31-Article Text-417-1-10-20210731
31-Article Text-417-1-10-20210731
31-Article Text-417-1-10-20210731
ABSTRACT
This paper will discuss the motives behind the proposed and implementation of the Traffic
Separation Scheme (TSS) in the Sunda and Lombok Strait during the first period of Joko
Widodo's reign. During the first period of Joko Widodo's administration, Indonesia submitted a
proposal for implementing TSS to the International Maritime Organization (IMO) in 2017. This
policy is one of several policies of the Indonesian government in the actualization of the vision of
the Global Maritime Nexus (GMN). The two straits, both the Sunda Strait and the Lombok Strait,
are considered to have the potential to develop into a busier world shipping route due to their
advantages and geostrategic values. In addition to improving shipping safety, applying and
applying for a TSS cannot be separated from the aspects of legitimacy, identity and international
norms as the motive, based on constructivism. This research uses the following data collection
technique: interview, documentation and library study that compiles both primary and secondary
data. This research also uses Miles & Huberman’s three stages of data analysis namely, data
reduction, data display and drawing conclusions. This research concludes that identities and
norms can influence state policies, in this case the submission and implementation of TSS in
the Sunda and Lombok Strait.
Keywords: Global Maritime Nexus, Identity, Lombok Strait, Norms, Sunda Strait, TSS.
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi diajukan dan
diterapkannya Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok pada masa
pemerintahan Joko Widodo periode pertama. Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo
periode pertama mengajukan proposal penerapan TSS kepada International Maritime
Organization (IMO) tepatnya pada tahun 2017. Kebijakan ini merupakan salah satu dari
beberapa kebijakan pemerintah Indonesia dalam aktualisasi dari visi Poros Maritim Dunia
(PMD). Kedua selat, baik Selat Sunda dan Selat Lombok dipandang memiliki potensi untuk
berkembang menjadi jalur pelayaran dunia yang lebih ramai dikarenakan kelebihan-kelebihan
dan nilai geostrategis yang dimiliki. Disamping demi meningkatkan keselamatan pelayaran,
pengajuan dan penerapan TSS juga tidak lepas dari aspek legitimasi, identitas, dan norma
internasional sebagai motifnya, berdasarkan konstruktivisme. Teknik pengumpulan data yang
digunakan penulis adalah metode wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka yang
menggabungkan data primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan tiga langkah analisis
data menurut Miles & Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Penelitian menyimpulkan bagaimana identitas dan norma dapat mempengaruhi kebijakan
negara yang dalam kasus ini adalah pengajuan dan penerapan TSS di Selat Sunda dan Selat
Lombok.
Kata Kunci: Identitas, Norma, Poros Maritim Dunia, Selat Lombok, Selat Sunda, TSS.
35
Muhammad Royyan Fadli
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia terdiri dari
17.506 pulau dan luas wilayah lebih dari 7.7 juta km², yang 2/3 bagiannya merupakan
perairan seluas lebih dari 5.8 juta km², dengan garis pantai sepanjang lebih dari 81.000
km², dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil. Laut Indonesia juga kaya
akan berbagai jenis hasil laut dan sumber daya alam. Dari hasil laut, Indonesia mampu
memproduksi sebesar 5 juta ton/tahun dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain
kaya akan berbagai jenis ikan, dasar laut wilayahnya menyimpan ribuan bahan
tambang. Dengan posisi yang strategis, wilayah laut Indonesia menjadi bagian dari
jalur transportasi laut dunia dan juga berpotensi besar untuk pengembangan wisata
bahari. Wilayah Indonesia adalah persimpangan bagi kapal dari Dunia Barat yang ingin
ke timur dan kapal Dunia Timur yang ingin ke barat. Selain itu, Indonesia juga memiliki
beberapa Choke Points (titik perlintasan) strategis bagi jalur pelayaran dunia, seperti
Selat Malaka, Selat Makasar, Selat Sunda dan Selat Lombok (Juliawati, 2018, p.
1389).
Melihat potensi-potensi tersebut, memiliki cita-cita sebagai negara maritim yang
memiliki kekuatan secara ekonomi dan keamanan tentunya menjadi hal yang sangat
wajar, dan memang seharusnya dicita-citakan dan diwujudkan. Sehubungan dengan
itu, Indonesia sejak terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden, mulai menarik fokus ke
arah maritim. Tidak hanya sampai disitu, Presiden Joko Widodo bahkan
mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dalam kampanyenya. Poros
Maritim Dunia sendiri, merupakan konsep yang disampaikan Presiden Jokowi pada
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur, di Naypyidaw Myanmar pada tanggal 13
November 2014. Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara
maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia
sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim,
memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia
(Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo), 2016).
Indonesia perlu melakukan pembangunan secara masif untuk menjadi negara
Poros Maritim Dunia, yang meliputi pembangunan maritim dari aspek infrastruktur,
politik, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi. Penegakan kedaulatan
wilayah laut NKRI, revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan
pengembangan konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi
biodiversity, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan, merupakan
program-program utama dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Konsep serupa telah terlebih dahulu diterapkan Jepang dan India dengan
konsep Confluence of the Two Seas pada tahun 2007, disusul Amerika Serikat dengan
Rebalancing Toward Asia pada tahun 2011, dan Tiongkok dengan Jalur Sutra Maritim
Abad ke-21 di tahun 2013. Keempat kekuatan besar tersebut berkompetisi di kawasan
Indo-Pasifik (Yani & Montratama, 2018, p. 25).
Dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Presiden Joko
Widodo mencanangkan lima pilar utama dalam mewujudkan cita-cita Indonesia
sebagai poros maritim dunia. Lima pilar ini diantaranya:
36
Muhammad Royyan Fadli
37
Muhammad Royyan Fadli
38
Muhammad Royyan Fadli
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini mengambil rujukan dari penelitian-penelitian terdahulu yang terkait
dengan tema yang dibahas. Penelitian-penelitian ini digunakan penulis diantaranya
untuk melihat rencana penerapan TSS, sisi strategis kedua selat, potensi-potensi dari
kedua selat, baik ekonomi, politik, dan geostrategis, serta pengaruh sejarah dalam
menginspirasi deklarasi visi Poros Maritim Dunia. Rencana penerapan TSS di Selat
Lombok juga telah dibahas oleh Ismah Rustam dalam tulisannya yang berjudul Makna
Strategis Selat Lombok dan Perkembangannya sebagai Jalur Pelayaran Internasional.
Tulisan ini dterbitkan dalam Global and Policy Journal of International Relations, vol. 6,
no. 1, tahun 2018. Tulisan sesuai judulnya secara umum membahas mengenai
potensi-potensi yang dimiliki Selat Lombok, khusunya potensinya untuk semakin
berkembang menjadi jalur pelayaran internasional yang berpengaruh (Rustam, 2018).
Tulisan ini menyatakan bahwa secara geografis, Selat Lombok memiliki luas
dan kedalaman yang lebih daripada Selat Malaka, walaupun jalur pelayaran memang
tidak sepadat di Selat Malaka. Lebar jalur minimum di Selat Lombok adalah 11,5 mil
dan kedalaman lebih dari 150 meter, sehingga menjadi jalur yang aman untuk kapal
super tanker dan kapal-kapal besar. Misalnya, tanker dengan tinggi melebihi 19,8
meter harus dialihkan melalui Selat Lombok karena keterbatasan yang tidak
memungkinkan untuk melalui Selat Malaka. Setiap tahunnya, total bobot yang ditopang
oleh Selat Lombok mencapai 36 juta metrik ton. Jumlah kapal yang melewati Selat
Lombok setiap harinya bisa mencapai 52 kapal sehingga dalam sebulan rata-rata arus
kapal mencapai 1.400-an kapal asing yang melewati perairan ALKI II tersebut (Rustam,
2018, p. 89).
Jalur yang ramai dan cenderung lebih aman karena memilki perairan yang lebih
dalam ini merupakan bagi potensi Selat Lombok untuk terus berkembang. Penelitian ini
juga menyatakan bahwa tingginya arus pelayaran di Selat Lombok membuat
pemerintah mengatur skema pemisahan lalu lintas pelayaran kapal Traffic Separation
Scheme (TSS) sebagai upaya meningkatkan keselamatan pelayaran. Penetapan TSS
ini sejalan dengan usulan Indonesia yang terlebih dahulu menetapkan Selat Lombok
sebagai PSSA. Sehubungan dengan hal tersebut, Selat Lombok termasuk dalam area
yang memerlukan perlindungan khusus karena memiliki potensi ekologi, sosial-
ekonomi, serta area yang rentan terhadap kerusakan yang disebabkan dari aktivitas
maritim. Konsep TSS memang diprioritaskan di Selat Lombok yang jalurnya paling
aman bagi kapal besar (Rustam, 2018).
39
Muhammad Royyan Fadli
Penetapan TSS di Selat Lombok juga merupakan salah satu bagian dari IMO
Ships Routeing System yang sangat penting dalam penetapan area perairan sensitif
tertentu (PSSA) di Selat Lombok yang dekat dengan kawasan dengan ekologi. Upaya
ini juga menjadi langkah strategis yang diambil oleh pemerintah Indonesia mengingat
TSS tersebut terletak di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), sehingga
penetapannya akan menimbulkan dampak pada pelayaran nasional dan internasional.
Selain itu, dalam jurnal ini juga dituliskan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah
Indonesia untuk menunjukkan kesiapannya dalam menerapkan TSS di Selat Lombok
seperti pembangunan terminal Gili Mas di Lembar, dan juga rencana pembangunan
Bandar Kayangan di Lombok Utara.
Kemudian, penelitian terkait poros maritim sebagai identitas Indonesia dibahas
dalam penelitian Caroline Paskarina yang berjudul Wacana Negara Maritim Dan
Reimajinasi Nasionalisme Indonesia. Tulisan ini diterbitkan dalam Jurnal Wacana
Politik - Jurnal Ilmiah Departemen Ilmu Politik Vol. 1, No. 1, Maret 2016. Dalam tulisan
tersebut, penulis menyatakan bahwa kemunculan kembali wacana negara maritim ini
merupakan sebuah upaya untuk membentuk kembali imajinasi identitas kebangsaan
Indonesia. Dengan melacak dinamika argumentasi yang mewarnai perjalanan wacana
negara maritim dalam politik Indonesia, tulisan tersebut ingin mengungkap mengapa
wacana negara maritim muncul dan kepentingan di balik reimajinasi nasionalisme
Indonesia tersebut (Paskarina, 2016, p. 1).
Menurut penelitian tersebut, jika dipandang secara historis, nasionalisme
merupakan konstruksi yang dilakukan untuk kepentingan tertentu. Ketika
pembangunan nasionalisme dilakukan oleh negara, maka nasionalisme menjadi basis
legitimasi untuk membangun loyalitas terhadap negara. Konstruksi nasionalisme yang
menonjol dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
nasionalisme pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan nasionalisme di masa orde
baru. Nasionalisme pra kemerdekaan identik dengan heroisme sejarah perlawanan
untuk meraih kemerdekaan. Dalam konteks tersebut, nasionalisme diartikan sebagai
paham yang mempersatukan berbagai suku bangsa di Indonesia untuk bersama-sama
melawan kolonialisme. Kesamaan tujuan untuk menjadi bangsa yang merdeka inilah
yang kemudian mendasari pergerakan rakyat saat itu untuk melawan penjajahan.
