Lapkas RUMKIT

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus Rumah Sakit Putri Hijau Medan

DISPEPSIA

Oleh:

Zikri Putra Lan Lubis 130100052


Monica Nadya S 130100289
Raudah Putri Syari 130100126
Lailatul Fitri Beru Karo 130100099
Garry P.H Sianturi 130100432
Januaris Sihombing 110100234

Pembimbing:
dr. Dumawan Haris Parhusip, Sp. PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PUTRI HIJAU MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :


Nilai :

PIMPINAN SIDANG

dr. Dumawan Haris Parhusip, Sp. PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul
“Dispepsia”.
Penulisan laporan kasus ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada dr. Dumawan Haris Parhusip, Sp. PD
sebagai dosen pembimbing telah bersedia membimbing dan memberikan
masukan dan kritikan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang
membangun dari semua pihak di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus
ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi semuanya. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, November 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL............................................................................................................... v
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2. Definisi dan Epidemiologi ....................................................................................... 2
1.3. Etiologi dan Faktor Risiko ....................................................................................... 4
1.4. Patofisiologi ............................................................................................................. 4
1.5. Manifestasi Klinis .................................................................................................... 8
1.6. Diagnosis.................................................................................................................. 9
1.7. Diagnosa Banding .................................................................................................. 11
1.8. Tatalaksana dan Kriteria Merujuk.......................................................................... 13
1.9. Pencegahan dan Edukasi ........................................................................................ 15
1.10. Komplikasi dan Prognosis ................................................................................... 16
BAB 2 STATUS ORANG SAKIT ................................................................................... 13
BAB 3 FOLLOW UP........................................................................................................ 24
BAB 4 DISKUSI KASUS ................................................................................................ 30
BAB 5 KESIMPULAN..................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 35

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Diagnosis banding dispepsia fungsional dan prevalensinya

v
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang

Dispepsia menurut konsensus Rome II didefenisikan sebagai rasa nyeri atau


rasa tidak nyaman yang berpusat di daerah epigastrik. Rasa nyeri dapat berupa
sensasi terbakar di daerah epigastrium dan rasa tidak nyaman dapat berupa rasa
penuh pada lambung, rasa cepat kenyang, mual, muntah.1
Diperkirakan hampir 30% layanan yang dilakukan dokter umum adalah
kasus dispepsia dan 60% dari layanan gastroenterologist. Jumlah ini merupakan
jumlah yang besar dan dapat dikatakan dispepsia merupakan keluhan yang umum
pasien datang ke pusat layanan kesehatan. 15-30% orang dewasa pernah
mengalami keluhan dispepsia.1
Kepustakaan barat menyebutkan bahwa prevalensi dispepsia berkisar antara
7-41%. Namun hanya sekitar 10-20% yang akan mencari pertolongan medis
sedangkan sisanya mengobati diri sendiri dengan obat bebas yang beredar di
pasaran. Angka insiden dispepsia mencapai 10%, dimana kasus baru yang
terdaftar di pusat layanan kesehatan mencapai 5-7%.1 Hal tersebut diatas
menunjukkan bahwa selain prevalensi yang relatif tinggi, banyak kasus-kasus
dispepsia yang tidak tertangani dengan baik akibat kurangnya kesadaran
masyarakat untuk menginvestigasi keluhannya ke layanan kesehatan.1
Dari 550 pasien dispepsia yang dilakukan endoskopi dibeberapa rumah sakit
pusat di Indonesia antara Januari 2003-April 2004, didapatkan 44,7% kasus
gastritis dan duodenitis, 6,5% tukak lambung, 8,2% kasus normal. Hal ini
menunjukkan pentingnya investigasi lanjut keluhan dispepsia mengingat apakah
keluhan tersebut disebabkan oleh gangguan fungsional atau gangguan organik.2
Meskipun tidak ada kaitan mortalitas yang signifikan terhadap dispepsia
fungional, namun pasien tersebut memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah
dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan
sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.
2

Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang
refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami
depresi dan gangguan psikiatris.2,3 Seseorang dengan dispepsia organik seperti
ulkus peptikum dapat menyebabkan komplikasi berupa : perdarahan, perforasi,
penetrasi, dan obstruksi. Selain itu, dispepsia juga berdampak terhadap biaya yang
dikeluarkan seperti di Amerika Serikat berdasarkan ekstrapolasi data pasien-
pasien dispepsia tahun 2009, diperkirakan sebanyak $18,4 miliar dihabiskan untuk
menanggulangi hal tersebut.2,3

1.2. Definisi dan Epidemiologi


Istilah dyspepsia berasal dari bahasa Yunani ( dys berarti buruk dan pepsis
berarti pencernaan). Merujuk pada consensus Rome II tahun 2000, disepakati
bahwa dyspepsia adalah rasa nyeri dan rasa tidak nyaman yang berpusat di daerah
perut bagian atas.1

Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai hal meliputi penyakit atau kelainan
yang terdapat pada lambung, di luar lambung, maupun manifestasi klinik dari
penyakit sistemik. Berdasarkan penyebabnya, dyspepsia dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu dyspepsia organic (didapatkan kelainan organic seperti tukak
peptik, gastritis, batu empedu, dll sebagai penyebab keluhan) dan dyspepsia
fungsional (sarana penunjang diagnostik yang baku seperti radiologi, endoskopi,
laboratorium tidak menunjukkan adanya gangguan patologik sebagai penyebab
keluhan).1

Dalam konsensus Rome III (tahun 2006), dyspepsia fungsional didefenisikan


sebagai berikut:1

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
nyeri pada ulu hati, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk di dalamnya pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas) sebagai penyebab keluhan.
3. Keluhan terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan sebelum diagnosis
ditegakkan.
3

Ditentukannya batasan waktu disepakati dengan tujuan meminimalisasikan


kemungkinan adanya penyebab organik.1

Dalam konsensus tersebut, dyspepsia fungsional dibedakan atas:1

1). Post-prandial Distress Syndrome, dimana pasien merasa penuh setelah makan
dalam porsi biasa, atau rasa cepat kenyang sehingga pasien tidak dapat
menghabiskan makanan porsi regularnya;

2). Epigastric Pain Syndrome, dimana pasien mengeluh nyeri atau rasa terbakar di
daerah di epigastrium yang bersifat hilang timbul dan tidak ada penjalaran
kebagian dada.

