Kian PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 53

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

PENERAPAN SHALLOW SUCTION DAN CHEST TERAPI DENGAN PERUBAHAN TANDA


VITAL BAYI ASFIKSIA NEONATORUM DENGAN BAYI TAA DI RUANG NEONATUROM
INTENSIVE CARE UNIT (NICU) RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
TAHUN 2015

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DiSUSUN OLEH :
SUDIRO HUSODO, S.Kep.
NIM. 14.11.3082.5.0119

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
SAMARINDA
2015
Analysis of Clinical Nursing Practice and Application of Shallow Suction Chest Teraphy with
asphyxia Baby Changes in Vital Signs Neonaturum with TAA Baby In Neonatutum Hospital
Intensive Care Unit (NICU) Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 2015

Sudiro Husodo1, Tri Wahyuni2

ABSTRACT

Neonatal asphyxia is a condition in newborns who have failed to breathe spontaneously and regularly
soon after birth so that the baby can not enter oxygen and can not remove carbon dioxide from the body
.. This raises the clearance of airway disorders that impaired oxygen demand to respiratory and increase
CO2 lead to bad consequences in the lives of more .Asfiksia Neonaturum is a condition that often occurs
in newborn wind marked with an Apgar score is the score 0-3. Asphyxia neonaturum has one of the
causes why babies should use a ventilator, because the baby's ability to breathe is not adequate so that
helped a mechanical ventilator machine for oxygenation needs. The effects of the use of ETT and
appliance installation Ventilator is. If the patient is fitted EET (Endo Trkreal Tube) Asphyxia causes
increased secretion of mucous in respiratory if not performed chest and shallow suction therapy there
will be disruption to the airway occurs flugging. While the use of a ventilator to continuously causes
aveoli baro trauma. The necessary for handling the management of asphyxia with appropriate SOP.
Scientific Work Final Ners (KIAN) aims to analyze the intervention for shallow suction and chest
therapy with changes in vital signs client. The analysis showed there was a decline in vital signs of pulse
168 to 140 x / min, breathing from 46 x to 40 x / min for SPO2 values are 96-100% .. The nurse as an
educator can provide information and health education in the elderly patients with Asphyxia handling
Neonaturum form of Shallow Suction and therapy Chest

Keywords: Asphyxia Neonaturum, Airway Clearance, Shallow Suction and Chest therapy, Changes in
Vital Signs

1
Student of Ners Professional, The 2th, STIKES Muhammadiyah Samarinda
2
Lecture at STIKES Muhammadiyah Samarinda
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Penerapan Shallow Suction dan Chest Teraphi dengan
Perubahan Tanda Vital Bayi Asfiksia Neonaturum dengan Bayi TAA Di Ruang Neonatutum
Intensive Care Unit RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015

Sudiro Husodo1, Tri Wahyuni2

INTISARI

Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir yang mengalami gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan oksigen dan
tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya.. Hal tersebut menimbulkan gangguan bersihan
jalan nafas sehingga kebutuhan oksigen keparu terganggu dan meningkatkan CO2 yang menimbulkan
akibat buruk dalam kehidupan lebih lanju. .Asfiksia Neonaturum merupakan suatu kondisi yang sering
terjadi pada bayu baru lahir yang ditandai dengan nilai APGAR score yaitu dengan nilai 0-3. Asfiksia
neonaturum mempunyai salah satu penyebab mengapa bayi harus menggunakan Ventilator, karena
kemampuan bernafas bayi tidak adekuat sehingga dibantu mesin mekanik ventilator untuk kebutuhan
oksigenasi. Efek dari pemakaian pemasangan ETT dan alat Ventilator adalah jika pasien Asfiksia
dipasang EET akan menyebabkan peningkatan sekresi mukosa dipernafasan jika tidak dilakukan chest
terapi dan shallow suction maka akan terjadi gangguan jalan nafas sampai bias terjadi flugging.
Sedangkan untuk pemakaian ventilator secara terus menerus bias menyebabkan baro trauma pada aveoli.
Untuk ituk perlu manajemen penanganan Asfiksia dengan sesuai SOP yang ada. Karya Ilmiah Akhir Ners
(KIAN) ini bertujuan untuk menganalisis intervensi penerapan shallow suction dan chest terapi dengan
perubahan tanda vital klien . Hasil analisis menunjukkan ada terjadi penurunan tanda vital dari nadi 168
menjadi 140 x / menit, Pernafasan dari 46 x menjadi 40 x/ menit untuk SPO2 nilai berada 96-100%..
Perawat sebagai edukator dapat memberikan informasi dan pendidikan kesehatan pada orang tua pasien
dengan penanganan Asfiksia Neonaturum berupa Shallow Suction dan Chest terapi

Kata kunci : Asfiksia Neonaturum, Bersihan Jalan Nafas, Shallow Suction dan Chest terapi, Perubahan
Tanda Vital

1
Mahasiswa Stikes Muhammadiyah Samarinda Program Studi Profesi Ners Angkatan II
2
Dosen Stikes Muhammadiyah Samarinda
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari kesehatan merupakan hal yang sangat penting khususnya bagi ibu

yang sedang hamil. Karena dalam kondisi yang seperti ini kesehatan seorang ibu akan sangat

berpengaruh terhadap perkembangan janinnya. Satu hal yang paling sering ditemui di dalam dunia

kesehatan dimana seorang bayi yang baru lahir akan tetapi bayi itu akan mengalami kesulitan dalam

bernafas (Hidayat, A. A,2005).

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur

dalam satu menit setelah lahir. (Hidayat, A.A,2005). Asfiksia berarti hipoksia yang progresif,

penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan

otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Asfiksia lahir ditandai

dengan hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkarbia (peningkatan PaCO2), dan asidosis (penurunan PH).

(Saiffudin,2001).

Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal merupakan salah satu unsur penentu status

kesehatan. Pelayanan kesehatan neonatal dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan

yang diberikan kepada bu hamil. Pertumbuhan dan perkembangan bayi periode neonatal merupakan

periode yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bayi (Safrina, 2011).

Kematian perinatal merupakan tolak ukur kemampuan suatu negara dalam upaya

menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh. Akibat makin tingginya

kematian perinatal menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang buruk. BBLR merupakan salah satu

dari tiga penyebab utama kematian perinatal. Salah satu penyebab tingginya angka kematian perinatal

atau sekitar 70% disebabkan oleh persalinan prematur (WHO, 2013). Makin rendah masa gestasi dan

berat lahir bayi makin tinggi angka kematian bayi sebagai akibat berbagai morbiditas neonates

(Manuaba, 2010).

Persalinan prematur merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan kematian

perinatal sebesar 65%-75% umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah, disamping itu Persalinan

prematur menjadi perhatian utama dalam bidang obstetrik karena erat kaitannya dengan morbiditas dan

mortalitas perinatal dan persalinan prematur merupakan penyebab utama yaitu 60-80% morbiditas dan
mortalitas neonatal di seluruh dunia (Festy, 2011). Berdasarkan data WHO (World Healtd Organization)

(2013), pada tahun 2012 kelahiran prematur mencapai 30-70% dari seluruh bayi dan 75-80% yang

meninggal pada usia kurang dari 28 hari. Data dari WHO ini, menunjukkan angka yang sangat

memperihatinkan terhadap kematianbayi di dunia. Di Asia angka kematian neonatal yang disebabkan

karena prematur sebesar 30% (413.000) dari kelahiran hidup di tahun 2010. Indonesia pada tahun 2010,

memiliki angka kejadian prematur sekitar 19% dari 9-30% BBLR dan merupakan penyebab utama

kematian perinatal. Sebesar 25% bayi yang lahir dengan BBLR meninggal dan 50% meninggal sejak

bayi. Sekitar 50-60% prematur terjadi spontantanpa diketahui dengan jelas etiologinya. Kejadian Bayi

Berat Lahir Rendah (BBLR) dan prematur di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di Negara maju

lainnya.

Di negara berkembang, Insiden asfiksia neonatorum di negara berkembang lebih tinggi daripada

di negara maju. lebih kurang 4 juta bayi baru lahir menderita asfiksia sedang atau berat, dari jumlah

tersebut 20% diantaranya meninggal. Sectio caesarea merupakan pilihan terakhir untuk menyelamatkan

ibu dan janin pada saat kehamilan dan atau persalinan kritis. Angka kematian ibu karena sectio caesarea

yang terjadi sebesar 15,6% dari 1.000 ibu dan kejadian asfiksia sedang dan berat pada sectio caesarea

sebesar 8,7% dari 1.000 kelahiran hidup sedangkan kematian neonatal dini sebesar 26,8% per 1.000

kelahiran hidup (Sibuea, 2007).

Menurut World Health Organization (WHO) setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120

juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini meninggal. Di Indonesia, dari

seluruh kematian bayi, sebanyak 57% meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia

adalah bayi berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain

dan kelainan kongenital. (Wiknjosastro, 2008). Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia (SDKI) tahun 2012 angka kematian bayi sebesar 32 kematian/1000 kelahiran hidup.

Angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal, setiap lima menit terdapat

satu neonatus yang meninggal. Adapun penyebab langsung kematian bayi baru lahir 29%

disebabkan berat bayi lahir rendah (BBLR), asfiksia 13 %, tetanus 10 %, masalah pemberian makan

10 %, infeksi 6,7 %, gangguan hematologik 5 %, dan lain-lain 27 %. (Yurnaldi, 2011)

Asfiksia pada pada bayi baru lahir menjadi penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian bayi

baru lahir setiap tahun. Di Indonesia, angka kejadian asfiksia di rumah sakit pusat rujukan propinsi

di Indonesia sebesar 41,94%. Di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi yaitu

34/1.000 Kelahiran Hidup (SDKI 2007 - 2008). Sedangkan target MDGS 2015 adalah
menurunkan Angka Kematian Bayi menjadi 23/1.000 kelahiran hidup. (Kemenkes RI, 2011).

Menurut (Syafrudin, 2011), dari seluruh kematian bayi, sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal

( usia di bawah 1 bulan), setiap 5 menit terdapat 1 neonatal yang meninggal dan penyebab

kematian neonatal di Indonesia adalah BBLR sebanyak 29%, Asfiksia Neonatorum sebanyak 27%,

trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital ( Depkes, 2008). .Sebanyak

lima provinsi yang mencapai Angka Kematian Neonatal kurang sama dengan 15 /1.000 kelahiran hidup

yaitu Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Riau. Provinsi dengan AKN

terendah yaitu Kalimantan Timur sebesar 12/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKN tertinggi terdapat

di Provinsi Maluku Utara sebesar 37/1.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Papua Barat sebesar 35 per

1.000 kelahiran hidup dan Nusa Tenggara Barat sebesar 33 per 1.000 kelahiran hidup (Rikesda, 2013).

Data mengungkapkan bahwa kira-kira 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk

mulai bernafas, dari bantuan ringan sampai resusitasi lanjut yang ekstensif, 5% bayi pada saat lahir

membutuhkan tindakan resusitasi yang ringan seperti stimulasi untuk bernafas, antara 1% sampai 10%

bayi baru lahir dirumah sakit membutuhkan bantuan ventilasi dan sedikit saja yang membutuhkan

intubasi dan kompresi dada (Sholeh, 2008).

Sehubungan dengan masih tingginya kejadian asfiksia yang ditemukan serta besarnya

resiko seperti komplikasi yang ditimbulkan maka penulis termotivasi untuk membahas lebih lanjut

melalui Karya Ilmiah Akhir Ners ini dengan judul Analisis Pelaksanaan Asuhan Keperawatan dalam

Penerapan Shallow Suction dan Chest Terapi dengan Perubahan Tanda Vital Bayi TTA dengan Asfiksia

Neonatorum Di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

Dalam kasus asfiksia ini, peran perawat adalah bagaimana untuk memacu napas klien untuk

kembali normal. Memberikan Chest terapi dan Suction Dangkal serta oksigenasi yang baik,

memberikan semangat kepada keluarga klien untuk berfikir positif dan mengurangi rasa cemas. Pada

sekarang ini, perkembangan ilmu kesehatan terutama dalam pengobatan dan peralatan, sangatlah

menunjang dalam pemulihan penyakit. Terutama penyakit yang ada dalam pembahasan makalah ini.

Begitu juga dengan petugas kesehatan, baik dokter, perawat, ahli gizi dan lain-lain telah banyak

membantu dalam pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal, baik dalam segi perawatan maupun

dalam segi pengobatannya. Pada asfiksia neonatorum yang paling baik dan tepat, terutama dalam segi

keperawatannya sangatlah membantu dalam penyembuhan klien. (Wiknojosastro, 1999).


