31-Article Text-417-1-10-20210731

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

IJGD: Indonesian Journal of Global Discourse e-ISSN 2775-0205

Vol. 3 Ed.1. Pages 35 - 54, January - June 2021 p-ISSN 2776-348X

Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Pengajuan dan Penerapan


Traffic Seperation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok

Muhammad Royyan Fadli1, Ismah Rustam1, Ahmad Mubarak Munir1


1
Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Mataram, NTB, Indonesia
1
Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Mataram, NTB, Indonesia
1
Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Mataram, NTB, Indonesia
fadliroyyan2@gmail.com

ABSTRACT
This paper will discuss the motives behind the proposed and implementation of the Traffic
Separation Scheme (TSS) in the Sunda and Lombok Strait during the first period of Joko
Widodo's reign. During the first period of Joko Widodo's administration, Indonesia submitted a
proposal for implementing TSS to the International Maritime Organization (IMO) in 2017. This
policy is one of several policies of the Indonesian government in the actualization of the vision of
the Global Maritime Nexus (GMN). The two straits, both the Sunda Strait and the Lombok Strait,
are considered to have the potential to develop into a busier world shipping route due to their
advantages and geostrategic values. In addition to improving shipping safety, applying and
applying for a TSS cannot be separated from the aspects of legitimacy, identity and international
norms as the motive, based on constructivism. This research uses the following data collection
technique: interview, documentation and library study that compiles both primary and secondary
data. This research also uses Miles & Huberman’s three stages of data analysis namely, data
reduction, data display and drawing conclusions. This research concludes that identities and
norms can influence state policies, in this case the submission and implementation of TSS in
the Sunda and Lombok Strait.

Keywords: Global Maritime Nexus, Identity, Lombok Strait, Norms, Sunda Strait, TSS.

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi diajukan dan
diterapkannya Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok pada masa
pemerintahan Joko Widodo periode pertama. Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo
periode pertama mengajukan proposal penerapan TSS kepada International Maritime
Organization (IMO) tepatnya pada tahun 2017. Kebijakan ini merupakan salah satu dari
beberapa kebijakan pemerintah Indonesia dalam aktualisasi dari visi Poros Maritim Dunia
(PMD). Kedua selat, baik Selat Sunda dan Selat Lombok dipandang memiliki potensi untuk
berkembang menjadi jalur pelayaran dunia yang lebih ramai dikarenakan kelebihan-kelebihan
dan nilai geostrategis yang dimiliki. Disamping demi meningkatkan keselamatan pelayaran,
pengajuan dan penerapan TSS juga tidak lepas dari aspek legitimasi, identitas, dan norma
internasional sebagai motifnya, berdasarkan konstruktivisme. Teknik pengumpulan data yang
digunakan penulis adalah metode wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka yang
menggabungkan data primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan tiga langkah analisis
data menurut Miles & Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Penelitian menyimpulkan bagaimana identitas dan norma dapat mempengaruhi kebijakan
negara yang dalam kasus ini adalah pengajuan dan penerapan TSS di Selat Sunda dan Selat
Lombok.

Kata Kunci: Identitas, Norma, Poros Maritim Dunia, Selat Lombok, Selat Sunda, TSS.

35
Muhammad Royyan Fadli

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia terdiri dari
17.506 pulau dan luas wilayah lebih dari 7.7 juta km², yang 2/3 bagiannya merupakan
perairan seluas lebih dari 5.8 juta km², dengan garis pantai sepanjang lebih dari 81.000
km², dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil. Laut Indonesia juga kaya
akan berbagai jenis hasil laut dan sumber daya alam. Dari hasil laut, Indonesia mampu
memproduksi sebesar 5 juta ton/tahun dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain
kaya akan berbagai jenis ikan, dasar laut wilayahnya menyimpan ribuan bahan
tambang. Dengan posisi yang strategis, wilayah laut Indonesia menjadi bagian dari
jalur transportasi laut dunia dan juga berpotensi besar untuk pengembangan wisata
bahari. Wilayah Indonesia adalah persimpangan bagi kapal dari Dunia Barat yang ingin
ke timur dan kapal Dunia Timur yang ingin ke barat. Selain itu, Indonesia juga memiliki
beberapa Choke Points (titik perlintasan) strategis bagi jalur pelayaran dunia, seperti
Selat Malaka, Selat Makasar, Selat Sunda dan Selat Lombok (Juliawati, 2018, p.
1389).
Melihat potensi-potensi tersebut, memiliki cita-cita sebagai negara maritim yang
memiliki kekuatan secara ekonomi dan keamanan tentunya menjadi hal yang sangat
wajar, dan memang seharusnya dicita-citakan dan diwujudkan. Sehubungan dengan
itu, Indonesia sejak terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden, mulai menarik fokus ke
arah maritim. Tidak hanya sampai disitu, Presiden Joko Widodo bahkan
mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dalam kampanyenya. Poros
Maritim Dunia sendiri, merupakan konsep yang disampaikan Presiden Jokowi pada
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur, di Naypyidaw Myanmar pada tanggal 13
November 2014. Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara
maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia
sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim,
memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia
(Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo), 2016).
Indonesia perlu melakukan pembangunan secara masif untuk menjadi negara
Poros Maritim Dunia, yang meliputi pembangunan maritim dari aspek infrastruktur,
politik, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi. Penegakan kedaulatan
wilayah laut NKRI, revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan
pengembangan konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi
biodiversity, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan, merupakan
program-program utama dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Konsep serupa telah terlebih dahulu diterapkan Jepang dan India dengan
konsep Confluence of the Two Seas pada tahun 2007, disusul Amerika Serikat dengan
Rebalancing Toward Asia pada tahun 2011, dan Tiongkok dengan Jalur Sutra Maritim
Abad ke-21 di tahun 2013. Keempat kekuatan besar tersebut berkompetisi di kawasan
Indo-Pasifik (Yani & Montratama, 2018, p. 25).
Dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Presiden Joko
Widodo mencanangkan lima pilar utama dalam mewujudkan cita-cita Indonesia
sebagai poros maritim dunia. Lima pilar ini diantaranya:

36
Muhammad Royyan Fadli

1. Pilar pertama: Pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.


2. Pilar kedua: Berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan
fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri
perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.
3. Pilar ketiga: Komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas
maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri
perkapalan, serta pariwisata maritim.
4. Pilar keempat: Diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk
bekerja sama pada bidang kelautan
5. Pilar kelima: Membangun kekuatan pertahanan maritim (Pregiwati, 2019).
Dibalik besarnya peluang yang dimiliki Indonesia di sektor maritim, pelaksanaan
wacana tersebut tentu tidak lepas dari berbagai tantangan yang akan dihadapi, mulai
dari sisi sumber daya manusia, infrastruktur yang belum memadai, baik dari segi
keamanan maupun produksi, ketersediaan dana dalam pembangunan dan lain
sebagainya, yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, salah satunya
masalah keamanan. Kesejahteraan ekonomi kelautan tidak akan bisa dicapai apabila
tidak didukung oleh keamanan maritim. Begitupula sektor keamanan maritim, akan sulit
dicapai apabila tidak terdapat kesejahteraan ekonomi. Upaya mengelola keamanan
maritim merupakan kunci bagi negara untuk meningkatkan kesejahteraan dan
pertumbuhan ekonomi. Aspek ekonomi dan keamanan dalam paradigma maritim
merupakan hal yang berkaitan dan saling mendukung (Syahrin, 2018, p. 3).
Serangkaian kebijakan terkait penguatan keamanan di sektor maritim kemudian
dicanangkan, salah satu langkah konkret yang dapat kita lihat adalah pengajuan
proposal penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Lombok dan Selat
Sunda kepada IMO.
TSS adalah salah satu mekanisme pengarahan kapal melalui rute yang
diatur/diwajibkan ke daerah laut tertentu untuk mengurangi resiko tabrakan, kandas
dan kecelakaan lainnya. Ada beberapa routeing system selain TSS, namun TSS
adalah sistem yang diutamakan dikarenakan TSS telah menjadi subjek regulasi di
bawah konvensi internasional dan disarankan dalam konvensi internasional (Plant,
1985). Penerapan TSS dimaksudkan untuk mengurangi pertemuan kapal secara
berhadapan dikarenakan overtaking. Adanya TSS akan memisahkan arus lalu lintas
yang berlawanan menjadi jalur dengan garis pemisah/zona pemisah di tengah-
tengahnya. Skema rata-rata dari TSS biasanya memiliki panjang 12 mil dengan zona
pemisah selebar 3 mil hingga 6 mil.
TSS awalnya diterapkan lewat inisiatif IMO setelah beberapa kecelakaan yang
tidak dapat diantisipasi seperti tabrakan Andrea Doria di tahun 1956, kandasnya kapal
Torrey Canyon di tahun 1967, dan tabrakan ganda yang melibatkan dua kapal besar di
Selat Dovers pada tahun 1971. Penerapan TSS kemudian meluas pada tahun 1970an
dan digabungkan dengan UNCLOS. Penggunaannya di beberapa tempat kemudian
dapat mengurangi angka kecelakaan dan hal ini menunjukkan efektifitas sistem TSS ini
sendiri (Plant, 1985, p. 134). Salah satu bukti efektifitas TSS adalah studi yang
dilakukan oleh International Association of Institutes of Navigation (IAIN) pada tahun
1981 yang mencatat bahwa antara tahun 1956 dan 1960 terjadi 60 tabrakan di Selat
Dover sedangkan dua puluh tahun kemudian, setelah diperkenalkannya TSS
berkurang menjadi 16 (1960-1980) (International Maritime Organization, n.d.).

