100% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
460 tayangan26 halaman

Belajar Tajwid

Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 26

1

Bagian I
Keunggulan dan Kebaikan Membaca al-Quran serta
Keutamaan mempelajarinya.
1. Allah SWT memerintahkan rasul-Nya Muhammad SAW
membaca al-Quran secara benar dan teratur (tartil atau tajwid),
dan perintah tersebut sekaligus berlaku bagi kita selaku umat
beliau.
Allah berfirman:
( ::
) :
Artinya: Bacalah al-Quran dengan tartil (benar dan teratur)
Demikian pula Allah memuji hamba-hamba-Nya yang membaca
dengan sebenar-benar bacaan serta sesuai dengan pelafalan
bahasa arab yang fasih (bahasa arab qurani) tidak menyimpang
dari cara itu.
Allah berfirman:
( : )
Artinya: Orang-orang yang kami telah memberikan kepada
mereka al-Kitab (al-Quran) mereka membacanya dengan
sebenar-benar bacaan
Allah berfirman:
( : )
Artinya: Al-Quran dalam bahasa arab yang tidak ada
kebengkokan
(didalamnya)
supaya
mereka
bertaqwa
(menjaganya).
2. Pembaca al-Quran akan memberikan syafaat di hari kiamat
kepada sepuluh orang keluarganya padahal mereka seharusnya
masuk neraka. Nabi bersabda:
: :


Artinya: Orang yang membaca al-Quran dan terus menerus
membacanya,
memeliharanya
(menghafalnya)
Allah
memasukkan-Nya ke dalam syurga, ia memberikan syafaat
kepada sepuluh keluarganya padahal semuanya seharusnya
masuk neraka. (Hadits diterima dari Ali bin Abi Thalib dan
dikutip oleh tafsir al-Qurthubi).
3. Seorang anak yang membaca al-Quran dan berupaya
mengamalkannya Allah akan menganugerahkan pakaian
kehormatan berupa mahkota (taaj) kepada kedua orang tuanya
pada hari kiamat. Nabi bersabda:
:
:

Artinya: Orang yang membaca al-Quran dan mengamalkan apa


yang ada di dalamnya Allah akan menganugerahkan kedua
orang tua (pembaca itu) mahkota di hari kiamat. Sinarnya lebih
baik dari sinar matahari yang ada dalam rumah-rumah dunia.
Bagaimana perasaan kamu semua dengan orang yang
mengamalkan hal ini. (HR Abu Daud dari Muadz bin Jabal)
Maka semua orang tua tanpa terkecuali setelah mengetahui
sabda ini hendaklah mendorong anak-anaknya agar giat
membaca al-Quran dan mendidiknya untuk mengamalkannya
dengan harapan mereka mendapatkan kemuliaan ini.
4. Orang yang sibuk dengan al-Quran dan dalam hidupnya
memohon kepada Allah, maka Allah akan memberikannya
sesuatu yang lebih baik dari apa yang diminta oleh orang-orang
lain pada umumnya.
Nabi dalam hadits qudsi berkata:
: :
: :
Artinya: Allah berfirman: Orang yang menyibukkan dirinya
dengan al-Quran dan mengingat-Ku dengan memohon kepadaKu, Aku akan memberikannya sesuatu yang lebih baik dari apa
yang aku berikan kepada orang-orang yang memohon pada
umumnya. Keunggulan (kelebihan) firman Allah dengan semua
macam perkataan seperti keunggulan (kelebihan) Allah di atas
semua makhluk-Nya. (HR At-Turmudzi dan al-Baihaqi dari Abu
Hurairah)
5. Orang yang memiliki semangat al-Quran baik bacaan,
pemahaman, dan pengamalannya, Allah menempatkan orang
tersebut dari kelompok orang-orang khusus yang dekat denganNya. Nabi bersabda:
: :

Artinya: Sesungguhnya Allah memiliki dua kelompok yang dekat
dengan-Nya dari semua manusia, yaitu ahli al-Quran. Mereka
itulah orang-orang yang dekat dengan Allah dan menempati
kekhususan di sisi-Nya. (HR Ahmad, an-Nasai, dan al-Hakim)
6. Nabi menempatkan guru-guru al-Quran sebagai guru-guru
terbaik, dan menempatkan pelajar-pelajar al-Quran sebagai
pelajar-pelajar terbaik. Nabi bersabda:

Artinya: Sebaik-baik kamu semua adalah orang yang belajar alQuran dan mengajarkannya

7. Nabi menempatkan orang yang diberikan al-Quran kemudian


ia membacanya di malam dan siang hari sebagai kelompok idola.
Nabi bersabda:
: : :
:
Artinya: Tidak boleh iri hati kecuali pada dua orang, yaitu
seseorang yang diberikan oleh Allah al-Quran, ia membacanya
di malam dan siang hari, dan seseorang yang diberikan oleh
Allah harta, ia nafkahkan di malam dan siang hari. (HR alBukhari dan Muslim)
8. Nabi menempatkan perhitungan kebaikan membaca satu
huruf al-Quran dengan sepuluh kebaikan. Nabi bersabda:
)(

Artinya: Orang yang membaca satu huruf al-Quran maka
baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipat gandakan
menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan satu huruf,
akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.
(HR at-Turmudzi dan al-Bukhari dalam makna yang sama dari
Ibnu Masud)

Sepuluh Pijakan Dasar Ilmu Tajwid


Setiap ilmu yang dipelajari dapat diketahui pentingnya
sekaligus substansi dan esensinya melalui gambaran umum yang
disajikan oleh sepuluh pijakan dasarnya (mabdi asyrah).
Diantara ulama ada yang menyusun sepuluh pijakan dasar
tersebut dalam untaian syair seperti tertera dalam nazham
sebagian ulama sebagai berikut:

# :
#
# :

Artinya: Sesungguhnya pijakan-pijakan setiap ilmu ada sepuluh


Yaitu definisi, topik, kemudian buahnya (faedah)
Keunggulan, keterkaitan, dan peletaknya
Nama ilmu, sumber pengambilan, dan hukum syara
Masalah-masalahnya sebagian pakar cukup dengan separuh
Orang yang mengetahui semuanya meraih kemuliaan.1
Termasuk disiplin ilmu tajwid, memiliki sepuluh pijakan
dasar tersebut, seperti diuraikan secara rinci berikut ini:
1. Definisi Ilmu Tajwid
Bentuk kata tajwid ( )adalah mashdar (infinitive) dari
jawwada-yujawwidu-tajwidan ( -
-
) . Kata bendanya
adalah al-Jdah (keutamaan atau kebaikan), lawan dari radaah
(kejelekan atau keburukan). Dari segi bahasa, tajwid berarti
tahsin (keindahan), tajmil (keelokan), tazyin (hiasan) dan itqan
(kecermatan).
Kata
tahsin
umpamanya
dipakai
dalam
percakapan sehari-hari: jawwadar rajulu syaian (orang itu telah
memperindah sesuatu). Dikatakan demikian karena orang
tersebut melakukannya secara baik/indah. Hal tersebut berlaku
sama, baik dalam bentuk pikiran, perasaan, perkataan maupun
perbuatan.
Pembaca al-Quran (Qari/Qariah) yang memperindah
bacaaanya disebut mujawwid (




) dan mujawwidah (
)
yakni qari/qariah tersebut membaca ayat-ayat dengan indah.
Bacaan yang diperindah itu disebut mujawwadah (


