Laporan PKT 2

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA TERPADU

SINTESIS KOMPOSIT CTAB-MONTMORILLONITE MAGNETIT SEBAGAI


ADSORBEN ZAT WARNA METHYLENE BLUE

DISUSUN OLEH :

IKA CHASANATUN NI’MAH 24030116140090

MUHAMMAD IQBAL SHIHAB 24030116120001

NIDA PRIDANANTI 24030116140063

SAFIRA ANATUL FIRDAUSYA 24030116140060

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat melaksanakan Praktikum Kimia Terpadu di Laboratorium
Kimia Anorganik Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:


1. Allah SWT karena atas segala berkah dan rahmat-Nya kami masih diberikan
kesabaran dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan praktikum kimia terpadu
ini.
2. Dr. Choiril , S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing PKT.
3. Seluruh dosen Laboratorium Anorganik Fakultas Sains dan Matematika
4. Teman - teman seperjuangan di Laboratorium Anorganik
5. Serta semua pihak yang turut serta membantu PKT ini.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam penulisan laporan ini. Namun


demikian, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Penulis mengucapkan terimakasih.

Semarang, Juni 2019

Penyusun
ABSTRAK

Sintesis komposit lempung alam magnetit telah dilakukan.


Komposit kemudian diaplikasikan sebagai adsorben zat warna
methylene blue dalam sistem larutan. Sintesis komposit lempung
alam magnetit dilakukan dengan aktivasi asam terhadap lempung alam,
selanjutnya dikompositkan dengan magnetit menggunakan metode
kopresipitasi dengan rasio mol Fe2+ : Fe3+ = 1 : 2 pada temperatur 85οC.
Karakterisasi terhadap hasil sintesis dilakukan dengan UV dan FTIR.
Adsorpsi dilakukan menggunakan sistem batch, dengan kajian
adsorpsi yang dipelajari kapasitas adsorpsi dengan variasi konsentrasi
methylen blue . Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa oksida besi
Fe3O4 (magnetit) dapat terkompositkan dengan lempung alam. lempung
alam teraktivasi dan lempung alam magnetik komposit mampu
mengadsorpsi methylene blue dalam larutan dengan adsorpsi optimal
terjadi pada konsentrasi methylene blue 10 ppm.
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu contoh zat warna yang banyak digunakan pada industri
tekstil adalah methylene blue. Dalam proses pewarnaan, senyawa ini hanya
tergunakan sekitar 5% sedangkan 95% sisanya akan dibuang kealiran air
sebagai limbah (Purwamargapratala et al., 2013).

Keberadaan zat pewarna ini dalam lingkungan khususnya perairan,


membutuhkan penanganan yang serius mengingat faktor resiko yang
ditimbulkan. Berbagai metode telah dikembangkan untuk mengatasi masalah
pencemaran air, salah satunya ialah metode adsorpsi dengan menggunakan
sistem bactch. Metode ini dipilih, karena prosesnya dinilai sederhana, efektif,
efisien dan murah (Notodarmojo, 2005).

Penerapan metode adsorpsi dalam prakteknya membutuhkan bahan


pengikat atau penyerap kontaminan yang disebut sebagai adsorben. Bahan
penyerap yang dapat digunakan salah satunya adalah lempung. lempung alam
merupakan mineral yang berasal dari pelapukan kerak bumi yang sebagian besar
tersusun oleh batuan feldspatik, terdiri dari batuan granit dan batuan beku.
Berdasarkan warna dan tempat pembentukkannya, lempung di wilayah
Kalimantan Tengah dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu lempung
putih, lempung alam dan lempung alam. Perbedaan karakteristik salah satunya
disebabkan karena jenis mineral penyusun yang mendominasi dan kehadiran
bahan lain yang terkandung di dalamnya, seperti oksida besi dan fragmen
batuan. (Amarullah et al., 2002).

Lempung memiliki beberapa kelebihan, yakni sifat mudah mengembang,


kapasitas tukar kation yang tinggi, luas permukaan yang besar, stabil secara
kimia dan mekanika (Ortega et al., 2013). Sebelum digunakan sebagai
adsorben, lempung harus diaktivasi terlebih dahulu untuk melepaskan
pengotor-pengotor dari kisi struktur sehingga secara fisik rangkaian struktur
(framework) memiliki area yang lebih luas. Aktivasi dilakukan melalui dua
cara, yaitu aktivasi secara kimia dan fisis. Proses aktivasi secara kimia
dilakukan dengan menggunakan larutan asam dan aktivasi secara fisis
dilakukan dengan pemanasan (kalsinasi) (Koyuncu, 2007).

Aplikasi lempung sebagai adsorben menggunakan sistem batch


memiliki kesulitan dalam proses pemisahan fase padat adsorben dari larutan.
Pemisahan hanya didasarkan pada proses pegendapan secara alami oleh gaya
gravitasi bumi yang tentunya membutuhkan waktu lama untuk proses
pemisahan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesulitan


tersebut ialah dengan mengkompositkan bahan magnetik pada lempung
sehingga diperoleh komposit. Sintesis Komposit Lempung Alam Magnetit
sebagai adsorben magnetik lempung yang memiliki sifat kemagnetan. Salah
satu jenis bahan magnetik yang dapat dikompositkan pada lempung adalah
magnetit (Fe3O4).

