0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
73 tayangan34 halaman

Desti Pratiwi - 1620221204 - Tinea Corporis Et Cruris

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 34

LAPORAN UJIAN KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

TINEA CORPORIS ET CRURIS

Penguji :

dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp.KK

Disusun oleh :

Desti Pratiwi 1620221204

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

TINEA CORPORIS ET CRURIS

DisusunOleh :

Desti Pratiwi 1620221204

LAPORAN UJIAN KASUS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal April 2018

Mengetahui,
Penguji

dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp.KK

ii
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Kasus yang berjudul “Tinea
Corporis et Cruris” tepat pada waktunya. Penulisan Laporan Ujian Kasus
merupakan syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada
kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK selaku penguji yang telah memberikan
bimbingan dan masukan dalam penyusunan presentasi kasus.
2. Rekan-rekan Co-Assistant Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal
Soedirman bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dan semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Ujian Kasus ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat
membangun sangat diharapkan.

Purwokerto, April 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

I....... PENDAHULUAN............................................................................. 1
II......LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien.............................................................................. 3
B..Anamnesis......................................................................................3
C..Pemeriksaan Fisik.......................................................................... 5
D. Usulan Pemeriksaan Penunjang.....................................................11
E..Resume...........................................................................................11
F.. Diagnosis Banding.........................................................................12
G. Diagnosis Kerja..............................................................................13
H. Penatalaksanaan............................................................................. 13
I... Prognosis........................................................................................13

III......TINJAUAN PUSTAKA
A...Definisi......................................................................................14
B...Etiologi......................................................................................14
C...Epidemiologi............................................................................. 15
D...Patogenesis................................................................................15
E... Faktor risiko.............................................................................. 18
F... Gejala Klinis..............................................................................19
G...Pemeriksaan Penunjang............................................................ 20
H...Diagnosis...................................................................................21
I.... Diagnosis Banding.................................................................... 22
J.... Penatalaksanaan........................................................................ 22
K...Komplikasi................................................................................ 24
L... Prognosis................................................................................... 24
IV....... PEMBAHASAN............................................................................ 25
V.........KESIMPULAN..............................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................30

iv
I. PENDAHULUAN

Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis dibagi


menjadi mikosis superfisial, intermediet, dan profunda. Mikosis superfisial dibagi
menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis. Dermatofitosis adalah kelompok
penyakit jamur kulit superfisial akibat jamur dermatofita yang menyerang jaringan
zat tanduk, pada epidermis, rambut, dan kuku, Dermatofita adalah golongan jamur
yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur dermatofita mempunyai sifat
mencernakan keratin, yang dibagi dalam 3 genus yaitu; Microsporum,
Trichophyton dan Epidermphyton. Penyebab tersering tinea kruris dan korporis
adalah Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum, dan Tricophyton
mentagrophytes (Schieke & Garg, 2012).
Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan diklasifikasikan
berdasarkan lokasi (James, 2011). Pembagian dermatofitosis yang banyak dianut
adalah berdasarkan lokasi, yaitu tinea kapitis (dermatofitosis pada kulit dan
rambut kepala), tinea barbe (dermatofitosis pada dagu dan jenggot), tinea kruris
(dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, kadang sampai
perut bagian bawah), tenia pedis et manum (dermatofitosis pada kaki dan tangan),
tinea unguium (dermatofitosis pada kuku jari dan kaki), dan tinea korporis
(dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk dari 5 tinea yang
telah disebutkan) (Budimulja, 2015).
Kejadian dermatofitosis dipengaruhi dari beberapa faktor, diantaranya
Faktor risiko internal , yaitu: pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang,
mengalami keringat yang berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), diabetes melitus,
defisiensi imunitas, riwayat penggunaan obat-obatan seperti antibiotik,
kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya. Selain itu, dermatofitosis juga
dipengaruhi oleh faktor risiko eksternal berupa Iklim yang panas, lingkungan yang
kotor dan lembab, pemakaian bahan pakaian yang tidak menyerap keringat,
lingkungan sosial budaya dan ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan celana
dalam dengan teman atau anggota keluarga yang menderita tinea (Wolf, 2007).
Diagnosis dermatofitosis memerlukan gabungan data klinis, gambaran status
lokalis dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis berupa pertumbuhan jamur

