Jurnal Kerusakan Lingkungan
Jurnal Kerusakan Lingkungan
Jurnal Kerusakan Lingkungan
ABSTRACT
This study aims to determine factors that cause the destruction of forests and why these factors
cause damage to forests in the region Cycloop Mountains Nature Reserve so that in formulating
appropriate strategies to control forest damage occurred. The research was conducted in Jayapura
regency of Papua Province. Data collection through kuiesioner, interviews, observation, and study
the document. Data were analyzed qualitatively desktiptif through data reduction, data display, and
conclusion, The results concluded that the forest damage occurred in the mountains Cycloop
conservation areas due to the 3 (three) aspects: physical, social and economic. The influence of
each of these aspects can be seen through the activities of forest management or land conversion is
done by the community living around / in the region in the form of settlements, fields, logging and
mineral collection c as well as several other activities. The level of forest damage caused by the
activities of the community in the form of conversion of forest / land such as fields 624 ha, 22 ha
residential and logging 13 ha and 395 ha of critical land that occurs naturally. Thus, shifting
cultivation is one of the many community activities causing deforestation in the mountainous area
of nature reserves Cycloop.
Keywords : Forest Damage and Control Strategy
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan hutan dan mengapa
faktor-faktor tersebut menyebabkan kerusakan hutan pada kawasan Cagar Alam Pegunungan
Cycloop sehingga di rumuskan strategi yang tepat untuk mengendalikan kerusakan hutan yang
terjadi. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Pengumpulan data
melalui kuiesioner, wawancara, observasi, dan studi dokumen. Data dianalisis secara desktiptif
kualitatif melalui reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan, Hasil penelitian
disimpulkan bahwa kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan cagar alam pegunungan cycloop
disebabkan oleh 3 (tiga) aspek yaitu aspek fisik, sosial dan ekonomi. Pengaruh dari masingmasing aspek tersebut dapat terlihat melalui aktifitas pemanfaatan hutan atau konversi lahan yang
dilakukan oleh masyarakat yang bermukim disekitar / di dalam kawasan dalam bentuk pemukiman,
perladangan, penebangan kayu dan pengambilan bahan galian c serta beberapa aktifitas lainnya.
Tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh adanya aktifitas masyarakat dalam bentuk
konversi hutan / lahan antara lain perladangan 624 ha, pemukiman 22 ha dan penebangan 13 ha
serta 395 ha lahan kritis yang terjadi secara alami. Dengan demikian maka perladangan berpindah
merupakan salah satu aktifitas masyarakat yang banyak menyebabkan kerusakan hutan di dalam
kawasan cagar alam pegunungan cycloop.
Kata Kunci : Faktor Kerusakan Hutan dan Strategi Pengendalian
2
PENDAHULUAN
Dalam peraturan pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 15
disebutkan, upaya pemanfaatan hutan ditujukan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Pemanfaatan
hutan secara lestari dilakukan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Hutan
bukan hanya sekumpulan pepohonan yang mampu menyediakan kayu, hutan sesungguhnya
merupakan sistem ekologi penyangga kehidupan. Di dalam hutan terdapat beraneka ragam fungsi
yang bermanfaat bagi manusia. Antara mata rantai kehidupan tersebut saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi, sehingga rusaknya atau hilangnya salah satu mata rantai kehidupan akan
berdampak pada mahluk hidup yang lain salah satunya adalah manusia. Karena itu pemanfaatan
hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 1945, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun
1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan
serta beberapa keputusan Dirjen PHKA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Uraian diatas mengigatkan kepada kita bagaimana pentingnya hutan bagi kehidupan manusia,
namun saat ini kondisi hutan sudah mulai rusak bahkan sudah berada pada tahap yang
memprihantinkan.
Beberapa waktu yang lalu Menteri Kehutanan Republik Indonesia melaporkan kondisi
hutan Indonesia saat ini. Dari laporan tersebut, diketahui hutan primer Indonesia tinggal 24% dari
71% sebelumnya, hutan produksi 25% dan 22% kawasan yang sudah tidak berhutan sama sekali.
Dari data yang ada juga terlihat bahwa telah terjadi deforestasi yang hebat selama sepuluh tahun
terakhir. Hal ini disebabkan oleh pembukaan hutan dan perubahan menjadi hutan produksi,
kebakaran hutan dan dampak elnino. Semua kerusakan hutan yang terjadi berdampak pada
kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan
produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global.
