Sejarah Perlawanan Umat Islam Di Masa Belanda

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 16

SEJARAH PERLAWANAN UMAT ISLAM DI MASA BELANDA

M.hairi, Pina agustina


Program Studi PAI, Fakultas Tarbiyah IAIH NW LOTIM
pinaagustina000@gmail.com
Abstract: The Dutch at that time did not have sufficient knowledge about Islam, so at first they
did not dare to interfere directly in this religious matter. The Dutch were worried that there
would be an uprising by fanatical Muslims, while the other side of the Netherlands believed that
the success of Christianization would soon solve all problems. The Dutch government has not
dared to interfere in Islamic matters and also does not have a clear policy on this issue. This
reluctance to interfere in Islamic matters is reflected in the Dutch East Indies law paragraph 119
RR (Regeerings Reglemet / Government Regulation) which contains freedom to adhere to
religion and protection of society. This policy not to interfere with religion seems inconsistent
because there are no clear regulations regarding this issue.This study discusses two issues related
to Muslim resistance in the Dutch period, namely what was the condition of the Muslim
community during the Dutch colonial period and how was the resistance of the Muslim
community to the Dutch colonial (Makassar war, Diponegoro war, and Aceh war). The type of
study used is library research using literature study methods and historical approaches. The
literature which is the main source of this study is library material including journal articles that
discuss Muslims Against Portuguese and Dutch Christian Colonists and added to it the history of
Islamic culture which is relevant to this study as complementary material. The analysis was
carried out by discussing and comparing one source with another to produce presentations,
interpretations and conclusions regarding the history of Muslim resistance in the Dutch era.The
arrival of the Dutch coincided with the weakening maritime defense of the Indonesian sultanates,
which was caused by wars waged by the Indonesian sultanate in its attempt to close Indonesian
seas from the expansion of Portuguese imperialist territory, making it easier for the Dutch to
control trade in Indonesia, so that in 1599 the Dutch fleet returned to Indonesia under the
leadership of van der Hagen and in 1600 under the leadership of van Neck. The social conditions
of the Indonesian people during the Dutch East Indies colonial period were still underdeveloped,
because the colonialism system applied to the Indonesian people was too strict, domination in the
political field, economic exploitation, social discrimination, cultural westernization, and
Christianization of the population, the Indonesian people, especially Muslims, experienced a
decline in all aspects of their lives, material and spiritual.The Kingdom of Gowa and Tallo
fought against Dutch colonialism, which later merged into the Kingdom of Makassar. Judging
from its geographical location, the location of the Makassar Kingdom was very strategic and had
a port city as a trade center in the Eastern Indonesia Region. The Makasar Empire, supported by
skilled sailors, reached its heyday during the reign of Sultan Hasanudin between 1654 - 1669.
The period of decline of the Yogyakarta Palace under the reign of Hamengkubuwono II had a
huge impact on changes in culture and government politics in Java. After the death of
Hamengkubuwono I, the Yogyakarta Palace experienced many disputes mainly due to Dutch
interference in royal affairs. For example, Hamengkubuwono II replaced many old officials with
officials he liked. Patih Danuredja I (1755-1799) was replaced by Danuredja II (1799-1811) and
brought into conflict with Prince Natakusuma (1760-1829) who had great influence in the palace.
The condition of Muslims when the Dutch Nation was very apprehensive. From a political point
of view, the Indonesian people, especially Muslims, have been colonized by the Dutch. The king
who is the protector of the Indonesian people has been overpowered. In fact, some kings were
only a tool for the Dutch to employ Indonesian people. The king is only a mere symbol, while
the power is held by the Dutch. Muslims were always suspected and spied on by the Dutch
colonialists. This created social friction between the Ulama and the Dutch which led to a number
of wars in the archipelago. From an economic perspective, Muslims are forced to work and with
minimum wages. The Dutch even monopolized trade in the archipelago by taking huge profits.
The social strata of the Dutch are certainly above compared to the indigenous people. Indigenous
people are only in the fourth rank.Even then it is still divided into several sections such as the
nobility, clergy, traditional leaders and commoners. The above is strengthened when looking at
historical facts, the relationship between Muslims and the Dutch Nation was certainly not
harmonious, even though some of the nobility were still under Dutch rule. Various resistance
against the Dutch government such as the Makassar War (1654-1669), the Diponegoro War
(1825-1830), and the Aceh War (1873-1903) have proven that the two nations were once at odds.
This happened because the Dutch came to colonize and drain the archipelago's wealth. From the
beginning, Westerners came to seek and control the sources of spices. This certainly disrupted
the stability of the Malays as traders. Moreover, the Dutch came to monopolize trade through the
VOC. This is certainly not acceptable to indigenous peoples.

