Naskah Publikasi
Naskah Publikasi
Naskah Publikasi
15513061
ABSTRACT
The two-wheeled vehicle workshops in Gunung Kidul Regency is one of the business that
produce hazardous waste (B3). This topic was taken as a title of research to find out number
of generation and composition of hazardous waste produced and management was carried
out by workshop managers in 15 sub-districts in Gunung Kidul Regency. The results used to
analyze the management of hazardous waste based on regulations set by government. The
accumulation of lubricant waste and the bottles are measured based on SNI 19-3964-1994
about Method for Taking and Measuring Waste generation and Composition of Urban. The
weight and volume of waste are measured every day then recorded. Moreover to make sure
the justification for the obedience of the workshop by giving questionnaire and assessment
based on Kep. Bapedal nomor 3 tahun 1998 for Criteria and Procedures for Hazardous Waste
Management. The results showed average generation volume of hazardous waste on the
workshop in Gunung Kidul Regency was 55,04 liter/workshop/day and the weight 52,73
kg/workshop/day. The average lubricant bottles generation was 164,36 liter/workshop/day and
weight 13,8 kg/workshop/day. While the assessment sheets result showed that the workshops
in Gunung Kidul got average value of 16,63% which means only the small part of them that
require this assessment.
Sepeda motor adalah salah satu jenis transportasi yang paling populer di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada tahun 2015 terdapat 121,39 juta unit
kendaraan bermotor dengan jumlah sepeda motor sebesar 98,88 juta unit (81,5 persen). Di
Gunung Kidul jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2017 mengalami peningkatan yang
signifikan. Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD) Gunung Kidul mencatat pada 2018 lalu
jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat bertambah sebanyak 15.000 unit
kendaraan bermotor. Sedangkan jumlah pertambahan kendaraan bermotor baik roda dua
maupun empat rata-rata tiap bulan mencapai 1.000- 1.200 unit (Aditya, 2019). Jumlah
kendaraan ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahun seiring dengan pertumbuhan
jumlah penduduk. Pemakaian intensif terhadap sepeda motor akan mengakibatkan motor
mengalami penurunan performa sehingga dibutuhkan upaya perawatan baik secara berkala
maupun kondisional.
Banyaknya jumlah motor menyebabkan banyaknya perawatan yang dilakukan di
bengkel sehingga menimbulkan limbah yang berpotensi mencemari lingkungan satunya oli
bekas yang merupakan limbah B3, karena oli bekas dapat menyebabkan tanah menjadi
tandus dan kehilangan unsur haranya. (Bawamenewi, 2015). Tanah yang tercemar oleh
limbah pelumas dapat mempengaruhi kualitas hidrosfer pada sumber air minum dan
ekosistem aquatik. Diseluruh dunia, kontaminasi di bawah permukaan telah menjadi masalah
yang menyebar luas dan meresap. Masalah utama pada remediasi tanah atau air tanah yakni
menghilangkan kandungan organik hidrofobik. Nonaqeaous Phase Liquids (NAPLs) biasanya
asuk ke zona tidak jenuh sebgaia fase cairan diskrit, yang bergerak secara gravitasi dan
menyusup melalui kapiler (Moghny, 2012). Persoalannya adalah bagaimana nantinya limbah
minyak pelumas tersebut akan diolah setelah pemakaiannya, dimana limbah minyak pelumas
termasuk dalam limbah bahan berbahaya dan beracun, karena karakteristik dari limbah
tersebut yang berbahaya bagi lingkungan maupun makhluk hidup maka diperlukan
pengelolaan yang baik. Limbah minyak pelumas mengandung komponen logam berat,
Polychlorinated Biphenyls (PCBs), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs), komponen-
komponen tersebut mengandung sifat beracun tinggi saat terlepas ke lingkungan, terutama
pada perairan dikarenakan dapat menyebabkan terhalangnya sinar matahari dan oksigen dari
atmosfer ke air, proses ini dapat mengakibatkan efek yang berbahaya bagi makhluk hidup di
air. Dalam pengelolaan di tingkat daerah sendiri telah dilaksanakan otonomi daerah sebagai
tugas Pemerintah Pusat diberikan kepada Pemerintah Daerah, kewenangan dari pemerintah
daerah diketahui di berbagai aspek pemerintahan dan pembangunan dirumuskan dalam
Peraturan Pemerintah tersebut termasuk kewenangan dalam pengelolaan dan pengendalian
lingkungan hidup.
