it is described as the traditional religion of the Mongols. Buddhist traditions are encouraged among the citizens.[38] The Government contributed to the restoration of several Buddhist sites that are important religious, historical, and cultural centers. Ethnic Mongolian traditionalists declared that Buddhism is the "natural religion" of the country, followed by more than 93% of the population in various forms.[39]
Myanmar Myanmar: Section 361 of the Constitution states that "The Union recognizes special position of Buddhism as the faith professed by the great majority of the citizens of the Union."[40]
Kalmykia Kalmykia: The Government supports Buddhism and also encourages Buddhist teachings and traditions. It also builds various Buddhist temples and sites. Various efforts are taken by the Government for the revival of Buddhism in the republic.[41][42][43]
AGAMA LAINNYA
Roman Catholic
Jurisdictions which recognize Roman Catholicism as their state or official religion:
Costa Rica
Malta
Monaco
El Salvador
Liechtenstein
Vatican City (Theocracy)
Switzerland
Some cantons of Switzerland (state religion): Appenzell Innerrhoden (declared "religion of the people of Appenzell Innerrhoden");
Aargau;
Basel-Country;
Bern;
Glarus;
Graubünden;
Nidwalden;
Schwyz;
Thurgau;
Uri;
Old Catholic (Jurisdictions which recognize an Old Catholic church as their state religion):
Some cantons of Switzerland (Christian Catholic Church): Aargau, Basel-Country, Bern
Eastern Orthodox (Jurisdictions which recognize one of the Eastern Orthodox Churches as their state religion):
Greece (Greek Orthodox Church)
Protestant
Anglican
England (Church of England) established by law; plus, unestablished, the world-wide Anglican Communion
Lutheran
Denmark (Church of Denmark)
Iceland (Church of Iceland)
Finland (Evangelical Lutheran Church of Finland)
Presbyterian
Scotland (Church of Scotland) established by law
Scotland assorted Free Presbyterian churches, unestablished.
Reformed
Jurisdictions which recognize a Reformed church as their state religion:
Some cantons of Switzerland (Swiss Reformed Church): Aargau
Basel-Country
Bern
Glarus
Graubünden
Schwyz
Thurgau
Uri
Zürich
Other christian
Zambia
Samoa
Solomon Islands
Islamic countries = 23 negara
Countries which recognize Islam as their official religion:
Afghanistan (State religion)
Algeria (State religion)
Bahrain (State religion)
Bangladesh (State religion)
Brunei (State religion)
Egypt (State religion)
Iran (State religion)
Iraq (State religion)
Jordan (State religion)
Kuwait (State religion)
Libya (State religion)
Malaysia (State religion)
Maldives (State religion)
Mauritania (State religion)
Morocco;
Oman (State religion)
Pakistan (State religion)
Qatar
Saudi Arabia (Religion of the Kingdom)
Somalia
Tunisia
United Arab Emirates (Religion of the Emirates)
Yemen
Buddhist countries = 8 negara.
Governments which recognize Buddhism as their official religion:
Bhutan (Drukpa Kagyu school of Tibetan Buddhism)
Cambodia (Theravada Buddhism)
Laos (Theravada Buddhism)
Kalmykia, a republic within the Russian Federation (Tibetan Buddhism - sole Buddhist entity in Europe)
Thailand (Theravada Buddhism)
Tibet Government in Exile (Gelugpa school of Tibetan Buddhism)
Myanmar - written in the 1974 constitution
Sri Lanka (Theravada Buddhism)
Hindu countries: Nepal = 1 negara;
There are no Hindu countries presently, all Hindu majority countries are secular, with Hinduism not listed as the state religion. Nepal was the world's only kingdom state with Hindu monarch, but the Constitution of Nepal 2015 constitution clearly states it is a secular country. Nepal also declared cow as national animal with advanced animal protection rights such as cats and dogs, cow slaughter is also forbidden.
Jew = Yahudi = 1 negara, Yahudi sebagai agama dan bangsa.
Israel is defined in several of its laws as a Democratic Jewish state, but has no state or official religion, "Jewish" being treated as a nationality. In other countries the term "Jewish" means either adhering to the Jewish religion (Judaism), or a Jew by descent (inheritance) or both.
Menurut perhitungan, sampai tahun 2022 ini, di seluruh dunia, masih terdapat negara Kristen = 42; negara Islam=23; negara Buddhis=8; negara Hindu=1; negara Yahudi=1;
Katolik= Jurisdictions where Catholicism has been established as a state or official religion=5 + Jurisdictions that give various degrees of recognition in their constitutions to Roman Catholicism without establishing it as the State religion 11; Eastern Ortodoxy=5; Protestan Anglikan=4, Protestan Calvinism=2, Lutheran=7;Campuran=8
Kristen = 5 + 11 + 5 + 4 + 2 + 7 + 8 = 42
France: The local law in Alsace-Moselle accords official status to four religions in this specific region of France: Judaism, Roman Catholicism, Lutheranism and Calvinism. The law is a remnant of the Napoleonic Concordat of 1801, which was abrogated in the rest of France by the law of 1905 on the separation of church and state. However, at the time, Alsace-Moselle had been annexed by Germany. The Concordat, therefore, remained in force in these areas, and it was not abrogated when France regained control of the region in 1918. Therefore, the separation of church and state, part of the French concept of Laïcité, does not apply in this region.[87]
Christian countries = 42
Islamic countries = 23
Buddhis countries = 08
Hindu country = 01 (Nepal).
Jew country = 01 (Israel).
Problematika
Inggeris, sampai sekarang 26 anggota House of Lords yang diangkat berasal dari utusan 2 aliran agama, yaitu (i) Anglican chruch, dan (ii) Presbyterian church of Scotland.
Perancis, sampai sekarang masih ada daerah otsus ang mengakui 4 agama, yaitu (i) Judaism, (ii) Roman Catholicism, (iii) Lutheranism, dan (iv) Calvinism.
USA masih ada 2-3 konstitusi negara bagian yang eksplisit menyebut kata “Christian forbearance”, eg. In Article I, Section 16, the Constitution of Virginia of 1776, eksplisit menyebut: “it is the mutual duty of all to practice Christian Forbearance, Love and Charity towards each other”.
Indonesia, masih mengakui (i) otsus Aceh dengan Mahkamah Syari’ahnya, dan (ii) otsus Papua dengan pengadilan adat dan MRP yang keanggotaannya mewakili (a) tokoh-tokoh agama, (b) tokoh adat, dan © tokoh perempuan.
Perkiraan terendah
Perkiraan tertinggi
Peristiwa
Lokasi
Sejak
Sampai
Para pihak*
Sifat
3.000.000
11.500.000[9]
Perang Tiga Puluh Tahun
Kekaisaran Romawi Suci
1618
1648
Kaum Protestan (baik Lutheran maupun Kalvinis) lawan umat Katolik
bermula sebagai perang agama; kelak menjadi pertarungan politik Prancis-Habsburg
2.000.000
4.000.000[10]
Perang Agama Prancis
Prancis
1562
1598
Kaum Protestan (khususnya Kalvinis) lawan umat Katolik
bermula sebagai perang agama, dan nyaris tetap demikian sampai berakhir
315.000
735.000
Perang Tiga Kerajaan
Britania Raya dan Irlandia
1639
1651
Kaum Protestan (Anglikan, Kalvinis, berbagai kaum nonkonformis lainnya), umat Katolik terdistribusi dalam berbagai kubu yang saling bertikai
perang saudara, memperjuangkan perkara-perkara hubungan agama-negara dan kebebasan beragama, dengan unsur kebangsaan
230.000
2.000.000
Perang Delapan Puluh Tahun
Negeri-Negeri Dataran Rendah dalam lingkup wilayah Kekaisaran Romawi Suci
1568
1648
Kaum Protestan (khususnya Kalvinis) lawan umat Katolik
perang kemerdekaan, dengan unsur keagamaan
100.000
200.000
Perang Rakyat Jelata Jerman
Kekaisaran Romawi Suci
1524
1525
Kaum Protestan (khususnya Lutheran dan Anabaptis), umat Katolik lawan kaum Protestan, umat Katolik
campur-baur alasan-alasan ekonomi dan agama, perang antara rakyat jelata dan tuan-tuan tanah Protestan/Katolik
Relasi Agama dengan Negara
Negara agama dan agama negara.
