Dinamika Umat Islam Indonesia Pada MASA KOLONIAL BELANDA (Tinjauan Historis)
Dinamika Umat Islam Indonesia Pada MASA KOLONIAL BELANDA (Tinjauan Historis)
Dinamika Umat Islam Indonesia Pada MASA KOLONIAL BELANDA (Tinjauan Historis)
Abstract
Pada akhir abad 16, Belanda mulai melakukan survei dan pemetaan wilayah
Nusantara akibat ditutupnya pelabuhan di daerah jajahan Portugis di Semenanjung
Malaka bagi orang Belanda. Survei itu dilakukan dalam upaya mulai mencari jalur
pelayaran sendiri ke daerah rempah-rempah di Timur Jauh. Penutupan itu terkait dengan
penyatuan Spanyol dan Portugis, setelah Raja Philip dari Spanyol naik takhta pada
tahun 1580. Survei dan pemetaan di kawasan Nusantara ini, dilakukan oleh Claudius
Ptolomeus, kemudian dilanjutkan oleh Jan Huygen van Linscoten.1
Dalam ekspedisi awal pada tahun 1549, Claudius Ptolomeus berhasil
menemukan kunci rahasia pelayaran ke Timur Jauh. Hingga ia kemudian menyusun
peta yang disebutIndia Barat dan India Timur. Akan tetapi, Claudius belum berhasil
1
Yuni Ikawati dan Dwi Ratih Setiawan, Survei dan Pemetaan Nusantara (Cet I; Jakarta:
Mapiptek, 2009), h. 6.
menemukan tempat-tempat yang aman dari serangan Portugis. Seorang Belanda lain
bernama Linscoten itu kemudian berhasil menemukan tempat-tempat di Pulau Jawa
yang bebas dari tangan Portugis dan banyak menghasilkan rempah-rempah untuk
diperdagangkan.2
Pada bulan April tahun 1595, empat armada kapal Belanda di bawah komando
Corniles De Houtman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa Barat
(pelabuhan Banten) pada bulan Juni 1596. Ekspedisi inilah menjadi cikal bakal lahirnya
sebuah kongsi dagang besar yang diberi nama VOC (Verenigde OostIndische
Compagnie)3 dan bermulanya kegiatan survei dan pemetaan wilayah Nusantara secara
lebih intensif oleh Belanda.4Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk
mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian
akan dijual di negara mereka. Keberhasilan orang Belanda di bawah perintah De
Houtman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya
di Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua di bawah pimpinan Van Nede Van
Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.5
Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan pertahanan maritim dari
kesultanan-kesultanan Indonesia yang melemah, yang diakibatkan oleh peperangan
yang dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia
dari perluasan wilayah imperialis Portugis, menjadikan Belanda lebih mudah menguasai
perdagangan di Indonesia, sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang
ke Indonesia di bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600 di bawah
pimpinan van Neck.6Kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindia
Belanda masih terbelakang, karena sistem kolonialisme yang diterapkan bagi Bangsa
Indonesia terlalu ketat, dominasi dalam bidang politik, eksploitasi ekonomi,
diskriminasi sosial, westernisasi kebudayaan, dan kristenisasi penduduk maka Bangsa
Indonesia terkhusus Umat Islam mengalami kemerosotan dalam segala aspek
kehidupannya, material maupun spiritual.
Dalam lingkungan desa, kehidupan rakyat terutama masih pada tingkat substansi
serta ekonominya belum terbuka penuh, hubungan masyarakat masih bersifat komunal,
solidaritasnya terutama berdasarkan perasaan bersifat emosional. Diferensiasi dan
spesialisasi masih rendah, warga desa secara umum adalah petani, maka dalam
homogenitas seperti itu berkembang sistem tukar-menukar tenaga dan jasa berdasarkan
prinsip timbal balik, suatu sistem tolong menolong, atau apa yang lazim secara umum
disebut gotong royong.7Berdasarkan ikatan tersebut untuk melakukan banyak kegiatan
tidak memerlukan uang sebagai upah atas pekerjaan, tenaga dapat dikerahkan menurut
prinsip pertukaran. Dengan demikian tenaga sebagai modal belum lepas dari keterikatan
tradisi di desa.Sejak zaman kuno telah ada hubungan antara desa dengan lingkungan di
atas desa, yaitu secara teritorial negara dan secara sosial para pengusaha termasuk
2
Yuni Ikawati dan Dwi Ratih Setiawan, Survei dan Pemetaan Nusantara, h. 6-7.
