Kelompok 5-Respon Dan Adaptasi Biokimia Dan Fisiologis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

RESPON DAN ADAPTASI BIOKIMIA DAN FISIOLOGI ATLET

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah Gizi Olahraga


yang dibina oleh Ibu Dwipajati, SST, M.Gz

Oleh:

KELOMPOK 5

1. Risa Mafaza (P17111171006)


2. Nathasya Arleta Dewi (P17111171010)
3. Jihan Rohadatul Aisy (P17111173025)
4. Orlin Tiara Oktavia P. P17111173044)
5. Dian Wardhani Rahadi P. (P17111173050)
6. Dewi Nur Rokhmah O. (P17111174064)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
JANUARI 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tetang
Respon dan Adaptasi Biokimia dan Fisiologi Atlet ini dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dwiajati, SST, M.Gz selaku dosen
matakuliah Gizi Olahraga yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Tidak
lupa kami juga mengucapkan begitu banyak terimakasih atas uluran tangan dan
bantuan yang berasal dari pihak yang bersedia berkontribusi bersama dengan
mengimbuhkan sumbangan baik tanggapan maupun materi.

Kami berharap semoga makalah ini mampu menambah pengalaman


serta ilmu bagi para pembaca. Sehingga untuk ke depannya kami sanggup
memperbaiki bentuk maupun meningkatkan isi makalah sehingga menjadi
makalah yang miliki wawasan yang luas dan lebih baik lagi.
Karena keterbatasan ilmu maupun pengalaman kami, kami percaya tetap
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat berharap
saran dan kritik yang membangun dan memotivasi yang berasal dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

. Malang, Januari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................2
Daftar Isi....................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................5
C. Tujuan................................................................................................5
D. Manfaat..............................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN7............................................................................7
A. Definisi respon dan adaptasi biokimia dan fisiologi...............................7
B. Respon dan adaptasi biokimia pada gula darah...................................7
C. Respon dan adaptasi biokimia pada lipid..............................................11
D. Respon dan adaptasi biokimia pada hemoglobin..................................13
E. Respon dan adaptasi biokimia pada cairan..........................................16
F. Respon dan adaptasi biokimia pada zinc..............................................19
G. Respon dan adaptasi fisiologi pada sistem kardiovaskuler...................21
H. Respon dan adaptasi fisiologi pada sistem keseimbangan cairan
tubuh....................................................................................................23
I. Respon dan adaptasi fisiologi pada sistem respirasi..............................24
J. Respon dan adaptasi fisiologi pada system muskuloskletal..................27

BAB III PENUTUP.....................................................................................29

A. Kesimpulan.........................................................................................29
B. Saran..................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................31

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Olahraga adalah suatu bentuk kegiatan fisik yang dapat
meningkatkan kebugaran jasmani. Dalam olahraga tidak hanya
melibatkan sistem muskuloskeletal semata, namun juga
mengikutsertakan sistem lain seperti sistem kardiovaskular, sistem
respirasi, sistem ekskresi, sistem saraf dan masih banyak lagi. Olahraga
mempunyai arti penting dalam memelihara kesehatan dan menyembuhan
tubuh yang tidak sehat (Mutohir dan Maksum, 2007).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, respon berarti
tanggapan, reaksi dan jawaban. Selanjutnya, menurut Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan disebutkan bahwa, “respon adalah reaksi psikologis-
metabolik terhadap tibanya suatu rangsang, ada yang bersifat otomatis
seperti refleksi dan reaksi emosional langsung, adapula yang bersifat
terkendali”.
Dalam dunia olahraga kemampuan seorang atlet untuk
beradaptasi menahan beban berat pada saat pelatihan dan kompetisi
sama pentingnya seperti kemampuan suatu mahluk hidup dalam
beradaptasi dengan lingkungan sekitar, jika mahluk tersebut tidak bisa
beradaptasi maka mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Bagi para atlet
dibutuhkan kemampuan untuk dapat beradaptasi terhadap beban latihan
yang bervariasi dan juga kompetisi yang diikuti sehingga bisa terhindar
dari kelelahan, yang akan menyebabkan atlet tersebut tidak bisa
mencapai tujuan akhir dari sebuah pelatihan yang telah ditetapkan.
Adaptasi fisiologi pada latihan fisik sangat tergantung pada umur,
intensitas, durasi, frekuensi latihan, faktor genetik, dan cabang olahraga
yang dilakukan. Oleh karena itu, latihan-latihan tersebut dikerjakan
terutama untuk ketahanan jantung dan paru-paru, maka dengan
sendirinya yang terlihat adalah salah satu perubahan pada kedua organ
tersebut. Perubahan pada jantung dan paru-paru bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan mengangkut oksigen (Soekarman, 2006).
Reaksi penyesuaian diri dapat berbentuk sebuah jawaban
sewaktu dan adaptasi organ-organ tubuh. Jawaban sewaktu adalah
perubahan fungsi tubuh yang sifatnya sementara dan berlangsung tiba-
tiba sebagai akibat dari aktifitas tubuh. Perubahan-perubahan fungsi ini

4
akan lenyap dengan segera setelah aktifitas tubuh dihentikan. Setiap
jawaban ini akan hilang beberapa saat setelah aktifitas tubuh berakhir.
Adaptasi merupakan perubahan struktur atau fungsi yang sifatnya kurang
lebih menetap dari organ-organ tubuh, sebagai akibat latihan yang
diberikan (Budiwanto, 2012).
Perubahan biokimia sebagai efek latihan terdapat tiga inti yaitu
perubahan aerobik, anaerobik, dan perubahan relatif dalam cepat atau
lambat (Syafilin, 2011). Aktivitas tubuh mengakibatkan gangguan
homeostasis yaitu mengubah keadaan fisik dan kimia lingkungan sel.
Aktivitas tubuh menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan antara lain
suhu tubuh meningkat, keasaman darah meningkat, penurunan jumlah O2
cairan tubuh, peningkatan CO2 dan gangguan homeostasis lainnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dirasakan oleh molekul-
molekul dalam sel-sel tertentu tubuh, yang kemudian merangsang jalur
jawaban yang bersifat kompleks (Budiwanto, 2012).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi respon dan adaptasi biokimia dan fisiologi?
2. Bagaimana respon dan adaptasi biokimia pada gula darah?
3. Bagaimana respon dan adaptasi biokimia pada lipid?
4. Bagaimana respon dan adaptasi biokimia pada hemoglobin?
5. Bagaimana respon dan adaptasi biokimia pada cairan?
6. Bagaimana respon dan adaptasi biokimia pada zinc?
7. Bagaimana respon dan adaptasi fisiologi pada sistem kardiovaskuler?
8. Bagaimana respon dan adaptasi fisiologi pada sistem keseimbangan
cairan tubuh?
9. Bagaimana respon dan adaptasi fisiologi pada sistem respirasi?
10. Bagaimana respon dan adaptasi fisiologi pada system muskuloskletal?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi respon dan adaptasi biokimia dan fisiologi
2. Mengetahu respon dan adaptasi biokimia pada gula darah
3. Mengetahu respon dan adaptasi biokimia pada lipid
4. Mengetahui respon dan adaptasi biokimia pada hemoglobin
5. Mengetahui respon dan adaptasi biokimia pada cairan
6. Mengetahui respon dan adaptasi biokimia pada zinc
7. Mengetahui respon dan adaptasi fisiologi pada sistem kardiovaskuler
8. Mengetahui respon dan adaptasi fisiologi pada sistem keseimbangan
cairan tubuh
9. Mengetahui respon dan adaptasi fisiologi pada sistem respirasi
10. Mengetahui respon dan adaptasi fisiologi pada sistem muskuloskletal

D. Manfaat

5
1. Menambah dan memperluas pengetahuan tentang respon dan adaptasi
biokimia dan fisiologi atlet
2. Memberikan infomasi dan pengetahuan khususnya kepada tenaga
kesehatan mengenai respon dan adaptasi biokimia dan fisiologi atlet

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Respons dan Adapatasi Biokimia dan Fisiologi


Pengertian respon secara umum adalah tanggapan tubuh saat menerima
rangsang dari luar (bersifat sementara). Sedangkan pengertian respon
biokimia dan fisiologi olahraga adalah perubahan yang terjadi akibat latihan
fisik (tekanan atau beban) dalam upaya menjaga homeostatis yang sifatnya
sementara.
Pengertian dari adaptasi secara umum adalah adanya perubahan bentuk
dan fungsi relatif bersifat menetap atau respon yang dilakukan secara
berulang kali akan membentuk adaptasi atau perilaku seseorang. Sedangkan
pengertian adaptasi biokimia dan fisiologi olahraga adalah perubahan
sebagai akibat dari sesi latihan fisik yang berulang sehingga meningkatkan
kapasitas fungsional. Sifatnya perubahan ini semi permanen baik secara
secara struktur maupun fungsional. Jika adaptasi ini gagal, maka disebut
maladaptasi atau overtraining.
Respon dan adaptasi biokimia pada atlet membahas mekanisme
perubahan nilai biokimia, seperti glukosa darah, lipid darah, hemoglobin,
cairan, dan zink. Respon adaptasi fisiologis atlet meliputi sistem
kardiovaskuler, sistem keseimbangan cairan tubuh, sistem respirasi, dan
sistem muskuloskeletal.

