Eksil BANTEN Di Minahasa Abad XIX

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 72

Eksil BANTEN Di

Minahasa Abad XIX:


Dari Tubagus Buang sampai Muhammad Arsyad Thawil

Roger A. C. Kembuan, S.S.,M.A.


Universitas Sam Ratulangi Manado
Dagregister Casteel Batavia
(catatan Harian Batavia)

Sebuah deskripsi pertama tentang pedalaman


Minahasa versi Spanyol sampai awal abad ke- 17
adalah, “iklim baik, tanah subur, tanpa muslim”
(J. Wigboldus, F. R. Mawikere)
Wahes = Paris = Pak Rais
(1850 – 1870) di Distrik
Belang
PONOSAKAN
Syeik Abdulsamad Bachdar di
Tumbak awal abad XX
Orang Minahasa yang beragama Islam
1902 1930 1956 1975
Jumlah
Penduduk 7.972 3.877 41.379 171.722
Islam di Suku Minahasa Suku Suku
Minahasa
Alting Brouwer Sensus Sensus
• Pengaruh Kesultanan Ternate
Faktor-Faktor • Orang yang diasingkan / Eksil
MASUKNYA AGAMA • Pedagang
ISLAM DI MINAHASA
HINDIA BELANDA
ABAD XIX

- PERANG JAWA
- PERANG PADRI
- PERANG BANJAR
- PERANG ACEH
- PEMBERONTAKAN BANTEN
- GERAKAN “RATU ADIL”
(MESSIANIC MOVEMENT)
- GERAKAN SOSIAL LAINNYA
konsekwensi

sepanjang abad ke XIX banyak para pemimpin perlawanan kepada


Belanda mendapatkan hukuman pengasingan

Karesidenan Manado (Minahasa) menjadi salah satu lokasi pengasingan


utama pada abad XIX

“BOVEN DIGUL abad xix”


POLITIK PENGASINGAN KOLONIAL

VOC INGGRIS HINDIA BELANDA HINDIA BELANDA


ABAD XVII-XVIII Awal abad XIX ABAD XIX ABAD XX

Tondano
Tanjung Harapan Pulau Penang Boven Digul
Manado (Pondol)
Pulau Robben Ende
Lotta
Srilangka (Ceylon)
Sarongsong Jawa
Ternate Buru
Ambon
Banda
EXORBINTANTE RECHTEN
Robert Cribb mengatakan bahwa:

One of the most important tools of Dutch political repression int the
colony was a formalized system of executive discrection known as the
extraordinary power (exorbintante rechten) of Governor General to
remove any European from the colony and to impose internal exile on
any indigenous colonial subject. These power date dated from
nineteenth century and were explicitly intended to address the
difficulty and expense of prosecuting political opponents of colonial
order. Initially they were employed against insubordinate local ruler
and rebellious Islamic leaders
 Takashi Shiraishi (The Phantom World of Digoel, Indonesia, No. 61,
Pramoedya Ananta Toer and His Work (Apr., 1996), dan Dunia Hantu
Digoel dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial,
(Yogyakarta: LKiS, 2001)
“As the Indies government studiously made clear, internment was not a
penal sanction but an administrative measure, invoked by governor
general's extraordinary powers, exorbitant rechten, to require the internee to
live in a certain place”