Makna heroik ini yang kemudian dipakai untuk membangun rasa kebersamaan yang
bersifat lintas etnis dan melampaui ikatan-ikatan primordial. Nasionalisme pada masa
itu dilekatkan dengan jargon "senasib sepenanggungan" (Paskarina, 2016).
Kemudian, pada masa pasca kemerdekaan direkonstruksi dengan makna baru
yang tujuannya tetap memberikan legitimasi terhadap kepentingan negara. Masa Orde
Lama dibawah kepemimpinan Soekarno mengemas nasionalisme sebagai dasar bagi
revolusi melawan kekuatan-kekuatan neokolonialisme dan neoimperialisme. Kemudian
pada masa Orde Baru, Suharto mengaitkan nasionalisme dengan pembangunan.
Nasionalisme pada masa Orde Baru adalah ketika bangsa Indonesia patuh pada
ideologi pembangunan dan berpartisipasi dalam pembangunan. Pemaknaan ini
direproduksi oleh negara melalui institusi-institusi pendidikan, organisasi
kemasyarakatan, dan partai politik, serta organisasi komunitas di level grass root
seperti RT, RW, Karang Taruna, Dharma Wanita, yang semuanya mengarahkan
pembentukan identitas nasionalisme sebagai identitas dari orang-orang yang
berpartisipasi dalam pembangunan (Paskarina, 2016).
40
Muhammad Royyan Fadli
41
Muhammad Royyan Fadli
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu pengumpulan data pada
suatu latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dimana
peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara purposive dan snowboat, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi (Anggito & Setiawan, 2018). Teknik pengumpulan data
yang digunakan penulis adalah metode wawancara (menanyakan beberapa
pertanyaan terstruktur kemudian diperdalam guna mendapatkan keterangan lebih
lanjut), dokumentasi (mencari data-data di lapangan sesuai dengan situasi sosial yang
ada), dan studi pustaka, dimana penulis menggunakan catatan, transkrip buku, dan
lainya yang dapat mendukung penelitian penulis. Penelitian ini menggunakan tiga
langkah analisis data menurut Miles & Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2008, p. 333).
42
Muhammad Royyan Fadli
KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini menggunakan teori Konstruktivisme dalam sudut pandang
Alexander Wendt dan Martha Finnemore serta Kathryn Sikkink. Konstruktivisme
merupakan teori yang memfokuskan penekanannya terhadap aspek-aspek sosial
dalam hubungan internasional, berbeda dengan neorealisme yang cenderung
materialistik dan positivis. Konstruktivisme menolak fokus analisa terhadap aspek-
aspek material seperti militer dan kekuatan ekonomi, serta memandang bahwa dalam
hubungan internasional aspek yang paling penting adalah sosial, bukan material.
Sistem internasional sendiri menurut konstruktivisme bukan sesuatu yang given,
melainkan ciptaan dan temuan manusia yang tidak bersifat material, yang merupakan
rangkaian ide, kerangka pemikiran dan sistem norma, yang telah disusun oleh orang
tertentu di tempat dan waktu tertentu (Jackson & Sorensen, 2006, p. 369).
Alexander Wendt, dalam tulisannya yang berjudul Anarchy is what States Make
of it: The Social Construction of Power Politics, menyatakan bahwa, identitas adalah
basis dari kepentingan. Aktor tidak memiliki kepentingan yang terlepas dari konteks
sosial, sebaliknya, mereka mendefinisikan kepentingan mereka dalam proses
mendefinisikan situasi (Wendt, 1992). Alexander Wendt, dalam tulisan yang sama,
mengutip Peter Berger yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki banyak identitas
yang terkait dengan peran kelembagaan, seperti saudara lelaki, putra, guru, dan warga
negara. Demikian pula, suatu negara dapat memiliki banyak identitas sebagai
"berdaulat," "pemimpin dunia bebas," "kekuatan kekaisaran," dan sebagainya (Wendt,
1992). Melihat kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa negara dapat memiliki berbagai
macam identitas, dan identitas dapat berubah melalui interaksi, seperti yang dikatakan
Wendt dalam tulisannya “bahwa makna dalam hal mana tindakan diorganisir timbul
dari interaksi” (Wendt, 1992).
Wendt membagi identitas ke dalam empat tipe, diantaranya identitas personal,
identitas tipe, identitas peran, dan identitas kolektif. Identitas personal merupakan
atribut yang membentuk eksistensi negara, yang membedakannya dari negara lain,
seperti wilayah, lambang negara, lagu kebangsaan dan lain sebagainya. Identitas
personal tidak membutuhkan pemaknaan dari negara lain, dan identitas ini juga
melahirkan kepentingan yang diinginkan semua negara, yakni melindungi identitas fisik
dan identitas sosialnya (diakui dan dihormati negara lain) (Rosyidin, 2015).
Identitas kedua yakni identitas tipe. Identitas tipe merupakan identitas yang
merupakan identitas intrinsik seperti predikat negara demokrasi, negara komunis, fasis,
komunis dan lain-lain. Identitas ketiga adalah identitas peran, yang berkaitan dengan
peran dan tanggung jawab negara, apa yang harus dilakukan negara dalam situasi
tertentu. Identitas ini bergantung terhadap keberadaan negara lain untuk dapat
mengetahui tanggung jawab dan perannya (Rosyidin, 2015, pp. 50–57). Identitas
keempat, identitas kolektif, merupakan identitas yang terdapat pada berbagai negara
yang teridentifikasi memiliki kesamaan nilai-nilai, dan mengidentifikasikan diri sebagai
“teman”. Identifikasi positif ini menciptakan struktur pemahaman bersama yang
mengikat mereka dalam suatu identitas tunggal (Rosyidin, 2015).