Dalam upaya praktis pengobatan, dyspepsia fungsional dibedakan menjadi 3 tipe:

1). Ulcer like (nyeri epigastrik sebagai keluhan dominan);

2). Dysmotility like (keluhan kembung, mual, muntah, cepat kenyang sebagai
keluhan dominan);

3). Dispepsia tipe non-spesifik (tidak jelas keluhan dominan).

Prevalensi dispepsia di unit pelayanan kesehatan mencapai 30% dari


semua pelayanan yang dilakukan dokter umum dan 50% dari pelayanan
gastroenterologist. Sebagian besar pasien Asia dengan dispepsia yang belum
diinvestigasi dan tidak ditemukannya alarm sign menderita dyspepsia fungsional.
Penelitian di negara-negara Asia (China, Indonesia, Korea, Singapura, Thailand,
Malaysia) menunjukkan bahwa 43-79,5 % pasien-pasien dyspepsia terinvestigasi
sebagai dispepsia fungsional.2

Dari 550 pasien dispepsia yang dilakukan endoskopi dibeberapa rumah


sakit pusat di Indonesia antara Januari 2003-April 2004, didapatkan 44,7% kasus
gastritis dan duodenitis, 6,5% tukak lambung, 8,2% kasus normal.3

Di Indonesia, prevalensi infeksi H. pillory pada pasien-pasien tukak


lambung yang negative riwayat pengguaan NSAID bervariasi antara 90-100% dan
4

prevalensi dyspepsia fungsional mencapai 20-40%.4 Prevalensi infeksi H. pillory


pada pasien-pasien dispepsia yang dilakukan pemeriksaan endoskopi di beberapa
rumah sakit pendidikan di Indonesia antara 2003-2004 adalah 10,2%. Prevalensi
yang relative tinggi ditemukan di Makassar (55% pada tahun 2011), Solo (51,8%
pada tahun 2008), Yogyakarta (30,6% pada tahun 2013). Prevalensi yang relatif
rendah ditemukan di Jakarta (8%).4

1.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Berikut berbagai penyebab dispepsia:1


1. Gangguan patologik pada esofagogastroduodenal: tukak peptik, gastritis,
tumor, dan sebagainya.
2. Obat-obatan: NSAID, Teofilin, Digitalis, Antibiotik, dan sebagainya.
3. Gangguan patologik pada hepatobilier: hepatitis, kolesistitis, tumor,
disfungsi sphincter Odii dan sebagainya.
4. Gangguan patologik pada pancreas: pankreatitis, keganasan.
5. Penyakit sistemik: diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal jantung,
penyakit jantung coroner, dan sebagainya.
6. Gangguan fungsional: dyspepsia fungsional, irritable bowel syndrome.

Beberapa studi mencoba melihat kaitan faktor-faktor seperti stres, diet,


konsumsi alkohol, obat-obatan sebagai factor predisposisi keluhan dispepsia.
Dalam 100 penelitian yang berbasis populasi yang terdiri dari 312.000 subjek,
prevalensi dispepsia yang belum diinvestigasi adalah 21%. Resiko dyspepsia
meningkat pada wanita ,dan subjek-subjek yang terinfeksi H. pillory, perokok,
pengguna NSAID.5

1.4. Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan
pathogenesis terjadinya dispepsia fungsional ini. Proses patofisiologik yang paling
banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dyspepsia fungsional
adalah; Hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan motorik ,
5

hipotesis hipersensitifitas viseral, serta hipotesis tentang adanya gangguan


psikologik atau psikiatrik.6

Sekresi Asam Lambung


Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang
rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak diperut.6

Helicobacter pylori (Hp)

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum


sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka
kekerapan Hp pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan
untuk melakukan eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang
gagal dengan pengobatan konservatif baku.6

Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50%
kasus), gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan
hipersensitifitas viseral. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada
setengah sampai dua per tiga kasus dispepsia fungsional. Perbedaan patofisiologi
ini diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola
pikir pengobatan yang akan diambil.6
Pada 23% kasus dispepsia fungsional mengalami perlambatan
pengosongan lambung dan berkorelasi dengan adanya keluhan mual, muntah dan
rasa penuh di ulu hati. Pada 35% kasus terdapat hipersensitifitas terhadap distensi
lambung dan memanifestasikan keluhan nyeri, sendawa dan adanya penurunan
berat badan. Sedangkan pada 40% kasus dispepsia fungsional ditemukan ganguan
akomodasi lambung waktu makan dimana berhubungan dengan adanya rasa cepat
kenyang dan penurunan berat badan. Konsep ini yang mendasari adanya
6

pembagian subgroup dispepsia fungsional menjadi tipe seperti dismotilitas tipe


seperti ulkus dan tipe campuran.6

Beberapa penelitian juga memperlihatkan adanya disfungsi motorik usus


halus pada kasus dispepsia fungsional dalam bentuk penurunan frekuensi aktivitas
Motor Migrating Complex sewaktu puasa yang juga berkaitan dengan gangguan
motorik di antrum.6

