0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
47 tayangan29 halaman

BPPV Rahmadani Alfitra Santri 22004101053

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 29

REFERAT

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK MADYA

Oleh:

RAHMADANI ALFITRA SANTRI

22004101053

Pembimbing:

dr. Fifien Pradina Duhitatrissari, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM ILMU TELINGA


HIDUNG TENGGOROK- KEPALA LEHER

UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG


RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR

2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayahnya, sholawat serta salam yang saya junjungkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga
dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Saya
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada Laboratorium Ilmu THT-
KL yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan referat ini
dapat terselesaikan.

Referat ini membahas terkait definisi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi


klinis, diagnosis, dan manajemen penatalaksanaan pada Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV) . Saya menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara
keseluruhan oleh karena itu saya dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan
yang membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan
pengembangan penyelesaian laporan selanjutnya. Demikian pengantar saya, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua amin

Sukadana, 09 Maret 2021

Penyusun

Rahmadani Alfitra Santri

2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 5
1.2. Rumusan Masalah 6
1.3. Tujuan 6
1.4. Manfaat 6
BAB II TINJAUN PUSTAKA
2.1. Telinga 7
2.1.1. Anatomi system vestibular 7
2.1.2. Fisiologi system vestibular 9
2.2. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) 12
2.2.1. Definisi BPPV 12
2.2.2. Etiologi BPPV 13
2.2.3. Epidemiologi BPPV 13
2.2.4. Klasifikasi BPPV 13
2.2.5. Patofisiologi BPPV 14
2.2.6. Manifestasi klinis BPPV 16
2.2.7. Diagnosa BPPV 17
2.2.8. Diagnosa banding BPPV 22
2.2.9. Penatalaksanaan BPPV 23
2.2.10. Prognosis BPPV 27
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 28
DAFTAR PUSTAKA 29

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur anatomi telinga 7
Gambar 2.2 Struktur telinga dalam 8
Gambar 2.3 Labirin tulang dan Membran 10
Gambar 2.4 Kanaitiasis kanal posterior dan kupolitiasis kanal horizontal 15
Gambar 2.5 Mekanisme otholit 16
Gambar 2.6 Dix-helpike test 19
Gambar 2.7 Tes supine roll 21
Gambar 2.8 Manuver epley 24
Gambar 2.9 Manuver semont 24
Gambar 2.10 Manuver Lampert 25
Gambar 2.11 Brandt-Daroff Exercise 26

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu penyebab paling umum dari vertigo adalah Benign paroxysmal
positional vertigo (BPPV). BPPV diketahui adalah gangguan yang paling umum terjadi
dari system vestibular telinga bagian dalam yang berfungsi untuk menjaga
keseimbangan. BPPV bersifat jinak,yang berarti tidak mengancam jiwa penderita
(Hain & Timothy C, 2009). Indonesia angka kejadian vertigo terkait migrain sebanyak
0,89% dan benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) sebanyak 1,6%. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh (Bittar et al 2011), di Jerman dalam jangka waktu satu
tahun diperkirakan sebanyak 1,1 juta orang dewasa menderita BPPV

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu penyakit


kelainan perifer dan menjadi penyebab utama dari vertigo. Vertigo jenis ini paling
sering didapati, dimana vertigo dicetuskan oleh keadaan perubahan posisi kepala.
Vertigo berlangsung beberapa detik saja dan paling lama satu menit kemudian reda
kembali. Penyebabnya biasanya tidak diketahui namun sekitar 50% diduga karena
proses degenerasi yang mengakibatkan adanya deposit batu di kanalis semisirkularis
posterior sehingga bejana menjadi hipersensitif terhadap perubahan gravitasi yang
menyertai keadaan posisi kepala. Penderita benign paroxysmal positional vertigo
(BPPV) paling sering dijumpai pada usia 60 sampai 75 tahun dan wanita lebih sering
daripada pria(Hain & Timothy C, 2009).\

Secara umum penatalaksanaan BPPV untuk meningkatkan kualitas hidup


serta mengurangi resiko jatuh yang dapat terjadi oleh pasien. Penatalaksanaan BPPV
secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan non-farmakologi
yang termasuk berbagai manuver didalamnya dan penatalaksanaan farmakologi.
Penatalaksanaan dengan menuver secara baik dan benar menurut beberapa penelitian
dapat mengurangi angka morbiditas.