3
VOC (Verenigde Oost Indische Companie) adalah perkumpulan perdagangan Belanda yang
didirikan pada tahun 1602 dan dibubarkan tahun 1979. Perkumpulan ini berusaha mencari laba sebanyak-
banyaknya dan sekaligus menggalang kekuatan untuk melawan Portugis dan Spanyol.
4
Yuni Ikawati dan Dwi Ratih Setiawan, Survei dan Pemetaan Nusantara, h. 7.
5
Hamka, Sejarah Umat Islam , Jld. IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 237.
6
Abuddin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam(Jakarta : Rajawali Press, 2007), h. 234.
7
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai
Imperium (Jakarta: Gramedia Utama, 1999), h. 294.
golongan bangsawan. Sudah menjadi gejala umum bahwa dalam masyarakat agraris
penguasaan dan pemilikan tanah merupakan dasar bagi struktur sosial dan struktur
kekuasaannya. Hubungan tuan tanah dan penggarap tanah menimbulkan saling
ketergantungan dan keterikatan.
Sistem feodal dengan sistem produksi prekapitalis menjamin bahwa pertukaran
antara tuan dan pengikut atau abdi akan menimbulkan aliran hasil bumi, barang dan jasa
kepada tuannya. Dalam struktur sosial feodalistis, raja, keluarga dan para bangsawan
lainnya para elite birokrasi serta pengusaha daerah kesemuanya berkedudukan sebagai
tuan, sedangkan rakyat golongan bawah sebagai abdi.8Melalui jalur feodal ini para
bangsawan mempergunakan ikatan desa dan tradisional untuk mengerahkan rakyat agar
mereka memberikan jasa besar kepada tuannya. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa
aliran jasa besar dan hasil bumi ke atas jauh lebih besar daripada aliran jasa dari atas ke
bawah. Dapat dibayangkan bahwa sistem ini memberi beban yang sangat berat bagi
rakyat kecil.
Belanda sangat aktif dalam pendirian sekolah-sekolah baru bagi bangsa
Indonesia. Pendidikan Belanda atas Bangsa Indonesia bermula sejak awal abad ke-19
ketika kalangan aristokrat Indonesia belajar di rumah-rumah pemukim Belanda. Sekolah
Belanda pertama untuk melatih warga Indonesia untuk beberapa pekerjaan pamong
praja didirikan tahun 1848.9 Pada tahun 1900 prestise kekuasaan dan kepercayaan diri
kaum elite bangsawan Jawa mencapai titik yang rendah. Banyak generasi muda yang
meninggalkan jabatan dalam pemerintahan dan mencari karir di bidang hukum ataupun
kedokteran. Para bangsawan yang lain menciptakan gerakan-gerakan intelektual yang
ternyata bersifat anti Islam dan yang berkaitan erat dengan teosofi.10
Gerakan-gerakan semacam itu menghubung-hubungkan keadaan buruk di Jawa
dengan penyebaran agama Islam dan berusaha mengembalikan kebudayaan Jawa
dengan cara menyatukan budaya asli dengan pemikiran Barat (Belanda). Pada saat itu
juga, kalangan-kalangan Islam juga mulai menyimpulkan tentang pengembalian
semangat yang perlu dalam pemurnian Islam.