) , yakni
bacaan yang pelafalannya penuh pesona dan bersih dari
kesalahan dan perubahan (aljur wat tahrif)
Tajwid menurut istilah ialah mengeluarkan masing-masing
huruf dari tempat keluarnya (makhraj) dan memberikan haknya,
yakni sifat-sifatnya yang tetap dan mesti dalam kondisi apapun
sifat tersebut tidak bisa hilang seperti jahr, syiddah, istiala,
istifal, ithbaq, qalqalah dan seterusnya, (kesemuanya ini akan
dipaparkan pada tempatnya nanti), serta memberikan
mustahaknya yakni sifat-sifatnya yang datang kemudian karena
kondisi tertentu. Karena kondisi tertentu, sifat tersebut bisa
hilang atau berubah seperti sifat tarqiq timbul dari istifal, tafkhim
timbul dari istila dan demikian pula seperti izhhar, idgham, iqlab,
ikhfa, mad, qashar, dan lain-lain, yang akan diuraikan secara
rinci pada tempatnya nanti.
2. Sasaran Ilmu Tajwid
1 Yahya Abdurrazaq al-Ghautsani. Ilmut Tajwid Ahkam Nazhoriyyah wa
Mulahazhot Tathbiqiyyah. Maktabah Darul Ghautsani lil buhuts wad dirasat alQuraniyyah. Damaskus. 2004. cet 4. hlm 13

Arah sasaran ilmu tajwid adalah kata dan kalimat dari ayat
al-Quran dipandang dari sudut memberikan hak semua huruf
dan
mustahaqnya
seperti
diuraikan
di
atas
tidak
mengucapkannya secara berat dan kaku sehingga keluar dari
aturan-aturan yang sudah baku dan disepakati oleh ulama tajwid.
Di antara sebahagian para ulama, ada yang menyatakan, bahwa
sasaran tajwid juga termasuk kata dan kalimat dari hadits-hadits
Nabi. Namun menurut jumhur, sasaran tajwid hanya diarahkan
kepada al-Quran saja.
3. Faedah Ilmu Tajwid
Faedah ilmu tajwid adalah menjaga lidah dari kesalahan
dalam mengucapkan/membaca ayat-ayat al-Quran. Demikian
pula dalam membaca hadits Nabi bagi orang yang berpendapat
seperti itu. Namun seperti telah dipaparkan di atas bahwa
pendapat jumhur ulama menegaskan tajwid itu hanya diarahkan
kepada al-Quran.
4. Keistimewaan Ilmu Tajwid
Keistimewaan ilmu tajwid termasuk semulia-mulia ilmu
karena berkaitan langsung dengan kalam Allah.
5. Hubungan Ilmu Tajwid dengan ilmu lainnya
Ilmu tajwid merupakan salah satu ilmu dari ilmu-ilmu
syariat agama yang berkaitan langsung dengan al-Quran. Ilmu
ini memiliki perbedaan secara khusus dengan ilmu lainnya
(tabaayun) terutama dari segi pembelajarannya, karena tidak
mungkin seseorang membaca al-Quran menurut semestinya
hanya dengan belajar sendiri tanpa ada guru yang teliti yang
membimbing/ mengajarkan tata cara baca yang seharusnya.
6. Peletak dasar Ilmu Tajwid
Peletak dasar ilmu tajwid ditinjau dari cara pewahyuan alQuran adalah Allah. Sedangkan dari sudut pembumiannya
dalam praktek adalah Nabi Muhammad saw., karena kepada
beliau al-Quran diturunkan secara bertajwid melalui Jibril, para
sahabat mendengar dan menerima bacaan tersebut dari Nabi,
para tabiin dari para sahabat dan seterusnya dari para ahli
kepada kita semua.
Adapun dari segi teori (ilmu dirayah) berupa kaedahkaedah dan persoalan-persoalan ilmiahnya, ulama berbeda
pendapat, diantara mereka ada yang mengatakan;

a. Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H), yang pertama
kali menulis dalam bentuk suatu buku tentang macammacam bacaan al-Quran.
b. Hafsh bin Umar ad-Duri (w. 246 H).
c. Imam Musa al-Khaqani (w. 325 H) dalam bentuk ilmu tajwid
yang berdiri sendiri.
d. Abul Aswad Adduali (605-688 H).
e. Al-Khalil bin Ahmad (w. 786 H) dan muridnya yang
bernama Sibawaih (w. 796 H).
f. Para Imam Qiraat dan para ahli bahasa.2
Nama ilmu ini
Nama ilmu yang membicarakan tentang tata cara indah
membaca al-Quran adalah ilmu tajwid () . Dilihat dari
susunan kalimat, kata ilmu diidhafatkan kepada kata tajwid.
Maka, susunan kalimat seperti ini antara lain memberikan
pengertian lilmilki, yakni suatu pengetahuan, baik berupa teori
maupun praktek merupakan milik dari keindahan, dalam hal ini
keindahan bacaan al-Quran, karena sasaran dari teori dan
praktek itu mengarah kepada kata atau kalimat ayat-ayat alQuran. Sebagian ulama menyebutnya dengan ilmu Fannuttartil
atau ilmu Haqquttilawah sebagai nama lain dari ilmu ini.
Keindahan ini terdengar dengan teknik atau metode ataupun
cara tertentu dalam melafalkan baris demi baris, huruf demi
huruf yang berjumlah 302.315 huruf yang membentuk kata, kata
demi kata yang berjumlah 77.439 kata yang membentuk kalimat,
kalimat demi kalimat yang membentuk ayat, dan ayat demi ayat
yang berjumlah 6.104, ada yang mengatakan 6.014 ayat, 6.219
ayat, 6.225 ayat, 6.226 ayat, dan ada pula yang mengatakan
6.036 ayat yang secara keseluruhan merupakan wujud al-Quran.
Demikian jumlah perhitungan yang berbeda di kalangan ulama
menurut Abu Amr ad-Dani dalam kitab al-Bayan3. Diantara baris,
huruf, kata dan kalimat seperti tersebut di atas selain umumnya
dibaca dengan cara yang sama, juga ada yang dibaca secara
berbeda oleh para Qurra, namun semuanya harus dibaca dengan
cara yang indah (tajwid) seperti;
7.



a. Perbedaan baris pada suatu kata, contoh

-

2 Abdul Aziz bin Abdul Fattah al-Qari. Qawaidut Tajwid alaa Riwayati Hafshin
an Ashim bin Abi an-Najud. Muassasah ar-Risalah. Beirut. 2002. cet 1. hlm 15
3 Badruddin az-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulumil Quran. Darul marifah. Beirut. Juz
1. cet 2. 2001. hlm 249

b. Perbedaan huruf pada suatu kata -_


c. Perbedaan kata pada suatu kalimat contoh
_
-
- :
d. perbedaan baris dalam suatu kalimat





e. dan contoh-contoh lainnya.
Semua macam perbedaan ini harus dibaca secara berbeda
sesuai qiraat dan riwayat, wajib dilafalkan dengan teknik atau
cara yang penuh keindahan.
Jika kita memperhatikan secara seksama definisi tajwid
seperti diuraikan di atas, dan adanya macam-macam cara
membaca atau qiraat, maka masing-masing dari tajwid dan
qiraat dapat dibedakan dari dua segi yaitu;
1.
Tajwid memperindah cara melafalkan huruf yang ada
pada kata atau kalimat baik menyangkut makhrajnya,
sifatnya dan ahkam hurufnya, seperti huruf ta keluar dari
ujung lidah, bersifat hams, dan ahkam huruf seperti
harus dibaca izhar, idgham, iqlab dan lain-lain
2.
Qiraat merupakan wujud kata atau kalimat, ada yang
dibaca secara sama ada pula yang dibaca secara
berbeda oleh para Qurra.
Perbedaan cara-cara baca dalam qiraat dapat diketahui
melalui dua kaedah pokok, yaitu:
a. Kaedah-kaedah yang berlaku umum seperti cara
membaca mim jamak dengan sukun atau shilah,
panjang mad dan lain-lain sesuai bacaan para Qurra (
)
b. Kaedah-kaedah khusus cara membaca kata atau
kalimat pada setiap surat seperti membaca malik (
)yang ada pada surat al-Fatihah dengan panjang
atau pendek huruf mim, sesuai bacaan para Qurra (
)
Dengan ungkapan lain yang lebih singkat bahwa
perbedaan tajwid dan qiraat terletak pada sisi atau
dimensi bahwa qiraat merupakan pelafalan (),
sedangkan tajwid merupakan cara melafalkan ().
Perlu ditegaskan di sini bahwa ilmu tajwid sebagai
teknik atau cara indah penuh pesona lahir dari qiraat
suatu lafal atau bacaan yang pada karakter dasarnya
telah memiliki potensi pesona penuh keindahan,