Terdeteksi ada tidaknya perlambatan pengosongan lambung akan


mempengaruhi prognostik, mengingat akan adanya peran obat prokinetik.6

Ambang Rangsang Persepsi


Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk resptor kimiawi,
reseptor mekanik dan nociceptor. Terdapat peningkatan sensitifitas viseral atau
hiperalgesia dimana terjadi asupan sensorik yang meninggi dari dan ke lambung.
Situasi hipersensitif terhadap rangsangan ini dapat timbul sebagai respon terhadap
proses mekanik (distensi), kimiawi atau makanan/nutrient, asam lambung, atau
hormon. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas
viseral terhadap distensi balon dig aster atau duodenum. Bagaimana
mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon
intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah
timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume
yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada
populasi kontrol.6

Disfungsi Autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga
diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambug waktu
menerima makan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan raca
cepat kenyang.6
7

Gangguan Relaksasi Fundus


Akomodasi lambung pada saat makan masuk adalah adanya relaksasi
fundus dan korpus gaster. Dilaporkan bahwa 40% kasus dispepsia fungsional
mengalami penurunan kapasitas relaksasi fundus dan manifest dalam keluhan
cepat kenyang.

Aktivitas Mioelektrik Lambung


Adanya disritmia mioelektrik lambung (takigastria, bradigastria) pada
pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada 40% kasus. Tapi pada
umumnya hasil ini bersifat inkonsisten dan sulit dikaitkan dengan proses
pengobatan.6

Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam pathogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron,
estradiol dan prolatin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat
waktu transit gastrointestinal. Selain itu juga diduga gangguan kadar
kolesistokinin dan sekretin juga diduga berpengaruh pada terjadinya dispepsia
fungsional.6

Faktor dietetik
Faktor diet dapat sebagai faktor pencetus keluhan dispepsia. Kasus
dispepsia fungsional biasanya ada perubahan pola makan, sekperti makan hanya
mampu porsi kecil dan tidak toleran terhadap porsi besar. Adanya intoleransi
makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional
dibandingkan kasus kontrol terutama makanan yang berlemak.6

Psikologis
Faktor kognitif dan adanya faktro psikosomatik harus dinilai pada kasus
dispepsia fungsional. Diduga bahwa dispepsia fungsional berkorelasi dengan
adanya depresi, peningkatan kecemasan dan gangguan somatisasi. Adanya stress
akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada
8

orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang


mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral. Tapi korelasi antara
faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih
kontroversial. Tidak didapatkan personality yang karakteristik untuk kelompok
dispepsia fun gsional ini dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan
dalam studi terbatas adanya kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional
terdapat masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya
gangguan psikiatrik.6

1.5. Manifestasi Klinis

Dalam konsensus Rome III ( tahun 2006 ) yang khusus membicarakan


tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai berikut.7

1. Adanya satu atau lebih dari keluhan rasa penuh (kekenyangan) setelah
makan (bothersome postprandial fullness), perasaan cepat kenyang, nyeri
ulu hati, rasa terbakar di ulu hati,
2. Tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat menjelaskan keluhan saat
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA).
3. Keluhan berlangsung ≥ 3 bulan terus menerus, atau dimulai sejak 6 bulan
sebelum diagnosis ditegakkan.

Dispepsia fungsional dibagi kedalam dua kategori diagnostik, yaitu:7

1. Postprandial distress syndrome (PDS)

Dimana pasien merasa penuh setelah makan dalam porsi yang biasa atau
rasa cepat kenyang sehingga tidak dapat menghabiskan porsi makan regular.

2. Epigastric Pain Syndrome (EPS)

Dimana pasien mengeluh nyeri dan rasa terbakar, hilang timbul, berpusat
di epigastrium. Rasa nyeri ini tidak pada bagian perut lainnya atau daerah dada.
9

Alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia,


melena, muntah yang prominem, maka merupakan petunjuk awal akan
kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan
penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi.6

1.6. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Dispepsia
organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis,
duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu pada kriteria
Roma III.8 Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan
diagnosis banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan
organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting
diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga
idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang
bersifat organik.9 Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit
membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang
timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55
tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.
Tanda bahaya pada dispepsia yaitu: 8,9
 Penurunan berat badan (unintended)
 Disfagia progresif
 Muntah rekuren atau persisten
 Perdarahan saluran cerna
 Anemia
 Demam
 Massa daerah abdomen bagian atas
 Riwayat keluarga kanker lambung
 Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun

Dispepsia menurut kriteria Roma III10


10

Dispepsia Fungsional:
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan
timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna
bagian atas (SCBA))

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan


terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome


Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan
porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tiak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan


terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang:
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium

b. Epigastric pain syndrome


Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
11

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan


tingkat keparahan moderat/ sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selaun daerah
perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung
empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang:
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke
daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun
mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distress setelah makan

Tes diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui


endoskopi (rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung
tanpa endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath
test saat ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu tes
yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer. Syarat untuk melakukan pemeriksaan
Hp, yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (Proton-pump inhibitor) selama 2
minggu.8