37
Muhammad Royyan Fadli

TSS sangat diperlukan demi menjamin keselamatan pelayaran di selat yang


menjadi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Lombok yang terletak di jalur lalu lintas
kapal yang dikategorikan sebagai ALKI II merupakan jalur lalu lintas internasional yang
memiliki kepadatan tinggi dikarenakan oleh keberadaan kawasan wisata di sekitarnya.
Sebanyak 36.773 unit kapal dengan berbagai jenis dan ukuran melewati Selat Lombok
setiap tahunnya, ini memperlihatkan bahwa sibuknya kegiatan pelayaran di Selat ini
(Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2019).
Selain itu, Selat Lombok sendiri memiliki kelebihan dibanding selat lain di
Indonesia. ALKI II memiliki kelebihan berupa jalur yang lebar dan tanpa adanya
hambatan pulau, dibanding dengan ALKI I yang meskipun lebar tetapi masih terhalang
pulau, sedangkan ALKI III di Maluku Barat Daya tergolong sempit, sehingga banyak
kapal besar yang lebih memilih lewat Selat Lombok di ALKI II. Total kapal yang
melintasi Selat Lombok tiap bulan dapat mencapai 200-340 kapal dari berbagai
ukuran, dengan prediksi kedepan akan terus bertambah. Alur pelayaran yang ramai itu,
memerlukan jaminan keamanan dan keselamatan. Terlebih lagi sebagai jalur ALKI
yang jadi plihan kapal-kapal besar dari seluruh dunia dalam menghubungkan Benua
Australia dengan Asia Tenggara/Asia Timur (Maritim, 2017).
Kemudian untuk Selat Sunda, berdasarkan data, jumlah kapal yang lalu-lalang
di Selat Sunda mencapai 53.000 per tahun, menjadikannya sebagai selat tersibuk di
dunia. Selat Sunda merupakan salah satu selat paling penting di Indonesia karena
terletak di jalur lalu lintas kapal yang dikategorikan sebagai Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) I dari selatan ke utara dengan jalur lintas yang memiliki kepadatan
tinggi dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera dan sebagian besar dilalui oleh kapal
penumpang. Terdapat pula daerah konservasi laut dan wisata taman laut yang wajib
dilindungi di Selat Sunda, salah satunya Pulau Sangiang yang ditetapkan sebagai
Taman Wisata Alam Laut melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 55/Kpts-II/1993
(Sari, 2019).
Disamping kelebihan-kelebihan tersebut, selat-selat tersebut tidak lepas dari
ancaman-ancaman keamanan yang mengintai, salah satunya yang cukup menonjol
adalah tubrukan kapal. Menurut data yang diperoleh, pada tahun 2014 telah beberapa
kali terjadi kecelakaan kapal di Selat Sunda, yaitu tubrukan antara KMP Jatra III dan
MT. Soechi Chemical VII pada tanggal 28 Januari 2014, Pukul 07.30 WIB, antara KMP
Portlink dan Cargo FGA – 138 pada tanggal 01 Oktober 2014, Pukul 11.13 WIB,
tubrukan antara KMP Bahuga Jaya dan MT. Norgas Chatinka pada tanggal 26
September 2012 Pukul 04.50 WIB dan antara KMP Marinsa dan MV. Qihang pada
tanggal 03 Mei 2014 pukul 02.10 WIB. Kawasan perairan Selat Sunda memang
merupakan daerah lalu lintas jalur pelayaran umum yang bebas, namun minim rambu
pelayaran (Sobaruddin et al., 2017, p. 109). Berkaitan dengan itu, Selat Sunda memiliki
ancaman yang menonjol berupa tubrukan kapal, Selat Lombok memiliki ancaman
pencemaran lingkungan di sekitar daerah wisata dan daerah konservasi, sehingga
khusus di Selat Lombok, TSS akan berfungsi sebagai Associated Protective Measures
(APMs) pada PSSA di perairan Tiga Gili (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2018).
Selain untuk menunjang kelancaran transportasi laut dengan meningkatkan
keselamatan pelayaran, TSS juga menjadi penting dalam meningkatkan kredibilitas
Indonesia sebagai negara maritim, terlebih Indonesia telah mendeklarasikan niatnya
untuk menjadi Poros Maritim Dunia kepada dunia internasional, meningkatkan

38
Muhammad Royyan Fadli

keselamatan pelayaran tentunya menjadi konsekuensi untuk menjaga citra bangsa.


Upaya dalam mewujudkan visi Poros Maritim Dunia ini selain dari sisi domestik juga
tentunya diupayakan diplomasi yang masif dalam mewujudkannya, terlihat dari aktifnya
Indonesia dalam melakukan diplomasi di masa pemerintahan Joko Widodo, termasuk
dalam isu spesifik seperti TSS. Melihat dari pemaparan di atas, maka penulis dalam
penelitian ini, akan mengkaji lebih lanjut mengenai motif-motif yang mendasari Indonesia
dalam menerapkan kebijakan ini dari sisi teoritis dan praktis, mulai dari
pengimplementasian poros maritim, dan upaya aktualisasi kepentingan nasional dari sisi
materil dan non materil, sehingga menghasilkan analisis yang dapat dipertanggung
jawabkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini mengambil rujukan dari penelitian-penelitian terdahulu yang terkait
dengan tema yang dibahas. Penelitian-penelitian ini digunakan penulis diantaranya
untuk melihat rencana penerapan TSS, sisi strategis kedua selat, potensi-potensi dari
kedua selat, baik ekonomi, politik, dan geostrategis, serta pengaruh sejarah dalam
menginspirasi deklarasi visi Poros Maritim Dunia. Rencana penerapan TSS di Selat
Lombok juga telah dibahas oleh Ismah Rustam dalam tulisannya yang berjudul Makna
Strategis Selat Lombok dan Perkembangannya sebagai Jalur Pelayaran Internasional.
Tulisan ini dterbitkan dalam Global and Policy Journal of International Relations, vol. 6,
no. 1, tahun 2018. Tulisan sesuai judulnya secara umum membahas mengenai
potensi-potensi yang dimiliki Selat Lombok, khusunya potensinya untuk semakin
berkembang menjadi jalur pelayaran internasional yang berpengaruh (Rustam, 2018).
Tulisan ini menyatakan bahwa secara geografis, Selat Lombok memiliki luas
dan kedalaman yang lebih daripada Selat Malaka, walaupun jalur pelayaran memang
tidak sepadat di Selat Malaka. Lebar jalur minimum di Selat Lombok adalah 11,5 mil
dan kedalaman lebih dari 150 meter, sehingga menjadi jalur yang aman untuk kapal
super tanker dan kapal-kapal besar. Misalnya, tanker dengan tinggi melebihi 19,8
meter harus dialihkan melalui Selat Lombok karena keterbatasan yang tidak
memungkinkan untuk melalui Selat Malaka. Setiap tahunnya, total bobot yang ditopang
oleh Selat Lombok mencapai 36 juta metrik ton. Jumlah kapal yang melewati Selat
Lombok setiap harinya bisa mencapai 52 kapal sehingga dalam sebulan rata-rata arus
kapal mencapai 1.400-an kapal asing yang melewati perairan ALKI II tersebut (Rustam,
2018, p. 89).
Jalur yang ramai dan cenderung lebih aman karena memilki perairan yang lebih
dalam ini merupakan bagi potensi Selat Lombok untuk terus berkembang. Penelitian ini
juga menyatakan bahwa tingginya arus pelayaran di Selat Lombok membuat
pemerintah mengatur skema pemisahan lalu lintas pelayaran kapal Traffic Separation
Scheme (TSS) sebagai upaya meningkatkan keselamatan pelayaran. Penetapan TSS
ini sejalan dengan usulan Indonesia yang terlebih dahulu menetapkan Selat Lombok
sebagai PSSA. Sehubungan dengan hal tersebut, Selat Lombok termasuk dalam area
yang memerlukan perlindungan khusus karena memiliki potensi ekologi, sosial-
ekonomi, serta area yang rentan terhadap kerusakan yang disebabkan dari aktivitas
maritim. Konsep TSS memang diprioritaskan di Selat Lombok yang jalurnya paling
aman bagi kapal besar (Rustam, 2018).