Negara Komunis yg anti Tuhan dan Agana.
Negara Sekuler ekstrim, hostile relation between state and religion.
Negara sekuler moderat, friendly relation between state and religion.
Negara Pancasila, fraternally relation between state and religion.
Tentang lima prinsip dasar berbangsa dan bernegara:
Pluralisme.
Inklusivisme.
Universalisme.
Nasionalisme.
Konstitusionalisme.
4 Pilar Bangsa berdasarkan PANCASILA.
Wawasan Nusantara
Bhinneka Tunggal Ika.
Wadah NKRI
UUD NRI Tahun 1945
AGAMA NEGARA
Dinamika Struktural Bermula dari Teokrasi
“Power” (kekuasaan), sebagai kata benda (noun)
Bahkan sebagai kata kerja dapat dibedakan sebagai kata kerja transitif (transitive verb), kata “power, powers, dan powering” didefinisikan oleh Kamus Merriam-Webster sebagai: (1) to supply with power and especially motive power”, atau (2) “to give impetus to”. Sedangkan sebagai kata kerja intransitif (transitive verb), “power” dapat diartikan: (1) “to move about by means of motive power”, atau (2) “to move with great speed or force”., menurut Kamus Merriam-Webster mengandung 9 variasi pengertian atau bahkan jika lebih dirinci dapat mengandung 19 atau 23 variasi pengertian, yaitu: (1a) “ability to act or produce an effect”, “ability to get extra-base hits”, atau “capacity for being acted upon or undergoing an effect”, dan (1b) legal or official authority, capacity, or right; (2a) “possession of control, authority”, or influence over others”, (2b) “one having such power specifically, a sovereign state”, (2c) ”a controlling group: establishment -- often used in the phrase the powers that be”, (2d) “archaic: a force of armed men”, (2e) “echiefly dialectal: a large number or quantity”; (3a) “physical might”, (3b) “mental or moral efficacy”, (3c) “political control or influence”; (4) powers plural: an order of angels; (5a) “the number of times as indicated by an exponent that a number occurs as a factor in a product”, (5b) Cardinal number senses 2; (6a) “a source or means of supplying energy, especially electricity”, (6b) motive power, (6c) “the time rate at which work is done or energy emitted or transferred”; (7) “magnification sense 2b”; (8) scope entry 1 sense 3; atau (9) “the probability of rejecting the null hypothesis in a statistical test when a particular alternative hypothesis happens to be true”.
Kekuasaan (power) dapat diartikan sebagai (i) kemampuan untuk bertindak (ability to act), (i) kemampuan untuk menyebabkan suatu akibat (ability to produce an effect), (iii) kemampuan untuk memberikan pukulan ekstra (ability to get extra-base hits), (iv) kapasitas untuk beraksi atas sesuatu atau menimbulkan suatu akibat (capacity for being acted upon or undergoing an effect), (v) otoritas, kapasitas, atau hak yang bersifat legal atau resmi, (vi) memegang kendali, otoritas, atau pengaruh terhadap orang lain, (vii) memiliki kekuasaan yang bersifat tertinggi, seperti kedaulatan negara; (viii) kelompok pengendali yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan, (ix) kekuasaan kadang-kadang dikaitkan dengan pengertian kekuatan bersenjata, (x) atau dengan kekuatan jumlah yang banyak (a large number or quantity), (x) dengan kekuatan fisik (physical might), (xi) dengan kemanjuran mental atau moral (mental or moral efficacy), (xii) kendali atau pengaruh politik, (political control or influence); (xiii) “powers” dalam bentuk jamak, juga dapat dikaitkan dengan pengertian perintah para malaikat (an order of angels); (xiv) jumlah waktu sebagaimana diindikasikan oleh eksponen dimana jumlah menjadi factor dalam suatu produk, (xv) Dalam pengertian jumlah kardinal, dapat pula diartikan sebagai sumberdaya atau sarana penyediaan energi, khususnya listrik, (xvi) kekuatan pendorong atau motif, (xvii) rating waktu dimana pekerja dilakukan atau energi dipancarkan atau ditrasfer, (xviii; (xix) pengertian suatu yang agung atau luar biasa (magnification sense), atau (xx) kekuasaan dalam pengertian yang dikaitkan dengan probabilitas untuk menolak hipotesis nol dalam uji statistik ketika hipotesis alternatif tertentu ternyata benar (the probability of rejecting the null hypothesis in a statistical test when a particular alternative hypothesis happens to be true).
Penggambaran pengertian yang kompleks di atas menunjukkan betapa pengertian kekuasan sangat bervariasi, tergantung konteksnya. Demikian pula pengertian tentang kekuasaan negara sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama umat manusia yang diakui paling kompleks dan paling luas cakupannya, diperlukan kesediaan untuk memperbincangkannya secara ilmiah yang memerlukan spesifikasi dan spesialisasi bidang keahlian yang semakin membutuhkan pembagian tugas keilmuan antar bidang-bidang ilmu pengetahuan modern dan terus berkembang dinamis di era kehidupan yang serba disruptif dewasa ini, yang bahkan juga disebut sebagai era pasca kebenaran (post truth). Karena itu, bentuk-bentuk pengorganisasian kekuasaan bernegara terus mengalami differensiasi structural, baik secara internal maupun eksternal dalam hubungan antar negara di dunia global.
Dapat dikatakan bahwa, di abad ke-21 ini, perubahan berlangsung sangat cepat sekali dan mendasar sekali, serta serba disruptif di segala bidang kehidupan. Salah satu sebabnya oleh semakin canggihnya temuan-temuan dan inovasi-inovasi teknologi informasi dan komunikasi serta pemanfaatannya yang semakin meluas dalam komunikasi dalam perikehidupan umat manusia di seluruh dunia. Karena itu, cara-cara mengelola kekuasaan negara juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu, yang juga mengalami disrupsi di segala bidang kehidupan berorganisasi. Organisasi keluarga, organisasi bermasyarakat, organisasi di dunia usaha, maupun organisasi berbangsa dan bernegara serta organisasi antar bangsa dan antar negara, juga mengalami perubahan-perubahan mendasar dan semakin kompleks di dunia dewasa ini.
Makin modern kehidupan dan makin rinci pengetahuan manusia atas objek-objek kehidupan dan pelbagai lingkungan alam di sekitar manusia, makin kompleks pula cara-cara manusia mengelola kehidupan bersama secara terorganisasi. Kekuasaan, kemampuan untuk mempengaruhi, kemampuan untuk bertindak juga berkembang semakin kompleks dan terus mengalami differensiasi struktural yang luas. Kompleksitas yang timbul dalam semua aspek kehidupan menuntut penjabaran ke dalam rincian unit-unit aktifitas dan fungsi-fungsi internal keorganisasian maupun lingkungan eksternalnya yang semakin terurai, semakin rinci dalam unit-unit mikro, dan mengalami differensiasi strukturalnya sendiri-sendiri, mengakibatkan struktur internal setiap organ dan organisasi manusia beserta organ-organ ekternal yang lebih besar yang melingkupinya juga berkembang menjadi semakin kompleks pula. Karena itu, tatanan kehidupan bernegara secara internal dan tatanan kehidupan dunia regional dan global juga menuntut perubahan-perubahan yang mendasar pula.