5
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi system vestibular ?
2. Bagaimana definisi, etiologi, patofisiologi BPPV ?
3. Bagaimana penegakan diagnosa BPPV ?
4. Bagaimana tatalaksana BPPV ?
1.3. Tujuan
1. Memahami anatomi dan fisiologi system vestibular
2. Memahami definisi, etiologi, patofisiologi BPPV
3. Memahami penegakan diagnosa BPPV
4. Memahami tatalaksana BPPV
1.4. Manfaat
Menambah wawasan keilmuan bagi tenaga kesehatan mengenai Benign
Positional Paroxysmal Vertigo (BPPV), mempermudah pemahaman pembaca
khususnya penulis mengenai BPPV.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telinga
2.1.1. Anatomi Sistem Vestibular

Telinga merupakan salah satu panca indra yang berfungsi sebagai alat
pendengaran dan keseimbangan yang letaknya berada di lateral kepal. Masing-
masing teliga terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam.

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Telinga

Sistem vestibular, yang merupakan sistem keseimbangan, terdiri dari lima


organ yang berbeda yaitu tiga saluran setengah lingkaran yang sensitif terhadap
percepatan sudut (rotasi kepala) dan dua organ otolith yang sensitif terhadap linier
percepatan. Vestibulum memonitor pergerakan dan posisi kepala dengan mendeteksi
akselerasi linier dan angular. Bagian vestibular dari labirin terdiri dari tiga kanal
semisirkular, yakni kanal anterior, kanal posterior, dan kanal horizontal. Setiap kanal
semisirkular terisi oleh endolimfe dan pada bagian dasarnya terdapat
penggelembungan yang disebut ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, suatu
masa gelatin yang memiliki densitas yang sama dengan endolimfe, dan melekat pada
sel rambut (Bashiruddin et al, 2007).

7
Gambar 2.2 Struktur Telinga Dalam

Saluran berbentuk semisirkularis diatur sebagai tiga set sensor


salingortogonal, yaitu setiap kanal pada sudut kanan ke 2 lain. Hal ini mirip dengan
cara 3 sisi kotak bertemu di setiap sudut dan berada di sudut kanan satu sama lain.
Setiap kanal sangat sensitif terhadap rotasi yang terletak pada bidang kanal. Hasil dari
pengaturan ini adalah bahwa 3 kanal ini dapat menentukan arah dan amplitudo
dari setiap rotasi kepala. Kanal-kanal diatur dalam pasangan fungsional dimana kedua
anggota terletak pada planar yang sama. Setiap rotasi pada planar ini yang
merangsang gerakan pasangannya dan menghambat gerakan yang lainnya organ
otolith termasuk utricle dan saccule tersebut. Gerakan utricledi bidang horizontal
(misalnya; maju-mundurnya, gerakan kiri-kanan,kombinasi daripadanya). Saccule
bergerak di planar sagittal (misalnya,gerakan naik-turun).

Labirin terdiri dari dua struktur otolit, yaitu utrikulus dan sakulus yang
mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ reseptornya
adalah makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus kira-kira dibidang
kanalis semisirkularis horizontal. Makulus sakulus terletak di dinding medial sakulus
dan terutama terketak di bidang vertikal. Pada setiap macula terdapat sel rambut yang

8
mengandung endapan kalsium yang disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus
diperkirakan sebagai sumber dari partikel kalsium yang menyebabkan BPPV
(Purnamasari, 2013).

Labirin ini berisi 2 cairan jelas berbeda: endolymph dan perilymph.

1. Endolimfa
Diantara cairan ekstraseluar tubuh, endolimfe memiliki kmposisi ionic yang unik.
Natrium kadar rendah, dan kalium kadar tinggi, yang menyebabkan endolimfe untuk
menyerupai cairan intraseluler daripada cairan ekstraseluler. Endolimfe diyakini di
produksi oleh sel – sel gelap dari krista dan macule, yang dipisahkan oleh zona
transisi dari neuroepithelium tersebut. Situs penyerapan endolimfe diduga kantong
endolimfe, yang terhubung ke utricle dan saccule melalui saluran endolymphatic,
utricular, dan saccular. Eksperimental penyumbatan pada duktus endolymphatic
menghasilkan hidrops endolymphatic, lebih lanjut menunjukkan bahwa kantung
endolymphatic adalah situs utama dari penyerapan.
2. Perilimfe
Komposisi ionik perilimfe mirip dengan cairan ekstraselular dan
cairan cerebrospinal (CSF). Situs produksi perilimfe adalah kontroversial
mungkin menjadi ultrafiltrate darah, CSF, atau keduanya.

2.1.2. Fisiologi Sistem Vestibular

Fungsi keseimbangan diatur oleh beberapa organ penting di tubuh yang input
sensoriknya akan diolah di susunan saraf pusat (SSP). Fungsi ini diperantarai
beberapa reseptor, yaitu:

a. Reseptor vestibular
b. Reseptor visual
c. Reseptor somatik

Reseptor vestibular sebagai pengatur keseimbangan diatur oleh organ aparatus


vestibularis (labirin) yang berada di telinga dalam. Labirin ini terlindung oleh tulang

9
yang paling keras. Labirin terbagi menjadi 2 bagian, yaitu labirin tulang dan labirin
membran. Di antara labirin tulang dan labirin membran ini terdapat suatu cairan yang
disebut perilimfa sedangkan di dalam labirin membran terdapat cairan yang disebut
endolimfa.