1
dengan pola radial di dalam stratum korneum. Pasien datang dengan keluhan gatal,
yang bertambah jika berkeringat. Kelainan kulit terdiri atas macam-macam
efloresensi kulit (polimorfi) yang berbatas tegas. Lesi kulit berbatas jelas dan
meninggi, disebut ringworm, tepi polisiklik, daerah tepi juga tampak vesikel-
vesikel kecil dengan skuama halus dan aktif. Ciri khas pada infeksi jamur adanya
central healing yaitu bagian tengah tampak kurang aktif, sedangkan bagian
pinggirnya tampak aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) (Budimulja, 2015).

2
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. E
Usia : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru SD
Status Pernikahan : Sudah menikah
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jl. Gunung Tugel, Purwokerto Selatan
No. RM : 02047719
Tanggal Pemeriksaan : 5 April 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan gatal di bawah lipatan kedua payudara dan ketiak
sejak 1 tahun yang lalu.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan
keluhan gatal di bawah lipatan kedua payudara dan kedua ketiak sejak 1
tahun yang lalu. Awalnya pasien mengaku keluhan pertama kali muncul di
bagian lipatan paha dan bokong, kemudian semakin lama semakin melebar
dan meluas ke bagian bawah lipatan payudara, ketiak dan perut sehingga
terasa semakin gatal. Keluhan gatal dirasakan terus menerus dan
mengganggu aktivitasnya. Keluhan tersebut dirasakan semakin memberat
saat pasien beraktivitas banyak, berkeringat, dan cuaca panas. Keluhan akan
berkurang setelah digaruk.
Gatal tidak muncul bila pasien makan makanan tertentu (telur dan
seafood) atau bersentuhan dengan barang tertentu (kain, sabun, deodoran,
detergen). Sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke dokter namun

3
keluhan tidak membaik dan sering kambuh-kambuhan. Pasien mengaku baju
seragam kerjanya memiliki bahan yang panas sehingga tidak menyerap
keringat. Pasien juga mengaku setelah BAB dan BAK tidak pernah
mengeringkan dengan tissue atau handuk dan jarang mencuci tangan setelah
menggaruk badan di tempat tertentu.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
b. Konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal
c. Riwayat alergi obat antibiotik golongan penisilin (+)
d. Riwayat asma dan rhinitis alergi disangkal
e. Riwayat hipertensi disangkal
f. Riwayat DM disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa di keluarga disangkal
b. Konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal
c. Riwayat alergi makanan, debu, dan cuaca disangkal
d. Riwayat asma dan rhinitis alergi disangkal
e. Riwayat hipertensi disangkal
f. Riwayat DM disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang guru SD. Pasien tinggal di rumah dengan
suami, anak, menantu, dan 2 orang cucu serta pembantu rumah tangga.
Pasien mengaku sering memakai handuk namun jarang untuk mengganti
handuk tersebut. Pasien tinggal di perumahan kawasan padat penduduk.
Cahaya matahari dapat langsung masuk ke dalam rumah pasien. Rumah
pasien memiliki ventilasi yang cukup. Sumber air untuk memasak dan
mencuci berasal dari air tanah. Pasien makan 3x sehari berupa nasi, sayur,
tahu, dan tempe.

4
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 89 kg
TB : 160 cm
IMT : 34,76 (Obesitas II)

Vital Sign
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 95x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36.5⁰C

Status Generalis
Kepala : Mesochepal, rambut terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-) deformitas (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-) sekret (-/-)
Mulut : Pucat (-/-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :Akral hangat, edema , sianosis

Status Lokalis (Dermatologis)


1. Lokasi : Regio intertriginosa infra mammae dextra et sinistra,
axillaris dextra et sinistra, abdominalis, inguinalis dextra et
sinistra, gluteus dextra et sinistra, dan antebrachii dextra.