kebijakan pengasingan (banishment dan exile) oleh


pemerintah kolonial dilakukan bagi mereka yang dianggap
mengacam keamanan dan ketertiban (rust en orde) di wilayah
Hindia Belanda. Pembuangan bukanlah sanksi yang dijatuhkan
melalui proses hukum (penal sanction) melainkan tindakan
administratif, ditetapkan oleh kewenangan istimewa gubernur
jenderal (exorbitant rechten) sehingga siapapun yang
dianggap bersalah dapat sewaktu-waktu dihukum.
Artikel 37
1. Gubernur Jenderal dengan persetujuan Dewan Hindia Belanda untuk ketertiban dan
keamanan dapat mengasingkan orang-orang yang dilahirkan dalam wilayah Hindia
Belanda, pada suatu tempat tertentu atau mengenakan larangan kepada mereka untuk
bertempat tinggal di beberapa tempat tertentu dalam wilayah Hindia Belanda
2. Gubernur Jenderal dapat melalui surat perintah yang ditandatanganinya,
memerintahkan agar orang yang bersangkutan, sambil menunggu kesempatan untuk
diasingkan, dikenakan hukuman penahanan
3. Surat keputusan pengasingan dan perintah untuk penahanan diberitahukan kepada yang
bersangkutan dengan surat kehakiman. pengambilan tindakan-tindakan yang dimaksud
dalam artikel ini mengenai seseorang yang tidak tergolong bumiputra, penyelesaian
selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan isi kalimat yang kedua terakhir dalam artikel
36
Artikel 38
Dalam hal-hal seperti dimaksudkan dalam artikel 35,36,37 oleh Gubernur Jenderal
tidak dikeluarkan keputusan sebelum orang yang bersangkutan didengarkan
pembelaannya, atau untuk keperluan itu dipanggil menghadap secukupnya dan
selayaknya mengenai pemeriksaan itu dibuatkan proses verbal.
Johan Van den Bosch

Pieter Merkus Daniel Francois Willem Pietermaat


TOKOH-TOKOH YANG
DIASINGKAN DI
MINAHASA ABAD XIX
• Kiai Modjo dan 62 pengikut (1830)
Punakawan Pangeran Diponegoro

Djoyosuroto (Rotto),
Mertaleksana
Sataruno,
Banteng Wareng,
ANRI, Algemenee Verslag over de Residentie Menado 1852
eerste afdeling, “Lijst der Staat Gevangenen de Residentie
Menado 1852”, Bundel Menado No. 25.
Kiai Hasan Maulani,Kuningan,
Jawa Barat

• Kiai Hasan Maulani, who probably arrived in the mid-1840s


was a founder of Tarekat Akmaliyah.

• The kiai, whose story has been told by Drewes (Drie


Javansche Goeroe, 1925) had become extremely popular in the
Cirebon area of West Java through his propagation of an
innovative type of selametan ritual, and the Dutch were fearful
that he would become the focus of an uprising

• Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1848


(Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27).
• In 1842 a revolt broke under leadership of Kyai Maulani which
had as its object Islamic reform, and it attracted support from
local heads, but Dutch were able to suppress it by exiling Kyai
Maulani from Java.
DUA PANGERAN KASUNANAN SURAKARTA

•Pangeran Suryaningrat (1839)


•Pangeran Ronggo Danupoyo (1848)
In 1839 Pangeran Suryaningrat, a brother of Sunan Pakubuwono VI, was exiled to Menado for
murdering the Surakarta Patih (source: Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda)

In 1848 Pangeran Ronggo Danupoyo, a grandson of Pakubuwono IV, was exiled to


Kampung Jawa after being implicated in a series of disturbances, and suspected of murder,
at the Surakarta palace

Pieter Bleeker, visiting Tondano in 1855, mentions there being two princes from Surakarta in Kampung Jawa. (Pieter Bleeker,
Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel Batavia: Lange, 1856)
Raden Syarif Abdullah Assegaff

dari Palembang, 1881


(Pemberontakan Arab).
• Ahmad Nadjamudin III (Sultan Amuk) Manado ?
Dalam arsip kolonial ia meninggal dunia di Manado 1844