Pada awal abad ke-19, Jawa merupakan daerah agraris. Sebagian besar dari
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Pertanian dilakukan secara
tradisonal, teknologi yang dipergunakan juga bersifat sederhana sekali. Sebagian rakyat
juga masih hidup dalam kekurangan dan keterbelakangan ekonomi.Dalam menghadapi
kehidupan rakyat yang serba terbelakang menurut kaum liberal, semua itu disebabkan
oleh sistem feodal yang mematikan hasrat rakyat. Untuk mengatasi hal tersebut
gubernur Hindia Belanda saat itu Dirk Van Hogendorp (1799-1808) mengusulkan agar
kedudukan bupati dan penguasa daerah diatur kembali, pemilikan atau penguasaan
tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan kepada
rakyat.11Rakyat diberi tanah untuk ditanami secara bebas, bebas memilih jenis tanaman
dan bebas melakukan pekerjaan. Rakyat harus menyetor sebagian hasil bumi mereka
untuk memberikan pajak kepada pemerintah kolonial. Akan tetapi dalam struktur feodal
8
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai
Imperium, h. 295.
9
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 317.
10
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2008), h. 196.
11
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai
Imperium, h. 290.
itu kedudukan bupati sangat kuat, sehingga setiap tindakan perubahan tidak dapat
berjalan tanpa kerjasama mereka. Kepemimpinannya berakar kuat dalam masyarakat
sehingga tidak mudah untuk menggeser kedudukannya.
Pada tahun 1825 Belanda mendirikan Nederlandsche Handel Maatschappij
(N.H.M) yaitu sebuah perusahaan monopoli yang mengorganisir perdagangan antara
Hindia Timur dan Belanda. Pada tahun 1867, tanah dari para Bupati dirampas dan tahun
1882 mereka dipecat dari pekerjaan dan tugas-tugas personalnya yang sebagian
diserahkan kepada kaum petani. Sejumlah wilayah kabupaten dicabut dari penguasa
yang independen digantikan pejabat-pejabat lokal yang digaji.12Perekonomian
diorganisir berdasarkan sistem kultur/tanam paksa. Menurut sistem tanam paksa
pungutan dari rakyat tidak lagi berupa uang tetapi berupa hasil tanaman yang dapat
diekspor.Petani wajib menyerahkan 1/5 dari tanah mereka kepada pemerintah untuk
tanaman tertentu, seperti tebu, nila, kopi, teh, tembakau, kayumanis dan kapas. Mereka
menyerahkan produksi pertanian sebagai upeti ataupun pajak. 13Petani juga diwajibkan
menyumbangkan pekerjanya untuk membangun saluran irigasi, jalan, dan jembatan,
membersihkan tanah kosong, bahkan unntuk membangun infrastruktur perekonomian
pada sebuah pulau.Meskipun sistem ini melindungi petani dari kewajiban tertentu,
namun kenyataannya mereka justru menjadi sasaran penghisap lainnya. Barang-barang
yang dihasilkan oleh sistem kultur ini dijual kepada N.M.H dengan harga kontrak dan
dibawa ke Eropa dengan menggunakan armada Belanda.14
Sementara itu sistem tanam paksa berjalan terus tanpa diketahui oleh pemerintah
pusat bagaimana pelaksanaannya dan seperti apa dampaknya terhadap petani. Pada
tahun 1843 penguasa di Batavia mendengar berita tentang kelaparan di Cirebon.
Produksi untuk ekspor harus memenuhi target maka baik tanah maupun tenaga
dikerahkan terlebih dulu untuk tanam paksa sampai-sampai produksi pangan sendiri
terbengkalai. Kelaparan antara tahun 1843 dan 1848 menyebabkan jumlah penduduk
menurun dengan cepat, dari 336.000 jiwa menjadi 120.000 jiwa.15
Pengerahan tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui
batas-batasnya. Rakyat disuruh pergi jauh dari desanya untuk mengerjakan penanaman
indigo/kapas dan kopi selama berbulan-bulan di daerah yang baru dibuka. Penanaman
tebu juga membawa beban yang sangat berat bagi rakyat, karena menuntut pengolahan
tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang banyak
memakan waktu dan tenaga.16Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersamaan
dengan penanaman padi karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali
penanaman padi tidak dapat dimulai dengan tepat sebab harus menunggu sampai tebu
dapat ditebang.Keadaan ini masih berlangsung sampai memasuki Politik Etis pada
permulaan abad ke-20. Pada awal pembentukannya, Belanda mendengung-dengungkan
akan membayar hutang Belanda kepada rakyat Indonesia dengan cara meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, dalam perkembangannya kehidupan rakyat Indonesia
12
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 311.