39
Muhammad Royyan Fadli

Penetapan TSS di Selat Lombok juga merupakan salah satu bagian dari IMO
Ships Routeing System yang sangat penting dalam penetapan area perairan sensitif
tertentu (PSSA) di Selat Lombok yang dekat dengan kawasan dengan ekologi. Upaya
ini juga menjadi langkah strategis yang diambil oleh pemerintah Indonesia mengingat
TSS tersebut terletak di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), sehingga
penetapannya akan menimbulkan dampak pada pelayaran nasional dan internasional.
Selain itu, dalam jurnal ini juga dituliskan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah
Indonesia untuk menunjukkan kesiapannya dalam menerapkan TSS di Selat Lombok
seperti pembangunan terminal Gili Mas di Lembar, dan juga rencana pembangunan
Bandar Kayangan di Lombok Utara.
Kemudian, penelitian terkait poros maritim sebagai identitas Indonesia dibahas
dalam penelitian Caroline Paskarina yang berjudul Wacana Negara Maritim Dan
Reimajinasi Nasionalisme Indonesia. Tulisan ini diterbitkan dalam Jurnal Wacana
Politik - Jurnal Ilmiah Departemen Ilmu Politik Vol. 1, No. 1, Maret 2016. Dalam tulisan
tersebut, penulis menyatakan bahwa kemunculan kembali wacana negara maritim ini
merupakan sebuah upaya untuk membentuk kembali imajinasi identitas kebangsaan
Indonesia. Dengan melacak dinamika argumentasi yang mewarnai perjalanan wacana
negara maritim dalam politik Indonesia, tulisan tersebut ingin mengungkap mengapa
wacana negara maritim muncul dan kepentingan di balik reimajinasi nasionalisme
Indonesia tersebut (Paskarina, 2016, p. 1).
Menurut penelitian tersebut, jika dipandang secara historis, nasionalisme
merupakan konstruksi yang dilakukan untuk kepentingan tertentu. Ketika
pembangunan nasionalisme dilakukan oleh negara, maka nasionalisme menjadi basis
legitimasi untuk membangun loyalitas terhadap negara. Konstruksi nasionalisme yang
menonjol dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
nasionalisme pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan nasionalisme di masa orde
baru. Nasionalisme pra kemerdekaan identik dengan heroisme sejarah perlawanan
untuk meraih kemerdekaan. Dalam konteks tersebut, nasionalisme diartikan sebagai
paham yang mempersatukan berbagai suku bangsa di Indonesia untuk bersama-sama
melawan kolonialisme. Kesamaan tujuan untuk menjadi bangsa yang merdeka inilah
yang kemudian mendasari pergerakan rakyat saat itu untuk melawan penjajahan.
Makna heroik ini yang kemudian dipakai untuk membangun rasa kebersamaan yang
bersifat lintas etnis dan melampaui ikatan-ikatan primordial. Nasionalisme pada masa
itu dilekatkan dengan jargon "senasib sepenanggungan" (Paskarina, 2016).
Kemudian, pada masa pasca kemerdekaan direkonstruksi dengan makna baru
yang tujuannya tetap memberikan legitimasi terhadap kepentingan negara. Masa Orde
Lama dibawah kepemimpinan Soekarno mengemas nasionalisme sebagai dasar bagi
revolusi melawan kekuatan-kekuatan neokolonialisme dan neoimperialisme. Kemudian
pada masa Orde Baru, Suharto mengaitkan nasionalisme dengan pembangunan.
Nasionalisme pada masa Orde Baru adalah ketika bangsa Indonesia patuh pada
ideologi pembangunan dan berpartisipasi dalam pembangunan. Pemaknaan ini
direproduksi oleh negara melalui institusi-institusi pendidikan, organisasi
kemasyarakatan, dan partai politik, serta organisasi komunitas di level grass root
seperti RT, RW, Karang Taruna, Dharma Wanita, yang semuanya mengarahkan
pembentukan identitas nasionalisme sebagai identitas dari orang-orang yang
berpartisipasi dalam pembangunan (Paskarina, 2016).

40
Muhammad Royyan Fadli

Nasionalisme yang berbeda dikonstruksi pada masa pemerintahan Jokowi yang


mencoba membangkitkan kembali ide tentang nasionalisme yang dibangun dari
kedaulatan di laut. Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, kedaulatan
laut menjadi salah satu kebanggaan bahkan identitas dari banyak kerajaan besar
Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Namun, identitas sebagai bangsa bahari
ini seolah-olah lenyap karena selama rentang panjang masa awal kemerdekaan
hingga sekarang, nasionalisme yang dibangun adalah nasionalisme yang berbasis
daratan. Menurut penelitian ini, kendati Indonesia adalah negara kepulauan,
sentralisasi sumber daya menyebabkan pembangunan hanya berlangsung di pulau-
pulau besar yang tidak saling terkoneksi dengan baik, seolah-olah masing-masing
pulau mengejar pertumbuhan ekonominya sendiri. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
tetap berbasis pada pengembangan potensi daratan, bukan pergerakan sumber daya
melalui laut di antara pulau-pulau tersebut. Fenomena tersebut dianggap sebagai
konsekuensi dari ideologi pembangunan yang orientasinya pertumbuhan ekonomi
(Paskarina, 2016).
Pemerintahan Jokowi kemudian menawarkan perubahan cara pandang dari
nasionalisme daratan menjadi nasionalisme maritim. Indonesia jelas adalah negara
kepulauan, laut seharusnya menjadi sumber kekuatan yang sangat strategis untuk
perputaran sumber daya dan pertahanan. Simbol kedaulatan terbesar yang
seharusnya dimiliki Indonesia adalah kedaulatan di laut karena Indonesia adalah
negara kepulauan. Cara pandang inilah yang kemudian dipakai Jokowi untuk
membangkitkan kembali nasionalisme maritim (Paskarina, 2016).
Kemudian, untuk rencana penerapan TSS di Selat Sunda juga telah dibahas
dalam Jurnal yang ditulis oleh Dyan Primana Sobaruddin, Armaidy Armawi, dan Edhi
Martono yang berjudul Model Traffic Separation Scheme (TSS) Di Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) I Di Selat Sunda Dalam Mewujudkan Ketahanan Wilayah yang
diterbitkan dalam Jurnal Ketahanan Nasional Volume 23 No. 1, 27 April 2017. Jurnal
tersebut membahas mengenai letak geografis Selat Sunda, bahaya navigasi di Selat
Sunda, kedalaman perairan dan peta laut Indonesia di Selat Sunda, cagar alam, taman
nasional, daerah berbahaya dan daerah latihan TNI AL, lalu lintas pelayaran kapal dari
dan ke Samudera Hindia, lalu lintas pelayaran kapal feri penyeberangan Bakauheni-
Merak, tubrukan kapal di Selat Sunda, geopolitik Selat Sunda dan lain sebagainya.
Menurut penelitian ini, terdapat empat aktor dalam penerapan Model Traffic Separation
Scheme (TSS) di Selat Sunda Dalam, yang didasarkan oleh beberapa elemen
(Sobaruddin et al., 2017) .
Elemen-elemen tersebut adalah: (1) Elemen Mewujudkan Ketahanan Wilayah;
(2) Elemen Mendukung Implementasi Poros Maritim Dunia; (3) Elemen Mendukung
Kelancaran dan Keselamatan Lalu Lintas Laut; (4) Elemen Implementasi pasal-pasal
UNCLOS 1982, sebagai Konsekuensi Ratifikasi; (5) Elemen Menciptakan Kelancaran
Sea Lanes of Communication (SLOC) dan Sea Lanes of Oil Trade (SLOT). Elemen-
elemen tersebut merangkum kepentingan dari NKRI, Pemerintah Republik Indonesia,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Masyarakat Maritim Dunia (IMO) (Sobaruddin
et al., 2017).
Dalam penelitian ini juga disebutkan enam kriteria terhadap Model Traffic
Separation Scheme (TSS) pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I di Selat Sunda
dalam mewujudkan ketahanan wilayah berdasarkan (1) Ketahanan Wilayah; (2)