Ketika pertama kali umat manusia mengenai ide tentang organisasi negara, yang dibayangkan adalah suatu komunitas terorganisir dimana pusat kekuasannya berada di tangan seorang pemimpin yang berkuasa secara turun temurun dengan pemahaman orang tentang tuhan sebagai sumber segala kekuasaan yang juga tercermin di genggaman tangan orang yang berkuasa itu. Karena itu, Raja atau Ratu dipersepsi sebagai pemimpin negara sekaligus sebagai Tuhan, atau setidaknya wakil tuhan dalam kehidupan, sehingga terbentuklah pengertian tentang ‘theocracy’ dimana kekuasaan dipahami berasal dari dan oleh Tuhan yang wajib disembah secara total oleh manusia. Begitulah pengertian tentang kerajaan absolut pada awal perkembangan peradaban kuno umat manusia menyatu dengan pengertian Raja Khalifah, Raja Dewa, Raja Pendeta, dan sebagainya, tergantung istilah yang dikenal dalam bahasa komunitas negeri-negeri yang bersangkutan. Semua istilah itu dimaksudkan untuk mengungkapkan pengertian tentang kekuasan yang bersumber dari sumber kekuatan yang bersifat supra-natural yang diyakini adanya, sebagai salah satu ciri kehidupan manusia yang bersifat universal atau biasa dikenal sebagai “the cultural universals” tentang sistem organisasi kekuasaan yang terkait erat dengan ‘system of belief’. Sistem kekuasaan dan sistem kepercayaanitu sama-sama bersifat universal, ada dalam semua lingkungan masyarakat berkebudayaan di seluruh dunia di sepanjang sejarah peradaban manusia.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, di lingkungan semua agama agama, selalu ada pengertian tentang agama negara dan negara agama sebagaimana terjadi pada masa-masa awal pemebangan masyarakat manusia yang selalu hidup dengan sistem kepercayaan (belief system) tertentu dengan sekaligus saling berinteraksi satu sama lain secara terorganisasi, sehingga terbentuk terbentuk pengertian tentang kepemimpinan natural duniawi dan sekaligus kepemimpinan supra-natural. Dalam sejarah Islam pernah berkembang pengertian yang luas dalam teori dan praktik tentang kepemimpinan politik yang diintegrasikan dengan pemahaman mengenai “khalifatullah” atau wakil Tuhan, pengganti Tuhan di bumi. Dalam agama Kristen, agama Yahudi, Hindu, dan juga agama lainnya, meskipun dengan istilah yang berbeda, pengertian tentang pemimpin dan kepemimpinan yang menyatunya dengan pengertian tentang Tuhan atau Dewa sebagai titiasan dewa, sebagai kekasih Tuhan, sebagai anak Tuhan, dan sebagainya, selalu saja ada dalam keyakinan para penganut agama-agama utama tersebut.
Karena itu, meskipun aliran pemikiran yang berusaha membedakan atau bahkan memisahkan antara agama dan negara itu sudah sangat luas pengaruhnya di seluruh dunia hingga sekarang, masih banyak negara yang dapat dikategorikan sebagai negara agama yang sekaligus memperlakukan agama tertentu sebagai agama negara. Menurut perhitungan yang dapat kita unduh dari google search, sampai sekarang di seluruh dunia, masih terdapat 75 negara yang dapat dikategorikan sebagai negara agama dengan mengakui agama tertentu sebagai agama resmi atau agama yang mendapatkan perlakuan khusus
Misalnya, di antara 16 negara Katolik dewasa ini di dunia, ada 5 negara yang menentukan dalam konstitusinya secara eksplisit “where Catholicism has been established as a state or official religion”, sedangkan di 11 negara lainnya eksplisit menyebut agama Katolik Roma dan memberikan pengakuan tertentu dengan tingkatan yang bervariasi, tetapi tanpa menyebut menyebutnya sebagai agama negara atau agama resmi (state religion).. Bahkan muncul perkembangan baru yang diprakarsai oleh Pemeritah PNG yang 95.6% penduduknya beragama Kristen untuk mengadakan perubahan UUD guna mengukuhkan PNG sebagai negara Kristen dengan tetap menjamin kebebasan bagi pemeluk agama-agama lain untuk meyakini dan menjalankan kewajiban agamanya. Jika ini berhasil dilakukan, maka jumlah negara berpenduduk mayoritas Kristen yang meliputi Katolik, Protestan, dan Ortodoks yang memberikan perlakuan kepada agama Kristen akan bertambah dari yang sekarang 41 negara menjadi 42 negara. Sedangkan jumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim yang memberikan status khusus pada agama Islam dewasa ini tercatat 23 negara, sementara agama Buddha mendapat perlakuan khusus di 8 negara, agama Hindu dan Yahudi, masing-masing di satu negara saja, yaitu Nepal dan Israel.
Dalam jumlah 41 negara Kristen di atas, dapat diadakan analisis khusus mengenai Perancis dikenal sebagai negara yang menerapkan doktrin pemisahan agama dan negara secara ketat dan bahkan sangat keras. Demikian pula Kerajaan Inggeris yang sampai sekarang masih memberikan perlakuan khusus kepada Gereja Anglikan Inggeris dan Presbitarian Skotlandia dengan mendapatkan jatah khusus untuk 26 Uskup menjadi anggota House of Lords tanpa melalui pemilihan. Karena itu, oleh Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/State_religion., Perancis juga digabungkan ke dalam daftar 42 negara Kristen, karena sampai sekarang di wilayah Alsace-Moselle (France federal territory) di daerah perbatasan dengan Jerman dengan penduduk Katolik 76,22%, Protestan 21,78%, Yahudi 1,63%, dan sisanya Ateis dan lain-lain. Agama Katolik dan Protestan secara eksplisit diakui dalam konstitusi Alsace-Lorraine 1911 dan berhak untuk mengutus perwakilan untuk duduk di kamar pertama parlemen bikameral (first chamber), yang terus berlaku sampai sekarang
Wikipedia, Alsace-Lorraine, en.m.wikipedia.org. Hukum local di Alsace-Moselle memberikan pengakuan status resmi kepada 4 agama resmi Perancis, yaitu Katolik Roma, Yahudi, Lutheranism dan Calvinism, sebagai sisa-sisa sistem hukum peninggalan Napoleonic Concordat tahun 1801, yang sudah dihapuskan di wilayah Perancis lainnya sejak tahun 1905, khususnya berkenaan dengan kebijakan “the separation of church and state”. Namun, Ketika itu, Alsace-Moselle masih berada di bawah kekuasaan Jerman Karena itu, Concordat Napoleon masih terus berlaku hingga wilayah ini kembali menjadi bagian dari Republik Perancis pada tahun 1918. Dengan demikian, kebijakan pemisahan agama dan negara tidak berlaku di daerah Alsace-Lorraine ini sampai sekarang. . Bahkan ke dalam daftar wikipedia tersebut seharusnya Inggeris juga ditambahkan.
Jika dibandingkan dengan Inggeris, apa yang berlaku di Indonesia jauh lebih baik, karena tidak adanya kekhususan bagi pemeluk agama Islam dalam struktur jabatan pemerintahan di tingkat pusat seperti yang dipraktikkan dalam keanggotaan House of Lords di Inggeris. Sedangkan jika dibandingkan dengan Indonesia, apa berlaku di Perancis yang mengakui kekhususan wilayah Alsace-Moselle, dapat dapat disandingkan dengan praktik otonomi khusus di Aceh, Papua, dan Papua Barat. Kebijakan konstitusional UUD 1945 juga memungkinkan adanya ciri otonomi khusus di Aceh, sehingga diizinkan mengembangkan kebijakan berbeda dari provinsi lain, terkait dengan pengaturan dan penerapan beberapa aspek terbatas dari hukum pidana Islam melalui sistem mahkamah syar’iyah. Sedangkan di Papua dan Papua Barat, kekhususannya berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua melalui pembentukan Majelis Rakyat Papua yang salah satu unsur keanggotaannya adalah tokoh-tokoh yang mewakili organisasi agama, terutama tokoh-tokoh Gereja di Papua dan Papua Barat.
Pendek kata, pemisahan yang kaku antara agama dan negara yang dipersepsikan seakan-akan sebagai keharusan yang mutlak dalam apa yang diakui sebagai paham sekularisme, dalam praktik dimana-mana hingga dewasa ini, terbukti tidak seluruhnya benar. Masih banyak sekali negara yang mempraktikkan diri sebagai negara agama dengan memberikan pengakuan khusus kepada agama tertentu sebagai agama negara. Hal ini berlaku, terutama, di lingkungan negara-negara dengan mayoritas penduduknya menganut agama Kristen, Islam, dan bahkan Buddhisme. Yang paling banyak justru di lingkungan umat Kristen sendiri yang sampai sekarang tidak kurang tercatat ada 42 negara yang mengakui adanya agama negara, yang untuk lebih tepatnya juga dapat disebut sebagai negara agama.