13
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai
Imperium, h. 306.
14
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 311.
15
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai
Imperium, h. 312.
16
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai
Imperium, h. 313.
tidak semakin baik, bahkan semakin merosot. Ketika penetrasi kolonial secara intensif
menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat, melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga
kerja atau buruh yang berlebihan dan lengkap dengan peraturan yang menindas.
Kenyataan tersebut dirasakan oleh rakyat Indonesia bahwa realitas kekuasaan kolonial
tidak cocok dengan kenyataan sosial harmoni dan stabilitas yang dicita-citakan
masyarakat tradisional.
Selain itu, kondisi keagamaan masyarakat Nusantara tetap berjalan, namun
memiliki kendala-kendala tersendiri dalam proses penyebarannya. Sudah sejak lama
sebelum lahirnya Islam, arus kolonialisasi sudah mengalir dari India mengalir ke pulau
Jawa dan pulau-pulau sekitarnya. Setelah sebagian bangsa India memeluk Islam, maka
orang-orang Islam dari India pun turut mengambil bagian dalam lalu lintas dan imigrasi
ke Nusantara.Agama Islam sebagaimana telah diterima oleh Bangsa Indonesia,
sebelumnya sudah mengalami proses penyesuaian diri dengan agama Hindu. 17
Kedatangan agama Islam ke Hindia Belanda bukan akibat penaklukan,
melainkan bermula dari bawah, yaitu rumah ibadah atau masjid. Masjid di Hindia
Belanda berfungsi sebagai pusat penyebaran dakwah agama ke seluruh kehidupan
masyarakat dan memberikan bimbingan kepada segala macam pernyataan hidup
masyarakat pribumi yang pada hakikatnya tunduk kepada hukum Islam. Di pulau Jawa,
kebanyakan perkara maupun sengketa diselesaikan di serambi masjid. Masjid menjadi
ruang pengadilan bagi berbagai macam urusan hukum seperti hukum waris, hukum
perkawinan dan lain sebagainya.
Penganut Islam terutama di Jawa senantiasa mensejajarkan syariah dan adat
sebagai dua tiang tumpuan bagi kehidupan mereka. Ada pula sebagian golongan kecil
dari masyarakat pribumi yang jarang mengunjungi masjid. Kebanyakan dari mereka
hampir selalu mengabaikan kewajibannya untuk bersembahyang. Adapun mereka yang
menjalankan shalat lima waktu juga jarang pergi ke masjid.18Walaupun Islam di
wilayah Hindia Belanda banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu,
namun orang Islam di wilayah ini pada waktu itu memandang agamanya sebagai alat
pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain.Masalah sinkretisme agama
Islam, terutama di kalangan suku Jawa, memang banyak disoroti oleh banyak orang.19Di
Hindia Belanda, Islam juga mengalami perseteruan dengan berbagai peraturan adat.
Pertentangan yang sangat mencolok salah satunya adalah mengenai adat di
Minangkabau.Antara adat dan Islam tidak terdapat korelasi yang baik. Di satu pihak
adat memperbolehkan untuk melakukan sabung ayam, berjudi dan minum-minuman
keras, namun di pihak lain Islam sangat menentang kegiatan-kegiatan seperti itu. Di
Jawa juga terdapat pertentangan sistem adat dengan Islam, namun tidak menonjol
seperti halnya di Minangkabau. Di dalam masyarakat Jawa dikenal dengan
penggolongan antara abangan dan putihan.20
B. Kedudukan Belanda Era Kolonialisme
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan puncak abad imperialisme
yang ditandai dengan masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang bernafsu membentuk
17
Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bahratara Karya
Aksara, 1973), h.12-13.
18
Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, h. 25.
19
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda(Jakarta: LP3ES, 1996), h. 12.