Keyword: Islam, government politics


Abstrak: Belanda pada waktu itu belum mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai Islam,
sehingga mula-mula tidak berani mencampuri masalah agama ini secara langsung. Belanda
khawatir akan timbul pemberontakan orang-orang Islam fanatik, sementara di lain pihak Belanda
yakin bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Pemerintah
Belanda belum berani mencampuri masalah Islam dan juga belum mempunyai kebijakan yang
jelas mengenai masalah ini. Keengganan mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam
undang-undang Hindia Belanda ayat 119 RR (Regeerings Reglemet / Peraturan Pemerintah)
yang berisi mengenai kebebasan dalam menganut agama dan perlindungan terhadap masyarakat.
Kebijaksanaan untuk tidak mencampuri agama ini nampak tidak konsisten sebab tidak ada
peraturan yang jelas mengenai persoalan ini. Kajian ini membahas dua masalah terkait
perlawanan umat islam di masa belanda, yaitu Bagaimana kondisi ummat Islam di masa
penjajahan Belanda dan Bagaimana perlawanan ummat Islam terhadap colonial Belanda (perang
Makasar, perang Diponegoro, dan perang Aceh), Jenis kajian yang digunakan adalah penelitian
kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode studi literatur dan pendekatan
sejarah. Literatur yang menjadi sumber utama kajian ini adalah bahan pustaka termasuk artikel
jurnal yang membahas tentang Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda
dan ditambah dengan literatur sejarah kebudayaan islam yang relevansi dengan kajian ini sebagai
bahan pelengkap. Analisis dilakukan dengan mendiskusikan dan membandingkan satu sumber
dengan sumber lainnya untuk menghasilkan sajian, interpretasi dan simpulan terkait sejarah
perlawanan umat islam di masa belanda. Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan
pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan Indonesia yang melemah, yang diakibatkan oleh
peperangan yang dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia
dari perluasan wilayah imperialis Portugis, menjadikan Belanda lebih mudah menguasai
perdagangan di Indonesia, sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke
Indonesia di bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600 di bawah pimpinan van Neck.
Kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindia Belanda masih terbelakang,
karena sistem kolonialisme yang diterapkan bagi Bangsa Indonesia terlalu ketat, dominasi dalam
bidang politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi sosial, westernisasi kebudayaan, dan
kristenisasi penduduk maka Bangsa Indonesia terkhusus Umat Islam mengalami kemerosotan
dalam segala aspek kehidupannya, material maupun spiritual. Perlawanan terhadap kolonialisme
Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan
Makasar. Dilihat dari letak geografisnya,letak wilayah Kerajaan Makasar sangat strategis dan
memiliki kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Kawasan Indonesia Timur. Kerajaan
Makasar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung, mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 - 1669. Periode kemunduran Keraton
Yogyakarta di bawah pemerintahan Hamengkubuwono II membawa dampak yang sangat besar
bagi perubahan budaya serta politik pemerintahan di Jawa. Setelah meninggalnya
Hamengkubuwono I, Keraton Yogyakarta mengalami banyak pertikaian terutama akibat campur
tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Misalnya, Hamengkubuwono II banyak mengganti
pejabat yang lama dengan pejabat yang disenangi saja. Patih Danuredja I (1755-1799) digantikan
dengan Danuredja II (1799-1811) dan membawa pertikaian dengan Pangeran Natakusuma
(1760- 1829) yang mempunyai pengaruh besar di keratin. Kondisi Umat Islam ketika Bangsa
Belanda sangat memprihatinkan. Dari segi politik, Bangsa Indonesia terkhusus Umat Islam telah
dijajah oleh Bangsa Belanda. Raja yang menjadi pelindung rakyat Indonesia telah dikuasai.
Bahkan sebagian raja hanya sebagai alat Bangsa Belanda untuk mempekerjakan rakyat
Indonesia. Raja hanya symbol belaka, sementara kekuasaan dipegang oleh Bangsa Belanda.
Umat Islam selalu dicurigai dan dimata-matai oleh kolonial Belanda. Hal ini menimbulkan
pergesekan sosial antara ulama dan Belanda yang menimbulkan sejumlah peperangan di wilayah
Nusantara. Dari segi ekonomi, Umat Islam dipekerjakan secara paksa dan dengan upah yang
minim. Belnada bahkan memonopoli perdagangan di Nusantara dengan mengambil keuntungan
yang besar. Strata sosial Bangsa Belanda tentu di atas dibanding dengan masyarakat pribumi.
Masyarakat pribumi hanya berada pada peringkat keempat. Hal itupun masih dibagi kedalam
beberapa bagian seperti kaum bangsawan, ulama, pemuka adat dan rakyat jelata. Hal diatas
diperkuat apabila melihat fakta-fakta sejarah, hubungan Umat Islam dan Bangsa Belanda tentu
tidak harmonis, meskipun sebagian dari kaum bangsawan masih berada di bawah kekuasaan
Belanda. Aneka perlawanan terhadap pemeritah Belanda seperti Perang Makasar (1654-1669),
Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) sudah dapat membuktikan
bahwa kedua bangsa tersebut pernah berselisih. Hal ini terjadi karena Bangsa Belanda datang
untuk menjajah dan menguras kekayaan Nusantara. Sejak awal Bangsa Barat datang untuk
mencari dan menguasai sumber rempah-rempah Hal ini tentu mengganggu stabilitas bangsa
Melayu sebagai pedagang. Apalagi Bangsa Belanda datang untuk memonopoli perdagangan
melalui VOC. Hal ini tentu tidak dapat diterima oleh bangsa pribumi.
Kata kunci: Islam, politik pemerintahan