Sintesis komposit magnetik dapat dilakukan melalui metode


kopresipitasi (Lee et al, 2004). Sintesis komposit diharapkan dapat
menghasilkan bahan baru yang mempunyai dua sifat utama yaitu, sifat
adsorpsi yang berasal dari lempung dan sifat magnet yang berasal dari bahan
magnetik yang terkomposit di dalam jaringan struktur lempung. Keberadaan
sifat magnet ini diharapkan dapat mempermudah pemisahan fase padat
lempung dari larutan setelah proses adsorpsi dapat dilakukan dengan mudah
dan cepat menggunakan medan magnet eksternal (Oliviera et al., 2003).

Beberapa penelitian telah dilakukan menggunakan bahan termodifikasi


magnetit sebagai adsorben. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dilakukan
oleh Peng, et al (2012) tentang modifikasi asam humat dengan nanopartikel
magnetit untuk mengurangi rhodamine B dalam air, menunjukkan bahwa asam
humat yang sudah dimodifikasi efektif untuk mengurangi keberadaan
rhodamine B dalam air. Penelitian lain tentang bentonit termodifikasi magnetit
dan aplikasinya sebagai adsorben Hg(II) (Agnestisia et al, 2016)
menunjukkan bahwa modifikasi bentonit dengan magnetit mampu
meningkatkan kapasitas bentonit dalam mengadsorpsi Hg(II), serta
mempercepat proses pemisahan partikel adsorben dalam larutan dengan
magnet eksternal. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian ini akan
dikaji mengenai sintesis komposit lempung alam magnetit sebagai adsorben zat
warna methylene blue.

1.1 Tujuan Penelitian

1.1.1. Untuk mengetahui apakah zat pewarna Methylene blue dapat di


adsorpsi dengan lempung CTAB magnetik

1.1.2. Untuk mengetahui komposisi lempung modifikasi optimum untuk


adsorpsi zat pewarna Methylene blue

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah zat pewarna Methylene blue dapat di adsorpsi dengan lempung
CTAB magnetik

1.2.2 Bagaimana komposisi lempung modifikasi optimum yang mampu


mengadsorpsi zat pewarna Methylene blue
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bentonit

Bentonit merupakan istilah dalam dunia perdagangan untuk clay yang


mengandung monmorillonit. Kandungan utama bentonit adalah mineral
monmorilonit (80%) dengan rumus kimia [Al l.67 Mg 0.33 (Na0.33 )]Si4O10 (OH)2.
Warnanya bervariasi dari putih ke kuning, sampai hijau zaitun, coklat kebiruan.
Bentonit berasal dari perubahan hidrotermal dari abu vulkanik yang disimpan
dalam berbagai air tawar (misalnya, danau alkali) dan cekungan laut (fosil laut
yang melimpah dan batu kapur), ditandai dengan energi pengendapan yang
rendah oleh lingkungan dan kondisi iklim sedang. Hamparan bentonit berkisar
pada ketebalan dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter (sebagian 0,3-1,5
m) dan dapat lebih dalam lagi sampai ratusan kilometer. Bentonit banyak
terdapat secara luas di semua benua. Kandungan lain dalam bentonit merupakan
pengotor dari beberapa jenis mineral seperti kwarsa, ilit, kalsit, mika dan klorit
(Utracki, et. al, 2004). Bentonit dikenal dan dipasarkan dengan berbagai
sinonim seperti sabun tanah liat, sabun mineral, wilkinite, staylite, vol-clay,
aquagel, ardmorite, dan refinite (Johnston, 1961).

2.1.1. Sifat Fisika dan Kimia Bentonit

Sifat–sifat fisika bentonit antara lain berkilap lilin, umumnya lunak dan
plastis, berwarna pucat dengan kenampakan putih, hijau muda, kelabu hingga
merah muda dalam keaadaan segar dan menjadi krem bila lapuk yang kemudian
berubah menjadi kuning, merah coklat hingga hitam. Bila diraba terasa licin
seperti sabun. Bila dimasukkan ke dalam air, akan menyerap air, sedikit atau
banyak, bila kena air hujan bentonit dapat berubah menjadi bubur dan bila
kering akan menimbulkan rekahan yang nyata. Sifat fisik lainnya berupa massa
jenis 2,2-2,8 g/L; indeks bias 1,547-1,557; dan titik lebur 1330-1430 oC
(Johnstone, 1961).
Struktur bangun lembaran bentonit terdiri dari 2 lapisan tetrahedral yang
disusun unsur utama Silika (O, OH) yang mengapit satu lapisan oktahedral yang
disusun oleh unsur M (O,OH) (M = Al, Mg, Fe) yang ditunjukkan pada Gambar
2. 1 yang disebut juga mineral tipe 2:1. Ruang dalam lembaran ini dapat
menyusun hampir 85 % dari bentonit (Ray, 2003, Utracki, 2004).

Struktur utama bentonit selalu bermuatan negatif walaupun pada lapisan


oktahedral ada kelebihan muatan positif yang akan dikompensasi oleh
kekurangan muatan positif pada lapisan oktahedral. Hal ini terjadi karena
terjadinya substitusi isomorfik ion-ion, yaitu pada lapisan tetrahedral terjadi
substitusi ion Si 4+ oleh Al 3+, sedangkan lapisan oktahedral terjadi substitusi ion
3+ 2+ 2+
Al oleh Mg dan Fe . Ruang dalam lapisan bentonit dapat mengembang
dan diisi oleh molekul-molekul air dan kation-kation lain (Alexandre dan
Dubois, 2000).