• Ahmad Nadjamudin IV Ternate


Haji Saparua
(Abdul Gani Ningkaula) 1883
Pemberontakan Tarekat Naqsabandiah
Laporan pegawai colonial di Ambon tahun 1882 menyebutkan bahwa: Salah satu dari mereka (Haji yang baru pulang
dari Mekah) ialah Abdul Gani Ningkaula menjadi pemimpin yang menyebarkan kebencian dan kefanatikan bagi
populasi kecil orang Islam,
oleh karenanya seorang bernama Abdul Gani Niukeula (Ningkaula), sesuai dengan pasal 47 dari Peraturan Pemerintah,
dibuang ke luar daerah (November 1883) (Koloniaal Verslag 1884 hlm. 23)
Pangeran
Perbatasari
1885
(Kesultanan
Banjarmasin).
Raden Rahmad

Eksil dari Lampung Paal 5 – Kebun Lampung

Pemakaman Islam Tua


Raden Ario Probodiningrat (di Langoan)

Barak Buchari (di Tondano)

Pangeran Sosro Nandito Machpi (di Airmadidi)


Tuanku
Imam Bonjol

• Tuanku Imam
• Sutan Saidi (Anak)
• Abdul Wahid (Kemenakan)
• Mangindo Tulabe (Baginda Tan Labih)
Eksil dari Minangkabau

• Pemberontakan Koto Tuo 1873,


• Haji Djamil (Nan Tujuh) Haji Abdul Halim (Kiai Padang)
•Batusangkar 1885
• Malim Mudo / Perambahan
•Perang Belasting 1908.
• Gorak Pandjang/Malim Pandjang
SI HASIK GELAR BAGINDO MAGEK (BAGINDA)

1908 PERANG MANGOPOH

1926 DIIZINKAN PULANG.


TAPI KEMUDIAN KEMBALI LAGI KE MANADO
Eksil Banten di
Minahasa
1812 Mas Djakaria

1836 Pemberontakan Nyai Gumparo


(milenaristis)
Banten 1839 Ratu Bagus Ali alias Tubagus Buang
(“Peristiwa Goedang Batoe”)

1852 Pemberontakan Haji Wakhia


KAMPUNG JAWA SARONGSONG
DI KOTA TOMOHON

Tubagus Buang
No Nama Keterangan
1 S.Ali alias Kiai Gede / Ratoe Tubagus Buang
Bagoes Alie
• Daftar nama staatgevangenen di 2 Maas Djebeng Djebeng

karesidenan Manado yang berada 3 Haji Seh Idris alias … Mukalie Mukali
4 Brahim Ibrahim
di Distrik Sarongsong, Tomohon
5 Boesalam Abusalam
pada tahun 1852 6 Doelkaji Abdul Haji
• Sumber : Lijst der Staat Gevangenen de 7 Tubagus Djojokerto T. Djayakarta
Residentie Menado 1852, ANRI Menado No. 25 8 Tubagus Suramardja T. Suramarja
9 Tubagus Musthapa T. Musthapa
Pada tanggal 24 Pebruari 1850 telah terjadi pula pembunuhan terhadap Demang Cilegon dan stafnya yang sedang
mengadakan inspeksi di Rohjambu. Kerusuhan ini dipimpin oleh Raden Bagus Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus
Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Di antara mereka
Haji Wakhia-lah yang terkenal perjuangannya, ia sudah sejak tahun 1850 selalu mengadakan huru-hara menentang
kolonial Belanda. Haji Wakhia adalah penduduk kampung Gudang Batu, orang kaya dan dianggap ulama besar.

Haji Wakhia, atas ajakan Tubagus Iskak dan dengan dukungan penuh dari penduduk Gudang Batu, terus mengobarkan
perjuangan menentang politik kolonial Belanda dan mengajak mengadakan “perang sabil”; dan persiapan-persiapan
untuk itu dilakukan terus menerus di bawah pimpinan Penghulu Dempol. Pusat kerusuhan lainnya ialah Pulomerak, di
sana dapat dihimpun orang-orang Lampung di bawah pimpinan Mas Diad.