Sebenarnya, pada awal perkembangan umat Kristen dalam sejarah, memang sudah terdapat dua aliran pandangan Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma yang tercermin dalam pandangan teolog Eusebius (260-339 M) dan St. Augustine (354-430 M) mengenai hubungan antara gereja dengan negara. Menurut Eusebius), gereja dan negara memang memiliki hubungan yang erat. Kekaisaran dan gereja berbagi ikatan erat satu sama lain. Di tengah kerajaan Kristen berdiri sosok kaisar Kristen yang sekaligus adalah juga pimpinan spiritual gereja. Dalam teologi politik Eusebian, kaisar Kristen muncul sebagai wakil Tuhan di bumi di mana Tuhan sendiri memancarkan citra tentang kekuatan absolut-Nya. Dia adalah hamba yang dicintai Tuhan, tiga kali diberkati oleh penguasa tertinggi, yang dipersenjatai dengan baju besi ilahi membersihkan dunia dari gerombolan orang-orang yang tidak bertuhan, pemberita dengan suara kuat yang bebas dari ketakutan, dengan sinar yang menembus dunia. Dengan sifat-sifat yang demikian, kaisar Kristen tidak hanya menjadi arsitek keadilan tetapi juga arsitek cinta. Karena itu, Konstantinus I disebut sebagai pemimpin yang Tuhan sendiri telah memilihnya untuk menjadi tuan dan pemimpin sehingga tidak ada orang yang dapat memuji dirinya sendiri karena telah mengangkatnya. Kekuasaan Kaisar Ortodoks didasarkan atas pemberian langsung dari Tuhan.
Sampai batas tertentu pemahaman tentang kaisar dan kekaisaran yang demikian merupakan reinterpretasi Kristen terhadap pandangan Romawi kuno tentang kaisar sebagai wakil tuhan atau para dewa. Beberapa pernyataan Eusebius menggemakan kultus terhadap Matahari yang tak terkalahkan, Sol Invictus, yang diwakili oleh kaisar menurut pemahaman kaum pagan, jauh sebelum kelahiran Yesus Kristus. Kaisar, dalam hal ini, memainkan peran sebagai imam besar (pontifex maximus) dalam kultus negara, juga menempati posisi yang sentral di gereja. Kaisar dapat memanggil sinode para uskup, “seolah-olah telah diangkat menjadi uskup langsung oleh Tuhan, memimpin sinode, dan memberikan kekuasaan yudisial untuk memutuskan keadilan. Dia juga adalah pelindung gereja yang berdiri untuk pelestarian kesatuan dan kebenaran iman Kristen dan yang bekerja tidak hanya sebagai pejuang tetapi juga sebagai pemimpin doa dan pemberi syafa’at. Kaisar berperan seolah sebagai Musa kedua selama pertempuran melawan musuh-musuh Tuhan, sekaligus sebagai orang suci yang memipin doa kepada Tuhan. Kaisar Kristen tidak hanya hidup dalam kekuasaan politik tetapi juga menentukan suksesi suci kekuasaan kekaisaran yang ditunjuk langsung oleh ilahi. Karena itu pula, kepemimpinan gereja yang independen hampir tidak dapat berkembang di sepanjang sejarah awal kekristenan.
Para teolog Ortodoks memahami koeksistensi kaisar Kristen dan kepala gereja Kristen sebagai symphōnia, atau ”harmoni”. Gereja mengakui kekuasaan kaisar sebagai pelindung gereja dan pemelihara kesatuan iman serta menegaskan otoritasnya sendiri atas wilayah spiritual untuk memelihara doktrin dan ketertiban di gereja. Kaisar, di sisi lain, tunduk pada kepemimpinan spiritual gereja sejauh dia adalah putra gereja. Posisi khusus kaisar dan fungsi patriark Bizantium sebagai kepala spiritual gereja ditentukan pada abad ke-9 di Epanagoge, yaitu keputusan yudisial yang menetapkan hubungan gereja dan negara. Penegasan pengadilan-gereja tentang hubungan ini pada abad ke-6 dan ke-7 menyebabkan independensi peradilan Patriark Byzantium dalam gaya kepausan Romawi tidak mungkin berkembang sejak awal.
Namun, Epanagoge tidak sepenuhnya menundukkan patriark di bawah pengawasan kaisar, melainkan mengarahkannya "untuk mendukung kebenaran dan melakukan pembelaan ajaran suci tanpa rasa takut kepada kaisar." Oleh karena itu, ketegangan antara pemerintahan kekaisaran yang menyalahgunakan absolutismenya terhadap kebebasan spiritual gereja dan gereja yang mengklaim kebebasan spiritualnya melawan kaisar atau tsar absolut adalah karakteristik dari sejarah politik Byzantium dan Slavia tetapi tidak sama dengan ketegangan politik antara kekuasaan kekaisaran dan kepausan yang terjadi di barat, terutama selama periode antara tahun 1050 hingga 1300. Sementara itu, Saint Agustinus di barat (354-430), ketika kekaisaran Romawi Barat mulai mengalami keruntuhan, membayangkan gereja sebagai Kota Tuhan (the spiritual City of God, de Civitate Dei)
Judul buku St. Augustine ini selengkapnya adalah “De Civitate Dei contra Paganos” (On the City of God against the Pagans), merupakan buku filsafat Kristiani yang ditulis dalam Bahasa Latin pada awal abad ke-5 Masehi. yang berbeda dari pengertian Kota Duniawi (the Material City of Earth, de Civitas Terrena).
Will Durant, Caesar and Christ: A History of Roman Civilization and of Chrihianity from Their Beginnings to A.D. 325, MJF Books, ISBN 978-1-56731-014-6.
“The City of God” (Civitas Dei) berusaha menjawab pertanyaan yang muncul dari peristiwa paling menyakitkan pada zamannya, penjarahan kota Roma oleh Visigoth pada tahun 410. Agustinus menanggapi keterkejutan dan kekecewaan yang dialami orang-orang sezamannya atas keruntuhan dunia mereka dengan melakukan penghancuran terhadap sastra kaum pagan. Dari sudut pandang Agustinus, "kejahatan yang luar biasa" dari kaum pagan telah menyebabkan kejatuhan dunia penyembah berhala. Sangat kontras dengan kota duniawi (civitas terrena), yang dilambangkan dengan kota Roma, tetapi di mana-mana diberi tenaga oleh keinginan luhur manusia yang sama untuk pujian dan kemuliaan, yang diproyeksikan oleh Agustinus sebagai "kota paling mulia" berkat pujian dan syukur kepada Tuhan, yaitu kota surgawi Yerusalem. Namun, Agustinus tidak hanya mengidentifikasi negara dengan kota dunia dan gereja sebagai kota Tuhan. Dia juga melihat bahwa secara sederhana negara bukan hanya tidak bertentangan dengan Tuhan tetapi merupakan instrumen ilahi untuk kesejahteraan umat manusia. Civitas dei (kota Tuhan) dan civitas terrena (kota dunia) akhirnya dapat dikatakan tidak terkait dengan gereja dan negara, ataupun dengan surga di akhirat dan di bumi. Keduanya lebih merupakan dua masyarakat yang saling berbeda dengan tatanan nilai masing-masing yang bersifat antagonis berkaitan dengan negara dan gereja dan dalam setiap kasus memperlihatkan ketidaksesuaian radikal antara cinta Tuhan dengan nilai-nilai keduniaan.
Dalam perkembangan historis selanjutnya, gereja Latin di Eropa Barat mengambil arah yang berbeda dari gereja kekaisaran Bizantium. Kekuatan baru secara bertahap muncul di Barat, yaitu gereja keuskupan Roma. Gereja ini mengambil banyak fungsi administratif, politik, dan kesejahteraan sosial dari pengalaman negara Romawi kuno di Barat. Bahkan berkat jasa dan kontribusinya yang besar kepada gereja, Kaisar Konstantinus dan memberikan pelbagai anugerah kepada Paus Sylvester I (314–335), termasuk simbol-simbol kekaisaran, Paus mengembalikan mahkota kepada Konstantinus, yang dengan rasa syukur memindahkan ibu kota kekaisarannya ke Bizantium (Konstantinopel). Semua ini menjelaskan sejumlah perkembangan politik penting dan klaim kepausan, termasuk mengenai pemindahan ibu kota ke Bizantium, pemindahan gereja Romawi lama ke yang baru, otoritas sekuler kepausan, dan pemisahan kepausan dari kesetiaan kepada Kekaisaran Bizantium dan asosiasi dengan meningkatnya kekuatan Barat Latin.
