Bab I Sle
Bab I Sle
Bab I Sle
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematosus (Lupus) merupakan penyakit peradangan
kronis yang terjadi ketika sistem imun menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri
dan memiliki sebaran gambaran klinis yang luas dan tampilan perjalanan penyakit
yang beragam. Hal ini kemudian berdampak buruk pada bagian tubuh yang lain
seperti sendi ,kulit,paru-paru,ginjal,susunan saraf tubuh serta anggota tubuh yang lain.
Untuk diketahui saat ini, ada lebih dari 5 juta pasien lupus eritematosus di
seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia
anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sebagian besar pasien lupus eritematosus
ditemukan pada perempuan usia produktif. Jumlah pasien di Indonesia yang secara
tepat tidak diketahui diperkirakan paling tidak sama dengan jumlah pasien lupus
eritematosus di Amerika, yaitu 1.500.000 orang. Beberapa data menunjukkan insiden
penyakit lupus eritematosus ras Asia lebih tinggi dibandingkan dengan ras Kaukasia.
Saat ini pasien lupus eritematosus yang terdaftar sebagai anggota YLI ada 757 orang,
sebagian besar berdomisili di Jakarta.
Di Indonesia, jumlah kasus lupus perlu diwaspadai dengan memberi perhatian
khusus karena diagnosa penyakit lupus tidak mudah dan sering terlambat. SLE atau
dikenal sebagai penyakit “seribu wajah” dapat menyerang siapa saja. Meskipun Lupus
sebagian besar menyerang perempuan usia produktif (15-44 tahun) namun , kaum pria
, kelompok anak –anak ,dan remaja dapat terkena lupus (Waluyo & putra,2012).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
2. Apa saja faktor penyebabnya Systemic Lupus Erythematosus ?
3. Apa saja jenis jenis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
4. Bagaimana penanganan bagi penderita lupus ?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui secara umum tentang lupus eritematosus.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui konsep penyaki lupus eritematosus
1
b. Untuk mengetahui tentang etiologi lupus eritematosus
c. Untuk mengetahui tentang patofisiologi lupus eritematosus
d. Untuk mengetahui tentang klasifikasi lupus eritematosus
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis lupus eritematosus
f. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan lupus eritematosus
g. Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan lupus eritematosus
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
Kehamilan dengan SLE dapat menyebabkan komplikasi pada ibu baik pada
janin , apabila penanganan tidak baik . Komplikasi yang sering terjadi pada kehamilan
dengan SLE biasanya terjadi pada ibu adalah lupus flares , memperparah penurunan
fungsi ginjal memperburuk dari gejala hipertensi , meningkatkan resiko pre eklampasi
, dan komplikasi pada janin biasanya menyebabkan keguguran , kelahiran preterm ,
sindrom lupus neonatal . pada kehamilan dengan SLE harus di perhatikan mulai dari
perencanaan kehamilan , evaluasi pre-konsepsi , konseling saat kehamilan dan
menejemen ante natal .
B. Gejala
Gejala-gejala penyakit lupus dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik
(LES). Eritomatosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik bermakna menyebar luas
keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala yang umum
dijumpai adalah:
1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan
pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan, demam
dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif, sedangkan pada
masa remisi (nonaktif) menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-
kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai cakram bisa
muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan kadang-kadang bersisik. Melihat
banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang sudah terserang dua atau lebih
gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.
4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh penyakit
lupus ini.
5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan, (Dahlan Iskan, 2007).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE harus
memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11
gejala tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan
kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya jaringan
parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitif, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar matahari
4
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90 % odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (Antinuclear Antibody) positif.
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh, (Kusnandari, 2008).
C. Faktor resiko
1. Faktor genetik
Diketahui bahwa sekitar 7% pasien SLE memiliki keluarga dekat yang juga
terdiagnosis SLE .oleh karena itu , faktor genetik merupakan salah satu resiko
SLE .
2. Faktor Lingkungan
Infeksi , stress,makanan,antibiotik(khususnya kelompok sulfad dan penicilin) ,
cahaya UV (Matahari ) dan penggunaan obat obat tertentu , merokok , paparan
krystal silika , merupakan faktor pemicu timbulnya SLE.