Dalam strategi pertahanan “pemberontak Wakhia” ini, pasukan dibagi dalam tiga kelompok besar; kelompok yang
dipimpin Mas Derik dan Nasid berada di pegunungan sebelah timur Pulomerak, kelompok pimpinan Mas Diad dan
Tubagus Iskak di distik Banten, dan kelompok pimpinan Haji Wakhia dan Penghulu Dempol bergerak di sebelah barat bukit
Simari Kangen; yang ketiga daerah tersebut dilingkungi oleh hutan dan pegunungan yang sulit ditembus.

Dalam beberapa kali penyerbuan, pasukan kolonial akhirnya dapat memukul mundur pemberontak ini. Pertempuran di
Tegalpapak pada tanggal 3 Mei 1850, beberapa pemimpin pejuang dapat ditawan dan dibunuh. Haji Wakhia dan Tubagus
Ishak dapat meloloskan diri ke Lampung, dan kemudian ia bergabung dalam perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran
Singabranta dan Raden Intan. Dalam satu pertempuran akhirnya Haji Wakhia dapat ditangkap dan dihukum mati pada
tahun 1856.
Carpentier Alting yang mengunjungi Kampung Jawa Sarongsong pada 1902 menyebutkan
bahwa ada 161 jiwa penduduk islam yang mendiami sebuah “koloni kecil” kampung Jawa
Sarongsong. Dalam aspek administratif kampung Jawa Sarongsong pada awalnya masih menjadi
bagian dari dua desa yaitu Tumatangtang dan Lansot Sarongsong yang dibagi atas dua jaga.
Kemudian pada tahun 1928 dengan persetujuan Kepala Onderdistrik Tomohon dan Kepala
Distrik Manado yang membawahinya, Kampung Jawa Sarongsong diresmikan menjadi sebuah
desa yang berdiri sendiri.
Seorang keturunan eksil Bernama Djasmani Tabiman (marga aslinya Rifa’i) keturunan dari
Mas Rifa’i seorang pengikut Kiai Modjo diangkat menjadi Hukum Tua Kampung Jawa
Sarongsong. Pada masa pemerintahan Tabiman yaitu pada tahun 1921 tokoh Serikat Islam (SI),
Haji Omar Said Tjokroaminoto mengunjungi Kampung Jawa Sarongsong.
Geger Cilegon
Daftar Nama Eksil Geger Cilegon yang diasingkan di Minahasa tahun 1889
No Nama Asal Umur Pekerjaan Lokasi Pengasingan
1 Haji Abdul Karim Beji 30 Petani Tondano
2 Haji Abubakar Tjikandi 44 Guru Agama Kema
3 Haji Burak Gulasir 30 Petani Manado
4 Haji Daud Balagendung 40 Petani Tondano
5 Haji Djafar Nyamuk 25 - Manado
6 Haji Djamar Bayur 40 Petani Kema
7 Haji Durajak Tanara 35 Guru Agama Tondano
8 Haji Halari Tjibeber 50 Petani Kema
9 Kamim Kepudjenok 45 Petani Manado
10 Haji Kasan Wanasaba 35 Petani Manado
11 Kasim Tjekok 32 Nelayan Manado
12 Haji Kidin Tjilentrang 30 Petani Manado
13 Haji Marjaya Pasirgadung 25 Petani Manado
14 Haji Moh Arsad Tawil Tanara 34 Guru Agama Kema
15 Haji Moh Asnawi Tjibeber 27 Pedagang Manado
16 Haji Ramidien Tjigeunah 30 Petani Tondano
Haji Abu Bakar dari desa Kaganteran dari kabupaten Serang tiba di Batavia pada tanggal 19, dan akan
dikirim sebagai pengasingan politik ke Kema di Karesidenan Menado. Dia bersalah atas pelanggaran
yang sama dengan Mohamad Asik van Bendoeng, yang baru-baru ini diasingkan ke Ternate. Ia pun
telah membuat rencana untuk membantai ibu kota Serang jika pemberontakan di Cilegon berhasil.
Sebelum pemberontakan ia mengadakan banyak pertemuan dengan Haji Wasid dan rekan-rekannya,
di mana rencana pemberontakan disusun.
Antara lain, ia pasti telah menentukan hari pemberontakan bersama Haji Wasid. Namun, dia tidak,
seperti Mohamad Asik dari Bendung, mengumpulkan muridnya di desanya. Itu tidak perlu, sebagian
karena muridnya sebagian besar tinggal di dekat atau di ibu kota Serang dan kemunculannya akan
menjadi tanda bagi mereka untuk memulai, sebagian karena sebagian besar dari mereka sudah pergi
ke Cilegon untuk bergabung bergabung. pemberontak Cilegon. Namun, kegagalan para pemberontak
melawan detasemen Van der Star membuat mereka memutuskan untuk kembali ke Serang dan
bersikap menunggu dan melihat.
Seperti yang sudah terlihat di atas, ustadz Haji Abu Bakar sangat berpengaruh, sehingga
penangkapannya sangat kondusif bagi ketentraman dan ketertiban di wilayah Serang. Apalagi
keadaan di sebelah utara Banten, Banten Lor yang berbahasa Jawa, tampaknya belum seperti yang
seharusnya. Penduduk Banten saat ini diinstruksikan dengan baik untuk melakukan perbaikan yang
memadai di sana dan untuk bertindak tanpa menghormati orang dalam hal ini. (Java Bode. 19 Mei 1889)
Haji Abdul Karim
Haji Djafaar