1.7. Diagnosa Banding

Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain dispepsia


berhasil dieksklusi. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada upaya
mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifik organik yang
12

mungkin, bukan menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala


dispepsia yang dikeluhkan pasien.9

Tabel 1.1 Diagnosis Banding Dispepsia Fungsional dan Prevalensinya9


Diagnosis banding Prevalensi*
Mencapai
Dispepsia fungsional (non-ulkus)
70%
Ulkus peptikum 15-25%
Esofagitis refluks 5-15%
Kanker esophageal atau kanker lambung <2%
Kanker organ-organ perut, terutama kanker pancreas Jarang
Penyakit traktus biliaris Jarang
Malabsorpsi kabohidrat (laktosa, sorbitol, fruktosa,
Jarang
manitol)
Gastroparesis Jarang
Hepatoma Jarang
Penyakit-penyakit infiltratif pada saluran cerna (Chron’s
Jarang
disease/ sarkoidosis)
Parasit usus (Giardia spp, Strongyloides spp) Jarang
Penyakit iskemik usus Jarang
Dispepsia imbsa obat (Contoh: OAINS, eritromisin,
Jarang
steroid)
Gangguan metabolik (hiperkalsemia, hiperkalemia) Jarang
Pankreatitis Jarang
Gangguan sistemik (diabetes mellitus, gangguan tiroid dan
Jarang
paratiroid, gangguan jaringan ikat)

*Prevalensi berdasarkan penelitian berdasar temuan endoskopis pada pasien


dengan keluhan dispepsia.
13

1.8. Tatalaksana dan Kriteria Merujuk

Tatalaksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk indentifikasi


patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah
dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi)
dan dilanjutkan sesuai dengan hasil investigasi. 8

Dispepsia belum diinvestigasi


Strategi tata laksana pada fase ini adalah memberikan terapi empiric selama 1-4
minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp. Obat yang
dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya
omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist
(HR2A)), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide). 8

Dispepsia yang telah diinvestigasi


Pasien-pasien dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empiric, melainkan
harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa
pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional. 8
- Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil
endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.
Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara
lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus
duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkuts peptikum, obat yang
diberikan antara lain kombinasi PPI, missal rabeprazole 2x20
mg/lansoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide
3x100mg. 8
- Dispepsia fungsional
Apabila setelah dilakukan investigasi tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang
ada. 8
14

Penggunaan prokinetik, seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,


itoprid dan sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien
dispepsia fungsional. Hal ini berkaitan dengan perlambatan pengosongan lambung
sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus
diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi
kardiovaskular.8

Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien


dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-
baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia
fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi lain
venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinefrin tidak menunjukkan
hasil yang lebih baik dibanding plasebo. 8

Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sesitivitas reseptor serotonin


sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi
antidepresan pada pasien dispepsia fungsional. 8

Dispepsia dengan infeksi Hp


Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap
gejala dispepsia, dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81%
penemuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT. Terapi eradikasi Hp dapat
dilakukan dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin)
selama 7 hari. Setelah pemberian terapi eradikasi, pemeriksaan konfirmasi harus
dilakukan dengan menggunakan UBT atau H. pilori stool antigen monoclonal
test. Pemeriksaan dapat dilakukan paling tidak 4 minggu setelah akhir terapi. 8

Kriteria Merujuk

Pasien dispepsia harus dirujuk ke dokter spesialis terkait jika ditemukan tanda dan
gejala di bawah ini 9 :
15

1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti
berikut: perdarahan saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan,
anemia yang tidak bisa dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan, dan
penurunan berat badan, atau ada indikasi endoskopi. Segera rujuk pasien
ke spesialis gastroenterologi atau rumah sakit dengan fasilitas endoskopi.

Indikasi endoskopi antara lain 11:

- Penurunan berat badan yang progresif


- Perdarahan saluran cerna kronis
- Massa epigastrik
- Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan
- Disfagia progresif
- Muntah persisten
- Pemeriksaan barium meal
- Pasien usia 55 tahun atau lebih dengan dispepsia yang sulit dijelaskan dan
persisten
- Pasien dengan usia berapapun dengan dispepsia yang semakin memburuk,
ulkus gastrik sebelumnya atau operasi gastrik sebelumnya, anemia
pernisiosa atau riwayat keluarga dengan kanker lambung
2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk
ke spesialis jantung.

1. 9. Pencegahan dan Edukasi

Pencegahan dan edukasi pada pasien dengan dispepsia antara lain12:


- Istirahat
- Makan makanan lunak, seperti bubur saring dan makanan yang
mengandung susu tidak lebih baik daripada makanan biasa karena dapat
merangsang asam lambung
- Mengurangi makanan yang mengandung cabai, makanan merangsang
yang mengandung asam, kopi, bir, coca-cola.
- Mengurangi merokok karena dapat memperlambat penyembuhan tukak
16

- Menghindari konsumsi OAINS.

1.10. Komplikasi dan Prognosis

Pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah


dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan
sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.
Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang
refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami
depresi dan gangguan psikiatris.8

Seseorang dengan dispepsia organik seperti ulkus peptikum dapat


menyebabkan komplikasi berupa : perdarahan, perforasi, penetrasi, dan
obstruksi.13
BAB 2
STATUS ORANG SAKIT

Nomor Rekam Medis : 04. 33. 32


Tanggal Dokter Ruangan :
07 November 2017
Masuk :
Dokter Chief of Ward :
Jam : 10.45

Dokter Penanggung Jawab Pasien :


Ruang : R1. 5.1
dr. Dumawan Harris Parhusip, SpPD

ANAMNESA PRIBADI
Nama : Agustina Hutabarat
Umur : 77 tahun
JenisKelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
Suku : Batak
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jalan Nuri VI No. 362 Percut Sei Tuan

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Nyeri Ulu Hati
Telaah : Hal ini dialami oleh pasien ± 1 tahun ini dan semakin
memberat dalam 2 minggu ini. Nyeri ulu hati dirasakan
bersifat menusuk dan hilang timbul. Nyeri ulu hati
menjalar ke dada dan punggung tidak dijumpai. Pasien
juga mengeluhkan perut sering terasa kembung. Pasien
juga mengakui adanya rasa tidak nyaman setelah selesai
makan. Rasa panas yang menjalar ke dada dan