2.2. Montmorillonite

Montmorilonite merupakan kelompok mineral filosilikat yang paling


banyak menarik perhatian. Montmorillonite memiliki sifat seperti tanah liat ,
dimana pada X-Ray ditunjukkan dari kaolin dan bisa dibentuk dari mineral dengan
partikel koloidal tertutup pada strukturnya. Sangat lembut , berwarna putih dan
abu-abu menjadi merah rose dan kebiru-biruan (Dana, 1960)

Montmorillonite termasuk mineral tanah liat dari t-o-t , lapisan silikat dari
kedua dioktahedral dan trioktahedral. Karakteristik yang dapat dimengerti dari
bilangan grup ini adalah kemampuannya untuk mengabsorpsi molekul air dimana
dapat meningkatkan kemampuannya pada strukturnya (Hurlbut, 1962).

2.2.1. Struktur Montmorillonite

Montmorillonite memiliki bentuk seperti lembaran, dimensinya antara


panjang dan lebar dapat dihitung hanya satu nanometer. Berikut ini adalah rumus
molekul dari montmorillonite : M+ y(Al2-yMgy)(Si4) O10(OH)2 * nH2O (Nanocor,
2006).
Struktur kristal lempung adalah dua dimensi lapisan yaitu atom silica
(lapisan silica) bentuk tetrahedral dan atom aluminiun (lapisan Al) dalam bentuk
oktahedra yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Tetrahedra silica terikat sebagai
SiO6(OH)4 sedangkan oktahedra Al berikatan secara Van der Waals (fisik)
membentuk lapisan alumino-silikat karena kondidi terjadi nya bentonit,
memungkinkan terjadinya substitusi Si oleh Al (bentuk tetrahedral), menyebabkan
mineral lempung kekurangan muatan – (negatif) yang dinetralisir oleh logam
alkali dan alkali tanah. Ion logam tersebut berada diantara lapisan, sehingga dapat
dipertukarkan dengan ion lain menyebabkan bentonit mempunyai sifat penukar
ion (Zhu, 1996).

2.2.2. Sifat –Sifat Montmorillonite

Montmorillonite memiliki kemampuan untuk mengembang serta


kemampuan untuk di interkalasi dengan senyawa organik membentuk material
komposit organik-anorganik. Selain itu mineral ini juga mempunyai kapasitas
penukar kation yang tinggi sehingga ruang antar lapis montmorillonite mampu
mengakomodasi kation dalam jumlah yang besar serta menjadi montmorillonite
sebagai material yang unik. (Riyanto, 1994)

2. 2. 3 Modifikasi Montmorillonite

Clay biasanya mengandung muatan negatif yang memungkinkan


terjadinya reaksi pertukaran kation. Muatan ini berasal dari satu atau lebih dari
beberapa reaksi yang berbeda. Sumber utama dari muatan negatif tersebut, yaitu
substitusi isomorfis dan disosiasi dari gugus hidroksil yang terbuka. Ion-ion yang
dapat dipertukarkan adalah ion-ion yang berada di sekitar mineral lempung silika
alumina. Reaksi pertukaran ion bersifat stoikiometris dan berbeda dengan
penyerapan atau sorpsi dan desorpsi. Pertukaran ion adalah suatu proses dimana
kation yang biasanya terdapat pada antarlapis kristal digantikan oleh kation dari
larutan. Dalam air, kation pada permukaan lapisan menjadi lebih mudah
digantikan oleh kation lain yang terdapat dalam larutan, yang dikenal
dengan‖exchangeable cation‖. Kemampuan tersebut dinyatakan dalam mili
equivalent per 100 gram clay kering yang disebut cation exchange capacity (CEC)
atau kapasitas tukar kation (KTK). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah
didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk menyerap dan mempertukarkan
kation. Harga KTK mineral clay bervariasi menurut tipe dan jumlah koloid dalam
clay tersebut. Diantara mineral-mineral yang lain, montmorilonit mempunyai
harga KTK yang paling tinggi. Faktor utama tingginya harga KTK pada
montmorilonit yaitu pemutusan ikatan dan substitusi dalam struktur kristal.
Pemutusan ikatan di sekitar sudut satuan silika-alumina dalam montmorilonit
akan menimbulkan ketidakseimbangan muatan permukaan. Substitusi Al3+ untuk
Si4+ dalam lembar tetrahedral dan substitusi ion-ion valensi lebih rendah, terutama
Mg2+ untuk Al3+ dalam lembar oktahedral menghasilkan muatan yang tidak
seimbang pada satuan struktur montmorilonit (Galimberti, 2011).

2.2.4 Interkalasi Montmorillonite


Salah satu kekurangan clay adalah sifatnya yang hidrofilik sehingga dapat
menyebabkan aglomerasi mineral clay dalam matriks polimer yang bersifat
hidrofobik. Kekurangan ini dapat diatasi dengan menginterkalasikan kation
organik seperti asam amino atau alkil amonium membentuk organoclay yang
bersifat hidrofobik. Peningkatkan basal spacing setelah proses interkalasi juga
dapat meningkatkan kemampuan difusi polimer atau prekursor polimer ke dalam
interlayer clay. Interkalasi didasari atas pertukaran kation yang terdapat pada antar
lapis lempung, seperti Na+, K+, dan Ca2+. Interkalasi ke dalam struktur lempung
mengakibatkan peningkatan luas permukaan, basal spacing (jarak dasar antar lapis
silikat montmorillonit), dan keasaman permukaan yang berpengaruh terhadap
daya adsorpsinya. Proses interkalasi ini dapat mengakibatkan pori-pori lempung
semakin besar dan homogen, antar lapisnyapun menjadi lebih stabil daripada
sebelum diinterkalasi. Skema terjadinya proses interkalasi ditunjukkan dalam
Gambar 2.3 (Gatos, et.al, 2010). Tujuan dari interkalasi adalah untuk:

1. Memperluas jarak interlayer


2. Mengurangi interaksi solid-solid antara lempung
3. Meningkatkan interaksi antara lempung dan matriks (Utracki,
2004).

Gambar 2.3 Skema dari: a) clay dan b) organo modified clay, dimana R
dapat digantikan dengan komponen kimia lain.

