Kian PDF
Kian PDF
Kian PDF
DiSUSUN OLEH :
SUDIRO HUSODO, S.Kep.
NIM. 14.11.3082.5.0119
ABSTRACT
Neonatal asphyxia is a condition in newborns who have failed to breathe spontaneously and regularly
soon after birth so that the baby can not enter oxygen and can not remove carbon dioxide from the body
.. This raises the clearance of airway disorders that impaired oxygen demand to respiratory and increase
CO2 lead to bad consequences in the lives of more .Asfiksia Neonaturum is a condition that often occurs
in newborn wind marked with an Apgar score is the score 0-3. Asphyxia neonaturum has one of the
causes why babies should use a ventilator, because the baby's ability to breathe is not adequate so that
helped a mechanical ventilator machine for oxygenation needs. The effects of the use of ETT and
appliance installation Ventilator is. If the patient is fitted EET (Endo Trkreal Tube) Asphyxia causes
increased secretion of mucous in respiratory if not performed chest and shallow suction therapy there
will be disruption to the airway occurs flugging. While the use of a ventilator to continuously causes
aveoli baro trauma. The necessary for handling the management of asphyxia with appropriate SOP.
Scientific Work Final Ners (KIAN) aims to analyze the intervention for shallow suction and chest
therapy with changes in vital signs client. The analysis showed there was a decline in vital signs of pulse
168 to 140 x / min, breathing from 46 x to 40 x / min for SPO2 values are 96-100% .. The nurse as an
educator can provide information and health education in the elderly patients with Asphyxia handling
Neonaturum form of Shallow Suction and therapy Chest
Keywords: Asphyxia Neonaturum, Airway Clearance, Shallow Suction and Chest therapy, Changes in
Vital Signs
1
Student of Ners Professional, The 2th, STIKES Muhammadiyah Samarinda
2
Lecture at STIKES Muhammadiyah Samarinda
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Penerapan Shallow Suction dan Chest Teraphi dengan
Perubahan Tanda Vital Bayi Asfiksia Neonaturum dengan Bayi TAA Di Ruang Neonatutum
Intensive Care Unit RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015
INTISARI
Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir yang mengalami gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan oksigen dan
tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya.. Hal tersebut menimbulkan gangguan bersihan
jalan nafas sehingga kebutuhan oksigen keparu terganggu dan meningkatkan CO2 yang menimbulkan
akibat buruk dalam kehidupan lebih lanju. .Asfiksia Neonaturum merupakan suatu kondisi yang sering
terjadi pada bayu baru lahir yang ditandai dengan nilai APGAR score yaitu dengan nilai 0-3. Asfiksia
neonaturum mempunyai salah satu penyebab mengapa bayi harus menggunakan Ventilator, karena
kemampuan bernafas bayi tidak adekuat sehingga dibantu mesin mekanik ventilator untuk kebutuhan
oksigenasi. Efek dari pemakaian pemasangan ETT dan alat Ventilator adalah jika pasien Asfiksia
dipasang EET akan menyebabkan peningkatan sekresi mukosa dipernafasan jika tidak dilakukan chest
terapi dan shallow suction maka akan terjadi gangguan jalan nafas sampai bias terjadi flugging.
Sedangkan untuk pemakaian ventilator secara terus menerus bias menyebabkan baro trauma pada aveoli.
Untuk ituk perlu manajemen penanganan Asfiksia dengan sesuai SOP yang ada. Karya Ilmiah Akhir Ners
(KIAN) ini bertujuan untuk menganalisis intervensi penerapan shallow suction dan chest terapi dengan
perubahan tanda vital klien . Hasil analisis menunjukkan ada terjadi penurunan tanda vital dari nadi 168
menjadi 140 x / menit, Pernafasan dari 46 x menjadi 40 x/ menit untuk SPO2 nilai berada 96-100%..
Perawat sebagai edukator dapat memberikan informasi dan pendidikan kesehatan pada orang tua pasien
dengan penanganan Asfiksia Neonaturum berupa Shallow Suction dan Chest terapi
Kata kunci : Asfiksia Neonaturum, Bersihan Jalan Nafas, Shallow Suction dan Chest terapi, Perubahan
Tanda Vital
1
Mahasiswa Stikes Muhammadiyah Samarinda Program Studi Profesi Ners Angkatan II
2
Dosen Stikes Muhammadiyah Samarinda
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kesehatan merupakan hal yang sangat penting khususnya bagi ibu
yang sedang hamil. Karena dalam kondisi yang seperti ini kesehatan seorang ibu akan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan janinnya. Satu hal yang paling sering ditemui di dalam dunia
kesehatan dimana seorang bayi yang baru lahir akan tetapi bayi itu akan mengalami kesulitan dalam
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur
dalam satu menit setelah lahir. (Hidayat, A.A,2005). Asfiksia berarti hipoksia yang progresif,
penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan
otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Asfiksia lahir ditandai
dengan hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkarbia (peningkatan PaCO2), dan asidosis (penurunan PH).
(Saiffudin,2001).
Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal merupakan salah satu unsur penentu status
kesehatan. Pelayanan kesehatan neonatal dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada bu hamil. Pertumbuhan dan perkembangan bayi periode neonatal merupakan
periode yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bayi (Safrina, 2011).
Kematian perinatal merupakan tolak ukur kemampuan suatu negara dalam upaya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh. Akibat makin tingginya
kematian perinatal menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang buruk. BBLR merupakan salah satu
dari tiga penyebab utama kematian perinatal. Salah satu penyebab tingginya angka kematian perinatal
atau sekitar 70% disebabkan oleh persalinan prematur (WHO, 2013). Makin rendah masa gestasi dan
berat lahir bayi makin tinggi angka kematian bayi sebagai akibat berbagai morbiditas neonates
(Manuaba, 2010).
Persalinan prematur merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan kematian
perinatal sebesar 65%-75% umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah, disamping itu Persalinan
prematur menjadi perhatian utama dalam bidang obstetrik karena erat kaitannya dengan morbiditas dan
mortalitas perinatal dan persalinan prematur merupakan penyebab utama yaitu 60-80% morbiditas dan
mortalitas neonatal di seluruh dunia (Festy, 2011). Berdasarkan data WHO (World Healtd Organization)
(2013), pada tahun 2012 kelahiran prematur mencapai 30-70% dari seluruh bayi dan 75-80% yang
meninggal pada usia kurang dari 28 hari. Data dari WHO ini, menunjukkan angka yang sangat
memperihatinkan terhadap kematianbayi di dunia. Di Asia angka kematian neonatal yang disebabkan
karena prematur sebesar 30% (413.000) dari kelahiran hidup di tahun 2010. Indonesia pada tahun 2010,
memiliki angka kejadian prematur sekitar 19% dari 9-30% BBLR dan merupakan penyebab utama
kematian perinatal. Sebesar 25% bayi yang lahir dengan BBLR meninggal dan 50% meninggal sejak
bayi. Sekitar 50-60% prematur terjadi spontantanpa diketahui dengan jelas etiologinya. Kejadian Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) dan prematur di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di Negara maju
lainnya.
Di negara berkembang, Insiden asfiksia neonatorum di negara berkembang lebih tinggi daripada
di negara maju. lebih kurang 4 juta bayi baru lahir menderita asfiksia sedang atau berat, dari jumlah
tersebut 20% diantaranya meninggal. Sectio caesarea merupakan pilihan terakhir untuk menyelamatkan
ibu dan janin pada saat kehamilan dan atau persalinan kritis. Angka kematian ibu karena sectio caesarea
yang terjadi sebesar 15,6% dari 1.000 ibu dan kejadian asfiksia sedang dan berat pada sectio caesarea
sebesar 8,7% dari 1.000 kelahiran hidup sedangkan kematian neonatal dini sebesar 26,8% per 1.000
Menurut World Health Organization (WHO) setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120
juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini meninggal. Di Indonesia, dari
seluruh kematian bayi, sebanyak 57% meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia
adalah bayi berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain
dan kelainan kongenital. (Wiknjosastro, 2008). Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012 angka kematian bayi sebesar 32 kematian/1000 kelahiran hidup.
Angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal, setiap lima menit terdapat
satu neonatus yang meninggal. Adapun penyebab langsung kematian bayi baru lahir 29%
disebabkan berat bayi lahir rendah (BBLR), asfiksia 13 %, tetanus 10 %, masalah pemberian makan
Asfiksia pada pada bayi baru lahir menjadi penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian bayi
baru lahir setiap tahun. Di Indonesia, angka kejadian asfiksia di rumah sakit pusat rujukan propinsi
di Indonesia sebesar 41,94%. Di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi yaitu
34/1.000 Kelahiran Hidup (SDKI 2007 - 2008). Sedangkan target MDGS 2015 adalah
menurunkan Angka Kematian Bayi menjadi 23/1.000 kelahiran hidup. (Kemenkes RI, 2011).
