Jurnal Filsafat Hukum
Jurnal Filsafat Hukum
Jurnal Filsafat Hukum
Abstract
Most of the legal practices in Indonesia today are still dominated by a positive view of law.
According to the Positivistic stream, law is an order from those who have the authority, as well as set
forth in legal legislation. In this positivistic view of law, judges prioritize aspects of legal certainty,
rather than aspects of justice and legal benefits. Judges in Legal Positivistic teachings are only
mouthpieces of law, judges decide cases based on what is written in the Law. However, this positivistic
teaching received its main criticism from the Sociology of Law school which views that law cannot be
separated from social and human aspects.
The Sociology of Law emphasizes legal discovery as values that live in society. Sociology of Law
does not accept law as an absolute and final institution, but rather is determined by its ability to serve
humans. In the context of that thought, law is always in the process of becoming. Law is an institution
that continuously builds and transforms itself towards a better level of perfection. A glimmer of hope
emerged with the emergence of the latest jurisprudence from the Supreme Court of the Republic of
Indonesia MA-RI No. 395 K / Pid. / 1995. The jurisprudence of the Supreme Court of Indonesia has
opened the horizons of the judges to dare to operationalize sociological aspects in carrying out the
noble task of upholding justice.
Abstrak
Sebagian besar praktik hukum di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pandangan Positivistik
Hukum. Menurut aliran Positivistik, hukum merupakan adalah perintah dari yang mempunyai
wewenang, serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah.Dalam pandangan
positivistik hukum ini, hakim lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, dari pada aspek keadilan
dan kemanfaatan hukum. Hakim dalam ajaran Positivistik Hukum hanya merupakan corong undang-
undang belaka, hakim memustuskan perkara berdasarkan apa yang tertulis dalam Undang-Undang. Akan
tetapi, ajaran Positivistik ini mendapatkan kritikan utamanya dari aliran Sosiologi Hukum yang
memandang bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial dan manusianya.
Aliran Sosiologi Hukum menekankan penemuan hukum sebagai nilai-nialai yang hidup dalam
masyarakat. Sosiologi Hukum tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final,
melainkan sangant ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks
pemikiran tersebut, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang
secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang
lebih baik. Secercah harapan muncul dengan munculnya yurisprudensi terbaru dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia MA-RI No. 395 K/Pid./1995. Yurisprudensi MA-RI tersebut telah membuka
cakrawala para hakim untuk berani mengoperasionalisasikan aspek-aspek sosiologis dalam mengemban
tugas mulia menegakkan keadilan.
2
Indonesia. Sehingga dapat kita lihat bahwa bebas nilai; dalam hal ini peneliti atau pe-
hampir sebagaian putusan Hakim yang ngamat harus bebas dari kepentingan, nilai
dijatuhkan merupakan putusan Hakim dan emosi dalam mengamati objeknya agar
yang sangat beraliran Positivisme Hukum. diper- oleh pengetahuan yang objektif.
Kedua, ilmu pengetahuan harus
Pembahasan
menggunakan metode verifikasi empirik.
3
Bernard L Tanya, 2010, Teori Hukum, Strategi
4
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Gentha Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan
Publishing, Yogyakarta. Hal 26 Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hlm. 130
4
masalah keadilan. Keadailan menurut eksis bukanlah hukum positif. Hukum
Kelsen adalah masalah ilmu politik5. yang eksis adalah hukum yang sungguh-
Dalam kehidupan sehari-hari sungguh ada atau berlaku (positif) dalam
masyarakat Indonsia, secara empiris dapat ruang dan waktu tertentu. Hukum
dirasakan adanya kesenjangan antara dituangkan dalam suatu bentuk konkrit
penegakan hukum dan perwujudan (bentuk tertulis). Karena itu hukum positif
keadilan di tangan hakim. Hal tersebut, tertulis menemukan bentuknya sebagai
membuat menjadikan anggapan bahwa teks-teks yang tertulis. Hukum positif yang
hukum bukanlah sarana dalam mencapai tertulis masih banyak di gunakan karena
keadilan. Pengaruh demikian, merupakan hukumnya pasti, dan jelas, sehingga tidak
efek dari Positivisme Hukum di Indonesia. menimbulkan potensi sengketa tentang
Doktrin positivisme Hukum mendasarkan legalitasnya. Bentuk dari hukum ini adalah
bahwa ssemua orang sama kedudukannya aturan perundang-undangan yang dapat
di dalam hukum, sehingga untuk dapat dibaca semua orang dengan pasti7.