Labirin berfungsi untuk menjaga keseimbangan, mendeteksi perubahan


posisi, dan gerakan kepala. Di dalam aparatus vestibularis selain mengandung
endolimfa dan perilimfa juga mengandung sel rambut yang dapat mengalami
depolarisasi dan hiperpolarisasi tergantung arah gerakan cairan (Sherwood, 2011).
Labirin terdiri dari :

a. Labirin kinetik: Tiga kanalis semisirkularis


b. Labirin statis: Organ otolit (sakulus dan utrikulus) yang terdapat sel-sel
reseptor keseimbangan pada tiap pelebarannya.

Gambar 2.3 Labirin Tulang Dan Membrane

1. Kanalis semisirkularis
Kanalis semisirkularis berorientasi pada tiga bidang dalam ruang. Pada
tiap ujungnya melebar dan berhubungan dengan urtikulus, yang disebut
ampula. Di dalam ampula terdapat reseptor krista ampularis yang terdiri dari
sel-sel rambut sebagai reseptor keseimbangan dan sel sustentakularis yang

10
dilapisi oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula sebagai penutup
ampula. Sel-sel rambut terbenam dalam kupula dan dasarnya membentuk sinap
dengan ujung terminal saraf afferen yang aksonnya membentuk nervus
vestibularis. Nervus vestibularis bersatu dengan nervus auditorius membentuk
nervus vestibulocochlear (Ganong, 2008).
Kanalis semisirkularis berfungsi untuk mendeteksi akselerasi atau
deselarasi rotasi kepala seperti ketika memulai atau berhenti berputar,
berjungkir, balik atau memutar kepala. Akselerasi dan deselarasi menyebabkan
sel rambut yang terbenam di dalam cairan endolimfa bergerak. Pada awal
pergerakan, endolimfa tertinggal dan kupula miring ke arah berlawanan dengan
gerakan kepala sehingga sel-sel rambut menekuk. Ketika stereosilia (rambut
dari sel-sel rambut) menekuk ke arah kinosilium (rambut dari sel-sel rambut),
maka terjadi depolarisasi yang memicu pelepasan neurotransmitter dari sel-sel
rambut menuju ke saraf afferent. Dan sebaliknya jika menekuk ke arah
berlawanan akan terjadi hiperpolarisasi. Ketika pergerakan perlahan berhenti,
sel-sel rambut akan kembali lurus dan kanalis semisirkularis mendeteksi
perubahan gerakan kepala (Sherwood, 2011).
2. Organ otolit
Organ otolit (makula atau otokonia) terdapat dalam labirin membran di
lantai utrikulus dan semivertikal di dinding sakulus. Makula juga mengandung
sel sustentakularis dan sel rambut. Bagian atasnya ditutupi oleh membran otolit
dan di dalamnya terbenam kristal-kristal kalsium karbonat (otolit-batu telinga).
Lapisan ini lebih berat dan insersi lebih besar dari cairan di sekitarnya. Serat-
serat saraf dari sel rambut bergabung dengan serat-serat dari krista di bagian
vestibuler dari nervus vestibulokoklearis (Ganong, 2008). Fungsi organ otolit
adalah memberikan informasi mengenai posisi kepala relatif terhadap gravitasi
dan juga mendeteksi perubahan dalam kecepatan gerakan linier (bergerak garis
lurus tanpa memandang arah) (Sherwood, 2011).
Utrikulus berfungsi pada pergerakan vertikal dan horizontal. Ketika
kepala miring ke arah selain vertikal, rambut akan menekuk sesuai kemiringan

11
karena gaya gravitasi dan akan mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi
sesuai kemiringannya. Contoh pergerakan horizontal adalah saat berjalan. Pada
posisi ini insersinya menjadi lebih besar dan menyebabkan membran otolit
tertinggal di belakang endolimfa dan sel rambut, sehingga menyebabkan
rambut tertekuk ke belakang. Jika pergerakan ini dilakukan secara konstan
maka lapisan gelatinosa akan kembali ke posisi semula (Sherwood, 2011).
Sakulus fungsinya hamper sama dengan utrikulus namun berespon
secara selektif terhadap kemiringan kepala menjauhi posisi horizontal,
misalnya: bangun dari tempat tidur, lompat atau naik eskalator (Sherwood,
2011).
Krista dan makula dipersarafi oleh nervus vestibularis yang badan
selnya terletak di ganglion vestibularis. Serat saraf kanalis semisirkularis
berada pada bagian superior dan medial nukleus vestibularis dan sebagian
mengatur pergerakan bola mata. Serat dari utrikulus dan sakulus berakhir di
nukleus descendens menuju ke serebelum dan formasio retikularis. Nervus
vestibularis juga menuju ke talamus dan korteks somatosensorik (Ganong,
2008).
2.2. BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
2.2.1. Definisi BPPV

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) didefinisikan sebagai


gangguan pada telinga dalam dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara
berulang-ulang dengan tipikal nistagmus paroksismal (Bittar et al,2011).

