Evaluasi Peresepan Antibiotik Pasien Infeksi Saluran Kemih Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Roemani Semarang

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

Prosiding Seminar Nasional Peluang Herbal Sebagai Alternatif Medicine Tahun 2015

ISBN: 978-602-19556-2-8
Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim

EVALUASI PERESEPAN ANTIBIOTIK PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH


DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT ROEMANI SEMARANG
Hening Pratiwi1) dan Septimawanto Dwi P. 2)
1)
2)

Farmasi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto


Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
e-mail : hening.pratiwi@ymail.com
ABSTRACT

Inappropriate antibiotics prescribing in Urinary Tract Infection (UTI) can lead antibiotics
resistance. Hospitals should have a formulary as a reference for providing medical services to the
patients. This study aimed to determine the types of antibiotics that prescribed for UTI treatment
and determine the level of antibiotics prescribing conformity with the Roemani Semarang
hospitals formulary (2009) and WHO guidelines 2001. This study used a non-analytical
descriptive design and retrospectively. The samples were 73 patients. This study includes the
pattern of antibiotic prescribing in UTI patients and conformity with 2009 hospital formulary and
2001 WHO guidelines. The results showed that antibiotics are widely used cefotaxime
(cephalosporins) 14 cases (19.18%), levofloxacin (quinolones) 11 cases (15.07%), and ceftriaxone
(cephalosporins) 10 cases (13.70%). The combination that widely prescribed is a cephalosporins
combination with quinolones three cases (4.11%), cephalosporin combination with other
cephalosporins three cases (4.11%), and the combination of a cephalosporin with an
aminoglycoside two cases (2.74%). There are 68 recipes (93%) suitable with hospital formulary,
and five recipes (7%) not listed on the hospital formulary Roemani 2009. The UTI antibiotic
monotherapy in women, men, and children do not exist in accordance with the WHO guidelines
2001.
Key words: Urinary Tract Infections, antibiotics, hospital formulary, Roemani Hospital Semarang

PENDAHULUAN
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan klinis akibat adanya mikroorganisme dalam
urin dan berpotensi untuk masuk ke dalam saluran kemih bagian atas, menginvasi mukosa pelvis
ginjal, dan meluas ke dalam jaringan interstisial ginjal (Coyle dan Prince, 2005). Di Amerika, ISK
menyerang 21% wanita dewasa setiap tahunnya, dan 2-4% diantaranya kurang beruntung karena
mengalami infeksi yang terjadi secara terus menerus (Alam, 2007).
Tujuan terapi penyakit ISK adalah untuk mencegah atau mengobati meluasnya infeksi
(systemic infection), eradikasi mikroorganisme penginfeksi, dan mencegah kekambuhan, sehingga
dibutuhkan tata laksana terapi ISK yang tepat dan rasional. Beberapa temuan menginformasikan
bahwa kesalahan penanganan medis masih sering terjadi. Kasus-kasus yang mencuat, seperti
kesalahan pemberian obat, kesalahan diagnosa, hingga kesalahan tindakan medis yang harus
menjadi perhatian agar kasus yang sama tidak terulang lagi (Coyle dan Prince, 2005).
Rumah sakit seharusnya mempunyai suatu formularium yang menjadi acuan dalam
memberikan layanan pengobatan kepada pasien agar kebutuhan dasar masyarakat akan pelayanan
kesehatan yang berkualitas dan patient safety dapat terpenuhi. Selain itu, formularium akan
menjadi tolok ukur mutu pelayanan medis suatu rumah sakit (Nofriaty, 2010).
ISK merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar, dipandang dari proporsi populasi
yang terkena dan kelanjutan penyakitnya. ISK merupakan penyakit kedua yang paling banyak
dialami oleh pasien rawat inap di Rumah Sakit Roemani Semarang. Dengan adanya formularium,
terapi yang tepat dan rasional bagi pasien penyakit ISK diharapkan dapat dicapai (Anonim, 2006).
Hal inilah yang menjadi dasar perlunya dilakukan berbagai penelitian evaluasi penggunaan obat.
Penelitian ini akan mengkaji gambaran peresepan dan tingkat kesesuaian peresepan antibiotik