Pendahuluan
Belanda pada waktu itu belum mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai Islam,
sehingga mula-mula tidak berani mencampuri masalah agama ini secara langsung. Belanda
khawatir akan timbul pemberontakan orang-orang Islam fanatik, sementara di lain pihak Belanda
yakin bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Pemerintah
Belanda belum berani mencampuri masalah Islam dan juga belum mempunyai kebijakan yang
jelas mengenai masalah ini. Keengganan mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam
undang-undang Hindia Belanda ayat 119 RR (Regeerings Reglemet / Peraturan Pemerintah) yang
berisi mengenai kebebasan dalam menganut agama dan perlindungan terhadap masyarakat. 1
Kebijaksanaan untuk tidak mencampuri agama ini nampak tidak konsisten sebab tidak ada
peraturan yang jelas mengenai persoalan ini.
Aneka perlawanan terhadap pemeritah Belanda seperti Perang Makasar (1654-1669), Perang
Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama
Islam. Perlawanan ini dipelopori oleh para ulama yang telah kembali dari Makkah atau paling
tidak dari mereka yang telah mendapat pengaruh dari para haji.Tahun 1859, Gubernur jenderal
dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak- gerik para ulama,
bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.2 Oleh karena itu, makalah ini akan
membahas tentang kondisi umat islam pada masa penjajahan belanda serta perlawanannya
(perang Makasar, perang Diponegoro, dan perang Aceh).

Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka sangat penting dilakukan bagi peneliti guna memperoleh bahan acuan untuk
mengembangkan penelitian. Hasil penelusuran peneliti terkait kebudayaan islam dan sejarah
perlawanan umat islam di masa belanda dari berbagai riset karya tulis ilmiah sebagai bahan
pertimbangan dan referensi bagi peneliti, diantaranya adalah: Pertama, penelitian tentang “Sejarah
Kebudayaan Islam” (Abuddin, 2007). Dalam penelitian ini dijelaskan Kedatangan Belanda yang
bertepatan dengan pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan Indonesia yang melemah, yang
diakibatkan oleh peperangan yang dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup
lautan Indonesia dari perluasan wilayah imperialis Portugis, menjadikan Belanda lebih mudah

1
Aqib Suminto, Politik Islam, h. 10.
2
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007), h.263.
menguasai perdagangan di Indonesia. Kedua, penelitian tentang “Sejarah Peradaban Islam” (Fatah,
2002). Dalam penelitian ini dijelaskan sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri
sejak tahun 1507 yang diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat
Syah, dan mencapai titik kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa
(1607-1636 M). Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran dengan pertentangan di
antara para pewaris, sehingga menimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah. Walau
demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis, Inggris
maupun Belanda, sampai tahun 1873 M

Metode
Kajian ini membahas dua masalah terkait perlawanan umat islam di masa belanda, yaitu
Bagaimana kondisi ummat Islam di masa penjajahan Belanda dan Bagaimana perlawanan ummat
Islam terhadap colonial Belanda (perang Makasar, perang Diponegoro, dan perang Aceh), Jenis
kajian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan
metode studi literatur dan pendekatan sejarah. Literatur yang menjadi sumber utama kajian ini
adalah bahan pustaka termasuk artikel jurnal yang membahas tentang Ummat Islam Melawan
Penjajah Kristen Portugis dan Belanda dan ditambah dengan literatur sejarah kebudayaan islam
yang relevansi dengan kajian ini sebagai bahan pelengkap. Analisis dilakukan dengan
mendiskusikan dan membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya untuk menghasilkan
sajian, interpretasi dan simpulan terkait sejarah perlawanan umat islam di masa belanda.