Di RSUD Abdul Wahab Sjahranie khususnya ruang NICU tercatat pada tahun 2014 terdapat 66

pasien, 6 orang keluar hidup dan 60 orang keluar mati. Dari data tersebut terlihat bahwa angka kematian

mendominasi dari jumlah pasien masuk NICU. Menurut Data Rekam Medik di RSUD Abdul Wahab

Syahranie Periode bulan Mei sampai Agustus tahun 2015 jumlah seluruh bayi baru lahir tahun 2015

yang dirawat di Ruang NICU yaitu.32 bayi, dimana pada bulan Mei sebanyak 2 bayi, bulan Juni

sebanyak 5 bayi, bulan Juli sebanyak 4 bayi hingga bulan Agustus sebganyak 2 bayi. Sedangkan ada 13

bayi yang asfiksia di RSUD Abdul Wahab Syahranie pada periode bulan Mei sampai Agustus tahun

2015. Dari total pasien bayi yang dirawat dengan kasus Asfiksia diruang NICU periode Mei sampai

Agustus sebesar 41% dari total pasien yang masuk di ruang NICU.

Oleh karena itu dalam Karya Ilmiah Akhir Ners ini dijelaskan mengenai penyakit asfiksia

neonatorum. Penyakit ini merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor

ibu, faktor placenta, faktor featus dan faktor neonatus, sehingga menyebabkan bayi sulit untuk bernafas

secara spontan. Setiap penyakit mempunyai gambaran klinik tersendiri terutama pada tanda dan gejala,

pengobatan serta perawatannya.

Untuk kasus Asfiksia Neonatorum perlu penangganan untuk obstruksi jalan napas akibat

akumulasi sekresi pada Endotrakeal Tube adalah dengan melakukan tindakan penghisapan lendir

(suction) dengan memasukkan selang kateter suction melalui hidung/mulut/Endotrakeal Tube (ETT)

yang bertujuan untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum dan mencegah infeksi

paru. Secara umum pasien yang terpasang ETT memiliki respon tubuh yang kurang baik untuk

mengeluarkan benda asing, sehingga sangat diperlukan tindakan penghisapan lendir (suction)

(Nurachmah & Sudarsono, 2000).

Menurut Wiyoto (2010), apabila tindakan suction tidak dilakukan pada

pasien dengan gangguan bersihan jalan nafas maka pasien tersebut akan mengalami kekurangan

suplai O2 (hipoksemia), dan apabila suplai O2 idak terpenuhi dalam waktu 4 menit maka dapat

menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Cara yang mudah untuk mengetahui hipoksemia

adalah dengan pemantauan kadar saturasi oksigen (SpO2) yang dapat mengukur seberapa banyak

prosentase O2 yang mampu dibawa oleh hemoglobin. Pemantauan kadar saturasi oksigen adalah

dengan menggunakan alat oksimetri nadi (pulse oxymetri). Dengan pemantauan kadar saturasi

oksigen yang benar dan tepat saat pelaksanaan tindakan penghisapan lendir, maka kasus

hipoksemia yang dapat menyebabkan gagal nafas hingga mengancam nyawa bahkan berujung

pada kematian bisa dicegah lebih dini.


B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah dalam Karya Ilmiah

Akhir Ners (KIAN) ini adalah : “Bagaimanakah gambaran analisis pelaksanaan asuhan keperawatan

dalam Penerapan Shallow Suction dan Chest Terapi dengan Perubahan Tanda Vital Bayi TTA dengan

Asfiksia Neonatorum Di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda?”

C. Tujuan Penulisan

Tujuan Umum

Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kasus

kelolaan dengan Penerapan Shallow Suction dan Chest Terapi dengan Perubahan Tanda Vital Bayi TTA

dengan Asfiksia Neonatorum Di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Abdul Wahab

Sjahranie Samarinda

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kasus kelolaan dengan diagnosa medis Asfiksia Neonatorum

2. Menganalisis intervensi penerapan shallow suction dan chest terapi yang diterapkan secara

kontinyu dengan perubahan tanda vital pada pasien kelolaan dengan diagnosa medis Asfiksia

Neonatorum

D. Manfaat Keilmuan

1. Bagi orangtua

Diharapkan para orangtua sebagai pengasuh dan pendidik dapat mengetahui tanda tanda asfiksia

serta pelaksanaan dalam pelaksanaan chest terapi selama dirumah untuk mengurangi sesak bayi

sebelum dibawa ke rumah sakit

2. Bagi Penulis

Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman baru dalam bidang penelitian terutama

mengetahui penerapan shallow suction dan chest terapi terhadap perubahan tanda vital pasien

Asfiksia Neonatorum.

3. Bagi Rumah Sakit

Memberikan rujukan bagi bidang diklat keperawatan dalam mengembangkan kebijakan terkait

dengan pengembangan kompetensi perawat kritis neonatal dalam memberikan asuhan

keperawatan.
4. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan rujukan bagi institusi pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan

melakukan intervensi inovasi berdasarkan riset-riset terkini.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan referensi untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang penerapan shallow

suction dan chest terapi pasien Asfiksia Neonatorum


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Pengertian Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir yang mengalami gagal

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan oksigen

dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya. ( Dewi,2011)

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur,

sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam

kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2010).

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.

Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia setelah persalinan.

Masalah ini mungkin saling berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat atau masalah pada bayi selama atau

sesudah persalinan.(JNPK KR, 2008).

2. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Penyebab terjadinya Asfiksia menurut (DepKes RI, 2009)

a). Faktor Ibu

1). Preeklamsia dan eklamsia.

2). Perdarahan abnormal (plasenta prervia atau plasenta).

3). Partus lama atau partus macet.

4). Demam selama persalinan.

5). Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV).

6). Kehamilan post matur.

7). Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.

b). Faktor Bayi

1). Bayi Prematur (Sebelum 37 minggu kehamilan).

2). Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ektraksi vakum, forsef).

3). Kelainan kongenital.

4). Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).


c). Faktor Tali Pusat

1). Lilitan tali pusat.

2). Tali pusat pendek.

3). Simpul tali pusat.

4). Prolapsus tali pusat.

3. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia)

Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang,

sehingga aliran oksigen kejanin berkurang, akibatnya terjadi gawat janin.

a. Gangguan Sirkulasi Menuju Janin

1). Gangguan aliran pada tali pusat (lilitan tali pusat, simpul tali pusat, tekanan pada tali pusat, ketuban

telah pecah, kehamilan lewat waktu)

2). Pengaruh obat, karena narkosa saat persalinan.

b. Faktor Ibu

1) Gangguan his (tetania uteri/hipertonik)

2) Penurunan tekanan darah dapat mendadak (perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta)

3) Vasokontriksi arterial (hipertensi pada hamil dan gestosis preeklampsia-eklampsia)

4) Gangguan pertukaran nutrisi/O2 (solusio plasenta) (Manuaba, 2010)

4. Diagnosis

Untuk dapat mendiagnosa gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan sebagai

berikut:

a. Denyut jantung janin

1). DJJ meningkat 160 kali permenit tingkat permulaan

2). Mungkin jumlah sama dengan normal, tetapi tidak teratur

. 3). Frekuensi denyut menurun <100 kali permenit, apalagi disertai irama yang tidak teratur.

4). Pengeluaran mekonium pada letak kepala menunjukkan gawat janin, karena terjadi rangsangan

nervus X, sehingga peristaltik usus meningkat dan sfingter ani terbuka.

b. Mekonium dalam air ketuban

Pengeluaran mekonium pada letak kepala menunjukkan gawat janin, karena terjadi rangsangan

nervus X, sehingga peristaltik usus meningkat dan sfingter ani terbuka (Manuaba, 2010)
c. Pernapasan

Awalnya hanya sedikit nafas. Sedikit napas ini dimaksudkan untuk mengembangkan paru, tetapi

bila paru mengembang saat kepala masih dijalan lahir, atau bila paru tidak mengembang karena suatu

hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti napas komplet. Kejadian ini disebut apnue primer (

Drew, 2009)

d. Usia Ibu

Umur ibu pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu sehingga kualitas sumber

daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan generasi penerus dapat terjamin.

Kehamilan di usia muda/remaja (dibawah usia 20 tahun) akan mengakibatkan rasa takut terhadap

kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk

mempunyai anak dan alat-alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua

(diatas 35 tahun) akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinannya serta alat-alat

reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil. Umur muda (< 20 tahun) beresiko karena ibu belum siap secara

medis (organ reproduksi) maupun secara mental. Hasil penelitian menunjukan

bahwa primiparitymerupakan faktor resiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas

asfiksia, sedangkan umur tua (> 35 tahun), secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani

kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture

uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir (Purnamaningrum,

2010).

e. Paritas

Paritas adalah jumlah persalinan yang telah dilakukan ibu. Paritas 2-3 merupakan paritas paling

aman di tinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 4 mempunyai angka

kematian maternal yang disebabkan perdarahan pasca persalinan lebih tinggi. Paritas yang rendah

(paritas satu), ketidak siapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor

penyebab ketidak mampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi dalam kehamilan,

persalinan dan nifas (Winkjosastro, 2007).

Paritas 1 beresiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi) maupun secara mental. Hasil

penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor resiko yang mempunyai hubungan yang

kuat terhadap mortalitas asfiksia, sedangkan paritas di atas 4, secara fisik ibu mengalami kemunduran

untuk menjalani kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi


perdarahan, plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan

terjadinya asfiksia bayi baru lahir (Purnamaningrum, 2010).

f. Lama persalinan

Menurut tinjauan teori beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui

plasenta berkurang, sehingga aliran oksigen kejanin berkurang yang dapat menyebabkan terjadi asfiksia

pada bayi baru lahir yaitu partus lama atau partus macet dan persalinan sulit, seperti letak sungsang, bayi

kembar, distosia bahu, ekstraksi vacuum dan vorcep (JNPK-KR, 2008)

Pada multigravida tahapannya sama namun waktunya lebih cepat untuk setiap fasenya. Kala 1

selesai apabila pembukaan servik telah lengkap, pada multigravida berlangsung kira-kira 13 jam

sedangkan pada multigravida kira-kira 7 jam. (Sulistyawati,2010)

5. Tanda dan gejala

a. Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3)

Pada kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis,sehingga memerlukan perbaikan dan

resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan gejala yang yang muncul pada asfiksiam berat adalah sebagai

berikut:

1). Frekuensi jantung kecil, yaitu <40 per menit.

2). Tidak ada usaha napas

3). Tonus otot lemah bahkan hampir tidak ada

4). Bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu

b. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6)

Pada asfiksia sedang, tanda gejala yang muncul adalah sebagai berikut:

1) Frekuensi jantung menurun menjadi 60-80 kali permenit

2) Usaha nafas lambat

3) Tonus otot biasanya dalam keadaan baik

4) Bayi masih bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan

5) Bayi tampak siannosis

c. Asfiksia ringan (nilai APGAR 7-10)

Pada asfiksia ringan, tanda dan gejala yang sering muncul adalah sebagai berikut:

1) Bayi tampak sianosis

2) Adanya retraksi sela iga

3) Bayi merintih
4) Adanya pernafasan cuping hidung

5) Bayi kurang aktifitas (Dewi, 2010)

6. Penilaian Asfikaia Pada Bayi Baru Lahir

a. Penilaian Awal

Penilaian awal dilakukan pada setiap BBL untuk menentukan apakah tindakan resusitasi harus

segera dimulai. Segera setelah lahir, dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara petugas bertanya

pada dirinya sendiri dan harus menjawab segera dalam waktu singkat.

1) Apakah bayi lahir cukup bulan ?

2) Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ?

3) Apakah bayi bernafas adekuat atau menangis ?

4) Apakah tonus otot baik ?

Bila semua jawaban “Ya”, berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini

segera dilakukan asuhan pada bayi normal. Bila salah satu atau lebih jawaban “Tidak”, bayi memerlukan

tindakan resusitasi. Segera dimulai dengan langkah awal resusitasi.

Tabel 1. Keputusan Resusitasi Bayi Baru Lahir

PENILAIAN Sebelum bayi lahir :

Apakah kehamilan cukup bulan ?

Sebelum bayi lahir :

Apakah airketuban jernih, tidak bercampur mekonium (warna

kehijauan) ?