Kepentingan nasional berubah seiring dengan berubahnya identitas negara.
Konstruktivisme memandang dunia sosial termasuk dunia internasional adalah
konstruksi manusia. Dunia sosial dan politik, menurut para konstruktivis, bukanlah
sesuatu yang berada di luar kendali manusia, suatu kesadaran intersubjektif di antara
43
Muhammad Royyan Fadli
manusia, merupakan temuan dan kreasi manusia bukan dari sisi materi dan fisik
melainkan sisi intelektual dan ideasional. Sistem internasional merupakan seperangkat
ide, pemikiran, sistem norma yang telah dibentuk oleh orang-orang tertentu dalam
tempat dan waktu tertentu. Jika pemikiran yang masuk ke dalam hubungan
internasional berubah, maka sistem akan berubah, karena sistem mengandung
pemikiran dan ide. Maka dapat disimpulkan bahwa identitas merupakan basis dari
kepentingan, dan identitas merupakan sesuatu yang mendefinisikan kepentingan
nasional itu sendiri (Burchill, 2005, p. 185).
Asumsi tersebut dapat diperkuat dengan analisis Martha Finnemore terhadap
fenomena-fenomena yang memperlihatkan bagaimana organisasi internasional dapat
mengubah norma internasional dan identitas negara-negara, misalnya UNESCO yang
“berhasil” menanamkan norma bahwa negara yang modern dan beradab adalah
negara yang memiliki birokrasi kebijakan tentang ilmu pengetahuan. Pada pertengahan
tahun 1950-an, ide UNESCO ini ditetapkan di empat belas negara, kemudian di tahun
1975 meningkat hingga 90-an negara yang menetapkan. Pada akhirnya norma
tersebut diakui secara internasional bahwa negara yang beradab dan modern adalah
yang memiliki paket kebijakan terkait ilmu pengetahuan (Jackson & Sorensen, 2006).
ICRC berhasil “mengkonstruksi” negara-negara di dunia untuk menerima
"norma" perang, yakni perang dengan menggunakan aturan. Aturan perang akhirnya
menjadi norma internasional yang disepakati, dan membangun ide bahwa negara yang
beradab adalah negara yang menaati peraturan perang. Kemudian World Bank,
melalui Robert McNamara, yang menanamkan norma bahwa kebijakan ekonomi bukan
hanya soal meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi, melainkan mengurangi
kemiskinan, yang kemudian akhirnya negara-negara di dunia sejak tahun 1970-an
menjadikan redistribusi ekonomi, pengurangan kemiskinan menjadi tujuan utama
kebijakan ekonomi (Jackson & Sorensen, 2006).
Artikel Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink yang berjudul International Norm
Dynamics and Political Change menjelaskan mengenai bagaimana diskursus tentang
norma muncul, bagaimana norma diterima dan bagaimana norma diinternalisasi.
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menjabarkan yang mereka sebut sebagai
“three stage of norm influence” tiga tahap bagaimana pengaruh norma muncul hingga
dapat terinternalisasi. Tahap pertama disebut “norm emergence”, tahap kedua disebut
“norm cascades”, dan tahap ketiga disebut “norm internalization” (Finnemore & Sikkink,
1998). Menurut Finnemore dan Sikkink, kemunculan norma atau norm emergence
sebagai tahap pertama merupakan persuasi dari “pencetus/yang memperjuangkan”
norma tersebut, yang mereka sebut sebagai “norm entrepreneur” untuk meyakinkan
massa kritikal dari negara-negara yang mereka istilahkan sebagi “norm leaders” untuk
menganut norma baru.
Tahap kedua “norm cascades” adalah keikut sertaan negara-negara lainnya
seiring dengan “sosialisasi” dari negara-negara pemimpin norma pada masa awal
(massa kritikal). Motivasi utama dari tahap kedua ini adalah gabungan antara tekanan
untuk kesesuaian (dengan ngara-negara lain), hasrat untuk meningkatkan legitimasi
internasional, dan hasrat dari pemimpin-pemimpin negara untuk memfasilitasi “norms
cascades”. Tahap ketiga tahap internalisasi, adalah tahap dimana negara-negara
mengadopsi norma tersebut tidak lagi dikarenakan tujuan yang hanya untuk
kesesuaian dan legitimasi dalam dunia internasional, melainkan karena sudah
44
Muhammad Royyan Fadli
45
Muhammad Royyan Fadli
46
Muhammad Royyan Fadli
Bahkan pada sumber yang sama dinyatakan bahwa Syair lagu “Nenek Moyangku
Seorang Pelaut” ini, menginspirasi bangsa Indonesia untuk menjadikan negara
Indonesia Poros Maritim Dunia, sehingga dengan itu terlihat bahwa aspek sejarah tidak
dapat dilepaskan dari gagasan PMD.
Identitas mempengaruhi kepentingan dan kepentingan mempengaruhi
kebijakan, sedangkan identitas sendiri dibentuk lewat interaksi (share ideas) sebagai
proses konstruksi suatu ide tertentu menjadi suatu institusi (kebiasaan/adat istiadat)
yang akhirnya menjadi suatu identitas. Gagasan poros maritim dunia tidak muncul
begitu saja, melainkan melalui proses panjang. Gagasan poros maritim dunia ini
tercipta dari keyakinan tentang letak geografis, strategis dan ekonomi Indonesia.