13
14

tenggorokan tidak dijumpai. Demam tidak dijumpai. Sesak


nafas tidak dijumpai. Batuk dijumpai sejak 2 minggu ini.
Batuk berdahak dijumpai dan berwarna kehijauan. Batuk
tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Pasien juga
mengeluhkan sakit kepala yang hilang timbul. Penurunan
nafsu makan tidak dijumpai. Penurunan berat badan tidak
dijumpai. Pasien juga mengaku mengonsumsi kopi selama
kurang lebih 4 tahun dengan frekuensi 2 kali seminggu
dan volume kurang lebih 1 gelas kecil. Mual dijumpai.
Muntah tidak dijumpai. Riwayat muntah berwarna hitam
tidak dijumpai. Pasien juga mengaku memiliki riwayat
keluarga yang memiliki keluhan lambung. Riwayat BAB
berwarna hitam tidak dijumpai. BAB dan BAK dalam
batas normal. Riwayat darah tinggi tidak dijumpai.
Riwayat sakit jantung tidak dijumpai. Riwayat sakit gula
dijumpai kurang lebih 5 tahun lalu dengan pengobatan
terkontrol.
RPT : Diabetes Melitus
RPO : Tidak jelas

ANAMNESIS ORGAN
Jantung
Sesak Nafas :(-) Edema :(-)
Angina Pectoris :(-) Palpitasi :(-)
Lain-lain :(-)
SaluranPernapasan
Batuk-batuk :(-) Asma, bronchitis :(-)
Dahak :(-) Lain-lain :(-)
Saluran Pencernaan
Nafsu Makan : Biasa Penurunan BB : (-)
Keluhan Menelan :(-) KeluhanDefekasi :(-)
15

Keluhan Perut :(+) Lain-lain :(-)


Saluran Urogenital
Nyeri BAK :(-) BAK Tersendat :(-)
Batu :(-) Keadaan Urin : Kuning
Haid :(-) Lain-lain :(-)
Sendi danTulang
Sakit Pinggang :(-) Keterbatasan Gerak :(-)
Keluhan Persendian :(-) Lain- lain :(-)
Endokrin
Haus/Polidipsi :(-) Gugup :(+)
Poliuri :(-) Perubahan suara :(-)
Polifagi :(-) Lain-lain :(-)
Saraf Pusat
Sakit Kepala :(-) Hoyong :(-)
Lain- lain :(-)
Darah dan Pembuluh Darah
Pucat :(-) Perdarahan :(-)
Petechie :(-) Purpura :(-)
Lain-lain :(-)
Sirkulasi Perifer
Claudicatio Intermitten :(-) Lain-lain :(-)

ANAMNESA FAMILI : Riwayat keluarga menderita penyakit lambung


dijumpai
16

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


STATUS PRESENS
Keadaan Umum : Sedang Keadaan Penyakit : Sedang
Sensorium : Compos Mentis Pancaran wajah : Biasa
Tekanan darah : 120/70 mmHg Sikap paksa :(-)
Nadi : 87 x/menit Refleks fisiologis : ( + )
Pernafasan : 23 x/menit Refleks patologis : ( - )
Temperatur : 36, 4 ⁰C
Anemia (-/-), Ikterus (-/-), Dispnoe (-)
Sianosis (-/-), Edema (-/-), Purpura (-/-)
Turgor Kulit : Baik
Keadaan Gizi : Normal
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 160 cm
IMT : 24.2 kg/m2 (normoweight)

KEPALA
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterus(-/-)
Telinga : Liang telinga tidak menyempit, sekret (-)
Hidung : Deviasi septum (-), Pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Bibir : Sianosis (-)
Lidah : Tidak ada kelainan
Gigi geligi : Tidak ada kelainan
Tonsil/Faring : Pembesaran tonsil (-), hiperemis (-)

LEHER
Leher : Simetris
Trakea : Medial, pembesaran KGB (-), Struma (-), TVJ : R-2 cm H2O, Kaku
kuduk ( - ), lain-lain (-)
17

THORAKS DEPAN
Inspeksi
Bentuk : Simetris fusiformis
Pergerakan : Tidak ada ketinggalan bernafas di kedua lapangan paru
Fremitus suara : Stem fremitus kanan = kiri
Iktus : Tidak teraba

Perkusi
Paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru kiri=kanan
Batas Paru Hati R/A : Relatif ICS V, Absolut ICS VI
Peranjakan : ± 1 cm
Jantung
Batas atas jantung : ICS III LMCS
Batas kiri jantung : ICS IV 1 cm medial LMCS
Batas kanan jantung : ICS IV Linea Parasternal Dextra
Auskultasi
Paru
Suara Pernafasan : Vesikuler
Suara Tambahan : Tidak ada suara tambahan
Jantung
M1>M2,P2>P1,T1>T2,A2>A1, desah sistolis (-), lain-lain (-)
Heart rate : 87 x/menit, reguler, intensitas: cukup

THORAX BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor pada seluruh kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara Pernafasan = vesikuler
Suara Tambahan = tidak ada suara tambahan
18

ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Gerakan lambung/usus : tidak dijumpai
Vena kolateral : tidak dijumpai
Caput medusa : tidak dijumpai
Lain-lain : tidak dijumpai

Palpasi
Dinding abdomen : Soepel, H/L/R tidak teraba
Undulasi (-), Nyeri tekan (-)
HATI
Permukaan : Tidak teraba
Konsistensi : Tidak teraba
Pinggir : Tidak teraba
Ukuran : Tidak teraba
Nyeri Tekan : ( -)
LIMFA
Pembesaran : Tidak dijumpai
GINJAL
Ballotement : Tidak dijumpai
PERKUSI
Pekak Hati : Tidak dijumpai
Pekak Beralih :(-)
Undulasi :(-)
AUSKULTASI
Peristaltik usus : Normoperistaltik
Lain-lain : (-)