Analisis
Kondisi Ummat Islam Masa Penjajahan Belanda
Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan
Indonesia yang melemah, yang diakibatkan oleh peperangan yang dilakukan oleh kesultanan
Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia dari perluasan wilayah imperialis Portugis,
menjadikan Belanda lebih mudah menguasai perdagangan di Indonesia, sehingga pada tahun
1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia di bawah pimpinan van der Hagen dan pada
tahun 1600 di bawah pimpinan van Neck. 3 Kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa
kolonial Hindia Belanda masih terbelakang, karena sistem kolonialisme yang diterapkan bagi
Bangsa Indonesia terlalu ketat, dominasi dalam bidang politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi

3
Abuddin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam(Jakarta : Rajawali Press, 2007), h. 234.
sosial, westernisasi kebudayaan, dan kristenisasi penduduk maka Bangsa Indonesia terkhusus
Umat Islam mengalami kemerosotan dalam segala aspek kehidupannya, material maupun
spiritual.
Dalam lingkungan desa, kehidupan rakyat terutama masih pada tingkat substansi serta
ekonominya belum terbuka penuh, hubungan masyarakat masih bersifat komunal, solidaritasnya
terutama berdasarkan perasaan bersifat emosional. Diferensiasi dan spesialisasi masih rendah,
warga desa secara umum adalah petani, maka dalam homogenitas seperti itu berkembang sistem
tukar-menukar tenaga dan jasa berdasarkan prinsip timbal balik, suatu sistem tolong menolong,
atau apa yang lazim secara umum disebut gotong royong.4 Berdasarkan ikatan tersebut untuk
melakukan banyak kegiatan tidak memerlukan uang sebagai upah atas pekerjaan, tenaga dapat
dikerahkan menurut prinsip pertukaran.
Dengan demikian tenaga sebagai modal belum lepas dari keterikatan tradisi di desa.Sejak
zaman kuno telah ada hubungan antara desa dengan lingkungan di atas desa, yaitu secara
teritorial negara dan secara sosial para pengusaha termasuk golongan bangsawan. Sudah menjadi
gejala umum bahwa dalam masyarakat agraris penguasaan dan pemilikan tanah merupakan dasar
bagi struktur sosial dan struktur kekuasaannya. Hubungan tuan tanah dan penggarap tanah
menimbulkan saling ketergantungan dan keterikatan.
Sistem feodal dengan sistem produksi prekapitalis menjamin bahwa pertukaran antara tuan
dan pengikut atau abdi akan menimbulkan aliran hasil bumi, barang dan jasa kepada tuannya.
Dalam struktur sosial feodalistis, raja, keluarga dan para bangsawan lainnya para elite birokrasi
serta pengusaha daerah kesemuanya berkedudukan sebagai tuan, sedangkan rakyat golongan
bawah sebagai abdi. Melalui jalur feodal ini para bangsawan mempergunakan ikatan desa dan
tradisional untuk mengerahkan rakyat agar mereka memberikan jasa besar kepada tuannya.
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa aliran jasa besar dan hasil bumi ke atas jauh lebih besar
daripada aliran jasa dari atas ke bawah. Dapat dibayangkan bahwa sistem ini memberi beban
yang sangat berat bagi rakyat kecil. Belanda sangat aktif dalam pendirian sekolah-sekolah baru
bagi bangsa Indonesia.
Pendidikan Belanda atas Bangsa Indonesia bermula sejak awal abad ke-19 ketika kalangan
aristokrat Indonesia belajar di rumah-rumah pemukim Belanda. Sekolah Belanda pertama untuk
melatih warga Indonesia untuk beberapa pekerjaan pamong praja didirikan tahun 1848.9 Pada
4