Gagasan poros maritim dunia bukan hanya berasal dari Presiden Joko Widodo,
melainkan pembicaraan panjang sejak presiden-presiden sebelumnya (Purnamasari,
2019). Jika ditelusuri, setiap pemerintahan pasca reformasi, mulai dari BJ Habibie
hingga Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya memiliki perhatian terhadap sektor
maritim, namun masing-masing pemerintahan memiliki tantangan dan hambatan
tersendiri dalam aktualisasi dari visi masing-masing.
Ide mengenai kebijakan khusus tentang visi maritim semisal poros maritim
dunia milik Indonesia bukan yang pertama. Prof. AB Lapian, sejarawan senior
sekaligus Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, telah menyampaikan
gagasan serupa sejak tahun 1990-an. Namun, gagasan tersebut mendapatkan
momentum tertingginya saat ini manakala sejumlah kekuatan besar dunia semakin
mengalihkan perhatiannya pada sektor kelautan di Indo-Pasifik. Pada tanggal 22
Agustus 2007, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe di depan parlemen India
menyampaikan pidato yang berjudul "Confluence of the Two Seas" yang mengenalkan
pertama kali istilah Indo-Pasifik, yang merupakan kawasan laut yang terdiri dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat dan tengah serta perairan
Indonesia yang menghubungkan dua samudera tersebut (Yani & Montratama, 2018, p.
26).
Empat tahun setelahnya tepatnya di bulan November tahun 2011, Presiden
Barack Obama menetapkan kebijakan Pivot to the Pacific atau Rebalancing toward
Asia sebagai respons atas kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan besar di Asia
Pasifik. Wujud dari kebijakan ini adalah memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam
perencanaan militer AS, kebijakan luar negeri, dan kebijakan ekonomi. Rebalance
diwujudkan dengan penarikan pasukan AS dari Irak dan dari Afghanistan, serta
menambah perhatian ke Asia Pasifik untuk mengantisipasi tantangan dan peluang di
masa depan (Yani & Montratama, 2018).
Dua tahun setelah itu, tepatnya pada tanggal 3 Oktober 2013, Presiden
Tiongkok Xi Jinping mencanangkan visi Jalur Sutra Maritim (JSM) abad ke-21 di
hadapan parlemen Indonesia yang dalam bahasa Inggris secara lengkap dinamakan
21st Century Maritime Silk Route Economic Belt atau Maritime Silk Road (MSR). Inti
dari visi ini adalah pembangunan prasarana transportasi laut dari Tiongkok melintasi
Asia Tenggara ke Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa dan Afrika yang disponsori
Tiongkok. Mirip dengan Marshall Plan setelah Perang Dunia ke-2, Tiongkok
berkomitmen untuk menyediakan dana hingga $40 miliar untuk pembangunan
pelabuhan laut dalam (deep sea port) di lokasi-lokasi strategis di rute Jalur Sutra
Maritim (JSM) Tiongkok (Yani & Montratama, 2018).
47
Muhammad Royyan Fadli
48
Muhammad Royyan Fadli
UNCLOS yang telah diratifikasi, salah satunya tentang kewajiban menyediakan alur
laut yang aman untuk pelayaran internasional.
TSS merupakan salah satu dari sekian kebijakan yang diberlakukan pemerintah
Indonesia dalam mewujudkan visi PMD dan memperkuat legitimasi dan posisi tawar
Indonesia di dunia internasional. Posisi tawar dan legitimasi selalu menjadi faktor
penting bagi Indonesia, diplomasi yang dilancarkan dalam forum-forum internasional
seperti deklarasi PMD di Naypyidaw, “perjuangan” dalam meraih posisi Dewan
Keamanan PBB dan Dewan IMO dan lain sebagainya menunjukkan legitimasi dan
posisi tawar selalu menjadi faktor yang penting, dan dengan diberlakukannya TSS di
dua selat penting di Indonesia (yang notabene merupakan satu-satunya TSS yang
dimiliki satu negara), Indonesia telah selangkah lagi lebih jauh dalam mewujudkan
visinya.
Deklarasi dan pelaksanaan visi Poros Maritim Dunia ini juga dapat dianalisa
melalui konsep norms dari Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink. Artikel mereka yang
berjudul International Norm Dynamics and Political Change menjelaskan mengenai
bagaimana diskursus tentang norma muncul, bagaimana norma diterima dan
bagaimana norma diinternalisasi. Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menjabarkan
yang mereka sebut sebagai “three stage of norm influence” tiga tahap bagaimana
pengaruh norma muncul hingga dapat terinternalisasi. Tahap pertama disebut “norm
emergence”, tahap kedua disebut “norm cascades”, dan tahap ketiga disebut “norm
internalization” (Finnemore & Sikkink, 1998, p. 895).
1
Massa kritikal/Critical mass dalam istilah bisnis diartikan sebagai jumlah pembeli atau pengguna
awal yang dibutuhkan agar bisa masuk ke tahap percepatan usaha atau traksi. Dalam istilah tulisan
Finnemore dan Sikkink ini dapat diartikan sebagai negara-negara pengadopsi awal norma tersebut yang
dibutuhkan untuk percepatan penerimaan norma tersebut secara lebih luas di lebih banyak negara tanpa
tekanan domestik yang berarti (tipping point).
49
Muhammad Royyan Fadli
population (in this case, of states) may vary, but we argue that a combination of
pressure for conformity, desire to enhance international legitimation, and the desire
of state leaders to enhance their self-esteem facilitate norm cascades (Finnemore
& Sikkink, 1998).
