Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil

Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

JURNAL

MK POTENSI PEMANFAATAN MATERIAL ALAM SUMATERA

Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil


dan Pengguna Energi Terbarukan
BAMBANG PRASTOWO Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Indonesian Center for Estate Crops Research and Development Jl.
Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111 prastowo@deptan.go.id;
bprastowo@gmail.com
ABSTRACT

Development of a dynamic world energy consumption within the limitation of fossil energy reserve as well as
the awareness on the environmental conservation evoke the increase of interest on a renewable energy,
especially a renewable energy resources from agriculture sector such as food crops, horticulture, estate
commodities and animal husbandry. To be more specific, the main commodities are paddy, maize, cassava,
coconut, palm oil, sugarcane, Jatropha curcas, sago, and large livestock (Cow/Cow waste). The potency of bio-
energy derived from plant biomass residue of agriculture sector (without wood industry, maize) is around
441.1 GJ. At the same condition, in 2000, it is estimated roughly 430 million GJ or just about 470 million GJ if
the residue of wood industry is included. Estimated that if the availability of bioenergy derived from the main
production of agriculture commodity is calculated, so that Indonesia could provide bio-energy potentially
amounted to 360.99 million GJ, therefore, the total amount would be around 802.09 million GJ. In contrast,
the value is approximately equal to the continuous operating of more than 25 thousand units of electric power
of renewable energy power for middle scale of 10 MW which is now being campaign. Agriculture sector is not
only plays the role as the producer of a renewable energy, but also forms as a potential user. Alongside
technology development of energy and agriculture sectors, the equivalent estimation between the production
and the usage of renewable energy in agricultural sector need to be studied continuously. This evaluation is
useful to analyze the efficiency of agribusiness activities in Indonesia based on the improvement of national
agriculture productivity and environmental conservation through renewable energy.
Key words: Agriculture, potency, renewable energy, bioenergy
PENDAHULUAN
Biomassa adalah semua bahan-bahan organik berumur relatif muda dan berasal
dari tumbuhan/hewan; produk dan limbah industri budidaya (pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan), yang dapat diproses menjadi
bioenergi (Reksowardojo dan Soeriawidjaja. 2006). Salah satu bentuk bioenergi
yang dihasilkan adalah berupa bahan bakar nabati.
Bioenergi memang bukanlah alternatif terbaik bagi semua negara, baik karena
keterbatasan lahan maupun kompetisi penggunaannya untuk keperluan lain.
Namun demikian, duniapun tahu bahwa hal-hal seperti ini tampaknya tidak
terlalu berlaku bagi negaranegara seperti Brazil, Thailand, Indonesia dan Nigeria,
yang memiliki banyak alternatif dalam menghasilkan biomassa untuk bioenergi
(Silveria, 2005).
Hal ini tentu sejalan dengan langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah
energi nasional. Jika disinggung masalah energi terbarukan, maka sumber energi
alternatif selain angin, surya, gelombang, tentu juga akan mengarah kepada
sumber alternatif lainnya terutama komoditaskomiditas pertanian
BIOENERGI DARI KOMODITAS UTAMA PERTANIAN
Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan
dan peternakan. Komoditas pertanian yang cukup banyak dibudidayakan
masyarakat dan potensial untuk sumber bahan bakar nabati cukup banyak,
antara lain kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, tebu, sagu dan ubikayu (Prastowo,
2006; Prastowo dan Sardjono, 2007).
 Kelapa Sawit
Lahan untuk kelapa sawit potensinya cukup tinggi. Luas areal kelapa sawit
diperkirakan seluas 5,5 juta juta ha, CPO yang dihasilkan sebanyak 15,4 juta ton
(Ditjenbun, 2006). Kebijakan pengembangan kelapa sawit untuk bioenergi adalah