Menurut (Syafrudin, 2011), dari seluruh kematian bayi, sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal
( usia di bawah 1 bulan), setiap 5 menit terdapat 1 neonatal yang meninggal dan penyebab
kematian neonatal di Indonesia adalah BBLR sebanyak 29%, Asfiksia Neonatorum sebanyak 27%,
trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital ( Depkes, 2008). .Sebanyak
lima provinsi yang mencapai Angka Kematian Neonatal kurang sama dengan 15 /1.000 kelahiran hidup
yaitu Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Riau. Provinsi dengan AKN
terendah yaitu Kalimantan Timur sebesar 12/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKN tertinggi terdapat
di Provinsi Maluku Utara sebesar 37/1.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Papua Barat sebesar 35 per
1.000 kelahiran hidup dan Nusa Tenggara Barat sebesar 33 per 1.000 kelahiran hidup (Rikesda, 2013).
Data mengungkapkan bahwa kira-kira 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk
mulai bernafas, dari bantuan ringan sampai resusitasi lanjut yang ekstensif, 5% bayi pada saat lahir
membutuhkan tindakan resusitasi yang ringan seperti stimulasi untuk bernafas, antara 1% sampai 10%
bayi baru lahir dirumah sakit membutuhkan bantuan ventilasi dan sedikit saja yang membutuhkan
Sehubungan dengan masih tingginya kejadian asfiksia yang ditemukan serta besarnya
resiko seperti komplikasi yang ditimbulkan maka penulis termotivasi untuk membahas lebih lanjut
melalui Karya Ilmiah Akhir Ners ini dengan judul Analisis Pelaksanaan Asuhan Keperawatan dalam
Penerapan Shallow Suction dan Chest Terapi dengan Perubahan Tanda Vital Bayi TTA dengan Asfiksia
Neonatorum Di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Dalam kasus asfiksia ini, peran perawat adalah bagaimana untuk memacu napas klien untuk
kembali normal. Memberikan Chest terapi dan Suction Dangkal serta oksigenasi yang baik,
memberikan semangat kepada keluarga klien untuk berfikir positif dan mengurangi rasa cemas. Pada
sekarang ini, perkembangan ilmu kesehatan terutama dalam pengobatan dan peralatan, sangatlah
menunjang dalam pemulihan penyakit. Terutama penyakit yang ada dalam pembahasan makalah ini.
Begitu juga dengan petugas kesehatan, baik dokter, perawat, ahli gizi dan lain-lain telah banyak
membantu dalam pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal, baik dalam segi perawatan maupun
dalam segi pengobatannya. Pada asfiksia neonatorum yang paling baik dan tepat, terutama dalam segi
pasien, 6 orang keluar hidup dan 60 orang keluar mati. Dari data tersebut terlihat bahwa angka kematian
mendominasi dari jumlah pasien masuk NICU. Menurut Data Rekam Medik di RSUD Abdul Wahab
Syahranie Periode bulan Mei sampai Agustus tahun 2015 jumlah seluruh bayi baru lahir tahun 2015
yang dirawat di Ruang NICU yaitu.32 bayi, dimana pada bulan Mei sebanyak 2 bayi, bulan Juni
sebanyak 5 bayi, bulan Juli sebanyak 4 bayi hingga bulan Agustus sebganyak 2 bayi. Sedangkan ada 13
bayi yang asfiksia di RSUD Abdul Wahab Syahranie pada periode bulan Mei sampai Agustus tahun
2015. Dari total pasien bayi yang dirawat dengan kasus Asfiksia diruang NICU periode Mei sampai
Agustus sebesar 41% dari total pasien yang masuk di ruang NICU.
Oleh karena itu dalam Karya Ilmiah Akhir Ners ini dijelaskan mengenai penyakit asfiksia
neonatorum. Penyakit ini merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor
ibu, faktor placenta, faktor featus dan faktor neonatus, sehingga menyebabkan bayi sulit untuk bernafas
secara spontan. Setiap penyakit mempunyai gambaran klinik tersendiri terutama pada tanda dan gejala,
Untuk kasus Asfiksia Neonatorum perlu penangganan untuk obstruksi jalan napas akibat
akumulasi sekresi pada Endotrakeal Tube adalah dengan melakukan tindakan penghisapan lendir
(suction) dengan memasukkan selang kateter suction melalui hidung/mulut/Endotrakeal Tube (ETT)
yang bertujuan untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum dan mencegah infeksi
paru. Secara umum pasien yang terpasang ETT memiliki respon tubuh yang kurang baik untuk
mengeluarkan benda asing, sehingga sangat diperlukan tindakan penghisapan lendir (suction)
pasien dengan gangguan bersihan jalan nafas maka pasien tersebut akan mengalami kekurangan
suplai O2 (hipoksemia), dan apabila suplai O2 idak terpenuhi dalam waktu 4 menit maka dapat
menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Cara yang mudah untuk mengetahui hipoksemia
adalah dengan pemantauan kadar saturasi oksigen (SpO2) yang dapat mengukur seberapa banyak
prosentase O2 yang mampu dibawa oleh hemoglobin. Pemantauan kadar saturasi oksigen adalah
dengan menggunakan alat oksimetri nadi (pulse oxymetri). Dengan pemantauan kadar saturasi
oksigen yang benar dan tepat saat pelaksanaan tindakan penghisapan lendir, maka kasus
hipoksemia yang dapat menyebabkan gagal nafas hingga mengancam nyawa bahkan berujung
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah dalam Karya Ilmiah
Akhir Ners (KIAN) ini adalah : “Bagaimanakah gambaran analisis pelaksanaan asuhan keperawatan
dalam Penerapan Shallow Suction dan Chest Terapi dengan Perubahan Tanda Vital Bayi TTA dengan
Asfiksia Neonatorum Di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda?”
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kasus
kelolaan dengan Penerapan Shallow Suction dan Chest Terapi dengan Perubahan Tanda Vital Bayi TTA
dengan Asfiksia Neonatorum Di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda
Tujuan Khusus
2. Menganalisis intervensi penerapan shallow suction dan chest terapi yang diterapkan secara
kontinyu dengan perubahan tanda vital pada pasien kelolaan dengan diagnosa medis Asfiksia
Neonatorum
D. Manfaat Keilmuan
1. Bagi orangtua
Diharapkan para orangtua sebagai pengasuh dan pendidik dapat mengetahui tanda tanda asfiksia
serta pelaksanaan dalam pelaksanaan chest terapi selama dirumah untuk mengurangi sesak bayi
2. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman baru dalam bidang penelitian terutama
mengetahui penerapan shallow suction dan chest terapi terhadap perubahan tanda vital pasien
Asfiksia Neonatorum.
Memberikan rujukan bagi bidang diklat keperawatan dalam mengembangkan kebijakan terkait
keperawatan.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan rujukan bagi institusi pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan
Sebagai bahan referensi untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang penerapan shallow
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir yang mengalami gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan oksigen
dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya. ( Dewi,2011)
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur,
sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia setelah persalinan.
Masalah ini mungkin saling berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat atau masalah pada bayi selama atau
7). Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
2). Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ektraksi vakum, forsef).
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang,
1). Gangguan aliran pada tali pusat (lilitan tali pusat, simpul tali pusat, tekanan pada tali pusat, ketuban
b. Faktor Ibu
2) Penurunan tekanan darah dapat mendadak (perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta)
4. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosa gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
. 3). Frekuensi denyut menurun <100 kali permenit, apalagi disertai irama yang tidak teratur.
4). Pengeluaran mekonium pada letak kepala menunjukkan gawat janin, karena terjadi rangsangan
Pengeluaran mekonium pada letak kepala menunjukkan gawat janin, karena terjadi rangsangan
nervus X, sehingga peristaltik usus meningkat dan sfingter ani terbuka (Manuaba, 2010)
c. Pernapasan
Awalnya hanya sedikit nafas. Sedikit napas ini dimaksudkan untuk mengembangkan paru, tetapi
bila paru mengembang saat kepala masih dijalan lahir, atau bila paru tidak mengembang karena suatu
hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti napas komplet. Kejadian ini disebut apnue primer (
Drew, 2009)
d. Usia Ibu
Umur ibu pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu sehingga kualitas sumber
daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan generasi penerus dapat terjamin.