Karakteristik dari tahap kedua yang disebut “norm cascades” ini kemudian
adalah keikut sertaan negara-negara lainnya seiring dengan “sosialisasi” dari negara-
negara pemimpin norma pada masa awal (massa kritikal). Motivasi utama dari tahap
kedua ini adalah gabungan antara tekanan untuk kesesuaian (dengan ngara-negara
lain), hasrat untuk meningkatkan legitimasi internasional, dan hasrat dari pemimpin-
pemimpin negara untuk memfasilitasi “norms cascades”.
At the far end of the norm cascade, norm internalization occurs; norms acquire a
taken-for-granted quality and are no longer a matter of broad public debate
(Finnemore & Sikkink, 1998).
Pada tahap internalisasi, norma tidak lagi menjadi bahan perdebatan, publik
telah sepakat dengan keabsahan dari norma tersebut, sedikit diantaranya yang
meragukan kepatutan dari norma tersebut untuk dianut, sehingga negara-negara
mengadopsi norma tersebut tidak lagi dikarenakan tujuan yang hanya untuk
kesesuaian dan legitimasi dalam dunia internasional melainkan karena sudah
selayaknya norma tersebut diadopsi. Terdapat fase tipping point di antara tahap
pertama dan kedua, yang merupakan “ambang batas” dari penerimaan norma, yang
berarti sebelum mencapai tahap ini, norma baru yang muncul memerlukan tekanan
domestik yang kuat untuk dapat diadopsi negara. Perbedaan dari tahap tipping point
dari tahap internalisasi adalah tipping point merupakan tahap ambang batas dimana
negara dapat mengadopsi norma tanpa didorong oleh tekanan domestik yang kuat,
melainkan karena negara mengejar legitimasi dan kesesuaian dengan mengikuti
negara-negara “norm leaders”. Sebaliknya, tahap internalisasi adalah tahap dimana
negara-negara mengadopsi norma tersebut tidak lagi dikarenakan tujuan yang hanya
untuk kesesuaian dan legitimasi dalam dunia internasional melainkan karena sudah
selayaknya norma tersebut diadopsi.
Keterkaitan dari analisis norma dalam perspektif Finnemore dan Sikkink dengan
kasus visi PMD dan penerapan TSS di kedua selat dapat dikaji melalui keterkaitan dua
topik tersebut dengan hukum internasional. Hukum tersebut telah diinternalisasi oleh
Indonesia dalam hukum nasional yakni UNCLOS dan salah satu organisasi di bidang
terkait yakni IMO. Norma tentang kewajiban negara untuk menaati hukum laut yang
disepakati secara internasional telah mengalami perjalanan yang panjang hingga
sampai kepada bentuk dan implementasinya yang cukup terlegitimasi saat ini, lebih
panjang dari perjuangan norma tentang “hukum perang” dan perjuangan hak politik
wanita (women suffrage).
Dahulu, status hukum soal laut tidak pernah dipersoalkan, semua orang bebas
memanfaatkan dan mengeksploitasi laut untuk kebutuhan mereka. Status hukum laut
mulai dipersoalkan sejak penjelajahan dan kolonialisasi dari bangsa-bangsa Eropa,
pada masa itu, status hukum soal laut mulai menjadi perdebatan. Spanyol, Italia,
Portugal, dan Inggris berpendapat bahwa laut dapat dimiliki, dan atas dasar itu maka
bangsa-bangsa tersebut mulai mengklaim lautan, Laut Tengah diklaim Italia, Laut
Pasifik diklaim Spanyol, Laut Atlantik diklaim Portugal, dan Laut Utara diklaim Inggris
(Parthiana, 2014).
50
Muhammad Royyan Fadli
Namun, ada negara kolonial yang merasa dirugikan oleh klaim tersebut
dikarenakan posisinya yang terjepit, yakni Belanda. Belanda menjadi negara yang
menolak semua klaim tersebut dan merilis klaimnya sendiri yang menyatakan bahwa
lautan tidak dapat dimiliki. Klaim Belanda tersebut didukung oleh ahli hukumnya Hugo
de Groot dalam bukunya Mare Liberum (Laut Bebas), sedangkan klaim Inggris dan
kawan-kawan didukung oleh ahli hukum Inggris John Shelden dalam bukunya Mare
Claussum (laut Tertutup). Era tersebut disebut dengan battle of the books dikarenakan
perdebatan yang didukung para sarjana lewat buku yang berlawanan (Parthiana,
2014). Pada masa ini, gagasan mengenai norma baru tentang hukum laut sudah
mengemuka, namun belum menemui kesepakatan antar negara. Jika menggunakan
konsep norms dari Finnemore dan Sikkink, fase ini dapat dikategorikan sebagai norm
emergence yang dibawa oleh norm enterpreneur dari masing-masing pihak.
Perkembangan hukum laut mulai meluas dengan ditemukannya konsep laut
teritorial, laut lepas, serta hak lintas damai dikarenakan polemik pemakaman Paus jika
Paus meninggal dalam perjalanan jauh. Lintas damai dipertahankan dikarenakan
penghapusannya hanya akan menghambat perdagangan antara negara dan
merugikan semua pihak. Pasca itu hukum laut terus berkembang dengan pengukuran
laut teritorial, meskipun akhirnya terus mengalami perdebatan.