() 4
Yang menjadi pertanyaan penulis adalah apakah
pembaca
mau
mengekspresikan
potensi
yang
mempesona penuh keindahan itu, dengan cara indah
penuh pesona?.... carilah cara itu dengan sungguhsungguh dalam ilmu tajwid dan setelah menggapainya
tumbuh suburkan dalam realisasi prilaku sosial seharihari sehingga dampak positif pahala atau kebaikan dari
ibadah membaca al-Quran yang disyariatkan agama
secara empirik menyentuh secara halus kehidupan riil di
lingkungan pembaca.
8. Pengambilan Ilmu Tajwid
Tata cara indah membaca al-Quran diambil dari sumber
utama dan pertama, yaitu tata cara bacaan Nabi, para sahabat
dari Nabi dan seterusnya, para tabiin dan imam Qiraat yang
sampai kepada kita secara mutawatir.
Hukum syara
Dalam kajian hukum Islam, disebutkan bahwa kewajiban
tajwid dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Kewajiban tajwid secara akademis teorotis, yaitu
memahami kaedah-kaedah ilmu tajwid serta
ketentuan-ketentuannya sekaligus kondisi-kondisinya
seperti hukum-hukum mad, nun sukun dan tanwin,
dan lain-lain yang berkaitan dengan ilmu teori murni.
Hukum macam ini adalah fardhu kifayah bagi umat
Islam.
b. Kewajiban tajwid secara praktis, yaitu praktek
membaca Al-Quran dengan benar seperti cara Nabi
Muhammad membaca. Hukum macam kedua ini
adalah fardhu ain bagi setiap individu mukallaf
muslim dan muslimah sesuai kemampuannya secara
maksimal,
baik
yang
menghafal
al-Quran
seluruhnya/sebagian/walaupun satu surat pendek.
Kewajiban dimaksud berdasarkan al-Quran, Sunnah
Nabi, dan Ijma ummat.
Dalil wajib tajwid berdasarkan al-Quran, yaitu Firman Allah
dalam Surat al-Muzzammil ayat 4,
9.

(4 :: ).
:

4 Muhammad Arif Usman Musa. Al-Qiraat al-Mutawatirah allati ankaraha Ibnu


Jarir ath-Thabari fi Tafsirihi war Rad alaihi min Awwalil Quran ila Akhiri Surati
at-Taubah. Al-Mamlakah al-Arabiyah as-Saudiyyah al-Madinah al-Munawwarah.
Ad-Dirasat al-Ulya qismi at-Tafsir. 1406 H. hlm 140

Artinya: Dan tartilkan (bacalah) Al-Qur'an itu dengan setartiltartilnya (teratur dan benar).
Maksud ayat tersebut adalah bacalah al-Quran secara
pelan dan tenang penuh perhatian, meresapi maknanya,
menjaga kaedah-kaedah keindahannya (tajwid), yang panjang
dibaca secara panjang, dan yang pendek dengan cara pendek.
Membaca dengan jelas dan terang semua huruf yang dibaca
izhhar, ikhfa, idgham dan seterusnya dari tata cara membaca
yang akan dipaparkan dalam uraian pada masing-masing
tempatnya nanti.
Beberapa ulama menceritakan bahwa benar Sayyidina Ali
menafsirkan firman Allah swt tersebut di atas dengan
menyatakan tartil itu adalah memperindah semua huruf dan
mengetahui semua waqaf-waqaf bacaan (tajwidul huruf wa
marifatul wuquf). Sedangkan menurut Ibnu Abbas tartil itu
berarti memperjelas cara membacanya (rattil ay bayyinhu).
Adapun menurut ad-Dahak tartil itu berarti mengeluarkan huruf
demi huruf dari makhrajnya dan memisah satu huruf dengan
huruf lainnya (inbidzhu harfan harfan wafshilil harfa minal harfi
badahu).5
Apabila kita renungkan ayat tersebut barang sejenak, kita
akan dapati bahwa Allah swt tidak membatasi perintahnya
dengan kata kerja yang tertera dalam firmannya warattil(

:)

melainkan memperkuatnya dengan kata mashdar yang


memberikan makna konfirmasi atas perintahnya yaitu firmanNya tartila ( (Struktur kalimat ini memberikan pengertian
yang kondusif, yaitu begitu pentingnya tartil tersebut untuk
diperhatikan dan berkreasi dengannya, guna meraih pahala serta
menggalakkan pengamalannya. Komando atau perintah dalam
ayat ini menunjukkan nilai hukum wajib seperti pengertian asal
dari
suatu
perintah
kecuali
ada
konteks
lain
yang
memalingkannya (sharif) dari pengertian asalnya kepada
beberapa pengertian lain seperti nadb atau ibahah (sunat).
Karena tidak ada pengertian lain atau dengan kata lain
mengingat sharif tersebut tidak ditemui maka pengertiannya
tetap sebagaimana pengertian asalnya yaitu wajib. Tidak ada
perintah dengan tartil di sini melainkan ketartilan itu merupakan
cara Allah swt menfirmankan firman-Nya seperti dinyatakan
dalam al-Quran surat al-Furqan ayat 32.

(32 : ).

Artinya: Kami mentartilkannya (membacakannya) secara


tartil (teratur dan benar).
5 Yahya Abdurrazaq al-Ghautsani. Op.Cit. hlm 17

10

Kebiasaan membaca dengan cara ini merupakan suatu


kehormatan dan kemuliaan, karena orang yang membacanya
dengan tartil berarti ia mentartilkan apa yang telah ditartilkan
oleh Allah, dan dengan cara itu pula Ia memerintahkan rasul-Nya
dalam membaca. Demikian pula seperti tertera dalam ayat 121
surat al-Baqarah.

...

Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka


alkitab (al-Quran) mereka membacanya dengan bacaan yang
sebenarnya
Diantara maksud ayat ini adalah bahwa orangorang yang
membaca al-Quran tidak seperti tata cara ia diturunkan padahal
mereka mampu membacanya seperti itu, maka mereka termasuk
dalam kelompok orang yang tidak membacanya dengan sebenarbenar bacaan.
Adapun dalil dari sunnah Nabi banyak sekali, diantaranya,
hadits yang ditampilkan oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab adDurral Mantsur fit Tafsir bil Matsur dan menghubungkannya
dengan apa yang dikemukakan oleh at-Thabrani dalam kitab alWasath dan Ibnu Murdawaih serta Said bin Manshur dari Musa
bin Yazid al-Kindi yang menyatakan bahwa Ibnu Masud
mengajarkan seorang laki-laki, kemudian laki-laki tersebut
membaca

(60 : )








dibacanya dengan pendek (tidak panjang lil fuqoroi) seraya Ibnu


Masud berkata: bukan seperti itu Nabi membacakan kepadaku.
Laki-laki itu berkata: bagaimana Nabi membacakannya untukmu?
Ibnu Masud menjawab: Nabi membacakannya untukku dengan
mad (lil fuqoroooi). Ibnu Masud salah seorang sahabat yang
dipuji oleh Nabi, dan umat diharapkan dengan sangat untuk
mencontoh cara Ibnu Masud membaca. Dalam hal ini nabi
bersabda:

Artinya: orang yang mendambakan membaca al-Quran secara
baik (lembut) sebagaimana ia diturunkan, maka
bacalah seperti bacaan putra Ummi Abd (ibnu Masud)
Ibnu Masud adalah salah seorang sahabat yang paling berupaya
menyerupai langkah dan petunjuk Nabi saw, telah menolak
bacaan seorang laki-laki tersebut karena dia membaca kata lil
Fuqoroi ( )tanpa mad, padahal dengan mad atau tidak,
sama saja tidak mempengaruhi arti, akan tetapi bacaan itu suatu
cara yang harus diikuti (sunnah muttabaah). Cara tersebut

11

diambil oleh yang lain sesuai cara orang yang pertama kali
membacanya seperti penjelasan Zaid bin Tsabit.
Pemindahan/pengambilan cara itu begitu sangat populer.
Ibnu Masud menolak bacaan laki-laki tersebut karena bacaan itu
bukan seperti cara Nabi membaca, dimana cara tersebut beliau
membacakannya kepada para sahabat. Hal itu menunjukkan
wajib hukumnya mempelajari ilmu tajwid dan memberlakukan
hukum-hukumnya tatkala membaca.
Nash tersebut merupakan dalil dari satu sisi kewajiban
tajwid yang menunjukkan sisi-sisi lainnya secara keseluruhan.
Tambahan rincian dari hadits ini akan disajikan nanti pada
pembahasan bab mad dan qashr (bunyi panjang dan pendek).
Hadits lainnya:
. :
( )
Artinya: Anas ditanya tentang bacaan nabi, beliau berkata,
bacaan nabi memanjangkan bacaan panjang, kemudian
membaca bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan lafadz
Allah, memanjangkan lafadz ar-rahman, dan memanjangkan
lafadz ar-rahim. (HR. Bukhari)

( )

Artinya: Ummu Salamah ditanya tentang bacaan nabi, maka
beliau mensifatkan bacaan nabi sebagai bacaan yang nampak
jelas huruf demi huruf. (HR. At-Turmudzi)
Dan hadits-hadits lainnya yang berhubungan dengan cara nabi
membaca.
Di antara ulama ada yang membagi wajib bertajwid ini
kepada wajib syari dan shinai. Wajib syari adalah wajib
berdasarkan syariat, kewajiban yang harus dilakukan mencakup
menjaga pelafalan huruf secara benar tidak melafalkannya
dengan merubah struktur kata (mabnal kalimah) karena dengan
lafal yang salah itu merusak arti dari suatu kata. Untuk
menghindari kesalahan tersebut wajib mengetahui makhraj dan
sifat huruf yang dengannya satu huruf terbedakan dengan
lainnya seperti sifat istila dan ithbaq dari huruf tha dan sifat
tafasysyi dari syin. Termasuk mengizhharkan huruf yang harus
dibaca izhhar, mengidghamkan huruf yang harus dibaca idgham,
memanjangkan bunyi kata yang harus panjang, memendekkan
yang harus pendek, dan seterusnya dari hukum-hukum bacaan
yang berkaitan dengan bentuk kata (binyatil kalimah). Orang
yang melakukan kesalahan terhadap hal tersebut berarti ia telah
melakukan kesalahan terhadap yang wajib, sebagai akibat
hukumnya ia berdosa padahal ia mampu melakukan cara yang
benar atau cara yang tidak salah itu.

12

Kewajiban tajwid macam pertama ini harus dilakukan oleh


pembaca al-Quran sekuat kemampuannya dan berupaya
maksimal untuk mempelajarinya kemudian membacanya dengan
tepat sehingga dapat melafalkan bacaan al-Quran dengan benar
dan tidak terjebak dalam cara yang dapat merubah dan
mengganti cara membaca kitab Allah dengan cara yang tidak
pernah diturunkannya.
Wajib shinai, yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh ulama
tajwid yang mencakup kemahiran dan ketepatan pelafalan
menurut semestinya, dengan benar-benar melafalkan huruf
sesuai makhraj dan sifatnya serta hukum terkait secara
sempurna diwarnai rasa baca yang tinggi (dzauq rafi).
Membaca
ukuran
panjang
(mad)
dalam
akurasi
(ketepatan), proporsional, tidak kurang atau lebih, walau
sepersekian harakat, termasuk menjaga arti yang demikian
samar atau tipis sekali perbedaan antara tepat atau kurang tepat
dalam waqaf ) )
Semua yang dikelompokkan ke dalam wajib kedua ini sulit
dilakukan oleh orang awam, melainkan kemampuan ini hanya
bisa dimiliki oleh mereka yang mahir (profesional yang ekspert)
dalam memahami bacaan al-Quran. Wajib macam ini tidak
termasuk ke dalam hal-hal yang bisa merusak pelafalan sehingga
mereka tidak berdosa karena tidak memiliki kemampuan ini.
Terlebih lagi hal-hal tersebut termasuk dari rahasia-rahasia yang
penuh keistemewaan dari ilmu ini, yang hanya dipahami oleh
orang-orang mahir. Namun demikian, semua orang seyogyanya
berupaya semampunya untuk menjadi orang-orang yang mahir
walaupun hasil pencapaiannya dalam batas standar minimal.
Adapun dalil berdasarkan ijma umat, Muhammad Makki
Nashr dalam kitab Nihayah al-Qawl al-Mufid menandaskan bahwa
sejak zaman Nabi sampai saat ini tidak seorang pun dari umat
yang setuju membaca kitab sucinya secara sembarangan atau
amburadul atau semau gw. Mereka senantiasa berupaya
membersihkan diri dari kesalahan, hal itu berarti mereka sepakat
tentang wajibnya memberlakukan hukum tajwid dalam membaca
al-Quran. Tidak seorang pun di antara mereka yang berbeda
pendapat tentang hal itu. Keadaan yang demikian itu merupakan
salah satu bukti dari bentuk argumentasi yang paling kuat.
10. Masalah-masalah ilmu tajwid
Masalah-masalah yang dibicarakan dalam ilmu tajwid
adalah kaedah-kaedah pesona dan keindahan cara membaca alQuran (tajwid) seperti penjelasan para ulama bahwa nun sukun
yang bertemu dengan salah satu dari huruf-huruf halq wajib
dibaca dengan jelas dan terang yang disebut dengan nama

13

izhhar halqi dan semua huruf mad yang diikuti oleh huruf sukun
asli baik dalam keadaan washal atau waqaf harus dibaca secara
panjang yang dinamakan dengan nama mad lazim dan demikian
seterusnya.
Apa yang diketengahkan di atas ditegaskan oleh Imam
ibnul Jazari dalam kitabnya al-Muqaddimah al-Jazariyyah.

