Eksil BANTEN Di Minahasa Abad XIX
Eksil BANTEN Di Minahasa Abad XIX
Eksil BANTEN Di Minahasa Abad XIX
- PERANG JAWA
- PERANG PADRI
- PERANG BANJAR
- PERANG ACEH
- PEMBERONTAKAN BANTEN
- GERAKAN “RATU ADIL”
(MESSIANIC MOVEMENT)
- GERAKAN SOSIAL LAINNYA
konsekwensi
Tondano
Tanjung Harapan Pulau Penang Boven Digul
Manado (Pondol)
Pulau Robben Ende
Lotta
Srilangka (Ceylon)
Sarongsong Jawa
Ternate Buru
Ambon
Banda
EXORBINTANTE RECHTEN
Robert Cribb mengatakan bahwa:
One of the most important tools of Dutch political repression int the
colony was a formalized system of executive discrection known as the
extraordinary power (exorbintante rechten) of Governor General to
remove any European from the colony and to impose internal exile on
any indigenous colonial subject. These power date dated from
nineteenth century and were explicitly intended to address the
difficulty and expense of prosecuting political opponents of colonial
order. Initially they were employed against insubordinate local ruler
and rebellious Islamic leaders
Takashi Shiraishi (The Phantom World of Digoel, Indonesia, No. 61,
Pramoedya Ananta Toer and His Work (Apr., 1996), dan Dunia Hantu
Digoel dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial,
(Yogyakarta: LKiS, 2001)
“As the Indies government studiously made clear, internment was not a
penal sanction but an administrative measure, invoked by governor
general's extraordinary powers, exorbitant rechten, to require the internee to
live in a certain place”
Djoyosuroto (Rotto),
Mertaleksana
Sataruno,
Banteng Wareng,
ANRI, Algemenee Verslag over de Residentie Menado 1852
eerste afdeling, “Lijst der Staat Gevangenen de Residentie
Menado 1852”, Bundel Menado No. 25.
Kiai Hasan Maulani,Kuningan,
Jawa Barat
Pieter Bleeker, visiting Tondano in 1855, mentions there being two princes from Surakarta in Kampung Jawa. (Pieter Bleeker,
Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel Batavia: Lange, 1856)
Raden Syarif Abdullah Assegaff
• Tuanku Imam
• Sutan Saidi (Anak)
• Abdul Wahid (Kemenakan)
• Mangindo Tulabe (Baginda Tan Labih)
Eksil dari Minangkabau
Tubagus Buang
No Nama Keterangan
1 S.Ali alias Kiai Gede / Ratoe Tubagus Buang
Bagoes Alie
• Daftar nama staatgevangenen di 2 Maas Djebeng Djebeng
karesidenan Manado yang berada 3 Haji Seh Idris alias … Mukalie Mukali
4 Brahim Ibrahim
di Distrik Sarongsong, Tomohon
5 Boesalam Abusalam
pada tahun 1852 6 Doelkaji Abdul Haji
• Sumber : Lijst der Staat Gevangenen de 7 Tubagus Djojokerto T. Djayakarta
Residentie Menado 1852, ANRI Menado No. 25 8 Tubagus Suramardja T. Suramarja
9 Tubagus Musthapa T. Musthapa
Pada tanggal 24 Pebruari 1850 telah terjadi pula pembunuhan terhadap Demang Cilegon dan stafnya yang sedang
mengadakan inspeksi di Rohjambu. Kerusuhan ini dipimpin oleh Raden Bagus Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus
Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Di antara mereka
Haji Wakhia-lah yang terkenal perjuangannya, ia sudah sejak tahun 1850 selalu mengadakan huru-hara menentang
kolonial Belanda. Haji Wakhia adalah penduduk kampung Gudang Batu, orang kaya dan dianggap ulama besar.
Haji Wakhia, atas ajakan Tubagus Iskak dan dengan dukungan penuh dari penduduk Gudang Batu, terus mengobarkan
perjuangan menentang politik kolonial Belanda dan mengajak mengadakan “perang sabil”; dan persiapan-persiapan
untuk itu dilakukan terus menerus di bawah pimpinan Penghulu Dempol. Pusat kerusuhan lainnya ialah Pulomerak, di
sana dapat dihimpun orang-orang Lampung di bawah pimpinan Mas Diad.
Dalam strategi pertahanan “pemberontak Wakhia” ini, pasukan dibagi dalam tiga kelompok besar; kelompok yang
dipimpin Mas Derik dan Nasid berada di pegunungan sebelah timur Pulomerak, kelompok pimpinan Mas Diad dan
Tubagus Iskak di distik Banten, dan kelompok pimpinan Haji Wakhia dan Penghulu Dempol bergerak di sebelah barat bukit
Simari Kangen; yang ketiga daerah tersebut dilingkungi oleh hutan dan pegunungan yang sulit ditembus.