Kehamilan di usia muda/remaja (dibawah usia 20 tahun) akan mengakibatkan rasa takut terhadap
kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk
mempunyai anak dan alat-alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua
(diatas 35 tahun) akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinannya serta alat-alat
reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil. Umur muda (< 20 tahun) beresiko karena ibu belum siap secara
bahwa primiparitymerupakan faktor resiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas
asfiksia, sedangkan umur tua (> 35 tahun), secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani
kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture
uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir (Purnamaningrum,
2010).
e. Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang telah dilakukan ibu. Paritas 2-3 merupakan paritas paling
aman di tinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 4 mempunyai angka
kematian maternal yang disebabkan perdarahan pasca persalinan lebih tinggi. Paritas yang rendah
(paritas satu), ketidak siapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor
penyebab ketidak mampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi dalam kehamilan,
Paritas 1 beresiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi) maupun secara mental. Hasil
penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor resiko yang mempunyai hubungan yang
kuat terhadap mortalitas asfiksia, sedangkan paritas di atas 4, secara fisik ibu mengalami kemunduran
f. Lama persalinan
Menurut tinjauan teori beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui
plasenta berkurang, sehingga aliran oksigen kejanin berkurang yang dapat menyebabkan terjadi asfiksia
pada bayi baru lahir yaitu partus lama atau partus macet dan persalinan sulit, seperti letak sungsang, bayi
Pada multigravida tahapannya sama namun waktunya lebih cepat untuk setiap fasenya. Kala 1
selesai apabila pembukaan servik telah lengkap, pada multigravida berlangsung kira-kira 13 jam
Pada kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis,sehingga memerlukan perbaikan dan
resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan gejala yang yang muncul pada asfiksiam berat adalah sebagai
berikut:
Pada asfiksia sedang, tanda gejala yang muncul adalah sebagai berikut:
Pada asfiksia ringan, tanda dan gejala yang sering muncul adalah sebagai berikut:
3) Bayi merintih
4) Adanya pernafasan cuping hidung
a. Penilaian Awal
Penilaian awal dilakukan pada setiap BBL untuk menentukan apakah tindakan resusitasi harus
segera dimulai. Segera setelah lahir, dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara petugas bertanya
pada dirinya sendiri dan harus menjawab segera dalam waktu singkat.
Bila semua jawaban “Ya”, berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini
segera dilakukan asuhan pada bayi normal. Bila salah satu atau lebih jawaban “Tidak”, bayi memerlukan
kehijauan) ?
(JNPK-KR 2008)
a. Pernafasan
b. Denyut jantung
c. Warna
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan kita memulai resusitasi atau
(Saifuddin, 2009)
Aspek yang sangat penting dari resusitasi BBL adalah menilai bayi, menentukan tindakan yang
akan dilakukan dan ahirnya melaksanakan tindakan tersebut. Penilaian selanjutnya adalah dasar untuk
menentukan kesimpulan dan tindakan berikutnya. Upaya resusitasi yang efektif dan efisien berlangsung
melalui rangkaian tindakan, yaitu penilaian, pengambilan keputusan dan selanjutnya tindakan lanjut.
Rangkaian tindakan ini merupakan suatu siklus. Misalnya pada saat-saat anda melakukan rangsangan
taktil anda sekaligus menilai pernafasan bayi. Atas dasar penilaian ini anda akan melakukan langkah
berikutnya. Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau bahwa
pernafasan tidak adekuat, anda sudah menentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan
berikutnya, yaitu memberikan ventilasi dengan tekanan positif (VTP). Sebaliknya apabila pernafasannya
normal, maka tindakan selanjutnya adalah menilai denyut jantung bayi. Segera setelah memulai suatu
tindakan anda harus menilai dampaknya pada bayi dan membuat kesimpulan untuk tahap berikutnya.
Nilai APGAR pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit setelah bayi lahir, akan
tetapi penilaian bayi harus dimulai segera setelah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi
berdasarkan pernafasan, denyut jantung, atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera.
Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu penilaian APGAR 1 menit.
Keterlambatan tindakan sangat membahayakan, terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.
Walaupun nilai APGAR tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat
menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai
APGAR perlu dinilai dalam 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai apgar <7 penilaian tambahan masih
diperlukan, yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai 2 kali penilaian menunjukkan nilai 8 atau
lebih. Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat berdasarkan keadaan
klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL. Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan
menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian berkala setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan
setiap 30 detik. Penatalaksanaan dilakukan terus menerus berkesinambungan menurut siklus menilai,
1). Pernapasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi jika perlu.
Kali adanya pola pernapasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, napas tersenggal, atau
mendengur.Tentukan apakah pernapsannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasikan denyut aspeks atau merasakan denyutan
umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali permenit. Angka ini merupakan titik batas
yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan. Catatan : bayi dengan frekuensi
jantung <60, khususnya bayi tanpa frekuensi jantung, membutuhkan pendekatan yang lebih darurat.
Awalnya, curah jantung mungkin tidak mampu mencukupi perfusi arteri koroner, sampai pada
3). Warna
Kaji bibir dan lidah bayi yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer
(akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi yang pucat
mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi bewarna merah mudah, biru atau
pucat.
Ketiga observasi ini dikenal sebagai komponen skor APGAR. Dua komponen lainnya adalah tonus
d. Pemantauan Janin
Sesaat setelah bayi lahir perawat melakukan penilaian sekilas untuk kesejahteraan bayi secara
umum. Aspek yang dinilai adalah warna kulit dan tangis bayi, jika warna kulit adalah kemerahan dan
bayi dapat menangis spontan, maka ini sudah cukup untuk dijadikan data awal bahwa dalam kondisi
baik.
Pertemuan sarec di swedia tahun 1985 menganjurkan penggunaan parameter penilaian bayi baru
lahir adalah dengan cara sederhana yang disebut dengan SIGTUNA (SIGTUNA score), sesuai dengan
nama terjadinya konsensus. Penilaian cara ini digunakan terutama untuk tingkat pelayanan kesehatan
dasar karena hanya menilai dua parameter yang penting, namun cukup mewakili indikator kesejahteraan
bayi baru lahir. Sesaat setelah bayi lahir perawat memantau 2 tanda vital bayi sesuai dengan SIGTUNA
score, yaitu upaya bayi untuk bernafas dan frekuensi jantung (dihitung selama 6 detik, hasil dikalikan 10
1) Nilai bayi sesaat setelah lahir (menit pertama) dengan kriteria penilaian seperti pada tabel.
1 : Asfiksia berat.
2. Menit ke 5 sampai 10
Segera setelah bayi lahir, perawat mengobservasi keadaan bayi dengan berpatokan pada APGAR score
Aspek Skor
pengamatan
bayi baru
lahir 0 1 2
Appeareance Seluruh tubuh bayi Warna kulit tubuh normal, Warna kulit seluruh
(Warna kulit) berwarna kebiruan .atau tetapi tangan dan kaki tubuh normal
Pulse Denyut jantung tidak Denyut jantung <100 kali Denyut jantung >100
stimulasi
Activity Lemah, tidak ada Lengan dan kaki dalam Bergerak aktif dan
gerakan
(Sulistyawati, 2010)
Menurut Mochtar (1998), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam, yaitu sebagai berikut
a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih
baik, reaksi rangsangan masih positif, bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik
b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak
8. Patofisiologi
Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan teratur. Sering sekali
bayi mengalami gawat janin sebelum persalinan akan mengalami asfiksia setelah persalinan. Masalah
tersebut mungkin berkaitan erat dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah
pada bayi selama atau sesudah persalinan. Apabila janin kekurangan O 2 dan kadar CO2 bertambah,
maka timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi lambat (Depkes
RI, 2005).
Kekurangan O2 akan merangsang usus sehingga mekonium keluar sebagai tanda janin dalam
asfiksia. Secara klinis tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih cepat dari 160x/menit
atau kurang dari 100x/menit, halus dan irreguler, serta adanya pengeluaran mekonium. Jika DJJ normal
dan terdapat mekonium, maka janin mulai asfiksia. Jika DJJ lebih dari 160x/menit dan ada mekonium
maka janin sedang asfiksia. Jika DJJ kurang dari 100x/menit dan ada mekonium maka janin dalam
Asfiksia bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Resusitasi dapat dilihat
dari berat ringannya derajat asfiksia, yaitu dengan cara menghitung nilai apgar (Novita, 2011).
Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi yang perlu diingat adalah :
a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernapasan tetap bebas
serta merangsang timbulnya pernapasan, yaitu agar oksigen dan pengeluaran CO 2 berjalan lancar.
b. Memberikan bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang menunjukan usaha pernapasan lemah.