Atinya:
Memberlakukan tajwid suatu keharusan yang mesti
Orang yang tidak mentajwidkan al-Quran berdosa
Karena Tuhan menurunkannya dengan cara itu,
Demikian dia sampai pada kita
Dia juga sebagai pemanis tilawah
Hiasan al-Ada dan Qiraah
Tajwid memberikan huruf sesuai haknya
Dari sifat dan mustahaqnya
Mengembalikan masing-masing kepada asalnya
Kata yang sebanding diberikan hukum yang sama
Secara sempurna tanpa berat
Halus dalam membunyikannya tanpa paksa
Tidaklah antara melaksanakan dan meninggalkannya
Kecuali seorang berlatih untuk menggerakkan rahangnya
(memperbanyak latihan).6

6 Mahmud bin Muhammad Abdul Munim al-Abd. Ar-Raudhotun Nadiyyah


Syarhu matan al-Jazariyyah lil Imam Ibnil Jazari. Darul Iman. Iskandariyah. Tth.
hlm 47-50

14

BAGIAN II
TINGKATAN-TINGKATAN TEMPO BACAAN
(MARATIB AL-QIRAAH)
Dalam uraian terdahulu telah dikemukan bahwa kewajiban
menerapkan ilmu tajwid dalam membaca al-Quran berdasarkan
perintah al-Quran, sunnah dan ijma umat. Firman Allah
dimaksud adalah:

(4 :: ).
:

Artinya: Dan bacalah al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan


Suara bacaan al-Quran dengan tartil (tajwid) tidak terlepas
dari tempo atau ritme baik cepat lambat atau sedang. Tempotempo bacaan dimaksud dikategorikan menjadi empat tempo,
yaitu: 1). Tahqiq, 2).Tartil, 3). Tadwir, dan 4).Hadr. masingmasing dari empat macam ini diuraikan secara rinci sebagai
berikut:
1.Tahqiq adalah tempo bacaan yang paling lambat sehingga
semua baris termasuk tasydid dan sukun serta huruf dan
hukum-hukumnya terdengar secara benar dan jelas. Tempo ini
sangat baik diterapkan oleh para guru/ instruktur al-Quran
saat mengajar murid-muridnya terutama bagi mereka para
pemula. Pada saat menerapkan tempo ini pembaca
hendaknya berhati-hati agar tidak terjadi bunyi panjang yang
terlahirkan (tawallud) pada baris seperti menjadi

dan lain-lain.
2.Tartil dalam konteks tempo adalah tempo sedang, sedikit
lebih cepat dari tahqiq dan sedikit lebih lambat dari tadwir.
Sejalan dengan itu pembaca merenungkan arti bacaan dan
menjaga hukum-hukum tajwid menurut semestinya dengan
memberikan/menjaga semua huruf sesuai haknya, baik sifat
maupun makhrajnya, memanjangkan yang harus dibaca
panjang, memendekkan yang pendek, menipiskan yang tipis,
menebalkan yang tebal, sejalan dengan kaedah-kaedah
tajwid.
Diantara ulama ada yang memasukkan tartil sebagai nama
tempo, menempatkan tempo tartil berada pada tingkatan
utama dari tingkatan lainnya mengingat Allah swt
memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk membaca secara
tartil seperti pada ayat di atas. Sebagian ulama membagi
tempo bacaan hanya menjadi tiga, dengan meniadakan
tempo tartil karena tartil menurut mereka merupakan cara
(metode) membaca bukan tempo, itulah sebabnya mereka

15

mengatakan tiga tempo tersebut harus diwarnai dengan tartil


sebagai cara (metode) dalam membaca. Dalam hal ini Ibnul
Jazari mengatakan:
: #
#
Artinya: Al-Quran dibaca dengan tempo Tahqiq, Hadr, dan Tadwir
Semuanya disertai keindahan suara dengan lagu-lagu Arab
Dibaca tartil bertajwid dengan penuh dzauq Arab
3.Hadr adalah tempo cepat dalam membaca dengan tetap
menjaga kaedah-kaedah tajwid secara akurat dan penuh
kejelian, pada saat menerapkan tempo cepat ini pembaca
hendaklah berhati-hati agar tidak terjadi:
a. Mengurangi panjang huruf mad
b. Hilang suara ghunnah
c. Banyak baris (harakat) yang dibaca dengan ikhtilah
(pengurangan bobot sifat atau makhraj suatu huruf yang
tidak seimbang sehingga kemungkinan baris huruf menjadi
kurang, kabur atau tidak jelas.
d. Melewati batas tempo wajar sehingga tidak mencerminkan
watak dan karakter tilawah (bacaan).
4. Tadwir ialah tempo bacaan antara Tartil (pelan/ sedang) dan
Hadr (cepat) dengan tetap menjaga dan memperhatikan
kaedah-kaedah tajwid.
Empat tingkatan tersebut dilihat dari segi komposisi dan
keutamaannya (afdhaliyyah) adalah;
a.
Tartil
b.
Tadwir
c.
Hadr
d.
Tahqiq
Sebagian ulama ada yang menyebut macam lainnya dari
tempo yang ada, yaitu Zamzamah dan Hazramah. Zamzamah
ialah tempo cepat sama dengan Hadr akan tetapi disuarakan
dengan suara sir (bacaan bersama napas). Sementara tempo
Hazramah adalah tempo yang melebihi batas kecepatan
maksimal sehingga merusak keindahan (tajwid) bacaan. Tempo
Hazramah adalah tempo yang dilarang untuk diterapkan seperti
dinyatakan dalam atsar para sahabat. Perlu ditegaskan kembali
bahwa keempat tempo tersebut harus diwarnai oleh keindahan
cara membaca, yaitu tartil (tajwid). Tempo-tempo tersebut tidak
boleh dicampur antara satu dengan lainnya dalam satu ayat,
seperti saat membaca satu ayat dengan tempo Hadr akan tetapi

16

tiga kata terakhir dalam ayat umpamanya, dibaca dengan Tadwir


atau Tartil. Cara ini mengganggu keserasian tempo sekaligus
berarti tidak membaca hukum yang sama secara serasi.
Tempo bacaan sangat terkait dengan nada atau intonasi
dan kondisi tertentu dari lagu-lagu yang ada, dan semua itu
harus konsisten dengan tartil, sebagai cara baca yang
diperintahkan oleh Allah. Namun para pembaca al-Quran pada
prakteknya melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh
bacaan itu sendiri sebagai berikut:
1. Tathrib, yaitu membaca al-Quran dengan penekanan
utama pada lagu tanpa mengindahkan hukum tajwid, cara
seperti
ini
haram
dilakukan.
Jika
wanita
yang
melakukannya disebut Muthribah (singer), ia bukan qariah.
Sementara jika laki-laki yang melakukannya maka ia
disebut Muthrib (singer), ia bukan qari. Sedangkan jika
mereka membaca al-Quran dengan standar-standar lagu
yang sudah demikian polulernya di kalangan tilawah mania
dengan lantunan nada-nada indah berkarakter seni baca
al-Quran ( ) seiring dengan
mengindahkan hukum tajwid, maka melagukan al-Quran
seperti ini tidak dilarang.
2. Tarji, yaitu mengulang-ulang ayat yang dibaca karena
pengulangan lagu atau menggelombangkan suara saat
membaca, khususnya menyuarakan mad-mad dalam
bentuk meninggikan dan merendahkan nada suara
kemudian tinggi rendah diulang kembali. Dengan cara ini
besar kemungkinan akan memperdengarkan bacaan
dengan agak sakt atau sakt yang bukan pada tempatnya.
3. Tarqish, yaitu pembaca menambah panjang bunyi pada
huruf mad (melewati batas semestinya) dengan gerakangerakan suara laksana gerakan-gerakan yang tidak
beraturan (walaupun indah) dalam gerakan tari (dance).
4. Tazyin, yaitu pembaca ketika membaca keluar dari karakter
aslinya (over act) ke karakter lain, yakni memperlihatkan
cara sedih hampir-hampir mau menangis seperti orang
khusyu padahal hakekatnya dia riya. Berbeda halnya
dengan orang yang membaca dengan karakter lagu sedih
seperti lagu shaba atau nahawan, yang berangkat dari
karakteristik seni dengan khusyu, tajwid bacaan tetap
terjaga, maka cara ini tidak dilarang.
5. Tarid, yaitu pembaca menggetar-getarkan suaranya
seperti getaran suara orang yang sedang kedinginan atau
sakit.
6. Tahrif, yaitu membaca dengan cara duet, trio atau koor,
diantara mereka dalam tahap tertentu membaca sendiri-