5
Efloresensi : Makula eritematosa dengan papula eritematosa serta plakat
eritem, hiperpigmentasi, tepi lesi aktif (central healing) berbatas
tegas dengan skuama halus di atasnya.

Gambar 2.1 Efloresensi regio intertriginosa infra mammae dextra

Gambar 2.2 Efloresensi regio intertriginosa infra mammae sinistra

6
Gambar 2.3 Efloresensi regio axillaris dextra

Gambar 2.4 Efloresensi regio axillaris sinistra

7
Gambar 2.5 Efloresensi regio abdominalis

Gambar 2.6 Efloresensi regio inguinalis dextra

8
Gambar 2.7 Efloresensi regio inguinalis sinistra

Gambar 2.8 Efloresensi regio gluteus dextra

9
Gambar 2.9 Efloresensi regio gluteus sinistra

Gambar 2.10 Efloresensi regio antebrachii dextra

10
D. Resume
Pasien Ny. E seorang perempuan berusia 56 tahun datang ke Poli
Klinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan gatal di bawah lipatan kedua
payudara dan ketiak sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan pertama kali muncul di
bagian lipatan paha dan bokong, kemudian semakin lama semakin melebar dan
meluas ke bagian bawah lipatan payudara, ketiak dan perut sehingga terasa
semakin gatal. Keluhan gatal dirasakan terus menerus dan mengganggu
aktivitasnya. Keluhan tersebut dirasakan semakin memberat saat pasien
beraktivitas banyak, berkeringat, dan cuaca panas. Keluhan akan berkurang
setelah digaruk.
Gatal tidak muncul bila pasien makan makanan tertentu atau
bersentuhan dengan barang atau tertentu. Sebelumnya pasien sudah pernah
berobat ke dokter namun keluhan tidak membaik dan sering kambuh-kambuhan.
Pasien mengaku baju seragam kerjanya memiliki bahan yang panas sehingga
tidak menyerap keringat. Pasien juga mengaku setelah BAB dan BAK tidak
pernah mengeringkan dengan tissue atau handuk dan jarang mencuci tangan
setelah menggaruk badan di tempat tertentu.
Pasien menyangkal sering menggunakan pakaian ketat dan berlapis,
rumah lembab karena kurang ventilasi dan cahaya, penyakit diabetes melitus,
riwayat penggunaan imunosupresan dan kelurga tidak ada yang mempunyai
keluhan serupa. Pasien seorang istri dan bekerja sebagai guru SD. Pasien
tinggal dirumah dengan suami, anak, menantu, 2 orang cucu, dan PRT.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, BB 89
kg, TB 160 cm, dan IMT 34,76m2/kg. Pemeriksaan fisik lain dalam batas
normal. Pemeriksaan status lokalis lesi kulit pada regio intertriginosa infra
mammae dextra et sinistra, axillaris dextra et sinistra, abdominalis, inguinalis
dextra et sinistra, gluteus dextra et sinistra, dan antebrachii dextra dengan
efloresensi makula eritematosa dengan papula serta plakat eritem tepi lesi aktif
(central healing) berbatas tegas dengan skuama halus di atasnya. Berdasarkan
anamnesis dan gejala klinis serta pemeriksaaan dermatologis maka dapat
ditegakkan tinea corporis dan tinea cruris.

11
E. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis kutis intertriginosa
a. Lokasi : lesi di daerah lipatan kulit ketiak, lipatan paha, intergluteal,
lipatan payudara, umbilical.
b. Efloresensi : makula plak dan eritematosa batas tegas disertai lesi satelit
membentuk gambaran korimbiformis disertai psedomembran.
Pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan pseudohifa dan blastospora.

2. Psoriasis
a. Lokasi : lesi pada daerah fleksor, daerah intertriginosa di jumpai di
daerah aksila, fossa antekubital, poplitea, lipatan inguinal, infra
mammae, perineum.
b. Efloresensi : plak eritematosa batas tegas, basah disertai skuama tebal
berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih mengkilap seperti mika.
Keluhan biasanya menahun dan berulang dan terdapat tanda khas
seperti auspitz sign, candle sign dan fenomena kobner.