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium (Jakarta: Gramedia Utama, 1999), h.
294.
tahun 1900 prestise kekuasaan dan kepercayaan diri kaum elite bangsawan Jawa mencapai titik
yang rendah. Banyak generasi muda yang meninggalkan jabatan dalam pemerintahan dan
mencari karir di bidang hukum ataupun kedokteran. Para bangsawan yang lain menciptakan
gerakan-gerakan intelektual yang ternyata bersifat anti Islam dan yang berkaitan erat dengan
teosofi.
Gerakan-gerakan semacam itu menghubung-hubungkan keadaan buruk dengan penyebaran
agama Islam dan berusaha mengembalikan kebudayaan Jawa dengan cara menyatukan budaya
asli dengan pemikiran Barat (Belanda). Pada saat itu juga, kalangan-kalangan Islam juga mulai
menyimpulkan tentang pengembalian semangat yang perlu dalam pemurnian Islam
Sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pada masa Kolonial Eropa
dibedakan dalam beberapa golongan atau garis warna. Garis warna atau perbedaan warna kulit
pada tanah jajahan sangat ketat diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Pemerintah Kolonial Belanda
membagi golongan sosial di Indonesia berdasarkan kepada hukum dan keturunan atau status
sosial.
1. Pembagian masyarakat menurut hukum Belanda, terdiri atas:5
a. Golongan Eropa;
b. Golongan Indo;
c. Golongan Timur Asing;
d. Golongan Bumiputera.
2. Pembagian masyarakat menurut keturunan atau status sosial, terdiri atas:6
a. Golongan bangsawan (aristokrat);
b. Pemimpin adat;
c. Pemimpin agama;
d. Rakyat biasa
Berdasarkan golongan sosial tersebut, orang-orang Eropa dianggap sebagai ras tertinggi,
kedua orang-orang Indo (turunan pribumi dan Eropa), ketiga orang-orang keturunan Timur
Asing (Cina), dan terakhir orang-orang pribumi (Indonesia). Posisi Indonesia yang berada pada
urutan paling bawah masih juga dibedakan. Kedudukan seseorang pribumi tersebut dalam
perkembangannya dibedakan pada aspek keturunan, pekerjaan, dan pendidikan. Pembagian kelas
tersebut sebenarnya untuk menunjukan pada kaum pribumi bahwa bangsa kulit putih
5
Abuddin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam(Jakarta : Rajawali Press, 2007), h. 254.
6
Abuddin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam(Jakarta : Rajawali Press, 2007), h. 257.
kedudukannya jauh lebih tinggi dari kulitberwarna.Golongan bangsawan (aristokrat) merupakan
golongan tertinggi dari stratifikasi sosial yang diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Aristokrat ialah
golongan dari orang ningrat. Adapun orang yang termasuk orang ningrat ini ialah Raja/Sultan
dan keturunannya, para pejabat kerajaan, dan pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial.
Melihat fakta-fakta sejarah, hubungan Umat Islam dan Bangsa Belanda tentu tidak harmonis,
meskipun sebagian dari kaum bangsawan masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Aneka
perlawanan terhadap pemeritah Belanda seperti Perang Makasar (1654-1669), Perang
Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) sudah dapat membuktikan bahwa kedua
bangsa tersebut pernah berselisih. Hal ini terjadi karena Bangsa Belanda datang untuk menjajah
dan menguras kekayaan Nusantara. Sejak awal Bangsa Barat datang untuk mencari dan
menguasai sumber rempah-rempah Hal ini tentu mengganggu stabilitas bangsa Melayu sebagai
pedagang. Apalagi Bangsa Belanda datang untuk memonopoli perdagangan melalui VOC. Hal
ini tentu tidak dapat diterima oleh bangsa pribumi.