17

sendiri kata tertentu, sedang lainyya diam, atau demikian


sebaliknya. Mereka lakukan seperti itu demi hanya
menjaga
keseragaman
ragam
nada
lagu
tanpa
menghiraukan akibat negatifnya, antara lain seperti tidak
membaca ayat secara sempurna sekaligus meniadakan
pahala yang sempurna pula. Terlebih lagi mereka
menciderai keagungan kitab suci dengan memotongmotong kata dan kalimat, sehingga mereka tidak
membacanya secara sempurna.
7. Tilawah maal alat al-musiqiyyah, yaitu bacaan al-Quran
berbarengan dengan suara alat musik, ini adalah bidah
yang paling jelek dan sangat menyesatkan, yakni dosanya
berlipat ganda (murakkabah). Memainkan alat musik itu
sendiri
termasuk
pekerjaan
yang
laghwun
(nonsense/meaningless/nugatori/foolish)
atau
sia-sia.
Berapa banyak kasus dibeberapa tempat konser musik
yang menelan jiwa manusia disamping laki-laki dan
perempuan saling berjejalan. Membaca al-Quran dengan
notasi musik hukumya haram, bidah yang dosany berlipat
ganda () . Nabi bersabda yang artinya:
Bacalah al-Quran dengan langgam bacaan arab dan
penyuaraannya. Hati-hatilah jangan membacanya dengan
langgam orang yahudi dan nasrani dan orang fasiq. Nanti
akan datang suatu kaum membaca al-Quran dengan
mengulang-ulangnya seperti pengulangan lagu musik dan
biarawan. Bacaan mereka tidak melewati kerongkongan
mereka, hati mereka error
dan hati orang yang
mengagumi mereka.
8. Qiraah dengan lin dan rakhawah, yaitu orang yang
membaca seperti orang malas membaca, termasuk di sini
laukul huruf, yaitu orang yang membaca seperti langgam
ucapan orang mabuk. Alhasil, mereka yang membaca itu
seperti hilang semangat dan akal.
9. Taqthiul huruf, yaitu membaca dengan agak memutus
huruf, menyerupai cara sakt khususnya pada huruf yang
dibaca izhar ketika membaca nun sukun dan tanwin atau
mim sukun mengingat cara izhar ada batas-batasnya
tidak berlebihan seperti itu.
10. Isybaul harakah, yaitu membaca baris dengan agak
panjang, sehingga terlahirkan huruf baru dalam wujud
bunyi huruf mad.
11. Tamthithul harakah, yaitu memanjangkan bunyi mad atau
memperlambat tempo saat mau qatha (mengakhiri
bacaan) untuk ruku ketika shalat khususnya imam.

18

RUKUN-RUKUN AL-QURAN AL-KARIM


Pada uraian terdahulu diutarakan bahwa menerapkan
rumus-rumus atau kaedah-kaedah tajwid dalam membaca alQuran hukumnya wajib syari (kewajiban berdasarkan aturan
agama) sehingga dianugerahi pahala bagi pelakunya dan
berdosa bagi yang tidak menerapkannya.
Menerapkan tajwid untuk suatu bacaan yang benar
tidaklah cukup sebatas modal pengetahuan yang diperoleh
melalui buku-buku ilmiah, akan tetapi dituntut untuk menempuh
proses musyafahah (orally & verbally) yaitu menerima suatu
bacaan dan tata caranya dari cara para guru membaca (syuyukh
mutqinin) yang dapat dipertanggungjawabkan secara amaliah
dan ilmiah dan demikian seterusnya bertali temali sanad bacaan
tersebut sampai kepada bacaan Nabi Muhammad saw.
Metode itu harus ditempuh mengingat adanya spesifikasi
tata cara baca yang tidak dapat dipahami kecuali melalui metode
sima dan ripitasi (pendengaran dan pengulangan) di hadapan
para syuyukh mutqinin tersebut seperti tata cara raum, isymam,
idgham, ikhfa, mad, qashar, imalah dan lain sebagainya.
Dengan demikian pembaca akan menjadi tepat dalam
bacaannya terhindar dari kesalahan (lahn). Berbeda halnya
dengan pembaca yang hanya mengetahui tata cara bacaan
melalui informasi ilmiah dari buku-buku dengan meninggalkan
metode sima dan rifitasi dari para ahli/guru sehingga
keteledoran dan kesalahan besar kemungkinan untuk terjadi.
Dalam kitab al-Qawl al-Sadid fi Bayan Hukm al-Tajwid
pengarang menyebutkan



:
Artinya:
Orang yang mengambil ilmu membaca dari guru dengan cara
musyafahah akan terpelihara dari penyimpangan dan kesalahan.
Orang yang mengambil ilmu dari lembaran-lembaran belaka
maka ilmunya itu menurut ahli ilmu seperti tidak ada.
Menerima suatu bacaan dengan tata caranya dari para
syuyukh mutqinin adalah salah satu dasar utama (rukun) dari
tiga rukun belajar al-Quran yang harus diketahui oleh para
pembaca, yaitu;
1. Suatu bacaan harus sesuai dan sejalan dengan salah satu
kaidah (wajah) dari kaidah-kaidah (wujuh) bahasa Arab,
walaupun kebahasannya dalam tingkat yang lemah namun
populer di kalangan imam qiraat.

19

2. Suatu bacaan harus sesuai dengan Mushaf Rasm Utsmani


(tulisan al-Quran zaman khalifah Utsman ra), walaupun
secara ihtimal (probability) yakni telah termungkinkan
tercakup di dalamnya seperti salah satu versi bacaan
pada firman Allah ayat 4 Surat al-Fatihah (ada
huruf alif). Sedangkan dalam mushaf utsmani ditulis tanpa
huruf alif, maka bacaan dengan huruf alif telah
tercakup di dalam bacaan yang ditulis dalam Rasm
Utsmani dengan tanpa alif. Sedangkan penulisannya tanpa
alif karena alasan ikhtisharan (peringkasan/perampingan
tulisan) namun nilai bacaan dengan ada alif dinyatakan
sesuai dengan nilai rasm secara taqdiran (kualitas).
Itulah sebabnya, maka mau tidak mau pembaca hendaklah
memiliki pengetahuan tentang ilmu rasm seperti maqthu,
maushul, tsabit, mahdzuf, dari huruf-huruf mad, kata yang ditulis
dengan huruf ta majrurah maupun marbuthah, sehingga akan
berwaqaf pada maqthu tepat pada tempatnya dan pada
maushul tepat pada batas akhir kata, serta kata yang ditulis
dengan ta majrurah dibaca dengan huruf ta (tanits) sesuai
riwayat. Sedangkan pada ta marbuthah dibaca dengan ha
(dada) yang merupakan kesepakatan para ahli riwayat. Demikian
pula tetap ada huruf mad dalam bacaan maupun terbuang,
semua ini akan dijelaskan pada uraian-uraian selanjutnya di
tempatnya masing-masing nanti.
3. Keabsahan sanad (shihhatussanad), rukun yang ketiga ini
adalah rukun yang memperkuat dua rukun terdahulu.
Shihhatussanad ialah seorang pembaca menerima suatu
bacaan dari seorang guru yang teliti lagi terpercaya
kemampuannya (syuyukh mutqinin) tidak berbuat salah dalam
bacaannya, dan sanadnya sambung menyambung sampai
bacaan Nabi Muhammad saw.
Apabila satu rukun dari tiga rukun tersebut tidak terpenuhi
sekalipun bacaan tersebut dinyatakan salah satu bacaan imam
tujuh yang disepakati keabsahan dan kemutawatirannya, maka
bacaan tersebut dinyatakan syadzdzah.
Inilah yang diisyaratkan Ibnul Jazari dalam kitabnya
Thayyibah al-Nasyr.