2.3. Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus
hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang
terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas
surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan
memiliki bagian kutub yang suka udara (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka minyak / lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan
positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat
diadsorbsi pada udara antar muka, minyak-udara dan zat padat-udara, membentuk
lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik tergantung pada fase udara dan rantai
hidrokarbon ke udara, di dalam kontak dengan zat padat atau terendam dalam fase
minyak. Sementara bagian nonpolar (lipofilik) merupakan rantai alkil yang
panjang, sementara bagian yang kutub (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil.

Gugus hidrofilik pada surfaktan aktif polar dan mudah bersenyawa


dengan udara, sedangkan gugus lipofilik non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Pada molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan disukai.
Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan
tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh udara dibandingkan dengan minyak.
Mengatasi tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah
menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula, bila gugus nonpolarnya lebih
dominan, maka molekul- molekul surfaktan ini akan diabsorpsi lebih kuat oleh
minyak dibandingkan dengan udara. Mengatasi tegangan permukaan minyak
menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.

Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya


tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan.

Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat golongan

yaitu:
1) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya diambil pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat,
garam sulfonat, asam lemak rantai panjang.
2) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada
suatu kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-
dimethil ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak
bermuatan. Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam
lemak, ester sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina,
alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil
amina oksida.
4) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung
asam amino, betain, fosfobetain (Myer, 2006).

Mekanisme adsorpsi surfaktan ke dalam molekul bentonit untuk membentuk


organobentonit tergantung kepada struktur kimia, jenis dan jumlah gugus fungsi
yang ada. Adsorbsi berbagai jenis surfaktan ke permukaan partikel bentonit dapat
terjadi dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Bentonit yang bermuatan negatif akan berikatan kuat dengan


molekul bermuatan positif. Dengan demikian surfaktan
kationik akan teradsorbsi dengan gaya elektrostatis.
b. Surfaktan nonionik teradsorbsi ke partikel-partikel bentonit
dengan adanya ikatan hidrogen dan gaya van der Waals.
c. Secara teori, surfaktan anionik dapat teradsorbsi pada bagian
ujung struktur bentonit yang bermuatan positif. Tingkat
adsorpsi pada bagian ini relatif lebih kecil jika dibandingkan
dengan adsorpsi oleh surfaktan kationik (Hower, 1970).
Beberapa penelitian menyimpulkan surfaktan anionik tidak
teradsopsi sama sekali ke permukaan bentonit (Law and Kunze,
1968; Schott, 1968) ataupun teradsorpsi dalam jumlah yang
sangat kecil (Wayman, 1963; Hower, 1970). Meskipun gugus
sulfonat bermuatan negatif, namun perbandingan gugus
sulfonat ini relatif sedikit jika dibandingkan dengan rantai
hidrokarbonnya.

Mao, et al (2010) menyimpulkan bahwa interkalasi surfaktan ke dalam lapisan


bentonit terjadi dengan dua gaya: a) gaya van der Waals diantara rantai
hidrokarbon dan b) gaya elektrostatis antara gugus hidrofilik surfaktan.
Penambahan muatan yang berlawanan meningkatkan gaya van der Waals antara
rantai hidrokarbon dan mengurangi gaya elektrostatis.

2.3.1 Cetiltrimetilamonium Bromida (CTAB)

CTAB merupakan surfaktan kationik dengan rumus molekul C19H42BrN,


dengan berat molekul 364,45 g/mol. Berbentuk serbuk putih, titik lebur 237-
243oC. Sebagai surfaktan, CTAB banyak digunakan sebagai buffer larutan untuk
mengekstraksi DNA dan sebagai pemodifikasi permukaan dalam pembuatan
komposit clay.

Gambar. 2.5. Rumus Molekul CTAB

Permukaan clay yang bermuatan negatif dapat dimodifikasi dengan surfaktan


melalui reaksi pertukaran ion. Modifikasi ini menyebabkan clay yang semula
hidrofilik menjadi organofilik. Banyak penelitian memodifikasi bentonit dengan
menggunakan alkil amoniun kuarterner sebagai surfaktan kation salah satunya
menggunakan CTAB. Reaksi pertukaran ion memudahkan surfktan kationik
terinterkalasi ke dalam lapisan clay, sehingga menambah jarak basal spacing
antarlapis clay (Boyd, 2001).

2.4 Magnetit
Magnetit (Fe3O4) merupakan salah satu bentuk oksida besi di alam selain
maghemit (ℽ-Fe2O3) dan hematit (α-Fe2O3). Magnetit dikenal sebagai oksida
besi hitam (black iron oxide), magnetic iron ore, ferrous ferrite, atau Hercules
stone. Magnetit merupakan oksida logam yang paling kuat sifat megnetisnya di
antara oksida-oksida lainnya (Teja dan Koh, 2009).