Dari sinilah perkembangan di Timur dan di Barat mengalir ke dua arah yang berbeda. Tumbuhnya liberalisme di Barat tercermin dalam tindakan Paus Stephen III yang mengurapi Raja kaum Frank pada tahun 754, dan hal ini sekaligus meletakkan dasar negara kepausan yang independen dari kekuasaan temporal duniawi, dan dengan memberikan Paus eksarkat Bizantium dari Ravenna. Bersamaan dengan itu, gagasan gereja sebagai negara juga muncul dalam bentuk demokrasi yang sangat kontras dengan model Romawi yang absolut dalam beberapa perkembangan gereja dan sekte Reformasi dan di gereja-gereja merdeka periode pasca-reformasi. Sekte-sekte periode Reformasi memperbaharui gagasan lama tentang jemaat Kristen sebagai umat Tuhan, yang mengembara di bumi ini, sebagai umat yang terhubung dengan Tuhan, seperti Israel, melalui perjanjian khusus. Gagasan tentang umat Tuhan dan perjanjian khusus Tuhan dengan kelompok tertentu yang dipilih menyebabkan masuknya ide-ide teokrasi, yang diekspresikan dalam bentuk komunitas teokratis yang mirip dengan negara dan mengarah pada formasi yang mirip dengan negara gerejawi. Kecenderungan seperti itu ditunjukkan di antara berbagai kelompok Reformasi (misalnya, para nabi Münster), kaum Puritan di Massachusetts, dan kelompok-kelompok di daerah perbatasan barat Amerika. Salah satu pengecualian langka untuk teologi teokratis modern awal adalah perbedaan tajam Lutheran tentang tanggung jawab politik dan gerejawi dengan dialektika hukum dan Injil. Kelompok Lutheran berpandangan bahwa untuk memimpin pemerintahan, seorang kaisar tidak perlu menjadi Kristentetapi cukup dengan dengan alasannya sendiri.
Upaya terbaru untuk membentuk negara-gereja oleh sebuah sekte yang memahami dirinya sebagai orang-orang pilihan yang dibedakan oleh Allah melalui wahyu baru yang khusus dilakukan oleh Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir, atau Mormon sebagaimana mereka umumnya dikenal. Berdasarkan arahan kenabian para pemimpin mereka, mereka berusaha untuk menemukan negara bagian Deseret, setelah mereka masuk ke padang pasir di sekitar Great Salt Lake di Utah. Perbatasan negara bagian diharapkan mencakup bagian terbesar dari wilayah negara bagian Utah, California, Arizona, Nevada, dan Colorado saat ini. Mormon, bagaimanapun, akhirnya harus mengakui fakta bahwa pusat negara bagian yang relatif kecil, Utah, dari wilayah Mormon awalnya dimaksudkan lebih besar, tidak bisa eksis sebagai teokrasi (meskipun terstruktur sebagai model sekuler lainnya) di bawah pemerintahan pemimpin gereja Mormon. Laporan (beberapa tampaknya palsu) oleh agen federal yang memusuhi gereja dan penolakan luas terhadap praktik poligini Mormon dikurangi terhadap sanksi federal dari kepemimpinan gereja sebagai kepala pemerintahan negara bagian yang diusulkan. Utah akhirnya menjadi negara bagian federal Amerika Serikat.
Sekularisme: Pemisahan Negara dan Agama
Pemisahan gereja dari negara sebagai gejala differensiasi struktural bersifat alamiyah, dan dapat dikatakan terjadi sebagai keniscayaan atau kesemestian karena kehendak sejarah, dan bahkan dapat dikatakan sebagai “sunnatullah” dalam kehidupan, seperti halnya perubahan makna dalam kata “ulama” di sepanjang sejarah. Dulu, pada mulanya, kata ulama merujuk kepada pengertian orang yang ‘alim atau orang yang berilmu. Oleh karena di zaman nabi Muhammad dan beberapa generasi sesudahnya, ilmu pengetahuan itu masih sederhana, maka segala jenis dan bidang ilmu belum terpencar dan terpisah-pisah sebagai sistem ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh setiap orang yang kemudian diakui sebagai orang ‘aalim atau ulama. Karena itu, seorang yang diakui sebagai ulama menguasai sekaligus banyak pengetahuan yang belum terstruktur dalam banyak cabang ilmu pengetahuan, seperti menguasai ilmu fiqh mengenai hukum keluarga, seperti soal perkawinan, dan soal pembagian waris, tetapi sekaligus menguasai juga ilmu tentang perbintangan di langit, yang di zaman sekarang sudah terpisah-pisah menjadi bidang-bidang ilmu sendiri-sendiri. Karena itu, dewasa ini muncul istilah yang berbeda antara ulama dan ilmuwan yang berasal dari akar kata yang sama, yaitu ‘ilmu. Lalu muncul upaya untuk membedakan di antara kedua istilah ini, dimana ulama dipahami sebagai ahli ilmu agama, sedangkan ilmuwan dipahami sebagai orang yang ahli ilmu dunia. Padahal keduanya berasal dari akar kata yang sama, yaitu “al-’ilm” atau ilmu.
Apakah dengan adanya pembedaan dan pemisahan di antara kedua pengertian ulama dan ilmuwan itu lalu dapat dibenarkan adanya anggapan telah terjadi sekularisme, yaitu upaya untuk memisahkan antara urusan agama dengan urusan duniawi yang dapat dinilai bertentangan dengan perintah agama, khususnya syari’at Islam? Demikian pula, jika ada yang berusaha membedakan atau bahkan memisahkan urusan-urusan politik kenegaraan dengan urusan keagamaan dalam arti sempit, dapat dinilai melanggar hukum Islam? Bukankah hal ini hanyalah berkenaan dengan urusan manajemen saja atau persoalan ilmiah yang memerlukan rincian perhatian oleh masing-masing bidang ilmu pengetahuan yang menuntut spesialisasi keahlian di kalangan para akademisi untuk membantu para praktisi bekerja professional di bidangnya masing-masing sesuai dengan tuntutan manajemen kehidupan yang semakin modern menjadi semakin kompleks.
Hal yang sama juga dapat dilihat dalam pengertian mengenai bidang-bidang dan cabang-cabang kekuasaan bernegara. Pada awal munculnya organisasi negara dalam pengertian klasik, semua fungsi terhimpun, terkonsentrasi, dan terpusat ke dalam satu sistem kekuasaan, mulai dari kekuasaan yang mengatasnamakan tuhan, kekuasaan untuk mengendalikan dan mempengaruhi seluruh warga untuk berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh sang pemegang kekuasaan tertinggi. Tetapi lama kelamaan, pengertian tentang kekuasaan tertinggi itu sendiri mengalami perubahan dengan dibagi-bagi ke dalam beberapa fungsi yang berbeda. Yang paling mendasar pengaruhnya terkait dengan ini adalah dengan terjadinya perang antar agama dan antara pandangan keagamaan yang berbeda yang akhirnya memuncak dengan kesepakatan untuk memisahkan antara urusan negara dan urusan gereja sebagai solusi untuk mengatasi konflik berdarah dan menelan banyak nyawa manusia yang mengatasnamakan kemuliaan Tuhan masing-masing.
Selama paruh pertama abad ke-16 saja, bangsa-bangsa Eropah telah mengalami banyak sekali perang agama atau perang-perang yang didorong oleh motivasi agama. Misalnya, perang-perang yang berkaitan langsung dengan gerakan reformasi gereja antara tahun 1520an sampai dengan 1540an, tercatat sudah cukup banyak, yaitu:
Perang Rakyat Jelata Jerman (1524–1525);
Perang Kappel di Konfederasi Swiss Lama (1529–1531);
Perang Schmalkaldis (1546–1547) di Kekaisaran Romawi Suci yang mencakup:
Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648) di Negeri-Negeri Dataran Rendah;
Perang Agama Prancis (1562–1598);
Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648), melibatkan Kekaisaran Romawi Suci yang mencakup Austria Habsburg dan Bohemia, Prancis, Denmark, dan Swedia;
Perang Tiga Kerajaan (1639–1651), melibatkan Inggris, Skotlandia, dan Irlandia;
Reformasi dan Perang Saudara Skotlandia;
Reformasi dan Perang Saudara Inggris;
Perang Konfederasi Irlandia dan Penaklukan Cromwell atas Irlandia.