Dalam beberapa kali penyerbuan, pasukan kolonial akhirnya dapat memukul mundur pemberontak ini. Pertempuran di
Tegalpapak pada tanggal 3 Mei 1850, beberapa pemimpin pejuang dapat ditawan dan dibunuh. Haji Wakhia dan Tubagus
Ishak dapat meloloskan diri ke Lampung, dan kemudian ia bergabung dalam perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran
Singabranta dan Raden Intan. Dalam satu pertempuran akhirnya Haji Wakhia dapat ditangkap dan dihukum mati pada
tahun 1856.
Carpentier Alting yang mengunjungi Kampung Jawa Sarongsong pada 1902 menyebutkan
bahwa ada 161 jiwa penduduk islam yang mendiami sebuah “koloni kecil” kampung Jawa
Sarongsong. Dalam aspek administratif kampung Jawa Sarongsong pada awalnya masih menjadi
bagian dari dua desa yaitu Tumatangtang dan Lansot Sarongsong yang dibagi atas dua jaga.
Kemudian pada tahun 1928 dengan persetujuan Kepala Onderdistrik Tomohon dan Kepala
Distrik Manado yang membawahinya, Kampung Jawa Sarongsong diresmikan menjadi sebuah
desa yang berdiri sendiri.
Seorang keturunan eksil Bernama Djasmani Tabiman (marga aslinya Rifa’i) keturunan dari
Mas Rifa’i seorang pengikut Kiai Modjo diangkat menjadi Hukum Tua Kampung Jawa
Sarongsong. Pada masa pemerintahan Tabiman yaitu pada tahun 1921 tokoh Serikat Islam (SI),
Haji Omar Said Tjokroaminoto mengunjungi Kampung Jawa Sarongsong.
Geger Cilegon
Daftar Nama Eksil Geger Cilegon yang diasingkan di Minahasa tahun 1889
No Nama Asal Umur Pekerjaan Lokasi Pengasingan
1 Haji Abdul Karim Beji 30 Petani Tondano
2 Haji Abubakar Tjikandi 44 Guru Agama Kema
3 Haji Burak Gulasir 30 Petani Manado
4 Haji Daud Balagendung 40 Petani Tondano
5 Haji Djafar Nyamuk 25 - Manado
6 Haji Djamar Bayur 40 Petani Kema
7 Haji Durajak Tanara 35 Guru Agama Tondano
8 Haji Halari Tjibeber 50 Petani Kema
9 Kamim Kepudjenok 45 Petani Manado
10 Haji Kasan Wanasaba 35 Petani Manado
11 Kasim Tjekok 32 Nelayan Manado
12 Haji Kidin Tjilentrang 30 Petani Manado
13 Haji Marjaya Pasirgadung 25 Petani Manado
14 Haji Moh Arsad Tawil Tanara 34 Guru Agama Kema
15 Haji Moh Asnawi Tjibeber 27 Pedagang Manado
16 Haji Ramidien Tjigeunah 30 Petani Tondano
Haji Abu Bakar dari desa Kaganteran dari kabupaten Serang tiba di Batavia pada tanggal 19, dan akan
dikirim sebagai pengasingan politik ke Kema di Karesidenan Menado. Dia bersalah atas pelanggaran
yang sama dengan Mohamad Asik van Bendoeng, yang baru-baru ini diasingkan ke Ternate. Ia pun
telah membuat rencana untuk membantai ibu kota Serang jika pemberontakan di Cilegon berhasil.
Sebelum pemberontakan ia mengadakan banyak pertemuan dengan Haji Wasid dan rekan-rekannya,
di mana rencana pemberontakan disusun.
Antara lain, ia pasti telah menentukan hari pemberontakan bersama Haji Wasid. Namun, dia tidak,
seperti Mohamad Asik dari Bendung, mengumpulkan muridnya di desanya. Itu tidak perlu, sebagian
karena muridnya sebagian besar tinggal di dekat atau di ibu kota Serang dan kemunculannya akan
menjadi tanda bagi mereka untuk memulai, sebagian karena sebagian besar dari mereka sudah pergi
ke Cilegon untuk bergabung bergabung. pemberontak Cilegon. Namun, kegagalan para pemberontak
melawan detasemen Van der Star membuat mereka memutuskan untuk kembali ke Serang dan
bersikap menunggu dan melihat.