Magnetit merupakan oksida besi yang mudah disintesis dalam skala


laboratorium menggunakan reagen kimia (Fe3+) dan (Fe2+) pada umumnya (Alorro
et. al, 2010). Magnetit dalam ukuran partikel kecil maka sifat magnetisnya kecil
namun memiliki kemampuan adsorpsi yang besar (Navratil, 2004).

2.5 Adsorpsi

Adrsorpsi adalah fenomena fisik yang terjadi saat molekul-molekul gas


atau cair dikontakkan dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari
molekul-molekul tadi mengembun di permukaan padatan tersebut (Suryawan,
2004). Adsorpsi atau penjerapan adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu
fluida, cairan maupun gas terikat pada suatu padatan atau cairan (zat penjerap,
adsorben) dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis atau film (zat terjerap,
adsorbat) pada permukannya. Berbeda dengan absorpsi yang merupakan
penyerapan fluida oleh fluida lainnya dengan membentuk suatu larutan (Ginting,
2008).

2.6 Metilen Blue

Metilen Blue (Methylthionone Chloride) termasuk senyawa kimia


aromatic heterosiklik dengan rumus molekul (C6H18N3SCl, 3H2O) dan nama kimia
[3, 7-bis (Dimethylamino)-phenaza-thionium chloride Tetramethylthiunine
chloride] (Wiklund L, 2007; Faber P, 2005). Metilen Blue (MB) merupakan
pewarna kationik thiazine yang berwarna biru pada kondisi teroksidasi (Winklund
dkk, 2007).

Reaksi stoikiometri dapat dilihat pada Gambar 2.4 dengan persamaan


reaksinya sebagai berikut (Fajarwati dkk, 2016):
/MB+ + H2A LB+ + D

Gambar 2.4 Rumus Struktur Metilen Blue

2.7 Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis biasa digunakan untuk analisa kimia kuantitatif


maupun analisa kimia semi kualitatif. Metode ini secara umum berdasarkan
pembentukan warna antara analit dengan pereaksi yang digunakan. Analisa
dengan cara ini memiliki keuntungan sensitive atau kepekaan yang cukup tinggi,
batas deteksinya rendah dan relative mudah dilakukan. Kelemahannya adalah
perlu perlakuan awal untuk menghilangkan unsur-unsur pengganggu dan
menggunakan beberapa nahan kimia sebagai pereaksi (Huda, 2001; Purwanto,
2012).

Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm


(Ganjar dan Rohman, 2007), sementara sinar tampak mempunyai panjang
gelombang 400-750 nm (Pavia dkk, 2009).

2.8 FTIR

Forier Transform Infra Red (FTIR) adalah teknik yang digunakan untuk
mendapatkan spectrum inframerah dari absorbansi, emisi, fotokonduktivitas atau
Raman Scattering dari sampel padat, cair dan gas. Karakterisasi dengan
menggunakan FTIR bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis vibrasi antar atom.
FTIR juga digunakan untuk mengenalisa senyawa organic dan anorganik serta
analisa kualitatif san kuantitatif dengan melihat kekuatan absorbansi senyawa
pada panjang gelombang tertentu (Hindrayawati, 2010; Mujiyanti dkk, 2010).
Tujuan utama analisis FTIR adalah untuk menentukan gugus-gugus fungsi dari
suatu molekul (Mulja dan Suharman, 1995).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat
 Stirer
 Pengaduk
 Gelas beker
 Oven
 Labu ukur
 Gelas ukur
 Pipet
 Corong
 UV-Vis
 FTIR
 Shaker

3.1.2 Bahan
 Lempung
 CTAB
 FeSO4.7H2O
 FeCl3.5H2O
 NH4OH 10%
 Aquadest
 Kertas saring Wattman
 Methylene Blue

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Persiapan Montmorilonite
Lempung direndam dengan air semalaman, kemudian ambil filtratnya atau
lapisan Montmorilonite dan saring. Kemudian keringkan dengan cara diangin-
anginkan (tidak terkena matahari). Lalu masukkan ke oven dengan suhu 80°C
selama 3 jam. Tumbuk hingga halus dan ayak dengan ukuran 100 mesh.
3.2.2 Pembuatan Lempung CTAB
Lempung tersebut dimasukkan ke gelas beker dan tambahkan aquadest
100 mL. Lalu stirer 24 jam. Tambahkan CTAB dengan variasi 1;2;3 mmol secara
perlahan dan stirer kembali selama 24 jam. Dekantasi larutan dan masukkan ke
oven dengan suhu 80°C selama 2-3 jam, kemudian gerus hingga halus.

3.2.3 Pembuatan Lempung CTAB Magnetit


Masukkan 5 gram lempung dari masing-masing variasi ke dalam gelas
beker. Tambahkan aquadest sebanyak 500 mL dan stirer 24 jam. Kemudian larutan
tersebut dibagi menjadi dua. Tambahkan FeSO4.7H2O dan FeCl3.5H2O yang telah
dilarutkan dengan aquadest 25 mL dengan perbandingan 2:1 ke gelas beker yang
berbeda. Stirer kedua larutan tersebut selama 30 menit dan campurkan kembali
kedua larutan tersebut. Stirer kembali selama 2 jam dan tambahkan NH 4OH 10%
sebanyak 6 mL. Stirer kembali selama beberapa jam dan diamkan semalam.
Saring larutan dan cuci endapan yang didapatkan dengan aquadest panas.
Keringkan dengan oven pada suhu 80°C selama 3 jam.