Haji Marjaya

Haji Muhammad Arsyad Thawil


Pemberontakan Petani Banten 1888
van Kol, H., Uit onze Kolonien (Leiden: Sijthoff, 1903], hlm. 301.

De Bantammers waren medeplichtig geweest aan de afschuwelijke moorden te


Tjilegon, meer door Nederlandsch wanbeheer dan door Mahomedaansch fanatisme
veroorzaakt. De aanklacht had geluid: “aanslag met het doel de Regeering omver te
werpen, gepaard met verwoesting, moord, plundering door meerderen gepleegd", en
het vonnis was 15 jaar dwangarbeid. Bij nader onderzoek elders bleek mij, dat deze
veroordeelden althans hun straf ten volle hadden verdiend.

Orang-orang Banten tersebut telah terlibat dalam pembunuhan mengerikan di Cilegon,


yang lebih disebabkan oleh salah urus oleh pegawai Belanda daripada fanatisme Islam.
Dalam dakwaan kepada mereka berbunyi: "serangan dengan tujuan menggulingkan
Pemerintah, disertai penghancuran, pembunuhan, penjarahan , dan dijatuhi hukuman
15 tahun kerja paksa. Pada penyelidikan lebih lanjut di tempat lain, tampak bagi saya
bahwa para terpidana ini setidaknya pantas mendapatkan hukuman mereka”.
Pengangkatan Muhamad Arsyad Thawil dan Haji Marjaya sebagai
pejabat urusan islam di Manado dan Minahasa lihat Adatrechtbundel
XII hal 312, ter hoofdplaats Menado, bezuiden de Menado-rivier, den
penghoeloe Sawal Rebo en bij wettige verhindering van dezen Mas
Hadji Mohamad Arsjad Ta wil, Imam Mohamad Jacob of Imam Hadji
Oemar (uitsluitend voor de kampongs Bandjer en Ranoemoet).