Segera setelah bayi lahir (jika bayi cukup bulan) :

Menilai apakah bayi menangis atau bernapas/megap-megap ?

Menilai apakah tonus aot baik ?

KEPUTUSAN Memutuskan bayi perlu resusitasi jika :

Bayi tidak cukup bulan atau bayi megap-megap/tidak bernapas dan

atau tonus otot bayi tidak baik

Air ketuban bercampur mekonium.

TINDAKAN Mulai lakukan resusitasi segera jika :

Bayi tidak cukup bulan dan atau bayi megap-megap/tidak bernapas

dan tonus otot bayi tidak baik :


Lakukan tindakan resusitasi BBL

Air ketuban bercampur mekonium :

Lakukan resusitasi sesuai dengan indikasinya

(JNPK-KR 2008)

Tabel 2. Penilaian asfiksia pada bayi baru lahir

Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda

yang penting, yaitu:

a. Pernafasan

b. Denyut jantung

c. Warna

Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan kita memulai resusitasi atau

untuk membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi.

(Saifuddin, 2009)

b. Hal penting dalam penilaian asfiksia

Aspek yang sangat penting dari resusitasi BBL adalah menilai bayi, menentukan tindakan yang

akan dilakukan dan ahirnya melaksanakan tindakan tersebut. Penilaian selanjutnya adalah dasar untuk

menentukan kesimpulan dan tindakan berikutnya. Upaya resusitasi yang efektif dan efisien berlangsung

melalui rangkaian tindakan, yaitu penilaian, pengambilan keputusan dan selanjutnya tindakan lanjut.

Rangkaian tindakan ini merupakan suatu siklus. Misalnya pada saat-saat anda melakukan rangsangan

taktil anda sekaligus menilai pernafasan bayi. Atas dasar penilaian ini anda akan melakukan langkah

berikutnya. Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau bahwa

pernafasan tidak adekuat, anda sudah menentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan

berikutnya, yaitu memberikan ventilasi dengan tekanan positif (VTP). Sebaliknya apabila pernafasannya

normal, maka tindakan selanjutnya adalah menilai denyut jantung bayi. Segera setelah memulai suatu

tindakan anda harus menilai dampaknya pada bayi dan membuat kesimpulan untuk tahap berikutnya.

Nilai APGAR pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit setelah bayi lahir, akan

tetapi penilaian bayi harus dimulai segera setelah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi
berdasarkan pernafasan, denyut jantung, atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera.

Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu penilaian APGAR 1 menit.

Keterlambatan tindakan sangat membahayakan, terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.

Walaupun nilai APGAR tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat

menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai

APGAR perlu dinilai dalam 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai apgar <7 penilaian tambahan masih

diperlukan, yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai 2 kali penilaian menunjukkan nilai 8 atau

lebih. Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat berdasarkan keadaan

klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL. Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan

menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian berkala setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan

setiap 30 detik. Penatalaksanaan dilakukan terus menerus berkesinambungan menurut siklus menilai,

menentukan tindakan, melakukan tindakan, kemudian menilai kembali (Saifuddin, 2009)

c. Tiga point pengkajian klinis

1). Pernapasan

Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi jika perlu.

Kali adanya pola pernapasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, napas tersenggal, atau

mendengur.Tentukan apakah pernapsannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat

(lambat dan tidak teratur), atau tidak ada sama sekali.

2). Denyut jantung

Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasikan denyut aspeks atau merasakan denyutan

umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali permenit. Angka ini merupakan titik batas

yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan. Catatan : bayi dengan frekuensi

jantung <60, khususnya bayi tanpa frekuensi jantung, membutuhkan pendekatan yang lebih darurat.

Awalnya, curah jantung mungkin tidak mampu mencukupi perfusi arteri koroner, sampai pada

akhirnya tidak mampu sama sekali, walaupun dilakukan ventilasi.

3). Warna

Kaji bibir dan lidah bayi yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer

(akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi yang pucat

mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi bewarna merah mudah, biru atau

pucat.
Ketiga observasi ini dikenal sebagai komponen skor APGAR. Dua komponen lainnya adalah tonus

dan respons terhadap rangsangan. (David,dkk, 2009)

d. Pemantauan Janin

1.Saat Bayi Sudah Lahir

a) Penilaian sekilas sesaat setelah bayi lahir

Sesaat setelah bayi lahir perawat melakukan penilaian sekilas untuk kesejahteraan bayi secara

umum. Aspek yang dinilai adalah warna kulit dan tangis bayi, jika warna kulit adalah kemerahan dan

bayi dapat menangis spontan, maka ini sudah cukup untuk dijadikan data awal bahwa dalam kondisi

baik.

b) Menit pertama kelahiran

Pertemuan sarec di swedia tahun 1985 menganjurkan penggunaan parameter penilaian bayi baru

lahir adalah dengan cara sederhana yang disebut dengan SIGTUNA (SIGTUNA score), sesuai dengan

nama terjadinya konsensus. Penilaian cara ini digunakan terutama untuk tingkat pelayanan kesehatan

dasar karena hanya menilai dua parameter yang penting, namun cukup mewakili indikator kesejahteraan

bayi baru lahir. Sesaat setelah bayi lahir perawat memantau 2 tanda vital bayi sesuai dengan SIGTUNA

score, yaitu upaya bayi untuk bernafas dan frekuensi jantung (dihitung selama 6 detik, hasil dikalikan 10

sama dengan frekuensi jantung satu menit).

Cara menentukan SIGTUNA score:

1) Nilai bayi sesaat setelah lahir (menit pertama) dengan kriteria penilaian seperti pada tabel.

2) Jumlahkan score yang didapat.

3) Kesimpulan dari total SIGTUNA score

4 : Asfiksia riangan atau tidak asfiksia.

2-3 : Asfiksia sedang.

1 : Asfiksia berat.

0 : Bayi lahir mati/fresh stillbirth.

2. Menit ke 5 sampai 10

Segera setelah bayi lahir, perawat mengobservasi keadaan bayi dengan berpatokan pada APGAR score

dari 5 menit hingga 10 menit (Sulistyawati, 2010).


Tabel 2. Skala pengamatan APGAR score

Aspek Skor

pengamatan

bayi baru

lahir 0 1 2

Appeareance Seluruh tubuh bayi Warna kulit tubuh normal, Warna kulit seluruh

(Warna kulit) berwarna kebiruan .atau tetapi tangan dan kaki tubuh normal

pucat berwarna kebiruan

Pulse Denyut jantung tidak Denyut jantung <100 kali Denyut jantung >100

(Nadi) ada permenit kali permenit

Grimace Tidak ada respon Wajah meringis saat Meringis, menarik,

(Respon refleks) terhadap stimulasi distimulasi batuk atau bersin saat

stimulasi

Activity Lemah, tidak ada Lengan dan kaki dalam Bergerak aktif dan

(Tonus otot) gerakan posisi fleksi dengan sedikit spontan

gerakan

Respiratory Tidak bernafas, Menangis lemah, terdengar Menangis kuat,

(Pernafasan) pernafasan lambat dan seperti merintih pernafasan baik dan

tidak teratur teratur

(Sulistyawati, 2010)

7. Klasifikasi klinis asfiksia

Menurut Mochtar (1998), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam, yaitu sebagai berikut

a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih

baik, reaksi rangsangan masih positif, bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik

b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak

ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek.

8. Patofisiologi

Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan teratur. Sering sekali

bayi mengalami gawat janin sebelum persalinan akan mengalami asfiksia setelah persalinan. Masalah
tersebut mungkin berkaitan erat dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah

pada bayi selama atau sesudah persalinan. Apabila janin kekurangan O 2 dan kadar CO2 bertambah,

maka timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi lambat (Depkes

RI, 2005).

Kekurangan O2 akan merangsang usus sehingga mekonium keluar sebagai tanda janin dalam

asfiksia. Secara klinis tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih cepat dari 160x/menit

atau kurang dari 100x/menit, halus dan irreguler, serta adanya pengeluaran mekonium. Jika DJJ normal

dan terdapat mekonium, maka janin mulai asfiksia. Jika DJJ lebih dari 160x/menit dan ada mekonium

maka janin sedang asfiksia. Jika DJJ kurang dari 100x/menit dan ada mekonium maka janin dalam

keadaan gawat (Mochtar, 1998).

9. Penanganan pada asfiksia neonatorum

Asfiksia bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Resusitasi dapat dilihat

dari berat ringannya derajat asfiksia, yaitu dengan cara menghitung nilai apgar (Novita, 2011).

Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi yang perlu diingat adalah :

a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernapasan tetap bebas

serta merangsang timbulnya pernapasan, yaitu agar oksigen dan pengeluaran CO 2 berjalan lancar.

b. Memberikan bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang menunjukan usaha pernapasan lemah.

c. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi.

d. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.

Menurut Ilyas (1994), alat-alat resusitasi yang perlu dipersiapkan meliputi sebagai berikut :

a. Meja resusitasi dengan kemiringan kurang dari 10 derajat.

b. Guling kecil untuk menyangga/ekstensi

c. Lampu untuk memanaskan badan bayi

d. Penghisap slim

e. Oksigen

f. Spuit ukuran 2,5cc atau 10cc

g. Penlon back atau penlon masker

h.ETT (endo trakheal tube)

i. Laringoskop

j. Obat-obatan (natrium bikarbonat 7,5% (meylon), dekstrose 40%, kalsium glukonas, dekstrose 5%, dan

infus set).
Menurut Novita (2011), resusitasi dilakukan sesuai dengan derajat asfiksia. Penatalaksanaan

penanganan bayi dengan asfiksia bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi

gejala sisa.

1) Asfiksia ringan-bayi normal (skor apgar 7-10)

Tidak memerlukan tindakan yang istimewa, seperti pemberian lingkungan suhu yang baik pada

bayi, pembersihan jalan napas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa darah, jika diperlukan

memberikan rangsangan, selanjutnya observasi suhu tubuh, apabila cenderung turun untuk

sementara waktu dapat dimasukan kedalam inkubator (Novita, 2011)

2). Asfiksia sedang (skor apgar 4-6)

Menerima bayi dengan kain yang telah dihangatkan, kemudian membersihkan jalan

nafas,Melakukan stimulasi agar timbul refleks pernapasan. Bila dalam 30-60 detik tidak timbul

pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai. Ventilasi yang aktif yang sederhana dapat

dilakukan secara ‘frog brething’. Cara tersebut dikerjakan dengan meletakan kateter O2 intranasal

dan O2 dialirkan dengan 1-2 liter/menit. Agar saluran napas bebas, bayi diletakan dalam posisi

dorsofleksi kepala. Apabila belum berhasil maka lakukan tindakan rangsangan pernapasan dengan

menepuk-nepuk telapak kaki, bila tidak berhasil juga maka pasang penlon masker kemudian di

pompa 60x/menit. Bila bayi sudah mulai bernafas tetapi masih sianosis, berikan kolaborasi terapi

natrium bikarbonat 7,5% dengan dosis 2-4 cc/kg berat badan bersama dektrose 40% sebanyak 1-2

cc/kg berat badan dan diberikan melalui umbilikalis (Novita, 2011).

3). Asfiksia berat (skor apgar 0-3)

Menerima bayi dengan kain hangat, kemudian membersihkan jalan nafas sambil memompa jalan

nafas dengan ambu bag. Berikan oksigen 4-5 liter/menit. Apabila tidak berhasil biasanya dipasang

ETT (endo tracheal tube), selanjutnya bersihkan jalan nafas melalui lubang ETT. Bila bayi bernafas

namun masih sianosis maka berikan tindakan kolaborasi berupa natrium bikarbonat 7,5% sebanyak

6cc dan dektrose 40% sebanyak 4cc. Bila asfiksia berkelanjutan, maka bayi masuk NICU dan infus

terlebih dahulu (Novita, 2011).