Pada awal abad ke-20, upaya untuk pengkodifikasian hukum internasional
mulai diupayakan secara kolektif setelah lahirnya Liga Bangsa-Bangsa, dengan
Konferensi Den Haag 1930 yang diprakarsainya. Perairan teritorial adalah salah satu
aspek hukum yang menjadi pembahasan dalam konferensi tersebut, yang kembali lagi,
gagal mencapai kesepakatan dalam hal laut teritorial (Al-Khawarizmi, 2012). Namun,
dapat digaris bawahi bahwa pada era ini sudah tidak ada lagi perdebatan mengenai
apakah laut dapat dimiliki atau tidak, hak kepemilikan atas laut sudah menjadi norma
umum (setidaknya di bangsa-bangsa yang sudah merdeka). Fase ini dapat
dikategorikan sebagai tipping point.
Perang Dunia II menjadi penghambat penyelesaian polemik dari klaim-klaim
sepihak mengenai wilayah lautan yang disengketakan, sehingga upaya kodifikasi
hukum laut baru dapat dimulai kembali pasca berdirinya PBB. Berdirinya PBB
membawa kodifikasi hukum laut internasional ke arah yang lebih progresif dengan
diselenggarakannya Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan 1960. Konvensi-
konvensi tersebut sekalipun telah memberi kemajuan terhadap upaya dan
implementasi dari pengkodifikasian hukum internasional belum dapat menghentikan
klaim-klaim sepihak atas laut yang berupa tindakan pelebaran laut territorial
(hukumonline.com, 2020). Walaupun demikian, terdapat banyak negara anggota
konvensi yang telah meratifikasi dan menaati konvensi tersebut, sekalipun belum
terimplementasi secara ideal, dan fase ini sendiri dapat dikategorikan sebagai norm
cascades dimana negara-negara massa kritikal telah menganut norma tersebut.
Konvensi yang kemudian menjadi konvensi dengan penerapan yang paling
efektif adalah Konvensi Hukum Laut 1982 atau yang biasa disebut UNCLOS 1982.
Sebagian besar negara-negara di dunia telah menjadi pihak dari konvensi ini. Konvensi
ini pun bersifat mengikat kepada negara yang tidak meratifikasinya, sehingga
implementasi dari konvensi ini terlihat dapat berjalan dengan lebih baik dibanding
konvensi-konvensi sebelumnya (hukumonline.com, 2020). Dapat dilihat di tahap ini
bahwa, pentingnya hukum internasional tentang laut tidak lagi menjadi perdebatan,
51
Muhammad Royyan Fadli
sekalipun ada negara yang melanggar atau tidak menyepakati konvensi tersebut
dengan klaim sepihak (misalnya China), tidak mengubah pemikiran dunia internasional
tentang norma tersebut. Negara-negara mengadopsi norma tersebut tidak lagi
dikarenakan tujuan yang hanya untuk kesesuaian dan legitimasi dalam dunia
internasional melainkan karena sudah selayaknya norma tersebut diadopsi.
“Norma baru” tentang hukum laut internasional yang disepakati sebagian besar
negara di dunia ini merupakan bukti bahwa organisasi internasional memiliki andil
dalam mempengaruhi kebijakan negara, dan menunjukkan bahwa norma dapat
menjadi salah satu determinan dari kebijakan negara. Ratifikasi UNCLOS oleh
Indonesia merupakan bukti ketaatan Indonesia terhadap norma internasional yang
disepakati sekaligus merupakan implementasi dari konstitusi yang berbunyi “ikut
melaksanakan ketertiban dunia”. Penerapan TSS salah satunya adalah untuk
mengimplementasikan kewajiban menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan
lingkungan laut yang telah diamanatkan dalam UNCLOS, sehingga kembali terlihat
bahwa norma merupakan determinan yang berarti dalam penerapan kebijakan negara,
termasuk Indonesia.
KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara yang dari segala sisi, baik dari sisi geografis,
kultur, sejarah, dan sumber daya alam sangat kompatibel untuk menjadi negara
maritim, bahkan Poros Maritim Dunia. Namun, kebijakan-kebijakan pemerintah sejak
Orde Baru hingga reformasi dinilai belum memaksimalkan potensi maritim yang
dikandung Indonesia, bahkan tidak menempatkan pembangunan negara maritim
sebagai fokus. Kebijakan terkait pembangunan sektor maritim memang sudah
dilakukan masing-masing rezim, namun baru pada masa pemerintahan Joko Widodo,
pembangunan maritim dijadikan slogan dan dibuat cetak biru pelaksanaannya beserta
dengan visi ambisius untuk menjadi Poros Maritim Dunia.
Masing-masing pemerintahan memiliki orientasi kebijakan yang berbeda sesuai
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan, salah satunya
identitas. Identitas negara maritim dan Poros Maritim Dunia yang dicanangkan
pemerintahan Joko Widodo mempengaruhi kebijakan-kebijakan sesuai dengan
identitas yang dibangun. Visi Poros Maritim Dunia ini juga tidak hanya berasal dari ide
yang dari satu aktor melainkan melalui interaksi dan tanggapan atas fenomena
internasional sebagai bentuk “interaksi antar negara” yang menjadi pembentuk dari
identitas baru yang ingin dibangun dalam dunia internasional yang menjadi motif
pengajuan dan penerapan kebijakan-kebijakan penopang Poros Maritim Dunia
termasuk pengamanan jalur pelayaran melalui Traffic Separation Scheme (TSS).
REFERENSI
Al-Khawarizmi, D. A. (2012, September 12). Rezim Hukum Laut. Negarahukum.Com.
https://www.negarahukum.com/rezim-hukum-laut.html
Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metode Penelitian Kualitatif. CV Jejak.
Burchill, S. (2005). The National Interest In International Relations Theory. Palgrave
MacMillan.