Adatrechtbundel XII hal 313 ‘voor het district Sonder, Hadji


Mardjaja te Toempaan’ diangkat sebagai Penghulu dengan Besluit van
resident Menado Th.J.C.van Marle (1910-1914). Tanggal 30
September 1911 no. 478
Lima belas tahun kemudian yaitu pada tahun 1903 masa tahanan
mereka telah selesai (dwangarbeid). Setelah mereka menyelesaikan
hukuman di penjara Manado, mereka kemudian dibebaskan. Namun
belum diizinkan pulang ke Banten. Dan pada tahun 1918 mereka
diberikan pengampunan untuk kembali ke Banten

Bataviaasch nieuwsblad, edisi 01 Maret 1918 dan De Sumatra post 20 Maret


1918.
Haji Djafar bin Kyai Mas Hosyim menikah dengan Embu Maspekeh,

Haji Muhammad Asnawi dua kali menikah, isteri pertama di Manado Sri Haji Ali dan isteri ke
dua di Manado Khatma Haji Djafar, Asnawi Sutu menikah dengan Rubinga Haji Ali,

Haji Abdul Karim menikahi Otik Haji Ali (menggunakan marga Aslah),

Haji Ramidin menikah dengan wanita kampung Jawa Tondano bermarga Baderan,

Haji Marjaya menikah dengan cucu dari Maspekeh dan

Haji Muhammad Arysad Thawil menikah di Kema Tonsea tidak memiliki anak, kemudian
anaknya dari Banten menyusul ke pengasingan Manado dan memberikan keturunan.
Dimakamkan di Kampung Banjer, Keturunannya menggunakan marga Kader
Ditelusuri terkait dengan 1803 - 1808 Sultan Aliyuddin II Abu al-Mafakhir Muhammad Aqiluddin
Dampak dan Pengaruh kedatangan
para Eksil di Minahasa
Carpentier Alting, 1902
…di ujung negeri (Tondano) kami tiba disebuah jembatan menuju ke kampung Jawa. Di sini
bermukim sekumpulan orang jawa, bukan atas kehendak mereka sendiri. Mereka adalah orang-
orang buangan. Orang dapat merenungkan nasib mereka dahulu dan sekarang, dan
berkesimpulan bahwa mereka “menyesali” tindakan mereka.….Orang-orang buangan itu
kehilangan banyak hal walau relatif banyak mengecap kebebasan. Kampung mereka terletak di
tempat yang terpisah, dengan sebuah masjid untuk menyembah Tuhan. Mereka juga
mengawini wanita setempat… kebanyakan dari mereka hanya mempunyai cita-cita kembali ke
Jawa… Disini mereka tidak meninggalkan kebiasaan lama (Islam) dan berusaha hidup sebaik
mungkin… mereka lebih maju dalam hal industri kerajinan dibandingkan kebanyakan orang
Minahasa.
Dibawah pemerintahan Residen Jansen, mereka diperintahkan mendirikan rumah-rumah yang
baik dan sebuah kampung yang layak, dengan jalan-jalan yang teratur dan pembagian
pekarangan rumah. Di sana sekarang anda menjumpai penampilan luar yang khas Minahasa,
tetapi dengan tata hiasan rumah yang khas jawa di dalamnya... siapa saja yang memeriksa
susunan kampung dan rumah-rumah di situ, pasti akan lebih suka memilih yang berciri
Minahasa…Kiay Modjo sering berkunjung pada pendeta zendeling Riedel (J.G. Riedel) dan
berbicara banyak dengannya. Ia menerima darinya sebuah Injil.
(Nicholas Graffland, 1850)
Hardesty.T, Ecological Anthropology. (New York: Mc Graw-Hill, 1977)