41
Muhammad Royyan Fadli

Implementasi Program Pemerintah RI Poros Maritim Dunia; (3) Kelancaran dan


keselamatan lalu lintas laut; (4) Aturan Lintas ALKI sesuai UNCLOS 1982; (5)
Penerapan Teknologi Komunikasi; (6) Kelancaran SLOC/SLOT. Dengan ditetapkannya
TSS di Selat Sunda, maka secara tidak langsung nilai strategis Selat Sunda semakin
meningkat, oleh sebab itu segala sumber daya mestinya mulai dikerahkan untuk
memperkuat dari sisi pengawasan dan pengamanan melalui peningkatan
pembangunan surveilance system di selat tersebut (Sobaruddin et al., 2017).
Penelitian ini juga menyatakan, terjaminnya perairan Selat Sunda dari bahaya
keamanan, bahaya navigasi pelayaran serta bahaya pencemaran lingkungan melalui
pentataan ruang laut di perairan Selat Sunda akan mempengaruhi perkembangan dan
pembangunan di wilayah pesisir sekitarnya. Adanya jaminan keamanan di laut sebagai
akibat dari selalu siap siaganya aparat penegak hukum di laut dalam melaksanakan
gelar operasi di perairan Selat Sunda akan memberikan rasa aman pengguna laut.
Rasa aman dan nyaman bagi kapal-kapal yang melintas di perairan Selat Sunda diikuti
dengan terjaminnya keselamatan bernavigasi merupakan kabar dan berita baik
pengguna pelayaran di seluruh dunia (Sobaruddin et al., 2017).
Seiring dengan bertambah padatnya lalu lintas di Selat Malaka, maka pelayaran
dunia akan bergeser melalui ALKI I di Selat Sunda. Uraian tersebut menjadikan
peluang bagi pelaku ekonomi di sekitar wilayah sekitar Selat Sunda untuk
meningkatkan pembangunan fasiltas pelabuhan, tempat sandar, bongkar muat, logistik
dan kebutuhan bahan bakar (Sobaruddin et al., 2017). Penelitian ini akan digunakan
oleh penulis untuk melihat dampak dari penerapan TSS terhadap keamanan laut dan
pelayaran, potensi Selat Sunda, serta untuk melihat sisi geopolitik dari Selat Sunda.
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis akan
menganalisis motif-motif yang mendasari Indonesia dalam menerapkan kebijakan ini dari
sisi teoritis dan praktis, mulai dari pengimplementasian poros maritim, dan upaya
pengukuhan identitas sebagai negara maritim.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu pengumpulan data pada
suatu latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dimana
peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara purposive dan snowboat, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi (Anggito & Setiawan, 2018). Teknik pengumpulan data
yang digunakan penulis adalah metode wawancara (menanyakan beberapa
pertanyaan terstruktur kemudian diperdalam guna mendapatkan keterangan lebih
lanjut), dokumentasi (mencari data-data di lapangan sesuai dengan situasi sosial yang
ada), dan studi pustaka, dimana penulis menggunakan catatan, transkrip buku, dan
lainya yang dapat mendukung penelitian penulis. Penelitian ini menggunakan tiga
langkah analisis data menurut Miles & Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2008, p. 333).

42
Muhammad Royyan Fadli

KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini menggunakan teori Konstruktivisme dalam sudut pandang
Alexander Wendt dan Martha Finnemore serta Kathryn Sikkink. Konstruktivisme
merupakan teori yang memfokuskan penekanannya terhadap aspek-aspek sosial
dalam hubungan internasional, berbeda dengan neorealisme yang cenderung
materialistik dan positivis. Konstruktivisme menolak fokus analisa terhadap aspek-
aspek material seperti militer dan kekuatan ekonomi, serta memandang bahwa dalam
hubungan internasional aspek yang paling penting adalah sosial, bukan material.
Sistem internasional sendiri menurut konstruktivisme bukan sesuatu yang given,
melainkan ciptaan dan temuan manusia yang tidak bersifat material, yang merupakan
rangkaian ide, kerangka pemikiran dan sistem norma, yang telah disusun oleh orang
tertentu di tempat dan waktu tertentu (Jackson & Sorensen, 2006, p. 369).
Alexander Wendt, dalam tulisannya yang berjudul Anarchy is what States Make
of it: The Social Construction of Power Politics, menyatakan bahwa, identitas adalah
basis dari kepentingan. Aktor tidak memiliki kepentingan yang terlepas dari konteks
sosial, sebaliknya, mereka mendefinisikan kepentingan mereka dalam proses
mendefinisikan situasi (Wendt, 1992). Alexander Wendt, dalam tulisan yang sama,
mengutip Peter Berger yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki banyak identitas
yang terkait dengan peran kelembagaan, seperti saudara lelaki, putra, guru, dan warga
negara. Demikian pula, suatu negara dapat memiliki banyak identitas sebagai
"berdaulat," "pemimpin dunia bebas," "kekuatan kekaisaran," dan sebagainya (Wendt,
1992). Melihat kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa negara dapat memiliki berbagai
macam identitas, dan identitas dapat berubah melalui interaksi, seperti yang dikatakan
Wendt dalam tulisannya “bahwa makna dalam hal mana tindakan diorganisir timbul
dari interaksi” (Wendt, 1992).
Wendt membagi identitas ke dalam empat tipe, diantaranya identitas personal,
identitas tipe, identitas peran, dan identitas kolektif. Identitas personal merupakan
atribut yang membentuk eksistensi negara, yang membedakannya dari negara lain,
seperti wilayah, lambang negara, lagu kebangsaan dan lain sebagainya. Identitas
personal tidak membutuhkan pemaknaan dari negara lain, dan identitas ini juga
melahirkan kepentingan yang diinginkan semua negara, yakni melindungi identitas fisik
dan identitas sosialnya (diakui dan dihormati negara lain) (Rosyidin, 2015).
Identitas kedua yakni identitas tipe. Identitas tipe merupakan identitas yang
merupakan identitas intrinsik seperti predikat negara demokrasi, negara komunis, fasis,
komunis dan lain-lain. Identitas ketiga adalah identitas peran, yang berkaitan dengan
peran dan tanggung jawab negara, apa yang harus dilakukan negara dalam situasi
tertentu. Identitas ini bergantung terhadap keberadaan negara lain untuk dapat
mengetahui tanggung jawab dan perannya (Rosyidin, 2015, pp. 50–57). Identitas
keempat, identitas kolektif, merupakan identitas yang terdapat pada berbagai negara
yang teridentifikasi memiliki kesamaan nilai-nilai, dan mengidentifikasikan diri sebagai
“teman”. Identifikasi positif ini menciptakan struktur pemahaman bersama yang
mengikat mereka dalam suatu identitas tunggal (Rosyidin, 2015).
Kepentingan nasional berubah seiring dengan berubahnya identitas negara.
Konstruktivisme memandang dunia sosial termasuk dunia internasional adalah
konstruksi manusia. Dunia sosial dan politik, menurut para konstruktivis, bukanlah
sesuatu yang berada di luar kendali manusia, suatu kesadaran intersubjektif di antara

43
Muhammad Royyan Fadli

manusia, merupakan temuan dan kreasi manusia bukan dari sisi materi dan fisik
melainkan sisi intelektual dan ideasional. Sistem internasional merupakan seperangkat
ide, pemikiran, sistem norma yang telah dibentuk oleh orang-orang tertentu dalam
tempat dan waktu tertentu. Jika pemikiran yang masuk ke dalam hubungan
internasional berubah, maka sistem akan berubah, karena sistem mengandung
pemikiran dan ide. Maka dapat disimpulkan bahwa identitas merupakan basis dari
kepentingan, dan identitas merupakan sesuatu yang mendefinisikan kepentingan
nasional itu sendiri (Burchill, 2005, p. 185).
Asumsi tersebut dapat diperkuat dengan analisis Martha Finnemore terhadap
fenomena-fenomena yang memperlihatkan bagaimana organisasi internasional dapat
mengubah norma internasional dan identitas negara-negara, misalnya UNESCO yang
“berhasil” menanamkan norma bahwa negara yang modern dan beradab adalah
negara yang memiliki birokrasi kebijakan tentang ilmu pengetahuan. Pada pertengahan
tahun 1950-an, ide UNESCO ini ditetapkan di empat belas negara, kemudian di tahun
1975 meningkat hingga 90-an negara yang menetapkan. Pada akhirnya norma
tersebut diakui secara internasional bahwa negara yang beradab dan modern adalah
yang memiliki paket kebijakan terkait ilmu pengetahuan (Jackson & Sorensen, 2006).
ICRC berhasil “mengkonstruksi” negara-negara di dunia untuk menerima
"norma" perang, yakni perang dengan menggunakan aturan. Aturan perang akhirnya
menjadi norma internasional yang disepakati, dan membangun ide bahwa negara yang
beradab adalah negara yang menaati peraturan perang. Kemudian World Bank,
melalui Robert McNamara, yang menanamkan norma bahwa kebijakan ekonomi bukan
hanya soal meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi, melainkan mengurangi
kemiskinan, yang kemudian akhirnya negara-negara di dunia sejak tahun 1970-an
menjadikan redistribusi ekonomi, pengurangan kemiskinan menjadi tujuan utama
kebijakan ekonomi (Jackson & Sorensen, 2006).
Artikel Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink yang berjudul International Norm
Dynamics and Political Change menjelaskan mengenai bagaimana diskursus tentang
norma muncul, bagaimana norma diterima dan bagaimana norma diinternalisasi.
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menjabarkan yang mereka sebut sebagai
“three stage of norm influence” tiga tahap bagaimana pengaruh norma muncul hingga
dapat terinternalisasi. Tahap pertama disebut “norm emergence”, tahap kedua disebut
“norm cascades”, dan tahap ketiga disebut “norm internalization” (Finnemore & Sikkink,
1998). Menurut Finnemore dan Sikkink, kemunculan norma atau norm emergence
sebagai tahap pertama merupakan persuasi dari “pencetus/yang memperjuangkan”
norma tersebut, yang mereka sebut sebagai “norm entrepreneur” untuk meyakinkan
massa kritikal dari negara-negara yang mereka istilahkan sebagi “norm leaders” untuk
menganut norma baru.
Tahap kedua “norm cascades” adalah keikut sertaan negara-negara lainnya
seiring dengan “sosialisasi” dari negara-negara pemimpin norma pada masa awal
(massa kritikal). Motivasi utama dari tahap kedua ini adalah gabungan antara tekanan
untuk kesesuaian (dengan ngara-negara lain), hasrat untuk meningkatkan legitimasi
internasional, dan hasrat dari pemimpin-pemimpin negara untuk memfasilitasi “norms
cascades”. Tahap ketiga tahap internalisasi, adalah tahap dimana negara-negara
mengadopsi norma tersebut tidak lagi dikarenakan tujuan yang hanya untuk
kesesuaian dan legitimasi dalam dunia internasional, melainkan karena sudah