Dalam dua dasawarsa, ancaman kerusakan ekosistem akan menimbulkan kerugian yang
sangat serius baik kerugian ekologis, sosial maupun ekonomi finansial (Ismawan, 1999).
Meningkatnya kecemasan tentang perusakan hutan berjalan seiring dengan peningkatan laju
perekonomian global menuju era liberalisasi. Pada hal semakin intens liberalisasi perdagangan
dioperasionalkan, makin tinggi pula tingkat aktifitas ekonomi dan transportasi (Low dalam
Ismawan,1999). Seiring peningkatan aktifitas ekonomi dan transportasi itu, tingkat pencemaran
pun akan semakin tinggi dan kegiatan yang bersifat merusak lingkungan juga semakin terjadi.
Hal ini disebabkan oleh kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang
lebih memberi penekanan pada aspek ekonomi dan kurang berpihak pada kepentingan masyarakat
dan lingkungan. Prinsip-prinsip keadilan, keberpihakan pada masyarakat, kelestarian lingkungan
dan keberlanjutan pembangunan kurang memperoleh perhatian dalam sistem pengelolaan hutan
yang selama ini diterapkan.
Pegunungan Cycloop merupakan salah satu kawasan konservasi di Papua yang ditunjuk
sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 56/Kpts/Um/1/1978
tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 dengan luas 22.500 Ha.
Penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung tentu dengan pertimbangan bahwa gunung
cycloop merupakan tempat berlindung bagi beberapa satwa endemik papua dan juga satu-satunya
sumber air bersih bagi seluruh lapisan masyarakat baik di Kabupaten maupun Kota Jayapura serta
beberapa fungsi lainnya. Namun akhir-akhir ini eksistensi cagar alam pegunungan Cycloop
sedikit mengalami permasalahan yang pada akhirnya berdampak negatif juga terhadap aktifitas dan
kelangsungan hidup masyarakat.
Menurut data dari World Wildlife Fund (WWF) Region Sahul Papua, bahwa Cagar Alam
Pegunungan Cycloop yang selama ini berfungsi sebagai penyangga dan daerah tangkapan air
beberapa tahun terakhir mengalami kerusakan akibat aktifitas warga masyarakat di sekitar kawasan
tersebut. Kerusakan yang terjadi saat ini bisa ditemukan dibeberapa lokasi antara lain di Waena,
Skyaline, Ifar Gunung, Sereh, Pos Tujuh, Polomo, Kemiri, Doyo, Kodam Baru dan Angkasa Indah.
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Hutan
Kata hutan merupakan terjemahan dari kata forrest (Inggris) yang berarti dataran tanah
yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan seperti
pariwisata. Didalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang
tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan.
Disamping itu, hutan juga dijadikan tempat perburuan, tempat istirahat dan tempat bersenangsenang bagi raja dan pegawai-pegawainya (Black, 1997).
Menurut Dengler yang menjadi ciri hutan adalah : (1) adanya pepohonan yang tumbuh
pada tanah yang luas (tidak termasuk savana dan kebun) dan (2) pepohonan tumbuh secara
berkelompok.
Pengertian diatas, senada dengan definisi yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Didalam pasal
tersebut, hutan diartikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi
pepohonan) yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta
lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan.
Dari beberapa definisi diatas, terkandung empat unsur penting dalam hutan yaitu : (1)
unsur lapangan yang cukup luas (minimal1/4 hektar) yang disebut tanah hutan, (2) unsur pohon
(kayu, bambu, palem), flora dan fauna, (3) unsur lingkungan dan (4) unsur penetapan pemerintah.
B. Jenis jenis Hutan
Dalam pasal 5 sampai dengan pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
ditetapkan empat jenis hutan yaitu berdasarkan statusnya, fungsinya, hutan berdasarkan tujuan
khusus dan hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.
C. Manfaat Hutan
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang
pembangunan bangsa dan negara. Hal ini disebabkan karena hutan dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Ngadung, ada dua manfaat hutan yaitu :
a. Manfaat Langsung
Yang dimasksud dengan manfaat langsung adalah manfaat hutan yang dirasakan secara
langsung oleh masyarakat. Misalnya penggunaan kayu untuk bahan bangunan, alat-alat rumah
tangga, pembuatan perahu dan lainnya serta pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan,
bambu, getah, buah-buahan untuk mendukung kehidupan manusia.
b. Manfaat Tidak Langsung
Manfaat tidak langsung adalah manfaat hutan yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat
tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri.