B. Respons dan Adaptasi Biokimia pada Gula Darah

Karbohidrat adalah sumber energi utama dalam tubuh sebagai bahan


bakar seseorang untuk beraktivitas. Energi tersebut digunakan mulai dari
bernafas hingga aktivitas berat seperti berolahraga. Dalam metabolisme,
karbohidrat akan dipecah menjadi glukosa atau gula darah yang kemudian
disimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot rangka dan hati (terbanyak).
Selain disimpan dalam bentuk glikogen, glukosa juga disimpan sebagai
lemak. Pada atlet, asupan tinggi karbohidrat akan digunakan sebagai sumber
energi. Latihan akan menurunkan simpanan glikogen otot. Hal ini membuat
asupan karbohidrat yang dikonsumsi selanjutnya akan disimpan sebagai
glikogen, bukan sebagai lemak. Oleh karena itu, seorang atlet tidak perlu

7
khawatir akan pembentukan simpanan lemak akibat konsumsi karbohidrat,
selama ia tetap menjalankan aktvitas fisik dan latihan.

Glukosa berfungsi sebagai sumber energi primer. Tidak seperti lemak


dan protein (misalnya; keton), yang digunakan tubuh sebagai sumber energi
dalam beberapa kondisi, glukosa adalah satu-satunya substrat energi dalam
tubuh yang berfungsi hanya untuk menyediakan energi ke sel. Kadar glukosa
yang bersirkulasi selama berolahraga tergantung pada status energi, asupan
makanan, intensitas kejadian, dan tingkat penyimpanan glikogen.
Berkurangnya ketersediaan glikogen umumnya dikaitkan dengan kelelahan.
Dengan kejadian penipisan glukosa, konsumsi karbohidrat sebelum atau
selama latihan berkepanjangan telah terbukti mengisi glikogen,
mempertahankan kadar glukosa darah, dan meningkatkan kinerja, terutama
untuk aktivitas intensitas tinggi.

Pemantauan glukosa darah puasa dapat membantu atlet memantau


kecukupan zat gizi makanan mereka. Meskipun glukosa darah puasa tidak
sering berhubungan langsung dengan kinerja, atlet cenderung memiliki
glukosa darah puasa yang lebih rendah, di mana level terkait dengan
intensitas regimen pelatihan. Zat gizi yang memadai untuk volume pelatihan
yang diberikan dapat mengurangi risiko hipoglikemia akibat olahraga pada
atlet. Selain itu, latihan olahraga dapat mengurangi kerentanan terhadap
hipoglikemia pada atlet karena perubahan metabolisme substrat. Namun,
latihan berlebihan dapat membalikkan adaptasi ini, membuat atlet lebih
rentan terhadap hipoglikemia dalam keadaan overtraining.

Para atlet secara tradisional didorong untuk mengonsumsi diet tinggi


karbohidrat untuk mengisi kembali simpanan glikogen otot dan meningkatkan
kinerja, dengan fokus khusus pada konsumsi karbohidrat pasca-latihan.
Namun, saran ini mungkin berdampak negatif terhadap kadar gula darah atlet
yang cenderung memiliki toleransi karbohidrat yang rendah. Selain itu tidak
mungkin bahwa glukosa darah rendah dalam kehidupan sehari-hari adalah
masalah nyata bagi para atlet, kecuali mereka secara signifikan kekurangan
kalori. Oleh karena itu, potensi untuk rencana asupan zat gizi yang lebih
personal dibantu dengan pemantauan glukosa terus menerus untuk
mengoptimalkan kadar glukosa darah selama fase pelatihan atlet yang
berbeda sangat dibutuhkan.

8
Glukosa darah acak biasanya lebih tinggi daripada glukosa darah puasa
puasa, tetapi tidak lebih dari 140 mg/dL dua jam setelah makan. Setelah
berolahraga, glukosa darah seseorang dapat meningkat karena
pengangkutan glukosa yang diperlukan ke otot-otot yang bekerja. Dalam
aktivitas yang berlangsung lebih dari 30 menit dengan intensitas yang
dikurangi (50% VO2 max) akan terjadi penurunan bertahap kadar glukosa
darah (Brooks et al., 2000). Hal ini menghasilkan lonjakan kadar glukosa
darah selama permulaan aktivitas fisik, dan kemudian penurunan yang stabil
ketika simpanan glikogen dilestarikan dan metabolisme oksidatif dimulai.
Berpuasa lebih dari enam jam telah terbukti mengurangi intensitas latihan
olahraga yang berlangsung antara 30-40 menit. Makan makanan
berkarbohidrat tinggi tiga jam sebelum berolahraga, telah dilaporkan
meningkatkan intensitas dan durasi performa berlari (Maffucci & McMurray,
2000).

Tabel 1. Kategori Kadar Glukosa Darah

Glukosa Darah 2
Glukosa Darah Glukosa Darah
Kategori Jam
Puasa Sewaktu
Postprandial
Normoglikemik <100 mg/dl <140mg/dl
Toleransi glukosa 100-125 mg/dl
darah puasa
terganggu
Toleransi glukosa 140-199 mg/dl
darah terganggu
DM 125 mg/dl 200 mg/dl 200 mg/dl
Sumber: (Lieseke dan Zeibig,2012 dalam Penggalih,2019)

Rencana manajemen yang efektif untuk atlet dengan penyakit diabetes


tipe 1 harus mempertimbangkan tuntutan energi dari kompetisi dan pelatihan
yang intens, tujuan atlet, faktor-faktor yang terkait dengan olahraga kompetitif
yang dapat memengaruhi homeostasis glukosa, dan strategi yang dapat
digunakan untuk memungkinkan partisipasi olahraga yang aman dan efektif.
Atlet harus dijaga dengan baik, dinasihati untuk menghindari perilaku
berisiko, dan diberikan rekomendasi spesifik untuk pemantauan glukosa dan
penyesuaian diet dan insulin sehingga mereka dapat mengantisipasi dan
mengkompensasi respons glukosa selama kompetisi olahraga.

9
Sumber: (Hornsby dan Chetlin,2005)

Atlet dengan atau tanpa diabetes memerlukan makronutrien dalam jumlah


yang cukup untuk mendukung pelatihan mereka dan mempertahankan
kinerja selama kompetisi. Pernyataan ini dikeluarkan oleh ACSM, American
Dietetic Association and Dietitians of Canada, merangkum persyaratan zat
gizi umum untuk atlet kompetitif yakni:

1. Konsumsi karbohidrat mulai dari 6 hingga 10 g/kgBB/hari untuk


mempertahankan glukosa darah dan mengganti glikogen otot selama
aktivitas. Dinyatakan bahwa jumlah tertentu bergantung pada total
pengeluaran energi harian individu, jenis olahraga, jenis kelamin, dan
keadaan lingkungan.
2. Konsumsi protein mulai dari 1,2 hingga 1,4 g/kgBB/hari untuk atlet
endurance-trained untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan 1,6
hingga 1,7 g / kg berat badan / hari untuk atlet strength-trained untuk
memungkinkan pertambahan dan pemeliharaan massa otot. Jika asupan
energi total cukup untuk mempertahankan berat badan, maka asupan
protein cukup dapat diperoleh hanya melalui diet, tanpa fortifikasi dari
suplemen protein.
3. Konsumsi lemak berkisar antara 20 hingga 25% dari total kalori sehari,
yang sebagian besar harus dalam bentuk tidak jenuh. Lemak sangat
penting dalam diet atletik karena memberikan energi, vitamin yang larut
dalam lemak, dan asam lemak esensial untuk aktivitas dan kesehatan
sehari-hari. Beberapa peneliti telah menghitung jumlah ini dari 5 hingga
10 g/kgBB/hari, tergantung pada intensitas latihan. Tidak ada bukti ilmiah
yang menunjukkan bahwa diet tinggi lemak meningkatkan kinerja atletik.