B. Anatomi Sistem Pernafasan

1. Pengertian

Sistem pernafasan pada seseorang adalah suatu tempat masuknya udara sampai mengalami suatu

proses pertukaran udara di paru-paru. Adapun organ-organ yang termasuk dalam sistem pernafasan

tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok organ saluran pernafasan dan kelompok organ
tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida. Selain itu juga terdapat otot otot pernafasan, yang

membantu proses pernafasan. Organ-organ pernafasan:

a. Hidung. Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai 2 lubang (kavum nasi),

dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Hidung terbagi menjadi 3 bagian. Bagian luar terdiri

dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang-tulang rawan, lapisan dalam terdiri dari

selaput lendir yang berlipat-lipat, disebut karang hidung (konka nasalis) yang berjumlah 3 buah,

yaitu konka nasalis inferior, konka nasalis media, konka nasalis superior. Hidung berfungsi sebagai

saluran udara pernafasan, penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung,

pembunuh kuman-kuman yang masuk bersamaan udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat

dalam selaput lendir (mukosa) hidung.

b. Tekak/pharing. Tempat pertemuan kedua saluran hidung dan mulut, pharing dapat dibagi 3 bagian

yaitu : bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana yang disebut rhinopharing. Bagian

tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium yang disebut oropharing yang dekat rongga

mulut bagian bawah sekali dinamakan laringopharing yang dekat dengan laring.

c. Laring. Laring menghubungkan pharing dengan trachea. Laring berfungsi sebagai resonator

(memperkuat getaran udara). Laring terbentuk oleh 2 hialin dan cartilage yang elastis, tiroid, dan

krikoid. Dibagian dalam laring terdapat pita suara.

d. Trachea. Trachea merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang

terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C). Sebelah dalam diliputi

oleh selaput lendir yang berbulu getar disebut sebagai sel bersilia yang berguna untuk menge-

luarkan benda asing yang masuk bersama-sama udara pernafasan. Trachea terletak pada leher

paling depan dan terus masuk rongga dada sampai bercabang menjadi bronkus utama.

e. Bronkus dan bronkeolus. Merupakan saluran yang menuju masing-masing paru. Bronkus utama

yang terbentuk dari percabangan trachea mempunyai struktur serupa dengan trachea yang dilapisi

oleh jenis yang sama. Cabang-cabang saluran nafas yang makin mengecil menjadi bronkus yang

terus bercabang menjadi broncheolus. Broncheolus merupakan saluran yang paling kecil yang masih

bercabang lagi dan berakhir diujung dimana terdapat alveolus.

f. Bronkeolus terminalis. Merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveolus.

Diameter bronkeolus terminalis kira-kira 1 mm. Bronkeolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan

tetapi dikelilingi oleh otot polos, sehingga ukurannya dapat berubah. Semua saluran udara dibawah
tingkat bronkeolus terminalis disebut saluran pengantar udara, karena berfungsi sebagai pengantar

udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.

2. Refleks Pada Bayi Yang Harus Dikenali Sejak Lahir

a. Refleks menghisap ( suckling reflex ) Bayi akan melakukan gerakan menghisap ketika anda

menyentuhkan puting susu ke ujung mulut bayi. Refleks menghisap terjadi ketika bayi yang baru

lahir secara otomatis menghisap benda yang ditempatkan di mulut mereka. Refelks menghisap

memudahkan bayi yang baru lahir untuk memperoleh makanan sebelum mereka mengasosiasikan

puting susu dengan makanan. Menghisap adalah refleks yang sangat penting pada bayi. Refleks ini

merupakan rute bayi menuju pengenalan akan makanan. Kemampuan menghisap bayi yang baru lahir

berbeda-beda. Sebagian bayi yang baru lahir menghisap dengan efisien dan bertenaga untuk

memperoleh susu

b. Refleks Menggenggam ( palmar grasp reflex ) Grasping Reflex adalah refleks gerakan jari - jari

tangan mencengkram benda-benda yang disentuhkan ke bayi, indikasi syaraf berkembang normal

hilang setelah 3 - 4 bulan Bayi akan otomatis menggenggam jari ketika Anda menyodorkan jari

telunjuk kepadanya. Reflek menggenggam terjadi ketika sesuatu menyentuh telapak tangan bayi.

Bayi akan merespons dengan cara menggenggamnya kuat kuat.

c. Refleks mencari ( rooting reflex ) Akan terjadi peningkatan kekuatan otot ( tonus ) pada lengan dan

tungkai sisi ketika bayi Anda menoleh ke salah satu sisi.

d. Refleks mencari ( rooting reflex ) Rooting reflex terjadi ketika pipi bayi diusap ( dibelai ) atau di

sentuh bagian pinggir mulutnya. Sebagai respons, bayi itu memalingkan kepalanya ke arah benda

yang menyentuhnya, dalam upaya menemukan sesuatu yang dapat dihisap. Refleks menghisap dan

mencari menghilang setelah bayi berusia sekitar 3 hingga 4 bulan.Refleks digantikan dengan makan

secara sukarela. Refleks menghisap dan mencari adalah upaya untuk mempertahankan hidup bagi

bayi mamalia atau binatang menyusui yang baru lahir, karena dengan begitu dia begitu dia dapat

menentukan susu ibu untuk meperoleh makanan.

e. Refleks Moro ( moro refleks ) refleks Moro adalah suatu respon tiba tiba pada bayi yang baru lahir

yang terjadi akibat suara atau gerakan yang mengejutkan.

f. Babinski Reflex. Refleks primitif pada bayi berupa gerakan jari - jari mencengkram ketika bagian

bawah kaki diusap, indikasi syaraf berkembang dengan normal. Hilang di usia 4 bulan.

g. Swallowing Reflex adalah refleks gerakan menelan benda - benda yang didekatkan ke mulut,

memungkinkan bayi memasukkan makanan ada secara permainan tapi berubah sesuai pengalaman.
h. Breathing Reflex, Refleks gerakan seperti menghirup dan menghembuskan nafas secara berulang -

ulang , fungsi : menyediakan O2 dan membuang CO2, permanen dalam kehidupan

i. Eyeblink Reflex, Refleks gerakan seperti menutup dan mengejapkan mata - fungsi :melindungi mata

dari cahaya dan benda - benda asing - permanen dalam kehidupan jika bayi terkena sinar atau

hembusan angin, matanya akan menutup atau dia akan mengerjapkan matanya.

j. Puppilary Reflex, Refleks gerakan menyempitkan pupil mata terhadap cahaya terang, membesarkan

pupil mata terhadap terhadap lingkungan gelap. - fungsi : melindungi dari cahaya terang,

menyesuaikan terhadap suasana gelap.

k. Refleks Tonic Neck, Disebut juga posisi menengadah, muncul pada usia satu bulan dan akan

menghilang pada sekitar usia 5 bln. Saat kepala bayi digerakkan kesamping, lengan pada sisi tersebut

akan lurus dan lengan yang berlawanan akan menekuk ( kadang - kadang pergerakan akan sangat

halus atau lemah ). Jika bayi baru lahir tidak mampu untuk melakukan posisi ini atau jika reflek ini

terus menetap hingga lewat usia 6 bulan, bayi dimungkinkan mengalami gangguan pada neuron

motorik atas. Berdasarkan penelitian, refleks tonick neck merupakan suatu tanda awal koordinasi

mata dan kepala bayi yang akan menyediakan bayi untuk mencapai gerak sadar.

l. Refleks Tonic labyrinthine / labirin, Pada posisi telentang, reflex ini dapat diamati dengan mengangkat

bayi beberapa saat lalu dilepaskan. Tungkai yang diangkat akan bertahan sesaat kemudian jatuh.

Refleks ini akan hilang pada usia 6 bulan.

m. Refleks Merangkak ( crawling ) Jika ibu atau seseorang menelungkupkan bayi baru lahir, ia

membentuk posisi merangkak karena saat di dalam rahim kakinya tertekuk kearah tubuhnya.

n. Refleks Berjalan dan melangkah ( stepping ) Jika ibu atau seseorang menggendong bayi dengan posisi

berdiri dan telapak kakinya menyentuh permukaan yang keras, ibu / orang tersebut akan melihat

refleks berjalan, yaitu gerakan kaki seperti melangkah ke depan. Jika tulang keringnya menyentuh

sesuatu, ia akan mengangkat kakinya seperti akan melangkahi benda tersebut. Refleks berjalan ini

akan dan berbeda dengan gerakkan berjalan normall, yang ia kuasai beberapa bulan berikutnya.

Menurun setelah 1 minggu dan akan lenyap sekitar 2 bulan.

o. Refleks Yawning, Yakni refleks seperti menjerit kalau ia merasa lapar, iasanya kemudian dan

berlangsung hingga sekitar satu tahun kelahiran. Refleks plantar ini dapat periksa dengan

menggosokkan sesuatu di telapak kakinya, maka jari - jari kakinya akan melekuk secara erat.

p. Refleks Swimming, Reflek ini ditunjukkan pada saat bayi diletakkan di kolam yang berisi air, ia akan

mulai mengayuh dan menendang seperti gerakan berenang. Refleks ini akan menghilang pada usia
empat sampai enam bulan. Refleks ini berfungsi untuk membantu bayi bertahan jika ia tenggelam.

Meskipun bayi akan mulai mengayuh dan menendang seperti berenang, namun meletakkan bayi di air

sangat beresiko. Bayi akan menelan banyak air pada air saat itu

C. Tapping dan Clapping

Tapping dan Clapping adalah suatu bentuk terapi dengan menggunakan tangan, dalam posisi

telungkup serta dengan gerakan fleksi dan ekstensi wrist secara ritmis. Teknik ini sering digunakan

dengan dua tangan. Pada anakanak tapping dan clapping dapat dilakukan dengan dua atau tiga jari.

Teknik dengan satu tangan dapat digunakan sebagai pilihan pada tapping dan clapping yang

dilakukan sendiri.

Tapping dan clapping yang dilakukan tidak boleh menimbulkan perasaan tidak nyaman dan

tidak boleh dilakukan secara keras untuk mencegah stimulasi sensoris pada kulit. Tapping dan clapping

seperti halnya dengan perkusi menunjukkan hasil perubahan peningkatan tekanan intrabtoracic (Flower

et al 1979) tetapi tidak menunjukan korelasi dengan peningkatan pembersihan sekresi bronchiale.

Beberapa studi (Campbell et al 1975 dan Wollmer et al 1985) menunjukkan terjadinya obstruksi

jalan nafas ketika melakukan tapping dan clapping, tetapi studi lain ( Pryor dan Webber 1979)

menunkukan tidak ada peningkatan obstruksi jalan udara dengan tapping dan clapping. Tapping dan

clapping juga menjadi penyebab peningkatan hypoxaemia (Falk et al 1984 dan McDonnel etbal 1986)

tetapi tapping dan clapping dengan periode waktu yang pendek (kurang lebih 30 detik) yang

dikombinasi dengan latihan exspansi thorax tiga atau empat kali tidak menunjukan penurunan

kejenuhan oksigen (Pryor et al 1990).

Jika pasien merasa bahwa tapping dan clapping yang diberikan atau dilakukan sendiri

memberi manfaat, tetapi fisioterapi berfikir bahwa hal ini dapat mengakibatkan hypo-xaemia maka

pasien harus dikontrol dengan oximeter. Apalagi terjadi penurunan kejauhan oksigen secara signifikan

dan dilanjutkan dengan latihan-latihan ekspansi thorax. Terdapat kemungkinan tidak indikasi tapping

dan clapping pada pasien post operasi dan trauma chest, Juga osteoporosis berat dan haemoptysis.

Begitu pula dengan tapping dan clapping yang dilakukan secara keras dapat mengakibatkan gangguan

nafas dan bronchos-pasme pada pasien yang mengalami hiperaktivitas jalan nafas. Sehingga kecepatan

ritmis yang dirasakan nyaman buat pasien dan fisioterapi harus dilakukan secara tepat dan dengan

dipadukan tapping dan clapping ini bertujuan untuk mempermudah pengeluaran sputum.
Diagnosis gangguan nafas dan hipoksemia harus ditegakkan segera dengan mengetahui dari

tanda-tanda fisik dan TIDAK harus menunggu pemeriksaan laboratorium tanda-tanda fisik dari

gangguan nafas dan hipoxemia :

1. Keluhan sesak dan sukar bernafas

2. Nafas cepat dan dangkal

3. Frekwensi > 35 per menit (penderita dewasa)

4. Ada gerak cuping hidung (flare)

5. Ada cekungan sela iga/ jugulum w aktu inspirasi

6. cyanosis (adalah tanda terlambat)

Tanda-tanda sekunder tachycardia, aritmia / PVC , tekanan darah naik, keringat, terutama di dahi

dan telapak tangan .Berdasarkan ini kita harus mulai memberikan penanganan awal lebih banyak korban

meninggal karena kekurangan oksigen daripada kelebihan oksigen. Oleh karena hipoksemia dapat

mematikan dalam waktu 3-5 menit. Sedangkan oksigen toxicity baru menyebabkan ke rusakan jaringan

paru jika pemberian oksigen 100% yang terus menerus selama 12 jam atau lebih Dan untuk terapi

oksigen selanjutnya akan dibahas oleh pembicara lainnya Bila ter jadi hal seperti di atas, ini adalah

emergency dan harus segera kita atasi (life saving) lakukan segera

• Kempiskan balon (cuff) ETT/TT,

• Perbaikan posisi tube

• Spooling dengan NaC1 0,9% dan segera suction

• Bila gagal segera cabut ETT/TT dan bernafas bantu dengan bagian di mask Suction jangan dilakukan

bila kita akan melakukan pemeriksaan analisa gas darah 15 menit -2 0 menit sebelu mnya dan hi

ndarkan bila hemodinamik tidak stabil.