Meskipun beberapa perang yang terkemudian seperti Perang Sembilan Tahun (1688–1697) juga memperjuangkan urusan-urusan agama dalam beberapa pertempuran, perang-perang itu pada dasarnya timbul karena alasan-alasan politik, dan koalisi-koalisi yang terbentuk pun didasarkan atas identitas keagamaan. Perang agama (religious war), kadang-kadang dikenal dengan sebutan perang suci (‘holy war’, atau ‘bellum sacrum’), adalah perang yang disebabkan oleh alasan keagamaan atau dijustifikasi berdasarkan agama atau menurut perintah agama.
Sebenarnya, menurut sarjana seperti Jeffrey Burton Russell, konflik dan perang tidaklah berakar pada agama, melainkan hanya ‘cover’ untuk sesuatu kekuatan duniawi yang berada di balik ‘cover’ agama itu (conflicts may not be rooted strictly in religion and instead may be a cover for the underlying secular power, ethnic, social, political, and economic reasons for conflict).
Jeffrey Burton Russel (2012). Exposing Myths about Christianity. Downers Grove, Ill.: IVP Books. pp. 56. ISBN 9780830834662. Konflik biasanya disebabkan oleh kekuatan di balik ‘cover’ itu, misalnya, persoalan etnik, sosial, poliltik, atau alasan-alasan ekonomi. Menurut sarjana lainnya, istilah perang agama atau "religious wars", sebagian besar hanya karena cara pandang barat yang biasa mendikotomikan pengertian perang agama (religious war) versus perang sekuler (secular war) karena alasan ekonomi, politik, atau lainnya.
Cavanaugh, William T. (2009). The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the Roots of Modern Conflict. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-538504-5. John Morreall, John; Tamara Sonn, (2013). 50 Great Myths of Religion. Wiley-Blackwell. pp. 39–44. ISBN 9780470673508. Jump up to:a b John Entick, The General History of the Later War, Volume 3, 1763, p. 110 Archived 17 February 2020 at the Wayback Machine. Namun, terlepas dari perbedaan ini, yang jelas perang yang diidentifikasi terkait dengan agama atau didorong oleh alasan-alasan keagamaan sudah terjadi sangat banyak di sepanjang sejarah. Bahkan, menurut Encyclopedia of Wars, dari 1.763 konflik yang terjadi dalam sejarah, 121 atau 6,87% di antara disebabkan atau terjadi karena alasan keagamaan.
Alan Axelrod; Charles Phillips, (eds.), (2004). Encyclopedia of Wars (Vol.3). Facts on File. pp. 1484–1485 "Religious wars". ISBN 0816028516.
Matthew White (2011). The Great Big Book of Horrible Things. W.W. Norton & Company. p. 544. ISBN 978-0-393-08192-3. Matthew White, dalam bukunya “The Great Big Book of Horrible Things” menyebut agama menjadi alasan utama terjadinya 100 perang dengan kekejaman yang paling mematikan dalam sejarah. (the primary cause of 11 of the world's 100 deadliest atrocities).
Matthew White (2011). The Great Big Book of Horrible Things. W.W. Norton & Company. hal. 544. ISBN 978-0-393-08192-3. Andrew Holt juga mengemukakan hal yang sama tentang “Religion and the 100 Worst Atrocities in History” ini. Lihat Andrea and Holt, Sanctified Violence: Holy War in World History; Andrew Holt, “Religion and the 100 Worst Atrocities in History”. https://apholt.com/2018/11/08/religion-and-the-100-worst-atrocities-in-history/ Archived 10 October 2020 at the Wayback Machine; Lihat juga Michael, eds. (22 June 2015). "Introduction". Peacemaking and the Challenge of Violence in World Religions. Wiley-Blackwell. hal. 1. ISBN 9781118953426.
Motivasi-motivasi yang tercampur aduk antara kepentingan-kepentingan politik, perebutan sumber-sumber ekonomi, persaingan ideologis, kebanggan etnik, dan motivasi keagamaan dan lain-lain sangat mewarnai semua perang-perang yang mengatasnamakan agama. Seringkali, motivasi yang bercampur-aduk antara motif politik, ekonomi, gengsi keluarga, kebangsaan etnis, dan lain-lain itu dibungkus dengan atau oleh motivasi keagamaan yang sangat kuat, menjadikan konflik dan peperangan-peperangan itu semakin dianggap beralasan untuk terus digelorakan, meskipun dengan korban nyawa dan harta benda yang tidak terkirakan. Inilah yang menjadi latar belakang timbulnya kesadaran untuk memisahkan segala urusan negara dari agama, memisahkan urusan gereja dari negara yang disebut sekularisme.
Bahkan, sampai dengan abad ke-18 dan ke-9, cara pandang bangsa-bangsa Eropa tentang sekularisme ini terus berkembang semakin keras, terutama di Eropa. Sekularisme juga dipahami mencakup pelbagai prinsip yang dimaksudkan untuk melindungi dan mendukung banyak aspek kebebasan yang dinikmati oleh umat manusia dalam kehidupan bersama. Sekularisme mengangkat isu-isu penting dan mendasar dalam kehidupan kemanusiaan berkenaan dengan keseimbhangan antara kebebasan agama (freedom of religion) dan kebebasan dari agama (freedom from religion) dengan prinsip-prinsip kebebasan lainnya.
Orang pertama yang menggunakan kata "sekularisme" ini dalam pengertian modern, adalah penulis agnostik Inggris George Holyoake (1817-1906)
George Jacob Holyoake (1817-1906) adalah editor koran di Inggeris, “The Reasoner” dari tahun 1846-1861 dan operator “The English Leader” tahun 1864-1867. Ia memperkenalkan istilah “secularism” pada tahun 1851 dan "jingoism" pada tahun 1878. Lihat Holyoake, G.J. (1896). English Secularism: A Confession of Belief. Library of Alexandria. hal. 47−48. ISBN 978-1-465-51332-8; Noah Feldman 2005, Divided by God. Farrar, Straus and Giroux, hal. 113; dan juga Edward Royle, Victorian Infidels: The Origins of the British Secularist Movement, 1791–1866, University of Manchester, 1974., yaitu pada tahun 1851
Holyoake, G.J. (1896). English Secularism: A Confession of Belief. Library of Alexandria. pp. 47−48. ISBN 978-1-465-51332-8.. Menurutnya, istilah “ateism” terlalu menjengkelkan. Karena itu, ia mencari istilah lain untuk menggambarkan sikap menganjurkan untuk menjalani hidup berdasarkan pertimbangan naturalistik (sekuler), dengan tanpa harus menolak agama, sehingga memungkinkan kerjasama dengan orang-orang percaya. Definisi Holyoake tentang sekularisme berbeda dari penggunaannya oleh penulis selanjutnya, seperti yang dicatat oleh situs Warisan Budaya, Holyoake memberikan definisi sekularisme sangat mirip dengan definisi modern tentang humanisme, lebih luas dari sekadar ateisme. Definisi sekularisme yang lebih modern cenderung berkaitan dengan pemisahan gereja dan negara daripada kepercayaan pribadi.
Dapat dikatakan, terdapat tiga prinsip utama yang biasa dipahami dalam sekularisme, yaitu
Lihat https://www.secularism.org.uk/what-is-secularism.html.:
Prinsip keterpisahan atau pemisahan antara institusi agama dan keagamaan dengan institusi negara dan ruang public dimana agama boleh atau dapat saja berpartisipasi, tetapi tidak boleh mendominasi (Separation of religious institutions from state institutions and a public sphere where religion may participate, but not dominate).
Prinsip kebebasan untuk menjalankan ajaran agama atau kepercayaan tanpa mengganggu kebebasan orang lain, atau kebebasan untuk berubah keyakinan agama dan kepercayaan, kebebasan untuk beragama atau tidak beragama, menurut keyakinannya masing-masing
Di dalamnya, terkandung pengertian di samping “freedom of religion” atau kebebasan agama atau beragama, juga kebebasan untuk tidak beragama atau kebebasan dari agama (freedom from religion). Di kalangan umat beragama, termasuk di lingkungan umat Kristen di negara-negara barat sendiri, prinsip “freedom from religion” ini tentunya sangat sulit diterima karena adanya perintah untuk menyebarluaskan agama kepada orang lain melalui penggembalaan, melalui tabligh, dakwah, pendidikan, dan sebagainya. (Freedom to practice one's faith or belief without harming others, or to change it or not have one, according to one's own conscience).