85

Evaluasi Peresepan Antibiotik Pasien Infeksi Saluran Kemih

untuk penyakit ISK dibandingkan dengan formularium Rumah Sakit Roemani Semarang. Tujuan
penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian peresepan antibiotik penyakit ISK oleh dokter
dengan formularium rumah sakit dan guideline WHO tahun 2001. Dengan demikian, mutu
penggunaan obat dapat dipastikan karena sudah mengikuti sistem formularium rumah sakit dan
dapat meningkatkan pelayanan kesehatan, khususnya bagi penanganan kasus ISK.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dengan pengambilan data secara
retrospektif untuk melihat kesesuaian peresepan antibiotik pada pasien ISK dengan formularium
rumah sakit dan guideline WHO tahun 2001. Data primer diperoleh dari rekam medik pasien rawat
inap dengan diagnosis utama Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Roemani Semarang periode
Januari-November 2009. Alat yang digunakan adalah lembar pengumpulan data dan sebagai acuan
digunakan formularium Rumah Sakit Roemani Semarang tahun 2009 dan guideline WHO tahun
2001.
Teknik pengambilan sampel rekam medik pasien dilakukan dengan teknik purposive
sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2007). Kriteria
inklusi yang digunakan adalah: pasien dengan diagnosa utama ISK dan dirawat di rawat inap RS
Roemani Semarang, mendapatkan terapi antibiotik, baik monoterapi maupun kombinasi serta
memiliki data rekam medis yang lengkap dan jelas. Data yang diambil meliputi: identitas pasien,
lama rawat pasien, diagnosa, status keluar pasien, data pemberian obat, data laboratorium
pendukung
Jumlah pasien dengan diagnosa ISK di RS Roemani periode Januari-November 2009 yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian sejumlah 73 pasien. Data rekam medis yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif non-analitik untuk menilai ketepatan penggunaan obat pada masingmasing kasus. Data disusun dan dikelompokkan dalam bentuk tabel dengan jumlah dan persentase.
Hasil penelitian dibagi dalam tiga bagian, yaitu karakteristik pasien, evaluasi penggunaan dan
kesesuaian pemilihan antibiotik pada pasien ISK. Kesesuaian jenis antibiotik yang digunakan oleh
pasien ISK selama dirawat di Rumah Sakit Roemani Semarang dievaluasi dengan menggunakan
Formularium Rumah Sakit Roemani Semarang tahun 2009 dan guideline WHO tahun 2001.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pasien ISK yang Menjalankan Rawat Inap di Rumah Sakit Roemani
Semarang Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelompok Usia, Status Perkawinan, Gejala dan
Hasil Pemeriksaan Urin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ISK lebih banyak terjadi pada wanita dibanding
dengan pria. ISK dialami oleh 45 pasien wanita (62%) dan 28 pasien pria (38%). Wanita lebih
rentan mengalami ISK karena saluran uretra atau saluran kencing wanita lebih pendek dan lebih
terbuka dibanding pria. Keadaan ini menyebabkan bakteri lebih mudah masuk ke kandung kemih
karena uretra lebih dekat dengan sumber bakteri seperti daerah anus (Coyle dan Prince, 2005).
Penelitian ini mengelompokkan pasien menjadi lima kelompok usia, yaitu kelompok infant
(bayi) untuk pasien usia 1 bulan 2 tahun, children (anak-anak) untuk pasien usia 3-11 tahun,
adolescent (remaja) untuk pasien usia 12-18 tahun, adult (dewasa) untuk pasien usia 19-65 tahun,
dan geriatric (geriatri) untuk pasien usia 65 tahun ke atas (Barker dan Nunn, 2003). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ISK banyak terjadi pada usia antara 19-65 tahun (dewasa). Hal ini
mungkin disebabkan oleh adanya infeksi yang menular lewat hubungan seksual dan adanya
penurunan fungsi saluran kemih. Aktivitas seksual yang tidak bersih seringkali menjadi penyebab
masuknya bakteri kedalam saluran kemih. Penelitian ini juga mengungkap bahwa kejadian ISK
meningkat pada pesien dengan usia lebih dari 50 tahun. Hal ini mungkin disebabkan karena
terjadinya kemunduran fungsi saluran kemih pada umumnya, ataupun terjadinya pembesaran
prostat pada pria (Nofriaty, 2010).
Berdasarkan status perkawinan, pasien ISK di Rumah Sakit Roemani Semarang
dikategorikan menjadi tiga, yaitu kawin, belum kawin, dan janda/duda. Dalam penelitian ini,
terdapat 31 pasien yang belum kawin (43%), 39 pasien yang sudah kawin (53%), 3 pasien yang