Pelestarian hutan terkait erat dengan pengelolaan hutan lestari, (Iskandar dkk, 2003)
menyebutkan bahwa pengelolaan hutan lestari mengandung tiga dimensi utama untuk mewujudkan
kelestarian sumberdaya hutan, yaitu kelestarian fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Praktek
pengelolaan hutan lestari merupakan wujud nyata atas keberlanjutan usaha di sektor kehutanan
(dimensi kelestarian ekonomi) serta tinggi rendahnya kadar harmonis interaksi sosial budaya
dengan komunitas lokal (dimensi kelestarian fungsi sosial). Suhendang (2002) menjelaskan
konsep pengelolaan hutan lestari mencakup hutan sebagai : (1) fungsi ekonomi merupakan
keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi, (2) fungsi ekologis merupakan bentuk jasa hutan
yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan, dan (3) fungsi sosial
budaya merupakan barang dan jasa yang dihasilkan dari hutan untuk memenuhi kepentingan
4
kebutuhan hidup masyarakat di sekitar hutan, serta berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka
kegiatan pendidikan, pelatihan serta kegiatan budaya dan keagamaan.
D. Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan yang terjadi di indonesia bukan merupakan sebuah issu yang sama sekali baru
dalam konteks pembangunan kehutanan di Indonesia, artinya sinyalemen rusak dan hilangnya
hutan sudah berlangsung sejak lama (Iskandar, dkk 2003). Berbagai catatan dan literatur telah
membuktikan bahwa aktivitas perusakan hutan di Indonesia telah berlangsung sejak zaman Pra
kemerdekaan dimana sejarah telah mencatat bagaimana proses pengrusakan hutan Jati di Jawa oleh
VOC, yang mana pada waktu itu berkuasa menentukan semua urusan perdagangan yang
menginginkan hasil produksi yang tinggi dari hutan Indonesia tanpa mempedulikan asas
kelestarian.
Kerusakan hutan dimulai ketika pemberian areal konsensi berupa hutan produksi di luar pulau
Jawa kepada para pemegang HPH, yang dimulai pada awal tahun 1970-an.
Eksploitasi besar-besaran ini tanpa dipedomani oleh aturan yang jelas pada waktu itu, dan ketika
hutan sudah mulai memasuki tahap kerusakan yang serius, baru dikeluarkan pedoman/aturan baku
untuk eksploitasi hutan. Dengan pemaksaan percepatan produksi untuk menunjang pembangunan
ekonomi indonesia dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, maka sudah dapat dipastikan
kerusakan hutan yang lebih parah tidak dapat dihindari. Selain eksploitasi hutan yang sangat
merusak, masalah kebakaran hutan baik yang terjadi secara alamiah (kebakaran di lahan gambut
dan lahan yang mengandung batu bara terutama di Sumatera dan Kalimantan), maupun akibat ulah
manusia turut memperparah kondisi hutan di Indonesia. Akibatnya hutan Indonesia rusak berat
(Media Indonesia, 4 September 2002 .40,26 juta Ha hutan Indonesia rusak). Inilah persoalan besar
yang harus dihadapi lembaga Kementerian Kehutanan dan jajarannya.
Masalah kerusakan hutan di Indonesia ini tidak hanya dilansir oleh lembaga-lembaga
nasional tetapi juga telah disampaikan oleh berbagai kalangan / lembaga internasional seperti Bank
Dunia (World Bank), yang mengemukakan bahwa kawasan hutan di kalimantan akan habis pada
tahun 2010. Penggambaran laju kerusakan hutan yang begitu tinggi juga dikemukakan oleh
berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta yang mengemukakan laju kerusakan
hutan ini dalam hitungan waktu per menit. Ini merupakan kenyataan yang sementara dihadapi oleh
bangsa indonesia dan bila kecenderungan ini tidak dapat dihentikan maka pada akhirnya Indonesia
yang semula hijau akan berubah menjadi padang pasir manakala terjadi deforestasi (Iskandar, dkk,
2004). Selanjutnya dikatakan bahwa ketidak mampuan membalik atau menghambat kondisi ini
akan menghasilkan sebuah fenomena pada tahun-tahun mendatang yaitu keberadan sebuah lahan
hutan tanpa hutan (Forestland without forest) atau hutan tanpa pepohonan (Forest without trees)
dan sektor publik kehutanan akan melakukan manajemen hutan untuk hutan yang tidak ada (Forest
management of the non existent forest).