3.2.4 Uji Adsorpsi Methylene blue


Pembuatan larutan Methylene blue dari larutan induk 1000 ppm, kemudian
diencerkan menjadi 100 ppm. Encerkan kembali ke 10;20;30;40 dan 50 ppm.
Masukkan masing-masing 0,05 gram dari variasi lempung CTAB magnetit ke
dalam larutan Methylene blue 10;20;30;40 dan 50 ppm, kemudian shaker selama 2
jam. Saring larutan tersebut dan ukur absorbansi larutan sebelum dan sesudah
kontak dengan lempung dengan UV-Vis. Larutan standar Methylene blue yang
digunakan yaitu 12;14;16;18 dan 20 ppm.

3.2.5 Karakterisasi
Pengukuran FTIR untuk lempung CTAB magnetit sebelum dan sesudah
kontak dengan larutan Methylene blue, lempung alam dan lempung CTAB yang
dibuat.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Sintesis Montmorilonite CTAB Magnetit

Lempung adalah material alam yang memiliki struktur berlapis dan


berpori, sehingga salah satu kegunaannya dapat sebagai adsorben. Namun
lempung memiliki kertebatasan karena luas permukaan dan stabilitas termalnya
rendah. Sehingga diperlukan modifikasi struktur lempung untuk meningkatkan
luas permukaan dan stabilitas termalnya dengan pilarisasi lempung. Pilarisasi
lempung adalah penambahan oksida logam ke dalam antarlapis lempung (Okoye
dkk, 2011). Menurut Dvininov dkk (2009), proses pembuatan lempung terpilar
dapat dilakukan dengan cara memasukkan surfaktan kationik terlebih dahulu
sebelum memasukkan polioksokation logam pemilar. Cara ini menyebabkan
perbesaran jarak antarlapis lempung terpilar lebih optimal. Surfaktan yang paling
optimal dalam sintesis lempung terpilar adalah CTAB (Wang dkk, 2011). Dimana
CTAB memiliki struktur yang besar dan dapat memperbesar basal spacing
lempung secara sementara sehingga polioksokation logam pemilar dapat
terinterkalasi secara optimal di dalam antarlapis lempung. Surfaktan di dalam
antarlapis lempung memiliki penyusunan yang berbeda-beda bergantung pada
konsentrasi surfaktan.

4.2. Sintesis Montmorillonite CTAB- Magnetit


Sintesis komposit lempung alam magnetit dilakukan dengan
menginteraksikan secara serempak lempung alam dengan larutan yang
mengandung Fe2+ dan Fe3+ pada rasio mol 1 : 2. Rasio mol 1 : 2 merupakan
stoikiometri yang dibutuhkan dalam pembentukan FeO.Fe2O3 pada ruang antar
lapis lempung alam. Ion-ion ini akan mengalami proses kopresipitasi dengan
penambahan basa NH4OH yang berfungsi untuk pembentukan Fe(OH)2 dan
Fe(OH)3.

Persamaan reaksi sebagai berikut (Lee et al.,2004)

Fe2+(aq) + 2Fe3+(aq) + 8OH-(aq) Fe(OH)2(s) + 2Fe(OH)3(s)

Selanjutnya dilakukan penyaringan endapan dan pencucian menggunakan akuades


untuk menghilangkan ion-ion sisa berupa kation dan anion terlarut. Tahap
berikutnya adalah pemanasan yang diperlukan dalam proses dehidrasi sehingga
terbentuk FeO.Fe2O3 atau yang lebih sering disebut dengan Fe3O4 sebagai
partikel magnetit (Lee et al., 2004).

Persamaan reaksi adalah sebagai berikut:


LK + Fe(OH)2(s) + 2Fe(OH)3(s) LK  FeO.Fe2O3(s) + 4H2O(l)

4.3 Uji Adsorpsi Hasil Sintesis Montmorillonite termodifikasi untuk Adsorpsi


Zat Warna Methylene Blue
4.3.1. Penentuan Konsentrasi dengan Kurva Kalibrasi Standard

Konsentrasi suatu analit ditentukan dengan penentuan kurva kalibrasi,


yaitu dengan membuat beberapa larutan standar yang telah diketahuai
konsentrasinya. Deret larutan standar 0,12,14,16,18,20 ppm dengan faktor
pengenceran 5 diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang maksimum
665 nm dapat dilihat pada tabel 4.1

Konsentrasi diencerkan (fp=5) ABSORBANSI


0 0
2.4 0.363
2.8 0.411
3.2 0.487
3.6 0.549
4 0.571
Tabel 4.1 Nilai absorbansi methylene blue kurva standar

Nilai absorbansi tersebut dibuat kurva seperti gambar 4.1, antara konsentrasi
sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y sehingga akan diperoleh
persamaan untuk menghitung konsentrasi dalam sampel.
Gambar 4.1 Kurva Hubungan Absorbansi terhadap Konsentrasi

Kurva Kalibrasi standar methylene blue yang menunjukkan hubungan


absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi. Artinya semakin besar
konsentrasi larutan standar semakin besar pula nilai absorbansinya. Persamaan
regresi linear yang diperoleh uaitu, y = 0,1472x + 0,0043 dengan koefisien
determinasi (R2) adalah 0,9958. Hal ini menandakan nilai koefisien determinasi
yang diperoleh baik karena mendekati nilai 1. Nilai koefisien determinasi
menunjukkan kelayakan penggunaan grafik dalam pengujian.