Perang Makasar (1654-1669)


Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang
kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makasar. Dilihat dari letak geografisnya,letak wilayah
Kerajaan Makasar sangat strategis dan memiliki kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan di
Kawasan Indonesia Timur. Kerajaan Makasar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung,
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 -
1669.7
Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC
pelayaran dan perdagangan diwilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa
semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan
saling menguntungkan. Upaya VOCyang sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja
Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan kesempatan
berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat
utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.
Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan
dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni
selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan
7
Vlekke,B.H.M., Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta: Gramedia. 2008), h. 123
Makasar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makasar melawan
VOC.Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun
1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-
halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut
mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap
kompeni.Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 - 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC
menyerbuMakasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan Pasukan
Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh Speelman,
menyerang pelabuhan Makasar dari laut, sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain
dan berhasil mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin
sertamelakukan penyerbuan ke Makasar.8
Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor
penyebabkegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap
Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam
bentuklain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan
terhadap VOC.

Perang Diponegoro (1825-1830)


Periode kemunduran Keraton Yogyakarta di bawah pemerintahan Hamengkubuwono II
membawa dampak yang sangat besar bagi perubahan budaya serta politik pemerintahan di Jawa.
Setelah meninggalnya Hamengkubuwono I, Keraton Yogyakarta mengalami banyak pertikaian
terutama akibat campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Misalnya, Hamengkubuwono II
banyak mengganti pejabat yang lama dengan pejabat yang disenangi saja. Patih Danuredja I
(1755-1799) digantikan dengan Danuredja II (1799-1811) dan membawa pertikaian dengan
Pangeran Natakusuma (1760- 1829) yang mempunyai pengaruh besar di keratin.9
Belanda melalui Gubernur Jenderal Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun tahta dan
pada awal Januari 1811 digantikan oleh putranya, Pangeran Adipati Anom, yang bergelar
Hamengkubuwono III atau Sultan Raja. Akan tetapi, Hamengkubuwono II atau Sultan Sepuh
tetap diperkenankan tinggal di keraton. Baru pada masa pemerintahan Inggris di bawah

8
Vlekke,B.H.M., Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta: Gramedia. 2008), h. 134
9
Peter Carey, The Origin of Java War. a.b. Asal Usul Perang Jawa. Jakarta: Pustaka Azet, 1986, hlm. 35.
Gubernur Jenderal Raffles, kedudukan Hamengkubuwono II dikembalikan, walaupun nantinya
dicabut dan beliau diasingkan ke luar negeri.
Campur tangan ini, membuat salah satu putra Sultan Hamengkubuwono III, Raden Mas
Ontowiryo atau lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro keluar dari keraton dan mengangkat
senjata. Hal ini dikarenakan Belanda turut campurdalam urusan intern keraton menurut
Diponegoro sangat bertentangan dengan hukum adat dan agama yang berlaku. Belum lagi
dengan adanya sekelompok bangsawan istana dan pejabat Belanda yang bersikap sewenang-
wenang terhadap rakyat. Ketidakpuasan ini membawa Pangeran Diponegoro meninggalkan
Keraton Yogyakarta dan tinggal di Tegalrejo. Sementara di keraton, sebuah dewan perwalian
dibentuk karena Sultan Jarot atau Hamengkubuwono IV belum cukup dewasa untuk memerintah.
Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap Belanda disebabkan oleh
tiga hal diantaranya:10
Pertama, kekuatan kolonial sejak awal 1800-an berusaha menanamkan pengaruh di Jawa,
khususnya pada pemerintahan kerajaan yang ada. Kebanyakan perilaku orang barat yang
berusaha mengubah peraturanperaturan yang berlaku di keraton mendapat banyak tentangan dari
bangsawan istana. Selain itu, kekuasaaan para pangeran dan bangsawan administratif pribumi4
dikurangi dengan berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan
Kedua, pertentangan politik yang dilandasi kepentingan pribadi dalam keraton semakin lama
semakin meruncing. Pengangkatan Hamengkubuwono V yang masih kecil membawa banyak
kepentingan pribadi dari Dewan Perwalian yang dibentuk. Pada tahun 1822 mulai terlihat dua
kelompok dalam istana, kelompok pertama terdiri dari Ratu Ibu (ibunda Hamengkubuwono IV),
ratu Kencono (ibunda Hamengkubuwono V), dan Patih Danuredja IV. Sedangkan kelompok
kedua terdiri dari Pangeran Diponegoro dan pamannya, Pangeran Mangkubumi.
Ketiga, beban rakyat akibat pemberlakuan pajak yang berlebihan mengakibatkan keadaan
masyarakat semakin tertekan. Misalnya, pintu rumah dikenakan bea pacumpleng, pekarangan
rumah dikenakan bea pengawang-awang, bahkan pajak jalan pun dikenakan bagi tiap orang yang
melintas, termasuk barang bawaannya. Hal ini mengakibatkan Pangeran Diponegoro mendapat
dukungan tidak hanya dari elit istana, tetapi juga dari kalangan masyarakat pedesaan dan elit
agama yang dirugikan dengan kebijakan kolonial.

10
Peter Carey, The Origin of Java War. a.b. Asal Usul Perang Jawa. Jakarta: Pustaka Azet, 1986, hlm. 45-55.
Perang Diponegoro ini berkobar sampai pelosok Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.
Dukungan kepada Pangeran Diponegoro sendiri berdatangan dari berbagai pihak, bangsawan,
tokoh masyarakat, ulama, santri bahkan rakyat jelata. Menghadapi perlawanan ini, pihak kolonial
Belanda mendapat banyak bantuan dari penguasa lokal di daerah. Perang yang dilancarkan
meluas ke berbagai daerah, bukan hanya di Yogyakarta, tetapi meluas ke daerah Surakarta,
Banyumas, Tegal, Pekalongan, Parakan, Wonosobo, Panjer Roma, Bagelen, Semarang, dan
Rembang.
Perjuangan Pangeran Diponegoro pada hakikatnya merupakan sumber inspirasi perjuangan
Bangsa Indonesia yang selaras dengan pendidikan katarakter bangsa. Hal ini dapat dipahami
mengingat perjuangan Diponegoro: mengembangkan nilai-nilai religius, tidak mengejar tahta,
kesederhanaan/kerakyatan, dan gemar membaca, walaupun pasca Perang Diponegoro
Pemerintah Kolonial Belanda dengan segala daya menciptakan mitos-mitos palsu tentang
dirinya.