3. Faktor Hormonal
Perempuan lebih sering terkena penyakit SLE dibandingkan dengan pria .
meningkatnya angka pertumbuhan penyakit SLE sebelum periode menstruasi atau
selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon , khususnya esterogen
menjadi pencetus penyakit SLE . Namun hingga saat ini belum diketahui secara
pasti hormon yang menjadi penyebab besarnya prefalensi SLE pada perempuan
periode tertentu .
D. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B
disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar
seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau
5
yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa
oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan
sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T
melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan
mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi
yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan
bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Joe, 2009).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut
dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan
adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel
Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat
seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs.
Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi
antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel
B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini
juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan
hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan
terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik)
dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama
berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi
terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall,
1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan
sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang
umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi
autoantibodi (Joe, 2009). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak
spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua
jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3
mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam
6
membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan
jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan
jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan
menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Joe, 2009).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks
imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya
CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya
ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi
komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan
meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi
kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi
radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan
sebagainya (Joe, 2009).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang
menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang
dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan
fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara
normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar
membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen
komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran
seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36,
CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR
yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang
7
dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang
disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Joe, 2009).
8
F. Upaya pengendalian penyakit lupus eritomatis sindrom
Program pengendalian penyakit SLE, meliputi upaya promotip, preventif ,
kuratif, dan rehabilitatif sebagai berikut:
1. Komunikasi , informasi ,edukasi
2. Perlindungan khusus
3. Penemuan (deteksi dini,diagnosis, tata laksana kasus dan rujukan)
4. Surveylans epideneulogi (surveylans kasus dan faktor resiko )
5. Kemitraan
6. Upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit SLE
7. Pemantauan dan penilaian
Lalu ada yang disebut dengan SALURI ( Periksa Lupus Sendiri ) sebagai
bentuk pemeriksaan pada dirisendiri untuk mengetahui adanya Tanda dan gejala
Lupus , diantaranya :
1. Demam lebih dari 38’c dengan sebab yang tidak jelas.
2. Rasa lelah dan lemah berlebihan.
3. Sensitif terhadap sinar matahari.
4. Rambut rontok.
5. Ruam kemerahan berbentuk kupu kupu yang sayap melintang dari pipi ke pipi.
6. Ruam kemerahan dikulit.
7. Sariawam yang tidak kunjung sembuh, terutama di atap rongga mulut.
8. Nyeri dan bengkak pada persendian terutama di lengan dan tungkai , menyerang
lebih dari dua sendiri dalam jangka waktu lama.
9. Ujung ujung jari tangan dan kaki menjadi pucat hingga kebiruan saat udara dingin.
10. Nyeri dada terutama saat berbaring dan menarik nafas.
11. Kejang atau kelanian syaraf lainnya.
12. Kelainan hasil pemeriksaan laboraturium.
G. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada
penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui)
menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya
penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai
dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
9
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala
(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
a. Artralgia
b. artritis (sinovitis)
c. pembengkakan sendi,
d. nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integument (Kulit)
a. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi
b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiac
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
a. Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b. beritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
H. Pengobatan
Pengobatan Lupus tergantung dari :
1. Tipe Lupus.
2. Berat ringannya Lupus.
3. Organ tubuh yang terkena.
4. Komplikasi yang ada.
Tujuan pengobatan Lupus adalah :
1. Mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena.
10
2. Menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.
Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat :
1. Kortikosteroid. Golongan ini berfungsi untuk mencegah peradangan dan
merupakan pengatur kekebalan tubuh. Bentuknya bisa salep, krem, pil atau
cairan. Untuk Lupus ringan, digunakan dalam bentuk tablet dosis rendah. Jika
kondisi sudah berat, digunakan kortikosteroid bentuk tablet atau suntikan dosis
tinggi. Bila kondisi teratasi maka penggunaan dosis diturunkan hingga dosis
terendah untuk mencegah kambuhnya penyakit.