Seperti yang sudah terlihat di atas, ustadz Haji Abu Bakar sangat berpengaruh, sehingga
penangkapannya sangat kondusif bagi ketentraman dan ketertiban di wilayah Serang. Apalagi
keadaan di sebelah utara Banten, Banten Lor yang berbahasa Jawa, tampaknya belum seperti yang
seharusnya. Penduduk Banten saat ini diinstruksikan dengan baik untuk melakukan perbaikan yang
memadai di sana dan untuk bertindak tanpa menghormati orang dalam hal ini. (Java Bode. 19 Mei 1889)
Haji Abdul Karim
Haji Djafaar
Haji Marjaya
Haji Muhammad Asnawi dua kali menikah, isteri pertama di Manado Sri Haji Ali dan isteri ke
dua di Manado Khatma Haji Djafar, Asnawi Sutu menikah dengan Rubinga Haji Ali,
Haji Abdul Karim menikahi Otik Haji Ali (menggunakan marga Aslah),
Haji Ramidin menikah dengan wanita kampung Jawa Tondano bermarga Baderan,
Haji Muhammad Arysad Thawil menikah di Kema Tonsea tidak memiliki anak, kemudian
anaknya dari Banten menyusul ke pengasingan Manado dan memberikan keturunan.
Dimakamkan di Kampung Banjer, Keturunannya menggunakan marga Kader
Ditelusuri terkait dengan 1803 - 1808 Sultan Aliyuddin II Abu al-Mafakhir Muhammad Aqiluddin
Dampak dan Pengaruh kedatangan
para Eksil di Minahasa
Carpentier Alting, 1902
…di ujung negeri (Tondano) kami tiba disebuah jembatan menuju ke kampung Jawa. Di sini
bermukim sekumpulan orang jawa, bukan atas kehendak mereka sendiri. Mereka adalah orang-
orang buangan. Orang dapat merenungkan nasib mereka dahulu dan sekarang, dan
berkesimpulan bahwa mereka “menyesali” tindakan mereka.….Orang-orang buangan itu
kehilangan banyak hal walau relatif banyak mengecap kebebasan. Kampung mereka terletak di
tempat yang terpisah, dengan sebuah masjid untuk menyembah Tuhan. Mereka juga
mengawini wanita setempat… kebanyakan dari mereka hanya mempunyai cita-cita kembali ke
Jawa… Disini mereka tidak meninggalkan kebiasaan lama (Islam) dan berusaha hidup sebaik
mungkin… mereka lebih maju dalam hal industri kerajinan dibandingkan kebanyakan orang
Minahasa.
Dibawah pemerintahan Residen Jansen, mereka diperintahkan mendirikan rumah-rumah yang
baik dan sebuah kampung yang layak, dengan jalan-jalan yang teratur dan pembagian
pekarangan rumah. Di sana sekarang anda menjumpai penampilan luar yang khas Minahasa,
tetapi dengan tata hiasan rumah yang khas jawa di dalamnya... siapa saja yang memeriksa
susunan kampung dan rumah-rumah di situ, pasti akan lebih suka memilih yang berciri
Minahasa…Kiay Modjo sering berkunjung pada pendeta zendeling Riedel (J.G. Riedel) dan
berbicara banyak dengannya. Ia menerima darinya sebuah Injil.
(Nicholas Graffland, 1850)
Hardesty.T, Ecological Anthropology. (New York: Mc Graw-Hill, 1977)
• antropologi ekologi, adaptasi didefinisikan sebagai suatu strategi yang digunakan oleh
manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik
maupun sosial
• dua mode analitik utama pada perilaku ini: yaitu tindakan individu yang di desain untuk
meningkatkan produktifitasnya, dan mode yang diperbuat oleh perilaku interaktif individu
dengan individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturan yang bersifat
resiprositas.
• Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif,
tindakan strategik dan sintensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif.
• Kemampuan suatu individu untuk beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya. Makin
besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup
makhluk tersebut. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu proses di mana suatu individu
berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins, M.D, “Culture and Environment: The Study of Cultural
Ecology”, dalam Robert Manners dan David Kaplan (eds.) Theory in Anthropology A Sourcebook. (Chicago: Aldine, 1968.)
• Perkawinan dengan wanita setempat
• Pietermaat pada tahun 1840 menyebutkan: “de meeste Javanen zij gehuwd
met alfoersche vrowen, die het Islamche geloof hebben aangenomen”
(Kebanyakan dari orang-orang Jawa ini menikahi wanita alifuru yang kemudian
masuk Islam).