10
4. Konsumsi energi total mulai dari 37 hingga 41 kkal/kgBB/hari untuk
pelatihan atlet endurance-trained dengan intensitas sedang dan 44
hingga 50+ kkal/kgBB/hari untuk atlet resistance-trained. Atlet strength-
trained berusaha untuk meningkatkan massa tanpa lemak dengan
mengkonsumsi jumlah energi yang cukup untuk mendukung
pertumbuhan otot. Namun, setiap atlet harus mengkonsumsi energi yang
cukup untuk mempertahankan berat badan dan komposisi tubuh yang
diinginkan saat berlatih untuk dan bersaing dalam olahraga tertentu.
5. Atlet dengan diabetes tipe 1 menghindari diet yang dibatasi karbohidrat.
Beberapa diet yang mempromosikan konsumsi karbohidrat yang rendah
atau sangat rendah, dengan maksud yang dinyatakan untuk
menghasilkan ketoasidosis, mobilisasi tubuh keton untuk metabolisme.
Ketoasidosis, bagaimanapun, adalah gangguan metabolisme yang
serius, dan efeknya yang merugikan pada penderita diabetis telah
diketahui dengan baik. Diet seimbang yang dianjurkan terdiri dari 55–
60% energi dari karbohidrat, 12–18% energi dari protein, dan 25–30%
energi dari lemak direkomendasikan untuk atlet yang kompetitif.
C. Respons dan Adaptasi Biokimia pada Lipid
Efek paling penting dari olahraga pada tubuh manusia adalah pada
sistem metabolisme khususnya lipid. Lipid dan lipoprotein adalah faktor risiko
penyakit jantung koroner. Pengaruh aktivitas fisik pada status lipid dicapai
melalui aksi metabolisme enzim lipoprotein, termasuk lipoprotein dan lipase
hati, dan protein pengangkut ester kolesterol. Studi epidemiologis
menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang diukur dan diprogram secara
individual, dan pelaksanaan aktivitas fisik terutama aerobik, mengarah pada
peningkatan konsentrasi kolesterol HDL dan menurunkan nilai triglicerida,
total dan kolesterol LDL. Interaksi fisik menginduksi perubahan metabolisme
lipoprotein, dan dengan demikian mengurangi risiko kardiovaskular.
Pengaruh aktivitas fisik pada status lipid dicapai melalui aksi metabolisme
enzim lipoprotein, termasuk lipoprotein dan lipase hati, dan protein
pengangkut ester kolesterol.
Telah diketahui bahwa latihan tipe aerobik meningkatkan profil lipid,
kebugaran kardio-pernapasan dan komposisi tubuh pada individu muda yang
sehat. Program pelatihan yang dilaksanakan selama musim pelatihan
menyebabkan gangguan homeostasis, termasuk profil lipid di antara atlet.
Perubahan pasca-latihan dalam profil lipid dan aktivitas plasma lipase
merupakan adaptasi biokimiawi terhadap proses pelatihan dan terkait dengan

11
peningkatan pergantian energi secara teratur, yang disertai dengan
peningkatan hidrolisis trigliserida dan peningkatan oksidasi lipid.
Lemak digunakan sebagai sumber energi utama dalam keadaan
ketahanan atau ketika ketersediaan karbohidrat rendah. Secara khusus,
asam lemak rantai menengah lebih diutamakan untuk oksidasi, karena
mereka memasuki sirkulasi lebih cepat untuk diserap oleh hati. Pemanfaatan
lemak selama latihan memengaruhi profil lipid dengan mengurangi kadar total
kolesterol dan trigliserida yang beristirahat, sehingga meningkatkan profil
kesehatan kardiovaskular. Selain memberikan energi, beberapa jenis lemak
memainkan peran penting saat kondisi pemulihan. Asam lemak omega-3
asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA)
mengurangi peradangan, nyeri otot, dan persepsi nyeri akibat olahraga.
Selain itu, asam lemak omega-3 dapat mempengaruhi kinerja melalui
efeknya pada fungsi neuromuskuler, kecepatan konduksi saraf, dan
sensitivitas neuromuskuler dari reseptor asetilkolin.
Selain itu, asam lemak omega-3 dapat mendukung peningkatan volume
pelatihan dan mendukung adaptasi untuk latihan olahraga. Kadar asam
lemak omega yang diukur dalam darah mencerminkan peran klinis mereka
lebih daripada asupan makanan. Namun demikian, asupan harian asam
lemak omega-3 yang direkomendasikan (EPA + DHA) adalah ≤3 g/hari untuk
individu rata-rata atau mereka yang aktif secara fisik, akan tetapi
rekomendasinya mungkin setinggi 6–8 g/hari (2: 1 rasio EPA: DHA) untuk
seorang atlet. Tuntutan pelatihan yang lebih besar dapat meningkatkan
persyaratan untuk asupan asam lemak omega-3. Suplementasi Omega-3
secara signifikan meningkatkan profil lipid pemain aktif secara acak untuk
pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplemen minyak ikan
adalah cara yang efektif untuk meningkatkan asam eikosapentaenoat dan
kadar asam docosahexaenoic dalam plasma dan harus dipertimbangkan
sebagai metode untuk meningkatkan faktor lipid risiko kardiovaskular yang
dapat dimodifikasi pada atlet.
Atlet yang terlatih lebih banyak menggunakan lemak sebagai sumber
energi dari pada yang tidak terlatih. Atlet dengan sumber lemak tubuh yang
rendah sekalipun, ternyata mempunyai jumlah besar persediaan jaringan
lemak, sehingga tidak perlu makan ekstra lemak. Lemak mengandung 37 kJ /
g (9 kcal/g) dan harus digunakan tidak berlebihan, karena atlet juga rawan
terhadap gangguan kesehatan yang disebabkan oleh tata-gizi asam lemak

12
jenuh, walaupun olahraga itu sendiri pada umumnya memberi manfaat bagi
kesehatan para pelakunya. Penggantian atau pengurangan lemak jenuh
dalam tata-gizi (misalnya; mentega, daging gemuk, keju, es krim, cake pada
umumnya, biskuit, kue-kue kering dan coklat) dengan lemak tidak jenuh
ganda atau tunggal (misalnya; mentega tidak jenuh ganda, minyak sayuran,
kue-kue yang dimasak dengan mentega tidak jenuh ganda) dan produk-
produk susu dengan lemak rendah dan daging yang kurus, dapat memenuhi
pasokan kalori dan nutrien tanpa dampak buruk.
D. Respon dan Adaptasi Biokimia pada Hemoglobin
Kemampuan fisik merupakan salah satu komponen yang paling dominan
dalam pencapaian sebuah prestasi olahraga (Nugroho, 2009) dan juga
sebagai fondasi sebagaimana piramida latihan menurut Bompa (Bompa &
Haff,2009). Terdapat 10 komponen fsik yang harus dipelihara dan
ditingkatkan melalui latihan, salah satunya adalah ketahanan atau daya tahan
(Sajoto, 1995). Daya tahan juga bukan hanya untuk pelari jarak jauh, tetapi
daya tahan yang baik juga diperlukan bagi banyak atlet, mulai dari atlet bola
basket, sepak bola, sampai triathlon (Dinata, 2005).
Daya tahan diklasifikasikan menjadi daya tahan jantung-paru dan daya
tahan otot. Daya tahan jantungparu sering disebut juga daya tahan
kardiorespirasi atau kapasitas aerobik. Seorang atlet sepak bola harus
mampu mendorong kardiorespirasi secara maksimal atau kapasitas aerobic
yang dimiliki sebagaimana karakteristik cabang olahraga sepak bola yaitu
olahraga yang dimainkan selama 90 menit penuh baik ketika menyerang
maupun bertahan (Scheunemann,2005).
Daya tahan atlet yang terus dilatih dapat mengembangkan konsumsi
oksigen sehingga kapasitas aerobik maksimal atau VO2 Max atlet akan
meningkat, terutama pada subjek yang belum terlatih yang menunjukkan
peningkatan sebesar 20% atau lebih setelah berlatih selama 6 bulan
(Nugroho, 2009).
Kapasitas aerobik maksimal atau VO2 Max adalah kemampuan
seseorang dalam menggunakan oksigen dalam tempo tercepat selama
melakukan aktivitas fisik yang dinyatakan dalam satuan mililiter per kilogram
berat badan setiap menit (Jansen, 1993 Russel, 1993 Kuntaraf & Kuntaraf,
1992). Nilai VO2Max bersifat relative terhadap berat badan dan nilai setiap
individu bervariasi antara kurang dari 6 ml/kg/menit hingga lebih dari 80
ml/kg/menit. Tabel merupakan tabel yang dapat dijadikan acuan untuk
olahraga yang membutuhkan kapasitas aerobic maksimal (VO2Max) yang