• antropologi ekologi, adaptasi didefinisikan sebagai suatu strategi yang digunakan oleh
manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik
maupun sosial
• dua mode analitik utama pada perilaku ini: yaitu tindakan individu yang di desain untuk
meningkatkan produktifitasnya, dan mode yang diperbuat oleh perilaku interaktif individu
dengan individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturan yang bersifat
resiprositas.
• Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif,
tindakan strategik dan sintensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif.
• Kemampuan suatu individu untuk beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya. Makin
besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup
makhluk tersebut. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu proses di mana suatu individu
berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins, M.D, “Culture and Environment: The Study of Cultural
Ecology”, dalam Robert Manners dan David Kaplan (eds.) Theory in Anthropology A Sourcebook. (Chicago: Aldine, 1968.)
• Perkawinan dengan wanita setempat
• Pietermaat pada tahun 1840 menyebutkan: “de meeste Javanen zij gehuwd
met alfoersche vrowen, die het Islamche geloof hebben aangenomen”
(Kebanyakan dari orang-orang Jawa ini menikahi wanita alifuru yang kemudian
masuk Islam).
• A.F. Spreewenberg seorang inspektur pertanian yang dikirim ke Tondano
menyebutkan: het leidt geen twijfel, of zij zullen een nieuw ran onder de
bevolking der Minahassa daarstellen, daar zij stipt het Mahomendaansche
geloof blijven toegedaan en aankweeken, en met Alfoersche vrouwen huwen,
maar niet voor dat zij hunnen godsdienst hebben aangenomen. (Tidak ada
keraguan bahwa mereka akan membentuk sebuah ras baru di Minahasa,
karena mereka terus mematuhi iman kepada Muhamad (Islam), dan memiliki
keturunan dengan menikahi wanita Alifuru, yang harus mengadopsi agama
mereka) Pietermaat, “Statistiek aantekening van residentie Menado”, (TNI, no 1, 1840), hlm. 154.
• Pendeta penginjil Graafland pada tahun 1850-an
menyebutkan bahwa: “zij scheppen zich en familieleven
door vrouwen te nemen van dit land, zoo hunne eigene
vrouwen het niet gevolgd zijn” (mereka membangun
keluarga dengan menikahi wanita setempat sebab mereka
tidak diizinkan membawa istri dari tempat asal).
• Pieter Bleeker seorang peneliti alam yang datang di
Tondano pada 1854 menyebutkan: zij trouwen gewoonlijk
met alfoersche vrouwen, welke zij echter eerst tot het
mohammedanisme doen overgaan. (Biasanya mereka
menikahi perempuan alifuru dan kemudian wanita
tersebut kemudian masuk Islam).
• Carpentier Alting tahun 1902 menyebutkan bahwa“allen echter
trouwen dan hier meest met Minahasa meisjes die bij dat
huwelijk overgingen tot den Islam” (dahulu, semuanya menikah
di sini kebanyakan dengan perempuan Minahasa yang kemudian
menikah secara Islam dan kemudian tidak tinggal di desa asalnya
namun menetap di kampung ini). Alting juga menegaskan bahwa
kawin campur dengan wanita Minahasa saat itu (awal abad XX)
sudah jarang terjadi.
• Laporan kolonial terakhir datang dari seorang anggota parlemen
Belanda yaitu Van Kol yaitu 1903: Their number has increased
from 60 to about 1000. By mixing with other exiles, here was a
hybrid race that hardly recalls the Javanese type, although they
form their own compound
•Pertanian
• Laporan inspektur pertanian yang datang ke Minahasa
pada 1845 menyebutkan bahwa:
• “dalam batas-batas desa mereka terdapat sawah,
dan sekitar pekarangan rumah terdapat kebun sayur
yang kecil, sejumlah besar dari mereka
mempertahankan diri dengan berdagang kecil-
kecilan. Mereka menghasilkan juga kentang sangat
baik, kacang tanah, dan lainnya”
Cara membajak "dipopulerkan" oleh orang buangan
dari Jawa. Sebuah laporan tahun 1846 menyatakan
bahwa "bajak" baru diperkenalkan/digunakan sekitar
dua puluh tahun sebelumnya. Di Tondano saat itu
terdapat 13 buah bajak, dibandingkan dengan hanya
7 yang dimiliki oleh penduduk asli di seluruh
Minahasa!