3. Eritrasma
a. Lokasi : daerah intertriginosa
b. Efloresensi : makula eritematosa batas tegas disertai skuama kering
halus. Flouresensi merah bata yang khas dengan sinar Wood

F. Diagnosis Kerja
Tinea Corporis et Cruris

G. Pemeriksaan Anjuran
1. Pemeriksaan KOH 10% didapatkan hifa panjang bersepta disertai dengan
artospora.
2. Pemeriksaan lampu Wood didapatkan lesi berpendar kuning kehijauan.
3. Kultur media Saboround Dextrose Agar (SDA) didapatkan koloni jamur.

12
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Sistemik
Antimikotik sistemik : Ketoconazole 1x200 mg /hari selama 3 -4
minggu
Antihistamin : Cetrizine 1x10 mg malam hari.
b. Antimikotik topikal : Mikonazole cream 2% dioles 2x sehari
(pagi dan malam) selama 1 bulan

2. Edukasi
a. Menjaga kebersihan badan.
b. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat.
c. Tidak bertukar handuk dan pakaian dengan orang lain.
d. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
e. Menurunkan berat badan dengan mengubah pola hidup.
f. Mengurangi makanan berminyak dan berlemak.
g. Memperbanyak makan sayur dan buah.
h. Mandi 2x sehari.
i. Ganti baju 2x sehari atau bila keringat berlebih.
j. Sering mencuci handuk, sprei, dan pakaian.
k. Olahraga secara teratur.
l. Kurangi stress psikis dan istirahat yang cukup.
m. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter.

I. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Quo ad functionam : ad bonam
4. Quo ad cosmeticam : ad bonam

13
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung
keratin atau zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, serta
kuku, yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton dan diantaranya adalah tinea corporis dan tinea
cruris (Budimulja, 2011). Tinea kruris sebagai salah satu dermatofitosis sering
ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.
Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal,
yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal (Yossela, 2015).
Tinea corporis adalah infeksi jamur golongan dermatofita pada kulit halus tidak
berambut (glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan
glutea (Lesher, 2012).

B. Etiologi
Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton rubrum
dan Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan spesies yang
paling sering menyebabkan terjadinya epidemi. T. Mentagrophytes dan T.
verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris. Tinea cruris seperti halnya tinea
korporis, menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan peralatan
yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi
dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab (Yossela, 2015).
Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang
merupakan penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans. Penyebab
tersering penyakit tinea corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi
47% dari semua kasus tinea corporis (Lesher, 2012). Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencerna keratin sehingga jamur jenis ini menyerang lapisan-
lapisan kulit mulai dari stratum korneum hingga stratum basalis. Penularan
penyakit ini terjadi karena adanya kontak dengan debris keratin yang
mengandung hifa jamur (Kurniati & Rosita, 2008).

14
C. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi mikosis
superfisial di dunia mencapai 20-25%. Di Indonesia, dermatofitosis merupakan
52% dari seluruh dermatomikosis. Tinea kruris dan tinea korporis merupakan
dermatofitosis terbanyak. Berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis, tinea
korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan
tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya (Yossela, 2015).
Infeksi dermatofita dapat menyerang seluruh umur tetapi lebih sering
pada dewasa yang menyerang wanita dan pria, bentuk dengan tanda radang
lebih nyata, sering dijumpai pada anak – anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. (Schieke, 2015). Sekitar
20 hingga 25% populasi dunia pernah menderita penyakit ini dan dapat
menyerang semua ras dan kelompok umur. Iklim panas dan kelembaban yang
tinggi menjadi predisposisi tertinggi memperkuat kejadian infeksi dermatofita
(Budimulja, 2011).

D. Patogenesis
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu (Kurniati,
2012) :
1. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”).
2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang. Untuk dapat menimbulkan suatu
penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan
spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan

15
mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan
mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu
dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadinya infeksi dermatofit
melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi
melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon pejamu.