86

Hening Pratiwi

berstatus janda (4%), serta tidak ditemukan pasien berstatus duda. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa prevalensi penyakit ISK lebih tinggi pada pasien yang sudah kawin atau
menikah.
Gejala yang paling banyak dialami oleh pasien ISK rawat inap Rumah Sakit Roemani
Semarang periode Januari-November 2009 adalah demam sebanyak 52 pasien, mual sebanyak 28
pasien, nyeri pada daerah suprapubik (perut bawah) sebanyak 27 pasien, dan muntah sebanyak 25
pasien. Gejala-gejala tersebut merupakan gejala spesifik ISK. Dalam penelitian ini, dijumpai pula
adanya pasien yang memperlihatkan gejala lain yang bukan gejala spesifik ISK seperti batuk
sebanyak 12 pasien, pilek sebanyak 5 pasien, dan jantung berdebar yang dialami oleh 1 pasien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 10 pasien (14 %) tidak melakukan urinalisis,
sedangkan 63 pasien (86 %) telah melakukan urinalisis untuk deteksi ISK. Dari hasil urinalisis,
leukosit esterase positif ditemukan pada 4 pasien. Leukosit air kencing yang meningkat adalah
indikator dari ISK. Pemeriksaan untuk leukosit esterase mendeteksi adanya esterase di dalam sel
darah putih granulositik (neutrofil, eosinofil, basofil dan monosit). Hasil positif pemeriksaan
leukosit esterase menunjukkan adanya infeksi bakteri.
Gambaran Penggunaan Antibiotik pada Pasien ISK di Rumah Sakit Roemani Semarang
Jenis antibiotik yang digunakan dalam pengobatan ISK
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 59 kasus (80,82%) pasien ISK di Rumah Sakit
Roemani Semarang mendapatkan antibiotik monoterapi (Tabel I) dan 14 pasien (19,18%)
mendapatkan terapi antibiotik kombinasi (Tabel II). Antibiotik monoterapi yang banyak digunakan
adalah cefotaxime (golongan sefalosporin) sebanyak 14 kasus (19,18%), diikuti levofloxacine
(golongan quinolon) sebanyak 11 kasus (15,07%) dan ceftriaxone (golongan sefalosporin)
sebanyak 10 kasus (13,70%). Kombinasi antibiotik yang paling banyak diberikan adalah
kombinasi sefalosporin dengan quinolon sebanyak 3 kasus (4,11%) dan pemberian kombinasi obat
sefalosporin dengan sefalosporin lain sebanyak 3 kasus (4,11%), diikuti oleh pemberian
kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida sebanyak 2 kasus (2,74 %).
Tabel I. Antibiotik Monoterapi yang Diberikan pada Pasien ISK di RS Roemani Semarang
Periode Januari-November 2009
Jumlah
Persentase
Antibiotik
kasus
(%)
Golongan quinolon
Levofloxacin
11
15,07
Ciprofloxacin
4
5,48
Golongan sefalosporin
Cefixime
3
4,11
Cefotaxime
14
19,18
Ceftriaxon
10
13,70
Cefadroxyl
4
5,48
Ceftazidim
4
5,48
Golongan penicillin
Amoksisillin
6
8,22
amoksisilin+asam
2
2,74
klavulanat
Golongan lain
Fosfomycin
1
1,37
Total
59
80,82
Durasi Penggunaan Antibiotik
Pada penelitian ini, durasi penggunaan antibiotik merupakan lama pemberian antibiotik
selama rawat inap di rumah sakit. Masing-masing antibiotik memiliki durasi pengobatan
tersendiri, tetapi tidak selalu diketahui untuk lama pengobatan optimalnya. Dasar pengelompokkan
durasi dari penelitian ini adalah jumlah durasi antibiotik dibagi sama banyak sampai durasi
pengobatan terlama yang dialami pasien pada penelitian ini yaitu 7 hari. Gambaran durasi