44
Muhammad Royyan Fadli

selayaknya norma tersebut diadopsi (Finnemore & Sikkink, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Identitas Indonesia sebagai bangsa maritim sudah tertanam sejak lama, sejak
zaman kerajaan, wilayah nusantara yang kini terbagi dalam kekuasaan berbagai
negara, sudah lekat dengan tradisi bahari, khususnya dua kerajaan besar dalam
sejarah nusantara, Sriwijaya dan Majapahit. Sriwijaya yang menguasai Selat Malaka,
pada masa kejayaannya berhasil menjadi enterport (tempat singgah kapal untuk
penimbunan komoditas niaga) dalam perdagangan internasional pada masa itu. Salah
satu tanda kejayaan Kerajaan Sriwijaya dapat dilihat dari kemampuan Kerajaan
Sriwijaya untuk merekrut suku Orang Laut yang ahli dalam pembuatan kapal dan
strategi perang laut. Suku ini mendiami daerah muara-muara sungai dan hutan bakau
dari Sumatera hingga Thailand Selatan (Djoko, 2005, p. 40).
Sriwijaya tercatat menjadi kerajaan pertama dalam sejarah Nusantara yang
menguasai selat di timur Sumatera yang kala itu menjadi kunci dari perdagangan
internasional pada masa itu. Sriwijaya juga berhasil menguasai seluruh Semenanjung
Malay dan Selat Malaka. Sriwijaya kurang lebih bertahan selama empat abad melalui
perannya sebagai penguasa jalur pelayaran internasional sebelum keruntuhannya.
Sriwijaya juga tercatat sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara pada abad
7 hingga 12 (Djoko, 2005) dengan kebijakan yang responsif terhadap lingkungan
geostrategisnya. Kemunculan dan perkembangannya Sriwijaya terkait erat dengan
arus perdagangan yang sedang berkembang di sepanjang jaringan maritim antara
India dan China, dan antara Nusantara dan China serta perdagangan intra-regional
Asia Tenggara (Sulistiyono, 2016, p. 87).
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penggerak besarnya Kerajaan
Sriwijaya, antara lain: kemampuan dalam mengontrol wilayah pedalaman mereka di
Sumatera, kemampuan mereka dalam mendominasi kota-kota pelabuhan, kemampuan
untuk memusatkan dan menguasai perdagangan produk pertanian, hutan dan produk-
produk laut kepulauan Indonesia di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Sriwijaya, dan
kemampuan dalam melindungi perairan mereka dari serangan kerajaaan lain, ataupun
bajak laut (Sulistiyono, 2016). Strategi diplomatik Kerajaan Sriwijaya juga mumpuni,
dengan menjalin hubungan diplomatik dengan dua kekuatan superpower pada masa
itu, China dan India. Jejak diplomatik antara Sriwijaya dengan India dapat dilihat
melalui pendirian wihara di Nalanda pada masa itu, kemudian hubungan diplomatik
antara Sriwijaya dengan China dibina dengan pengiriman upeti pada Kaisar China
untuk meminta perlindungan. Kebijakan ini berdampak pada kapal Sriwijaya yang
mendapatkan perlakuan baik di pelabuhan China (Sulistiyono, 2016).
Sriwijaya memang mampu menguasai jalur pelayaran pada masa itu, namun
kurang memaksimalkan potensi komoditas agraris sehingga tidak dapat
mempertahankan kejayaannya selain dikarenakan faktor perebutan kekuasaan.
Kerajaan yang dinilai mampu menggabungkan kekuatan laut dan komoditas agraris
adalah Kerajaan Majapahit, yang menjadi kerajaan dengan wilayah kekuasaan
terbesar dengan kekuatan bahari dan agraris yang kuat (Djoko, 2005). Majapahit juga
dinilai sebagai kerajaan yang mampu memberikan jaminan bagi keamanan
perdagangan di wilayah nusantara. Komoditas agraris yang dimiliki Majapahit juga
menjadi daya tarik bagi kapal dagang mancanegara yang memperkuat kedudukan

45
Muhammad Royyan Fadli

kerajaan Majapahit (Djoko, 2005).


Peran sentral Majapahit terhadap perdagangan internasional pada masa itu
dapat dilihat dari optimalisasi Selat dan Kota Malaka. Akibat ekspansi Kerajaan
Majapahit, Kota Malaka berubah dari yang semula kota nelayan biasa menjadi kota
perdagangan yang penting. Setelah serangkaian penaklukan Majapahit terhadap kota-
kota pelabuhan di sekitar selat Malaka, Malaka bertransformasi menjadi kota
perdagangan internasional yang kosmopolit. Selain pelabuhan di sekitar Malaka,
Majapahit juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting lainnya sebagai pusat aktivitas
maritim seperti Tuban, Canggu, Gresik, Surabaya dan sebagainya (Sulistiyono, 2016).
Armada dagang Majapahit pada masa itu mampu berlayar dan bersaing hingga
Laut China Selatan dan berdagang dengan China, mampu mengontrol wilayah lalu
lintas laut di Selat Malaka yang telah menjadi pintu gerbang perdagangan internasional
dan pada saat yang sama mampu memproduksi dan menjual komoditas perdagangan
yang dibutuhkan pasar internasional. Pedagang mendapatkan keuntungan dari
aktivitas perdagangannya sedangkan kerajaan mengambil keuntungan lewat pajak dari
kegiatan perdagangan. Mekanisme “negara maritim” pada masa Majapahit melibatkan
seluruh unsur dan potensi masyarakat sebagai suatu sistem, masyarakat bertani
(mengembangkan komoditas agraris), pelaut memperdagangkan dan memanen
sumberdaya laut dan komoditas agraris, sedangkan pemerintah (kerajaan)
mengorkestrasi kegiatan ekonomi tersebut, menjamin keamanan, menarik pajak,
membuka hubungan diplomatik dan lain sebagainya. Pengorkestrasian inilah yang
membedakan Majapahit dengan Sriwijaya (Sulistiyono, 2016).
Pada dasarnya, seluruh kerajaan pada masa kerajaan di nusantara memiliki
tradisi bahari/maritim yang kuat, baik Kerajaan Sriwijaya, Singasari, Mataram Majapahit
semuanya memiliki tradisi ekspedisi dan penaklukan lewat laut, dan Majapahit menjadi
kerajaan dengan kekuasaan dan pengaruh terkuat dan terluas dalam sejarah
nusantara. Terdapat empat wilayah yang tercatat ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit,
diantaranya, pertama, wilayah Melayu dan Pulau Sumatera (Jambi, Palembang,
Samudra, Lamon), kedua, pulau Kalimantan dan Terengganu, yang kala itu bernama
Pulau Tanjung Negara, ketiga, Temasik (Singapura), keempat Bali, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Maluku, Irian. Selain daerah taklukan, Majapahit juga mendapatkan upeti
dari banyak kerajaan. Kesuksesan penaklukan oleh Kerajaan Majapahit ditopang oleh
penguasaan terhadap teknologi seperti kapal bercadik, yang menjadi tumpuan armada
laut kerajaan ini (Djoko, 2005).
Sejarah kejayaan maritim masa lalu ini begitu mempengaruhi gagasan
pemerintah Indonesia dalam pencanangan visi PMD ini. Terlihat jelas dalam narasi
pemerintah tentang visi tersebut yang selalu menyinggung mengenai kejayaan maritim
Nusantara di masa lalu, yang ingin dibangkitkan di masa sekarang.
Nenek moyangku seorang pelaut,… Gemar mengarung luas samudra,…
Menerjang ombak tiada takut,… Menempuh badai sudah biasa. Angin bertiup layar
berkembang,… Ombak berdebur di tepi pantai,… Pemuda berani bangkit
sekarang,… Ke laut kita beramai ramai (Hendropriyono, 2019).
Syair lagu karya Ibu Soed yang berjudul Nenek Moyangku Seorang Pelaut ini
dikutip dari situs Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Pengutipan syair tersebut
menunjukkan bahwa visi PMD ini sangat lekat dengan nilai romantisme sejarah.