4.3.2. Pengaruh Variasi Konsentrasi Methylen Blue

Kemampuan adsorben hasil sintesis komposit montmorillonite magnetit


untuk mengadsorpsi zat warna methylen blue dengan adanya interaksi antara
adsroben yang memiliki gugus hidroksil dengan penyerapan unsur positif pada zat
warna methylen blue. Kapasitas adsorpsi untuk menentukan konsentrasi optimum
methylen blue yang dapat teradsorpsi oleh komposit montmorillonite hasil sintesis
ditentukan dengan melakukan variasi konsentrasi methylene blue dan mengukur
konsentrasi methylen blue yang tidak teradsorpsi kemudian mengurangkan
konsentrasi awal dengan konsentrasi tidak teradsorpsi akan didapatkan hasil
sebagai berikut :
Tabel 4.2 konsentrasi adsorpsi methylen blue

Gambar 4.2. konsentrasi teradsorpsi pada methylen blue

Adsorpsi terjadi optimum pada konsentrasi awal 10 ppm , konsentrasi


methylen blue yang teradsorpsi adalah mendekati 100 % pada Montmorillonite
dengan CTAB 1 mmol 2 mmol dan 3 mmol dan adsorpsi pada lempung biasa
konsentrasi optimum yang teradsorpsi pada konsentrasi optimum 30 ppm yaitu
sebanyak 77 %. Kemampuan adsorpsi terjadi optimum pada konsentrasi 10 ppm
disebabkan karena pada konsentrasi lebih dari itu pori-pori yang telah terisi
semakin bertambah dalam adsorben sehingga kemampuan adsorpsi menurun pada
konsentrasi yang lebih besar.

4.3.3. Karakterisasi IR

4.3.3.1 Karakterisasi FTIR Lempung

Dari grafik diatas menunjukkan punvak serapan didaerah sekitar 3300-


3600 cm-1 menunujukkan adanya vibrasi ulur –OH yang terikat pada atam Al-
oktahedral pada permukaan antar lapis. Puncak serapan pada panjang gelombang
752,72 cm-1 mengidentifikasi adanya keberadaan vibrasi Si-O. Puncak serapan
tajam pada daerah sekitar 1000 Cm-1 adalah karakteristik vibrasi ulur dari Si-O
pada lapisan silika tetrahedral. Serapan kuat pada daerah 950-1250 cm-1 adalah
vibrasi ulur dari M-O (dimana M=Si atau Al dan logam lainnya yang melibatkan
gerakan dari atom oksigen Si-O. (Eren et al,20019). Serapan daerah 400-500 Cm-
1 menunjukkan vibrasi tekuk Si-O.

4.3.3.2 Karakterisasi FTIR Lempung + CTAB


Spektra FTIR Lempung+CTAB menunjukkan adanya serapan pada daerah
2927.52 cm-1 menunjukkan keberadaan vibrasi ulur asimetris dan simetris dari C-
H surfaktan CTAB. Dibandingkan dengan hasil FTIR lempung biasa ridak
ditemukan serapan pada daerah 2937.52 cm-1 ini menunjukkan surfaktan CTAB
telah masuk kedalam lempung. Tidak adanya serapan pada daerah panjang
gelombang 1473,62 cm-1 juga menunjukkan bahwa tidak adanya vibrasi tekuk
gugus C-N ini menunjukkan bahwa antar lapis lempung telah diinterkalasi oleh
kation CTA+.

4.3.3.3 Karakterisasi Lempung + CTAB + Magnetit


Spektra FTIR Lempung + CTAB+ Magnetit menunjukkan adanya pergeseran
bilangan gelombang ke arah yang lebih kecil yang berarti pengaturan struktur
kerangka yang diakibatkan masuknya oksida besi kedalam struktur rangka
lempung setelah sintesis Pergeseran bilangan gelombang dari 3697,3 menjadi
3433,05 cm-1 menunjukkan penurunan intensitas vibrasi ulur Al-OH. Hal ini
mengidentifikasikan vibrasi Al-O dalam keadaan kurang bebas yang terjadi karena
terbentuknya ikatan baru antara oksigen dengan besi yang menyebabkan
kompetisi kekuatan ikatan antara Al-O-Fe diruang antar lapis lempung (Saikia et
al., 2003)
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa magnetit dapat


dikompositkan pada permukaan lempung hasil aktivasi. Uji adsopsi
lempung teraktivasi dan lempung alam magnetit terhadap zat warna
methylen blue mencapai kondisi optimum konsentrasi methylene blue
10 ppm.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Ginting, 2008. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung:


Humaniora.

Alexandre, M., Dubois, P. 2000. Polymer-layered silicate nanocomposites:


preparation, properties and uses of a new class of materials. Laboratory of
Polymeric and Composite Materials, University of Mons-hainaut,
Belgium.

Alorro, R. D., Naoki, H., Hiroyoshi., Hajime, K., Mayumi, I., and Masami, T.
2010. On The Use of Magnetite for Gold Recovery from Chloride Solution.
Geo-Enviromental Engineering. DOI: 10.1080/08827508.2010.483359.