13
sangat baik terutama olahraga sepak bola. Dengan memiliki kapasitas
aerobic yang baik, seorang atlet akan dapat melakukan latihan maupun
pertandingan dan menjalani instruksi pelatih tanpa mengalami kendala
penurunan fisik. Oksigen dibutuhkan sel-sel tubuh bersama zat-zat yang
lainnya sebagai sumber energi dalam melaksanakan aktivitas termasuk
aktivitas fsik seperti pada sepak bola. Melalui sistem respirasi, oksigen
masuk ke dalam paru-paru dan mengoksidasi zat-zat gizi yang masuk melalui
sistem digestif. Energi yang terbentuk melalui sistem ini yaitu system
metabolisme aerobik (Kenney, Wilmore, & Costill, 2012).
Metabolisme energi terjadi karena terdapat sel darah merah sebagai alat
pengangkut dalam sistem sirkulasi sehingga terpenuhinya oksigen dan zatzat
yang dibutuhkan sel (Syaifuddin, 2003). Pada sel darah merah (eritrosit)
terdapat senyawa hemoglobin (Hb) yang berfungsi mengikat dan
menyalurkan gas-gas pernapasan, baik oksigen maupun karbondioksida
(Soedjono, 1988).Hemoglobin berasal dari kata globin ‘protein’ dan heme.
Heme adalah suatu senyawa lingkar yang bernama porfirin, bagian pusatnya
ditempati logam besi (Fe) (Sadikin, 2001). Besi yang terdapat didalam
molekul hemoglobin sangat penting untuk menjalankan fungsi pengikatan
dan pelepasan oksigen, sedangkan protein (globin) meskipun tidak berikatan
langsung dengan molekul oksigen adalah bagian yang sangat penting dari
hemoglobin dan ikut menentukan daya ikat atom besi yang terkandung dalam
molekul tersebut. Kandungan hemoglobin normal rata-rata dalam darah
adalah 16g/dl pada pria dan 14 g/dl pada wanita dan semuanya berada
dalam sel darah merah (William,2008). Menurut Sadikin (2001), tujuan
pengikatan oksigen yang dilakukan hemoglobin yang terkandung di dalam sel
darah merah adalah tersalurkannya oksigen dalam jumlah besar
(Sadikin,2001). Dengan demikian, atlet memiliki VO2Max yang baik dan
mampu secara maksimal melakukan aktivitas olahraga sepak bola tanpa
mengalami rasa lelah karena proses oksidasi dapat dilakukan secara optimal.
VO2 Max dapat dipakai sebagai parameter kesehatan jasmani
seseorang. VO2 Max juga bisa dipakai sebagai alat ukur kekuatan aerobik
maksimal dan kebugaran kardiovaskuler. Umumnya pria memiliki level VO2
Max lebih tinggi 40-60 persen dari pada wanita. Misalnya, level VO2 Max
seorang pria yang tidak aktif berolahraga adalah 3,5 liter/menit dan 45
ml/kg/menit. Sementara wanita yang tidak aktif berolahraga rata-rata memiliki
VO2 Max sebesar 2 liter/menit dan 238 ml/kg/menit. Angka tersebut dapat

14
ditingkatkan dengan menerapkan olahraga aktif meskipun jumlahnya relatif.
Ada yang mampu meningkatkan jumlah level VO2 Max sampai dua kali lipat,
namun ada juga yang tidak meningkat sama sekali meski sudah aktif
berolahraga. Perlu diketahu bahwa, pada saat jantung memompah darah ada
metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) didalam sel darah merah
yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh
yang sering kita dengar dengan sebutan hemaglobin (hb). Sebagaimana
yang telah dikemukakan oleh Evelyn (2009) menyatakan bahwa:
“Hemaglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan degan oksigen itu membentuk
oxihemaglobin dalam sel darah merah. Melalui fungsi ini, oksigen dibawa
dari paru-paru ke jaringan”. Dan (Wikipedia, 2007) memberikan pula
pernyataan tentang hemaglobin yaitu: “Hemaglobin adalah metaloprotein
pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam darah
mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemaglobin terdiri dari globin,
apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom
besi”.
Fungsi hemaglobin dalam darah adalah mengatur pertukaran oksigen
dengan karbondioksida di dalam jaringan tubuh.Yang dimana mengambil
oksigen dari paru-paru kemudian dibawah keseluruh jaringan tubuh untuk
dipakai sebagai bahan baku. Dan membawa carbondioksida dari jaringan
tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk dibuang. Fungsi
hemaglobin (hb) yang dikemukakan oleh Iyan Darmawan (1980:169)
menyatakan bahwa fungsi hemaglobin adalah sel darah merah dalam arteri
sistemik mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan kembali dalam
darah vena dengan karbondioksida (CO2) ke paru-paru.
Hemaglobin (Hb) adalah molekul protein pada sel darah merah yang
berfungsi sebagai media transport (pengangkutan) oksigen dari paru-paru
keseluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh
ke paru-paru. Kandungan besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat
darah berwarna merah. (Iyan Darmawan 1980) menjelaskan bahwa funsi
hemoglobin adalah sel darah merah dalam darah arteri sistematik
mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan kembali kedalam darah
vena dengan karbondioksida ke paru-paru. Daya tahan umum adalah
kemampuan seseorang dalam mempergunakan sistem jantung , sistem paru
dan peredaran darahnya secara efektif dan efisien untuk menjalankan kerja

15
secara terus menerus yang melibatkan kontraksi sejumlah otot-otot dengan
intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama sebagaimana telah dijelaskan
Mochammad Sajoto (1988) “mengatakan bahwa daya tahan umum adalah
kemampuan seseorang dalam mempergunakan sistem jantung, paru dan
peredaran darahnya secara efektif untuk menjalankan kerja secara terus
menerus yang melinatkan kontraksi otot dengan intensitas tinggi dalam waktu
yang cukup lama”. Kedua pendapat diatas meberikan gambaran bahwa daya
tahan kemampuan meneruskan aktifitas yang giat dalam waktu yang lama
yang meliputi adanya interaksi yang efisien dari otot, darah, jantung dan
paru-paru. Hal ini kemudian telah sesuai dengan hasil analisis data yang
telah dilakukan dimana adanya korelasi antara kadar hemaglobin (Hb) dan
daya tahan umum.
E. Respon dan Adaptasi Biokimia pada Cairan
Atlet yang memulai latihan/pertandingan dengan level hidrasi tubuh yang
baik akan mempunyai performa daya tahan (endurance), kecepatan respons
atau reaksi dan juga performa olahraga yang lebih prima. Hal ini membuat
strategi hidrasi yang baik menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi atlet
tidak hanya untuk menjaga performa olahraganya namun juga bermanfaat
untuk menjaga kesehatan tubuh.
Seorang atlet setiap hari harus memperhatikan kondisi fisiknya agar
dapat tampil secara prima dalam setiap pertandingan. Dalam proses latihan
dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi dalam bidang olahraga,
pengaturan makan yang optimal harus mendapat perhatian dari setiap orang
yang terlibat. Untuk mengatasinya, atlet harus mengatur keseimbangan
antara latihan, social life, dan pemulihan. Dalam latihan apalagi pertandingan
faktor pemulihan ini memegang peranan yang sangat penting. Pemulihan
lebih cepat apabila berlatih secara kontinu dan akan lebih cepat lagi jika
berlatih secara intermitten. Selain kebutuhan nutrisi, atle juga membutuhkan
pengaturan hidrasi yang baik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah
satu kunci optimalisasi recovery adalah dengan pengaturan hidrasi. Sebagai
iliustrasi, kekurangan 2 % kebutuhan hidrasi tubuh ditemukan dapat
menghambat performa kerja. Hal ini terjadi mengingat volume darah yang
berkurang menuntut sistem kardiovaskular dituntut untuk bekerja lebih keras
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan oksigenasi akibat aktivitas fisik yang
pada akhirnya mengurangi performa fisiologis atlet. Selain itu, volume plasma
yang rendah juga berdampak pada lambatnya proses eliminasi produk

