IV Admixture
IV Admixture
IV Admixture
KELOMPOK 3
Rizky Tris Irianto
(G1F012018)
(G1F012020)
(G1F012022)
Muntofingah
(G1F012024)
LABORATORIUM FARMASETIKA
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
Pendahuluan
a. Tujuan
1) Menguraikan dan melakukan pencampuran larutan injeksi aminophilin
ke dalam larutan infuse i.v larutan dekstrosa 5%.
2) Menguraikan dan melakukan evaluasi produk i.v admixture.
3) Menguraikan cara-cara validasi proses handling cytotoxic agents.
4) Menguraikan cara-cara validasi alat laminar air flow (LAF) cabinet.
b. Dasar Teori
Intravena admixture adalah suatu larutan steril yang dimaksudkan untuk
penggunaan parenteral (diberikan melalui intervana) yang dibuat dengan cara
mencampurkan satu atau lebih produk parenteral ke dalam satu wadah. Pada
saat ini program IV admixture makin banyak digunakan. Latar belakang
mengapa iv admixture menjadi tanggung jawab farmasis, dan tenaga kesehatan
lain yang ada di rumah sakit adalah pertimbangan:
1. Farmasis menguasai problem yang berkaitan dengan kontaminan,
inkompatibilitas fisika, kimia maupun inkompatibilitas terapeutik serta
sekaligus dapat mengatasinya jika problem ini muncul, serta menguasai
problem yang berkaitan dengan stabilitas.
2. Efisiensi cost
3. Menurunnya potensial errors (kesalahan)
4. Kualitas meningkat
5. Merupakan salah satu dari pengamalan pharmaceutical care
(Ansel, 2005)
Beberapa keuntungan yang didapat melalui pemberian obat dengan cara
iv admixture, adalah:
1. Lebih praktis karena larutan infus yang telah dicampur obat dapat
sekaligus berfungsi ganda yaitu larutan infus sebagai pemelihara
keseimbangan cairan tubuh dan obat yang berada didalamnya dapat
berfungsi mempertahankan kadar terapetik obat dalam darah.
2. Pada pemberian banyak obat (multiple drugs therapy) cara ini merupakan
altematif yang paling baik mengingat terbatasnya pembuluh vena yang
tersedia, sehingga lebih convenience (nyaman ) bagi penderita.
(Rahman, 2009)
Namun perlu diperhatikan bahwa pemberian obat melalui cara ini apabila
dilakukan secara sembarangan dapat menimbulkan beberapa kerugian.
Kerugian yang di maksud berkaitan dengan pemberian obat secara intravena
pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Air embolus
2. Bleeding (perdarahan)
3. Reaksi alergi
4. Phlebitis/iritasi vena
5. Pirogen
6. Ekstravasasi
(Rahman, 2009)
Prosedur penanganan obat sitostatika yang aman perlu dilaksanakan
untuk mencegah risiko kontaminasi pada personel yang terlibat dalam
preparasi, transportasi, penyimpanan dan pemberian obat sitostatika baik
melalui melalui inhalasi, absorpsi, atau ingestion. Potensial paparan pada
petugas pemberian sitostatika telah banyak diteliti. Toksisitas yang sering
dilaporkan berkenaan dengan preparasi dan handling sitostatika berupa
toksisitas pada liver, neutropenia ringan, fetal malformation, fetal loss, atau
kasus timbulnya kanker. Tahun 1983 Sotaniemi, dkk. Melaporkan adanya
kerusakan liver pada 3 orang perawat yang bekerja pada ward oncology. Di
dua
rumah
sakit
di
Italy
telah
dilakukan
penelitian
ditemukan
cyclophosphamide dan ifosfamide dalam urine perawat dan staf farmasi yang
tidak mengikuti peraturan khusus dalam menangani obat-obat kanker. Selain
untuk melindungi petugas dan lingkungan dari keterpaparan obat kanker,
preparasi obat sitostatika secara aseptis diperlukan untuk 3 tujuan, yaitu:
II.
Pembahasan
a. Analisis Farmakologi
Aminofilin memiliki khasiat sebagai bronkodilator, antispasmodikum, dan
diuretikum (Depkes RI, 1979). Aminofilin diindikasikan untuk meredaka
dan mengatasiobstruksi saluran pernapasan yang berhubungan dengan asma
bronkial dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) lainnya seperti
emfisema dan bronkitis kronik (MIMS, 2011).
b. Preformulasi
Injeksi Aminofilin
Injeksi aminofilin adalah larutan steril aminofilin dalam air untuk
injeksi, atau larutan steril teofilin dalam air untuk injeksi yang dibuat
Dekstrosa
Rumus molekul : C6H12O6 atau C6H12O6.H2O
Bobot molekul : 180,16 atau 198,17
Dekstrosa adalah suatu gula yang diperoleh dari hidrolisis pati.
Mengandung satu molekul air hidrat atau anhidrat.
Pemerian : Hablur tidak berwarna, serbuk hablur atau serbuk granul
putih; tidak berbau; rasa manis.
Kelarutan : Mudah larut dalam air; sangat mudah larut dalam air
mendidih; larut dalam etanol mendidih; sukar larut dalam etanol.
Sterilisasi : Menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
(Depkes RI, 1995)
Injeksi Dekstrosa
Injeksi dekstrosa adalah larutan steril dekstrosa dalam air untuk injeksi.