Menurut Ilyas (1994), alat-alat resusitasi yang perlu dipersiapkan meliputi sebagai berikut :
d. Penghisap slim
e. Oksigen
i. Laringoskop
j. Obat-obatan (natrium bikarbonat 7,5% (meylon), dekstrose 40%, kalsium glukonas, dekstrose 5%, dan
infus set).
Menurut Novita (2011), resusitasi dilakukan sesuai dengan derajat asfiksia. Penatalaksanaan
penanganan bayi dengan asfiksia bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi
gejala sisa.
Tidak memerlukan tindakan yang istimewa, seperti pemberian lingkungan suhu yang baik pada
bayi, pembersihan jalan napas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa darah, jika diperlukan
memberikan rangsangan, selanjutnya observasi suhu tubuh, apabila cenderung turun untuk
Menerima bayi dengan kain yang telah dihangatkan, kemudian membersihkan jalan
nafas,Melakukan stimulasi agar timbul refleks pernapasan. Bila dalam 30-60 detik tidak timbul
pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai. Ventilasi yang aktif yang sederhana dapat
dilakukan secara ‘frog brething’. Cara tersebut dikerjakan dengan meletakan kateter O2 intranasal
dan O2 dialirkan dengan 1-2 liter/menit. Agar saluran napas bebas, bayi diletakan dalam posisi
dorsofleksi kepala. Apabila belum berhasil maka lakukan tindakan rangsangan pernapasan dengan
menepuk-nepuk telapak kaki, bila tidak berhasil juga maka pasang penlon masker kemudian di
pompa 60x/menit. Bila bayi sudah mulai bernafas tetapi masih sianosis, berikan kolaborasi terapi
natrium bikarbonat 7,5% dengan dosis 2-4 cc/kg berat badan bersama dektrose 40% sebanyak 1-2
Menerima bayi dengan kain hangat, kemudian membersihkan jalan nafas sambil memompa jalan
nafas dengan ambu bag. Berikan oksigen 4-5 liter/menit. Apabila tidak berhasil biasanya dipasang
ETT (endo tracheal tube), selanjutnya bersihkan jalan nafas melalui lubang ETT. Bila bayi bernafas
namun masih sianosis maka berikan tindakan kolaborasi berupa natrium bikarbonat 7,5% sebanyak
6cc dan dektrose 40% sebanyak 4cc. Bila asfiksia berkelanjutan, maka bayi masuk NICU dan infus
1. Pengertian
Sistem pernafasan pada seseorang adalah suatu tempat masuknya udara sampai mengalami suatu
proses pertukaran udara di paru-paru. Adapun organ-organ yang termasuk dalam sistem pernafasan
tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok organ saluran pernafasan dan kelompok organ
tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida. Selain itu juga terdapat otot otot pernafasan, yang
a. Hidung. Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai 2 lubang (kavum nasi),
dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Hidung terbagi menjadi 3 bagian. Bagian luar terdiri
dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang-tulang rawan, lapisan dalam terdiri dari
selaput lendir yang berlipat-lipat, disebut karang hidung (konka nasalis) yang berjumlah 3 buah,
yaitu konka nasalis inferior, konka nasalis media, konka nasalis superior. Hidung berfungsi sebagai
saluran udara pernafasan, penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung,
pembunuh kuman-kuman yang masuk bersamaan udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat
b. Tekak/pharing. Tempat pertemuan kedua saluran hidung dan mulut, pharing dapat dibagi 3 bagian
yaitu : bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana yang disebut rhinopharing. Bagian
tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium yang disebut oropharing yang dekat rongga
mulut bagian bawah sekali dinamakan laringopharing yang dekat dengan laring.
c. Laring. Laring menghubungkan pharing dengan trachea. Laring berfungsi sebagai resonator
(memperkuat getaran udara). Laring terbentuk oleh 2 hialin dan cartilage yang elastis, tiroid, dan
d. Trachea. Trachea merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang
terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C). Sebelah dalam diliputi
oleh selaput lendir yang berbulu getar disebut sebagai sel bersilia yang berguna untuk menge-
luarkan benda asing yang masuk bersama-sama udara pernafasan. Trachea terletak pada leher
paling depan dan terus masuk rongga dada sampai bercabang menjadi bronkus utama.
e. Bronkus dan bronkeolus. Merupakan saluran yang menuju masing-masing paru. Bronkus utama
yang terbentuk dari percabangan trachea mempunyai struktur serupa dengan trachea yang dilapisi
oleh jenis yang sama. Cabang-cabang saluran nafas yang makin mengecil menjadi bronkus yang
terus bercabang menjadi broncheolus. Broncheolus merupakan saluran yang paling kecil yang masih
f. Bronkeolus terminalis. Merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveolus.
Diameter bronkeolus terminalis kira-kira 1 mm. Bronkeolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan
tetapi dikelilingi oleh otot polos, sehingga ukurannya dapat berubah. Semua saluran udara dibawah
tingkat bronkeolus terminalis disebut saluran pengantar udara, karena berfungsi sebagai pengantar
a. Refleks menghisap ( suckling reflex ) Bayi akan melakukan gerakan menghisap ketika anda
menyentuhkan puting susu ke ujung mulut bayi. Refleks menghisap terjadi ketika bayi yang baru
lahir secara otomatis menghisap benda yang ditempatkan di mulut mereka. Refelks menghisap
memudahkan bayi yang baru lahir untuk memperoleh makanan sebelum mereka mengasosiasikan
puting susu dengan makanan. Menghisap adalah refleks yang sangat penting pada bayi. Refleks ini
merupakan rute bayi menuju pengenalan akan makanan. Kemampuan menghisap bayi yang baru lahir
berbeda-beda. Sebagian bayi yang baru lahir menghisap dengan efisien dan bertenaga untuk
memperoleh susu
b. Refleks Menggenggam ( palmar grasp reflex ) Grasping Reflex adalah refleks gerakan jari - jari
tangan mencengkram benda-benda yang disentuhkan ke bayi, indikasi syaraf berkembang normal
hilang setelah 3 - 4 bulan Bayi akan otomatis menggenggam jari ketika Anda menyodorkan jari
telunjuk kepadanya. Reflek menggenggam terjadi ketika sesuatu menyentuh telapak tangan bayi.
c. Refleks mencari ( rooting reflex ) Akan terjadi peningkatan kekuatan otot ( tonus ) pada lengan dan
d. Refleks mencari ( rooting reflex ) Rooting reflex terjadi ketika pipi bayi diusap ( dibelai ) atau di
sentuh bagian pinggir mulutnya. Sebagai respons, bayi itu memalingkan kepalanya ke arah benda
yang menyentuhnya, dalam upaya menemukan sesuatu yang dapat dihisap. Refleks menghisap dan
mencari menghilang setelah bayi berusia sekitar 3 hingga 4 bulan.Refleks digantikan dengan makan
secara sukarela. Refleks menghisap dan mencari adalah upaya untuk mempertahankan hidup bagi
bayi mamalia atau binatang menyusui yang baru lahir, karena dengan begitu dia begitu dia dapat
e. Refleks Moro ( moro refleks ) refleks Moro adalah suatu respon tiba tiba pada bayi yang baru lahir
f. Babinski Reflex. Refleks primitif pada bayi berupa gerakan jari - jari mencengkram ketika bagian
bawah kaki diusap, indikasi syaraf berkembang dengan normal. Hilang di usia 4 bulan.
g. Swallowing Reflex adalah refleks gerakan menelan benda - benda yang didekatkan ke mulut,
memungkinkan bayi memasukkan makanan ada secara permainan tapi berubah sesuai pengalaman.
h. Breathing Reflex, Refleks gerakan seperti menghirup dan menghembuskan nafas secara berulang -
i. Eyeblink Reflex, Refleks gerakan seperti menutup dan mengejapkan mata - fungsi :melindungi mata
dari cahaya dan benda - benda asing - permanen dalam kehidupan jika bayi terkena sinar atau
hembusan angin, matanya akan menutup atau dia akan mengerjapkan matanya.
j. Puppilary Reflex, Refleks gerakan menyempitkan pupil mata terhadap cahaya terang, membesarkan
pupil mata terhadap terhadap lingkungan gelap. - fungsi : melindungi dari cahaya terang,
k. Refleks Tonic Neck, Disebut juga posisi menengadah, muncul pada usia satu bulan dan akan
menghilang pada sekitar usia 5 bln. Saat kepala bayi digerakkan kesamping, lengan pada sisi tersebut
akan lurus dan lengan yang berlawanan akan menekuk ( kadang - kadang pergerakan akan sangat
halus atau lemah ). Jika bayi baru lahir tidak mampu untuk melakukan posisi ini atau jika reflek ini
terus menetap hingga lewat usia 6 bulan, bayi dimungkinkan mengalami gangguan pada neuron
motorik atas. Berdasarkan penelitian, refleks tonick neck merupakan suatu tanda awal koordinasi
mata dan kepala bayi yang akan menyediakan bayi untuk mencapai gerak sadar.