Prinsip kesetaraan agar keyakinan agama atau kekurangan kita dalam keyakinan itu tidak dianggap memberikan kelebihan atau kekurangan yang menyebabkan ketidaksetaraan dalam kehidupan bersama (Equality so that our religious beliefs or lack of them doesn't put any of us at an advantage or a disadvantage).
Prinsip seperti, jelas bertentangan dengan prinsip al-Quran yang menyatakan, “Inna akromakum ‘indallahi atqokum (QS. al-Hujurat ayat 49:13). Sungguhnya semulia-mulia orang di antara kamu di sisi Allah adalah karena ketaqwaan kamu”. Islam memuliakan orang yang bertaqwa, karena itu orang yang bertaqwa dan yang tidak bertaqwa jelas tidak setara.
Dari ketiga prinsip tersebut, yang paling banyak diperbincangkan mengenai sekularisme itu adalah prinsip yang pertama, yaitu pemisahan antara institusi agama dan keagamaan dengan institusi negara dan ruang public dimana agama boleh atau dapat saja berpartisipasi, tetapi tidak boleh mendominasi (Separation of religious institutions from state institutions and a public sphere where religion may participate, but not dominate). Prinsip pemisahan agama dan negara inilah fondasi pokok paham sekularisme. Prinsip ini penting untuk memastikan kelompok agama tidak ikut campur dalam urusan negara, dan negara tidak ikut campur dalam urusan agama. Di Inggris secara resmi ada dua denominasi Kristen yang diakui negara – Gereja Inggris dan Gereja Presbiterian Skotlandia. Ratu adalah kepala negara dan Gubernur Tertinggi Gereja Inggris. Tidak ada gereja yang mapan di Irlandia Utara atau Wales. Tetapi 26 uskup Gereja Inggris yang diangkat tanpa melalui pemilihan duduk di House of Lords yang berperan dalam pembentukan undang-undang yang mempengaruhi seluruh rakyat Inggris. Denominasi dalam agama Kristen sangat banyak dan bervariasi, bukan hanya terbatas pada gereja Anglikan Inggeris dan Presbiterian Skotlandia. Bahkan sebagian terbesar penduduk Inggeris tidak beragama atau atheis. Jika Inggris benar-benar negara demokrasi sekuler, struktur politik dan ketatanegaraannya mestilah mencerminkan realitas perubahan zaman dengan berusaha membedakan dan bahkan memisahkan antara urusan agama dari negara secara bersungguh-sungguh.
Sekularisme melindungi baik para pemeluk agama maupun yang tidak percaya kepada agama ataupun mereka yang ateis. Sekularisme berusaha untuk memastikan dan melindungi kebebasan berkeyakinan dan menjalankan agama bagi semua warga negara. Sekularis menginginkan kebebasan berpikir dan hati nurani berlaku sama bagi semua orang, baik yang percaya maupun yang tidak percaya. Mereka tidak ingin membatasi kebebasan beragama. Sekularisme berusaha untuk membela kebebasan mutlak beragama dan keyakinan lain, dan melindungi hak untuk memanifestasikan keyakinan agama sejauh tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain. Sekularisme memastikan bahwa hak individu atas kebebasan beragama (freedom of religion) selalu diimbangi dengan hak untuk bebas dari agama (freedom from religion) sebagai cermin cara pandang yang mempertentangkan secara kaku antara agama dengan negara seakan berada dalam hubungan yang saling bermusuhan (hostile relation between state versus religion).
Bahkan, dalam demokrasi sekuler semua warga negara sama di depan hukum dan parlemen. Tidak ada afiliasi agama atau politik yang memberikan keuntungan atau kerugian dan pemeluk agama adalah warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama seperti orang lain. Sekularisme memperjuangkan hak asasi manusia universal di atas tuntutan agama. Ini menjunjung tinggi undang-undang kesetaraan yang melindungi perempuan, dan bahkan orang-orang LGBT dan minoritas dari diskriminasi agama. Undang-undang kesetaraan ini memastikan bahwa orang yang tidak percaya memiliki hak yang sama dengan mereka yang mengidentifikasi diri dengan keyakinan agama atau filosofis. Semua berbagi untuk layanan rumah sakit, sekolah, polisi, dan layanan pemerintah setempat secara inklusif. Sangat penting bahwa layanan publik ini sekuler pada titik penggunaan, sehingga tidak ada yang dirugikan atau ditolak aksesnya atas dasar keyakinan agama (atau non-keyakinan). Semua sekolah yang didanai negara harus berkarakter non-religius, dengan anak-anak dididik bersama tanpa memandang agama orang tua mereka. Ketika badan publik memberikan kontrak untuk penyediaan layanan kepada organisasi yang berafiliasi dengan agama atau kepercayaan tertentu, layanan tersebut harus diberikan secara netral, tanpa upaya untuk mendakwahkan atau mempromosikan ide-ide dari kelompok agama tersebut.
Tentu, harus dipahami juga bahwa sekularisme tidak identik dan tidak selalu harus bersifat ateis atau anti-Tuhan. Ateisme adalah tiadanya kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan sekularisme hanya menyediakan kerangka kerja bagi masyarakat yang demokratis. Ateis memiliki minat yang jelas dalam mendukung sekularisme, tetapi sekularisme itu sendiri tidak berusaha untuk menantang prinsip agama atau kepercayaan tertentu, juga tidak berusaha untuk memaksakan ateisme pada siapa pun. Sekularisme hanyalah kerangka atau metode kerja untuk memastikan kesetaraan bagi seluruh warga masyarakat dalam politik, pendidikan, hukum, dan lain-lain, baik bagi orang yang percaya atau pun dan orang yang tidak percaya pada Tuhan, beragama ataupun tidak beragama.
Orang beragama tentu memiliki hak bebas untuk mengekspresikan keyakinan mereka secara terbuka tetapi begitu juga mereka yang menentang atau mempertanyakan keyakinan tersebut. Keyakinan, gagasan, dan organisasi keagamaan tidak boleh menikmati perlindungan istimewa dari hak atas kebebasan berekspresi. Dalam demokrasi, semua ide dan keyakinan harus terbuka untuk didiskusikan. Setiap individu manusia mempunyai hak dasar atau hasasinya masing-masing dalam kehidupan. Sekularisme merupakan kesempatan yang terbuka untuk semua orang untuk menciptakan masyarakat di mana setiap orang yang percaya pada Tuhan dan pada agama apa saja, ataupun yang tidak percaya, dapat hidup bersama secara setara, adil, dan damai. Negara diidealkan bertindak netral dalam hubungannya dengan agama yang beraneka ragam banyaknya sesuai dengan keyakinan masing-masing pemeluknya.
Namun, meskipun doktrin pemisahan agama dan negara ini menyangkut isu netralitas negara dalam berhubungan dengan agama, ide netralitas itu sendiri tetap terbuka untuk penafsiran yang luas. Karena itu, ada kemungkinan banyak variasi juga di dalam perkembangannya dalam praktik. Misalnya, apa yang dipraktikkan di Amerika Serikat dalam penilaian para ahli banyak yang berbeda dari apa yang dipraktikkan di kebanyakan negara-negara di Eropa. Hal ini tercermin dalam sejauhmana jarak yang diambil oleh negara dan agama di ruang publik dan di ruang privat. Misalnya, Steven Kettell (2015)
Steven Kette, “Non-religious political activism: Patterns of conflict and mobilisation in the United States and Britain”, Journal of Religion in Europe, 12 December 2015, Brill.com., AB. Kosmin dan A. Keysar (2009)
BA Kosmin, and A. Keysar A., Secularism, Women & the State: The Mediterranean World in the 21st century, books.google.com, 2009. Lihat juga “Religious, Spiritual and Secular: The emergence of three distinct worldviews among American college students”, 2013 (digitalrepository.trincoll.edu) yang menyatakan bahwa “… disaffiliation from religion is increasing (Kosmin & Keysar, 2009). membedakan antara 2 jenis sekularisme, yaitu ada yang lunak (soft) dan inclusive, ada yang keras dan eksklusif. Di samping itu, ada pula yang menggunakan istilah “hostile relation versus friendly relation between state and religion”. Pendek kata, sekularisme dapat dibedakan dalam dua jenis, yang keras, ekstrim, dan eksklusif; dan yang lunak, moderat, dan inklusif". Sekularisme keras dan ekstrim cenderung melihat hubungan antara negara dan agama sebagai hubungan yang seakan saling permusuhan (hostile relation) sebagaimana umumnya dipraktikkan di kebanyakan negara-negara di Eropa. Proposisi agama secara epistemologis dianggap tidak sah dan berusaha untuk menyangkalnya sebanyak mungkin. Sedangkan sekularisme lunak atau moderat lebih menekankan netralitas, toleransi dan liberalisme; Hubungan antara agama dan negara bersifat lebih bersahabat (friendly relation between state and religion), yang menurut beberapa sarjana, seperti dipraktikkan di Amerika Serikat. Mereka berpendapat bahwa pencapaian "kebenaran mutlak" adalah "mustahil dan oleh karena itu skeptisisme dan toleransi harus menjadi prinsip pokok dan nilai-nilai utama dalam mendiskusikan tentang sains dan agama".