D. Keteter Suction

Kateter suction yang akan digunakan untuk membersihkan jalan nafas biasanya mempunyai

bentuk dan ukuran yang berbeda idealnya kateter suction yang baik adalah efektif menghisap sekret

dan resiko trauma jaringan yang minimal. Diameter kateter suction bagian luar tidak boleh melebihi

setengah dari diameter bagian dalam lumen tube diameter kateter yang lebih besar akan menimbulkan

atelectasis sedangkan kateter yang terlalu kecil kurang efektif untuk menghisap sekret yang kental.

Yang penting diingat adalah setiap kita melakukan suction, bukan sekretnya saja yang dihisap tapi

Oksigen di paru juga dihisap dan alveoli juga bisa collaps

Ukuran kateter suction biasanya dalam French Units (F )


Qs = ukuran diameter eksternal kateter suction yang diperlukan

Qa = diameter internal allificial air way dalam millimeter.

Qa x 3

Qs = -------------- = F kateter

misalnya Qa = 8 mm

8x 3

Qs = ----------- = 12 F

Jadi ukuran kateter suction yang digunakan adalah nomor = 12 F

Teknik :

Setiap melaku kan suction melalui artificial airway harus steril untuk mencegah kontaminasi

kuman dan dianjurkan memakai sarung tangan yang steril. Karakter suction harus di gunakan satu kali

proses suction misalnya setelah selesai suction ETT dapat dipakai sekalian untuk suction nasofaring

dan urofaring dan sesudah itu harus dibuang atau isterilkan kembali, Ingat" Jangan sekali-kali memakai

kateter suction untuk beberapa pasien Peralatan lain yang perlu disediakan cairan antiseptik, vacuum

suction, spuit 5- 10 ml untuk spooling (lavage sollution) dan ambu bag (hand resuscitator) untuk

oksigen 100%. Vacum Suction harus dicek dan diatur jangan terlalu tinggi karena dapat menyebabkan

trauma jari n gan dan jangan terlalu rendah ==> penghisapan tidak efektif

Tabel 1 : Vacuum Setting for Suctioning Patients Based on age Setting Patients

60 – 80 mmHg Infant

80 – 120 mmHg Children

120 – 150 mmHg Adult

Cairan antiseptik untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah suction untuk mengurangi

kontaminasi kuman . Sebelum suction, pasien har us diberi oksigen yang adekuat (pre oxygenasi) sebab

oksigen akan menurun selama proses pengisapan. pada pasien – pasien yang oksigennya sudah kurang.

Pre oksigen isi dapat menghindari hipoksemia yang berat dengan segala akibatnya, sebab proses

suction dapat menimbulkan hiposemia. Pre oksigen dapat diberikan dengan ambu bag dengan O2 100 %

(0-10 liter) atau dengan memakai alat ventilator mekanik dengan O2 100%.
Setelah preoksigensi yang cukup, masukan kateter suction ke dalam airway sampai ujung nya

menotok tanpa hisap, kemudian tarik kateter suction sedikit, lakukan penghisapan dan pemutaran

berlahan dan sambil menarik keluar untu k mencegah kerusakan jaringan dan memudahkan

penghisapan secret. Proses suction tidak boleh melebihi 10-15 detik di lumen artificial airway, total

proses suction jangan melebihi 20 detik. Bila hendak mengulangi suction harus diberikan pre-

oksigenasi kembali 6-10 kali ventilasi dan begitu seterusnya sampai jalan nafas bersih. Jangan lupa

monitor vital sign, ECG monitor, sebelum melanjutkan suction, bila terjadi dysritmia atau

hemodinamik tidak stabil, hentikan suction sementara waktu. Suction harus hati-hati pada kasus- kasus

tertentu misalnya penderita dengan odema paru yang berat dengan memakai respirator dan peep, tidak

dianjurkan melakukan suction untuk sementara waktu sampai oedem parunya teratasi.

Bila sputum kental dan sulit unt uk dikeluarkan dapat dispooling dengan cairan NaCl 0,9%

sebanyak 5-10 ml dimasukkan ke dalam lumen artificial airway sebelum disuction, untuk bayi cukup

beberapa tetes saja. Dianjurkan setiap memakai artificial airway harus menggunakan humidifier dengan

kelembaban 100% pada temperatur tubuh untuk mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sputum.

1. Suction melalui Naso Tracheal

Penghisapan melalui naso tracheal biasanya lebih sulit dan berbahaya bila dibanding dengan

memakai via artifical airway dan tidak dianjutka n untuk rutin prosedur pada pembersihan jalan

nafas, sebab dapat menyebabkan spasme faring, iritasi nasal dan perdarahan. Pada kasus tertentu

dimana artificial airway tidak ada, sedangkan retensi sputum banyak dapat dilakukan perlahan dengan

memakai kateter suction yang sebelumnya di olesin pelicin (water soluble lumbricant) dan sementara

vacuum dilepaskan, sambil mendengar suara nafas melalui kateter bila sudah sampai di depan trachea

kateter Suction di teruskan pada saat inspirasi sambil menghisap, biasanya timbul rangsangan batuk

sehingga sputum dapat keluar melalui suction atau kerongga jalan nafas bagian atas (nasofar ing atau

urofaring) sehingga mudah dikeluarkan melalui kateter suction dapat dilakukan spooling untuk

mengencerkan sputum bila dilakukan berulang dapat dibantu dengan nasofaringeal tube untuk

mengurangi trauma, jangan lupa memberikan reoksigenasi pada monitor vital sign sesudah melakukan

suction.

Ingat : Bila terjadi spasme , laring pada waktu suction naso tracheal : Segera cabut kateter suction dan

ambug clan oksigen 100%, ini merupakan life treathening


2. Komplikasi :

a. Hipoxcmia ,oleh kerena suction melalui artiticial airaway dapat menghisap oksigelen yang di alveoli

dan menurunkan oksigen pada darah arteri yang dapat menimbulkan tacicardi, aritmia/PVC,

bradicardi .Untuk mencegah hipoxemia ini

• Oksigenasi yang baik sebelum dan sesudah suction

• Suction jangan melebihi I5 detik

• Ukuran diameter section yang benar

b. Trauma Jaringan

Sunctioning dapat menyebabkan trauma jaringan, iritasi dan pendarahan untuk pencegahan :

• Pakai karakter suction dengan jenis dan ukuran yang benar

• Teknik suction yang baik dan benar

c. Atelektasis

Atelektasis dapat terjadi bila pemakaian kateter sunction yang terlalu besar dan vacuum suction

yang terlalu kuat sehingga terjadi collaps paru atau atelektasis dan bisa terjadi persistent hipoxemia.

Untuk pencegahan :

• Pakai kateter suction dengan jenis dan ukuran yang benar

• Teknik suction yang baik dan benar

• Auskultasi pre dan post suction

E. Tanda Vital

1. Defenisi

Tanda vital merupakan gabungan dua kata, yaitu tanda dan vital, yang merupakan terjemahan

istilah bahasa inggris yaitu vital sign. Vital sign adalah suatu tanda yang sifatnya objektif yang dapat

berubah setiap saat yang mencerminkan hidup yang terdiri dari tekanan darah, respirasi, nadi, suhu

tubuh Tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien untuk memantau kondisi klien dan

mengidentifikasi ma salah dan mengevaluasi respon klien terhadap intervensi tekn ik dasar (Patricia ,

2005).

Nadi, Suhu/Temperature dan Respiration Rate (RR) adalah pengkajian dasar pasien, yang

diambil dan didokumentasikan dari waktu ke waktu yang menunjukkan perjalanan kondisi pasien. Nadi,

Suhu dan RR disebut dengan tanda vital (vital sign) atau cardinal symptoms karena pemeriksaan ini

merupakan indikator yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Tanda-tanda vital harus

diukur dan dan dicatat secara akurat sebagai dokumentasi keperawatan. Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital pada pasien dapat membantu perawat dalam membuat diagnosa dan perubahan respon pasien. Jenis

pemeriksaan tanda-tanda vital diantaranya :

2. Nadi

Frekuensi denyut nadi dihitung dalam 1 menit, normalnya 60-100 x/menit Takikardi jika > 100 x/menit

dan Bradikardi jika < 60 x/menit. Lokasi pemeriksaan denyut nadi diantaranya :

a. Arteri radialis

b. Arteri ulnaris

c. Arteri brachialis

d. Arteri karotis

e. Arteri temporalis superfisial

f. Arteri maksiliaris eksterna

g. Arteri femoralis

h. Arteri dorsalis pedis

i. Arteri tibialis posterior

Skala ukuran kekuatan/kualitas nadi (Keperawatan Klinis, 2011)

Level Nadi

0 Tidak ada

1+ Nadi menghilang, hampir tidak teraba, mudah menghilang

2+ Mudah teraba, nadi normal

3+ Nadi penuh, meningkat

4+ Nadi mendentum keras, tidak dapat hilang

3. Suhu

Lokasi pemeriksaan suhu tubuh : mulut (oral) tidak boleh dilakukan pada anak/bayi,

anus (rectal) tidak boleh dilakukan pada klien dengan diare, ketiak (aksila), telinga

(timpani/aural/otic) dan dahi (arteri temporalis).

 Hipotermia (<35° C)

 Normal (35-37° C)

 Pireksia/febris (37-41,1° C)

 Hipertermia (>41,1° C)

Lokasi Pengukuran Suhu Perbedaan Hasil Temperatur

Suhu Aksila Lebih rendah 1 C dari suhu oral


Suhu rektal Lebih tinggi 0,4-0,5 C dari suhu oral

Suhu aural/timpani Lebih tinggi 0,8 C dari suhu oral

4. Respiration Rate (RR)

Pernafasan terdiri dari 4 proses:

Ventilasi : pertukaran udara keluar masuk paru -paru.

Distri busi : pembagian udara ke cabang-cabang bronchus

Diffusi : peresapan masuknya oksigen dari alveoli ke darah dan pengeluaran CO2 dari

darah ke alveoli

Perfusi : aliran darah yang membawa O2 ke jaringan.

Yang dinilai pada pemeriksaan pernafasan adalah : tipe pernafasan, frekuensi, kedalaman dan

suara nafas. Respirasi normal disebut eupnea (laki-laki : 12 – 20 x/menit), perempuan : 16-20 x/menit)

RR > 24 x/menit : Takipnea

RR < 10 x/menit : Bradipnea

5. Nadi, RR, dan tekanan darah (TD) berdasarkan usia (Keperawatan Klinis, 2011)

Usia Nadi (kali/menit) RR (kali/menit) TDsistolik (mmHg)

Dewasa (>18 tahun) 60-100 12-20 100-140

Remaja (12-18 tahun) 60-100 12-16 90-110

Anak-anak (5-12 tahun) 70-120 18-30 80-110

Pra sekolah (4-5 tahun) 80-140 22-34 80-100

Bawah 3 tahun/Toddler 90-150 24-40 80-100

Bayi (1 bulan – 1 tahun) 100-160 30-60 70-95

Baru lahir/infant (0-1 bulan) 120-160 40-60 50-70

6. Suhu tubuh normal berdasarkan usia

Usia Suhu (Celcius)

Baru lahir 36,8⁰

1 tahun 36,8⁰

5-8 tahun 37,0⁰

10 tahun 37,0⁰

Remaja 37,0⁰

Dewasa 37,0⁰
Lansia (>70 thn) 36,0⁰

7. Saturasi Oksigen

Normal 95-100%

F. Pengenalan Ventilasi Mekanik

1. Pengertian

Ventilasi mekanik merupakan terapi defenitif pada klien kritis yang mengalami hipoksemia dan

hiperkapnia. Memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan ventilasi mekanik dilakukan antara

lain pada unit perawatan kritis, medikal bedah umum, bahkan di rumah. Perawat, dokter dan ahli terapi

pernafasan harus mengerti kabutuhan pernafasan spesifik klien. Rumusan penting untuk hasil klien yang

positif termasuk memahami prinsip-prinsip ventilasi mekanik dan perawatan yang dibutuhkan klien,

komunikasi terbuka antara tim kesehatan, rencana penyapihann dan toleransi klien terhadap perubahan

pengaturan ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif

yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.