20
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ( Jakarta: LP3ES, 1982), h. 21.
kekaisaran. Pada masa itu kekuasaan Prancis dan Inggris sudah mulai mengancam
wilayah Afrika dan Asia. Mereka menguasai daerah tersebut untuk dijadikan sebuah
wilayah kekuasaan Eropa. Belanda di Indonesia sudah memulai politik ekspansinya
jauh sebelum itu.
Memasuki abad ke-19, VOCdibubarkan dan Indonesia berada di bawah
pemerintah Kerajaan Belanda. Meskipun gagal dalam perdagangan, perusahaan dagang
Belanda ini berhasil dalam bidang politik. Semua negara kesultanan, kecuali Aceh, telah
jatuh dalam pengaruh kolonial Belanda. Berbeda dengan pendahulunya, VOC yang
telah menguasai berbagai sumber dan pusat perdagangan telah mendorong pemerintah
Belanda untuk menguasai secara politis, menjajah wilayah yang telah dikuasainya
secara ekonomis untuk dijadikan sebagai bagian wilayah Belanda, Pax Neerlandica.Di
Indonesia Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang
dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam.21
Belanda pada waktu itu belum mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai
Islam, sehingga mula-mula tidak berani mencampuri masalah agama ini secara
langsung. Belanda khawatir akan timbul pemberontakan orang-orang Islam fanatik,
sementara di lain pihak Belanda yakin bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera
menyelesaikan semua persoalan. Pemerintah Belanda belum berani mencampuri
masalah Islam dan juga belum mempunyai kebijakan yang jelas mengenai masalah ini.
Keengganan mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia
Belanda ayat 119 RR (Regeerings Reglemet/Peraturan Pemerintah) yang berisi
mengenai kebebasan dalam menganut agama dan perlindungan terhadap
masyarakat.22Kebijaksanaan untuk tidak mencampuri agama ini nampak tidak konsisten
sebab tidak ada peraturan yang jelas mengenai persoalan ini. Dalam masalah haji
pemerintah kolonial ikut campur tangan, para haji sering dicurigai dan dianggap fanatik
serta sering memberontak terhadap pemerintah Belanda. Aneka perlawanan terhadap
pemeritah Belanda seperti Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830),
dan Perang Aceh (1873-1903) tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama Islam.
Perlawanan ini dipelopori oleh para ulama yang telah kembali dari Makkah atau paling
tidak dari mereka yang telah mendapat pengaruh dari para haji.Tahun 1859, Gubernur
jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-
gerik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.23
Situasi ini berkaitan erat dengan sikap curiga dan kekhawatiran pemerintah
Belanda yang berlebihan terhadap perhajian di Indonesia. Masalah Islam yang semakin
kuat dan mendominasi setiap aspek, merupakan konsekuensi bagi Belanda. Kondisi ini
yang menyebabkan pemerintah Belanda mengirimkan konsulnya 24di Jeddah untuk
mengatur dan mengawasi warga jajahannya di tanah suci.25
Masyarakat Indonesia pada masa Kolonial Eropa dibedakan dalam beberapa
golongan atau garis warna. Garis warna atau perbedaan warna kulit pada tanah jajahan
21
Aqib Suminto, Politik Islam, h. 9.
22
Aqib Suminto, Politik Islam, h. 10.
23
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007), h.263.
24
Konsul ini bertugas untuk mengatur arus perjalanan jemaah haji Indonesia, terutama dengan
berkenaan kepentingan pelayaran pengangkut jemaah haji ataupun menjaga wibawa pemerintah Belanda
di mata dunia.
25
Aqib Suminto, Politik Islam, h. 93.
sangat ketat diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Pemerintah Kolonial Belanda membagi
golongan sosial di Indonesia berdasarkan kepada hukum dan keturunan atau status
sosial.
1. Pembagian masyarakat menurut hukum Belanda, terdiri atas:26
a. Golongan Eropa
b. Golongan Indo
c. Golongan Timur Asing;
d. Golongan Bumiputera.