b) METODE PENELITIAN
Penelitian bertujuan untuk memperoleh data terkait timbulan limbah B3, baik oli,
kemasan bekas oli maupun majun serta kesesuaian antara peraturan yang ada dibandingkan
dengan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak bengkel sekarang
2.1 Cara Kerja
Untuk melaksanakan penelitian ini, ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam
menganalisis pengelolaan limbah B3. Berikut skema kerangka penelitian pada gambar 1 :
Data yang diolah berupa data sekunder yang berasal dari instansi terkait sedangkan data
sekunder didapat dari pengukuran timbulan limbah di setiap kecamatan di Kabupaten Gunung
Kidul sesuai dengan SNI-3964-1994 untuk mengetahui timbulan terbesar sampai terkecil
sedangkan data dari lembar penilaian (assessment) dari lampiran Kep. Bapedal no. 3 tahun
1998 dan kuisioner digunakan untuk menganalisis pengelolaan sesuai regulasi yang berlaku.
Berikut ini adalah timbulan limbah oli bekas dalam satuan kilogram maupun liter yang
diukur di setiap kecamatan dan dicatat sesuai dengan jumlah limbah oli yang ada pada saat
pengukuran dilakukan setiap harinya yakni sebagai berikut:
14,00
12,00
liter/bengkel/hari
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
Dari Gambar 2 dapat dilihat rata-rata timbulan oli bekas setiap berkisar 1-3 liter setiap harinya.
Rata-rata timbulan terbesar terdapat di Kecamatan Wonosari dengan volume 12,18 liter/hari.
Daerah ini merupakan ibukota kabupaten sehingga memiliki jumlah penduduk terbanyak
menurut data BPS 2017 yaitu sebanyak 84.257 jiwa dengan fasilitas komersial terpusat
didaerah ini termasuk bengkel motor menyebabkan jumlah pelanggannya paling banyak.
Sedangkan bengkel dengan timbulan terendah berada di Kecamatan Panggang, hal ini
dikarenakan bengkel ini masih baru sehingga belum terlalu banyak masyarakat yang
mengetahui. Selain itu kepadatan penduduk di daerah ini tergolong rendah sehingga jumlah
pelanggannya sedikit.
12,00
10,00
kg/bengkel/hari
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
Berikut ini adalah timbulan limbah botol oli dalam satuan kilogram maupun liter.
Timbulan ini didapat dari pengukuran langsung di lapangan selama 8 hari berdasarkan sampel
yang ada di lapangan sebagai berikut :
1,80
1,60
1,40
kg/liter/hari
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
100,00
80,00 164,36
60,00
40,00
55,04
20,00
0,00
Oli Bekas Volume Botol
Hasil analisis menunjukkan rata-rata timbulan volume oli di Kabupaten Gunung Kidul Sebesar
55,04 liter/hari. Sedangkan volume botol oli sebesar 164,36 liter/hari. Timbulan botol lebih
besar daripada timbulan oli dikarenakan botol (kemasan bekas) disimpan pada wadah tanpa
adanya faktor kompaksi. Botol langsung disimpan di dalam wadah (kardus, keranjang maupun
di gudang) tanpa perlakuan kompaksi, hal ini dilakukan karena botol tersebut akan dijual
kembali baik digunakan sebagai kemasan oli kembali maupun dilebur kembali untuk dijadikan
perabot berbahan plastik seperti keranjang, ember dan sebagainya.
60,00
50,00
40,00
(kg/hari
30,00
52,73 Berat
20,00
10,00
13,80
0,00
Berat botol oli (kg) Berat Oli Bekas (kg)
Dari gambar 4.7 dapat diketahui bahwa berat botol oli sebesar 13,8 kg/hari dan berat oli bekas
sebesar 52,73 kg/hari. Berat oli lebih besar daripada berat kemasan oli tersebut. Hal ini karena
berat sebuah botol kosong memiliki berat sekitar 0,08-0,1 kg sementara olinya dengan volume
0,8 l memiliki berat sekitar 0,59 kg.