2.. Klasifikasi

Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi, dua

kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan positif.

a. Ventilator Tekanan Negatif

Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada eksternal. Dengan

mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru

sehingga memenuhi volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik yang

berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti poliomyelitis, distrofi muscular, sklerosisi lateral

amiotrifik dan miastenia gravis. Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang

kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi sering.

b. Ventilator Tekanan Positif

Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan mengeluarkan tekanan positif

pada jalan nafas dengan demikian mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada

ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan

pada klien dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu tekanan

bersiklus, waktu bersiklus dan volume bersiklus. Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan

positif yang mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator

hidup mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai, dan
kemudian siklus mati. Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu pendek di

ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator mengakhiri atau mengendalikan inspirasi

setelah waktu ditentukan. Volume udara yang diterima klien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan

frekuensi aliran udara. Ventilator ini digunakan pada neonatus dan bayi. Ventilator volume bersiklus

yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume

preset telah dikirimkan pada klien , siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi secara pasif. Ventilator

volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan.

3. Gambaran ventilasi mekanik ideal

Gambaran ventilasi mekanik yang ideal adalah sederhana, mudah dan murah, dapat memberikan

volume tidak kurang 1500cc dengan frekuensi nafas hingga 60X/menit dan dapat diatur ratio I/E, dapat

digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat penunjang pernafasan yang lain, dapat dirangkai

dengan PEEP, dapat memonitor tekanan , volume inhalasi, volume ekshalasi, volume tidal, frekuensi

nafas, dan konsentrasi oksigen inhalasi, mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat

didalamnya, mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, Pressure Support, mudah membersihkan dan

mensterilkannya.

Modus operasional ventilasi mekanik terdiri dari :

a. Controlled Ventilation

Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernafasan. Indikasi untuk pemakaian ventilator

meliputi pasien dengan apnoe. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif

yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.Ventilator tipe ini

meningkatkan kerja pernafasan klien.

b. Assist/Control

Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Bila klien gagal

untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator ini diatur berdasarkan atas frekuensi

pernafasan yang spontan dari klien, biasanya digunakan pada tahap pertama pemakaian ventilator.

c. Intermitten Mandatory Ventilation

Model ini digunakan pada pernafasan asinkron dalam penggunaan model kontrol, klien dengan

hiperventilasi. Klien yang bernafas spontan dilengkapi dengan mesin dan sewaktu-waktu diambil alih

oleh ventilator.
d. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)

SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak begitu lelah dan

efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan biasanya tergantung pada aktivasi klien.

Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal volume dan/atau frekuensi nafas kurang adekuat.

f. Positive End-Expiratory pressure

Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan tujuan untuk

mencegah Atelektasis. Dengan terbukanya jalan nafas oleh karena tekanan yang tinggi, atelektasis akan

dapat dihindari. Indikasi pada klien yang menederita ARDS dan gagal jantung kongestif yang massif

dan pneumonia difus. Efek samping dapat menyebabkan venous return menurun, barotrauma dan

penurunman curah jantung.

g. Continious Positive Airway Pressure. (CPAP)

Ventilator ini berkemampuan untuk meningkatakan FRC. Biasanya digunakan untuk penyapihan

ventilator.

4. Indikasi Ventilator Mekanik

a. Gagal nafas

Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun hipoksemia yang tidak

teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilator mekanik. Idealnya pasien telah

mendapat intubasi dan pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang sebenarnya.

Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa

kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan

memompa udara karena distrofi otot).

b. Insufisiensi jantung

Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan pernafasan primer. Pada

pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan

(sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps.

Pemberian ventilator untuk mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung

juga berkurang.

c. Disfungsi neurologist

Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnu berulang juga mendapatkan

ventilator mekanik. Selain itu ventilator mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien.
Ventilator mekanik juga memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan

tekanan intra cranial.

5. Model Ventilator Mekanik

a. Mode control (pressure control, volume control, continuous mode).

Pasien mendapat bantuan pernafasan sepenuhnya, pada mode ini pasien dibuat tidak sadar

(tersedasi) sehingga pernafasan di kontrol sepenuhnya oleh ventilator. Tidal volume yang didapat pasien

juga sesuai yang di set pada ventilator. Pada mode control kelasik, pasien sepenuhnya tidak mampu

bernafas dengan tekanan atau tidal volume lebih dari yang telah di set pada ventilator. Namun pada

mode control terbaru, ventilator juga bekerja dalam mode assist-control yang memungkinkan pasien

bernafas dengan tekanan atau volum tidal lebih dari yang telah di set pada ventilator.

b. Mode Intermitten Mandatory Ventilation (IMV).

Pada mode ini pasien menerima volume dan frekuensi pernafasan sesuai dengan yang di set

pada ventilator. Diantara pernafasan pemberian ventilator tersebut pasien bebas bernafas. Misalkan

respiratory rate (RR) di set 10, maka setiap 6 detik ventilator akan memberikan bantuan nafas, diantara 6

detik tersebut pasien bebas bernafas tetapi tanpa bantuan ventilator. Kadang ventilator memberikan

bantuan saat pasien sedang bernafas mandiri, sehingga terjadi benturan antara kerja ventilator dan

pernafasan mandiri pasien. Hal ini tidak akan terjadi pada

c. Mode Synchronous Intermitten Mandatory Ventilation (IMV) yang sama dengan mode IMV hanya

saja ventilator tidak memberikan bantuan ketika pasien sedang bernafas mandiri. Sehingga benturan

terhindarkan.

d. Keempat, yaitu mode pressure support atau mode spontan.

Ventilator tidak memberikan bantuan inisiasi nafas lagi. Inisiasi nafas sepenuhya oleh pasien,

ventilator hanya membantu pasien mencapai tekanan atau volume yang di set di mesin dengan

memberikan tekanan udara positif.

6. Istilah Dalam Ventilator Mekanik

a. FiO2 dan PaO2, FiO2 adalah fraksi atau konsentrasi oksigen dalam udara yang diberikan kepada

pasien. Sedangkan PaO2 adalah tekanan parsial oksigen yaitu perbedaan konsentrasi antara oksigen di

alveolus dan membran.

b. I:E merupakan ratio Perbandingan antara waktu inspirasi dan ekspirasi. Nilai normal 1:2.
c. Volume Tidal merupakan jumlah udara yang keluar masuk paru dalam satu kali nafas, atau sama

dengan jumlah udara yang diberikan ventilator dalam satu kali nafas. Nilai normal 10 –15 ml per kgBB

untuk dewasa dan 6-8 ml per kgBB untuk anak.

d. Minute Volume merupakan jumlah udara yang keluar masuk dalam satu menit, atau jumlah udara

yang diberikan ventilator dalam satu menit. Nilainya = volume tidal x RR.

e. PEEP dan CPAP, Positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir ekspirasi

digunakan untuk mepertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi untuk mencegah terjadiya

kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli. Nilai antara 5-15 mmHg, maksimal 12

mmHg untuk anak. Continuous positive airway pressure (CPAP) identik dengan PEEP, yaitu

pemberian tekanan positif pada saluran nafas selama siklus pernafasan.

f. Pressure atau Volume Limit. Batas atas tekanan atau volume yang diberikan pada pasien. Volume

limit yang terlalu tinggi dapat berakibat trauma paru. Pada klien dewasa, frekuensi ventilator diatur

antara 12-15 x / menit. Tidal volume istirahat 7 ml / kg BB, dengan ventilasi mekanik tidal volume yang

digunakan adalah 10-15 ml / kg BB. Untuk mengkompensasi dead space dan untuk meminimalkan

atelektase. Jumlah oksigen ditentukan berdasarkan perubahan persentasi oksigen dalam gas. Karena

resiko keracunan oksigen dan fibrosis pulmonal maka FiO2 diatur dengan level rendah. PO2 dan

saturasi oksigen arteri digunakan untuk menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan untuk

mencegah kolaps alveoli dan untuk meningkatkan difusi alveoli-kapiler

G. Konsep Dasar Proses Keperawatan

Proses keperawatan adalah metode pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan

keperawatanpada individu,kelompok,dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan pemecahan

masalah dari respon pasien terhadap penyakitnya (Wartonah,2006). Dalam proses keperawatan ada lima

tahap, dimana tahap-tahap tersebut tidak dapat dipisahkan,dan saling berhubungan.Tahap-tahap dalam

proses keperawatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Tujuan pengkajian adalah

memberikan suatu gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan klien. Tahap pengkajian dari

proses keperawatan merupakan proses dinamis yang terorganisasi yang meliputi tiga aktivitas dasar

yaitu: Pertama, mengumpulkan data secara sistematis; kedua memilah dan mengatur data yang

dikumpulkan; dan ketiga, mendokumentasikan data dalam format yang dapat dibuka kembali (Asmadi,

2008).
Dalam melakukan pengkajian diperlukan keahlian-keahlian (skill) seperti wawancara, pemeriksaan

fisik, dan observasi. Hasil pengumpulan data kemudian diklasifikasikan dalam data subjektif dan

objektif. Data subjektif merupakan ungkapan atau persepsi yang dikemukakan oleh pasien. Data

objektif merupakan data yang didapat dari hasil observasi, pengukuran, dan pemeriksaan fisik.

Ada beberapa cara pengelompokan data, yaitu berdasarkan sistem tubuh, berdasarkan kebutuhan

dasar (Maslow), berdasarkan teori keperawatan, berdasarkan pola kesehatan fungsional. Pengumpulan

data bisa digunakan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik,

dokumentasi dari catatan medis, status klien, dan hasil pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan

radiologi.

Pemeriksaan fisik adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan

auskultasi. Inspeksi didefinisikan sebagai kegiatan melihat atau memperhatikan secara seksama status

kesehatan klien seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu napas,

inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya. Palpasi adalah jenis pemeriksaan dengan cara meraba

atau merasakan kulit klien. Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop

yang memungkinkan pemeriksa mendengar bunyi yang keluar dari rongga tubuh klien. Perkusi adalah

pemeriksaan fisik dengan cara mengetuk secara pelan jari tengah menggunakan jari yang lain untuk

menentukan posisi, ukuran, dan konsistensi struktur suatu organ tubuh (Asmadi, 2008).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial klien

terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya.

Respon aktualdan potensial klien didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang

berkaitan, catatan medis klien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional lain, yang kesemuanya

dikumpulkan selama pengkajian (Potter &Perry, 2005).

a. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pada bayi Asfiksia Neonatotum sebagai berikut:

Masalah Yang lazim muncul pada klien:

1) Pola nafas tidak efektif b/d imaturitas organ pernafasan.

2) Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d obstruksi jalan nafas oleh penumpukan lendir, reflek batuk.

3) Risiko ketidakseimbangan temperatur tubuh b/d BBLR, usia kehamilan kurang, paparan lingkungan

dingin/panas.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan ingest/digest/absorb.

5) Ketidakefektifan pola minum bayi b/d prematuritas.

6) Hipotermi b/d paparan lingkungan dingin.

7) Resiko infeksi b/d ketidakadekuatan system kekebalan tubuh.