:
Artinya: Semua Qiraat yang sesuai dengan nahwu (gramatika
bahasa Arab), tercakup dalam Rasm Utsmani, serta sah

20

sanadnya, itulah yang dinamakan al-Quran. Ini adalah


tiga rukun (qiraat yang diterima sebagai al-Quran) kapan
saja cidera/cacat atau tidak ada satu rukun saja maka
tetapkanlah keadaan syadznya, walaupun ia terdapat
pada qiraat tujuh.

21

LAHN DALAM KAJIAN TAJWID


Lahn dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, sesuai
konteksnya. Yang dimaksud dengan Lahn dalam konteks tajwid
adalah kesalahan dan penyimpangan dari bacaan yang benar.
Lahn terbagi menjadi dua bagian:
1. Lahn Jali (kesalahan yang nyata dan jelas)
2. Lahn Khafi (kesalahan yang tersembunyi dan samar).
Masing-masing dari dua macam lahn tersebut memiliki
batasan dan hakekat yang dapat membedakan antara satu
dengan yang lainnya, seperti diketengahkan berikut ini:
1. Lahn Jali, ialah kesalahan yang terjadi pada bentuk
pelafalan yang menciderai tradisi bacaan (uruf qiraah)
karena merubah baris, huruf, atau kata, apakah merusak
makna atau tidak, seperti diuraikan di bawah ini:
a. Kesalahan Jali yang merusak makna akibat perubahan
baris, seperti membaca huruf ta dengan baris depan
(dhammah) atau baris bawah (kasrah) pada kalimat:







atau membaca huruf ta dengan baris atas (fathah) maupun
kasrah pada kalimat

atau memberikan baris pada huruf konsonan (sukun) seperti


memberi baris fathah pada mim sukun, contoh;


-


b. Kesalahan Jali karena mengganti satu huruf dengan huruf
lain seperti mengganti huruf tha dengan huruf dal karena
membuang sifat ithbaq dan istila huruf tha, contoh ,
mengganti huruf tsa dengan huruf sin pada ,
mengganti huruf qaf dengan huruf ghain pada ,
mengganti huruf ta dengan huruf tha pada juga,
mengganti huruf dzal dengan huruf zai pada ,
mengganti ha (pedas) dengan huruf ha (dada) pada ,
dan demikian seterusnya kesalahan-kesalahan yang
mengganti suatu huruf dengan huruf lain yang merubah
makna, dan tidak dibenarkan oleh riwayat.
c. Kesalahan Jali yang tidak merusak makna seperti
memberikan baris huruf ha (dada) dengan rafa
(dhammah) atau nashab (fathah). Contoh

atau

memberikan baris dhammah pada huruf dal contoh



d. Kesalahan Jali dengan mengganti suatu kata dengan suatu
kata lainnya, seperti diganti dengan

22

, seperti diganti dengan kata


pada .
e. Kesalahan Jali dengan menambah kata pada ayat, seperti
menambah pada
f. Kesalahan Jali dengan mengurangi kata pada ayat, seperti
mengurangi kedua pada .
g. Dan lain-lain yang sama dengan contoh di atas.
Kesalahan-kesalahan dalam kelompok ini dinamakan Lahn Jali
(salah yang nyata) karena semua orang dapat mengetahuinya,
baik ulama qiraah maupun tidak. Hukum dari kesalahankesalahan ini adalah haram, demikian ijma ulama.
2.

Lahn Khafi, ialah kerancuan atau iltibas (ambiguity) yang


terjadi pada bentuk pelafalan, sehingga menciderai tradisi
bacaan yang tidak merusak makna. Kesalahan ini
dinamakan khafi, karena yang mengetahuinya hanyalah
terbatas pada lingkungan ulama qiraah.
Kesalahan khafi terbagi menjadi dua macam;
1) Kesalahan Khafi karena meninggalkan idgham pada
tempatnya, demikian pula meninggalkan izhhar, iqlab,
ikhfa, menipiskan yang seharusnya dibaca tebal atau
sebaliknya, membaca tasydid secara tidak sempurna
atau sebaliknya, memendekkan yang seharusnya
panjang
(membaca
panjang
lebih
dari
yang
seharusnya), tidak membaca mad yang sama secara
serasi, umpamanya tidak menyeragamkan ukuranukuran mad pada satu maqra, seperti beberapa mad
munfashil yang ada di dalamnya, yang satu dengan 4
harakat sedangkan yang lain dengan 2 harakat, dan
lain-lain, berwaqaf dengan membaca baris secara
sempurna pada selain waqaf, yang boleh secara raum,
dan demikian seterusnya yang menyimpang dari
kaedah-kaedah tajwid.
2) Kesalahan Khafi karena kerancuan pelafalan yang hanya
diketahui oleh ulama qiraah yang mahir dan benarbenar ahli (profesional yang expert) seperti pelafalan
huruf
ra
dengan
takrir
(getaran
berulang),
menyeragamkan
ghunnah
pada
huruf
nun
(thathniinunnuunaat),
menyeragamkan
tebal/tipis
semua huruf lam yang bukan pada tempatnya,
menggetarkan suara pada huruf mad dan ghunnah
(sehingga menjadi agak imalah),
dan demikian

23

seterusnya kerancuan dalam pelafalan sehingga


menghilangkan keindahan dan keelokan suatu bacaan.
Hukum dari lahn ini dan kedua jenisnya adalah haram
kecuali dari itu Mulla Ali al-Qari dalam tulisannya pada kitab alMuqaddimah al-Jazariyyah menyatakan kesalahan yang terjadi
seperti ini tidak termasuk pelanggaran terhadap sesuatu yang
fardhu ain yang mengakibatkan siksaan (dosa) melainkan
preventif terhadap siksa dan ancaman.
Sedangkan Lahn Khafi bagian kedua menurutnya tidak
tergambarkan (unimagined) sebagai pelanggaran terhadap
sesuatu yang fadhu ain yang pelakunya disiksa sebagai akibat
dari kesalahan yang dilakukan.
Dalam buku Nihayah al-Qawl al-Mufid dan al-Barkawi dalam
kitab al-Dar al-Yatim menegaskan bahwa semua macam lahn ini
(kesalahan dan kerancuan) hukumnya haram sekalipun tidak
menciderai makna akan tetapi mencinderai pelafalan sehingga
merusak keelokannya serta menghilangkan keindahannya. Apa
yang dikatakan oleh al-Barkawi adalah suatu kebenaran. Bila
seseorang membaca tidak dengan izhhar, idgham, ikhfa, mad
dan qashr pada tempatnya, maka dimana letak presentasi
(kehadiran), esensi (pentingnya) dan eksistensi (keberadaan)
dari tajwid??? Bagaimana dapat dikatakan tilawah itu berkarakter
secara benar dengan mengesampingkan semua hukum-hukum
bacaan seperti itu, yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah
tajwid yang sudah disepakati oleh kaum muslimin secara
keseluruhan.
Sudah diuraikan sebelumnya tentang ijma ummat
terhadap kewajiban tajwid. Ummat mendapatkan nilai ibadah
karena menegakkan/melaksanakan bimbingan-bimbingan alQuran seperti halnya juga menegakkan dan melaksanakan tata
cara membaca dan berupaya untuk mengartikulasikannya secara
baik dan benar.
Artikulasi (pengucapan) yang baik tidak akan terdengar
melainkan dengan cara memberlakukan tajwid sepenuhnya dan
menurut semestinya yaitu izhhar, idhgam dan lain sebagainya.
Imam Ibnul Jazari dalam kitabnya al-Nasyr menyatakan
tidak ada keraguan bahwa umat mendapatkan nilai ibadah
dengan memahami arti al-Quran dan menegakkan bimbinganbimbingannya sama halnya mereka beribadah dengan berupaya
menjaga pelafalannya dengan benar, memperindah tata cara
membaca huruf-hurufnya sesuai dengan sifat apa adanya yang
diterima dari Imam Qiraah yang berhubungan sanadnya dengan
Nabi Muhammad saw. Siapa pun tidak boleh menyalahi dan
menyimpang sehingga keluar kepada jalur lainnya. Ungkapan