Perang Aceh (1873-1903)


Sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang
diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat Syah, dan mencapai titik
kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa (1607-1636 M). Sejak itu
kesultanan Aceh mengalami kemunduran dengan pertentangan di antara para pewaris, sehingga
menimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah. Walau demikian, kesultanan Aceh yang luas
itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis, Inggris maupun Belanda, sampai tahun 1873 M.11
Untuk menjaga kebebasan kesultanan Aceh; Inggris dan Belanda negara kolonial yang
berkuasa di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 M telah mengadakan
perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, yang berisi:12
1. Belanda mengundurkan diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan Malaka
dan Singapura kepada Inggris;
2. Inggris mengundurkan diri dari Indonesia dengan jalan menyerahkan Bengkulu dan Nias
kepada Belanda;
3. Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara
itu.
11
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 204
12
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 215
Kebebasan kesultanan Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 M secara diam-diam tidak
diakui lagi oleh Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang de jure berada di bawah
kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda, di mana dinyatakan
bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia. Dengan perjanjian ini, Sultan
Mahmud telah memberi konsesi kepada Belanda untuk membuka perkebunan tembakau secara
besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang sangat menguntungkan Belanda. Pada tahun
1864 M penguasa kolonial Belanda telah dapat mengekspor tembakau ke Negeri Belanda dengan
keuntungan yang sangat menggiurkan.

Untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 M setelah didirikan
satu perusahaan tembakau dengan nama 'Deli Maatschappij', yang kantor pusatnya berkedudukan
di Amsterdam, Belanda. Pada tahun pertamanya perusahaan baru itu telah mengeluarkan 200%
deviden, pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga 1300%. Perusahaan Deli Maatschappij telah
memberi keuntungan yang luar biasa kepada penguasa Hindia Belanda.13

Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 M, merubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia
Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo terus
ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya Aceh menjadi sangat
strategis. Aceh yang telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez dan posisinya di
kemudian hari yang sangat strategis dalam alur pelayaran internasional, serta sangat mungkin
menggiurkan negara-negara kolonial seperti Inggris dan Belanda untuk mencaploknya, maka
pada tahun 1868 M delegasi kesultanan Aceh berlayar menuju Istambul untuk memohon kepada
Sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan kekuasaan tertinggi atas Negara Islam Aceh.
Turki yang dalam posisi sangat lemah, karena menghadapi negara-negara Kristen Eropa,
terutama Perancis dan Inggris, tidak mampu untuk memberikan payung pengaman kepada
Negara Islam Aceh yang letaknya begitu jauh dari Turki. Dengan demikian misi delegasi Aceh
gagal.14

Selain itu keberhasilan penguasa Kolonial Hindia Belanda dalam menumpas peperangan-
peperangan Banten, Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa superioritas yang angkuh,

13
Ibid, hlm.267
14
Ibid, hlm.268
bahwa seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum terjamah oleh Belanda hanyalah Aceh.

Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 M, Belanda memaklumkan perang kepada kerajaan
Aceh.Berbagai macam alasan yang dikemukakannya untuk membenarkan tindakannya. Di
antaranya, Belanda menuduh bahwa kerajaan Aceh bersalah melanggar perjanjian yang sudah
disepakati dengan Belanda tertanggal 30 Maret 1857 M tentang perniagaan, perdamaian dan
persahabatan. Maka karena itu Belanda merasa tidak mungkin lagi mempertahankan kepentingan
umum, sebagai yang di perlukan demi keamanannya sendiri, maka tidak diambil tindakan
kekerasan.
Di luar Aceh Tiga Sagi, Belanda menjalakan politik adu domba dan pecahbelah kepada
Ulebalang-ulebalang di bagian Pesisir dan seluruh Aceh. Yang oleh Belanda dinamakanya
“Onderhoorigheden” atau “daera-daerah wilayah Aceh” diadakanya penandatanganan
“perjanjian” dengan Belanda. Perjanjian itu dinamakan ”Korte Verklaring” atau”perjanjian
Pendek” yang isinya hanya tiga pasal :15
1. Mengakui akan kedaulatan Belanda atas daerahnya
2. Mengakui bahwa musuh Belanda adalah musuhnya
3. Mengakui tidak ada perjanjian dengan pihak lain