Hutan rusak sudah tentu ada faktor penyebabnya. Selain itu pihak yang dikategorikan sebagai
perusak hutan juga beragam, mulai dari individu, kelompok bahkan negara melalui berbagai
aparaturnya. Pada tataran yang paling tinggi, sejak awal kerusakan hutan diyakini para pihak
disebabkan karena idiologi pembangunan kehutanan yang yang dianut negaralah yang justru telah
menyebabkan kerusakan hutan.
Ideologi pembangunan kehutanan, yang keberhasilannya diukur dari tingkat pertumbuhan
ekonomi, merupakan sumber terjadinya kerusakan hutan, termasuk berbagai kebijakan kehutanan
sebagai derivatif paradigma pembangunan. Intinya, hutan sebagai ekosistem direduksi makna dan
fungsinya hanya sebatas sebagai salah satu faktor produksi yang suatu saat akan habis (Iskandar,
dkk, 2003). Apalagi dalam prakteknya, hutan hanya dipandang sebagai sumber komoditas yang
sangat terbatas, yaitu sumber penghasil komoditas kayu yang hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu (hasil hutan). Pada hal tidak sesempit itu
manfaatnya, karena sesuai hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor,
menunjukkan bahwa, persentasi potensi ekonomi sumberdaya hutan yang berwujud kayu hanya
sebesar 5% dari keseluruhan nilai potensi hutan (IPB, 1999). Itu berarti bahwa selain kayu yang
hanya bernilai 5% tersebut, hutan masih memiliki potensi lain yang jauh lebih besar yang meliputi
5
sumber pangan, sumber energi dan bahan bakar, bioteknologi, biodiversitas (flora dan fauna),
sumber obat-obatan serta fungsi ekologi, estetika dan sosial budaya. Fungsi-fungsi ini ada yang
merupakan fungsi yang sulit dinilai dengan uang (Intangible) oleh karena itu sering luput dari
perhatian pemerintah maupun pihak-pihak yang berhubungan dengan hutan itu sendiri.
Selanjutnya menurut Iskandar Untung dkk, kerusakan hutan yang terjadi di indonesia saat ini
di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a.
Penebangan Liar (Illegal Logging)
Penebangan liar atau illegal logging disektor kehutanan dewasa ini sudah demikian
dominan dalam praktek pengelolaan hutan di indonesia sehingga tidak heran kalau saat ini
banyak media baik elektronik maupun cetak banyak melansir berita tentang peristiwa illegal
logging. Bahkan banyak pihak yang meyakini bahwa kalkulasi volume kayu yang bersumber
dari praktek illegal logging justru jauh lebih besar dari pada yang berasal dari leggal logging.
Yang lebih memprihantinkan lagi, sektor publik kehutanan tidak mampu merumuskan jalan
keluar untuk mengatasi masalah ini karena banyaknya pihak yang terlibat dalam upaya
penanganan kegiatan malpraktek ini.
Berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan, diperoleh data bahwa angka
penebangan liar mencapai 50,7 juta m3 per tahun dengan kerugian finansial sebesar Rp 30
trilyun per tahun.
b.
c.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan studi kasus (case study) dengan
jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu menganalisis secara komprehensif tentang faktor-faktor
penyebab kerusakan hutan pada kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Pemilihan cagar alam
cycloop sebagai obyek penelitian tentu dengan alasan bahwa kawasan ini merupakan daerah
penyangga dan tangkapan air bagi seluruh masyarakat di Kabupaten dan Kota Jayapura.