3.5 Analisis Pengelolaan Limbah B3
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan instrumen yaitu kuisioner dan lembar
penilaian (assessment). Kuisioner disusun berdasarkan poin-poin penting dari PP nomor 101
tahun 2014 dan Kep. Bapedal No.1 tahun 1995 yang dibagikan ke tiap-tiap bengkel dan diisi
oleh pemilik bengkel. Hal ini untuk mengukur tingkat pemahaman pelaku usaha dalam
manajemen limbah B3. Ada 4 aspek yang dinilai yaitu pengetahuan dasar, pewadahan limbah
B3, penyimpananan dan pengangkutan. Sedangkan penilaian (assessment) disusun
berdasarkan lampiran Kep. Bapedal no. 3 tahun 1998, diisi berdasarkan pengamatan selama
melakukan pengambilan data di bengkel berdasarkan aspek pewadahan, penyimpanan dan
pengangkutan limbah B3 yang kemudian akan dihitung perolehan
persentasenya.Pengetahuan Limbah B3
a) Pengetahuan Limbah B3
Berdasarkan hasil dari kuisioner dapat dilihat bahwa pelaku usaha perbengkelan
sebagian besar belum memahami mengenai Limbah B3 dan dampaknya bagi lingkungan
sehingga pengelolaannya terabaikan dan belum sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada
bengkel dealer biasanya limbah sudah ditempatkan terpisah dengan area kerja dan sudah
memiliki dokumen perizinan limbah B3. Oli bekas yang dihasilkan juga diangkut oleh industri
dari luar daerah untuk dimanfaatkan dan telah memiliki dokumen perizinan. Sedangkan
bengkel umum masih banyak bengkel yang memenuhi turan yang berlaku, biasanya limbah
B3 hanya ditempatkan di wadah yang tidak sesuai dengan standar.
Dari hasil yang didapat, tidak ada upaya pengurangan secara khusus dilakukan oleh
bengkel. Biasanya hanya menyesuaikan kebutuhan oli sesuai jumlah pelanggan yang datang
untuk melakukan penggantian oli. Kemudian oli bekasnya disimpan didalam wadah khusus
baik jeriken, drum maupun groundtank. Sedangkan botol biasanya diletakkan didalam kardus
kemasan untuk diangkut oleh pengepul. Sedangkan untuk majun atau kain lap biasanya
jarang sekali dibuang ketempat sampah namun setelah dipakai dicuci menggunakan air
sabun untuk digunakan kembali. Upaya pemilahan biasanya sudah dilakukan dengan maksud
untuk memudahkan pengepul baik oli bekas maupun botolnya diletakkan di wadah yang
berbeda untuk memudahkan pengangkutan. Meskipun di beberapa bengkel umum botol oli
masih dibuang dikeranjang sampah yang bercampur dengan sampah domestik.