• A.F. Spreewenberg seorang inspektur pertanian yang dikirim ke Tondano
menyebutkan: het leidt geen twijfel, of zij zullen een nieuw ran onder de
bevolking der Minahassa daarstellen, daar zij stipt het Mahomendaansche
geloof blijven toegedaan en aankweeken, en met Alfoersche vrouwen huwen,
maar niet voor dat zij hunnen godsdienst hebben aangenomen. (Tidak ada
keraguan bahwa mereka akan membentuk sebuah ras baru di Minahasa,
karena mereka terus mematuhi iman kepada Muhamad (Islam), dan memiliki
keturunan dengan menikahi wanita Alifuru, yang harus mengadopsi agama
mereka) Pietermaat, “Statistiek aantekening van residentie Menado”, (TNI, no 1, 1840), hlm. 154.
• Pendeta penginjil Graafland pada tahun 1850-an
menyebutkan bahwa: “zij scheppen zich en familieleven
door vrouwen te nemen van dit land, zoo hunne eigene
vrouwen het niet gevolgd zijn” (mereka membangun
keluarga dengan menikahi wanita setempat sebab mereka
tidak diizinkan membawa istri dari tempat asal).
• Pieter Bleeker seorang peneliti alam yang datang di
Tondano pada 1854 menyebutkan: zij trouwen gewoonlijk
met alfoersche vrouwen, welke zij echter eerst tot het
mohammedanisme doen overgaan. (Biasanya mereka
menikahi perempuan alifuru dan kemudian wanita
tersebut kemudian masuk Islam).
• Carpentier Alting tahun 1902 menyebutkan bahwa“allen echter
trouwen dan hier meest met Minahasa meisjes die bij dat
huwelijk overgingen tot den Islam” (dahulu, semuanya menikah
di sini kebanyakan dengan perempuan Minahasa yang kemudian
menikah secara Islam dan kemudian tidak tinggal di desa asalnya
namun menetap di kampung ini). Alting juga menegaskan bahwa
kawin campur dengan wanita Minahasa saat itu (awal abad XX)
sudah jarang terjadi.
• Laporan kolonial terakhir datang dari seorang anggota parlemen
Belanda yaitu Van Kol yaitu 1903: Their number has increased
from 60 to about 1000. By mixing with other exiles, here was a
hybrid race that hardly recalls the Javanese type, although they
form their own compound
•Pertanian
• Laporan inspektur pertanian yang datang ke Minahasa
pada 1845 menyebutkan bahwa:
• “dalam batas-batas desa mereka terdapat sawah,
dan sekitar pekarangan rumah terdapat kebun sayur
yang kecil, sejumlah besar dari mereka
mempertahankan diri dengan berdagang kecil-
kecilan. Mereka menghasilkan juga kentang sangat
baik, kacang tanah, dan lainnya”
Cara membajak "dipopulerkan" oleh orang buangan
dari Jawa. Sebuah laporan tahun 1846 menyatakan
bahwa "bajak" baru diperkenalkan/digunakan sekitar
dua puluh tahun sebelumnya. Di Tondano saat itu
terdapat 13 buah bajak, dibandingkan dengan hanya
7 yang dimiliki oleh penduduk asli di seluruh
Minahasa!
Tondano
Tarekat Syattariyah
Zikir Gholibah
Ngelmu Dolong
Sarongsong
Tarekat Qadriah – Naqsabandiah
Manado
Bahasa
Penggunaan marga bagi orang Minahasa dapat dilihat dalam Hukum Adat di
Minahasa yang dicatat oleh sebuah komisi mengenai hukum adat di seluruh Hindia
Belanda pada awal abad XX. Penerapan faam secara formal dimulai pada
pertengahan abad XIX, ketika masyarakat Minahasa mayoritasnya telah menjadi
Kristen. Pasangan yang baru menikah kemudian mengikuti sebuah proses
“pencatatan sipil” awal yang disebut dengan “Toelis Nama”. Toelis nama adalah
sebuah kewajiban penduduk pribumi untuk mencatat pernikahan di Minahasa
yang diadakan sejak tahun 1870.
Carpentier Alting mencatat dikalangan orang Islam yang tinggal Minahasa juga
menggunakan marga. Dalam laporannya mengenai een register van huwelijken
van Mohammedanen (Pencatatan pernikahan Islam di Minahasa) Alting
menyebutkan bahwa orang Ponosakan (sub suku Minahasa yang Islam) dan
orang Islam lainnya, ketika menikah akan mengikuti adat yang sama dengan
penduduk Minahasa yag Kristen dengan mendaftarkan faam suami istri sebagai
nama keluarga baru tersebut. Carpentier Alting, “Regeling van het Privaatrecht voor de Inlandsche
Bevolking in de Minahassa-districten der Residentie Menado”, Jilid 1 (Batavia: Landsdrukkerij, 1902), hlm. 134.
Perayaan Bakdo Ketupat
(Hari Raya Ketupat)