46
Muhammad Royyan Fadli

Bahkan pada sumber yang sama dinyatakan bahwa Syair lagu “Nenek Moyangku
Seorang Pelaut” ini, menginspirasi bangsa Indonesia untuk menjadikan negara
Indonesia Poros Maritim Dunia, sehingga dengan itu terlihat bahwa aspek sejarah tidak
dapat dilepaskan dari gagasan PMD.
Identitas mempengaruhi kepentingan dan kepentingan mempengaruhi
kebijakan, sedangkan identitas sendiri dibentuk lewat interaksi (share ideas) sebagai
proses konstruksi suatu ide tertentu menjadi suatu institusi (kebiasaan/adat istiadat)
yang akhirnya menjadi suatu identitas. Gagasan poros maritim dunia tidak muncul
begitu saja, melainkan melalui proses panjang. Gagasan poros maritim dunia ini
tercipta dari keyakinan tentang letak geografis, strategis dan ekonomi Indonesia.
Gagasan poros maritim dunia bukan hanya berasal dari Presiden Joko Widodo,
melainkan pembicaraan panjang sejak presiden-presiden sebelumnya (Purnamasari,
2019). Jika ditelusuri, setiap pemerintahan pasca reformasi, mulai dari BJ Habibie
hingga Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya memiliki perhatian terhadap sektor
maritim, namun masing-masing pemerintahan memiliki tantangan dan hambatan
tersendiri dalam aktualisasi dari visi masing-masing.
Ide mengenai kebijakan khusus tentang visi maritim semisal poros maritim
dunia milik Indonesia bukan yang pertama. Prof. AB Lapian, sejarawan senior
sekaligus Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, telah menyampaikan
gagasan serupa sejak tahun 1990-an. Namun, gagasan tersebut mendapatkan
momentum tertingginya saat ini manakala sejumlah kekuatan besar dunia semakin
mengalihkan perhatiannya pada sektor kelautan di Indo-Pasifik. Pada tanggal 22
Agustus 2007, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe di depan parlemen India
menyampaikan pidato yang berjudul "Confluence of the Two Seas" yang mengenalkan
pertama kali istilah Indo-Pasifik, yang merupakan kawasan laut yang terdiri dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat dan tengah serta perairan
Indonesia yang menghubungkan dua samudera tersebut (Yani & Montratama, 2018, p.
26).
Empat tahun setelahnya tepatnya di bulan November tahun 2011, Presiden
Barack Obama menetapkan kebijakan Pivot to the Pacific atau Rebalancing toward
Asia sebagai respons atas kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan besar di Asia
Pasifik. Wujud dari kebijakan ini adalah memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam
perencanaan militer AS, kebijakan luar negeri, dan kebijakan ekonomi. Rebalance
diwujudkan dengan penarikan pasukan AS dari Irak dan dari Afghanistan, serta
menambah perhatian ke Asia Pasifik untuk mengantisipasi tantangan dan peluang di
masa depan (Yani & Montratama, 2018).
Dua tahun setelah itu, tepatnya pada tanggal 3 Oktober 2013, Presiden
Tiongkok Xi Jinping mencanangkan visi Jalur Sutra Maritim (JSM) abad ke-21 di
hadapan parlemen Indonesia yang dalam bahasa Inggris secara lengkap dinamakan
21st Century Maritime Silk Route Economic Belt atau Maritime Silk Road (MSR). Inti
dari visi ini adalah pembangunan prasarana transportasi laut dari Tiongkok melintasi
Asia Tenggara ke Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa dan Afrika yang disponsori
Tiongkok. Mirip dengan Marshall Plan setelah Perang Dunia ke-2, Tiongkok
berkomitmen untuk menyediakan dana hingga $40 miliar untuk pembangunan
pelabuhan laut dalam (deep sea port) di lokasi-lokasi strategis di rute Jalur Sutra
Maritim (JSM) Tiongkok (Yani & Montratama, 2018).

47
Muhammad Royyan Fadli

Serangkaian 4 (empat) peristiwa di atas, yaitu: Indo-Pasifik (India dan Jepang)


di tahun 2007, Rebalancing toward Asia (Amerika Serikat dan Indonesia) di tahun
2011, Jalur Sutra Maritim (Tiongkok) di tahun 2013, dan Poros Maritim Dunia
(Indonesia) di tahun 2014 menunjukkan persaingan politik Internasional antara
kekuatan besar (great powers), yaitu: Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan Jepang
untuk memperebutkan akses dan kendali atas 3 (tiga) hal utama di sepanjang rute
pelayaran antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yaitu: jalur pelayaran, pasar,
dan sumber daya alamnya. Kekuatan-kekuatan besar (great powers) di atas memiliki
kekuatan nasional yang mumpuni untuk bisa bersaing di level regional dan global, yaitu
dalam hal kekuatan militer, kekuatan finansial, dan penguasaan teknologi. Fenomena-
fenomena tersebut menjadi faktor pembentuk identitas Indonesia sebagai negara
maritim yang berimplikasi kepada serangkaian kebijakan untuk mewujudkan visi
tersebut seperti tol laut, “penenggelaman kapal”, pembangunan dan optimalisasi
pelabuhan dan tentunya TSS.
Kembali mengacu kepada konstruktivisme, Wendt membagi identitas ke dalam
empat tipe, diantaranya identitas personal, identitas tipe, identitas peran, dan identitas
kolektif (Wendt, 1999). Mengacu kepada tipologi tersebut, identitas negara maritim dari
Indonesia secara langsung terkait dengan dua tipologi sekaligus yakni identitas
personal dan identitas peran.
Personal or in the case of organizations, corporate identities are constituted by the
self-organizing, homeostatic structures that make actors distinct entities An actor
can have only one such identity. It always has a material base, the body in the case
of people, many bodies and territory for states (Wendt, 1999).
Pada identitas personal, identitas negara maritim berasal dari atribut yang
membentuk eksistensi negara Republik Indonesia sendiri, seperti keadaan geografis
yang strategis, potensial, kaya akan sumber daya alam dan sarat akan nuansa
kemaritiman yang tinggi, serta sejarah kejayaan sebagai bangsa maritim yang digdaya
pada masanya. Identitas personal ini kemudian melahirkan keinginan untuk melindungi
identitas fisik yang berupa keadaan alam, lautan dan wilayah teritorial, jalur pelayaran
dan melindungi identitas sosialnya yang berupa keinginan untuk diakui dan dihormati
sebagai negara maritim. Berkaitan dengan identitas tersebut, TSS menjadi sangat
relevan dalam menjaga identitas fisik dan sosial tersebut.
The fact that the sovereignty of the modern state is recognized by other states
means that it is now also a role identity with substantial rights and behavioral
norms. what really matters in defining roles is not institutionalization but the degree
of interdependence or ``intimacy'' between Self and Other (Wendt, 1999).
Identitas kedua adalah identitas peran. Identitas peran berkaitan dengan peran
dan tanggung jawab negara, apa yang harus dilakukan negara dalam situasi tertentu,
dan interdependensi antar negara. Kasus Indonesia sebagai negara dengan privilege
negara kepulauan, yang memiliki hak dan yurisdiksi atas lautan di dalamnya/diantara
pulau-pulaunya, memiliki peran/kewajiban dalam menjaga wilayah lautnya dari
kecelakaan dan kerusakan lingkungan. Identitas kedua ini relevan sebagai alasan
pemerintah dalam mengajukan dan menetapkan TSS. TSS relevan dalam menjawab
tantangan terkait dengan legitimasi Indonesia sebagai negara maritim dan peran
Indonesia dalam megnamankan wilayah lautnya, sekaligus menjalankan amanat

48
Muhammad Royyan Fadli

UNCLOS yang telah diratifikasi, salah satunya tentang kewajiban menyediakan alur
laut yang aman untuk pelayaran internasional.
TSS merupakan salah satu dari sekian kebijakan yang diberlakukan pemerintah
Indonesia dalam mewujudkan visi PMD dan memperkuat legitimasi dan posisi tawar
Indonesia di dunia internasional. Posisi tawar dan legitimasi selalu menjadi faktor
penting bagi Indonesia, diplomasi yang dilancarkan dalam forum-forum internasional
seperti deklarasi PMD di Naypyidaw, “perjuangan” dalam meraih posisi Dewan
Keamanan PBB dan Dewan IMO dan lain sebagainya menunjukkan legitimasi dan
posisi tawar selalu menjadi faktor yang penting, dan dengan diberlakukannya TSS di
dua selat penting di Indonesia (yang notabene merupakan satu-satunya TSS yang
dimiliki satu negara), Indonesia telah selangkah lagi lebih jauh dalam mewujudkan
visinya.
Deklarasi dan pelaksanaan visi Poros Maritim Dunia ini juga dapat dianalisa
melalui konsep norms dari Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink. Artikel mereka yang
berjudul International Norm Dynamics and Political Change menjelaskan mengenai
bagaimana diskursus tentang norma muncul, bagaimana norma diterima dan
bagaimana norma diinternalisasi. Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menjabarkan
yang mereka sebut sebagai “three stage of norm influence” tiga tahap bagaimana
pengaruh norma muncul hingga dapat terinternalisasi. Tahap pertama disebut “norm
emergence”, tahap kedua disebut “norm cascades”, dan tahap ketiga disebut “norm
internalization” (Finnemore & Sikkink, 1998, p. 895).