27
2. Pembagian masyarakat menurut keturunan atau status sosial, terdiri atas:
a. Golongan bangsawan (aristokrat);
b. Pemimpin adat;
c. Pemimpin agama
d. Rakyat biasa
Berdasarkan golongan sosial tersebut, orang-orang Eropa dianggap sebagai ras
tertinggi, kedua orang-orang Indo (turunan pribumi dan Eropa), ketiga orang-orang
keturunan Timur Asing (Cina), dan terakhir orang-orang pribumi (Indonesia). Posisi
Indonesia yang berada pada urutan paling bawah masih juga dibedakan. Kedudukan
seseorang pribumi tersebut dalam perkembangannya dibedakan pada aspek keturunan,
pekerjaan, dan pendidikan. Pembagian kelas tersebut sebenarnya untuk menunjukan
pada kaum pribumi bahwa bangsa kulit putih kedudukannya jauh lebih tinggi dari
kulitberwarna.Golongan bangsawan (aristokrat) merupakan golongan tertinggi dari
stratifikasi sosial yang diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Aristokrat ialah golongan dari
orang ningrat. Adapun orang yang termasuk orang ningrat ini ialah Raja/Sultan dan
keturunannya, para pejabat kerajaan, dan pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial.
C. Hubungan Umat Islam dan Bangsa Belanda Era Kolonialisme
Melihat fakta-fakta sejarah, hubungan Umat Islam dan Bangsa Belanda tentu
tidak harmonis, meskipun sebagian dari kaum bangsawan masih berada di bawah
kekuasaan Belanda. Aneka perlawanan terhadap pemeritah Belanda seperti Perang
Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903)
sudah dapat membuktikan bahwa kedua bangsa tersebut pernah berselisih. Hal ini
terjadi karena Bangsa Belanda datang untuk menjajah dan menguras kekayaan
Nusantara. Sejak awal Bangsa Barat datang untuk mencari dan menguasai sumber
rempah-rempah Hal ini tentu mengganggu stabilitas bangsa Melayu sebagai pedagang.
Apalagi Bangsa Belanda datang untuk memonopoli perdagangan melalui VOC. Hal ini
tentu tidak dapat diterima oleh bangsa pribumi.
Selain itu, Belanda terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan, meskipun di sisi
lain pemerintah Kolonial Belanda memberikan kebebasan tentang hal keagamaan.
Kolonial Belanda menganggap bahwa Umat Islam yang berangkat haji memiliki potensi
untuk memberontak sehingga mereka selalu dimata-matai. Akhirnya perang pun terjadi
karena Umat Islam fanatik tidak bisa menerima perlakuan Bangsa Belanda. Bahkan
ulama pun ikut berperang melawan Belanda. Setelah itu, gerak-gerik ulama pun
diperhatikan oleh Bangsa Belanda. Bahkan ulama menganggap bahwa bangsa pribumi
26
Serba Sejarah,“Penggolongan Masyarakat Indonesia Masa
Kolonial.http://serbasejarah.blogspot.com/2011/12/penggolongan-masyarakat-indonesia-masa.html (25
Oktober 2014).
27
Serba Sejarah,“Penggolongan Masyarakat Indonesia Masa Kolonial. (25 Oktober 2014).
yang berlindung di bawah kekuasaan Belanda adalah kafir dan harus disyahadatkan
kembali.
Hal tersebut terjadi akibat dari saling kecurigaan antara kaum pribumi dengan
Bangsa Belanda sebagai bangsa asing yang menjajah Nusantara dan mempekerjakan
bangsa pribumi dengan paksa dan upah yang sedikit. Dengan melihat perlakuan Bangsa
Belanda terhadap bangsa pribumi tentu sudah jelas hubungan mereka tidak harmonis.
Sejumlah peperangan terjadi karena bangsa pribumi memberontak atas perlakuan yang
mereka terima.
D. Kesimpulan
Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan :Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia. Cet I; Jakarta, 2012.
Hurgronje, Snouck. Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan. Jakarta: Bahratara
Karya Aksara, 1973.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium
Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia Utama, 1999.
M. Lapidus, Ira.Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Nata, Abuddin. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Rajawali Press, 2007.
Noer, Deliar.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1982.
Putuhena, M. Shaleh.Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium
Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia Utama, 1999.
Suminto, Aqib.Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1996.