BPPV adalah gangguan vestibular yang sering terjadi dengan karakteristik


serangan vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering dipicu dengan perubahan
posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf
pusat. Benign Paroxysmal Positional Vertigo memiliki beberapa istilah atau sering
juga disebut dengn benign positional vertigo, vertigo paroksismal positional, benign
paroxysmal nistagmus, dan dapat disebut juga paroxysmal positional nystagmus
(Purnamasari, 2013).

12
2.2.2. Etiologi BPPV

Penyebab pasti dari BPPV belum banyak diketahui, kemungkinan penyebab


lainnya antara lain adalah trauma kepala atau perubahan hormonal. Sedangkan pada
usia lanjut, penyebab utamanya diketahui adanya degenerasi sistem vestibuler pada
telinga tengah, sehingga BPPV meningkat dengan semakin meningkatnya usia.
BPPV dapat pula terjadi setelah otitis media atau otitis media serosa dan setelah
tindakan stapedektomi (Silva C,2015). BPPV terjadi karena adanya perpindahan
kristal kalsium-karbonat atau otoconia di dalam kanal setengah lingkaran berisi
cairan di telinga bagian dalam (Palmeri & Kumar,2020).

2.2.3. Epidemiologi BPPV

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu


gangguan Neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Pada
populasi umum prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi
2,4%). Dari kunjungan 5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United State
dengan keluhan pusing didapatkan prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV
(Bittar et al,2011). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di RS Hasan Sadikin
Bandung periode 2009 – 2013 terdapat 74 orang yang menderita BPPV, 49
diantaranya adalah wanita (Nurimba et al, 2016).

2.2.4. Klasifikasi BPPV

Pada dasarnya terdapat dua subtipe dari BPPV yang dibedakan oleh kanalis
semisirkularis yang terlibat yaitu otocnia terpisah dan mengambang bebas dalam
kanal (kanalithiasis) atau yang melekat pada kupula (kupulolithiasis). Pada
kupulolithiasis, selama kepala berada pada posisi yang dipengaruhi oleh gaya
gravitasi, maka vertigo akan terus menetap (Lee NH, 2010).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo dapat disebabkan baik oleh kanalitiasis


ataupun kupulolitiasis dan secara teori dapat mengenai ketiga kanalis
semisirkularis (Parnes et al, 2003)

13
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang paling sering terjadi adalah tipe
kanal posterior, pada 85 - 90% kasus dari BPPV. Penyebab paling sering
terjadinya BPPV kanal posterior adalah kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris
endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior disebabkan
karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling
bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring.
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Lateral
BPPV tipe kanal lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan
BPPV tipe kanal posterior. Hal ini dikarenakan kanal posterior tergantung di
bagian inferior dan barrier kupulanya terdapat pada ujung yang lebih pendek dan
lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanal posterior akan terperangkap di
dalamnya. Sedangkan kanal lateral memiliki barier kupula yang terletak di ujung
atas. Karena itu, debris bebas yang terapung di kanal lateral akan cenderung
untuk mengapung kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan
kepala.
2.2.5. Patofisiologi BPPV

Sistem vestibular merupakan salah satu sistem keseimbangan gerakan dan


posisi kepala. Secara spesifik, organ otolith yang terdiri dari utricle dan saccule
mendeteksi percepatan linier dan gaya gravitasi, sedangkan kanal semisirkuler
mendeteksi percepatan rotasi. Hidrodinamika endolimf di dalam kanal berbentuk
setengah lingkaran, serta pengaruhnya terhadap cupula ampullary, memungkinkan
terjadinya sensasi gerakan sudut di masing-masing dari tiga bidang di mana kanal
diorientasikan. Gejala BPPV adalah akibat langsung dari pensinyalan kanal
semisirkular yang menyimpang yang menciptakan sensasi gerak ilusi (P.Instrum, R
& Parnes, L,2018)