b) Pewadahan Limbah B3
Berdasarkan pengamatan yang diperoleh dari lapangan diketahui bahwa beberapa
bengkel memiliki tatacara khusus pewadahan limbah B3 sesuai peraturan, baik
menggunakan groundtank maupun drum. Groundtank terdapat pada bengkel dealer
sedangkan drum digunakan di bengkel umum berskala besar yang jumlah pelanggannya
cukup banyak. Dari bahan yang digunakan, groundtank terbuat dari plastik dan juga ada
yang dari beton yang sudah sesuai dengan Kep. Bapedal No.1 Tahun 1995. Kebanyakan
bengkel umum menggunakan wadah berupa drum oli yang berbahan logam dengan
kapasitas 200 liter. Namun ada beberapa bengkel yang menggunakan peralatan seadanya
seperti jeriken dan ember plastik. Bengkel ini biasanya jumlah pelanggan yang melakukan
ganti oli sedikit jumlahnya. Kebanyakan dari bengkel yang menggunakan wadah dilengkapi
dengan tutup atau tidak tertutup rapat. Hal ini memperbesar resiko limbah tumpah ke
lingkungan ataupun tercecer. Selain itu penutup juga berfungsi melindungi limbah dari
masuknya zat atau material lain yang dapat bereaksi atau menyebabkan perubahan
kandungan pada limbah tersebut terutama oli bekas, Menurut Riyanto (2013) kemasan
dapat terbuat dari bahan plastik (HDPE, PP atau PVC) atau bahan logam (teflon, baja
karbon, SS304, SS316 atau SS440) dengan syarat material wadah yang digunakan
tersebut tidak bereaksi dengan limbah B3 yang disimpan. Dalam pewadahan ini tidak
terdapat bengkel yang memberikan simbol dan label pada limbah yang mereka simpan
sebagaimana mestinya sehingga dapat memberikan informasi terkait limbah tersebut dan
karakteristiknya dan memudahkan dalam penyimpanan dan pengankutan
c) Penyimpanan Limbah B3
d) Pengangkutan Limbah B3
Berdasarkan informasi yang didapat melalui kuisioner dapat dilihat bahwa limbah B3
yang dihasilkan dari bengkel seperti oli bekas dan botol oli bekas diserahkan kepada pihak
ketiga untuk dimanfaatkan, sedangkan majun biasanya dibersihkan setelah dipakai untuk
digunakan kembali. Pemanfaatan oli bekas sendiri di Kabupaten Gunung Kidul dimanfaatkan
untuk industri pengolahan aspal, industri pengolahan alat masak, peternakan maupun
perorangan seperti tukang kayu. Sedangkan botol oli dikumpulkan oleh pengepul untuk
biasanya dilebur untuk dijadikan alat-alat rumah tangga seperti ember, keranjang dan lain-
lain. Untuk bengkel dealer, biasanya menyerahkan limbah kepada pihak ketiga yang telah
memliki izin dan sudah mengurus administrasi pada awal memulai usaha, sedangkan bengkel
umum menyerahkan limbahnya kepada pihak ketiga yang tidak memiliki izin.
Dari lembar kuisioner itu juga didapatkan informasi bahwa pihak yang mengangkut
limbah oli dan botolnya belum memiliki izin dan pemilik tidak pernah merasa diberikan atau
diperlihatkan dokumen mengenai pengangkutan limbah B3. Menurut penelitian Halifa (2019),
pengelolaan limbah kendaraan bermotor roda dua di Kecamatana Mamajang, Kota Makassar
cenderung kurang baik, hal tersebut dikarenakan banyak kegiatan pengelolaan yang belum
direalisasikan oleh mekanik atau pihak bengkel dalam hal ini PP No.101/2014, misalnya
kondisi perilaku pengelolaan limbah padat di Kecamatan Mamajang, proses reduksi tidak
dilakukan, proses pengumpulan tidak dilakukan, proses pemilahan tidak dilakukan dan proses
pemanfaatan tidak dilakukan.
Penilaian dilakukan dengan mengacu kepada Kep. Bapedal no. 3 tahun 1998 tentang
Kriteria dan Tatalaksana Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Secara umum ada
lima kelompok besar yang dinilai yaitu umum, identifikasi limbah B3, minimisasi, penyimpanan
sementara dan pengolahan
Nilai diperoleh
Bengkel Keterangan
(dalam %)
Apabila dilihat dari perolehan nilainya, bengkel yang mendapat penilaian tertinggi yaitu
bengkel 1 yang terletak di Kecamatan Wonosari dengan perolehan nilai sebesar 33,5 %
dimana tingkat ketaatan tergolong kedalam kategori hampir setegahnya terhadap peraturan
yang telah ditetapkan. Sedangkan nilai terendah didapat oleh bengkel 9 yang terletak di
Kecamatan Panggang dengan perolehan sebesar 10,5 % dimana kategorinya tergolong
sebagian kecil saja yang memenuhi peraturan yang ada. Rata-rata nilai yang didapat oleh
seluruh bengke di Kabupaten Gunung Kidul ini sebesar 16,63 % dimana tingkat ketaatan
hanya sebagian kecil terhadap aturan yang berlaku.
b) KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pembahasan yang telah di paparkan sebelumnya, maka dapat
di tarik kesimpulan yaitu :
1. Rata-rata timbulan oli bekas pada bengkel di Kabupaten Gunung Kidul sebesar
55,04 liter/bengkel/hari. Sedangkan rata-rata timbulan botol oli sebesar 13,80
kg/bengkel/hari.