pengembangan kebun khusus (dedicated area), antara lain dengan memanfaatkan
ijin usaha perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan tapi belum dimanfaatkan.
Pada periode 2000-2002 IUP yang telah dilepas Ditjen Perkebunan 72 IUP dengan
luas 672.977 ha tetapi yang aktif hanya 40 IUP sisanya sebanyak 32 IUP tidak aktif
mencakup 288.000 ha. Untuk bahan tanaman unggul, telah tersedia 7 sumber benih
dengan kemampuan produksi benih dengan kapasitas 147 juta benih (setara dengan
area 700.000 ha/tahun). Dari luasan pertanaman kelapa sawit yang 5,5 juta ha,
53,7% dikelola oleh perkebunan besar swasta, perkebunan rakyat 34,2% dan PTPN
sekitar 12,1%.
 Kelapa
Area pertanaman kelapa di Indonesia saat ini sekitar 3,8 juta ha. Kurang
menariknya harga kelapa sejauh ini menyebabkan perawatan dan pemeliharaan
tanaman kelapa oleh petani tidak memadai. Sekitar 20-30% pertanaman kelapa di
Indonesia harus diremajakan, karena sudah rusak atau sudah tua.
Masyarakat menyebut kelapa sebagai pohon kehidupan. Hampir semua bagian
tanaman kelapa dapat dimanfaatkan bagi manusia. Bagian tanaman kelapa atau
hasilnya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif adalah daging
buah untuk minyak dan bahan bakar nabati, tempurung dan serabut serta
pelepahnya untuk bahan bakar padat. Bagian lainnya adalah hasil nira, yang dapat
dijadikan bahan pembuatan bioetanol. Walaupun kadar energinya berbeda, tetapi
bagian tanaman tersebut berpotensi sebagai sumber energi alternatif.
 Sagu
Sumber minyak nabati potensial lain yaitu sagu. Hamparan sagu liar di Indonesia
saat ini mencapai sekitar satu setengah juta hektar terutama di Papua (Flach,
1984). Setiap batang pohon sagu di Papua dapat menghasilkan + 200 kg tepung
sagu dan bioetanol sekitar 30 liter, sementara sagu asal Maluku dapat
menghasilkan sekitar 400-500 kg tepung sagu. Panen sagu sekitar 35
pohon/ha/tahun. Harga etanol di pasaran yang cukup menarik diharapkan dapat
mendorong pemanfaatan sagu sebagai sumber energi alternatif. Namun kendala
yang perlu diperhatikan, antara lain tersebarnya populasi pertanaman, apalagi
umumnya terdapat di daerah yang sulit dijangkau. Tetapi untuk keperluan lokal
dapat dijadikan pertimbangan pemerintah daerah setempat untuk memanfaatkan
potensi sagu tersebut.
 Tebu
Tanaman perkebunan lainnya sebagai sumber bioetanol potensial adalah tebu.
Kendala pengembangan bioetanol asal tebu, antara lain areal yang terbatas dan
belum adanya tata ruang khusus untuk pengembangan produksi etanol. Saat ini,
selain pengembangan tebu cenderung ke lahan yang kurang sesuai, biaya
investasinya juga sangat besar. Produksi gula saat ini sekitar 2,3 juta ton, dan
masih kekurangan sekitar 200.000 ton gula. Saat ini telah tersedia sejumlah
varietas tebu unggul baru untuk lahan sawah maupun tegalan, termasuk varitas
genjah (PSCO 90-2411) yang berpotensi untuk bioetanol. Areal pertanaman tebu
saat ini mencapai 382.354 ha, dengan produksi 31.140 ton, atau setara dengan
2.244.000 ton gula dan 1.186.000 ton tetes (Ditjenbun, 2006). Sekitar 40% dari
produksi tetes tersebut sudah digunakan untuk pembuatan bioetanol, sedangkan
60% sisanya untuk MSG, dll.
Secara global, biomassa mampu menyediakan 11% energi primer dunia
(Dobermann, 2007). Diungkapkan juga bahwa potensi bioenergi global dari sektor
pertanian diperkirakan sebesar 2-22 EJ (Exajoule), dan produksi energi kotor
minyak kelapa sawit di Indonesia bisa mencapai 168 GJ (Gegajoule)/ha. Sisa
biomassa kelapa sawit diper-hitungkan menghasilkan sekitar 67 juta GJ, karet
sekitar 120 juta GJ, padi sekitar 150 juta GJ (Abdullah, 2001). Untuk kelapa,
hasil bioenergi kotor diperkirakan sekitar 3168,1 MJ (Megajoule)/pohon
(Soerawidjaja, 2006). Jagung tidak menjadi bahan perhitungan karena dinilai
masih belum mampu memenuhi kebutuhan untuk konsumsi pangan dan pakan
dalam negeri. Pertanaman kelapa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bioenergi, diperhitungkan sekitar 25% dari areal tanam yang ada, yaitu sekitar
3,8 juta ha. Dari areal pertanaman ini, sekitar 25% memerlukan peremajaan,
karena sudah tua, rusak, dan kurang terawat.

You might also like