2. Nonkortikosteroid. Kegunaan obat ini adalah untuk mengatasi keluhan nyeri dan
bengkak pada sendi dan otot, (Stephanie, 2007).
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SLE
A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a. Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
5. Sistem integument
a. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.
b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, manifestasi
SSP lainnya.
12
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
13
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan
mekanisme koping.
f. I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif,
napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan
meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan
farmakologis.
g. I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan
kembali perhatian.
Kolaborasi
h. I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
Tujuan : Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
Kriteria Hasil : Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri :
a. I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan
lesi dan amati perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat.
b. I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh
kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier
infeksi.
c. I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
d. I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses
penyembuhan.
14
Kombinasi :
a. I :gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.
3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
Tujuan :
Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga
klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).
Kriteria Hasil :
Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi
yang diberikan
Rencana Tindakan dan Rasional
a. I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
b. I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung
keamanan bagi pasien/orang lain.
c. I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
d. I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.
e. I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit
sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung
pemulihan dan kemandirian.
15
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Lupus tidak sama ,dan tidak berhubungan dengan kanker. Kanker adalah
keganasan yang timbul karena ada jaringan yang tumbuh cepat , abnormal , sulit
dikendalikan dan menyerang kejaringa jaringan sehat disekitarnya. Sementara lupus
adalah penyakit auto imun
Lupus juga tidak sama , dan tidak berhubungan dengan hiv dan aids. Jika pada
HIV AIDS sistem imun sangat lemah atau bahkan tidak berfungsi , maka sebaliknya
pada lupus sistem imun seseorang terlalu aktif.
Lupus ada yang tidak parah, tapi ada juga yang sampai mengancam jiwa
karena itu lupus harus selalu ditangani oleh dokter yang ahli. Dengan pengobatan
yang baik , banyak penderita lupus yang bisa hidup normal dan memiliki harapan
hidup yang lebih panjang.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami selaku penulis sangat berharap kepada
seluruh mahasiswa agar mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit lupus
eritematosus. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membawa pengaruh yang
baik dan bermanfaat bagi kita semua.
Kami menulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu kami mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Sestak AL, Fürnrohr BG, Harley JB, Merrill JT, Namjou B. The genetics of systemic
lupus erythematosus and implications for targeted therapy. Ann Rheum Dis. 2011;
70(51):37-43.
2. Bosch X. Systemic lupus erythematosus and the neutrophil. N Engl J Med. 2011;
365(8):758-60.
3. Yanih I. Kualitas hidup penderita systemic lupus erithematosus (SLE) berdasarkan
lupusqol. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2016; 4(1):1-12.
4. Anggraini NS. Lupus eritematous sistemik. J Medula Unila. 2016; 4(4): 124- 30.
5. Vagelli R, Tani C, Mosca M. Pregnancy and menopause in patients with systemic
lupus erythematosus and or antiphospholipid syndrome. Polish Archives of Internal
Medicine. 2017; 127(2):115-21.
6. Knight CL, Nelson PC. Management of systemic lupus erythematosus during
pregnancy: challenges and solutions. Dovepress. 2017; 9(1):37-53.
7. Ruiz IG, Khamashta M. Lupus and pregnancy: integrating clues from the bench and
bedside. Eur J Clin Invest. 2011; 41(6):672–8.
8. Aisha L, Michelle P. Managing lupus patients during pregnancy. Best Pract Res Clin
Rheumatol. 2013; 27(3): 1-7.
9. Irene I, Stefano C, Angela DN, Giovanna G. Update on systemic lupus erythematosus
pregnancy. J of Prenatal Medicine. 2010; 4(4):67-73.
10. Gramellini D, Fieni S, Verrotti C dkk. Ultrasound evaluation of amniotic fluid Leon L.
Gaya & Marzuqi Sayuti | Sistemik Lupus Eritematosus Pada Kehamilan Majority |
Volume 6 | Nomor 3 | Juli 2017 |118 volume: methods and clinical accuracy. Acta
Bio Medica Ateneo Parmense. 2004; 75(1):40-4.
11. Kahraman Ü, Isa A. The relation of intrapartum amniotic fluid index to perinatal
outcomes. J Med Sci. 2011; 1(1):1–7.
17