l. Refleks Tonic labyrinthine / labirin, Pada posisi telentang, reflex ini dapat diamati dengan mengangkat
bayi beberapa saat lalu dilepaskan. Tungkai yang diangkat akan bertahan sesaat kemudian jatuh.
m. Refleks Merangkak ( crawling ) Jika ibu atau seseorang menelungkupkan bayi baru lahir, ia
membentuk posisi merangkak karena saat di dalam rahim kakinya tertekuk kearah tubuhnya.
n. Refleks Berjalan dan melangkah ( stepping ) Jika ibu atau seseorang menggendong bayi dengan posisi
berdiri dan telapak kakinya menyentuh permukaan yang keras, ibu / orang tersebut akan melihat
refleks berjalan, yaitu gerakan kaki seperti melangkah ke depan. Jika tulang keringnya menyentuh
sesuatu, ia akan mengangkat kakinya seperti akan melangkahi benda tersebut. Refleks berjalan ini
akan dan berbeda dengan gerakkan berjalan normall, yang ia kuasai beberapa bulan berikutnya.
o. Refleks Yawning, Yakni refleks seperti menjerit kalau ia merasa lapar, iasanya kemudian dan
berlangsung hingga sekitar satu tahun kelahiran. Refleks plantar ini dapat periksa dengan
menggosokkan sesuatu di telapak kakinya, maka jari - jari kakinya akan melekuk secara erat.
p. Refleks Swimming, Reflek ini ditunjukkan pada saat bayi diletakkan di kolam yang berisi air, ia akan
mulai mengayuh dan menendang seperti gerakan berenang. Refleks ini akan menghilang pada usia
empat sampai enam bulan. Refleks ini berfungsi untuk membantu bayi bertahan jika ia tenggelam.
Meskipun bayi akan mulai mengayuh dan menendang seperti berenang, namun meletakkan bayi di air
sangat beresiko. Bayi akan menelan banyak air pada air saat itu
Tapping dan Clapping adalah suatu bentuk terapi dengan menggunakan tangan, dalam posisi
telungkup serta dengan gerakan fleksi dan ekstensi wrist secara ritmis. Teknik ini sering digunakan
dengan dua tangan. Pada anakanak tapping dan clapping dapat dilakukan dengan dua atau tiga jari.
Teknik dengan satu tangan dapat digunakan sebagai pilihan pada tapping dan clapping yang
dilakukan sendiri.
Tapping dan clapping yang dilakukan tidak boleh menimbulkan perasaan tidak nyaman dan
tidak boleh dilakukan secara keras untuk mencegah stimulasi sensoris pada kulit. Tapping dan clapping
seperti halnya dengan perkusi menunjukkan hasil perubahan peningkatan tekanan intrabtoracic (Flower
et al 1979) tetapi tidak menunjukan korelasi dengan peningkatan pembersihan sekresi bronchiale.
Beberapa studi (Campbell et al 1975 dan Wollmer et al 1985) menunjukkan terjadinya obstruksi
jalan nafas ketika melakukan tapping dan clapping, tetapi studi lain ( Pryor dan Webber 1979)
menunkukan tidak ada peningkatan obstruksi jalan udara dengan tapping dan clapping. Tapping dan
clapping juga menjadi penyebab peningkatan hypoxaemia (Falk et al 1984 dan McDonnel etbal 1986)
tetapi tapping dan clapping dengan periode waktu yang pendek (kurang lebih 30 detik) yang
dikombinasi dengan latihan exspansi thorax tiga atau empat kali tidak menunjukan penurunan
Jika pasien merasa bahwa tapping dan clapping yang diberikan atau dilakukan sendiri
memberi manfaat, tetapi fisioterapi berfikir bahwa hal ini dapat mengakibatkan hypo-xaemia maka
pasien harus dikontrol dengan oximeter. Apalagi terjadi penurunan kejauhan oksigen secara signifikan
dan dilanjutkan dengan latihan-latihan ekspansi thorax. Terdapat kemungkinan tidak indikasi tapping
dan clapping pada pasien post operasi dan trauma chest, Juga osteoporosis berat dan haemoptysis.
Begitu pula dengan tapping dan clapping yang dilakukan secara keras dapat mengakibatkan gangguan
nafas dan bronchos-pasme pada pasien yang mengalami hiperaktivitas jalan nafas. Sehingga kecepatan
ritmis yang dirasakan nyaman buat pasien dan fisioterapi harus dilakukan secara tepat dan dengan
dipadukan tapping dan clapping ini bertujuan untuk mempermudah pengeluaran sputum.
Diagnosis gangguan nafas dan hipoksemia harus ditegakkan segera dengan mengetahui dari
tanda-tanda fisik dan TIDAK harus menunggu pemeriksaan laboratorium tanda-tanda fisik dari
Tanda-tanda sekunder tachycardia, aritmia / PVC , tekanan darah naik, keringat, terutama di dahi
dan telapak tangan .Berdasarkan ini kita harus mulai memberikan penanganan awal lebih banyak korban
meninggal karena kekurangan oksigen daripada kelebihan oksigen. Oleh karena hipoksemia dapat
mematikan dalam waktu 3-5 menit. Sedangkan oksigen toxicity baru menyebabkan ke rusakan jaringan
paru jika pemberian oksigen 100% yang terus menerus selama 12 jam atau lebih Dan untuk terapi
oksigen selanjutnya akan dibahas oleh pembicara lainnya Bila ter jadi hal seperti di atas, ini adalah
emergency dan harus segera kita atasi (life saving) lakukan segera
• Bila gagal segera cabut ETT/TT dan bernafas bantu dengan bagian di mask Suction jangan dilakukan
bila kita akan melakukan pemeriksaan analisa gas darah 15 menit -2 0 menit sebelu mnya dan hi
D. Keteter Suction
Kateter suction yang akan digunakan untuk membersihkan jalan nafas biasanya mempunyai
bentuk dan ukuran yang berbeda idealnya kateter suction yang baik adalah efektif menghisap sekret
dan resiko trauma jaringan yang minimal. Diameter kateter suction bagian luar tidak boleh melebihi
setengah dari diameter bagian dalam lumen tube diameter kateter yang lebih besar akan menimbulkan
atelectasis sedangkan kateter yang terlalu kecil kurang efektif untuk menghisap sekret yang kental.
Yang penting diingat adalah setiap kita melakukan suction, bukan sekretnya saja yang dihisap tapi
Qa x 3
Qs = -------------- = F kateter
misalnya Qa = 8 mm
8x 3
Qs = ----------- = 12 F
Teknik :
Setiap melaku kan suction melalui artificial airway harus steril untuk mencegah kontaminasi
kuman dan dianjurkan memakai sarung tangan yang steril. Karakter suction harus di gunakan satu kali
proses suction misalnya setelah selesai suction ETT dapat dipakai sekalian untuk suction nasofaring
dan urofaring dan sesudah itu harus dibuang atau isterilkan kembali, Ingat" Jangan sekali-kali memakai
kateter suction untuk beberapa pasien Peralatan lain yang perlu disediakan cairan antiseptik, vacuum
suction, spuit 5- 10 ml untuk spooling (lavage sollution) dan ambu bag (hand resuscitator) untuk
oksigen 100%. Vacum Suction harus dicek dan diatur jangan terlalu tinggi karena dapat menyebabkan
trauma jari n gan dan jangan terlalu rendah ==> penghisapan tidak efektif
Tabel 1 : Vacuum Setting for Suctioning Patients Based on age Setting Patients
60 – 80 mmHg Infant
Cairan antiseptik untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah suction untuk mengurangi
kontaminasi kuman . Sebelum suction, pasien har us diberi oksigen yang adekuat (pre oxygenasi) sebab
oksigen akan menurun selama proses pengisapan. pada pasien – pasien yang oksigennya sudah kurang.
Pre oksigen isi dapat menghindari hipoksemia yang berat dengan segala akibatnya, sebab proses
suction dapat menimbulkan hiposemia. Pre oksigen dapat diberikan dengan ambu bag dengan O2 100 %
(0-10 liter) atau dengan memakai alat ventilator mekanik dengan O2 100%.