14
Gambar 2.4 kanalitiasis kanal posterior dan kupulolitiasis kanal horizontal

a. Kupolitiasis
Bagian atas makula utrikulus terdapat partikel yang berisi kalsium
karbonat yang berasal dari fragmen otokonia. Oleh karena proses degenerasi dari
makula utrikulus, kalsium karbonat terlepas dan menempel di permukaan kupula
kanalis semisirkularis khususnya bagian posterior (karena letaknya di bawah
makulautrikulus). Hal ini menyebabkan daerah ini lebih berat dari cairan
endolimfa di sekitarnya sehingga menjadi lebih sensitif dengan sedikit perubahan
arah gravitasi. Salah satu gejala yang timbul yaitu nistagmus kurang dari satu
menit (Purnamasari, 2013).
b. Kanalitiasis
Menurut teori ini, partikel kalsium karbonat yang lepas tidak melekat
pada kupula tetapi mengambang di endolimfa kanalis semisirkularis. Dengan
adanya perubahan posisi kepala, parikel tersebut bergerak ke posisi paling
bawah. Pada saat ini, endolimfe bergerak menjauh dari ampula dan merangsang
nervus ampularis. Nistagmus bertahan lebih dari 1 menit (Purnamasari, 2013).
BPPV disebabkan ketika otolith yang terdiri dari kalsium
karbonat yang berasal dari makula pada utrikulus yang lepas dan bergerak dalam
lumen dari salah satu kanalis semisirkularis. Kalsium karbonat dua kali lebih
padat dibandingkan endolimfe, sehingga bergerak sebagai respon terhadap
gravitasi dan pergerakan akseleratif lain. Ketika kristal kalsium karbonat

15
bergerak dalam kanalis semisirkularis (kanalitiasis), sehingga menyebabkan
vertigo. Arah dari nistagmus ditentukan oleh ekstasi saraf ampula pada kanal
yang terkena olh sambungan langsung dengan otot ekstraokular. Setiap kanal
yang terkena kanalitiasis memiliki karakteristik nistagmus tersendiri.
Kanalitiasis mengacu pada partikel kalsium yang bergerak bebas dalam kanalis
semisirkularis (Purnamasari, 2013).

Gambar 2.5 Mekanisme Otholit


2.2.6. Manifestasi Klinis BPPV

Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke satu sisi
Pada waktu berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk. atau menegakkan kembali
badan, menunduk atau menengadah. Serangan berlangsung dalam waktu singkat,
biasanya kurang dari 10-30 detik. Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa
disertai rasa mual, kadang-kadang muntah. Setelah rasa berputar menghilang, pasien
bisa merasa melayang dan diikuti disekulibrium selama beberapa hari sampai
minggu. BPPV dapat muncul kembali (Perdossi, 2012).

Tabel 2. Perbedaan gejala vertigo vestibular dan non vestibular

16
2.2.7. Diagnosa BPPV
A. Pemeriksaan Fisik
Benign Paroxysmal Positrional Vertigo kanalis posterior dapat di
diagnosa ketika pasien mengeluhkan adanya riwayat dari vertigo yang
disebabkan oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi dan ketika
dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan nistagmus yang muncul saat
melakukan Dix-Hallpike Test. Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah:
Dix-Hallpike, dan tes kalori. Supine Roll Test dilakukan untuk pasien yang
memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV tetapi hasil tes Dix-Hallpike
negatif untuk memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.
a. Dix-Hallpike Test
Nistagmus yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan tes Dix-Hallpike
biasanya menunjukkan dua karakteristik penting. Pertama, terdapat
periode laten antara akhir dari masa percobaan dan saat terjadi serangan
dari nistagmus. Periode laten tersebut terjadi selama 5 sampai 20 detik,
tetapi dapat juga terjadi hingga 1 menit dalam kasus yang jarang terjadi.
Kedua, hal yang memperberat vertigo dan nistagmusnya sendiri
meningkat, dan hilang dalam periode waktu tertentu dalam 60 detik dari
waktu serangan nistagmus. Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksa
harus memberitahu pasien tentang gerakan-gerakan yang akan dilakukan
dan mengingatkan pasien bahwa pasien akan merasakan serangan vertigo
secara tiba-tiba, yang mungkin saja disertai dengan rasa mual, yang akan
hilang dalam 60 detik. Karena pasien akan diposisikan dalam posisi
supinasi dengan kepala dibawah badan, pasien harus diberitahu agar saat
berada dalam posisi supinasi, kepala pasien akan menggantung dengan
bantuan meja percobaan hingga 20 derajat. Pemeriksa sebaiknya
meyakinkan pasien bahwa pemeriksa dapat menjaga kepala pasien dan
memandu pasien mendapatkan pemeriksaan yang aman dan terjamin
tanpa pemeriksa kehilangan keseimbangan dirinya sendiri (Silva C,2015).
Cara melakukan pemeriksaan DixHallpike:

17
1. Pertama, jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan
vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.
2. Pasien didudukkan dekat bagian ujung tempat pemeriksa, sehingga ketika
posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30 – 40 derajat, pasien
diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
3. Kepala diputar melihat ke kanan 45 derajat. Ini akan menghasilkan
kemungkinan bagi otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang
berada di kanalis semi sirkularis posterior.
4. Tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala pasien, pasien direbahkan
secara cepat sampai kepala tergantung pada ujung meja pemeriksaan.
5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 40 detik. Penilaian respon pada monitor dilakukan
selama kirakira 1 menit atau sampai respon menghilang
6. Komponen cepat nistagmus seharusnya “up-bet” (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
7. Setelah pemeriksaan ini dilakukan, dapat langsung dilanjutkan dengan
Canalith Reposithoning Treatment (CRT). Bila tidak ditemukan respon
abnormal, pasien dapat didudukkan kembali secara perlahan. Nistagmus
bisa terlihat dalam arah yang berlawanan dan penderita mengeluhkan
kamar berputar ke arah berlawanan.
8. Berikutnya pemeriksaan diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45
derajat dan seterusnya.

18
Gambar 2.6 Dix-Hallpike Test

Interpretasinya adalah jika normal tidak timbul vertigo dan nistagmus


dengan mata terbuka. Abnormal timbulnya nistagmus posisional
yang pada BPPV mempunyai 4 ciri, yaitu ada masa laten, lamanya kurang
dari 30 detik, disertai vertigo yang lamanya sama dengan nistagmus,dan
adanya fatigue, yaitu nistagmus dan vertigo yang makin berkurang setiap
kali manuver diulang (Hain & Timothy C, 2009).

Pemeriksaan dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibatdengan


mencatat arah fase cepat nistagmus yang abnormal denganmata pasien
menatap lurus kedepan :

1. Fase cepat ke atas, berputar kekanan menunjukan bppv padakanalis


posterior kanan
2. Fase cepat ke atas, berputar kekiri menunjukan bppv padakanalis
posterior kiri
3. Fase cepat ke bawah, berputar kekanan menunjukan bppv padakanalis
anterior kanan

19
4. Fase cepat ke bawah, berputar kekiri menunjukan bppv padakanalis
anterior kanan
b. Tes Kalori
Tes kalori diajukan oleh Dix dan Hallpike. Pada pemeriksaan ini dipakai
air dingin dan air panas. Suhu air dingin adalah 30 C sedangkan suhu air
panas adalah 44 C. Volume air yang dimasukkan kedalam telinga salah
satunya terlebih dahulu sebanyak 250 ml air dingin , dalam 40 detik.
Kemudian pemeriksa memperhatikan saat nistagmus muncul dan berapa
lama kejadian nistagmus tersebut. Dilakukan hal yang sama pada telinga
yang lain. Setelah menggunakan air dingin, kemudian kita melakukan hal
yang sama pada kedua telinga menggunakan air panas. Pada tiap-tiap
selesai salah satu pemeriksaan, pasien diistirahatkan selama 5 menit
untuk menghilangkan rasa pusingnya (Purnamasari, 2013).
c. Tes Supine Roll
Tes ini diperuntukkan jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan
BPPV tetapi hasil tes Dix-Hallpike negatif untuk memeriksa ada atau
tidaknya BPPV kanal lateral atau bisa kita sebut juga BPPV kanal
horizontal. Pasien yang memiliki riwayat BPPV tetapi bukan termasuk
kriteria BPPV kanal posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanal lateral.
Pemeriksa harus menginformasikan pada pasien bahwa pada pemeriksaan
ini, pasien akan mengalami pusing berat selama beberapa saat. Saat
melakukan tes ini, pasien berada dalam posisi supinasi atau berbaring
telentang dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi kepala 90
derajat dengan cepat ke satu sisi dan pemeriksa mengamati mata pasien
untuk melihat ada tidaknya nistagmus. Setelah nistagmus mereda, kepala
kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Kemudiaan
dimiringkan kembali 90 derajat ke sisi yang berlawanan dan mata pasien
diamati untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus (Purnamasari, 2013).

20
Gambar 2.7 Tes Supine Roll 21
B. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus BPPV dapat diketahui melalui gejala klinis yang muncul dan
pemeriksaan yang dilakukan. Pada pemeriksan digunakan untuk lebih
menegakkan dan menyingkirkan kondisi yag idak termasuk dalam BPPV
(Bhattacharyya et al, 2008)
1. Radiografi
Gambaran yang didapatkan tidak terlalu berguna untuk diagnosa rutin
dari BPPV karena BPPV sendiri tidak memiliki karakteristik tertentu dalam
gambaran radiologi. Tetapi radiografi ini memiliki peran dalam proses
diagnosis jika gejala yang muncul tidak khas, hasil yang diharapkan dari
percobaan tidak sesuai, atau jika ada gejala tambahan disamping dari
kehadiran gejala-gejala BPPV, yang mungkin merupakan gabungan dari
central nervous system ataupun otological disorder.
2. Vestibular Testing
Electronystagmography memiliki kegunaan yang terbatas dalam
mendiagnosa BPPV kanalis, karena komponen torsional dari nistagmus
tidak bisa diketahui dengan menggunakan teknik biasa. Di sisi lain, dalam
mendiagnosa BPPV kanalis horizontal, nistagmus hadir saat dilakukan tes.
Tes vestibular ini mampu memperlihatkan gejala yang tidak normal, yang
berkaitan dengan BPPV, tetapi tidak spesifik contohnya vestibular
hypofunction (35% dari kasus BPPV) yang umumnya ditemukan pada
kasus trauma kapitis ataupun infeksi virus.