Penelitian ini hanya difokuskan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja dan bagaimana
faktor-faktor tersebut menyebabkan kerusakan hutan pada kawasan cagar alam pegunungan
6
cycloop sehingga di cari solusinya. Sedangkan data yang digunakaan adalah data perimer data data
sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif melalui reduksi, penyajian dan penarikan
kesimpulan. Adapun penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan yaitu Agustus
Oktober 2010.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Jayapura merupakan salah satu wilayah di Provinsi Papua yang terdiri dari 19
Distrik / Kecamatan dan terletak diantara 139 Bujur Barat - 140 Bujur Timur dan 2 Lintang
Utara - 3 Lintang Selatan dengan luas wilayah 17.516,6 Km. Distrik Kaureh dengan luas
4.357,9 km merupakan distrik terluas di Kabupaten Jayapura atau sekitar 24,88 persen dari luas
keseluruhan Kabupaten Jayapura dan Distrik Sentani Barat dengan luas wilayah terkecil yaitu
129,2 km atau sekitar 0,74 persen dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten
Jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Jayapura adalah 121.693 orang yang terdiri dari 64.982 penduduk laki-laki dan
556.711 penduduk perempuan. Dengan luas wilayah seluas 17.516,6 km berarti tingkat kepadatan
penduduk di Kabupaten Jayapura adalah 6,95 jiwa / km.
B. Profil Singkat Cagar Alam Pegunungan Cycloop
Cagar Alam Pegunungan Cycloops merupakan salah satu kawasan konservasi di Papua
yang ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
56/Kpts/Um/1/1978 tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 dengan luas 22.500 Ha. Secara
Geografis Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada 14530 BT dan 231 LS. Cagar Alam
Pegunungan Cycloops terletak memanjang dan membentang dari teluk merah ke arah timur.
Gunung Rafeni merupakan puncak tertinggi dalam kawasan ini, ketinggiannya mencapai 1.880
meter dpl. Secara adminitrtif Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada Distrik Jayapura
Selatan Jayapura Utara, Sentani dan Depapre Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura Provinsi
Papua. Cagar Alam Pegunungan Cycloops sebelah utara dibatasi oleh laut Pasifik, sebelah selatan
dibatasi oleh Kota dan Kabupaten Jayapura, sebelah timur dibatasi oleh Kota Jayapura dan sebelah
barat dibatasi oleh Distrik Depapre.
Potensi Flora dan Fauna
Kawasan ini terdiri dari 5 tipe ekositem utama yaitu Hutan Hujan dataran rendah (Lowland
Rainforest), Hutan Pegunungan (Mountain Forest), Hutan Sekunder (Secondary forest), Padang
Rumput (Grassland). Seluruh ekosistem merupakan ekosistem alami. Potensi Flora dalam
kawasan ini adalah Pometia sp, Instia bijuga, Anisoptera sp, Dilennia sp, Dracontomelon sp,
Firmiana sp, Callophylum sp, Myritica sp, Araucaria cuninghammi, Castanopsis sp, Querqus spp,
Sapotaceae (Burcella magusun), Callophylum carii, Ficus spp dan Syzybium spp dan
beberapa jenis Anggrek seperti Anggrek Hitam (Dendrobium lasianthera), Anggrek besi (D.
violaceoflavens), Anggrek Jamrud Hitam (D. macrophyllum var. gigantheum), Anggrek Jamrud
Kuning (D. macrophyllum A. rich), Anggrek Kuning (D. connotum), Anggrek Dasi (Bulbophyllum
sp), Anggrek Nenas (D. smilliae), Anggrek Kelinci (D. antenatum), Anggrek Kantung
(Paphiopedillum violascens).
Potensi fauna yang ada antara lain Kakatua Raja (Pobosciger atterimus), Paradisea minor,
Palanger sp, Lorius domicella, Cacatua galerita triton, Dendrolagus sp, Goura victoria,
Ornitophera sp, Electus rotatus, Casuarius sp serta beberapa jenis Kelelawar. Salah satu jenis
hewan karnivora berkantong yang ditemukan di kawasan ini adalah Dasyrys albopunctatus.
7
1.
8
sehingga menggunakan kayu bakar sebagai perlengkapan memasak sehari-hari. Hal lain yang
turut mempengaruhi adalah langkanya BBM khususnya minyak tanah beberapa tahun terakhir
ini membuat distribusi minyak tanah kepada masyarakat sangat sulit sehingga walaupun ada
keluarga yang mempunyai kompor tetapi tidak bisa menggunakannya karena tidak ada minyak
tanah.
d. Pembangunan Jalan
Dari hasil survey dilapangan diperoleh informasi bahwa sementara ini dibangun jalan raya
yang akan menghubungkan beberapa lokasi baik di Kabupaten maupun Kota Jayapura yang
rutenya akan melewati bahkan masuk dalam kawasan cagar alam pegunungan cycloop. Jalan
tersebut diantaranya meliputi :
a. Ruas Jalan Skyline ke Perumnas IV Waena. Ruas jalan yang dibuat dari Skyline ke
Perumnas IV Waena dibangun pada zona penyangga hingga masuk dalam kawasan cagar
alam.
b. Pembangunan ruas jalan dari Pasir VI menuju Ormu. Pembangunan jalan ini masuk dalam
kawasan cagar alam.