16
metabolisme hasil aktivitas fisik. Pemulihan (recovery) adalah
mengembalikan kondisi tubuh sebelum pertandingan. Jadi pengertian itu
sangat penting untuk menentukan tindakan–tindakan selanjutnya dari pelatih.
Pengertian ini perlu untuk menentukan dalam turnamen serta latihan–latihan
dalam pertandingan. Pengisian energi dalam otot tidak sama dengan
pengisian bahan bakar pada mesin mobil. Oleh karena itu, sebelum
bertanding latihan itu ditujukan untuk peningkatan cadangan system energy
yang bersangkutam sehingga pada waktu turnamen cadangan energy sudah
tinggi. Kurangnya konsumsi cairan yang menyebabkan dehidrasi berbahaya
bagi kesehatan serta membuat beban kerja tubuh menjadi lebih berat. Pada
saat berolahraga, dehidrasi menyebabkan penurunan kemampuan
konsentrasi, kecepatan reaksi, meningkatkan suhu tubuh, dan menghambat
laju produksi energi. Dehidrasi bersama dengan berkurangnya simpanan
karbohidrat merupakan dua faktor utama penyebab penurunan performa
tubuh pada saat berolahraga. Oleh karena itu, atlet/penggiat olahraga
diharapkan mempunyai strategi minum yang baik agar hidrasi tubuh selalu
terjaga. Dengan berbagai alasan seperi ‘terasa berat di perut’, ‘terasa
kenyang,’ ataupun ‘takut sering ke kamar kecil’ banyak sekali atlet atapun
individu yang tidak memandang penting konsumsi cairan yang cukup
sebelum latihan/pertandingan olahraga. Studi dan hasil riset menunjukkan
bawah atlet/individu yang memulai latihan/ pertandingan dengan level hidrasi
tubuh yang baik akan mempunyai performa daya tahan (endurance),
kecepatan respons, atau reaksi dan juga performa olahraga yang lebih prima.
Hal ini membuat strategi hidrasi yang baik menjadi bagian yang tidak
terpisahkan bagi atlet profesional dunia tidak hanya untuk menjaga performa
olahraga namun juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan tubuh.
Cara yang paling mudah dan akurat untuk mengetahui status/level hidrasi
tubuh sebelum olahraga adalah dengan melihat warna dan volume urin pada
saat buang air kecil. Warna urin cerah dengan volume yang banyak
menunjukan level hidrasi yang baik, sedangkan warna urin yang gelap atau
keruh dengan volume yang sedikit menunjukan level hidrasi yang rendah di
dalam tubuh. Secara ideal pada saat latihan atau juga dalam pertandingan
atlet disarankan untuk minum air secara rutin agar level hidrasi di dalam
tubuh dapat terjaga. Penting bagi atlet untuk dapat menjaga level hidrasi di
dalam tubuh melalui pola konsumsi cairan secara rutin baik pada saat
sebelum dan sedang berolahraga dan setelah berolahraga agar fungsifungsi

17
tubuh dapat berjalan dengan baik terutama fungsi termoregulasi (pangaturan
panas). Dengan pola konsumsi rutin ini juga diharapkan agar berkurangnya
cairan dari dalam tubuh pada saat latihan/pertandingan tidak melebihi 2 %,
karena pada nilai lebih dari 2 % performa tubuh sudah berkurang sebesar 10
%.
Beberapa cara dapat digunakan untuk membantu menjaga ketersediaan
cairan di dalam tubuh, antara lain: (1) konsumsi cairan secara rutin
dianjurkan untuk tidak mengunakan rasa haus sebagai indikator untuk minun,
(2) timbang berat badan pada saat sebelum dan sesudah latihan; setiap
berkurangnya 1 kg berat badan sama dengan kehilangan 1 liter cairan dari
dalam tubuh; konsumsi sekurangnya 1 liter air tiap berkurang 1 kg berat
badan; (3) gunakan warna urin sebagai indikator. Warna urin yang semakin
keruh/gelap serta volumenya yang sedikit menandakan kurangnya cairan di
dalam tubuh. Warna urin yang cerah/pucat dan volumenya banyak
menandakan tingkat hidrasi yang baik di dalam tubuh. Beberapa jenis obat,
supplement atau juga vitamin dapat memengaruhi warna urin sehingga dapat
menyebabkan warna urin pada hydration chart menjadi tidak akurat.
Air di dalam tubuh membentuk sekitar 50-60 % dari total berat badan. Hal
ini adalah 35-42 liter untuk individu dengan berat badan 70 kg merupakan
jumlah berat air. Air di dalam tubuh mempunyai fungsi penting diantaranya,
yaitu: (1) mengangkut nutrisi & oksigen ke dalam sel-sel tubuh, (2) mengatur
suhu tubuh, (3) membantu proses pencernaan, (4) pelumas dalam
pergerakan sendi, dan (5) tempat produksi energi. Kurangnya konsumsi
cairan yang menyebabkan dehidrasi berbahaya bagi kesehatan serta
membuat beban kerja tubuh menjadi lebih berat. Pada saat berolahraga
dehidrasi menyebabkan penurunan kemampuan konsentrasi, kecepatan
reaksi, meningkatkan suhu tubuh dan menghambat laju produksi energi.
Dehidrasi bersama dengan berkurangnya simpanan karbohidrat merupakan
dua faktor utama penyebab penurunan performa tubuh saat olahraga. Oleh
karena itu, atlet/penggiat olahraga diharapkan mempunyai strategi minum
yang baik agar hidrasi tubuh selalu terjaga
F. Respon dan Adaptasi Biokimia pada Zinc
Olahraga endurance seperti sepatu roda adalah tipe olahraga yang
memiliki tingkat stres oksidatif tinggi, meningkatkan kerusakan otot dan
jaringan, serta memicu terjadinya inflamasi yang berdampak pada penurunan
imunitas tubuh. Pengaruh olahraga endurance terhadap fungsi sistem imun
juga terjadi lewat perubahan aktivitas neuroendokrin, yaitu pelepasan hormon

18
stress seperti katekolamin dan kortikosteroid yang memicu penurunan fungsi
sistem imun. Salah satu komponen yang berperan dalam homeostasis sistem
imun adalah leukosit. Jumlah leukosit yang tinggi dapat menjadi tanda bahwa
kemungkinan atlet belum pulih benar dari sesi latihan sebelumnya atau juga
menandakan bahwa atlet mengalami infeksi.
Status zink atlet berpengaruh terhadap performanya. Penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa atlet sepakbola yang memiliki kadar serum zink rendah
(hipozincemia) mengalami penurunan performa dan peningkatan viskositas
darah yang disebabkan oleh peningkatan fragilitas eritrosit. Keluarnya zink
dari keringat dan peningkatan zinc uptake dari darah ke otot akibat adanya
kerusakan atau inflamasi sel otot. Rendahnya jumlah zink mengurangi peak
power output dan menurunkan lactate threshold sehingga konsentrasi serum
zink yang kurang dapat menjadi indikator melemahnya fungsi fisiologis terkait
ketidakcukupan asupan zink dan/atau kehilangan zink dalam jumlah yang
besar. Selain itu, selama latihan endurance akan terjadi peningkatan aktivitas
radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk oleh tubuh akan menyerang
asam lemak tidak jenuh ganda pada membran sel yang disebut sebagai
reaksi peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak, terutama pada asam lemak
arakhidonat, asam lemak eikosapentaenoat, dan asam lemak
dokosaheksanoat akan menghasilkan senyawa malondialdehid (MDA) yang
merupakan salah satu penanda tidak langsung terjadinya stres oksidatif
Berkaitan dengan imunitas, salah satu zat gizi yang berperan dalam fungsi
imun adalah zink. Zink berperan sebagai antioksidan yang melawan
peningkatan aktivitas radikal bebas akibat latihan fsik. Peran zink sebagai
antioksidan terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya berikatan
dengan protein di membran sel untuk menghambat produksi radikal bebas
hydrogen peroksida; memicu perkembangan dan aktivitas system imun non-
spesifk termediasi sel seperti neutrofl dan sel natural killer (NK);
meningkatkan perkembangan, aktivasi, dan produksi sel T-helper dan limfosit
B; dan memicu aktivitas metallothionein (MT), sebuah senyawa protein kaya
sistein yang merupakan agen scavenger ion hidrogen peroksida.
Menanggapi adanya hubungan antara latihan endurance, status zink
serta parameter hematologi lainnya terhadap performa, beberapa penelitian
telah dilakukan untuk mengkaji pengaruh pemberian suplementasi zink pada
performa atlet. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa suplementasi zink
berpengaruh pada peningkatan aktivitas antioksidan tubuh melalui

19
mekanisme penekanan peroksidasi lipid dan aktivasi sistem antioksidan
tubuh. Suplementasi zink 22 mg/hari terhadap atlet sepakbola laki-laki pada
studi sebelumnya memberikan hasil adanya peningkatan kadar plasma zink
dan Fe eritrosit, penurunan kadar zink urin, serta penurunan fragilitas
eritrosit, dan tidak memberikan efek samping penurunan kadar plasma Fe
dan Cu. Selain itu, suplementasi zink sebanyak 2,5 mg/kgBB/hari pada atlet
tinju laki-laki menghasilkan adanya perbaikan jumlah eritrosit, leukosit,
hemoglobin, dan hematocrit dibandingkan dengan kelompok tanpa
suplementasi. Meskipun demikian, pengaruh pemberian suplementasi zink
terhadap profil hematologi atlet setelah latihan endurance masih menjadi hal
yang belum dapat dijelaskan secara pasti. Sementara itu, atlet yang
melakukan olahraga endurance berisiko mengalami perubahan status zink
yang lebih tinggi daripada olahraga lainnya. Penelitian pada atlet balap
sepeda terlatih menyebutkan bahwa mereka mengalami 50-60% peningkatan
ekkresi zink melalui urin bila dibandingkan dengan sebelum latihan.
Penurunan kadar zink setelah latihan endurance yang berkaitan dengan
parameter hematologi dipicu oleh peningkaran distribusi zink ke jaringan sel
yang rusak akibat aktivitas radikal bebas yang meningkat selama latihan.
Mengingat besarnya pengaruh latihan endurance terhadap status zink dan
parameter hematologi lainnya, maka diperlukan kajian lebih lanjut mengenai
pengaruh pemberian suplementasi zink terhadap parameter hematologi yang
spesifik pada atlet dengan tipe olahraga endurance.