Gambar 1. Tiga Tahap “Norms Life-Cycle”

Sumber: International Organization (Finnemore & Sikkink, 1998)


The characteristic mechanism of the first stage, norm emergence, is persuasion
by norm entrepreneurs. Norm entrepreneurs attempt to convince a critical mass
of states (norm leaders) to embrace new norm (Finnemore & Sikkink, 1998).
Dalam kutipan tulisan Finnemore dan Sikkink tersebut dijelaskan bahwa
kemunculan norma merupakan persuasi dari “pencetus/yang memperjuangkan” norma
tersebut, yang mereka sebut sebagai “norm entrepreneur” untuk meyakinkan massa
kritikal1 dari negara-negara yang mereka istilahkan sebagai “norm leaders” untuk
menganut norma baru.
The second stage is characterized more by a dynamic of imitation as the norm
leaders attempt to socialize other states to become norm follower. The exact
motivation for this second stage where the norm "cascades" through the rest of the

1
Massa kritikal/Critical mass dalam istilah bisnis diartikan sebagai jumlah pembeli atau pengguna
awal yang dibutuhkan agar bisa masuk ke tahap percepatan usaha atau traksi. Dalam istilah tulisan
Finnemore dan Sikkink ini dapat diartikan sebagai negara-negara pengadopsi awal norma tersebut yang
dibutuhkan untuk percepatan penerimaan norma tersebut secara lebih luas di lebih banyak negara tanpa
tekanan domestik yang berarti (tipping point).

49
Muhammad Royyan Fadli

population (in this case, of states) may vary, but we argue that a combination of
pressure for conformity, desire to enhance international legitimation, and the desire
of state leaders to enhance their self-esteem facilitate norm cascades (Finnemore
& Sikkink, 1998).
Karakteristik dari tahap kedua yang disebut “norm cascades” ini kemudian
adalah keikut sertaan negara-negara lainnya seiring dengan “sosialisasi” dari negara-
negara pemimpin norma pada masa awal (massa kritikal). Motivasi utama dari tahap
kedua ini adalah gabungan antara tekanan untuk kesesuaian (dengan ngara-negara
lain), hasrat untuk meningkatkan legitimasi internasional, dan hasrat dari pemimpin-
pemimpin negara untuk memfasilitasi “norms cascades”.
At the far end of the norm cascade, norm internalization occurs; norms acquire a
taken-for-granted quality and are no longer a matter of broad public debate
(Finnemore & Sikkink, 1998).
Pada tahap internalisasi, norma tidak lagi menjadi bahan perdebatan, publik
telah sepakat dengan keabsahan dari norma tersebut, sedikit diantaranya yang
meragukan kepatutan dari norma tersebut untuk dianut, sehingga negara-negara
mengadopsi norma tersebut tidak lagi dikarenakan tujuan yang hanya untuk
kesesuaian dan legitimasi dalam dunia internasional melainkan karena sudah
selayaknya norma tersebut diadopsi. Terdapat fase tipping point di antara tahap
pertama dan kedua, yang merupakan “ambang batas” dari penerimaan norma, yang
berarti sebelum mencapai tahap ini, norma baru yang muncul memerlukan tekanan
domestik yang kuat untuk dapat diadopsi negara. Perbedaan dari tahap tipping point
dari tahap internalisasi adalah tipping point merupakan tahap ambang batas dimana
negara dapat mengadopsi norma tanpa didorong oleh tekanan domestik yang kuat,
melainkan karena negara mengejar legitimasi dan kesesuaian dengan mengikuti
negara-negara “norm leaders”. Sebaliknya, tahap internalisasi adalah tahap dimana
negara-negara mengadopsi norma tersebut tidak lagi dikarenakan tujuan yang hanya
untuk kesesuaian dan legitimasi dalam dunia internasional melainkan karena sudah
selayaknya norma tersebut diadopsi.
Keterkaitan dari analisis norma dalam perspektif Finnemore dan Sikkink dengan
kasus visi PMD dan penerapan TSS di kedua selat dapat dikaji melalui keterkaitan dua
topik tersebut dengan hukum internasional. Hukum tersebut telah diinternalisasi oleh
Indonesia dalam hukum nasional yakni UNCLOS dan salah satu organisasi di bidang
terkait yakni IMO. Norma tentang kewajiban negara untuk menaati hukum laut yang
disepakati secara internasional telah mengalami perjalanan yang panjang hingga
sampai kepada bentuk dan implementasinya yang cukup terlegitimasi saat ini, lebih
panjang dari perjuangan norma tentang “hukum perang” dan perjuangan hak politik
wanita (women suffrage).
Dahulu, status hukum soal laut tidak pernah dipersoalkan, semua orang bebas
memanfaatkan dan mengeksploitasi laut untuk kebutuhan mereka. Status hukum laut
mulai dipersoalkan sejak penjelajahan dan kolonialisasi dari bangsa-bangsa Eropa,
pada masa itu, status hukum soal laut mulai menjadi perdebatan. Spanyol, Italia,
Portugal, dan Inggris berpendapat bahwa laut dapat dimiliki, dan atas dasar itu maka
bangsa-bangsa tersebut mulai mengklaim lautan, Laut Tengah diklaim Italia, Laut
Pasifik diklaim Spanyol, Laut Atlantik diklaim Portugal, dan Laut Utara diklaim Inggris
(Parthiana, 2014).

50
Muhammad Royyan Fadli

Namun, ada negara kolonial yang merasa dirugikan oleh klaim tersebut
dikarenakan posisinya yang terjepit, yakni Belanda. Belanda menjadi negara yang
menolak semua klaim tersebut dan merilis klaimnya sendiri yang menyatakan bahwa
lautan tidak dapat dimiliki. Klaim Belanda tersebut didukung oleh ahli hukumnya Hugo
de Groot dalam bukunya Mare Liberum (Laut Bebas), sedangkan klaim Inggris dan
kawan-kawan didukung oleh ahli hukum Inggris John Shelden dalam bukunya Mare
Claussum (laut Tertutup). Era tersebut disebut dengan battle of the books dikarenakan
perdebatan yang didukung para sarjana lewat buku yang berlawanan (Parthiana,
2014). Pada masa ini, gagasan mengenai norma baru tentang hukum laut sudah
mengemuka, namun belum menemui kesepakatan antar negara. Jika menggunakan
konsep norms dari Finnemore dan Sikkink, fase ini dapat dikategorikan sebagai norm
emergence yang dibawa oleh norm enterpreneur dari masing-masing pihak.
Perkembangan hukum laut mulai meluas dengan ditemukannya konsep laut
teritorial, laut lepas, serta hak lintas damai dikarenakan polemik pemakaman Paus jika
Paus meninggal dalam perjalanan jauh. Lintas damai dipertahankan dikarenakan
penghapusannya hanya akan menghambat perdagangan antara negara dan
merugikan semua pihak. Pasca itu hukum laut terus berkembang dengan pengukuran
laut teritorial, meskipun akhirnya terus mengalami perdebatan.
Pada awal abad ke-20, upaya untuk pengkodifikasian hukum internasional
mulai diupayakan secara kolektif setelah lahirnya Liga Bangsa-Bangsa, dengan
Konferensi Den Haag 1930 yang diprakarsainya. Perairan teritorial adalah salah satu
aspek hukum yang menjadi pembahasan dalam konferensi tersebut, yang kembali lagi,
gagal mencapai kesepakatan dalam hal laut teritorial (Al-Khawarizmi, 2012). Namun,
dapat digaris bawahi bahwa pada era ini sudah tidak ada lagi perdebatan mengenai
apakah laut dapat dimiliki atau tidak, hak kepemilikan atas laut sudah menjadi norma
umum (setidaknya di bangsa-bangsa yang sudah merdeka). Fase ini dapat
dikategorikan sebagai tipping point.
Perang Dunia II menjadi penghambat penyelesaian polemik dari klaim-klaim
sepihak mengenai wilayah lautan yang disengketakan, sehingga upaya kodifikasi
hukum laut baru dapat dimulai kembali pasca berdirinya PBB. Berdirinya PBB
membawa kodifikasi hukum laut internasional ke arah yang lebih progresif dengan
diselenggarakannya Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan 1960. Konvensi-
konvensi tersebut sekalipun telah memberi kemajuan terhadap upaya dan
implementasi dari pengkodifikasian hukum internasional belum dapat menghentikan
klaim-klaim sepihak atas laut yang berupa tindakan pelebaran laut territorial
(hukumonline.com, 2020). Walaupun demikian, terdapat banyak negara anggota
konvensi yang telah meratifikasi dan menaati konvensi tersebut, sekalipun belum
terimplementasi secara ideal, dan fase ini sendiri dapat dikategorikan sebagai norm
cascades dimana negara-negara massa kritikal telah menganut norma tersebut.
Konvensi yang kemudian menjadi konvensi dengan penerapan yang paling
efektif adalah Konvensi Hukum Laut 1982 atau yang biasa disebut UNCLOS 1982.
Sebagian besar negara-negara di dunia telah menjadi pihak dari konvensi ini. Konvensi
ini pun bersifat mengikat kepada negara yang tidak meratifikasinya, sehingga
implementasi dari konvensi ini terlihat dapat berjalan dengan lebih baik dibanding
konvensi-konvensi sebelumnya (hukumonline.com, 2020). Dapat dilihat di tahap ini
bahwa, pentingnya hukum internasional tentang laut tidak lagi menjadi perdebatan,