Dampak yang ditimbulkan dari pembangunan jalan ini adalah rusaknya habitat dan satwa
yang ada di kawasan tersebut serta banyak masyarakat yang akan bermukim disepanjang
jalan tersebut dan sudah pasti melakukan aktifitas di dalam kawasan cagar alam cycloop.
e. Penggalian Bahan Galian C
Kebutuhan akan bahan baku pembuatan jalan dan bangunan dari tahun ke tahun semakain
meningkat. Bahan galian tersebut telah banyak digali secara illegal dan dijual kepada setiap
kendaraan yang masuk untuk membelinya. Selain secara illegal juga digali oleh perusahaan
yang memiliki ijin dari Dinas Pertambangan Provinsi Papua.
Dari hasil survey dan wawancara dengan para pengumpul di beberapa lokasi penggalian,
diperoleh informasi bahwa penggalian bahan material bangunan dilaksanakan dengan dasar
kontrak bersama pemilik tanah atau ondoafi sebagai pemilik hak ulayat setempat. Penggalian
illegal yang dilaksanakan oleh masyarakat secara perorangan pada umumnya terpusat pada
aliran kali/sungai dengan lokasi kegiatan antara lain : di kiri kanan kali Kayabu, kali Jabawi,
dan Kali Ular.
f.
9
eksistensi cagar alam Cycloop tetap terjamin maka diperlukan upaya pengelolaan yang yang tepat
guna meminimalisir kerusakan yang ada. Untuk merencanakan kegiatan pengelolaan tersebut tentu
saja juga diharapkan untuk mengatasi permasalahan atau kerusakan hutan yang terjadi di dalam
kawasan CA. Cycloop.
Beberapa kebijakan pengelolaan yang perlu dilakukan dalam rangka menekan tingkat
kerusakan pada kawasan CA. Cycloop antara lain :
1. Kampanye dan Sosialisasi
Upaya penanggulangan kerusakan hutan pada cagar alam cycloop yang dilakukan melalui
kegiatan kampanye dan sosialisasi perlu dilakukan melalui beberapa media seperti media cetak
dan elektronik, spanduk dan pembuatan baliho.
Kegiatan kampanye dan sosialisasi melalui beberapa media sebagaimana tersebut diatas perlu
memuat beberapa informasi penting seperti arti pentingnya hutan bagi kehidupan manusia,
bahaya dan bencana alam bagi manusia dan penerapan hukum dan sanksi kepada pihak-pihak
yang melakukan tindakan kerusakan didalam kawasan cagar alam cycloop.
Untuk
menyebarluaskan informasi tersebut, maka spanduk dan baliho hendaknya dipapampang pada
tempat-tempat umum yang sering dikunjungi masyarakat seperti pasar, mall dan sebagainya.
Sedangkan melalui media cetak dan elektronik perlu dilakukan melalui koran dan stasiun
televisi lokal seperti koran cenderawasih pos dan TOP TV Papua dan Televisi Mandiri Papua.
2. Pemantapan Kawasan
Pemantapan kawasan hutan perlu dilakukan melalui beberapa bentuk antara lain :
a. Pemetaan situasi dan kondisi cagar alam cycloop seperti penyebaran tingkat kerusakan /
degradasi serta kerawanan bencana longsor dan banjir pada kawasan cagar alam cycloop.
Tujuannya adalah supaya masyarakat mengetahui dengan jelas lokasi-lokasi dan luas areal
yang sudah rusak serta daerah yang rawan bencana.
b. Rekonstruksi pal batas yaitu mengembalikan pal-pal batas kawasan yang sudah hilang atau
rusak. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengetahui dengan jelas batas-batas
kawasan cagar alam cycloop sehingga tidak melakukan aktifitas didalam kawasan tersebut.
c. Pemancangan papan pengumuman / peringatan disetiap titik-titik jalan yang rawan
kerusakan.