1. Perlekatan dermatofit pada keratinosit


Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal
setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga
melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine
proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang
menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu.
Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh
sebum antara artrospora dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses
trauma atau adanya lesi pada kulit (Kurniati, 2012).

2. Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel


Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan
sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi
jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum
korneum setelah spora melekat pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen
menggunakan beberapa cara (Kurniati, 2012) :
a. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang
tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat
pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.

16
b. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
c. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid
dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan
sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi
siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang
digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum
bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi
kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum
(Kurniati, 2012).

3. Respons imun pejamu


Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan
respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada
kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian
kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik
(Kurniati, 2012).
a. Mekanisme pertahanan non spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami
terdiri dari (Kurniati, 2012) :
1) Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai
barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara
kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat

17
menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi epidermis
menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
peradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang
dimediasi sel T.
2) Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa
pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri
dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan
dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3) Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan
2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
b. Mekanisme pertahanan spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan
baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI).
Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity
(DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan
pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan
CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi
infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini
melibatkan antigen dermatofit dan CMI (Kurniati, 2012).

E. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit dermatofitosis, dapat
dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal
(Behzadi, 2014):
1. Faktor risiko Internal
Faktor risiko internal lebih banyak pada usia remaja dan dewasa, jenis
kelamin laki-laki tapi tidak menutup kemungkinan pada wanita, memiliki
pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang, mengalami keringat yang
berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), memiliki penyakit metabolik seperti
diabetes melitus, mengalami defisiensi imunitas, riwayat penggunaan obat-
obatan seperti antibiotik, kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya.

18
2. Faktor risiko eksternal
Faktor risiko eksternal yang dapat menyebabkan infeksi diantaranya,
iklim yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab, pemakaian bahan
pakaian yang tidak menyerap keringat, lingkungan sosial budaya dan
ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan celana dalam dengan teman
atau anggota keluarga yang menderita tinea.

F. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Keluhan utama dan keluhan tambahan pasien biasanya adalah rasa
gatal pada badan dan daerah kruris (lipat paha), intergluteal sampai ke
gluteus, dan genitalia. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen
bagian bawah. Pasien biasanya pernah memiliki keluhan yang serupa
sebelumnya. Faktor risiko dari tinea yaitu pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan
orang lain, berkeringat banyak, dan menderita diabetes melitus
(Janik&Heffernan, 2008).

2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk, baik yang primer
maupun sekunder, pada tinea kruris berupa makula/ plak eritematosa,
berbatas tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian dalam dan
seringkali bilateral.Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat dengan
bagian tengah tampak seperti menyembuh (central healing). Pada tepi lesi
dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi disertai
keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya
likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Yosella, 2015; Schieke &
Garg, 2012).

19
Gambar 3.1. Tinea corporis dan tinea cruris (Siregar, 2004)

G. Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan.
1. Kerokan kulit dengan larutan KOH 10%
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan-bahan kerokan kulit ini
diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang mengalami lesi.
Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel steril dan
jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril. Kemudian
sediaan dituangi larutan KOH 10%. Hasil positif jika ditemukan hifa
bersepta atau bercabang dan berspora (Hidayati et al., 2009).

Gambar 3.2. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH 10%

20
2. Pemeriksaan dengan lampu wood
Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang menggunakan
sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 360 nm. Sinar ini tidak
dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi
oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat
dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang
memberikan fluoresensi yaitu M. canis, M. audouini, M. ferrugineum
dan T. schoenleinii (Hay dan Moore, 2004). Pada kasus tinea korporis
dan kruris, lampu Wood digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding dari eritrasma yang akan tampak sebagai efloresensi merah
bata (Hidayati et al., 2009).
3. Biakan jamur dengan media Sabouroud
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud dextrose agar (SDA)
pada suhu kamar (25-30⁰C), kemudian satu minggu dilihat dan dinilai
apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui
bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora. Kultur jamur merupakan
metode diagnostik yang lebih spesifik, namun membutuhkan waktu yang
lebih lama dan sensitivitas yang rendah, harga lebih mahal dan biasanya
digunakan pada kasus yang berat dan tidak respon terhadap pengobatan
sistemik. pada medium SDA dapat ditambahkan antibiotic kloramfenikol
atau klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindari
kontaminasi bakteri maupun jamur kontaminan (Kurniati, 2012).