Dengan perjanjian pendek ini Belanda mengadu domba para Ulebalangulebalang Aceh
sendiri dengan Sultan Aceh yang telah mengangkat Ulebalang itu dahulu turun temurun dengan
menyerahkan Beslit atau surat harakat atau sekarang disebut S.K. Akibat politik adu domba dan
pecah belah ini amat mendalam sekali pengaruhnya, banyak para Ulebalang-ulebalang yang
terpengaruh, namun masih banyak pula yang setia terhadap Sultan tidak dapat diputuskan begitu
saja oleh kekuatan asing dengan tiba-tiba, karena hubungan yang telah dijalin turun-temurun
yang telah berjalan ratusan atau puluhan tahun. Hampir pada umumnya Ulebalang itu mendapat
gelar khusus dan ikatan tertentu dengan Sultan.16

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan


terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, di mana pada tahun 1925 M dan
tahun 1926 M dan kemudian pada tahun 1953 M telah berkembang menjadi 'perang terbuka'.
15
Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, (Jakarta: Yayasan
Pengkajian Islam Madinah AlMunawwarah, 1999), h. 73.
16
Ibid, h. 89
Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda
mengumpulkan kembali bekasbekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-
operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak oleh pasukan gerilyawan
muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose
sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.17

Dari peperangan-peperangan yang sudah berlangsung di Aceh, semakin banyak pula para
pejuang yang menyerah kepada Belanda seperti Teuku Muda Baid, Syah Bandar Panglima
Tibang, Teuku Glajal dan Kadi Panglima Polim. Akan tetapi, dengan banyaknya para pejuang
yang menyerah, tidak menggoyahkan semangat para pejuang lain. Di Aceh Barat Teuku Umar
dibantu dengan istrinya Cut Nyak Dien tetap mengadakan perlawanan dan pelebaran
penyerangan.

Kesimpulan

Kondisi Umat Islam ketika Bangsa Belanda sangat memprihatinkan. Dari segi politik,
Bangsa Indonesia terkhusus Umat Islam telah dijajah oleh Bangsa Belanda. Raja yang menjadi
pelindung rakyat Indonesia telah dikuasai. Bahkan sebagian raja hanya sebagai alat Bangsa
Belanda untuk mempekerjakan rakyat Indonesia. Raja hanya symbol belaka, sementara
kekuasaan dipegang oleh Bangsa Belanda. Umat Islam selalu dicurigai dan dimata-matai oleh
kolonial Belanda. Hal ini menimbulkan pergesekan sosial antara ulama dan Belanda yang
menimbulkan sejumlah peperangan di wilayah Nusantara. Dari segi ekonomi, Umat Islam
dipekerjakan secara paksa dan dengan upah yang minim. Belnada bahkan memonopoli
perdagangan di Nusantara dengan mengambil keuntungan yang besar. Strata sosial Bangsa
Belanda tentu di atas dibanding dengan masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi hanya berada
pada peringkat keempat. Hal itupun masih dibagi kedalam beberapa bagian seperti kaum
bangsawan, ulama, pemuka adat dan rakyat jelata.
Hal diatas diperkuat apabila melihat fakta-fakta sejarah, hubungan Umat Islam dan Bangsa
Belanda tentu tidak harmonis, meskipun sebagian dari kaum bangsawan masih berada di bawah
kekuasaan Belanda. Aneka perlawanan terhadap pemeritah Belanda seperti Perang Makasar (1654-
1669), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) sudah dapat membuktikan
bahwa kedua bangsa tersebut pernah berselisih. Hal ini terjadi karena Bangsa Belanda datang untuk

17
Ibid, h. 89
menjajah dan menguras kekayaan Nusantara. Sejak awal Bangsa Barat datang untuk mencari dan
menguasai sumber rempah-rempah Hal ini tentu mengganggu stabilitas bangsa Melayu sebagai
pedagang. Apalagi Bangsa Belanda datang untuk memonopoli perdagangan melalui VOC. Hal ini
tentu tidak dapat diterima oleh bangsa pribumi.

Daftar Pustaka
Abdul Qadir Djaelani. Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan Penjajah
Kristen Portugis dan Belanda. Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah
AlMunawwarah. 1999

Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1996.

Nata, Abuddin. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Rajawali Press, 2007.

Putuhena, M. Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai
Imperium. Jakarta: Gramedia Utama, 1999.

Peter Carey. The Origin of Java War. a.b. Asal Usul Perang Jawa. Jakarta: Pustaka Azet. 1986.

Fatah Syukur. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2002.

Vlekke, B.H.M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia. 2008

You might also like