3. Penanaman Pohon Batas
Tujuan dari kegiatan ini yaitu menanam pohon/tanaman sebagai pengganti pal batas
sepanjang batas kawasan cagar alam cycloop. Jenis pohon/tanaman yang perlu ditanam adalah
:
a. Jenis tanaman kayu-kayuan seperti merbau, matoa, sengon dan cemara. Maksud dari
menanam jenis kayu seperti ini adalah agar apabila kayu tersebut sudah besar maka
dipanen/ditebang oleh masyarakat sendiri dan tidak perlu lagi menebang kayu didalam
kawasan.
b. Jenis tanaman yang bersifat multi fungsi seperti pohon pinang, bambu dan buah merah.
Mengingat jenis tanaman ini mempunyai banyak fungsi maka perlu ditanam disepanjang
batas kawasan. Sedangkan pola tanamnya harus pada batas luar kawasan. Penanamannya
pun harus melibatkan masyarakat umum yang bermukim disepanjang batas kawasan. Hal
ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial terhadap para pemilik hak
ulayat disepanjang batas kawasan cagar alam.
4. Pengamanan Cagar Alam Cycloop
Dalam rangka melakukan pengamanan terhadap kawasan cagar alam cycloop, maka perlu
dilakukan beberapa tindakan pengamanan sebagai berikut :
a. Membentuk polisi hutan adat yang direkrut dari masyarakat setempat yang berasal dari
kampung-kampung yang dilalui cagar alam cycloop. Hal ini perlu dilakukan mengingat
ada sebagian kawasan yang sangat susah aksesibilitasnya sehingga tidak pernah dikontrol
oleh polisi kehutanan dari BBKSDA Papua maupun Dinas Kehutanan.
10
b.
c.
d.
e.
11
4. Pemerintah melalui Intansi terkait perlu menganggarkan biaya khusus untuk pemberdayaan
ekonomi masyarakat yang bermukim disekitar maupun didalam kawasan cagar alam
pegunungan cycloop.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Media Indonesia, 4 September 2002. Topik : 40,26 juta Hektar Hutan Indonesia
Rusak, Media Group Jakarta.
Astuti N.S. 1990, Analisa Status Kesuburan Tanah Hutan dan Tanah Perladangan di Pulau
Mansinam Kabupaten Manokwari, Fakultas Pertanian Unversitas Cenderawasih,
Manokwari (tidak diterbitkan).
Bungin B, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Black C, Henry. 1979. Blacks Dictionary, Fifth Edition. St. Paul Minn : West Publishing Co.
Badan Planologi Kehutanan, 2003, Kondisi Tutupan Lahan (Land Cover) Indonesia, Departemen
Kehutanan RI, Jakarta.
Barber C.V, 1999 Menyelamatkan Sisa Hutan di Indonesia dan Amerika Serikat, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2000, Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia,
Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1999. Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 1967, Undang-undang Nomor. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001, Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch
Indonesia dan Washington D.C. Global Forest Watch, Bogor
HS. Salim, 2002, Dasar Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta
Ismawan. I, 1999, Resiko Ekologis dibalik Pertumbuhan Ekonomi, Media Pressindo, Yog yakarta.
Iskandar. U, Ngadiono dan Nugraha. A, 2003. Hutan Tanaman Industri di Persimpangan Jalan,
Arivco Press, Jakarta.
Iskandar. U dan Nugraha. A, 2004, Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan Issu dan Agenda
Mendesak, Debut Press, Yogyakarta.
Mambay B, http://www.cenderawasihpos.com/alamku/direktur-wwf-papua-kondisi-cagar-alamcykloop-semakin memprihantinkan, diakses tgl 12 Juli 2010.
Mampioper D,
http://belanegarari.wordpress.com/2009/06/25/papua-hutan-tropis-terakhir-diindonesia-yang-terancam-punah, diakses tanggal 12 Juli 2010.
Nasution, S.,1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung
Ngandung, I.B. 1976, Ketentuan Umum Pengantar ke Hutan dan Kehutanan di Indonesia, Ujung
Pandang : Pusat Latihan Kehutanan.
Petocz R.G., 1987, Konservasi Alam dan Pembangunan di Papua, Graffity Pers, Jakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan.
Team World Wildlife Fund (WWF), 1991, Cagar Alam Cycloop dan Permasalahannya, WWF,
Jayapura
12
Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Utomo, Muhajir, Rifai E, Thahar A, 1992, Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan,
Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Weinstock, J.A. and Satyawan S. 1989. Review of shifting cultivation in Indonesia. Directorate
General of Forest Utilization, Ministry of Forestry, Government of Indonesia and
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta.