1 SM
1 SM
1 SM
freshiatrinanda20@gmail.com
ABSTRACT
Film productions in Indonesia still present characterizations that are attached to
traditional gender constructions and objectify the female body. The director of “Selesai” stated
that this movie is produced as a form of his perception regarding the patriarchal culture in
Indonesia, presenting social facts, starting a new perspective, and not discrediting women.
Based on the director's statement, this study aims to describe the objectification of women and
find the dominant ideology in the text. The main theory used is standpoint theory, supported by
male gaze theory, radical libertarian feminism, and the concept of objectification of Nussbaum-
Langton. The method used is the semiotic analysis of Roland Barthes (5 codes).
The main finding of this research is that “Selesai” represents the objectification of
women, where the objectification is carried out by men, fellow women, and women themselves.
Referring to the concept of Nussbaum Langton, some forms of objectification found in the movie;
Instrumentality, where women are used as tools to satisfy men's sex that is represented in the
movie through mistresses, girlfriends, and even in imagination, used as money-making tools and
seen as instruments that should give birth in marriage relations. Denial of autonomy and
inertness, a restriction on women when they try to make decisions for themselves such as
husbands who refuse to divorce, women who have no autonomy to determine whether to give
birth and are admitted to mental hospitals. Ownership can be seen from the unequal ownership
relations where men tend to be dominant in both dating and marriage relationships and “playing
victim” practices to justify the commitment violations. Fungibility, women can be exchanged if
she didn’t meet expectations. Violability, women as objects who can be treated harshly, to be
hurt, their rights are fine to be robbed, cheated on, and bullied verbally and non-verbally.
Denial of subjectivity, women's experiences, and feelings are ignored. Reduction of appearance,
women's value is reduced based on their appearance and reduction of the body where there is a
focus on women through how the camera works on certain body parts. The objectification in
“Selesai” is accompanied by a lack of female resistance, this emphasizes the dominant ideology
of patriarchy and contradicts the director's statement which says that this movie didn’t discredit
women because the facts chosen in this movie aren’t constructed well with gender equality.
Based on the results of this critical research, it’s inaccurate if the contents of the film are used as
material for a reflection to change society.
Produksi film di Indonesia masih menghadirkan karakter penokohan yang seragam lekat
dengan konstruksi gender tradisional dan mengobjektifikasi tubuh perempuan. Film Selesai
dinyatakan oleh sutradaranya sebagai bentuk kesadarannya akan budaya patriarki di Indonesia,
penyajian fakta sosial, mencoba membuka sudut pandang baru dan tidak mendiskreditkan
perempuan. Berdasarkan pernyataan sutradara tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan objektifikasi perempuan dan melihat ideologi dominan dalam teks. Teori utama
yang digunakan adalah standpoint theory di dukung oleh male gaze theory, aliran feminisme
radikal libertarian dan konsep objektifikasi Nussbaum-Langton. Metode yang digunakan adalah
analisis semiotika Roland Barthes (5 kode).
Temuan utama penelitian yakni film Selesai merepresentasikan objektifikasi perempuan,
dimana objektifikasi dilakukan oleh laki-laki, sesama perempuan dan oleh dirinya sendiri.
Mengacu dalam konsep Nussbaum Langton, ditemukan bentuk objektifikasi seperti :
Instrumentality dimana perempuan dijadikan alat pemuas seks laki-laki yang dimunculkan
melalui tokoh perempuan simpanan, pacar bahkan dalam imajinasi, dijadikan alat penghasil uang
dan dipandang sebagai instrumen yang harus menghasilkan anak dalam relasi pernikahan. Denial
of autonomy dan inertness, adanya pembatasan perempuan untuk menentukan keputusan bagi
dirinya sendiri seperti suami yang menolak keinginan perceraian, perempuan tidak diberi
otonomi untuk menentukan apakah harus memiliki anak dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Ownership terlihat dari adanya relasi kepemilikan yang tidak setara dimana laki-laki cenderung
dominan baik dalam relasi berpacaran maupun pernikahan dan adanya gambaran playing victim
untuk justifikasi pelanggaran komitmen. Fungibility, perempuan dapat dipertukarkan jika dinilai
tidak memenuhi harapan. Violability, perempuan sebagai objek yang dapat diperlakukan kasar,
disakiti, boleh di rampas haknya, diselingkuhi, dirundung secara verbal maupun nonverbal.
Denial of subjectivity, pengalaman dan perasaannya diabaikan. Reduction of appearance,
perempuan direduksi nilainya atas penampilan yang tampak serta reduction of body dimana
terdapat pemfokusan perempuan melalui cara kerja kamera pada bagian tubuh tertentu.
Gambaran objektifikasi dalam film Selesai diiringi kurangnya resistensi perempuan menegaskan
ideologi dominan patriarki dan bertentangan dari pernyataan sutradara yang sama sekali tidak
bermaksud mendiskreditkan perempuan karena fakta yang dipilih pun tidak dikonstruksikan
dengan andil gender. Melalui hasil penelitian secara kritis menjadi kurang tepat bila isi film
dijadikan bahan refleksi diri guna mengubah keadaan.
Isu gender dalam ranah privat masih ranah privat adalah film “Selesai”. Film ini
marak terjadi. Padahal di Indonesia merupakan hasil garapan dr. Tompi tahun
mengedepankan kesetaraan gender salah 2021. Sebelum tayang secara resmi, film ini
satunya yang tertuang dalam UU No.7 mengundang banyak atensi dari masyarakat
Tahun 1984 (ratifikasi konvensi CEDAW) Indonesia terbukti dari perilisan Trailer di
maupun UU No 23 tahun 2004 (memerangi kanal youtube pada 30 Juli 2021 meraih
KDRT). Kekerasan ranah privat secara 1.800.442 kali tayangan, disukai oleh 10
konsisten menjadi kasus paling banyak ribu dan dikomentari 1000 lebih pengguna.
dilaporkan di tahun 2021 yakni terdapat Film ini berhasil menggaet perhatian
335.339 kasus. Menurut data BADILAG, khalayak dengan ditonton secara online dan
2021. Penyebab tertinggi adalah perselisihan dengan perolehan lebih dari 100.000 lebih
meninggalkan salah satu pihak dan ekonomi Pembuatan film ini diakui sineasnya
(Komnas Perempuan, 2022:56) berangkat dari pengamatan dan
dengan isu rumah tangga bisa kita temukan kerap dilihat spesifiknya berkutat di ranah
dalam media massa seperti film yang hadir personal seperti kisah rumah tangga,
sebagai bentuk respon dan kritik. Fenomena perselingkuhan dan pelakor serta
lain, survei daring dilakukan oleh Plan keresahannya atas dominasi patriarki yang
ditampilkan dalam penampilan fisik yang berpikir, membuka sudut pandang dan
negatif dan direpresentasikan sebagai korban mengubah keadaan. Dalam diskusi online,
kekerasan seksual serta 77.2% responden dr. Tompi memang mengakui tidak
mendapat penokohan sebagai pemimpin konsep dan naskah karena ia merasa sudah
yang biasa terjadi sehingga ia membantah hasil riset masih menghadirkan karakter
segala tuduhan yang disematkan kepadanya penokohan yang seragam lekat dengan
masuk dalam jajaran trending topic. Banyak dr. Tompi yang hadir sebagai keresahannya
yang mendukung dan memuji film ini akan budaya patriarki yang mendarah
dengan realita yang ada, namun tak sedikit menyatakan bahwasannya film ini menjadi
Film sebagai media massa memiliki ciri langsung dari film “Selesai” dan data
khas yakni dalam lingkup yang luas mampu sekunder berupa jurnal ilmiah nasional
pesan yang tidak bersifat homogen dokumen resmi, e-book, buku fisik maupun
melainkan mencakup latar belakang yang penelitian. Teknik pengumpulan data berupa
bermacam-macam serta bisa memicu suatu observasi dan dokumentasi. Unit analisis
dampak tertentu (Vera, 2015:91). yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
yang memakai layar berukuran besar dan audio dan visual yang berkaitan dengan
yang menimbulkan kesan sinematik dan dari film “Selesai”. Teknik analisis dan
artistik serta khalayak dapat fokus untuk interpretasi data menggunakan pendekatan
menyaksikan film yang berpengaruh pada model semiotika Roland Barthes mengkaji
dengan tujuan penelitian. Leksia yang sebuah kebenaran atau jawaban atas
terpilih adalah nomor 6, 8, 9, 10, 17, 24, 25, pertanyaan yang ada dalam teks (Sobur,
28, 29, 31, 32, 36, 37, 39, 48, 51, 62 dan 63 2018:65-66). Kode hermeneutik ditelaah
dari dua aspek yakni, sisi penceritaan
Analisis Sintagmatik (Denotasi)
(naratif) dan sisi teknis (sinematografi).
Analisis sintagmatik dilakukan untuk Menelaah secara naratif, pertanyaan
mengetahui struktur film yang tampak apa mengandung teka-teki yang muncul secara
adanya seperti unsur naratif dan sinematik keseluruhan 18 leksia memiliki kesamaan
berupa mise en scene (latar, paralinguistik, yang menjurus pada adanya objektifikasi
kostum, tata rias, ekspresi dan gestural), perempuan dapat dilakukan oleh laki-laki,
sinematografi, editing dan suara (Vera, sesama perempuan dan dirinya sendiri.
2015:92).
Menelaah secara filmis, type of shot
Latar film ini di dominasi di dalam di dominasi oleh kombinasi close shot dan
ruangan. Secara dominan, type of shot terdiri medium shot. Secara implisit, close shot
dari close shot dan medium shot (Close up, dalam leksia dimaksudkan sineas untuk
medium close up, medium full shot, long membidik ekspresi secara jelas entah itu
shot), sudut ambil gambar (dominan eye kemarahan, kesedihan, penuh kenafsuan,
level, ditemukan juga high angle, over kekesalan dan lain sebagainya. Medium shot
shoulder serta subjective camera angle), digunakan sineas untuk membidik interaksi
pergerakan kamera (tilting, following dan atau aktivitas tokoh serta dibeberapa leksia
panning). Transisi ditemukan berupa terlihat membidik gestur atau pergerakan
dissolve dan fade out. Cutting berupa dan menampakan bagian tubuh perempuan
straight cut, cross cutting dan parallel meski tidak secara eksplisit.
Sudut pengambilan gambar yang nondiegetic sound. Leksia secara dominan
dominan adalah eye level. Sudut ini berada mengkombinasikan antara keduanya.
di ketinggian sedang, sejajar dengan tinggi Nondiegetic sound (leksia 6, 9, 10, 17, 24,
kita (Hasfi dan Widagdo, 2012:59). 28, 29, 31, 32, 36, 39, 48, 51 dan 62) secara
Dominannya sudut ini memperlihatkan implisit muncul untuk melengkapi dialog
sineas ingin memfokuskan ekspresi dan tokoh (diegetic sound) dan menekankan
interaksi antar tokohnya secara sejajar, maksud tertentu, yakni mengesankan
Namun, ditemukan sudut pengambilan high kelucuan, romantisme, selebrasi dan
angle (leksia 29, 48, 62) dan subjective kegembiraan ketika adegan masturbasi,
camera angle (leksia 28). Salah satu kesedihan, keseriusan/ketegangan, voice
contohnya, subjective camera angle (leksia over. Misalnya, terlihat pada leksia 28 yang
28) menempatkan penonton sebagai mata mengkombinasikan keduanya, Mas
Mas Bambang yang mengintip (Voyeuristik) Bambang bermonolog (diegetic),
sebagai penegasan objektifikasi perempuan. menggunakan tubuh Ayu sebagai alat bantu
masturbasinya musik latar yang digunakan
Pencahayaan yang dominan pada
adalah iringan musik drum band (non
leksia menggunakan artificial light yang
diegetic) mengesankan selebrasi dan
cenderung kekuningan. Menurut Molly
kegembiraan.