G. Respon dan Adaptasi Fisiologis Pada Sistem kardiovaskuler

Adaptasi fisiologi pada latihan fisik sangat tergantung pada umur,


intensitas, durasi, dan frekuensi latihan, faktor genetik, dan cabang olahraga
yang dipertandingkan. Oleh karena itu latihan-latihan yang dikerjakan adalah
terutama untuk ketahanan jantung dan paru, maka dengan sendirinya yang
terlihat adalah salah satunya perubahan pada kedua organ tersebut, yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengangkut oksigen.

Fungsi sistem kardiovaskuler yang pertama saat olahraga, yaitu


menyuplai oksigen ke jaringan. Oksigen ini digunakan untuk kontraksi otot,
terutama saat tubuh menjalankan aktivitas fisik. Jumlah darah yang dipompa
oleh jantung saat melakukan aktivitas akan lebih besar sehingga kandungan
oksigen yang ada dalam setiap kali pompa juga lebih banyak. Kedua,

20
membantu mengalirkan panas ke seluruh tubuh. Hampir semua metabolisme
energi dalam tubuh akan meningkatkan suhu tubuh, terutama saat
metabolisme energi meningkat selama melakukan aktivitas fisik. Maksimal
konversi energi yang dihasilkan dari makanan untuk otot melakukan aktivitas
adalah 20-25% sehingga sisanya berubah menjadi panas. Saat melakukan
aktivitas atau pertandingan, terutama pada atlet dengan jenis olahraga
endurance, suhu tubuh akan meningkat menjadi 37-40°C. Suhu lingkungan
saat pertandingan dan baju yang digunakan dapat berefek pada peningkatan
suhu sampai 42°C. Apabila atlet mencapai suhu ini, beberapa tanda
kelelahan, pusing, mual, muntah, dan pada kondisi ekstrim dapat
menyebabkan kematian. Aliran darah yang membantu mengalirkan panas ke
seluruh tubuh menjadi fungsi yang krusial untuk membantu menyalurkan
panas yang dihasilkan supaya tidak terfokus dalam satu bagian.

1. Proses Adaptasi Jantung Terhadap Olahraga

Ada hubungan langsung antara intensitas olahraga dan kebutuhan


oksigen. Kebutuhan oksigen ini didapat dari peningkatan uptake oksigen
oleh paru (VO2 ). Sistem kardiovaskuler bertanggung jawab atas
transportasi darah kaya oksigen dari paru ke otot rangka, proses ini
secara kuantitatif dikenal dengan curah jantung (cardiac output, satuan
liter per menit).1 Latihan fisik yang intensif, dengan durasi serta beban
yang meningkat akan menyebabkan adaptasi fisiologis berupa
peningkatan volume dan tekanan pengisian dari ventrikel kiri. Kemudian
seiring waktu akan terjadi penebalan otot dinding ventrikel kiri dan ukuran
ruang ventrikel kiri pun membesar.

Jantung memegang peranan penting dalam sirkulasi darah


sampai ke jaringan. Oksigen yang terikat dengan haemoglobin dalam
aliran darah menjadikan setiap sel bekerja. Ventrikel kiri pada jantung
atlet bertugas untuk memompa darah ke seluruh tubuh sehingga memiliki
ukuran yang lebih besar daripada ventrikel kanan atlet. Jumlah darah
yang dipompa oleh jantung dalam sekali siklus dipengaruhi oleh tingkat
aktivitas yang dilakukan. Kebutuhan oksigen oleh sel, terutama pada
jaringan otot, meningkat ketika melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
memicu saraf simpatis untuk menyekresi epinefrin dan norepinefrin.

21
Hormon epinefrin dan norepinefrin disekresi ke dalam aliran darah
oleh medulla adrenal dan akan ditangkap oleh reseptor adrenergic yang
ada di setiap organ. Reseptor adrenergic terbagi menjadi dua, yaitu alpha
dan beta reseptor. Norepinefrin lebih dominan ditangkap oleh reseptor
alpha, sedangkan epinefrin oleh reseptor beta.

Epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan pada aliran darah


menyebabkan pembuluh darah tubuh mengalami vasokonstriksi dan
peningkatan aktivitas jantung. Namun, kinerja epinefrin pada
muskuluskeletal menyebabkan pembuluh darah mengalami vasodilatasi.
Epinefrin memberikan stimulasi yang besar pada beta reseptor sehingga
stimulasi yang diberikan pada jantung lebih besar daripada aktivitas
norepinefrin. Perbedaan efek epinefrin dan norepinefrin juga terdapat
pada metabolisme di jaringan tubuh. Epinefrin mampu menyebabkan
peningkatan metabolisme di jaringan 5 sampai 10 kali dari norepinefrin.
Beberapa contoh peningkatan aktivitas metabolisme adalah
glukogenolisis di hati dan otot serta pelepasan glukosa ke aliran darah
tubuh.

H. Respon dan Adaptasi Fisiologis Pada Sistem Keseimbangan Cairan


tubuh

Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi


tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah
merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan
cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan
tubuh.

Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu
(zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel
bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan
elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan
intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan
dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan
elektrolit kedalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit
saling bergantung satu dengan yang lainnya jika salah satu terganggu maka
akan berpengaruh pada yang lainnya. Cairan tubuh dibagi dalam dua
kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan

22
intraseluler adalah cairan yang berda di dalam sel di seluruh tubuh,
sedangkan cairan akstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan
terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan
interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan
di dalam system vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak
diantara sel, sedangkan cairan ekstraselule radalah cairan sekresi khusus
seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.

Cairan dalam tubuh manusia memiliki persentase yang cukup besar


sekitar 50-60% dari berat tubuh perempuan dan laki-laki dewasa. Konsumsi
caira sehari-hari dapat melalui minuman ataupun makanan yang rata rata
dalam sehari mencapai 2,100 ml pada kondisi normal. Konsumsi cairan
setiap individu memiliki variasi yang tinggi karena dipengaruhu oleh kondisi
lingkungan, kebiasaan individu dan tingkat aktivitas fisik yang dilakukan.

Setiap hari, tubuh meregulasi pengeluaran cairan untuk menjaga agar


cairan tubuh tetap dalam kondisi seimbang. Pengeluaran cairan tubuh terjadi
melalui beberapa mekanisme. Invisible Water Loss (IWL) merupakan
pengeluaran cairan tubuh melalui evaporasi jaringan kulit. Dalam kondisi
normal, pengeluaran IWL setiap harinya diperkirakan mencapai 700 ml.
Keringat merupakan salah satu jenis IWL, jumlah cairan yang keluar melalui
keringat meningkat seiring dengan tingkat aktivitas yang dilakukan.

Proses penggantian cairan tubuh pada atlet terutama saat aktivitas fisik
dipengaruhi oleh berberapa hal. Hal utama yang memengaruhi keinginan
untuk minum adalah rasa haus yang muncul dari dalam tubuh. Munculnya
rasa haus pada atlet sering tidak diacuhkan, terutama saat atlet berada di
lapangan. Beberapa jenis cabang olahraga, seperti sepak bola, sepeda, dan
basket, tidak memiliki waktu untuk istirahat minum (water break) selama
pertandingan sehingga para pemain harus pintar mencuri waktu supaya
dapat melakukan rehidrasi cairan saat bertanding.

I. Respon dan Adaptasi Fisiologis Pada Sistem Respirasi

Latihan fisik akan mempengaruhi konsumsi oksigen dan produksi karbon


dioksida. Kadar oksigen dalam jumlah yang besar akan terdifusi dari alveoli
ke dalam darah vena kembali ke paru-paru. Sebaliknya, kadar karbon
dioksida yang sama banyak masuk dari darah ke dalam alveoli. Oleh itu,

23
ventilasi akan meningkat untuk mempertahankan konsentrasi gas alveolar
yang tepat untuk memungkinkan peningkatan pertukaran oksigen dan karbon
dioksida.