David Henley, (merujuk Spreweenberg)


Daarom maken zij niet alleen hunne
eigene sawah's, en zijn zij in dit opzicht
de Tondano's tot leermeesters geweest
Graafland, N, De Minahasa:. haar verleden en haar
tegenwoordige toestand 2 jilid edisi revisi. (Batavia: G.
Kolff,1898).
Omah ke Wale
• Laporan pertanian tahun 1840 bahwa rumah-rumah yang
dibangun oleh para orang buangan:
• his dwelling, like that of the other Javanese, of whom 70 to 80
reside here, has nothing remarkable in it, and is built in the
Javanese manner, that is to say on the ground, surrounded by a
fence of bambu and covered with alang alang
• penginjil N. Graafland tahun 1840-an yang menyebutkan rumah
para orang buangan awal dengan kalimat:
• “dahulu kampung ini (lokasi pengasingan Tondano) merupakan
contoh tentang kekacauan dan kekotoran, saya telah melihat
gubuk-gubuk yang buruk, gelap, lembab dan kotor, sama seperti
yang pernah saya lihat di beberapa tempat di Jawa yang baru saja
kunjungi
•Dari Omah ke Wale
• Gempa bumi yang sangat hebat di Minahasa 29 Juni 1845.
Gempa tersebut meluluhlantakan hampir seluruh wilayah
Minahasa
• Graafland menyebutkan kondisi rumah para eksil
setelah periode 1850 dengan kalimat:
• “Di sana sekarang anda menjumpai penampilan luar
yang khas Minahasa, tetapi dengan tata hiasan
rumah yang khas jawa di dalamnya”
Islam sebagai identitas

Tondano
Tarekat Syattariyah
Zikir Gholibah
Ngelmu Dolong
Sarongsong
Tarekat Qadriah – Naqsabandiah

Manado
Bahasa

• Ketidaktahuan mereka (eksil) dalam


berbahasa Jawa dan bahasa asal mereka
lainnya menjadi alasan mengapa mereka
tidak mengidentifikasikan sebagai orang Jawa
dan menyebut “Niaku Toudano” = saya orang
Tondano. Juga ketika ada orang dari luar
bertanya kepada mereka mengenai bahasa
mereka, akan dijawab “Niaku ku mete
Toudano ite” = saya hanya bisa berbahasa
Tondano.
 Penggunaan Faam (Nama Keluarga)

Penggunaan marga bagi orang Minahasa dapat dilihat dalam Hukum Adat di
Minahasa yang dicatat oleh sebuah komisi mengenai hukum adat di seluruh Hindia
Belanda pada awal abad XX. Penerapan faam secara formal dimulai pada
pertengahan abad XIX, ketika masyarakat Minahasa mayoritasnya telah menjadi
Kristen. Pasangan yang baru menikah kemudian mengikuti sebuah proses
“pencatatan sipil” awal yang disebut dengan “Toelis Nama”. Toelis nama adalah
sebuah kewajiban penduduk pribumi untuk mencatat pernikahan di Minahasa
yang diadakan sejak tahun 1870.
 Carpentier Alting mencatat dikalangan orang Islam yang tinggal Minahasa juga
menggunakan marga. Dalam laporannya mengenai een register van huwelijken
van Mohammedanen (Pencatatan pernikahan Islam di Minahasa) Alting
menyebutkan bahwa orang Ponosakan (sub suku Minahasa yang Islam) dan
orang Islam lainnya, ketika menikah akan mengikuti adat yang sama dengan
penduduk Minahasa yag Kristen dengan mendaftarkan faam suami istri sebagai
nama keluarga baru tersebut. Carpentier Alting, “Regeling van het Privaatrecht voor de Inlandsche
Bevolking in de Minahassa-districten der Residentie Menado”, Jilid 1 (Batavia: Landsdrukkerij, 1902), hlm. 134.
Perayaan Bakdo Ketupat
(Hari Raya Ketupat)

Shalawat Hymne Gregorian

•Ya Allah Tuhan Kami


• Nada Hymne Gregorian
• Sangat mirip dengan nada dalam lagu Kidung Jemaat Protestan
• Selawat untuk Allah, Nabi Muhammad dan Doa untuk orang tua

You might also like