51
Muhammad Royyan Fadli

sekalipun ada negara yang melanggar atau tidak menyepakati konvensi tersebut
dengan klaim sepihak (misalnya China), tidak mengubah pemikiran dunia internasional
tentang norma tersebut. Negara-negara mengadopsi norma tersebut tidak lagi
dikarenakan tujuan yang hanya untuk kesesuaian dan legitimasi dalam dunia
internasional melainkan karena sudah selayaknya norma tersebut diadopsi.
“Norma baru” tentang hukum laut internasional yang disepakati sebagian besar
negara di dunia ini merupakan bukti bahwa organisasi internasional memiliki andil
dalam mempengaruhi kebijakan negara, dan menunjukkan bahwa norma dapat
menjadi salah satu determinan dari kebijakan negara. Ratifikasi UNCLOS oleh
Indonesia merupakan bukti ketaatan Indonesia terhadap norma internasional yang
disepakati sekaligus merupakan implementasi dari konstitusi yang berbunyi “ikut
melaksanakan ketertiban dunia”. Penerapan TSS salah satunya adalah untuk
mengimplementasikan kewajiban menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan
lingkungan laut yang telah diamanatkan dalam UNCLOS, sehingga kembali terlihat
bahwa norma merupakan determinan yang berarti dalam penerapan kebijakan negara,
termasuk Indonesia.

KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara yang dari segala sisi, baik dari sisi geografis,
kultur, sejarah, dan sumber daya alam sangat kompatibel untuk menjadi negara
maritim, bahkan Poros Maritim Dunia. Namun, kebijakan-kebijakan pemerintah sejak
Orde Baru hingga reformasi dinilai belum memaksimalkan potensi maritim yang
dikandung Indonesia, bahkan tidak menempatkan pembangunan negara maritim
sebagai fokus. Kebijakan terkait pembangunan sektor maritim memang sudah
dilakukan masing-masing rezim, namun baru pada masa pemerintahan Joko Widodo,
pembangunan maritim dijadikan slogan dan dibuat cetak biru pelaksanaannya beserta
dengan visi ambisius untuk menjadi Poros Maritim Dunia.
Masing-masing pemerintahan memiliki orientasi kebijakan yang berbeda sesuai
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan, salah satunya
identitas. Identitas negara maritim dan Poros Maritim Dunia yang dicanangkan
pemerintahan Joko Widodo mempengaruhi kebijakan-kebijakan sesuai dengan
identitas yang dibangun. Visi Poros Maritim Dunia ini juga tidak hanya berasal dari ide
yang dari satu aktor melainkan melalui interaksi dan tanggapan atas fenomena
internasional sebagai bentuk “interaksi antar negara” yang menjadi pembentuk dari
identitas baru yang ingin dibangun dalam dunia internasional yang menjadi motif
pengajuan dan penerapan kebijakan-kebijakan penopang Poros Maritim Dunia
termasuk pengamanan jalur pelayaran melalui Traffic Separation Scheme (TSS).

REFERENSI
Al-Khawarizmi, D. A. (2012, September 12). Rezim Hukum Laut. Negarahukum.Com.
https://www.negarahukum.com/rezim-hukum-laut.html
Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metode Penelitian Kualitatif. CV Jejak.
Burchill, S. (2005). The National Interest In International Relations Theory. Palgrave
MacMillan.
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. (2018, January 18). Indonesia Ajukan

52
Muhammad Royyan Fadli

Penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) Selat Lombok Dan Selat Sunda Ke
IMO. Kementrian Perhubungan Republik Indonesia.
https://hubla.dephub.go.id/home/post/read/5478/indonesia-ajukan-penetapan-
traffic-separation-scheme-tss-selat-lombok-dan-selat-sunda-ke-imo
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. (2019, June 19). Pentingnya Bagan Pemisahan
Alur Laut Di Selat Sunda Dan Selat Lombok Bagi Indonesia. Kementrian
Perhubungan Republik Indonesia.
https://hubla.dephub.go.id/home/post/read/5132/pentingnya-bagan-pemisahan-
alur-laut-di-selat-sunda-dan-selat-lombok-bagi-indonesia
Djoko, P. (2005). Budaya Bahari. PT Gramedia Pustaka Utama.
Finnemore, M., & Sikkink, K. (1998). International Norm Dynamics and Political
Change. International Organization, 52(4), 888–917.
https://home.gwu.edu/~finnemor/articles/1998_norms_io.pdf
Hendropriyono, D. (2019, April 22). Indonesia Layak Jadi Negara Poros Maritim Dunia.
Sekretaris Kabinet Republik Indonesia. https://setkab.go.id/indonesia-layak-jadi-
negara-poros-maritim-dunia/
hukumonline.com. (2020, January 9). Kenali UNCLOS, Dasar Hukum Internasional
untuk Kedaulatan Indonesia di Natuna.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e16f5b67589c/kenali-unclos--dasar-
hukum-internasional-untuk-kedaulatan-indonesia-di-natuna/
International Maritime Organization. (n.d.). Convention on the International Regulations
for Preventing Collisions at Sea, 1972 (COLREGs).
https://www.imo.org/en/About/Conventions/Pages/COLREG.aspx
Jackson, R., & Sorensen, G. (2006). Introduction to International Relations Theories
and Approaches. Oxford University Press.
Juliawati, T. M. (2018). Upaya Indonesia dalam Mewujudkan Keamanan Maritim Pada
Masa Pemerintahan Joko Widodo. EJournal Hubungan Internasional Universitas
Mulawarman, 6(8), 1389–1404. https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2018/09/35. 1102045129 - Tiara Mawahdah J (09-13-18-08-04-
40).pdf
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo). (2016,
October 18). Menuju Poros Maritim Dunia.
https://www.kominfo.go.id/content/detail/8231/menuju-poros-maritim-
dunia/0/kerja_nyata
Maritim, T. (2017, August 14). Kementrian Perhubungan Republik Indonesia.
http://tabloidmaritim.com/2017/08/14/alki-ii-selat-lombok-potensial-berkembang
Parthiana, I. W. (2014). Hukum Laut Internasional Dan Hukum Laut Indonesia. YRAMA
WIDYA.
Paskarina, C. (2016). Wacana Negara Maritim Dan Reimajinasi Nasionalisme
Indonesia. Jurnal Wacana Politik, 1(1), 1–8.
https://doi.org/https://doi.org/10.24198/jwp.v1i1.10542
Plant, G. (1985). International Traffic Separation Schemes in The New Law of The Sea.
Marine Policy, 9(2), 134–147. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0308-
597X(85)90005-3
Pregiwati, L. A. (2019, August 8). KKP Dorong Percepatan Indonesia Sebagai Poros
Maritim Dunia. Kementrian Kelautan Dan Perikanan RI.
https://kkp.go.id/artikel/12744-kkp-dorong-percepatan-indonesia-sebagai-poros-
maritim-dunia

53
Muhammad Royyan Fadli

Purnamasari, D. M. (2019, August 7). Apa Kabar Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia? Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2019/08/07/08062741/apa-
kabar-indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia?page=all
Rosyidin, M. (2015). The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan
Internasional. Tiara Wacana.
Rustam, I. (2018). Makna Strategis Selat Lombok dan Perkembangannya Sebagai
Jalur Pelayaran Internasional. Global & Policy, 6(1), 83–100.
http://www.ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/jgp/article/view/1884
Sari, S. M. (2019). Seluruh Fasilitas Dijanjikan Siap Saat TSS Selat Sunda & Lombok
Berlaku. Ekonomi Bisnis.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190702/98/1119029/seluruh-fasilitas-dijanjikan-
siap-saat-tss-selat-sunda-lombok-berlaku
Sobaruddin, D. P., Armawi, A., & Martono, E. (2017). Model Traffic Separation Scheme
(TSS) Di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I Di Selat Sunda Dalam
Mewujudkan Ketahanan Wilayah. Jurnal Ketahanan Nasional, 23(1), 104–122.
https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jkn.22070
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Sulistiyono, S. T. (2016). Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia: Belajar dari
Sejarah. Lembaran Sejarah, 12(2), 81–108.
https://doi.org/https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.33461
Syahrin, M. N. Al. (2018). Kebijakan Poros Maritim Jokowi dan Sinergitas Strategi
Ekonomi dan Keamanan Laut Indonesia. Indonesian Perspective, 3(1), 1–17.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/ip.v3i1.20175
Wendt, A. (1992). Anarchy is What State Make of It: The Social Construction of Power
Politics. International Organization, 46(2), 391–425.
https://www.jstor.org/stable/2706858
Wendt, A. (1999). A Social Theory of International Politics. Cambridge University
Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511612183
Yani, Y. M., & Montratama, I. (2018). Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia: Suatu
Tinjauan Geopolitik. Jurnal Pertahanan Dan Bela Negara, 5(2), 25–51.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33172/jpbh.v5i2.356

54

You might also like