Permulaan aktivitas fisik ini disertai dengan peningkatan dua tahap


ventilasi. Hampir segera dapat terlihat peningkatan pada inspirasi dan
kenaikan bertahap pada kedalaman dan tingkat pernapasan. Kedua tahap
penyesuaian menunjukkan bahwa kenaikan awal dalam ventilasi diproduksi
oleh mekanisme gerakan tubuh setelah latihan dimulai, namun sebelum
rangsangan secara kimia, korteks motor menjadi lebih aktif dan mengirimkan
impuls stimulasi ke pusat inspirasi, yang akan merespon dengan
meningkatkan respirasi juga. Secara umpan balik proprioseptif dari otot
rangka dan sendi aktif memberikan masukan tambahan tentang gerakan ini
dan pusat pernapasan dapat menyesuaikan kegiatan itu berdasarkan
kesesuaiannya.

Tahap kedua lebih bertahap dengan kenaikan respirasi yang dihasilkan


oleh perubahan status suhu dan kimia dari darah arteri. Sambil latihan
berlangsung, peningkatan proses metabolisme pada otot menghasilkan lebih
banyak panas, karbon dioksida dan ion hidrogen. Semua faktor ini
meningkatkan penggunakan oksigen dalam otot, yang meningkatkan oksigen
arteri juga. Akibatnya, lebih banyak karbon dioksida memasuki darah,
meningkatkan kadar karbon dioksida dan ion hidrogen dalam darah. Hal ini
akan dirasakan oleh kemoreseptor, yang sebaliknya merangsang pusat
inspirasi, dimana terjadi peningkatan dan kedalaman pernapasan. Beberapa
peneliti telah menyarankan bahwa kemoreseptor dalam otot juga mungkin
terlibat iaitu dengan meningkatkan ventilasi dengan meningkatkan volume
tidal.

Fungsi sistem pernapasan biasanya tidak terbatas karena ventilasi dapat


ditingkatkan ke tingkat yang lebih besar daripada fungsi kardiovaskular.
Melainkan sistem kardiovaskuler dan sistem lain, sistem respirasi juga
mengalami adaptasi khusus untuk ketahanan pelatihan untuk
memaksimalkan efisiensi. Adaptasi ini meliputi, peningkatan ventilasi dengan
peningkatan dalam pengambilan oksigen maksimal dengan minimum empat
minggu pelatihan dan diikuti dengan pengurangan yang signifikan pada
ventilasi yang setara yang diamati. Akibatnya, sedikit udara akan dihirup pada

24
konsumsi oksigen pada tingkat tertentu. Hal ini akan mengurangi persentase
oksigen total yang digunakan dibandingkan pernapasan. Oleh karena itu,
keadaan ini membantu dalam melakukan olahraga berat yang
berkepanjangan tanpa kelelahan otot ventilasi. Mekanisme yang tepat tidak
diketahui untuk adaptasi pelatihan dalam sistem ventilasi. Secara umum, ada
peningkatan dalam 'volume dan kapasitas' saat istirahat karena fungsi
pernapasan ditingkatkan.

Pada taraf kerja tertentu diperlukan sejumIah oksigen tertentu. Makin


tinggi taraf kerja, yang berarti makin banyak jumlah energi yang diperlukan,
makin banyak pula jumIah oksigen yang diperlukan. Kemampuan tubuh untuk
menyediakan oksigen, disebut kapasitas aerobik, terutama bergantung
kepada fungsi sistem pernapasan, darah dan sistem kardiovas- kuler. .
Dalam pembentukan energi, terdapat dua macam proses yang dapat
ditempuh, yaitu proses aerobik, proses yang memer- lukan oksigen; dan
proses anaerobik, proses yang tidak memerlukan oksigen. Pada proses
aerobik terjadi proses pembakaran yang sempuma. Atom hidrogen dioksidasi
menjadi H2O dan atom karbon dioksidasi menjadi CO2. Sisa metabolisme
ter- sebut dikeIuarkan dari tubuh melalui proses pernapasan . Energi yang
diperoIeh dari proses aerobik ini tidak dapat langsung digunakan otot sebagai
sumber energi untuk mengerut. Energi tersebut dengan proses lebih lanjut
digunakan untuk sintesis ATP (adenosine triphosphate) dan
senyawasenyawa berenergi tinggi yang lain. Senyawa-senyawa tersebut
merupakan senyawa yang dapat menyimpan energi dalam jumlah yang
besar. Proses pemecahannya yang tidak memerlukan oksigen dengan
menghasilkan energi yang besar itu merupakan proses anaerobik. Energi
yang dihasilkan dari pemecahan ATP ini dapat digunakan sebagai sumber
energi untuk mengerut oleh otot (2,3). Proses aerobik dan proses anaerobik
tersebut dalam tubuh selalu terjadi bersama-sama dan berurutan. Hanya
berbeda intensitasnya pada jenis dan tahap kerja tertentu. Pada kerja berat
yang hanya berlangsung beberapa detik saja, dan pada permulaan kerja
pada umumnya, proses anaerobik Iebih menonjol daripada proses aerobik.
Pada keadaan kerja tersebut, sistem kardiopulmonal beIum bekerja dengan
kapasitas yang diperlukan. Untuk penyesuaiannya, diperlukan waktu. Dengan
demikian oksigen yang tersedia tidak mencukupi. Maka keperluan akan
energi terutama dicukupi dengan proses anaerobik.

25
1. Gangguan Pernapasan Pada Atlet

Frekuensi, durasi, dan intensitas aktivitas fisik yang dilakukan atlet


lebih tinggi daripada populasi normal sehingga tingkat paparan udara
untuk pemenuhan oksigen lebih intens. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya kondisi gangguan pernapasan, seperti asma, edema paru, dan
rhinitis.

Asma adalah gangguan pernapasan umum yang ditemui pada


atlet olimpik dengan prevalensi 7-8%. Kejadian pada atlet dengan
kategori endurance lebih tinggi daripada kategori olahraga lainnya. Hal
itu disebabkan oleh konsumsi udara dalam jumlah besar dan waktu lama
saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik yang memicu hipoksemia, terjadi
ketika aktivitas fisik yang dilakukan menyebabkan suplai oksigen ke
jaringan tidak mencukupi. Kondisi ini juga lebih banyak dialami oleh atlet
kategori endurance. Rinitis juga termasuk dalam gangguan pernapasan
dengan prevalensi cukup tinggi dengan angka kejadian >30%, yang pada
atlet renang prevalensi meningkat hingga 74%. Faktor yang mungkin
mememngaruhi yaitu kondisi lingkungan, tingkat eksposur terhadap
allergen, menghirup udara yang menyebabkan iritasi, dan udara yang
kering tapi dingin memicu kondisi rhinitis pada atlet.

J. Respon dan Adaptasi Fisiologis Pada Sistem Muskuloskletal

Sistem muskuloskeletal dibagi menjadi 3 komponen


utama, trunks, ekstremis atas, dan ekstremis bawah. Setiap komponen
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi tulang, sendi, ligamen, tendon, dan otot.
Sistem muskuloskeletal ini tersusun dari komponen yang saling bergantung
supaya bisa berfungsi dengan baik. Tidak hanya itu, sistem ini bergantung
dan mendukung sistem peredaran darah dan saraf.

Terjadinya cedera atau gangguan muskuloskeletal menyebabkan


disfungsi dan pada akhirnya akan membuat komponen lain turut terkena
dampaknya. Terjadinya cedera bisa mengakibatkan kerusakan pada kedua
sistem yang saling berkaitan. Wanita lebih rentan mengalami gangguan sendi
dan tulang ini, begitu pula dengan para atlet.

Secara umum, olahraga membantu meningkatkan kesehatan dan


mengurangi risiko terjadinya penyakit kronis seperti hipertensi, jantung,

26
kanker, dan diabetes. Meski demikian, olahraga memiliki risiko cedera yang
sama tingginya. Terlebih pada atlet dan anak-anak yang sistem
muskuloskeletalnya belum berkembang dengan sempurna.

Cedera ini umum terjadi pada sendi lutut, pergelangan kaki, pinggul,
bahu, siku, pergelangan tangan, atau tulang belakang. Pergelangan kaki dan
lutut menjadi bagian tubuh yang rentan terserang cedera, sementara daerah
pinggul dan paha menjadi area yang berisiko lebih rendah.