H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dengam
melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi dan pemeriksaan penunjang.
Gejala klinisnya berupa rasa gatal yang meningkat pada saat berkeringat.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi eritematosa dan atau papulovesikel
yang multipel dengan batas tegas dan tepi yang meninggi, berbentuk polisiklik
atau bulat berbatas tegas, polimorfik dan tepi lebih aktif. Pada pemeriksaan
penunjang yaitu dilakukan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan kerokan
dan tetes KOH serta kultur (Yossela, 2015).

21
I. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis
Lesi makula dan plak eritem disertai lesi satelit membentuk gambaran
korimbiformis, disertai dengan pseudomembran. Predileksi khas pada
lipatan payudara, intergluteal, inguinal, lipat ketiak, umbilical. Pada
pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan pseudohifa dan blastospora (Siregar,
2004).
2. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih tebal
dan berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun dan terdapat
tanda khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena koebner, candle sign.
Predileksi pada daerah wajah, ekstremitas ekstensor, daerah lumbosacral
(Siregar, 2004).
3. Eritrasma
Eritrasma memiliki efloresensi berupa makula eritematosa tanpa
adanya central healing. Sedangkan pada pasien ini terdapat central healing.
Selain itu pada pemeriksaan lampu wood didapatkan pendaran coral red
sedangkan pada pasien ini kuning kehijauan. Serta pada pemeriksaan KOH
tidak ditemukan hifa panjang dan pewarnaan Gram adanya bakteri Gram
positif yakni Corynebacterium minutissimum. Sedangkan pada pasien ini
ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH dan pada pewarnaan Gram
tidak ditemukan bakteri (Hidayati et al., 2009).

J. Terapi
Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi,
tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih luas yang
terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang. Infeksi dermatofita dengan
krim topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4
minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan krim
terbinafine) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit bersih. Terapi

22
topikal untuk pengobatan tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine,
ekonazol, miconazole, ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox (Yossela, 2015).
Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik.
Beberapa indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain (Yossela,
2015) :
a. Infeksi kulit yang luas.
b. Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
c. Infeksi kulit kepala.
d. Granuloma majocchi.
e. Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.

Medikamentosa pada dermatofitosis, termasuk (Yossela, 2015).


a. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara
umum griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis
0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau
10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah
sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
b. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam
pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka
kesembuhan sekitar 70%.
c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif
dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien
mendapatkan kesembuhan.
d. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai
dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu.
e. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan
rejimen umumnya 2-4 minggu.
f. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun
rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.

23
g. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran
klinis memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali.

Penatalaksanaan dermatofitosis tidak hanya diselesaikan secara


medikamentosa, namun dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa dan
pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti
mengurangi faktor predisposisi, yaitu menggunakan pakaian yang menyerap
keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan
membersihkan pakaian yang terkontaminasi (Yossela, 2015).

K. Prognosis

Terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.
Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik. Penting juga untuk
menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran
lebih lanjut (El-Gohary, 2014). Faktor-faktor yang menjadi penyulit
kesembuhan dan atau menunjang kekambuhan tinea korporis diantaranya luas
lesi, higienitias personal buruk, bertahan pada lingkungan dan kebiasaan
berpakian yang lembab, dan terapi tidak adekuat (El-Gohary et al, 2014).

L. Komplikasi
Penderita tinea kruris dan tinea corporis dapat terjadi komplikasi infeksi
sekunder oleh mikroorganisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid
topikal dapat mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan
penyakit menyebar dan bertambah parah (Budimulja, 2011).