87

Evaluasi Peresepan Antibiotik Pasien Infeksi Saluran Kemih

penggunaan antibiotik pada pasien ISK rawat inap di Rumah Sakit Roemani Semarang tersaji pada
tabel III
Tabel II. Kombinasi Antibiotik yang Diberikan pada Pasien ISK di RS Roemani Semarang
Periode Januari-November 2009
Jumlah Jumlah Persentase
Kombinasi antibiotic
pasien
Kasus
(%)
Penisillin Sefalosporin
1
1,37
Amoksisillin cefotaxime
1
Sefalosporin + Quinolon
Cefotaxime + asam pipemidat
1
3
4,11
Ceftriaxone + levofloxacin
1
Sefoperazon + levofloxacin
1
Penisillin + Quinolon
1
1,37
Amoksisillin + levofloxacin
1
Sefalosporin Sefalosporin
Ceftriaxone Cefixime
2
3
4,11
Cefixime Cefotaxime
1
Sefalosporin + aminoglikosida
Cefotaxime + Gentamicin
1
2
2,74
Ceftriaxone + Amikasin
1
Quinolon Quinolon
1
1,37
Levofloxacin asam pipemidat
1
Quinolon Quinolon+Sefalosporin
Levofloxacin asam pipemidat +
1
1
1,37
Cefotaxime
Penisillin Penisillin
1
1,37
Amoksisillin Amoksisillin
1
Kloramfenikol + Sefalosporin
1
1,37
Thiamphenicol + Ceftazidim
1
Total
14
19,18
Tabel III. Distribusi Durasi Penggunaan Antibiotik di RS Roemani Semarang Periode
Januari-November 2009
Antibiotik
1-2 hari
3-4 hari
5-7 hari
Golongan quinolon
Levofloxacin
3
11
2
Ciprofloxacin
2
1
1
Asam pipemidat
1
1
2
Golongan sefalosporin
Cefixime
1
3
1
Cefotaxime
3
10
2
Ceftriaxon
4
5
3
Cefadroxyl
2
1
Ceftazidim
2
1
2
Sefoperazon
1
Golongan penisillin
Amoksisillin
1
8
amoksisilin+asam klavulanat
1
1
Golongan aminoglikosida
Gentamicin
1
Golongan kloramfenikol
Thiampenicol
1
Golongan lain
Fosfomycin
1
1

88

Hening Pratiwi

Antibiotik untuk Rawat Jalan


Pada penelitian ini, terdapat jenis antibiotik yang diberikan setelah pulang dari Rumah Sakit
yaitu untuk terapi rawat jalan ISK. Terdapat 43 pasien (58,90%) yang diberikan terapi untuk rawat
jalan (tabel IV), sedangkan 30 pasien (41,10%) tidak mendapatkan antibiotik untuk terapi rawat
jalan.
Tabel IV. Antibiotik Monoterapi yang Diberikan untuk Terapi Rawat Jalan pada Pasien
ISK di RS Roemani Semarang Periode Januari-November 2009
Jumlah
Persentase
Antibiotik
kasus
(%)
Golongan quinolon
Levofloxacin
14
19,18
Ciprofloxacin
5
6,85
Asam pipemidat
2
2,74
Golongan sefalosporin
Cefixime
12
16,44
Cefadroxyl
4
5,48
Golongan penisillin
amoksisillin
4
5,48
amoksisilin+asam klavulanat
2
2,74
Total
43
58,90
Obat-obat penunjang untuk mengatasi gejala ISK
Pada penelitian ini, obat yang termasuk dalam kelas terapi analgetik yang digunakan dalam
terapi ISK pasien rawat inap RS Roemani Semarang dibagi menjadi dua yaitu analgetik
antiinflamasi dan analgetik-antipiretik. Distribusi analgetik-antiinflamasi pada penelitian ini
sebanyak 9%, sedangkan untuk analgetik-antipiretik lebih banyak yaitu sebanyak 36%. Analgetik
digunakan sebagai pengurang rasa sakit atau penghilang rasa nyeri yang merupakan gejala ISK.
Nyeri yang biasa dialami penderita ISK adalah nyeri suprapubik (perut bawah) dan nyeri pinggang
serta demam yang seringkali menyertai ISK. Antispasmodik juga diperlukan untuk pereda kejang
otot yang dialami pasien ISK, penggunaan antispasmodik pada penelitian ini hanya sebanyak 4%
(Tan dan Rahardja, 2007).
Tabel V. Distribusi Obat-Obat Non Antibiotik Pasien Rawat Inap di RS Roemani
Semarang Periode Januari-November 2009
Kelas terapi obat
Jumlah kasus
Persentase (%)
Analgetik
Analgetik-antiinflamasi
12
9
Analgetik-antipiretik
50
36
32
23
Antiemetik
Penunjang daya tahan tubuh
Vitamin
13
9
Suplemen daya tahan tubuh
16
11
6
4
Antispasmodik
11
8
Kortikosteroid
Total
140
100
Evaluasi Kesesuaian Peresepan Antibiotik dengan Formularium Rumah Sakit Roemani
Semarang Tahun 2009
Rumah Sakit Roemani Semarang memiliki formularium standar obat tahun 2009. Hasil
penelitian ini telah mengevaluasi kesesuaian pemilihan antibiotik dengan standard antibiotik pada
Formularium Rumah Sakit Roemani tahun 2009 (Gambar 1). Hampir semua resep pada penelitian
ini sudah sesuai dengan formularium rumah sakit, yaitu 68 resep (93%), tetapi ada 5 resep (7%)
yang pemilihan antibiotiknya belum tercantum pada Formularium Rumah Sakit Roemani tahun
2009. Akan tetapi, antibiotik tersebut tersedia pada apotek-apotek serta bangsal-bangsal di Rumah

89

Evaluasi Peresepan Antibiotik Pasien Infeksi Saluran Kemih

Sakit Roemani Semarang. Antibiotik tersebut adalah Lekuicin yang mengandung levofloxacin (3
kasus), trixim yang mengandung cefixime (1 kasus), dan Ciprox yang mengandung
ciprofloxacin (1 kasus). Kemungkinan obat-obat tersebut sering digunakan oleh beberapa dokter
tetapi belum tercantum pada Formularium Rumah Sakit.

Gambar 1. Kesesuaian Resep dengan Formularium Rumah Sakit pada Pasien ISK di
Instalasi Rawat Inap RS Roemani Semarang Periode Januari- November 2009
Kesesuaian Peresepan Antibiotik pada Pasien ISK di Rumah Sakit Roemani Semarang
dengan Guideline WHO tahun 2001
Penelitian ini juga menggunakan guideline WHO tahun 2001 untuk melihat tingkat
kesesuaian peresepan antibiotik pada pasien ISK di Rumah Sakit Roemani Semarang. Pada
penelitian ini, tidak dijumpai kasus pielonefritis dan prostatitis, sehingga tata laksana terapi ISK
dalam penelitian ini hanya untuk ISK pada wanita, pria, dan anak-anak. Menurut guideline WHO
2001, antibiotik pilihan untuk kasus ISK pada pria dan wanita adalah trimetropim, nitrofurantoin,
serta sefaleksin namun dengan durasi yang berbeda. Pada wanita durasi pengobatannya lebih
pendek selama 3-5 hari, sedangkan pada pria durasi pengobatannya lebih panjang yaitu sekitar 14
hari. Pilihan antibiotik dalam tetapi ISK pada anak-anak adalah sefaleksin atau amoksisillin+asam
klavulanat selama 5 - 10 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilihan antibiotik
monoterapi untuk kasus ISK pada wanita, pria, dan anak-anak di Rumah Sakit Roemani Semarang
Tahun 2009 tidak sesuai dengan guideline WHO tahun 2001.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 59 kasus (80,82%) pasien ISK di Rumah Sakit
Roemani Semarang mendapatkan antibiotik monoterapi dan 14 pasien (19,18%) mendapatkan
terapi antibiotik kombinasi. Antibiotik monoterapi yang banyak digunakan adalah cefotaxime
(golongan sefalosporin) sebanyak 14 kasus (19,18%), diikuti levofloxacine (golongan quinolon)
sebanyak 11 kasus (15,07%) dan ceftriaxone (golongan sefalosporin) sebanyak 10 kasus (13,70%).
Kombinasi antibiotik yang paling banyak diberikan adalah kombinasi sefalosporin dengan
quinolon sebanyak 3 kasus (4,11%) dan pemberian kombinasi obat sefalosporin dengan
sefalosporin lain sebanyak 3 kasus (4,11%), diikuti oleh pemberian kombinasi sefalosporin
dengan aminoglikosida sebanyak 2 kasus (2,74 %). Hampir semua resep pada penelitian ini sudah
sesuai dengan formularium rumah sakit, yaitu 68 resep (93%), tetapi ada 5 resep (7%) yang
pemilihan antibiotiknya belum tercantum pada Formularium Rumah Sakit Roemani tahun 2009.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemilihan antibiotik monoterapi untuk kasus ISK pada
wanita, pria, dan anak-anak di Rumah Sakit Roemani Semarang Tahun 2009 tidak sesuai dengan
guideline WHO tahun 2001.
Saran
Untuk penelitian berikutnya sebaiknya dilakukan secara prospektif dan terkini karena dapat
menggambarkan keadaan pasien yang sebenarnya, dan melihat keberhasilan terapi secara
keseluruhan.

90

Hening Pratiwi

DAFTAR PUSTAKA
Alam S., 2007, Gagal Ginjal, 29-30, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Anonim, 2006, Profil Rumah Sakit Roemani Semarang, RS Roemani, Semarang
Barker C. dan Nunn A.J., 2003, Peadiatrics, in Walker, R., Edward, (Eds.) Clinical Pharmacy and
Therapeutics, 3rd Edition, 111, Churchill Livingstone, UK
Coyle E.A and Prince R.A., 2005, Urinary Tract Infection in Dipiro, J.T., et.al., Pharmacotherapy
a Pathophysiologic Approach, 6th, 1981-1994, Apleton & Lange, Stamford
Nofriaty R., 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran Kemih di Instalasi
Rawat Inap RSUD dr. Moewardi Surakarta Tahun 2009, Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Sugiyono, 2007, Statistika untuk Penelitian, 61-73, CV Alfabeta, Bandung
Tan, H.T. dan Rahardja, K., 2007, Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya, Edisi Kelima, Cetakan Kedua, 125-141, PT Elex Media Komputindo,
Jakarta

91

You might also like