PINGGANG
Nyeri ketuk Sudut KostoVertebra ( -/- )
19

INGUINAL : Tidak ada teraba


GENITALIA LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)


Perineum :Tidak dilakukan pemeriksaan
Spincter Ani :Tidak dilakukan pemeriksaan
Ampula :Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa :Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarungtangan :Tidak dilakukan pemeriksaan

ANGGOTA GERAK ATAS


Deformitas sendi :(-)
Lokasi :(-)
Jaritabuh :(-)
Tremor ujungjari :(-)
Telapak tangan sembab : ( - )
Sianosis :(-)
Eritema Palmaris :(-)
Lain-lain :(-)

ANGGOTA GERAK BAWAH Kiri Kanan


Edema - -
Arteri femoralis + +
Arteri tibialis posterior + +
Arteri dorsalis pedis + +
Refleks KPR + +
Refleks APR + +
Refleksfisiologis + +
Reflekspatologis - -
20

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Tanggal : 7 November 2017


Darah Kemih Tinja
Hb : 7.7 g / dL Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Hematokrit 24.9 % pemeriksaan pemeriksaan
Leukosit 4.800/mm3
Trombosit 408.000/mm3
Bilirubin Total 0.25 mg / dL
Bilirubin Direk 0.10 mg / dL
SGOT 29 U / L
SGPT 24 U / L
Ureum 27 mg / dL
Kreatinin 0.9 mg / dL
Asam Urat 7.3 mg / dL
Glukosa Sewaktu : 172 mg/ dL
Glukosa Puasa : 137 mg/ dL
21

RESUME
ANAMNESA Keluhan utama : Epigastric pain
Telaah : Epigastrik pain (+) dirasakan memberat
dalam 2 minggu ini. Nausea (+), bloating (+),
konsumsi kopi (+), riwayat penyakit gaster pada
keluarga (+). Riwayat DM (+)
RPT : DM
RPO : Tidak Jelas
STATUS PRESENS Keadaan Umum : Sedang
Keadaan Penyakit : Sedang
Keadaan Gizi : Normal
PEMERIKSAAN FISIK VITAL SIGN
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 87x/ mnt
Pernafasan : 24x/ mnt
Temperatur : 36,3 °C

STATUS LOKALISATA
Kepala : Kesan normal
T/H/M : Kesan Normal
Leher : Kesan normal
Thorax: Kesan normal
Abdomen: Nyeri tekan (+) di daerah
epigastrium
Ekstremitas atas : Kesan normal
Ekstremitas bawah : Kesan normal
LABORATORIUM RUTIN Asam Urat 7.3 mg / dL
Kemih : Tidak dilakukan pemeriksaan
Feses : Tidak dilakukan pemeriksan
22

DIAGNOSIS BANDING - Dyspepsia Fungsional + DM Tipe II +


Hiperuricemia
- Ulkus Peptikum + DM Tipe II + Hiperuricemia
- Gastritis + DM Tipe II + Hiperuricemia
- GERD + DM Tipe II + Hiperuricemia
- Pankreatitis + DM Tipe II + Hiperuricemia
DIAGOSIS SEMENTARA Dyspepsia dd : Fungsional + DM Tipe II
Organik
PENATALAKSANAAN Non Farmakologis :
- Tirah baring
Farmakologis :
- IVFD NaCl 0.9 % 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 1 Amp / 12 jam
- Inj. Ondansteron 1 Amp / 8 jam
- Allupurinol Tab 2 x 100 mg
- Ambroxol syr 3 x CI
DIET Diet M II

RENCANA PENJAJAKAN DIAGNOSTIK / TINDAKAN LANJUTAN


1.Darah Rutin, Urin Rutin, Feses Rutin
2. KGD Puasa, KGD 2 jam PP
3. HbA1c
4.Foto Thorax PA Erect
5.Gastroskopi
6.Urea Breath Test
BAB 3
FOLLOW UP
Tanggal 6-7 November 2017 Keterangan
Nyeri ulu hati (+), Kembung (+), Mual (+), Hasil Lab (7-11-2017)
S
Muntah (-), Demam (-), Batuk (+) Hb : 7.7 g / dL
Sens: Compos mentis, TD 120-130/80-90 Hematokrit 24.9 %
mmHg, HR: 88-100x/i, reg, RR: 20-24x/i, reg, Leukosit 4.800/mm3
Temp. 36.3-36.90C Trombosit 408.000/mm3
Bilirubin Total 0.25 mg /
Kepala dL
Mata: RC (+/+), pupil isokor, konjungtiva Bilirubin Direk 0.10 mg /
palpebra anemis (-/-), konjungtiva ikterik (-) dL
T/H/M: normal/ normal/ mukosa bibir kering (-) SGOT 29 U / L
SGPT 24 U / L
Leher Ureum 27 mg / dL
Pembesaran KGB (-), TVJ : R-2cm H2O Kreatinin 0.9 mg / dL
Asam Urat 7.3 mg / dL
Thoraks Glukosa Sewaktu : 172
Inspeksi : Simetris fusiformis, Retraksi(-) mg/ dL
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri Glukosa Puasa : 137 mg/
Perkusi : Sonor dL
Auskultasi : SP : vesikuler, ST : tidak dijumpai

Abdomen
Simetris, soepel, nyeri (+) di daerah
epigastrium, kembung (+), peristaltik (+) kesan
normal, H/L/R : tidak teraba pembesaran