Holzschlag, warna yang condong
kekuningan diasosiasikan dengan matahari Dari segi penyuntingan, paling
yang berarti kehangatan, namun respon banyak ditemukan adalah cross cutting,
psikologis yang ditimbulkan berkaitan parallel editing dan straight cut. Menurut
dengan optimis, harapan, filososfi, Bordwell (dalam Mulia, 2017:195), teknik
ketidakjujuran, kecurangan, pengecut dan cross cutting dan parallel editing digunakan
pengkhianatan (dalam Purnama, 2010:119). untuk meningkatkan ketegangan,
Dominannya tone warna kuning menampilkan konflik, menunjukkan titik
menyulitkan untuk membedakan latar waktu perbandingan ataupun perbedaan, dalam
karena menghasilkan suasana yang film tertentu sutradara menggunakan teknik
cenderung sama. ini untuk menyampaikan permasalahan
maupun solusi dengan cara yang
Suara atau musik yang digunakan
mengejutkan. Diterapkannya cross cutting
pada leksia yang diteliti yakni diegetic dan
dan parallel editing pada film Selesai secara
implisit menjadi cara yang digunakan sineas dominan baik dalam relasi berpacaran
untuk menghindari kemonotonan dan maupun pernikahan dan adanya gambaran
berusaha menghadirkan variasi dalam film playing victim untuk justifikasi pelanggaran
untuk meningkatkan ketegangan mengingat komitmen. Fungibility, perempuan dapat
latar tempat yang dipakai hanya di dalam dipertukarkan jika dinilai tidak memenuhi
rumah. harapan. Violability, perempuan sebagai
objek yang dapat diperlakukan kasar,
Kode Proairetik
disakiti, boleh di rampas haknya,
Kode proairetik berkaitan dengan diselingkuhi, dirundung secara verbal
tindakan. Tindakan objektifikasi tersebut maupun nonverbal. Denial of subjectivity,
dilihat menggunakan konsep pemikiran pengalaman dan perasaannya diabaikan.
Nussbaum-Langton yang terdiri dari 10 fitur Reduction of appearance, perempuan
atau bentuk seseorang dikatakan direduksi nilainya atas penampilan yang
terobjektifikasi. Ditemukan tindakan tampak bahkan perempuan mereduksi
objektifikasi terhadap perempuan seperti : penampilannya sendiri serta reduction of
Instrumentality, dimana perempuan body dimana terdapat pemfokusan
dijadikan alat pemuas seks laki-laki yang perempuan melalui cara kerja kamera pada
dimunculkan melalui tokoh perempuan bagian tubuh tertentu.
simpanan, pacar bahkan dalam imajinasi,
dijadikan alat penghasil uang dan dipandang Implikasi atas tindakan objektifikasi
autonomy dan inertness, adanya pembatasan keinginan dan kesadarannya sendiri serta
Sobur, Alex .(2018) .Semiotika Komunikasi Puspitasari, Aprilia Hening dan Widodo
.Bandung:PT Remaja Rosda Karya . Muktiyo .(2017) .Menggugat
Stereotip “Perempuan Sempurna” :
Sulistyani, Hapsari Dwiningtyas . (2021) . Framing Media terhadap Perempuan
Narasi Perempuan di Dalam Film : Pelaku Tindak Kekerasan. Palestren,
Sebagai Ibu, Teman dan Perempuan 10(2):248-272
Pesanan . Surabaya : Cipta Media
Nusantara . Safitri, Zulfa dan Amirudin .(2021)
.Keputusan Perempuan Memaafkan
Tong, Rosemarie Putnam .(1998) .Feminist Ketidaksetiaan Pasangan. Endogami
Thought .Yogyakarta : Jalasutra . : Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi,
Vera, Nawiroh .(2015) .Semiotika dalam 4(2) : 61-70.
Riset Komunikasi . Bogor :Ghalia Sakina, A. I. (2017). Menyoroti budaya
Indonesia . patriarki di Indonesia. Share: Social
Wahjuwibowo, Indiwan Seto .(2018) Work Journal, 7(1):71-80.
.Semiotika Komunikasi Suciati, Rina dan Muhammad Agung.
.Jakarta:Mitra Wacana (2016). Perbedaan Ekspresi Emosi
Media pada orang Batak, Jawa, Melayu dan
Jurnal Minangkabau. Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Sultan
Mulia, P. B. (2018). Cross-cutting: Sarif Kasim Riau, 12(2).
Pembentukan Konflik Dalam Film
“Haji Backpacker”. Ekspresi Seni: Skripsi
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Sanam, Zerlinda Christine Aldira .(2018)
Seni, 19(2) : 193-208. .Self Silencing Pada Perempuan
Nussbaum, M. C. (1995). Menikah di Timor Timur. Skripsi.
Objectification. Philosophy & Public Universitas Sanata Dharma
Affairs, 24(4) : 249-291. Yogyakarta .