Faktanya, gangguan muskuloskeletal sering dikaitkan dengan cedera


terkait olahraga. Luka pada bagian yang sering digunakan menyebabkan
cedera memburuk, sementara cedera otot akut menyebabkan kerusakan
struktural atau fungsional yang signifikan pada otot.

Cedera yang paling sering terjadi adalah pada bagian ekstremis bawah,
seperti pada pergelangan kaki dan paling banyak menyerang atlet laki-laki.
Lalu, cedera pada lutut yang lebih sering menyerang atlet perempuan,
sementara tungkai bawah, atas, dan pangkal paha lebih jarang
mengalaminya. Jenis cedera yang paling sering terjadi adalah keseleo atau
regangan pada ekstremis bawah.

Penyebab terjadinya gangguan muskuloskeletal bisa beragam, bisa


karena lemahnya struktur tulang dan otot, distorsi fisiologis dalam tubuh,
riwayat cedera pada masa lalu, infeksi, jenis kelamin, usia, dan masih banyak
lagi. Penyebab lainnya adalah olahraga. Sayangnya, tak sedikit orang yang
belum tahu apa jenis olahraga yang tepat untuk dilakukan untuk terhindar
dari gangguan tulang ini.

Kegiatan dan olahraga mengharuskan untuk mengerahkan kekuatan


tertentu. Ketika kekuatan yang diperlukan melebihi jumlah yang disanggupi
tubuh, akan menyebabkan kerusakan. Kerusakan dapat terjadi dari gerakan
tunggal atau gerakan berulang dari waktu ke waktu.

Ketika bagian tubuh digunakan berulang-ulang, dengan sedikit istirahat


tanpa memberikan waktu pemulihan untuk tubuh, maka nyeri sering terjadi
pada bagian tersebut. Bahkan jika paksaan kekuatan bersifat rendah dan
dengan postur yang baik, tindakan berulang seperti mengetik, dapat
menyebabkan kelelahan, kerusakan jaringan, dan, akhirnya, rasa sakit dan
ketidaknyamanan. Risiko terkena gangguan muskuloskeletal meningkat

27
ketika kecepatan aktivitas meningkat, atau ketika tubuh dalam posisi
canggung.

Dengan memaksa sendi berada dalam posisi canggung atau tidak wajar,
maka semakin tegang otot, tendon, dan ligamen di sekitar sendi. Sebagai
contoh, ketika mengangkat beban, lengan sepenuhnya terentang, siku dan
bahu sendi berada pada akhir rentang gerak. Beban yang berat, ditambah
tarikan berulang pada posisi ini, dapat menyebabkan risiko cedera lebih
tinggi.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Kadar glukosa yang bersirkulasi selama berolahraga tergantung pada


status energi, asupan makanan, intensitas kejadian, dan tingkat
penyimpanan glikogen. Dengan kejadian penipisan glukosa, konsumsi
karbohidrat sebelum atau selama latihan berkepanjangan telah terbukti
mengisi glikogen, mempertahankan kadar glukosa darah, dan
meningkatkan kinerja, terutama untuk aktivitas intensitas tinggi.

b. aktivitas fisik yang diukur dan diprogram secara individual, dan


pelaksanaan aktivitas fisik terutama aerobik, mengarah pada peningkatan
konsentrasi kolesterol HDL dan menurunkan nilai triglicerida, total dan
kolesterol LDL. Interaksi fisik menginduksi perubahan metabolisme
lipoprotein, dan dengan demikian mengurangi risiko kardiovaskular.
c. Daya tahan atlet yang terus dilatih dapat mengembangkan konsumsi
oksigen sehingga kapasitas aerobik maksimal atau VO2 Max atlet akan
meningkat, terutama pada subjek yang belum terlatih yang menunjukkan
peningkatan sebesar 20% atau lebih setelah berlatih selama 6 bulan.
d. Atlet yang memulai latihan/pertandingan dengan level hidrasi tubuh yang
baik akan mempunyai performa daya tahan (endurance), kecepatan
respons atau reaksi dan juga performa olahraga yang lebih prima.

28
e. Rendahnya jumlah zink mengurangi peak power output dan menurunkan
lactate threshold sehingga konsentrasi serum zink yang kurang dapat
menjadi indikator melemahnya fungsi fisiologis terkait ketidakcukupan
asupan zink dan/atau kehilangan zink dalam jumlah yang besar.
f. Fungsi sistem kardiovaskuler yang pertama saat olahraga, yaitu menyuplai
oksigen ke jaringan.
g. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan
salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan
elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh.
h. Frekuensi, durasi, dan intensitas aktivitas fisik yang dilakukan atlet lebih
tinggi daripada populasi normal sehingga tingkat paparan udara untuk
pemenuhan oksigen lebih intens

i. Kegiatan dan olahraga mengharuskan untuk mengerahkan kekuatan


tertentu. Ketika kekuatan yang diperlukan melebihi jumlah yang
disanggupi tubuh, akan menyebabkan kerusakan. Kerusakan dapat
terjadi dari gerakan tunggal atau gerakan berulang dari waktu ke waktu.

2. Saran
Dalam melakukan kegiatan atlet sebaiknya memperhatikan pola makan
agar dalam menjalankan kegiatannya atlet tidak mengalami gangguan dan
dapat mendapatkan hasil secara maksimal.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abernethy, Bruce, et.al. 1996. The Biophysical Foundations of Human


Muvement. Human Kinetties, Queensland. Australia

Budiwanto, Setyo. 2012. Metodologi Latihan Olahraga. Malang: Fakultas Ilmu


Keolahragaan Universitas Negeri Malang.

Elaine, et al. (2017, October 31). Biomarkers in Sports and Exercise: Tracking
Health, Performance, and Recovery in Athletes. Journal of Strength and
Conditioning Research.

Hornsby, W. G. (2005, April). Management of Competitive Athletes. Diabetes


Spectrum Journals of American Diabetes Association.

Kadir, Akmarawita. 2006. Adaptasi Kardiovaskular Terhadap Latihan Fisik. Jurnal


Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Kosasi, L, dkk. 2014. Hubungan Aktivitas Fisik Terhadap Kadar Hemoglobin


Pada Mahasiswa Anggota UKM Pandekar Universitas Andalas. Jurnal
Kesehatan Andalas. 3 (2). 178-181.

Kusmawati, W., et al. (2019). BUKU AJAR ILMU GIZI OLAHRAGA. Ponorogo:
Uwais Inspirasi Indonesia.

Maharjito, Anang B. 2019. Jantung Atlet. RS Olahraga Nasional Kementerian


Pemuda dan Olahraga. Jakarta

Penggalih, M. H. S. T, dkk. 2016. Pengaruh Perbedaan Intensitas Latihan Atlet


Sepeda Terhadap Berat Badan dan Body Water. Journal of Physical
Education, Sport, Health and Recreation. 5 (2). 2336-2344.

Penggalih, M. H. S. T, dkk. 2018. Pengaruh suplementasi zink terhadap


parameter hematologi atlet sepatu roda setelah latihan endurance. Jurnal
Gizi Klinik Indonesia. 15 (1). 28-36.

Penggalih, Mirza Hapsari. 2019. Respons, Adaptasi Biokimia, dan Fisiologi Atlet.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Prima, Asep dan Yasep Setiakarnawijaya. 2018. Korelasi Kadar Hemoglobin


Dengan Kapasitas Aerobik Maksimal Atlet Sepak Bola Adolesen. Jurnal
Sosioteknologi. 17 (2). 220-227.

Reiber, M. E. (2016). Effect of Carbohydrate Loading vs. Fasting on Blood


Glucose Levels in a 400 Meter Sprint Performance. Masters of Education
in Human Movement Sport and Leisure Studies Graduate Project.

Rismayanthi, Cerika. 2012. Persepsi Atlet Terhadap Macam, Fungsi Cairan, Dan
Kadar Hidrasi Tubuh Di Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga Universitas
Negeri Yogyakarta. Medikora. 9 (1). 1-14.

30
ROBERT NOWAK, et al. (2015). Does aerobic exercise have a beneficial effect
on plasma lipid profile in young soccer players? Trends in Sport Sciences.

Siswanto, Heri. 2010. Fisiologi Olahraga. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan


Universitas Negeri Semarang.

Snežana Barjaktarović-Labović, et al. (2015). LIPID STATUS OF


PROFESSIONAL ATHLETES. MD-Medical Data.

Thomas, et al. (2016, October 10). Blood Glucose Levels of Subelite Athletes
During 6 Days of Free Living. Journal of Diabetes Science and
Technology.

Yates, A., et al. (2009, January 1). Evaluation of Lipid Profiles and the Use of
Omega-3 Essential Fatty Acid in Professional Football Players. SAGE
Journals.

31

Anda mungkin juga menyukai