24

imam al-Jazari tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa


sudah merupakan suatu keharusan bagi setiap pembaca alQuran untuk memberlakukan semua hukum-hukum tajwid. Tidak
dibenarkan keluar dari aturan-aturan tersebut karena itulah sikap
dan upaya menegakkan tata cara membaca searah dengan tata
cara yang diterima oleh para imam Qiraah yang langsung
bersambung sanadnya kepada Nabi Muhammad saw. Mengingat
tidak adanya suatu dalil yang jelas atau samar yang
menunjukkan bahwa Nabi dalam membaca al-Quran tidak
dengan izhhar, dan idgham, melainkan yang ada adalah
sesungguhnya bacaan Nabi dijadikan sebagai tata cara yang
pasti (bertajwid) seperti diajarkan oleh Jibril yang kemudian para
sahabat juga menerima cara seperti itu dan demikian seterusnya
para tabiin, tabiit tabiin, dan para imam qiraat. Seperti itu pula
tata cara baca yang menyebar keseluruh pelosok dan penjuru di
timur maupun di barat, di utara maupun di selatan, di kota
maupun di desa sampai pada kita sekarang ini yang datang
secara mutawatir yang kalau disimpulkan dapat dinyatakan
sebagai suatu kepastian dan tidak dapat diragukan lagi.
Apabila demikian halnya maka kapan dan dimanapun
seorang tidak boleh menyimpang sedikitpun dari tata cara ini
sehingga apabila disengaja meninggalkannya dan merubahnya
dengan cara lain ia termasuk pelaku dosa besar dan akan disiksa
karena meninggalkan kewajiban syariat.
Nasharuddin
ath-Thablawi
menegaskan
bahwa
memberlakukan semua hukum tajwid seperti nun sukun dan
tanwin, mad lazim dan muttashil adalah suatu kewajiban.
Seorangpun dari imam qiraat tidak ada yang membantah
kewajiban tersebut. Hanya saja mereka berbeda periwayatan
dalam hal ukuran panjang mad muttashil. Bersamaan dengan itu
mereka sepakat tentang tidak boleh mad muttashil dibaca
dengan dua harakat (qashr) seperti mad munfashil dalam salah
satu cara membacanya menurut thariq tertentu. Para fuqaha dan
ushuliyyin dalam kajiannya menyatakan tidak boleh membaca
qiraat syadzdzah padahal kehadirannya merupakan bagian
qiraat secara keseluruhan. Selanjutnya mereka menegaskan
apabila orang yang shalat secara jelas tidak membaca tasydid
dari kata al-rahman yakni mensukunkan huruf lam maka
shalatnya tidak sah. Konsekswensi hukum dari shalat yang tidak
sah karena pelakunya melaksanakan pelanggaran atau sesuatu
yang nilainya haram, maka sasaran apa yang ingin dicapai
dengan bacaan serta tata caranya yang tidak ada asal
muasalnya (sumber dan rujukannya).
Dalam kitab al-Tamhid, Ibnul Jazari menegaskan suatu
bacaan yang berbeda lafalnya tetapi mutawatir, boleh dibaca

25

dalam shalat, sedangkan bacaan syadzdzah hukumnya haram


dan seperti itu pula semua tata cara yang menyimpang dari yang
mutawatir juga haram. Dengan demikian, meninggalkan tata
cara membaca seperti dikemukakan di atas adalah larangan atas
nama syara tidak ada jalan masuk untuk berfikir analogis (qiyas)
akan tetapi semata-mata mengikuti sesuai yang sudah ada
dasarnya (mahdhu ittiba). Imam Ibnul Jazari berkata:


Artinya:
Memberlakukan tajwid adalah kaharusan serta merta
Orang yang tidak mentajwidkan al-Quran adalah berdosa.
Wajib hukumnya atas setiap orang yang berakal yang
merasa terikat oleh agama, untuk menerima serta melaksanakan
ajaran-ajaran yang datang dari para Imam Qiraat, menjadikan
mereka sebagai referensi, menyangkut tata cara baca, karena
setiap disiplin ilmu secara objektif diambil dari ahlinya.
Perhatikanlah dan pentingkanlah hal itu jangan mengambil
secara sangkaan dan meraba-raba dan menerima bukan dari
ahlinya.
Wajib hukumnya bagi setiap guru al-Quran untuk
memberikan pemahaman kepada anak didik, mengajarkan
mereka semua hukum dan tata cara yang sudah disepakati oleh
para Qurra, mengingat setiap yang sudah disepakati oleh para
Qurra haram hukumnya untuk menyalahinya. Orang yang
mengingkari berarti telah berbuat kesalahan besar dan berdosa,
wajib untuk kembali kepada itikad yang benar. Penting rasanya
untuk diungkapkan di sini yaitu sikap sayyidina Abd Allah ibn
Masud ra, tatkala seorang laki-laki membaca firman Allah:

(60 : )








Seorang laki-laki tersebut tidak membaca kata fuqara


menurut semestinya (secara mad), seraya Ibn Masud
menghentikan bacaan tersebut, apa artinya pelafalan itu, bukan
begitu cara nabi membacakannya kepadaku. Laki-laki itu
berkata: Bagaimana nabi membacakannya kepadamu. Ibn
Masud menjawab, nabi membacakannya untukku sebagai
berikut

(60 : )








Nabi membaca kata al-Fuqara dengan mad. Apabila kita


renungkan hadits itu serta mau memikirkannya kita akan dapati
bahwa ibn Masud seorang sahabat senior tidak membolehkan
seorang laki-laki tersebut membaca kata fuqara dengan tidak
bermad (panjang), padahal cara itu tidak merubah makna namun
bacaan tersebut dihentikannya dan mengulanginya dengan

26

membaca secara mad, dalam rangka perbaikan. Hal itu dilakukan


tidak lain kecuali Ibnu Masud membaca kata tersebut secara
mad dihadapan nabi. Sebagaimana diketahui dari hadits nabi
tersebut di atas. Maka gerangan apa yang menyebabkan suatu
bacaan tidak dengan izhhar, idgham, iqlab dan lain sebagainya.
Ini menunjukkan bahwa kapanpun dan dalam keadaan apapun
cara menyimpang dari tajwid tidak dapat dibenarkan.

Anda mungkin juga menyukai