8) PK : Hipoglikemia

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Pola nafas tidak efektif b/d NOC : NIC :

imaturitas organ pernafasan  Respiratory status : Ventilation Airway Management

 Respiratory status : Airway  Buka jalan nafas, guanakan teknik chin

Definisi : Pertukaran udara patency lift atau jaw thrust bila perlu

inspirasi dan/atau ekspirasi  Vital sign Status  Posisikan pasien untuk memaksimalkan

tidak adekuat Kriteria Hasil: ventilasi

 Mendemonstrasi-  Identifikasi pasien perlunya pemasanga

Batasan karakteristik : kan batuk efektif dan suara nafas alat jalan nafas buatan

- Penurunan tekanan yang bersih, tidak ada sianosis  Pasang mayo bila perlu
inspirasi/ekspirasi dan dyspneu (mampu  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Penurunan pertukaran udara mengeluarkan sputum, mampu  Keluarkan sekret dengan batuk atau
per menit bernafas dengan mudah, tidak suction
- Menggunakan otot ada pursed lips)  Auskultasi suara nafas, catat adanya
pernafasan tambahan  Menunjukkan jalan nafas yang suara tambahan
- Nasal flaring paten (klien tidak merasa  Lakukan suction pada mayo
- Dyspnea tercekik, irama nafas, frekuensi  Berikan bronkodilator bila perlu
- Orthopnea pernafasan dalam rentang  Berikan pelembab udara Kassa basah
- Perubahan penyimpangan normal, tidak ada suara nafas NaCl Lembab
dada abnormal)  Atur intake untuk cairan
- Nafas pendek  Tanda Tanda vital dalam rentang mengoptimalkan keseimbangan.
- Assumption of 3-point normal (tekanan darah, nadi,  Monitor respirasi dan status O2
position pernafasan)
- Pernafasan pursed-lip
Oxygen Therapy
- Tahap ekspirasi
 Bersihkan mulut, hidung dan secret
berlangsung sangat lama trakea

- Peningkatan diameter  Pertahankan jalan nafas yang paten

anterior-posterior  Atur peralatan oksigenasi

- Pernafasan rata-  Monitor aliran oksigen

rata/minimal  Pertahankan posisi pasien


- Bayi : < 25 atau > 60  Observasi adanya tanda tanda
- Usia 1-4 : < 20 atau > 30 hipoventilasi
- Usia 5-14 : < 14 atau > 25  Monitor adanya kecemasan pasien
- Usia > 14 : < 11 atau > 24 terhadap oksigenasi
- Kedalaman pernafasan

- Dewasa volume tidalnya 500 Vital sign Monitoring


ml saat istirahat
 Monitor TD, nadi, suhu, dan R
- Bayi volume tidalnya 6-8
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
ml/Kg
 Monitor VS saat pasien berbaring,
- Timing rasio
duduk, atau berdiri
- Penurunan kapasitas vital
 Auskultasi TD pada kedua lengan dan

bandingkan
Faktor yang berhubungan :
 Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama
- Hiperventilasi
dan setelah aktivitas
- Deformitas tulang
 Monitor kualitas dari nadi
- Kelainan bentuk dinding
 Monitor frekuensi dan irama pernapasa
dada
 Monitor suara paru
- Penurunan energi/kelelahan
 Monitor pola pernapasan abnormal
- Perusakan/pelemahan
 Monitor suhu, warna, dan kelembaban
muskulo-skeletal
kulit
- Obesitas
 Monitor sianosis perifer
- Posisi tubuh
 Monitor adanya cushing triad (tekanan
- Kelelahan otot pernafasan
nadi yang melebar, bradikardi,
- Hipoventilasi sindrom
peningkatan sistolik)
- Nyeri
 Identifikasi penyebab dari perubahan
- Kecemasan
vital sign
- Disfungsi Neuromuskuler

- Kerusakan persepsi/kognitif

- Perlukaan pada jaringan

syaraf tulang belakang

- Imaturitas Neurologis

2 Bersihan jalan nafas tidak NOC : NIC :

efektif b/d obstruksi jalan  Respiratory status : Ventilation Airway suction

nafas oleh penumpukan lendir,  Respiratory status : Airway  Auskultasi suara nafas sebelum dan

reflek batuk. patency sesudah suctioning.

 Aspiration Control  Informasikan pada klien dan keluarga

Definisi : Ketidakmampuan tentang suctioning

untuk membersihkan sekresi Kriteria Hasil :  Minta klien nafas dalam sebelum

atau obstruksi dari saluran  Mendemonstrasikan batuk efektif suction dilakukan.

pernafasan untuk dan suara nafas yang bersih, tidak  Berikan O2 dengan menggunakan nasa
mempertahankan kebersihan ada sianosis dan dyspneu (mampu untuk memfasilitasi suksion nasotrakea

jalan nafas. mengeluarkan sputum, mampu  Gunakan alat yang steril sitiap

bernafas dengan mudah, tidak ada melakukan tindakan


Batasan Karakteristik : pursed lips)  Anjurkan pasien untuk istirahat dan
- Dispneu,Penurunan suara  Menunjukkan jalan nafas yang napas dalam setelah kateter dikeluarkan
nafas paten (klien tidak merasa tercekik, dari nasotrakeal
- Orthopneu irama nafas, frekuensi pernafasan  Monitor status oksigen pasien
- Cyanosis dalam rentang normal, tidak ada  Ajarkan keluarga bagaimana cara
- Kelainan suara nafas (rales, suara nafas abnormal) melakukan suksion
wheezing)
 Hentikan suksion dan berikan oksigen
- Kesulitan berbicara  Mampu mengidentifikasikan dan apabila pasien

mencegah factor yang dapat


- Batuk, tidak efektif atau menghambat jalan nafas  menunjukkan bradikardi, peningkatan
tidak ada
saturasi O2, dll.
- Mata melebar

- Produksi sputum
Airway Management
- Gelisah  Buka jalan nafas, guanakan teknik chin

- Perubahanfrekuensi dan lift atau jaw thrust bila perlu

irama nafas  Posisikan pasien untuk memaksimalkan

ventilasi

Faktor-faktor yang  Identifikasi pasien perlunya pemasanga

berhubungan: alat jalan nafas buatan

- Lingkungan : merokok,  Pasang mayo bila perlu


menghirup asap rokok,  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
perokok pasif-POK, infeksi  Keluarkan sekret dengan batuk atau
- Fisiologis : disfungsi suction
neuromuskular, hiperplasia
 Auskultasi suara nafas, catat adanya
dinding bronkus, alergi jalan suara tambahan
nafas, asma.
 Lakukan suction pada mayo
- Obstruksi jalan nafas :
 Kolaborasikan pemberian bronkodilato
spasme jalan nafas, sekresi
bila perlu
tertahan, banyaknya mukus,
 Berikan pelembab udara Kassa basah
adanya jalan nafas buatan,
NaCl Lembab
sekresi bronkus, adanya
 Atur intake untuk cairan
eksudat di alveolus, adanya
mengoptimalkan keseimbangan.
benda asing di jalan nafas.
 Monitor respirasi dan status O2

3 Risiko ketidakseimbangan NOC : NIC :

temperatur tubuh b/d BBLR,  Hydration Temperature Regulation (pengaturan

usia kehamilan kurang,  Adherence Behavior suhu)

paparan lingkungan  Immune Status  Monitor suhu minimal tiap 2 jam

dingin/panas  Infection status  Rencanakan monitoring suhu secara

 Risk control kontinyu

Definisi : Risiko kegagalan  Risk detection  Monitor TD, nadi, dan RR

mempertahankan suhu tubuh  Monitor warna dan suhu kulit


dalam batas normal.  Monitor tanda-tanda hipertermi dan
Faktor faktor resiko: hipotermi
- Perubahan metabolisme  Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

dasar  Selimuti pasien untuk mencegah

- Penyakit atau trauma yang hilangnya kehangatan tubuh

mempengaruhi pengaturan  Ajarkan pada pasien cara mencegah

suhu keletihan akibat panas

- Pengobatan pengobatan  Diskusikan tentang pentingnya


yang menyebabkan pengaturan suhu dan kemungkinan efek

vasokonstriksi dan negatif dari kedinginan

vasodilatasi  Beritahukan tentang indikasi terjadinya


- Pakaian yang tidak sesuai keletihan dan penanganan emergency
dengan suhu lingkungan yang diperlukan
- Ketidakaktifan atau aktivitas  Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
berat penanganan yang diperlukan
- Dehidrasi
 Berikan anti piretik jika perlu
- Pemberian obat penenang

- Paparan dingin atau

hangat/lingkungan yang

panas

4 Ketidakseimbangan nutrisi NOC : NIC :

kurang dari kebutuhan tubuh  Nutritional Status Nutrition Management

b/d ketidakmampuan  Nutritional Status : food and Fluid  Kaji adanya alergi makanan

ingest/digest/absorb Intake  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk

 Nutritional Status : nutrient Intake menentukan jumlah kalori dan nutrisi

Definisi : Intake nutrisi tidak  Weight control yang dibutuhkan pasien.

cukup untuk keperluan Kriteria Hasil :  Anjurkan pasien untuk meningkatkan

metabolisme tubuh.  Adanya peningkatan berat badan intake Fe

sesuai dengan tujuan  Anjurkan pasien untuk meningkatkan


Batasan karakteristik :  Beratbadan ideal sesuai dengan protein dan vitamin C

- Berat badan 20 % atau tinggi badan  Berikan substansi gula


lebih di bawah ideal  Yakinkan diet yang dimakan
 Mampumengidentifikasi
- Dilaporkan adanya intake kebutuhan nutrisi mengandung tinggi serat untuk

makanan yang kurang dari  Tidak ada tanda tanda malnutrisi mencegah konstipasi

RDA (Recomended Daily  Menunjukkan peningkatan fungsi  Berikan makanan yang terpilih ( sudah

Allowance) pengecapan dari menelan dikonsultasikan dengan ahli gizi)

- Membran mukosa dan  Tidak terjadi penurunan berat  Ajarkan pasien bagaimana membuat

konjungtiva pucat badan yang berarti catatan makanan harian.

- Kelemahan otot yang  Monitor jumlah nutrisi dan kandungan

digunakan untuk kalori

menelan/mengunyah  Berikan informasi tentang kebutuhan


- Luka, inflamasi pada nutrisi

rongga mulut  Kaji kemampuan pasien untuk


- Mudah merasa kenyang, mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
sesaat setelah mengunyah

makanan Nutrition Monitoring


- Dilaporkan atau fakta  BB pasien dalam batas normal
adanya kekurangan makanan
 Monitor adanya penurunan berat badan
- Dilaporkan adanya
 Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
perubahan sensasi rasa
biasa dilakukan
- Perasaan ketidakmampuan
 Monitor interaksi anak atau orangtua
untuk mengunyah makanan
selama makan
- Miskonsepsi
 Monitor lingkungan selama makan
- Kehilangan BB dengan
 Jadwalkan pengobatan dan tindakan
makanan cukup
tidak selama jam makan
- Keengganan untuk makan
 Monitor kulit kering dan perubahan
- Kram pada abdomen
pigmentasi
- Tonus otot jelek
 Monitor turgor kulit
- Nyeri abdominal dengan
 Monitor kekeringan, rambut kusam, dan
atau tanpa patologi
mudah patah
- Kurang berminat terhadap
 Monitor mual dan muntah
makanan
 Monitor kadar albumin, total protein,
- Pembuluh darah kapiler
Hb, dan kadar Ht
mulai rapuh  Monitor makanan kesukaan

- Diare dan atau steatorrhea  Monitor pertumbuhan dan

- Kehilangan rambut yang perkembangan

cukup banyak (rontok)  Monitor pucat, kemerahan, dan

- Suara usus hiperaktif kekeringan jaringan konjungtiva

- Kurangnya informasi,  Monitor kalori dan intake nutrisi


misinformasi  Catat adanya edema, hiperemik,

hipertonik papila lidah dan cavitas oral.


Faktor-faktor yang  Catat jika lidah berwarna magenta,
berhubungan : scarlet
Ketidakmampuan pemasukan

atau mencerna makanan atau

mengabsorpsi zat-zat gizi

berhubungan dengan faktor

biologis, psikologis atau

ekonomi.

