Academia.eduAcademia.edu

Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik

2022, KOMPAS

https://doi.org/10.13140/RG.2.2.32623.20648

Yang dibutuhkan untuk membangun ekosistem ini bukan hanya terbitnya regulasi pendukung tapi tentunya komitmen dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan khususnya regulator. Resistensi yang masih cukup kuat dari petahana industri otomotif konvensional, diindikasikan salah satunya karena belum kompaknya instansi-instansi terkait untuk mengakselerasi pemanfaatan kendaraan listrik berbasis baterai ini meskipun sudah diamanahkan dalam Pepres No 55 tahun 2019.

RUBRIK MANAJEMEN ISMS Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Yang dibutuhkan untuk membangun ekosistem ini bukan hanya terbitnya regulasi pendukung tapi tentunya komitmen dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan khususnya regulator. Oleh: Zainal Arifin, 30 November 2022 KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO Mobil listrik jenis Toyota C+Cipod dari PT Toyota Astra Motor yang ditempatkan di pulau Samosir, dalam Danau Toba Sumatera Utara mulai Selasa (19/7/2022). Industri kendaraan listrik Indonesia baru saja mendapat angin segar. Kabar baik itu berupa terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022, dan dukungan Elon Musk, si raja mobil listrik dunia. Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Inpres tanggal 13 September yang lalu terkait Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kabar baik tersebut, diharapkan akan mendorong penciptaan pasar tertentu, menjadi terobosan atas kebuntuan terhadap masih lambatnya adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Sementara itu, pada konferensi G20 di Bali tanggal 14 November lalu, Elon Musk secara daring memuji dan menilai Indonesia sudah siap untuk membangun industri baterai kendaraan listrik terintegrasi. Terutama karena Indonesia memiliki cadangan nikel melimpah. Di samping itu, Indonesia juga memiliki sejumlah emiten yang serius menggarap kendaraan listrik seperti INDY, GOTO, NFCX, WIKA, dan SLIS. Sampat saat ini, meskipun sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan, populasi kendaraan listrik di Indonesia masih sangat rendah. Data bulan Desember 2021 memperlihatkan, jumlah kendaraan listrik roda empat hanya 1.769 dan roda dua 12.811 unit. Sedangkan pembangunan infrastruktur kendaraan listrik yaitu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU) lebih menggembirakan. Di periode yang sama, terbangun 140 unit dari target hanya 100 unit. Tantangan Kendaraan listrik adalah salah satu kunci pengurangan emisi karbondioksida di sektor transportasi sebagai penyumbang polutan kedua terbesar setelah sektor energi. Berbagai studi menunjukkan adanya penurunan signifikan karbondioksida dari peralihan kendaran berbahan fosil ke kendaraan listrik. Secara global, kajian International Energy Agency (IEA) tahun 2017 mencatat penurunan karbondioksida sebesar 50 persen untuk kendaraan bensin dan 40 persen pada kendaraan diesel. Studi BPPT tahun 2019 di Indonesia mencatat pengurangan emisi sebesar 35 persen. Angka serupa juga disajikan oleh PLN jika pengunaan kendaraan listrik dipasok dari jaringan sistem Jamali (Jawa, Madura dan Bali). Dalam konteks Indonesia, selain pengurangan emisi, kendaraan listrik juga akan menurunkan impor BBM yang terus melonjak. Lebih dari 80 persen impor BBM disedot oleh sektor transportasi darat. Tahun 2017 saja, nilai impor BBM kita tercatat sudah lebih dari Rp 300 triliun atau setara dengan 2 persen pertumbuhan ekonomi nasional. KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA Truk tangki bahan bakar minyak (BBM) Pertamina hendak keluar dari gerbang setelah pengisian BBM di Integrated Terminal Jakarta milik PT Pertamina (Persero), di Plumpang, Jakarta, Selasa (27/9/2022). Saat ini, kita menghamburkan devisa untuk impor minyak rata-rata Rp 1 triliun perhari. Angka ini akan terus melejit seiring bertambahnya jumlah kendaraan dan penurunan kapasitas produksi minyak kita. Besarnya nilai impor BBM ini jelas memperburuk defisit neraca perdagangan, menguras cadangan devisa dan memperlemah nilai tukar rupiah. Meskipun adopsi kendaran listrik merupakan solusi strategis untuk menurunkan emisi karbondioksia sekaligus mengurangi impor BBM namun masih ada banyak kendala. Setidaknya, ada tiga masalah utama yang perlu segera diselesaikan yaitu Infrastruktur kendaraan listrik yang belum matang, harga kendaraan yang masih mahal, dan persepsi masyarakat yang keliru tentang kendaraan listrik. Mitos Sebagai inovasi teknologi, kendaraan listrik masih asing dan banyak disalah pahami oleh masyarakat sehingga muncul mitos-mitos yang keliru. Semua kendaraan listrik butuh alat pengisi ulang daya. Hal ini sering disampaikan bahkan oleh para birokrat pemerintahan sehingga muncullah polemik “telur dan ayam”. Faktanya kendaraan listrik mempunyai beberapa varian yaitu PHEV (Plug in Hybrid Electric Vehicles), HEV (Hybrid Electric Vehicles) dan BEV (Battery Electric Vehicles). Semua kendaraan listrik butuh SPKLU. Dari dua teknologi yang butuh pasokan listrik (BEV dan PHEV), ternyata tidak semuanya butuh pengisi daya di tempat umum. Kenapa? Karena kendaraan listrik itu bisa mengisi daya di manapun selama ada jaringan listrik. KOMPAS/DEFRI WERDIONO Proses pengisian daya mobil listrik di salah satu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum di Nusa Dua, Bali, pekan kedua September 2022. Tak mengherankan jika masyarakat di Agats, Asmat pulau Papua, lebih banyak menggunakan sepeda motor listrik ketimbang bensin karena lebih mudah mendapatkan pasokan listrik dibandingkan BBM. Studi global oleh IEA tahun 2017 memperlihatkan bahwa hanya 15 persen pengguna kendaran listrik melakukan pengisian daya di SPKLU, sisanya 85 persen melakukannya di rumah-rumah masing. Banyak orang takut beralih ke kendaraan listrik karena beranggapan lamanya pengisian daya listrik. Mitos ini benar jika arus listrik yang dipakai kecil dan kapasitas baterai kendaraan besar. Contohnya, Ioniq 5 dengan kapasitas baterai 70 kWh akan mengisi daya lebih dari 12 jam di rumah dengan daya langganan 3 kW. Tapi hanya butuh sekitar 10 menit jika dipasok oleh SPKLU berkapasitas 250 kWh. Jadi masa pengisian daya tergantung kepada besarnya arus dan kapasitas baterai. Ketakutan lain adalah jarak jelajah terbatas dan harus sering isi daya. Ini akan benar hanya jika baterai kendaraan listrik berkapasitas kecil. Sebagai perbandingan, sepeda motor listrik sekelas Gesit dengan baterai 1.5 kWh hanya bisa menempuh sekitar 50-60 km perjalanan sekali isi daya. Sebaliknya mobil Tesla X dengan baterai 75 kWh sanggup menempuh lebih dari 400 km tanpa menambah daya. Ada sebagian kalangan yang menyampaikan bahwa sia-sia beralih ke kendaraan listrik jika pasokan listriknya masih dari sumber energi yang kotor seperti PLTU batu bara. Ini sering menjadi kampanye negatif bagi kendaraan listrik. KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Seorang siswa dengan sepeda listriknya menyusuri jalanan panggung yang membelah Kota Agats, Asmat, Papua, saat berangkat ke sekolah, Selasa (12/10/2021). Kendaraan roda dua di Kota Agats mayoritas menggunakan energi listrik yang ramah lingkungan. Faktanya