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. (2018, January 18). Indonesia Ajukan
52
Muhammad Royyan Fadli
Penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) Selat Lombok Dan Selat Sunda Ke
IMO. Kementrian Perhubungan Republik Indonesia.
https://hubla.dephub.go.id/home/post/read/5478/indonesia-ajukan-penetapan-
traffic-separation-scheme-tss-selat-lombok-dan-selat-sunda-ke-imo
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. (2019, June 19). Pentingnya Bagan Pemisahan
Alur Laut Di Selat Sunda Dan Selat Lombok Bagi Indonesia. Kementrian
Perhubungan Republik Indonesia.
https://hubla.dephub.go.id/home/post/read/5132/pentingnya-bagan-pemisahan-
alur-laut-di-selat-sunda-dan-selat-lombok-bagi-indonesia
Djoko, P. (2005). Budaya Bahari. PT Gramedia Pustaka Utama.
Finnemore, M., & Sikkink, K. (1998). International Norm Dynamics and Political
Change. International Organization, 52(4), 888–917.
https://home.gwu.edu/~finnemor/articles/1998_norms_io.pdf
Hendropriyono, D. (2019, April 22). Indonesia Layak Jadi Negara Poros Maritim Dunia.
Sekretaris Kabinet Republik Indonesia. https://setkab.go.id/indonesia-layak-jadi-
negara-poros-maritim-dunia/
hukumonline.com. (2020, January 9). Kenali UNCLOS, Dasar Hukum Internasional
untuk Kedaulatan Indonesia di Natuna.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e16f5b67589c/kenali-unclos--dasar-
hukum-internasional-untuk-kedaulatan-indonesia-di-natuna/
International Maritime Organization. (n.d.). Convention on the International Regulations
for Preventing Collisions at Sea, 1972 (COLREGs).
https://www.imo.org/en/About/Conventions/Pages/COLREG.aspx
Jackson, R., & Sorensen, G. (2006). Introduction to International Relations Theories
and Approaches. Oxford University Press.
Juliawati, T. M. (2018). Upaya Indonesia dalam Mewujudkan Keamanan Maritim Pada
Masa Pemerintahan Joko Widodo. EJournal Hubungan Internasional Universitas
Mulawarman, 6(8), 1389–1404. https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2018/09/35. 1102045129 - Tiara Mawahdah J (09-13-18-08-04-
40).pdf
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo). (2016,
October 18). Menuju Poros Maritim Dunia.
https://www.kominfo.go.id/content/detail/8231/menuju-poros-maritim-
dunia/0/kerja_nyata
Maritim, T. (2017, August 14). Kementrian Perhubungan Republik Indonesia.
http://tabloidmaritim.com/2017/08/14/alki-ii-selat-lombok-potensial-berkembang
Parthiana, I. W. (2014). Hukum Laut Internasional Dan Hukum Laut Indonesia. YRAMA
WIDYA.
Paskarina, C. (2016). Wacana Negara Maritim Dan Reimajinasi Nasionalisme
Indonesia. Jurnal Wacana Politik, 1(1), 1–8.
https://doi.org/https://doi.org/10.24198/jwp.v1i1.10542
Plant, G. (1985). International Traffic Separation Schemes in The New Law of The Sea.
Marine Policy, 9(2), 134–147. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0308-
597X(85)90005-3
Pregiwati, L. A. (2019, August 8). KKP Dorong Percepatan Indonesia Sebagai Poros
Maritim Dunia. Kementrian Kelautan Dan Perikanan RI.
https://kkp.go.id/artikel/12744-kkp-dorong-percepatan-indonesia-sebagai-poros-
maritim-dunia
53
Muhammad Royyan Fadli
Purnamasari, D. M. (2019, August 7). Apa Kabar Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia? Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2019/08/07/08062741/apa-
kabar-indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia?page=all
Rosyidin, M. (2015). The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan
Internasional. Tiara Wacana.
Rustam, I. (2018). Makna Strategis Selat Lombok dan Perkembangannya Sebagai
Jalur Pelayaran Internasional. Global & Policy, 6(1), 83–100.
http://www.ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/jgp/article/view/1884
Sari, S. M. (2019). Seluruh Fasilitas Dijanjikan Siap Saat TSS Selat Sunda & Lombok
Berlaku. Ekonomi Bisnis.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190702/98/1119029/seluruh-fasilitas-dijanjikan-
siap-saat-tss-selat-sunda-lombok-berlaku
Sobaruddin, D. P., Armawi, A., & Martono, E. (2017). Model Traffic Separation Scheme
(TSS) Di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I Di Selat Sunda Dalam
Mewujudkan Ketahanan Wilayah. Jurnal Ketahanan Nasional, 23(1), 104–122.
https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jkn.22070
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Sulistiyono, S. T. (2016). Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia: Belajar dari
Sejarah. Lembaran Sejarah, 12(2), 81–108.
https://doi.org/https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.33461
Syahrin, M. N. Al. (2018). Kebijakan Poros Maritim Jokowi dan Sinergitas Strategi
Ekonomi dan Keamanan Laut Indonesia. Indonesian Perspective, 3(1), 1–17.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/ip.v3i1.20175
Wendt, A. (1992). Anarchy is What State Make of It: The Social Construction of Power
Politics. International Organization, 46(2), 391–425.
https://www.jstor.org/stable/2706858
Wendt, A. (1999). A Social Theory of International Politics. Cambridge University
Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511612183
Yani, Y. M., & Montratama, I. (2018). Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia: Suatu
Tinjauan Geopolitik. Jurnal Pertahanan Dan Bela Negara, 5(2), 25–51.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33172/jpbh.v5i2.356
54