5 Ketidakefektifan pola minum NOC : NIC :

bayi b/d prematuritas  Breastfeeding Estabilshment : Breastfeeding assistance

infant  Fasilitasi kontak ibu dengan bayi sawal

Knowledge mungkin (maksimal 2 jam setelah lahir

Breastfeeding  Monitor kemampuan bayi untuk

Breastfeeding Maintenance menghisap

Kriteria Hasil :  Dorong orang tua untuk meminta

 Klien dapat menyusui dengan perawat untuk menemani saat menyusu

efektif sebanyak 8-10 kali/hari

 Memverbalisasikan tehnik untk  Sediakan kenyamanan dan privasi

mengatasi masalah menyusui selama menyusui

 Bayi menandakan kepuasan  Monitor kemampuan bayi

menyusu untukmenggapai putting

 Ibu menunjukkan harga diri yang  Dorong ibu untuk tidak membatasi bayi
positif dengan menyusui menyusu

 Monitor integritas kulit sekitar putting

 Instruksikan perawatan putting

untukmencegah lecet

 Diskusikan penggunaan pompa ASI

kalau bayi tidakmampu menyusu

 Monitor peningkatan pengisian ASI

 Jelaskan penggunaan susu formula

hanya jika diperlukan

 Instruksikan ibu untuk makan makanan

bergizi selama menyusui

 Dorong ibu untuk minum jika sudah

merasa haus

 Dorong ibu untuk menghindari

penggunaan rokok danPil KB selama

menyusui

 Anjurkan ibu untuk memakai Bra yang

nyaman, terbuat dari cotton dan

menyokong payudara

 Dorong ibu untukmelanjutkan laktasi

setelah pulang bekerja/sekolah

6 Hipotermi b/d paparan NOC : NIC :

lingkungan dingin  Thermoregulation Temperature regulation

 Thermoregulation : neonate  Monitor suhu minimal tiap 2 jam

Kriteria Hasil :  Rencanakan monitoring suhu secara

 Suhu tubuh dalam rentang normal kontinyu

 Nadi dan RR dalam rentang  Monitor TD, nadi, dan RR

normal  Monitor warna dan suhu kulit

 Monitor tanda-tanda hipertermi dan

hipotermi
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

 Selimuti pasien untuk mencegah

hilangnya kehangatan tubuh

 Ajarkan pada pasien cara mencegah

keletihan akibat panas

 Diskusikan tentang pentingnya

pengaturan suhu dan kemungkinan efek

negatif dari kedinginan

 Beritahukan tentang indikasi terjadinya

keletihan dan penanganan emergency

yang diperlukan

 Ajarkan indikasi dari hipotermi dan

penanganan yang diperlukan

 Berikan anti piretik jika perlu

Vital sign Monitoring

 Monitor TD, nadi, suhu, dan RR

 Catat adanya fluktuasi tekanan darah

 Monitor VS saat pasien berbaring,

duduk, atau berdiri

 Auskultasi TD pada kedua lengan dan

bandingkan

 Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama

dan setelah aktivitas

 Monitor kualitas dari nadi

 Monitor frekuensi dan irama pernapasa

 Monitor suara paru

 Monitor pola pernapasan abnormal

 Monitor suhu, warna, dan kelembaban

kulit
 Monitor sianosis perifer

 Monitor adanya cushing triad (tekanan

nadi yang melebar, bradikardi,

peningkatan sistolik)

 Identifikasi penyebab dari perubahan

vital sign

7 Resiko infeksi b/d NOC : NIC :

ketidakadekuatan system  Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)

kekebalan tubuh.  Knowledge : Infection control  Bersihkan lingkungan setelah dipakai

 Risk control pasien lain

Definisi : Peningkatan resiko Kriteria Hasil :  Pertahankan teknik isolasi

masuknya organisme patogen  Klien bebas dari tanda dan gejala  Batasi pengunjung bila perlu

infeksi  Instruksikan pada pengunjung untuk

Faktor-faktor resiko :  Menunjukkan kemampuan untuk mencuci tangan saat berkunjung dan

- Prosedur Infasif mencegah timbulnya infeksi setelah berkunjung meninggalkan pasie

- Ketidakcukupan pengetahuan  Jumlah leukosit dalam batas  Gunakan sabun antimikrobia untuk cuc
untuk menghindari paparan normal tangan
patogen  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
 Menunjukkan perilaku hidup sehat
- Trauma tindakan keperawatan
- Kerusakan jaringan dan
 Gunakan baju, sarung tangan sebagai
peningkatan paparan
alat pelindung
lingkungan
 Pertahankan lingkungan aseptik selama
- Ruptur membran amnion
pemasangan alat
- Agen farmasi
 Ganti letak IV perifer dan line central
(imunosupresan)
dan dressing sesuai dengan petunjuk
- Malnutrisi
umum
- Peningkatan paparan
 Gunakan kateter intermiten untuk
lingkungan patogen
menurunkan infeksi kandung kencing
- Imonusupresi
 Tingkatkan intake nutrisi
- Ketidakadekuatan imum
buatan  Berikan terapi antibiotik bila perlu

- Tidak adekuat pertahanan

sekunder (penurunan Hb, Infection Protection (proteksi terhadap

Leukopenia, penekanan infeksi)

respon inflamasi)  Monitor tanda dan gejala infeksi

- Tidak adekuat pertahanan sistemik dan lokal

tubuh primer (kulit tidak  Monitor hitung granulosit, WBC

utuh, trauma jaringan,  Monitor kerentanan terhadap infeksi


penurunan kerja silia, cairan  Batasi pengunjung
tubuh statis, perubahan  Saring pengunjung terhadap penyakit
sekresi pH, perubahan menular
peristaltik)
 Pertahankan teknik aspesis pada pasien
- Penyakit kronik yang beresiko

 Pertahankan teknik isolasi k/p

 Berikan perawatan kuliat pada area

epidema

 Inspeksi kulit dan membran mukosa

terhadap kemerahan, panas, drainase

 Ispeksi kondisi luka / insisi bedah

 Dorong masukkan nutrisi yang cukup

 Dorong masukan cairan

 Dorong istirahat

 Instruksikan pasien untuk minum

antibiotik sesuai resep

 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan

gejala infeksi

 Ajarkan cara menghindari infeksi

 Laporkan kecurigaan infeksi

 Laporkan kultur positif

8 PK : Hipoglikemia Tujuan : perawat dapat menangani  Pantau kadar gula darah sebelum
dan meminimalkan episode pemberian obat hipoglikemik dan atau

hipoglikemi sebelum makan dan satu jam sebelum

tidur

 Pantau tanda dan gejala hipoglikemi

(kadar gula darah kurang dari 70 mg/dl

kulit dingin, lembab dan pucat,

takikardi,peka terhadap rangsang, tidak

sadar, tidak terkoordinasi, bingung,

mudah mengantuk)

 Jika klien dapat menelan, berikans

etengah gelas jus jeruk, cola atau

semacam golongan jahe setiap 15 meni

sampai kadar glukosa darahnya

meningkat diatas 69 mg/dl

 Jika klien tidak dapat menelan,

berikanglukagon hidroklorida subkutan

50 ml glukosa 50% dalam air IV sesuai

protocol
BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ................................... 81.

A. Pengkajian Kasus ............................................................................ 81

B. Masalah Keperawatan ..................................................................... 93

C. Intervensi Keperawatan .................................................................. 94

D. Implementasi .................................................................................. 96

E. Evaluasi .......................................................................................... 102

BAB IV ANALISA SITUASI .......................................................................... 108

A. Profil Lahan Praktik ........................................................................ 108

B. Analisa Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait

dan Konsep Kasus Terkait ............................................................... 112

C. Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan

Penelitian Terkait ............................................................................ 116

D. Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan...................................117

SILAHKAN KUNJUNGI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

KALIMANTAN TIMUR
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kasus kelolaan pada By. TAA dengan diagnosa medis Asfiksia Neonaturum, didapatkan hasil

sebagai berikut :

a. Pengkajian pada By. TAA didapatkan data keluhan utama sesak, terpasang ETT ukuran no 3

dengan Ventilator dengan mode P-CMV dengan P Control 15 cmH2O, RR 40, PEEP 5 FI02

50%, terpasang CVP dan Monitor ECG setiap jam. Tanda vital HR 148 x/menit, Saturasi

Oksigen 97%, Pernafasan 44 x/ menit, Suhu tubuh 38,8 celcius

b. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. S adalah Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d

Obstruksi jalan nafas, Hipertemia b.d penyakitnya / trauma, Resiko Infeksi b.d prosedur infasif,

Risiko gangguan integritas kulit b/d kerusakan mobilitas fisik, Risiko gangguan integritas kulit

b/d kerusakan mobilitas fisik

c. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah bersihan jalan nafas yaitu NOC Airway

Patency. Intervensi yang dilakukan adalah Shallow suction dan chest terapi.

d. Implementasi pada Tn. S dengan diagnosa bersihan jalan nafas berhubungan dengan obtruksi

jalan nafas dilakukan selama tiga hari, tindakan yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang

di susun. Semua intervensi keperawatan diimplementasikan oleh penulis karena sesuai dengan

kondisi pasien.

e. Evaluasi pada masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis dapat

disimpulkan pada hari pertama kedua dan hari ketiga perawatan masalah bersihan jalan nafas

teratasi,

3. Setelah dilakukan teknik shallow suction dan chest terapi menunjukkan bahwa ada terjadi

perubahan tanda vital dari PO2 95 menjadi 100%, Nadi dari 160 menjadi 140 x/menit,

pernafasan juga mengalami perubahan dar 68 x menjadi 40 x / menit. Hal tersebut menjadi

indikator perawat dapat mengevaluasi perubahan dimonitor dan tanda vital terhadap tindakan

shaloow suction dan chest terapi pada bayi diruang NICU.


B. Saran

1. Bagi Perawat

Perawat sebagai edukator dapat memberikan informasi dan pendidikan kesehatan pada orang tua

pasien dengan Asfiksia Neinaturum berupa teknik Chest terapi dan suction terhadap patensi jalan

nafas.

2. Bagi Keluarga Pasien

Diharapkan keluarga pasien dapat memahami dan mendukung pasien selama perawatan itensif

diruang NICU. Diharapkan pasien dapat memahami dan menggunakan teknik chest terapi dan

sentuhan dengan baby oil saat bayi klien terjadi asfiksia

3. Bagi Penulis

Diharapkan dapat memberikan intervensi inovasi lainnya dalam penanganan bersihan jalan nafas

pada bayi.

4. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan rumah sakit dapat meningkatkan mutu pelayanan. Penetapan SOP teknik tindakan

shallow suction dan chest terapi sebagai asuhan keperawatan dengan Airway manajemen pada

kasus bayi

5. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar dan menjadi referensi tambahan sehingga

dapat menerapkan teknik shallow suction dan chest terapi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan

dengan pendekatan Airway Manajemen pada kasus bayi.

6. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan referensi untuk

penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gilstrap, L.C., Hauth, J.C.,Wenstrom, K.D.
(2005). Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC

Dewi, N dkk. (2005). Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Cukup Bulan. Jurnal Berkala
Ilmu Kedokteran vol 37, 143-145

Dewi, Vivian N L. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta : Salemba Medika.

Drew, ( 2008 ). Resusitasi bayi Baru lahir. Jakarta : EGC

Flenady VJ, (2002). Chest Physiothherapy for preventing morbidity in babies extubated from
mechanical ventilation. Cochrane Database

Hidayat, A. Aziz Alimul. (2011). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisa Data.
Jakarta : Salemba Medika.

JNPK-KR/POGI. (2008). Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusui Dini.Jakarta : JNPK-
KR/POGI.

Maggiore, S.M.(2013). Decreasing the Adverse Effects of Endotracheal Suctioning During


Mechanical Ventilation by Changing Practice. Continuing Respiratory Care Education,.
Mattahay, M.A. 2003. Acute Respiratory Distress Syndrome. New York : Marcel Dekker

Manuaba, dkk.( 2010 ). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta : EGC.

_____________(1998). Ilmu Kebidanan penyakit kandungan dan keluarga Berencana untuk


pendidikan Bidan, Penerbit Buku kedokteran EGC

Maryunani, A (2009). Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus, Jakarta: Trans Info
Media

Mochtar, R. (2004). Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC

Mochtar. ( 2011). Sinopsis Obstetri Jilid 2. Jakarta : EGC.

_________ (1988). Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta: EGC

Nofianto, M. Perbedaan Nilai Saturasi Oksigen Berdasarkan Ukuran Kateter Suction Pada Tindakan
Open Suction Di Ruang General Intensive Care Unit RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
(Online), (http://www.unpad.ac.id/archieves/128770. diakses tanggal 2 Agustus 2015, jam
22.15 WITA)

Potter, P.A. dan Perry, A.G. (2009). Fundamental Of Nursing. Buku 3 Edisi 7. Jakarta : Salemba
Medika.

Pritchatd M, (2001). Preoxygenation for tracheal suction in intubated, ventilated newborn infants.
Cochrane data base

Pryor, (1988) Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problem, second edition, London Churchill
Livingstone
Saifuddin A.B (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka

SDKI. (1992 - 2010) Badan Pusat Statistik dipublikasikan di www. Infodokterku.com

Sulistyawati, A,(2010) Asuhan Kebidanan pada Ibu bersalin. Jakarta : Salemba medika

Syaifuddin. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika

Tamsuri, A. (2008). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Pernafasan . Jakarta EGC

Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wiyoto, (2010). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Prosedur Suction dengan Perilaku
Perawat dalam Melakukan Tindakan Suction di ICU Rumah Sakit dr Kariyadi Semarang,
(http:/digilib.unimus.ac.id/gdl.php.mod=browse&op=read-jptunimus-gdl-wiyoto2a2=5560,
diakses tanggal 02 Agustus 2015, jam 19.15

You might also like