meskipun dipasok dari listrik PLTU batu bara, kendaraan listrik tetap akan turun emisinya karena efisiensinya 2 – 4 kali lebih besar dari kendaraan fosil. Pada pemakaian energi yang sama, namun efisiensi lebih tinggi tentu saja emisi yang dihasilkan akan lebih kecil. Beberapa riset juga membuktikan bahwa penurunan emisi kendaran listrik akan tetap signifikan meskipun listriknya dari pembangkit-pembangkit “kotor” seperti di beberapa negara Eropa Timur - dan juga Indonesia (Messagie, 2017). SPKLU juga dipasok 100 persen energi terbarukan khususnya energi surya (PLTS). Ada beberapa gambar di media sosial yang memperlihatkan SPKLU terpasang di bawah PLTS atap. Tak sedikit yang meyakini bahwa pasokan listrik SPKLU itu 100 persen dari energi surya. Dengan teknologi saat ini, untuk mengisi daya satu kendaraan listrik yang kecil saja dengan kapasitas baterai 30 kWh, dibutuhkan luasan PLTS atap setidaknya 2.000 meter persegi. Pasokan 100 persen energi surya untuk SPKLU masih sekedar mitos. Edukasi dan Ekosistem Merunut ke teori siklus hidup teknologi, suatu inovasi baru seperti kendaraan listrik ini perlu paparan secara intensif sebelum masuk ke pasar komersial. Publik harus teredukasi dan terinformasikan secara benar. Kegiatan seperti Jakarta e-formula menjadi signifikan untuk menimbulkan rasa percaya dari publik atas teknologi ini. Lomba dan kompetisi terkait kendaran listrik juga menjadi sarana edukasi yang efektif terutama bagi generasi milenial. Berkaca kepada kesuksesan di China dan Norwegia, maka adopsi kendaraan listrik bisa didekati dengan teori Institusional; perlunya dibangun eksosistem kendaraan listrik di Indonesia. Mata rantai pasok industri ini jauh lebih ramping dibandingkan kendaraan konvensional. KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Grab Car sedang diisi daya mobil listriknya di stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di halaman Kantor PLN Distribusi Jakarta Raya, Jakarta, Senin (22/11/2021). Jika kendaraan fosil membutukan 2000-an komponen maka kendaraan listrik hanya butuh sekitar 200-an komponen. Ekosistem ini tidak hanya melibatkan sisi hulu dan hilir dari mata rantai produksi melainkan juga terkait dengan institusi-instutisi penentu lainya. Selain perusahan utilitas seperti PLN yang menyediakan pasokan daya listrik dan lembaga pembiayaan seperti bank, keterlibatan pemerintah sebagai regulator sangat signifikan terutama dengan memberikan insentif dan dis-insentif. Mahalnya kendaraan listrik saat ini misalnya tidak terlepas dari kebijakan fiskal yang menempatkan kendaraan listrik sebagai barang mewah dan belum adanya industri komponen utama di Indonesia khususnya baterai. Pembangunan ekosistem ini bisa didukung juga oleh insentif non fiskal seperti pembebasan ganjil genap untuk kendaraan listrik yang sudah diterapkan oleh Pemda DKI. Bisa juga melalui disinsentif misalnya penerapan pajak karbon bagi kendaraan bermotor. Yang dibutuhkan untuk membangun ekosistem ini bukan hanya terbitnya regulasi pendukung tapi tentunya komitmen dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan khususnya regulator. Resistensi yang masih cukup kuat dari petahana industri otomotif konvensional, diindikasikan salah satunya karena belum kompaknya instansi-instansi terkait untuk mengakselerasi pemanfaatan kendaraan listrik berbasis baterai ini meskipun sudah diamanahkan dalam Pepres No 55 tahun 2019. *** Zainal Arifin adalah dosen Program Studi Pasca Sarjana di Institut Teknologi PLN dan pengurus Indonesia Strategic Management Society. Email: zainal_pln@yahoo.com Editor: HARYO DAMARDONO, ANDREAS MARYOTO