24
IV. PEMBAHASAN

A. Penegakan Diagnosis
Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah tinea
korporis dan kruris. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status
dermatologis yang mendukung ke arah diagnosis kerja adalah sebagai berikut :

Hasil anamnesis :

1. Keluhan utama gatal pada lipatan bawah kedua payudara dan ketiak sejak
1 tahun yang lalu, bersifat hilang timbul.
2. Gatal memberat apabila pasien berkeringat maupun saat beraktivitas.
3. Awalnya pasien mengeluhkan gatal pada lipatan paha dan bokong, lalu
muncul bercak berwarna kemerahan, bercak dirasakan semakin meluas
sampai ke bagian bawah lipatan payudara, ketiak dan perut.
4. Pasien sering menggunakan baju dengan bahan yang panas dan tidak
menyerap keringat.
5. Pasien setelah BAK dan BAB tidak mengeringkan dengan handuk atau
tissue dan jarang mencuci tangan setelah menggaruk badan di tempat
tertentu.

Hasil pemeriksaan fisik status dermatologis :

Lokasi : Regio intertriginosa infra mammae dextra et sinistra,


axillaris dextra et sinistra, abdominalis, inguinalis dextra et
sinistra, gluteus dextra et sinistra, dan antebrachii dextra.

Efloresensi : Makula eritematosa dengan papul serta plakat eritem,


hiperpigmentasi, tepi lesi aktif (central healing), berbatas
tegas dengan skuama halus di atasnya.

25
B. Diagnosis Banding
Berdasarakan tempat lesinya, diagnosis banding untuk penyakit Tinea
korporis et cruris pada kasus ini adalah sebagai berikut :

1. Kandidiasis Kutis Intertriginosa


Kandidiasis memiliki kesamaan keluhan berupa gatal yang
memberat bila berkeringat. Rasa gatal dirasakan pada lesi kulit yang
muncul pada area-area yang berkeringat, seperti lipatan, atau area yang
lembab. Efloresensi pada kandidiasis adalah makula dan papul eritem
numular hingga plakat dengan papul eritem disekitarnya sebagai lesi satelit
yang tidak ditemukan lesi kulit pasien (Budimulja, 2011).
2. Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit kronik residif yang memiliki wujud
kelainan kulit serupa dermatofitosis. Pasien umumnya mengeluhkan
muncul bercak yang bersisik disertai rasa gatal. Efloresensi kulit yang
muncul berupa maukla eritem anular multipel dengan sisik putih tebal
seperti mika. Sedangkan pada pasien ini terdapat central healing dan tidak
terdapat skuama tebal berlapis seperti mika maupun auspitz, candle sign.
Serta pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang Sedangkan
pada pasien ini ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH (Siregar,
2004).
3. Eritrasma
Eritrasma memiliki efloresensi berupa makula eritematosa tanpa
adanya central healing. Sedangkan pada pasien ini terdapat central
healing. Selain itu pada pemeriksaan lampu wood didapatkan pendaran
coral red sedangkan pada pasien ini kuning kehijauan. Serta pada
pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang dan pewarnaan Gram
adanya bakteri Gram positif yakni Corynebacterium minutissimum.
Sedangkan pada pasien ini ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH
dan pada pewarnaan Gram tidak ditemukan bakteri (Budimulja, 2011).

26
C. Pemeriksaan penunjang
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur,
pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi,
dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat
langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%.
Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah
mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa
(benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora
berupa bola kecil (James, 2011).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh
jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat
dengan memberi warna kuning kehijauan. Pada kasus tinea korporis dan
kruris, lampu Wood digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari
eritrasma yang akan tampak sebagai efloresensi merah bata (El-Gohary et al,
2014).

D. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Menjaga kebersihan badan.
b. Tidak memakai pakaian ketat dan duduk terlalu lama.
c. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat.
d. Tidak bertukar handuk dan pakaian dengan orang lain.
e. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
f. Menurunkan berat badan dengan mengubah pola hidup.
g. Mengurangi makanan berminyak dan berlemak.
h. Memperbanyak makan sayur dan buah.
i. Mandi 2x sehari.
j. Ganti baju 2x sehari.
k. Sering mencuci handuk, sprei, dan pakaian.