Mengandung dekstrosa, C6H12O6.H2O, tidak kurang dari 95,0% dan
tidak lebih dari 105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Injeksi
dekstrosa tidak mengandung bahan antimikroba.
pH : antara 3,5 dan 6,5.
(Depkes RI, 1995)
c. Formulasi
R/ Theophylin 2g
Etilendiamin 0,55g
Aqua p.i
ad 100 ml
(USP)
d. Sterilisasi
Sterilisasi ampul-ampul injeksi aminofilin dilakukan dengan sterilisasi uap
dengan
penghancuran bakteri oleh uap air panas adalah karena terjadinya denaturasi
dan koagulasi beberapa protein esensial organisme tersebut. Adanya uap air
yang panas dalam sel mikroba, menimbulkan kerusakan pada temperatur
yang relatif rendah (Ansel, 2005). Pensterilan menggunakan autoklaf karena
bahan teofilin yang digunakan tahan terhadap pemanasan dan pemanasan
dengan menggunakan autoklaf lebih efektif karena merupakan pemanasan
dengan metodep uap basah (pemanasan basah).
e. Evaluasi Sediaan
1. Uji pH (Depkes RI, 1995)
Pengujian menggunakan ph meter, penetapan pH ini mengetahui pH
sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
2. Uji Kebocoran (Depkes RI, 1995)
Pengujian kemasannya yaitu dengan melapisi permukaan bawah
menggunakan kertas putih, jika kertas basah maka kemasan sediaan
tersebut terdapat kebocoran.
3. Uji dengan larutan warna (Dye Bath Test)
Sejumlah wadah (ampul, vial) yang belum berlabel dipegang pada
lehernya.
Dibalikkan
perlahan-lahan
untuk
mencegah
terjadinya
asing atau wadah rusak harus dipisah. Bila jumlah wadah yang tercemar
melebihi batas persyaratan maka pemeriksaan diulang atau kemudian
produk ditolak..
4. Uji Kejernihan (Depkes RI, 1995)
Tujuan uji ini memastikan larutan terbebas dari pengotor Prinsip uji ini
membandingkan kejernihan larutan uji dengan suspensi padanan dilakukan
dibawah cahaya yang terdifusi tegak lurus ke arah bawah tabung dengan
latar belakang hitam sesuatu cairan dikatakan jernih jika kejernihannya
sama dengan air atau pelarut yang digunakan bila diamati di bawah
kondisi seperti tersebut di atas atau jika opalesensinya tidak lebih nyata dari
suspensi padanan I. Persyaratan untuk derajat oplesensi dinyatakan dalan
suspensi padanan I, II, dan III.
5. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, terdapat beberapa cara uji
sterilitas, antara lain:
a. Media Thioglikolat Cair
pH media setelah sterilisasi 7,1 0,2. Media thioglikolat cair
digunakan untuk inkubasi dalam kondisi aerob.
b. Media Thioglikolat Alternative
pH media setelah sterilisasi 7,1 0,2. Media ini digunakan dengan
menjamin kondisi anaerob selama masa inkubasi.
c.
pH medium setelah sterilisasi 7,3 0,2. Uji ini menggunkan inkubasi dalam
kondisi aerob.
III. Cara Pembuatan
Proses pencampuran obat suntik secara aseptis, mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut.
Menyiapkan meja kerja LAF dengan memberi alas penyerap cairan dalam
LAF
standar atau teknik preparasi sediaan sitotoksik baik steril maupun non steril
untuk menghindari petugas agar tidak terpapar bahan sitotoksik, prosedur
pembersihan tumpahan obat baik diluar LAF atau di dalam LAF, dan pemberian
label sitotksik ; pengemasan sediaan sitotoksik agar aman untuk dibawa keruang
perawatan dengan terdapat label peringatan (SPHA Committee, 2005).
V.
Kesimpulan
Proses pembuatan i.v admixture harus dilakukan dalam kondisi steril
secara aseptis.
Handling Cytotoxic merupakan prosedur kerja dengan agen-agen
sitotoksik untuk meminimalisasi kemungkinan agen mengontaminasi
personal atau operator.
Validasi proses handling cytotoxic harus dilakukan secar berkala untuk
menjamin keamanan prosedur tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Howard C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV, UI Press,
Jakarta
Depkes RI, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Eitel, A., M. Scherrer, and K. Kummerer, 2000, Handling Cytostatic Drugs
German Edition, Bristol-Myers Squibb, Germany.
Lachman, L., Liberman H.A., dan Kanig J., 1994, Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi ke-3. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Lund W., 1994, The Pharmaceutical Codex Principles and Practice of
Pharmaceutics 12th Ed., The Pharmaceutical Press, London.
MIMS, 2011, MIMS Indonesia: Petunjuk Konsultasi, PT Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta.
Rahman, Latifah dan Natsir Djide, 2009, Sediaan Farmasi Steril, Lembaga
Penerbitan Unhas, Makassar.
SHPA Committee of Specialty Practice in Oncology, 2005, SHPA Standards of
Practice for the Safe Handling of Cytotoxic Drugs in Pharmacy
Departments, J Pharm Pract Res, Australia.
Trissel, C.A., 2003, Handbook on Injectable Drugs 12th Ed. Book 2, American
Society of Health-System Pharmacist Inc., USA.
USP 32NF 27, 2009, United States Pharmacopeia and The National Formulary,
The United States Pharmacopeial Convention, Rockville (MD).