mengukur mengenai konsep keadilan Positivisme hukum yang kedua adalah
adalah berdasakan hukum (Undang- positivisme hukum amalgamasional
Undang) itu sendiri, bukan pada ukuran- merupakan suatu penolakan terhadap
ukuran moral yang tolok ukurnya berbeda- positivisme segregasional. Positivisme ini
beda terhadap sesuatu yang adil. Keadilan muncul, karena adanya tradisi pengakuan
ada dalam Undang-Undang yag mewujud terhadap keseluruhan komponen hukum
dalam sanksi, hal yang harus atau tidak tertulis dan keseluruhan komponen tidak
boleh dilakukan6. tertulis sebagai hukum positif. Tesis ini
Secara teori, tesis positivisme hukum berusaha mengungkap pandangan
ada dua macam yaitu tesis positivisme kefilsafatan tentang hukum dalam cara-
hukum segresasional dan tesis positivisme cara yang lebih luas. Tesis ini
amalgamamasional. Tesis segresasional mengusahakan ius positum (hukum
adalah pemisahan antara dua dunia, hukum positif), dengan memisahkan mana hukum
dalam pengertian eksis dan hukum dalam positif mana hukum alam. Positif dalam
pengertian non eksis. Hukum yang eksis amalgamasional berintikan asumsi-asumsi
adalah hukum yang dianalogikan dengan fundamental tertentu, yang keseluruhannya
hukum positif, maka hukum yang tidak diasumsikan sebagai hal yang sudah benar
5
Ibid. Hal 133
6 7
Herman Bakir, 2007, Filsafat Hukum Desain dan H. R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori
Arsitektur Kesejahteraan, Cetakan I, PT. Refika Hukum, 2007, Cetakan III, PT. Refika Aditama,
Aditama, Bandung, Hal 34 Bandung. Hal 72-73
5
dengan sendirinya, tidak memerlukan menitik beratkan pada materi ilmu hukum
pengujian atau verifikasi8. yang normatif ini juga sangat akan
Posisi hakim dalam paradigma berpengaruh pada pembentukan sikap dan
Positivisme Hukum ini adalah bahwa perilaku para hakim dalam memutus suatu
hakim hanya sebagai corong Undang- perkara9.
Undang saja, hakim tidak dapt membuat Bukti nyata bahwa praktik hukum kita
hukum sendiri di luar Undang-Undang. cenderung mengarah pada hukum yang
Segala putusan hakim tidak boleh positivistik-legalistik adalah pada kasus-
bertentangan dengan apa yang telah kasus seperti kasus Nenek Minah, kasus
dituliskan dalam Undang-Undang. Fidelis Ari dan kakek Samirin yang lebih
Kebebasan hakim terbatas sepanjang hanya mengedepankan aspek kepastian hukum
menafsirkan apa yang ditulis dalam dan mengabaikan aspek keadilan dan
Undang-Undang. pertimbangan kemanfaatan yang ada dalam
hukum. Nenek Minah yang telah berumur
2. Kritik Sosiologi Hukum Atas
72 tahun tetap dinyatakan bersalah meski
Penerapan Positivisme Hukum
hanya mengambil 3 buah kakao seharga 17
Beberapa pengamat masalah peradilan ribu rupiah. Kasus Fidelis Ari yang
di Indonesia, termasuk penulis, menangkap menanam pohon ganja di rumahnya demi
kesan bahwa pihak-pihak yang terlibat mengobati istrinya yang menderita kanker
dalam proses peradilan terutama hakim, juga dinyatakan bersalah dan dihukum
cenderung terlalu legalistis dalam dengan hukuman kurungan. Saat di dalam
menjalankan tugasnya, dalam arti ada penjara, kondisi istrinya semakin
kecenderungan terpaku pada ketentuan memburuk dan akhirnya meninggal dunia.
undang-undang dan prosedur sehingga Dua fenomena kasus tersebut hanyalah
sering kali mengabaikan nilai-nilai sebagian kecil contoh kasus bagaimana
keadilan dari aspek humanistis atau aspek ajaran Positivistik di dalam praktik hukum
sosiologis. di Indonesia menimbulkan permasalahan
Sementara itu, pendidikan hukum keadilan bagi rakyat kecil.