Inguinal
Pembesaran KGB (-)

24
25

Ekstremitas
Puls: 88-100x/i, reg, tekanan/volume cukup,
Akral Hangat; CRT <3”, Edema (-)
Dyspepsia dd : Fungsional, organik+ DM Tipe
A
II + Hiperuricemia
Non Farmakologis :
- Tirah baring
- Diet M II
Farmakologis :
- IVFD NaCl 0.9 % 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 1 Amp / 12 jam
P - Inj. Ondansteron 1 Amp / 8 jam
- Allupurinol Tab 2 x 100 mg
- Metformin Tab 3 x 500mg
- Ambroxol syr 3 x CI

Rencana
- Gastrokopi
26

Tanggal 8 November 2017 Keterangan


Nyeri ulu hati (+), Kembung (+), Mual (-), Hasil Gastrokopi
S
Muntah (-), Demam (-), Batuk (+) 8 November 2017
Sens: Compos mentis, TD 130/80 mmHg,
HR: 86x/i, reg, RR: 22x/i, reg, Gastritis Antrum
Temp. 36,5°C Ulkus Antrum

Kepala
Mata: RC (+/+), pupil isokor, konjungtiva
palpebra anemis (-/-), konjungtiva ikterik (-)
T/H/M: normal/ normal/ mukosa bibir kering (-)

Leher
Pembesaran KGB (-), TVJ : R-2cm H2O

Thoraks
Inspeksi : Simetris fusiformis, Retraksi(-)
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SP : vesikuler, ST : tidak dijumpai

Abdomen
Simetris, soepel, nyeri (+) di daerah
epigastrium, kembung (+), peristaltik (+) kesan
normal, H/L/R : tidak teraba pembesaran

Inguinal
Pembesaran KGB (-)
27

Ekstremitas
Puls: 86x/i, reg, tekanan/volume cukup, Akral
Hangat; CRT <3”, Edema (-)
Gastritis antrum + ulkum peptikum + DM Tipe
A
II + Hiperuricemia
Non Farmakologis :
- Tirah baring
- Diet M II
Farmakologis :
- IVFD NaCl 0.9 % 20 gtt/i
P - Inj. Ranitidine 1 Amp / 12 jam
- Inj. Ozid 1 Amp/12 jam dalam NaCl
0,9% 100 cc
- Allupurinol Tab 2 x 100 mg
- Metformin Tab 3 x 500mg
- Ambroxol syr 3 x CI
28

Tanggal 9-10 November 2017 Keterangan


Nyeri ulu hati (+), Kembung (+), Mual (-), Tidak ada pemeriksaan
S
Muntah (-), Demam (-), Batuk (+)
Sens: Compos mentis, TD 120-130/80-90
mmHg, HR: 92-102x/i, reg, RR: 18-22x/i, reg,
Temp. 36,0 – 36,5°C

Kepala
Mata: RC (+/+), pupil isokor, konjungtiva
palpebra anemis (-/-), konjungtiva ikterik (-)
T/H/M: normal/ normal/ mukosa bibir kering (-)

Leher
Pembesaran KGB (-), TVJ : R-2cm H2O

Thoraks
Inspeksi : Simetris fusiformis, Retraksi(-)
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SP : vesikuler, ST : tidak dijumpai

Abdomen
Simetris, soepel, nyeri (+) di daerah
epigastrium, kembung (+), peristaltik (+) kesan
normal, H/L/R : tidak teraba pembesaran

Inguinal
Pembesaran KGB (-)
29

Ekstremitas
Puls: 92-102x/i, reg, tekanan/volume cukup,
Akral Hangat; CRT <3”, Edema (-)
Gastritis antrum + ulkus peptikum + DM Tipe
A
II + Hiperuricemia
Non Farmakologis :
- Tirah baring
- Diet M II
Farmakologis :
- IVFD NaCl 0.9 % 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 1 Amp / 12 jam
- Inj. Ozid 1 Amp/12 jam dalam NaCl
P
0,9% 100 cc
- Allupurinol Tab 2 x 100 mg
- Metformin Tab 3 x 500mg
- Ambroxol syr 3 x CI

Rencana :
Pasien PBJ pada tanggal 10 November 2017
BAB 4
DISKUSI

Teori Pasien

Pasien merupakan seorang perempuan


berusia 77 tahun, datang dengan nyeri ulu
hati. Hal ini dialami oleh pasien ± 1
Definisi tahun ini dan semakin memberat dalam 2
Dyspepsia adalah rasa nyeri dan rasa tidak minggu ini. Nyeri ulu hati dirasakan
nyaman yang berpusat di daerah perut bagian bersifat menusuk dan hilang timbul.
atas Nyeri ulu hati menjalar ke dada dan
punggung tidak dijumpai. Pasien juga
mengeluhkan perut sering terasa
kembung. Pasien juga mengakui adanya
rasa tidak nyaman setelah selesai makan.
Manifestasi Klinis Keluhan utama pasien yaitu nyeri ulu
Dalam konsensus Rome III yang khusus hati. Dirasakan bersifat menusuk dan
membicarakan tentang kelainan gastrointestinal hilang timbul. Nyeri ulu hati menjalar ke
fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan dada dan punggung tidak dijumpai.
sebagai berikut. Pasien juga mengeluhkan perut sering
1. Adanya satu atau lebih dari keluhan rasa terasa kembung. Pasien juga mengakui
penuh (kekenyangan) setelah makan adanya rasa tidak nyaman setelah selesai
(bothersome postprandial fullness), makan
perasaan cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa VITAL SIGN
terbakar di ulu hati, Sensorium : Compos Mentis
2.Tidak ditemukan kelainan struktural yang Tekanan darah : 120/70 mmHg
dapat menjelaskan keluhan saat dilakukan Nadi : 87x/ mnt
pemeriksaan endoskopi saluran cerna Pernafasan : 24x/ mnt
bagian atas (SCBA). Temperatur : 36,3 °C