Setelah preoksigensi yang cukup, masukan kateter suction ke dalam airway sampai ujung nya
menotok tanpa hisap, kemudian tarik kateter suction sedikit, lakukan penghisapan dan pemutaran
berlahan dan sambil menarik keluar untu k mencegah kerusakan jaringan dan memudahkan
penghisapan secret. Proses suction tidak boleh melebihi 10-15 detik di lumen artificial airway, total
proses suction jangan melebihi 20 detik. Bila hendak mengulangi suction harus diberikan pre-
oksigenasi kembali 6-10 kali ventilasi dan begitu seterusnya sampai jalan nafas bersih. Jangan lupa
monitor vital sign, ECG monitor, sebelum melanjutkan suction, bila terjadi dysritmia atau
hemodinamik tidak stabil, hentikan suction sementara waktu. Suction harus hati-hati pada kasus- kasus
tertentu misalnya penderita dengan odema paru yang berat dengan memakai respirator dan peep, tidak
dianjurkan melakukan suction untuk sementara waktu sampai oedem parunya teratasi.
Bila sputum kental dan sulit unt uk dikeluarkan dapat dispooling dengan cairan NaCl 0,9%
sebanyak 5-10 ml dimasukkan ke dalam lumen artificial airway sebelum disuction, untuk bayi cukup
beberapa tetes saja. Dianjurkan setiap memakai artificial airway harus menggunakan humidifier dengan
kelembaban 100% pada temperatur tubuh untuk mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sputum.
Penghisapan melalui naso tracheal biasanya lebih sulit dan berbahaya bila dibanding dengan
memakai via artifical airway dan tidak dianjutka n untuk rutin prosedur pada pembersihan jalan
nafas, sebab dapat menyebabkan spasme faring, iritasi nasal dan perdarahan. Pada kasus tertentu
dimana artificial airway tidak ada, sedangkan retensi sputum banyak dapat dilakukan perlahan dengan
memakai kateter suction yang sebelumnya di olesin pelicin (water soluble lumbricant) dan sementara
vacuum dilepaskan, sambil mendengar suara nafas melalui kateter bila sudah sampai di depan trachea
kateter Suction di teruskan pada saat inspirasi sambil menghisap, biasanya timbul rangsangan batuk
sehingga sputum dapat keluar melalui suction atau kerongga jalan nafas bagian atas (nasofar ing atau
urofaring) sehingga mudah dikeluarkan melalui kateter suction dapat dilakukan spooling untuk
mengencerkan sputum bila dilakukan berulang dapat dibantu dengan nasofaringeal tube untuk
mengurangi trauma, jangan lupa memberikan reoksigenasi pada monitor vital sign sesudah melakukan
suction.
Ingat : Bila terjadi spasme , laring pada waktu suction naso tracheal : Segera cabut kateter suction dan
a. Hipoxcmia ,oleh kerena suction melalui artiticial airaway dapat menghisap oksigelen yang di alveoli
dan menurunkan oksigen pada darah arteri yang dapat menimbulkan tacicardi, aritmia/PVC,
b. Trauma Jaringan
Sunctioning dapat menyebabkan trauma jaringan, iritasi dan pendarahan untuk pencegahan :
c. Atelektasis
Atelektasis dapat terjadi bila pemakaian kateter sunction yang terlalu besar dan vacuum suction
yang terlalu kuat sehingga terjadi collaps paru atau atelektasis dan bisa terjadi persistent hipoxemia.
Untuk pencegahan :
E. Tanda Vital
1. Defenisi
Tanda vital merupakan gabungan dua kata, yaitu tanda dan vital, yang merupakan terjemahan
istilah bahasa inggris yaitu vital sign. Vital sign adalah suatu tanda yang sifatnya objektif yang dapat
berubah setiap saat yang mencerminkan hidup yang terdiri dari tekanan darah, respirasi, nadi, suhu
tubuh Tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien untuk memantau kondisi klien dan
mengidentifikasi ma salah dan mengevaluasi respon klien terhadap intervensi tekn ik dasar (Patricia ,
2005).
Nadi, Suhu/Temperature dan Respiration Rate (RR) adalah pengkajian dasar pasien, yang
diambil dan didokumentasikan dari waktu ke waktu yang menunjukkan perjalanan kondisi pasien. Nadi,
Suhu dan RR disebut dengan tanda vital (vital sign) atau cardinal symptoms karena pemeriksaan ini
merupakan indikator yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Tanda-tanda vital harus
diukur dan dan dicatat secara akurat sebagai dokumentasi keperawatan. Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital pada pasien dapat membantu perawat dalam membuat diagnosa dan perubahan respon pasien. Jenis
2. Nadi
Frekuensi denyut nadi dihitung dalam 1 menit, normalnya 60-100 x/menit Takikardi jika > 100 x/menit
dan Bradikardi jika < 60 x/menit. Lokasi pemeriksaan denyut nadi diantaranya :
a. Arteri radialis
b. Arteri ulnaris
c. Arteri brachialis
d. Arteri karotis
g. Arteri femoralis
Level Nadi
0 Tidak ada
3. Suhu
Lokasi pemeriksaan suhu tubuh : mulut (oral) tidak boleh dilakukan pada anak/bayi,
anus (rectal) tidak boleh dilakukan pada klien dengan diare, ketiak (aksila), telinga
Hipotermia (<35° C)
Normal (35-37° C)
Pireksia/febris (37-41,1° C)
Hipertermia (>41,1° C)
Diffusi : peresapan masuknya oksigen dari alveoli ke darah dan pengeluaran CO2 dari
darah ke alveoli
Yang dinilai pada pemeriksaan pernafasan adalah : tipe pernafasan, frekuensi, kedalaman dan
suara nafas. Respirasi normal disebut eupnea (laki-laki : 12 – 20 x/menit), perempuan : 16-20 x/menit)
5. Nadi, RR, dan tekanan darah (TD) berdasarkan usia (Keperawatan Klinis, 2011)
1 tahun 36,8⁰
10 tahun 37,0⁰
Remaja 37,0⁰
Dewasa 37,0⁰
Lansia (>70 thn) 36,0⁰
7. Saturasi Oksigen
Normal 95-100%
1. Pengertian
Ventilasi mekanik merupakan terapi defenitif pada klien kritis yang mengalami hipoksemia dan
hiperkapnia. Memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan ventilasi mekanik dilakukan antara
lain pada unit perawatan kritis, medikal bedah umum, bahkan di rumah. Perawat, dokter dan ahli terapi
pernafasan harus mengerti kabutuhan pernafasan spesifik klien. Rumusan penting untuk hasil klien yang
positif termasuk memahami prinsip-prinsip ventilasi mekanik dan perawatan yang dibutuhkan klien,
komunikasi terbuka antara tim kesehatan, rencana penyapihann dan toleransi klien terhadap perubahan
pengaturan ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif
yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.
2.. Klasifikasi
Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi, dua
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada eksternal. Dengan
mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru
sehingga memenuhi volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik yang
berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti poliomyelitis, distrofi muscular, sklerosisi lateral
amiotrifik dan miastenia gravis. Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang
pada jalan nafas dengan demikian mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada
ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan
pada klien dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu tekanan
bersiklus, waktu bersiklus dan volume bersiklus. Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan
positif yang mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator
hidup mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai, dan
kemudian siklus mati. Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu pendek di
ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator mengakhiri atau mengendalikan inspirasi
setelah waktu ditentukan. Volume udara yang diterima klien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan
frekuensi aliran udara. Ventilator ini digunakan pada neonatus dan bayi. Ventilator volume bersiklus
yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume
preset telah dikirimkan pada klien , siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi secara pasif. Ventilator
volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan.
Gambaran ventilasi mekanik yang ideal adalah sederhana, mudah dan murah, dapat memberikan
volume tidak kurang 1500cc dengan frekuensi nafas hingga 60X/menit dan dapat diatur ratio I/E, dapat
digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat penunjang pernafasan yang lain, dapat dirangkai
dengan PEEP, dapat memonitor tekanan , volume inhalasi, volume ekshalasi, volume tidal, frekuensi
nafas, dan konsentrasi oksigen inhalasi, mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat
didalamnya, mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, Pressure Support, mudah membersihkan dan
mensterilkannya.
a. Controlled Ventilation
Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernafasan. Indikasi untuk pemakaian ventilator
meliputi pasien dengan apnoe. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif
yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.Ventilator tipe ini
b. Assist/Control
Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Bila klien gagal
untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator ini diatur berdasarkan atas frekuensi
pernafasan yang spontan dari klien, biasanya digunakan pada tahap pertama pemakaian ventilator.
Model ini digunakan pada pernafasan asinkron dalam penggunaan model kontrol, klien dengan
hiperventilasi. Klien yang bernafas spontan dilengkapi dengan mesin dan sewaktu-waktu diambil alih
oleh ventilator.
d. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)
SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak begitu lelah dan
efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan biasanya tergantung pada aktivasi klien.
Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal volume dan/atau frekuensi nafas kurang adekuat.
Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan tujuan untuk
mencegah Atelektasis. Dengan terbukanya jalan nafas oleh karena tekanan yang tinggi, atelektasis akan
dapat dihindari. Indikasi pada klien yang menederita ARDS dan gagal jantung kongestif yang massif
dan pneumonia difus. Efek samping dapat menyebabkan venous return menurun, barotrauma dan
Ventilator ini berkemampuan untuk meningkatakan FRC. Biasanya digunakan untuk penyapihan
ventilator.
a. Gagal nafas
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun hipoksemia yang tidak
teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilator mekanik. Idealnya pasien telah
mendapat intubasi dan pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang sebenarnya.
Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa
kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan
b. Insufisiensi jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan pernafasan primer. Pada
pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan
(sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps.
Pemberian ventilator untuk mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung
juga berkurang.
c. Disfungsi neurologist
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnu berulang juga mendapatkan
ventilator mekanik. Selain itu ventilator mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien.
Ventilator mekanik juga memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan
Pasien mendapat bantuan pernafasan sepenuhnya, pada mode ini pasien dibuat tidak sadar
(tersedasi) sehingga pernafasan di kontrol sepenuhnya oleh ventilator. Tidal volume yang didapat pasien
juga sesuai yang di set pada ventilator. Pada mode control kelasik, pasien sepenuhnya tidak mampu
bernafas dengan tekanan atau tidal volume lebih dari yang telah di set pada ventilator. Namun pada
mode control terbaru, ventilator juga bekerja dalam mode assist-control yang memungkinkan pasien
bernafas dengan tekanan atau volum tidal lebih dari yang telah di set pada ventilator.
Pada mode ini pasien menerima volume dan frekuensi pernafasan sesuai dengan yang di set
pada ventilator. Diantara pernafasan pemberian ventilator tersebut pasien bebas bernafas. Misalkan
respiratory rate (RR) di set 10, maka setiap 6 detik ventilator akan memberikan bantuan nafas, diantara 6
detik tersebut pasien bebas bernafas tetapi tanpa bantuan ventilator. Kadang ventilator memberikan
bantuan saat pasien sedang bernafas mandiri, sehingga terjadi benturan antara kerja ventilator dan
c. Mode Synchronous Intermitten Mandatory Ventilation (IMV) yang sama dengan mode IMV hanya
saja ventilator tidak memberikan bantuan ketika pasien sedang bernafas mandiri. Sehingga benturan
terhindarkan.
Ventilator tidak memberikan bantuan inisiasi nafas lagi. Inisiasi nafas sepenuhya oleh pasien,
ventilator hanya membantu pasien mencapai tekanan atau volume yang di set di mesin dengan
a. FiO2 dan PaO2, FiO2 adalah fraksi atau konsentrasi oksigen dalam udara yang diberikan kepada
pasien. Sedangkan PaO2 adalah tekanan parsial oksigen yaitu perbedaan konsentrasi antara oksigen di
b. I:E merupakan ratio Perbandingan antara waktu inspirasi dan ekspirasi. Nilai normal 1:2.
c. Volume Tidal merupakan jumlah udara yang keluar masuk paru dalam satu kali nafas, atau sama
dengan jumlah udara yang diberikan ventilator dalam satu kali nafas. Nilai normal 10 –15 ml per kgBB
d. Minute Volume merupakan jumlah udara yang keluar masuk dalam satu menit, atau jumlah udara
yang diberikan ventilator dalam satu menit. Nilainya = volume tidal x RR.
e. PEEP dan CPAP, Positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir ekspirasi
digunakan untuk mepertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi untuk mencegah terjadiya
kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli. Nilai antara 5-15 mmHg, maksimal 12
mmHg untuk anak. Continuous positive airway pressure (CPAP) identik dengan PEEP, yaitu
f. Pressure atau Volume Limit. Batas atas tekanan atau volume yang diberikan pada pasien. Volume
limit yang terlalu tinggi dapat berakibat trauma paru. Pada klien dewasa, frekuensi ventilator diatur
antara 12-15 x / menit. Tidal volume istirahat 7 ml / kg BB, dengan ventilasi mekanik tidal volume yang
digunakan adalah 10-15 ml / kg BB. Untuk mengkompensasi dead space dan untuk meminimalkan
atelektase. Jumlah oksigen ditentukan berdasarkan perubahan persentasi oksigen dalam gas. Karena
resiko keracunan oksigen dan fibrosis pulmonal maka FiO2 diatur dengan level rendah. PO2 dan
saturasi oksigen arteri digunakan untuk menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan untuk
Proses keperawatan adalah metode pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan
masalah dari respon pasien terhadap penyakitnya (Wartonah,2006). Dalam proses keperawatan ada lima
tahap, dimana tahap-tahap tersebut tidak dapat dipisahkan,dan saling berhubungan.Tahap-tahap dalam
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Tujuan pengkajian adalah
memberikan suatu gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan klien. Tahap pengkajian dari
proses keperawatan merupakan proses dinamis yang terorganisasi yang meliputi tiga aktivitas dasar
yaitu: Pertama, mengumpulkan data secara sistematis; kedua memilah dan mengatur data yang
dikumpulkan; dan ketiga, mendokumentasikan data dalam format yang dapat dibuka kembali (Asmadi,
2008).
Dalam melakukan pengkajian diperlukan keahlian-keahlian (skill) seperti wawancara, pemeriksaan
fisik, dan observasi. Hasil pengumpulan data kemudian diklasifikasikan dalam data subjektif dan
objektif. Data subjektif merupakan ungkapan atau persepsi yang dikemukakan oleh pasien. Data
objektif merupakan data yang didapat dari hasil observasi, pengukuran, dan pemeriksaan fisik.
Ada beberapa cara pengelompokan data, yaitu berdasarkan sistem tubuh, berdasarkan kebutuhan
dasar (Maslow), berdasarkan teori keperawatan, berdasarkan pola kesehatan fungsional. Pengumpulan
data bisa digunakan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik,
dokumentasi dari catatan medis, status klien, dan hasil pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan
radiologi.
Pemeriksaan fisik adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi. Inspeksi didefinisikan sebagai kegiatan melihat atau memperhatikan secara seksama status
kesehatan klien seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu napas,
inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya. Palpasi adalah jenis pemeriksaan dengan cara meraba
atau merasakan kulit klien. Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop
yang memungkinkan pemeriksa mendengar bunyi yang keluar dari rongga tubuh klien. Perkusi adalah
pemeriksaan fisik dengan cara mengetuk secara pelan jari tengah menggunakan jari yang lain untuk
menentukan posisi, ukuran, dan konsistensi struktur suatu organ tubuh (Asmadi, 2008).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial klien
terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya.
Respon aktualdan potensial klien didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang
berkaitan, catatan medis klien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional lain, yang kesemuanya
a. Diagnosa Keperawatan
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d obstruksi jalan nafas oleh penumpukan lendir, reflek batuk.
3) Risiko ketidakseimbangan temperatur tubuh b/d BBLR, usia kehamilan kurang, paparan lingkungan
dingin/panas.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan ingest/digest/absorb.
8) PK : Hipoglikemia
Definisi : Pertukaran udara patency lift atau jaw thrust bila perlu
inspirasi dan/atau ekspirasi Vital sign Status Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Batasan karakteristik : kan batuk efektif dan suara nafas alat jalan nafas buatan
- Penurunan tekanan yang bersih, tidak ada sianosis Pasang mayo bila perlu
inspirasi/ekspirasi dan dyspneu (mampu Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Penurunan pertukaran udara mengeluarkan sputum, mampu Keluarkan sekret dengan batuk atau
per menit bernafas dengan mudah, tidak suction
- Menggunakan otot ada pursed lips) Auskultasi suara nafas, catat adanya
pernafasan tambahan Menunjukkan jalan nafas yang suara tambahan
- Nasal flaring paten (klien tidak merasa Lakukan suction pada mayo
- Dyspnea tercekik, irama nafas, frekuensi Berikan bronkodilator bila perlu
- Orthopnea pernafasan dalam rentang Berikan pelembab udara Kassa basah
- Perubahan penyimpangan normal, tidak ada suara nafas NaCl Lembab
dada abnormal) Atur intake untuk cairan
- Nafas pendek Tanda Tanda vital dalam rentang mengoptimalkan keseimbangan.