Anonim.2006. ”Polymer Grade Montmorillonites”.Technical data. Arlington :


Nanocor.

Biswas, M., Sinha, Ray.S. 2001. Recent progress in synthesis and evaluation of
polymer–montmorillonite nanocomposites. Adv. Polym Sci . 1;155:167–221.

Boyd, S.A., G. Sheng., B.J. Teppen., C.T. Johnston.2001. Mechanisms for the
adsorption of substituted nitrobenzene by smectite clays. Environ. Sci.
Technol. 35: 4227–4234.

Das, A., Jurk, R., Jehnichen, D., Heinrich, G. 2011. A General Approach to
RubberMontmorillonite Nanocomposites: Intercalation of Stearic Acid.
Applied Clay Science. 51:117-125.

Fajarwati, F.I., Sugiharto, E., and Siswanta, D., 2016, Film of Chitosan-
Carboxymethyl Cellulosepolyelectrolyte Complex as Methylene Blue
Adsorbent, Eksakta: Jurnal Ilmu-ilmu MIPA, 16(1), 36-45.

Galimberti, M. 2011. Rubber-Clay Nanocomposites. Science, Technology, and


Applications. John Wiley & Sons, Inc.

Gatos, K.G., Karger-Kocsis , J. 2010. Rubber/Clay Nanocomposites: Preparation,


Properties and Applications. John Wiley & Sons
Hindrayawati, N dan Alimuddin. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Silika Gel dari
Abu Sekam Padi dengan Menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH).
Jurnal Kimia Mulawarman. Vol.7, No.2. Hlm. 75-77.

Hower, W.F. 2006. Adsorption of Surfactant on Montmorillonite. Clays and Clay


Minerals, Vol. 18: 97-105.

Huda, Nurul, 2001, Pemeriksaan kinerja spektrofotometer UV-Vis. GBC 911A


menggunakan pewarna tartazine CI 19140, Sigma Epsilon ISSN 08539013
No. 20-21.

H.Y.Zhu , E.F. Vansant and J.A. Xia and G.Q.Lu.1996. Porosity and Thermal
stability of Montmorillonite Pilarred with Mixed axides of lanthanum ,
Calcium and Aluminium. Beijing.

Law, J. P., Kunze, G. W. 1966. Reaction of Surfactants with Montmorillonite:


Adsorption Mechanisms. Soil Sci. Soc. Proc. 30: 321.

Mao, H., B. Li., X. Li., L. Yue., Z. Liu., W. Ma. 2010. Novel one-step synthesis
rout to ordered mesopous silica-pillared clay using cationic-anionic
mixedgallery templates. Ind. Eng. Chem. Res. 49:583–591.

Mujiyanti, R.D., Nuryono., dan Kunarti, E.S 2010. Sintesis dan Karakterisasi
Silika Gel dari Abu Sekam Padi yang dimobilisasi dengan 3-(Trimetoksil)-1-
Propanol. Sains dan Terapan Kimia. Vol. 4. No.2. Hal. 150-167.

Mulja, M., Suharman, 1995. Analisis Instrumen. Cetakan 1, 26-32, Airlangga


University Press, Surabaya.

Myers, Drew. 2006. Surfactant Science and Technology. A John Wiley & Son, Inc.
Publication.

Navratil, J.D. Adsorption and Nanoscale Magnetic Separation of Heavy Metals


from Water. http.epa.gov/ttbnrmrl/Arsenic Press/485.pdf. 29 September
2004.
Purwanto. 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Riyanto, A. 1994. Bahan Galian Industri .Jakarta : Direktorat jenderal


Pertambangan

Suryawan, B., 2004, Karakteristik Zeolit Indonesia sebagai Adsorben Uap Air,
Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Teja, Amyn S. and Koh, Pei Yoong. 2008. Synthesis, Properties and Applications
of Magnetic Iron Oxide Nanoparticles. Progrees in Crystal Growth and
Characterization of Materials, xx: 1-24.

Utracki, L.A. 2004. Clay-Containing Polymeric Nanocomposites. Volume 1 ,


Rapra Technology Limited: 73-140 , Ray,S., Okamoto,M. 2003.
Polymer/layered silicate nanocomposites: a review from preparation to
processing., Prog. Polym. Sci. (28) :1539–1641.

Winklund L, Basu S, Miclescu A, Wiklund P, Ronquist G, & Sharma HS. 2007.


Neuro-And Cardioprotective Effects of Blockade of Nitric Oxide Action
by Administration of Methylene Blue. Ann N Y Acad Sci. 1122:231-244.
Lampiran

Perhitungan

Lampiran 1. Pengenceran Metilen Blue

V1 x M1 = V2 x M2 V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 20 ppm = 50 mL x 12 ppm V1 x 20 ppm = 50 mL x 14 ppm

V1 = 30 mL V1 = 35 mL

V1 x M1 = V2 x M2 V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 20 ppm = 50 mL x 16 ppm V1 x 20 ppm = 50 mL x 18 ppm

V1 = 40 mL V1 = 45 mL

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 20 ppm = 50 mL x 20 ppm

V1 = 50 mL
Hasil Uv-Vis

Lampiran 1. Kadar Adsorpsi

Lampiran 2. Kurva Standar


Hasil FTIR

Lampiran 1. Gabungan Lempung + CTAB


Lampiran 2. Gabungan Lempung+CTAB+Magnetit

Lampiran 3. Gabungan setelah Adsorpsi

Anda mungkin juga menyukai