2. 2. Pengelolaan limbah B3 dari aktivitas perbengkelan mendapatkan nilai
persentase sebesar 16,63 % yang artinya sebagian kecil memenuhi kriteria yang
ditetapkan dalam Lampiran Kep. Bapedal no.3 tahun 1998. Bengkel dealer sudah
lebih baik dalam pengelolaan limbah dan mendekati predikat baik. Sedangkan
pada bengkel umum masih banyak aspek yang belum dipenuhi sesuai peraturan
baik dari segi pewadahan, belum menggunakan wadah yang mempunyai penutup
kuat. Dari segi penyimpanan masih banyak bengkel yang menyimpan limbah satu
tempat dengan area kerja. Dari segi pengangkutan belum ada izin dari instansi
terkait untuk mengangkut limbah B3.
3. Rekomendasi pengelolaan limbah B3 baik dari segi pengetahuan, pewadahan,
penyimpanan maupun pengangkutan. Pengetahuan pelaku usaha perbengkelan
hendaknya diberikan sosialisasi manajemen limbah B3 agar bisa mengelola
limbahnya dengan baik dan benar. Dari segi pewadahan dilakukan menggunakan
minimal drum berbahan dasar logam dan wadah kedap air untuk botol oli baik
berbahan plastik maupun logam untuk mencegah sisa oli tercecer dilengkapi
simbol dan label. Dari aspek penyimpanan limbah B3 diletakkan di tempat yang
terlindungi dari panas dan hujan serta memiliki penutup yang kuat. Selain itu
hendaknya perlu adanya pengadaan alat pemadam kebakaran oleh pengelola
bengkel.
4.2 Saran
1. Penelitian ini merupakan awal penelitian timbulan dan pengelolaan oli bekas dari
bengkel di Kabupaten Gunung Kidul. Sampel yang diambil merupakan gambaran dari
timbulan limbah yang ada di 15 Kecamatan. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi
bahan rujukan untuk penelitian berikutnya yang bertujuan merancang sistem dan
fasilitas pengelolaan Limbah B3 dari aktivitas perbengkelan secara lengkap.
2. 2. Dinas Lingkungan Hidup berkoordinasi dengan Pemerintah daerah dalam hal
ini bupati/walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara daerah perlu
memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya pelaku usaha perbengkelan
untuk mengetahui pentingnya pengelolaan limbah B3 untuk meminimalisir
pencemaran terhadap lingkungan. Bisa dilakukan dengan pengadaan sosialisasi
manajemen limbah minimal memperkuat aspek pewadahan agar menggunakan
wadah yang sesuai dengan ketentuan dan aspek penyimpanan agar limbah dapat
dipisahkan dari area kerja dan diletakkan di ruangan yang bias melindungi limbah dari
panas dan hujan.
3. Pelaku usaha sebaiknya menyediakan wadah khusus untuk menampung limbah oli
yang sesuai dengan ketentuan untuk mencegah ceceran atau tumpahnya limbah ke
lingkungan serta menempatkan limbah di ruangan yag bisa melindungi limbah dari
paparan sinar matahari dan hujan. Selain itu botol oli juga hendaknya tidak dicampur
dengan sampah domestik karena menyebabkan sampah domestik terkontaminasi
limbah B3, bisa dengan cara menempatkannya pada keranjang atau wadah yang tidak
tembus cairan. Untuk menghindari resiko kebakaran yang rentan terjadi pada
bengkel, sebaiknya pelaku usaha juga menyediakan alat pemadam kebakaran
minimal APAR.
c) DAFTAR PUSTAKA