30
31

3.Keluhan berlangsung ≥ 3 bulan terus


menerus, atau dimulai sejak 6 bulan Kepala : Kesan normal
sebelum diagnosis ditegakkan. T/H/M : Kesan Normal
Leher : Kesan normal
Pemeriksaan Fisik
Thorax: Kesan normal
Inspeksi : Tidak ditemukan adanya kelainan
Abdomen: Nyeri tekan (+) di daerah
pada inspeksi.
epigastrium
Auskultasi : Tidak ditemukan adanya
Ekstremitas atas : Kesan normal
kealainan saat melakukan auskultasi
Ekstremitas bawah : Kesan normal
Perkusi : Tidak ditemukan adanya
kelainan saat melakukan perkusi.
Palpasi : Nyeri tekan di daerah epigastrium

Pemeriksaan Penunjang Urinalisis


Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila Tidak dilakukan pemeriksaan
sulit membedakan antara dispepsia fungsional
dan organik, terutama bila gejala yang timbul
tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila Hasil Lab Pemeriksaan Darah
pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan
tanda-tanda bahaya. Asam Urat 7.3 mg / dL
Penatalaksanaan Pada pasien ini diberi tatalaksana :
Tatalaksana dispepsia dimulai dengan usaha Non Farmakologis :
untuk indentifikasi patofisiologi dan faktor - Tirah baring
penyebab sebanyak mungkin. Farmakologis :
- Dispepsia organik - IVFD NaCl 0.9 % 20 gtt/i
Apabila ditemukan lesi mukosa - Inj. Ranitidine 1 Amp / 12 jam
(mucosal damage) sesuai hasil - Inj. Ondansteron 1 Amp / 8 jam
endoskopi, terapi dilakukan - Allupurinol Tab 2 x 100 mg
berdasarkan kelainan yang ditemukan. - Ambroxol syr 3 x CI
Pada ulkuts peptikum, obat yang Diet :
diberikan antara lain kombinasi PPI, - Diet M II
32

misal rabeprazole 2x20 mg/ Pada pasien rencana dilakukan


lansoprazole 2x30 mg dengan pemeriksaan :
mukoprotektor, misalnya rebamipide - Darah Rutin, Urin Rutin, Feses
3x100mg. 8 Rutin
- Dispepsia fungsional - KGD Puasa, KGD 2 jam PP
Apabila setelah dilakukan investigasi - HbA1c
tidak ditemukan kerusakan mukosa, - Foto Thorax PA Erect
terapi dapat diberikan sesuai dengan - Gastroskopi
gangguan fungsional yang ada. - Urea Breath Test
- Gangguan psikologis, gangguan tidur,
dan sesitivitas reseptor serotonin sentral
mungkin merupakan faktor penting dalam
respon terhadap terapi antidepresan pada
pasien dispepsia fungsional.
BAB 5
KESIMPULAN

Pasien perempuan berusia 77 tahun bernama AH dirawat di Rumah Sakit


Putri Hijau Medan dengan diagnosis dengan ulkus peptikum + DM Tipe II +
Hiperuricemia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pasien dirawat selama 7 hari di Rumah Sakit Putri Hijau Medan dan
telah ditatalaksana dengan tirah baring, Diet M II, IFVD NaCl 0,9% 20 gtt/i, Inj.
Ozid 1 Amp/12 jam/iv dalam NaCl 0,9% 100 cc, Tab Allupurinol 2x100mg,
Ambroxol syr 3xCI. Saat ini pasien sudah pulang berobat jalan.

34
35

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Dharmika. Dispepsia Fungsional. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Edisi VII. 2014:1805-10.
2. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on
functional dyspepsia. J NeurogastroenterolMotil. 2012;18:150-68.
3. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. Evaluation of the use of rapid
urease test: Pronto Dry to detect H pylori in patients with dyspepsia in
several cities in Indonesia. World J Gastroenterol 2006;12:6216-8.
4. Rani AA, Fauzi A. Infeksi Helicobacter pylori dan penyakit gastro-
duodenal. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 331-6.
5. Ford AC, Marwaha A, Sood R, Moayyedi P. Global prevalence of, and
risk factors for, uninvestigated dyspepsia: a meta
analysis. Gut. 2015;64:1049–1057. doi: 10.1136/gutjnl-2014-307843.
6. Djojoningrat D. Buku ajar ilmu penyakit dalam : Dispepsia Fungsional.
Jakarta. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. 2014;
1806-1807.
7. Alwi, I., Salim, S., dkk. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Dispepsia Fungsional; Interna Publishing. Jakarta.
2015; 680.
8. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) Kelompok Studi
Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI): Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.
9. Abdullah M, Gunawan J. Dispepsia. CDK-197/ 2012; 39(9):647-51.
10. Rome Foundation. Guidelines—Rome III Diagnostic Criteria for
Functional Gastrointestinal Disorders: Appendix A. J Gastrointestin Liver
Dis. 2006: 885-97.
11. Anderson S, Wilkinson M. Dyspepsia : recommended investigations and
treatment. Drug review dyspepsia. 2010:31-42.

35
36

12. Tarigan P. Tukak Gaster. Dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi
VII. 2014:1781-1789.
13. Milosavljevic T. · Kostić-Milosavljević M. · Jovanović I. · Krstić M.
Complications of peptic ulcer disease. Dig Dis 2011;29:491–493.

36

Anda mungkin juga menyukai