21
3. Audiometric Testing
Tes ini tidak digunakan untuk mendiagnosa BPPV, tapi dapat
memberikan informasi tambahan dimana diagnosa klinis untuk vertigo
masih belum jelas.
2.2.8. Diagnosa Banding BPPV
1. Vestibular Neuritis
Vestibular neuronitis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya
merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat
dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan.
Gejala-gejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari. Sebagian pasien
perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mengatasi gejala dan dehidrasi.
Serangan menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan selama beberapa bulan, serangan episodik dapat
berulang. Padafenomena ini biasanya tidak ada perubahan pendengaran.
2. Labirintitis
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan
mekanisme telinga dalam Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik
yang berbeda. Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau supuratif.
3. Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum
diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan
pendengaran, tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi pada wanita
dewasa

Tabel 2. Diagnosa banding gangguan neurologi

22
2.2.9. Penatalaksanaan BPPV
A. Non Farmakoterapi
Penatalaksanaan untuk BPPV didasari dengan kemampuan membuat
gerakan sendiri ataupun prosedur-prosedur dalam mereposisikan kanalis,
dengan tujuan mengembalikan partikel-partikel yang bergerak kembali ke
posisi semula yaitu pada makula utrikulus. Berikut akan dijelaskan
pergerakan-pergerakan yang dapat dilakukan, dan ditujukan untuk berbagai
jenis BPPV. Keberhasilan dari tatalaksana sendiri bergantung pada pemilihan
pergerakan yang tepat dalam mengatasi BPPV (Purnamasari, 2013).
Beberapa maneuver yang dapat dilakukan untuk reposisi BPPV
(Bhattacharyya et al, 2008):
a. Manuver Epley
Manuver ini merupakan yang paling sering digunakan pada kanal
vertikal. Penderita berada dalam posisi tegak kemudian kepala menoleh ke
sisi yang sakit. Kemudian penderita ditidurkan dengan posisi kepala
digantungkan, dan dipertahankan selama 1 - 2 menit. Berikutnya, kepala
ditolehkan 90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah
menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Kemudian beritahu
pasien untuk mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan duduk kembali
secara perlahan

23
Gambar 2.8 Manuver Epley
b. Manuver Semont

Gambar 2.9 Manuver Semont


Manuver ini diindikasikan untuk terapi dari kupulolitiasis kanalis
posterior. Jika kanal posterior yang terkena, maka penderita didudukkan
dalam posisi tegak, kemudian kepala penderita dimiringkan 45 derajat
berlawanan arah dengan bagian yang sakit dan secara cepat bergerak ke
posisi berbaring. Nistagmus dan vertigo dapat diperhatikan. Dan posisi ini
dipertahankan selama 1-3 menit. Setelah itu pasien pindah ke posisi
berbaring di sisi yang berlawanan tanpa berhenti saat posisi duduk

24
c. Manuver Lempert

Gambar 2.10 Manuver Lempert


Manuver ini biasa digunakan sebagai terapi dari BPPV kanalis
horizontal. Pada manuver ini penderita berguling 360 derajat, dimulai dari
posisi supinasi lalu menghadap 90 derajat berlawanan dari sisi yang sakit,
posisi kepala dipertahankan, kemudian membalikkan tubuh ke posisi
lateral dekubitus. Berikutnya, kepala penderita telah menghadap ke bawah
dan badan dibalikkan lagi ke arah ventral dekubitus. Kemudian kepala
penderita diputar 90 derajat, dan tubuh berada pada posisi lateral dekubitus.
Secara bertahap, tubuh penderita kembali lagi dalam posisi supinasi. Setiap
langkah dilakukan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari
partikelpartikel sebagai respon terhadap gravitasi
d. Brandt-Daroff Exercises
Brandt-Daroff Exercises ini dikembangkan untuk latihan dirumah,
sebagai terapi tambahan untuk pasien yang tetap simptomatik, bahkan
setelah melakukan manuver Epley ataupun Semont. Latihan-latihan ini
diindikasian satu minggu sebelum melakukan terapi manuver, agar
meningkatkan kemampuan toleransi diri pasien terhadap manuver. Latihan
ini juga membantu pasien menerapkan berbagai posisi sehingga dapat lebih
terbiasa.