yang ada sekarang ini terdapat Kritik terhadap Positivisme hukum ini
kecenderungan menghasilkan produk yang dikemukakan oleh pandangan Sosiologi
mendukung sistem hukum yang cenderng Hukum, Nonet dan Selznick. Menurut
mengarah pada Positivisme hukum. pendapatnya, sosiologi hukum tidak bisa
Pendidikan hukum yang kecenderungan 9
Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung:
8
Ibid, Hal 75 Mandar Maju, 2010, hlm. 24
6
dilepaskan dari aspek normatifnya hidup dalam masyarakat. Sosiologi Hukum
Undang-undang merupakan produk dan tidak menerima hukum sebagai institusi
bidang kajian normatif, namun dapat pula yang mutlak serta final, melainkan sangant
dikaji dari aspek sosiologinya, misalnya ditentukan oleh kemampuannya untuk
berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas mengabdi kepada manusia. Dalam konteks
berlakunya suatu ketentuan (normatif) pemikiran tersebut, hukum selalu berada
dalam masyarakat10. dalam proses untuk terus menjadi. Hukum
Aspek normatif tetap diperlukan adalah institusi yang secara terus menerus
sepanjang menyangkut prosedur dan dasar- membangun dan mengubah dirinya menuju
dasar konstitusional. Demikian pula pada kepada tingkat kesempurnaan yang lebih
saat hakim menjatuhkan keputusan yang baik. Kualitas kesempurnaannya dapat
biasanya merupakan lahan normatif diverifikasikan ke dalam faktor-faktor
sebagai dasarpertimbangannya. Dalam hal keadilan, kesejahteraaan, kepedulian
demikian aspek sosiologis seperti kepada rakyat dan lain-lain12.
riwayat/latar belakang pelaku dan korban, Karena kehadiran hukum dikaitkan
akan sangat membantu hakim dalam pada tujuan sosialnya, maka Sosiologi
menentukan sanksi yang tepat. Penegak hukum juga dekat dengan sociological
hukum di Indonesia cenderung bersikap jurisprudence dari Roscoe Pound. Pound
positivistik-legalistis. Akan tetapi, menolak studi hukum sebagai studi tentang
Sekalipun dalam sistem perundang- peraturan-peraturan, melainkan keluar dari
undangannya memungkunkan hakim untuk situ dan melihat efek hukum serta
menyelesaikan kasus-kasus dengan bekerjanya hukum. Dikatakan oleh Pound,
pendekatan sosiologis, namun dalam “…. to enable and to compel law making,
praktek peradilan sebagian besar dari and also interpretation and application of
aparat penegak hukum, khususnya hakim, legal rules, to make more account, and
cenderung bersikap “demi amannya” more intelligent account, of the social facts
berpegang secara kaku pada pendekatan upon which law must proceed and to
positivistik-legalistik11. which it is to be applied….”13
Aliran Sosiologi Hukum menekankan Secercah harapan muncul dengan
penemuan hukum sebagai nilai-nialai yang munculnya yurisprudensi terbaru dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia
10
Al. Wisnubroto. Hakim Dan Peradilan Di
Indonesia Dalam Beberapa Aspek Kajian. 1996, yang memuat ajaran baru tentang
hlm: 80
11 12
Satjipto Raharjo. Hukum Progresif (Sebuah Ibid, hal 9
13
Sintesa Hukum Indonesia). 2009, hlm. 5 Theo Huijbers, Loc Cit, hlm. 122
7
penafsiran aturan kolonial. Dalam putusan Posisi hakim dalam paradigma
MA-RI No. 395 K/Pid./1995 atas nama Positivisme Hukum ini adalah bahwa
terdakwa Dr. Mochtar Pakpahan, S.H., hakim hanya sebagai corong Undang-
MA. antara lain memuat ajaran penafsiran Undang saja, hakim tidak dapt membuat
yang yuridis sosiologis. hukum sendiri di luar Undang-Undang.
Isi putusan tersebut menyatakan Segala putusan hakim tidak boleh
bahwa “
bertentangan dengan apa yang telah
Bahwa seharusnya dalam setiap
keputusannya, hakim menerapkan Undang- dituliskan dalam Undang-Undang.
undang dan sekaligus menciptakan hukum
yang merupakan gabungan antara keputusan Kebebasan hakim terbatas sepanjang hanya
yang berpola pikir berdasarkan sistem dan menafsirkan apa yang ditulis dalam
keputusan yang berpola pikir pada masalah
atau problem (sosial) yang konkrit yang harus Undang-Undang.
diputus ;
Bahwa dalam melakukan penafsiran Hal tersebut, menuai kritik dari
dalam zaman yang berkembang pesat paradigma Sosiologi Hukum karena hakim
sekarang ini, hakim tidak mencari hasil dari
mendeduksi dengan menggunakan logika dan mengabaikan aspek Keadilan dan
undang-undang yang bersifat umum dan
abstrak, akan tetapi dari resultante dari Kemanfaatan dalam memutus perkara.
perbuatan menimbang semua kepentingan Sehingga tujuan hukum dalam mencapai
dari nilai-nilai dalam sengketa”
Yurisprudensi MA-RI tersebut telah keadilan, seperti dalam kasus Nenek
membuka cakrawala para hakim untuk Minah dan Fidelis Ari akan sulit tercapai.
8
Daftar Pustaka