Kenyataan yang diperlihatkan oleh gelombang pemisahan antara agama dengan negara di sepanjang sejarah, sebenarnya adalah gejala alamiah saja yang tidak lain merupakan “sunnatullah” dalam kehidupan umat manusia, yang pada waktunya mungkin dapat dipandang sebagai solusi bagi kehidupan bersama umat manusia dalam konteks ruang dan waktunya. Namun, dalam perkembangannya dapat saja, apa yang sudah terjadi di masa lalu itu ditafsirkan ulang menurut kacamata masa kini, sehingga apa yang sudah pernah terjadi itu tidak perlu dianggap sebagai sesuatu sistem yang final dan kekal yang tidak boleh berubah atau diubah. Banyak perubahan yang mungkin muncul sehingga, baik bagi yang pro maupun yang kontra, tidak perlu dimahaminya dari doktrin-doktrin pengertian lama yang seolah-olah bersifat final dan kekal. Sebagai contoh, bagaimana pandangan Harvey Cox tentang agama dalam bukunya, “The Secular City” (1965)
Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, New Jersey: Princeton University Press, 1965. berubah dalam buku “Religion in the Secular City” (1990) yang terbit 20 tahun kemudian
Harvey Cox, Religion in the Secular City: Toward a Postmodern Theology. Paperback, Simon & Schuster, 1985; Harvey Cox juga menulis artikel pada tahun 1990 mengenai perkembangan-perkembangan baru tentang kebangkitan agama dan spiritualitas di kota-kota sekuler seperti diuraikan dalam bukunya “The Secular City”. Artikel ini terbit dalam “The Christian Century”, November 7, 1990, hal. 1025-1029. Lihat www.christiancentury.org. Malah Cox menulis lagi buku “The Future of Faith”. Paperback pada tahun 2010, Harper One Reprint edition (October 5, 2010), dengan nada yang juga positif mengenai perkembangan spiritualitas keagamaan seperti halnya dalam buku “Religion in the Secular City” (1985)..
Malahan, apa yang digembar-gemborkan sebagai pemisahan yang ketat antara negara dan agama, sebenarnya tidak juga sekaku yang disangka banyak orang dalam kenyataan praktiknya. Di satu pihak, dewasa ini justru semakin berkembang kesadaran baru akan pentingnya dimensi-dimensi spiritualitas dalam kehidupan serta nilai-nilai ketuhanan dan bahkan keagamaan dalam kehidupan modern seperti yang digambarkan oleh Harvey Cox dalam bukunya “Religion in the Secular City” (1990). Demikian pula pemahaman mengenai etika dalam kehidupan bersama, semula biasa hanya dikaitkan dengan pengertiannya sebagai masalah privat yang lebih dekat ke urusan agama daripada urusan pemerintahan dan kenegaraan. Karena itu, etika harus dijauhkan dari persoalan kenegaraan, apalagi harus diadakan UU khusus mengenai etika. Akan tetapi, sekarang dalam perkembangannya, pengembangan infra-strukur etika jabatan public yang mencakup sistem kode etika dan pembentukan institusi penegakan kode etik, serta pembentukan UU tentang Etika Pemerintahan, etika jabatan publik (Ethics for Public Office Act), dan sebagainya, justru dipelopori oleh Amerika Serikat, dan sejak itu semakin banyak negara yang mengadopsi pembentukan infra-struktur etika untuk mengawal kehormatan jabatan-jabatan publik. Artinya, teori lama tentang pemisahan yang ketat antara agama dan negara tidak lagi berdasar. Di lain pihak, memang dalam kenyataan praktiknya sampai sekarang, masih banyak sekali negara-negara yang menganut paham negara agama dengan memberikan status khusus kepada agama tertentu sebagai agama negara. Ini bukan saja fenomena yang terjadi di dunia Islam, tetapi jauh lebih banyak lagi di lingkungan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Pokoknya, di kalangan penganut semua agama besar dunia, dimana saja dan sampai sekarang masih terus ada agama negara dan sekaligus negara agama.
Di lingkungan agama Yahudi dan Hindu memang tercatat masing-masing hanya ada 1 negara yang memberikan status istimewa kepada agama Yahudi, yaitu di Israel, dan agama Hindu di Nepal. Agama Buddha justru lebih banyak diakui sebagai agama negara, yaitu di 8 negara, yaitu di Bhutan, Cambodia, Laos, Kalmykia (Federasi Russia), Tibet, Thailand, Myanmar, dan Sri Lanka. Islam, dengan berbagai variasinya, mendapatkan status khusus di 23 negara, sedangkan agama Kristen justru diakui dan diberi perlakuan khusus di lebih banyak negara, yaitu di 42 negara. Bahkan 5 dari 16 negara Katolik secara eksplisit menyebutkan dalam konstitusi atau undang-undang istilah Katolik sebagai “official religion” atau “state religion”, yaitu Costa Rica, Liechtenstein, Malta, Monaco, dan Vatikan. Sedangkan negara-negara dengan penduduk penganut Kristen Ortodox atau Protestan terbesar, dengan pelbagai variasinya, ada 9 negara yang dalam konstitusinya secara eksplisit menyebutkan agama Kristen sebagai agama resmi atau agama negara, sedangkan 2 lainnya, yaitu Zambia dan Samoa dalam konstitusinya menyebut diri sebagai bangsa Kristen (Christian nation). Selebihnya bervariasi tetapi semuanya memberikan perlakuan khusus kepada agama Kristen yang disebut secara eksplisit dalam konstitusi atau dalam undang-undang. Artinya, anggapan yang menyatakan bahwa sejak terjadi peristiwa konflik dan bahkan perang yang berkaitan antara politik negara dengan gereja, dilanjutkan oleh gerakan reformasi Protestan yang dimotori oleh Marthin Luther pada tahun 1517, terjadinya rangkaian konflik dan perang yang diakhiri dengan Latheran Treaty 1929 antara Tahta Suci dengan Kerajaan Italia yang ditandatangani oleh Bennito Mussolini sebagai Perdana Menteri dan Cardinal Secretary of State Pietro Gasparri atas nama Paus Pius XI
Teks “The Lateran Treaty of 1929" ini dapat dibaca dari arsip asli tertanggal 25 Februari 2021. https://en.wikipedia.org/wiki/Vatican_City, telah terjadi pemisahan yang tegas antara negara dan gereja di seluruh dunia Kristen, tidak sepenuhnya benar.
Perjanjian ini mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1929 yang mengakui terbentuknya negara kota Vatikan yang terpisah dari Kerajaan Italia. Pada dasarnya, perjanjian ini memisahkan dengan tegas organisasi gereja dari negara, dan karena itu berkembang anggapan bahwa hal ini telah mendorong pula terjadinya gerakan pemisahan yang tegas pula di seluruh dunia Kristen antara agama dan negara, tetapi nyatanya dalam praktik yang diuraikan di atas, hal itu tidak sesuai dengan kenyataan. Sampai sekarang masih ada 42 negara yang secara resmi menyebut dirinya negara agama (Katolik atau Kristen) atau memberikan perlakuan khusus kepada agama Kristen dan umat Kristen di negara masing-masing yang tidak setara dengan perlakuan terhadap umat yang beragama lain.
24