27
l. Olahraga secara teratur.
m. Kurangi stress psikis dan istirahat yang cukup.
n. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter.

2. Farmakologis

a. Cetirizine tablet 1 x 10 mg/ hari


Cetirizine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas yang
rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga tidak
menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar pada mata.
Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti urtikaria kronik
dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini digunakan untuk
mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien (Katzung, 2004).

b. Ketokonazol tablet 2 x 200 mg/ hari.


Ketokonazol merupakan fungistatik yang bekerja melalui inhibisi
sintesis ergosterol dependen-sitokrom p450 yang berperang dalam
pembentukan membran sel. Ketokonazol memiliki hepatotksik sehigga
tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama (El-Gohary, 2014).
Ketokonazol dapat diberikan dengan dosis 200mg/hari selama 10 hari-2
minggu pada pagi hari setelah makan. Kontraindikasi dengan penyakit
hepar dan bersifat heptotoksik apabila diberikan lebih dari 10 hari.
(Budimulja, 2011)

c. Krim Mikonazol 2%
Obat topikal dalam sediaan krim diberikan pada pasien untuk
dioleskan tipis pada area yang gatal secara teratur sebanyak 2 kali sehari.
Mikonazol merupakan obat antifungal bekerja secara fungistatik dengan
mengubah permebilitas membran sel fungi sehingga merusak sistem barier
selektif yang berdampak pada ketidaksimbangan komponen sel
(Budimulja, 2011)

28
V. KESIMPULAN

1. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung


keratin atau zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, serta
kuku, yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton dan diantaranya adalah tinea corporis
2. Predisposisi berupa memakai pakaian tidak menyerap keringat dan berwarna
gelap.
3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4. Gejala klinis yaitu berupa rasa gatal yang meningkat pada saat berkeringat
dan cuaca panas pada lipatan bawah payudara, ketiak, abdomen, lipatan paha,
dan bokong.
5. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi makula dan plak eritematosa yang
multipel dengan batas tegas dan tepi yang meninggi dan tepi lebih aktif,
mempunyai central healing dan squama halus.
6. Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% didapatkan hifa panjang
bersepta dengan spora.
7. Pengobatannya dapat secara sistemik dan topikal dilakukan sesuai dengan
luas lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 4 minggu tanpa putus obat, serta
selalu menjaga kebersihan badan dan lingkungan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Agustine, R. 2012. Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan


Sediaan Langsung KOH 20% Dengan Sentrifugasi dan Tanpa Sentrifugasi
pada Tinea Kruris. Tesis. Padang, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Behzadi, P. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.
Sikkim Manipal University Medical Journal; 1(2): 53-54
Budimulja, U. 2011. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan Aisah,
Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Djuanda, A. 2007.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. Jakarta : FKUI
El-Gohary, M., J. Zuuren, Z. Fedorowics, H. Burgess, dan L. Doney. 2014.
Topical Antifungal Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis.
Cochrane Databse System Review.
James, W., Berger, dan D. Elston. 2011. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Kurniati, C.R. 2012. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. Vol. 20(3).
Lesher, J. L. 2012. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.

Manjula, P. & Parameswari, K. 2016. A Study of Nondermatophytic


Dermatomycosis in Patients Attending a Tertiary Care Hospital in
Vijayawada, Andhra Pradesh, India. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci (2016)
5(4): 452-458.
Rosida, E. & Ervianti, E. 2017. Penelitian Retrospektif : Mikosis Superficial.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol. 29 (2).
Schieke, M., Garg, A. 2012. Fungal Disease: Superficial Fungal Infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Edition Volume 2. New
York: McGraw-Hill. p.2277-97

Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004.
Yossela, T. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. Journal Majority. Vol.
4(2).

30

Anda mungkin juga menyukai