25
Gambar 2.11 Brandt-Daroff Exercises

Perlu ditekankan bahwa BPPV adalah penyakit jinak. Intervensi operatif


harus disediakan untuk kasus yang sulit ditangani atau pasien dengan
kekambuhan parah dan sering yang secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup. Secara keseluruhan, kurang dari 1% kasus BPPV memerlukan
intervensi bedah, dan sebagian besar melibatkan BPPV kanal posterior.
Pilihan bedah utama adalah neurektomi tunggal dan oklusi kanal
semisirkularis posterior (P.Instrum, R & Parnes, L,2018).
B. Farmakoterapi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan:
1. Antihistamin (Dimenhidrinat, Difenhidramin, Meksilin, Siklisin)
a. Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Obat dapat diberi per
oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan
dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.

26
b. Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral.
c. Senyawa Betahistin (suatu analog histamin):
I. Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral.
II. Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari. Maksimum 6
tablet dibagi dalam beberapa dosis.
2. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya
ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari.

Konseling dan Edukasi

1. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam mencari


penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai penyebab.
2. Mendorong pasien untuk teratur melakukan latihan vestibular.

Kriteria Rujukan

1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk.


2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah diterapi
farmakologik dan non farmakologik.
2.2.10. Prognosis BPPV
Pasien perlu untuk diedukasi tentang BPPV. Satu dari tiga pasien
sembuh dalam jangka waktu 3 minggu, tetapi kebanyakan sembuh setelah 6
bulan dari serangan. Pasien harus diberitahu bahwa BPPV dapat dengan
mudah ditangani, dan memiliki prognosis yang umumnya baik, tetapi harus
diingatkan bahwa kekambuhan sering terjadi bahkan jika terapi manuvernya
berhasil. Pada terapi lainnya mungkin dibutuhkan untuk diakukan apabila
terjadi serangan yang berulang.

27
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan gangguan
vestibular dikarakteristikan dengan serangan vertigo yang disebabkan oleh perubahan
posisi kepala dan berhubungan dengan karakteristik nistagmus paroksimal. Untuk
mendiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis pasien
biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-30 detik akibat perubahan
posisi kepala. Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV antara lain tes Dix-Hallpike, tes
kalori, dan tes Supine Roll. Penatalaksanaan BPPV meliputi non-farmakologis,
farmakologis dan pembedahan namun tidak pada semua kasus. Penatalaksanaan BPPV
yang sering digunakan adalah non-farmakologis yaitu terapi manuver reposisi partikel
(PRM) dapat secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas
hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien. Tujuan dari manuver yang dilakukan
adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.

28
DATAR PUSTAKA

Bashiruddin, Jenny, dkk. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Buku Ajar


IlmuKesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher Edisi
Keenam.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 104-109
Bittar et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Diagnosis and Treatment.
International
Tinnitus Journal. 2011;16(2): 135-45

Bhattacharyya, Neil, et al. "Clinical practice guideline: benign paroxysmal


positional vertigo." Otolaryngology--head and neck surgery 139.5_suppl (2008): 47-
81
Hain, Timothy C. Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). Northwestern University Medical School. Chicago Illinois
and the VestibularDisorders Association. 2009. Hal 1-10
Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan Dokter
Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo, 2012)
Lee NH, Ban JH, Lee KC, Kim SM. Benign paroxysmal positionalvertigo
secondary to inner ear disease. Otolaryngol HeadNeck Surg. 2010 Sep;143(3):413-7
Nurimb N, Waya N. 2016 Angka kejadian dan karakteristik pasien serangan
pertama Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) di polisaraf RSUD Al-Ihsan
Bandung Periode 2016. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung. Prosiding
pendidikan dokter.
P., Instrum, R., & Parnes, L. (2018). Vertigo posisi paroksismal
benigna. Otolaringologi investigasi laringoskop , 4 (1), 116-
123. https://doi.org/10.1002/lio2.230
Palmeri R, Kumar A. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. [Diperbarui 2020 Jun
29]. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2021
Jan-. Tersedia dari: https://6l52yax5jhk6wjlls35y3lomi4-jj2cvlaia66be-www-ncbi-
nlm-nih-gov.translate.goog/books/NBK470308/
Parnes et al. Diagnosis and Management of Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV).
CMAJ. 2003;169 (7): 681-93.

Purnamasari Prida P, Diagnosis Dan Tata Laksana Benign


ParoxysmalPositional Vertigo (BPPV). FK Universitas Udayana, Denpasar
2013.Available at:[download.portalgaruda.org/article.php?article=82555&val=970]
Silva C, Amorim AM,Paiva A. Benign Paroxysmal Positional Vertigo- A
Review of 101 Cases. Acta Otorrinolaringol Esp.2015;66(4):205- 209

29

Anda mungkin juga menyukai