- Assumption of 3-point normal (tekanan darah, nadi, Monitor respirasi dan status O2
position pernafasan)
- Pernafasan pursed-lip
Oxygen Therapy
- Tahap ekspirasi
Bersihkan mulut, hidung dan secret
berlangsung sangat lama trakea
bandingkan
Faktor yang berhubungan :
Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama
- Hiperventilasi
dan setelah aktivitas
- Deformitas tulang
Monitor kualitas dari nadi
- Kelainan bentuk dinding
Monitor frekuensi dan irama pernapasa
dada
Monitor suara paru
- Penurunan energi/kelelahan
Monitor pola pernapasan abnormal
- Perusakan/pelemahan
Monitor suhu, warna, dan kelembaban
muskulo-skeletal
kulit
- Obesitas
Monitor sianosis perifer
- Posisi tubuh
Monitor adanya cushing triad (tekanan
- Kelelahan otot pernafasan
nadi yang melebar, bradikardi,
- Hipoventilasi sindrom
peningkatan sistolik)
- Nyeri
Identifikasi penyebab dari perubahan
- Kecemasan
vital sign
- Disfungsi Neuromuskuler
- Kerusakan persepsi/kognitif
- Imaturitas Neurologis
nafas oleh penumpukan lendir, Respiratory status : Airway Auskultasi suara nafas sebelum dan
untuk membersihkan sekresi Kriteria Hasil : Minta klien nafas dalam sebelum
pernafasan untuk dan suara nafas yang bersih, tidak Berikan O2 dengan menggunakan nasa
mempertahankan kebersihan ada sianosis dan dyspneu (mampu untuk memfasilitasi suksion nasotrakea
jalan nafas. mengeluarkan sputum, mampu Gunakan alat yang steril sitiap
- Produksi sputum
Airway Management
- Gelisah Buka jalan nafas, guanakan teknik chin
ventilasi
hangat/lingkungan yang
panas
b/d ketidakmampuan Nutritional Status : food and Fluid Kaji adanya alergi makanan
makanan yang kurang dari Tidak ada tanda tanda malnutrisi mencegah konstipasi
RDA (Recomended Daily Menunjukkan peningkatan fungsi Berikan makanan yang terpilih ( sudah
- Membran mukosa dan Tidak terjadi penurunan berat Ajarkan pasien bagaimana membuat
ekonomi.
Ibu menunjukkan harga diri yang Dorong ibu untuk tidak membatasi bayi
positif dengan menyusui menyusu
untukmencegah lecet
merasa haus
menyusui
menyokong payudara
hipotermi
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
yang diperlukan
bandingkan
kulit
Monitor sianosis perifer
peningkatan sistolik)
vital sign
masuknya organisme patogen Klien bebas dari tanda dan gejala Batasi pengunjung bila perlu
Faktor-faktor resiko : Menunjukkan kemampuan untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
- Ketidakcukupan pengetahuan Jumlah leukosit dalam batas Gunakan sabun antimikrobia untuk cuc
untuk menghindari paparan normal tangan
patogen Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
Menunjukkan perilaku hidup sehat
- Trauma tindakan keperawatan
- Kerusakan jaringan dan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai
peningkatan paparan
alat pelindung
lingkungan
Pertahankan lingkungan aseptik selama
- Ruptur membran amnion
pemasangan alat
- Agen farmasi
Ganti letak IV perifer dan line central
(imunosupresan)
dan dressing sesuai dengan petunjuk
- Malnutrisi
umum
- Peningkatan paparan
Gunakan kateter intermiten untuk
lingkungan patogen
menurunkan infeksi kandung kencing
- Imonusupresi
Tingkatkan intake nutrisi
- Ketidakadekuatan imum
buatan Berikan terapi antibiotik bila perlu
epidema
Dorong istirahat
gejala infeksi
8 PK : Hipoglikemia Tujuan : perawat dapat menangani Pantau kadar gula darah sebelum
dan meminimalkan episode pemberian obat hipoglikemik dan atau
tidur
mudah mengantuk)
protocol
BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ................................... 81.
D. Implementasi .................................................................................. 96
KALIMANTAN TIMUR
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kasus kelolaan pada By. TAA dengan diagnosa medis Asfiksia Neonaturum, didapatkan hasil
sebagai berikut :
a. Pengkajian pada By. TAA didapatkan data keluhan utama sesak, terpasang ETT ukuran no 3
dengan Ventilator dengan mode P-CMV dengan P Control 15 cmH2O, RR 40, PEEP 5 FI02
50%, terpasang CVP dan Monitor ECG setiap jam. Tanda vital HR 148 x/menit, Saturasi
b. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. S adalah Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d
Obstruksi jalan nafas, Hipertemia b.d penyakitnya / trauma, Resiko Infeksi b.d prosedur infasif,
Risiko gangguan integritas kulit b/d kerusakan mobilitas fisik, Risiko gangguan integritas kulit
c. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah bersihan jalan nafas yaitu NOC Airway
Patency. Intervensi yang dilakukan adalah Shallow suction dan chest terapi.
d. Implementasi pada Tn. S dengan diagnosa bersihan jalan nafas berhubungan dengan obtruksi
jalan nafas dilakukan selama tiga hari, tindakan yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang
di susun. Semua intervensi keperawatan diimplementasikan oleh penulis karena sesuai dengan
kondisi pasien.
e. Evaluasi pada masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis dapat
disimpulkan pada hari pertama kedua dan hari ketiga perawatan masalah bersihan jalan nafas
teratasi,
3. Setelah dilakukan teknik shallow suction dan chest terapi menunjukkan bahwa ada terjadi
perubahan tanda vital dari PO2 95 menjadi 100%, Nadi dari 160 menjadi 140 x/menit,
pernafasan juga mengalami perubahan dar 68 x menjadi 40 x / menit. Hal tersebut menjadi
indikator perawat dapat mengevaluasi perubahan dimonitor dan tanda vital terhadap tindakan
1. Bagi Perawat
Perawat sebagai edukator dapat memberikan informasi dan pendidikan kesehatan pada orang tua
pasien dengan Asfiksia Neinaturum berupa teknik Chest terapi dan suction terhadap patensi jalan
nafas.
Diharapkan keluarga pasien dapat memahami dan mendukung pasien selama perawatan itensif
diruang NICU. Diharapkan pasien dapat memahami dan menggunakan teknik chest terapi dan
3. Bagi Penulis
Diharapkan dapat memberikan intervensi inovasi lainnya dalam penanganan bersihan jalan nafas
pada bayi.
Diharapkan rumah sakit dapat meningkatkan mutu pelayanan. Penetapan SOP teknik tindakan
shallow suction dan chest terapi sebagai asuhan keperawatan dengan Airway manajemen pada
kasus bayi
Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar dan menjadi referensi tambahan sehingga
dapat menerapkan teknik shallow suction dan chest terapi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan referensi untuk
penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gilstrap, L.C., Hauth, J.C.,Wenstrom, K.D.
(2005). Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC
Dewi, N dkk. (2005). Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Cukup Bulan. Jurnal Berkala
Ilmu Kedokteran vol 37, 143-145
Dewi, Vivian N L. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta : Salemba Medika.
Flenady VJ, (2002). Chest Physiothherapy for preventing morbidity in babies extubated from
mechanical ventilation. Cochrane Database
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2011). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisa Data.
Jakarta : Salemba Medika.
JNPK-KR/POGI. (2008). Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusui Dini.Jakarta : JNPK-
KR/POGI.
Manuaba, dkk.( 2010 ). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta : EGC.
Maryunani, A (2009). Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus, Jakarta: Trans Info
Media
Mochtar, R. (2004). Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC
Nofianto, M. Perbedaan Nilai Saturasi Oksigen Berdasarkan Ukuran Kateter Suction Pada Tindakan
Open Suction Di Ruang General Intensive Care Unit RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
(Online), (http://www.unpad.ac.id/archieves/128770. diakses tanggal 2 Agustus 2015, jam
22.15 WITA)
Potter, P.A. dan Perry, A.G. (2009). Fundamental Of Nursing. Buku 3 Edisi 7. Jakarta : Salemba
Medika.
Pritchatd M, (2001). Preoxygenation for tracheal suction in intubated, ventilated newborn infants.
Cochrane data base
Pryor, (1988) Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problem, second edition, London Churchill
Livingstone
Saifuddin A.B (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka
Sulistyawati, A,(2010) Asuhan Kebidanan pada Ibu bersalin. Jakarta : Salemba medika
Syaifuddin. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika
Tamsuri, A. (2008). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Pernafasan . Jakarta EGC
Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiyoto, (2010). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Prosedur Suction dengan Perilaku
Perawat dalam Melakukan Tindakan Suction di ICU Rumah Sakit dr Kariyadi Semarang,
(http:/digilib.unimus.ac.id/gdl.php.mod=browse&op=read-jptunimus-gdl-wiyoto2a2=5560,
diakses tanggal 02 Agustus 2015, jam 19.15