Kelompok 1 - Bell's Palsy
Kelompok 1 - Bell's Palsy
Kelompok 1 - Bell's Palsy
Dosen Pengampu:
Disusun oleh :
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan tidak henti-hentinya kepada Allah SWT, atas
rahmatNya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pengaruh
Penatalaksanaan Fisioterapi untuk Pasien Bell’s Palsy” guna memenuhi tugas pada mata
kuliah Dokumentasi Fisioterapi.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi. Selain itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada
banyak pihak yang sudah membimbing dalam menyelesaikan tugas ini.
Demikian yang bisa kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf, semoga
makalah ini bisa memberikan manfaat dan wawasan yang lebih kepada semua pihak
mengenai materi yang kami bahas. Kami berharap adanya kritik dan saran demi
penyempurnaan makalah ini.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia pada masa ini semakin terdepan dan berkualitas. Manusia
dituntut untuk bekerja keras agar mampu mengikuti pola percepatan dunia. Banyak
manusia yang abai akan masalah kesehatan ketika mereka dituntut untuk bekerja keras.
Dewasa ini banyak penyakit yang muncul akibat kelelahan saat bekerja. Kelelahan
tersebut juga dipengaruhi faktor lain seperti pola hidup yang tidak sehat dan jarangnya
olahraga. Akibatnya munculah penyakit dalam tubuh, salah satunya penyakit
kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah. Contoh penyakit tersebut adalah
bell’s palsy.
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut
(acute onset) pada sisi sebelah wajah (Almeida et al., 2014). Kelumpuhan saraf wajah
pada Bell’s palsy tidak diketahui dengan pasti penyebabnya hingga saat ini. Tetapi, kondisi ini
menyebabkan ketidakmampuan penderita menggerakkan separuh wajahnya secara sadar
(volunter) pada sisi yang sakit.
Insidensi kelainan ini mencapai 23 per 100.000 orang pertahun.Bell’s palsy dapat
mengenai pria dan wanita dengan perbandingan sama dari usia 10-40 tahun dan
mengenai waja sisi kanan dan kiri dengan kasus sama banyak. Adapun masalah yang d
itimbulkan oleh Bell’s palsy berdasar dari kutipan Pramono pada tahun 2017, yaitu kel
ain bentuk ekspresi wajah diantara bibir tidak asimetris, lalu pasien tidak dapat menutu
p mata secara penuh, pasien tidak dapat mengerutkan dahi, saat tersenyum mulut masi
h asimetris, itu semua di karenakan adanya lesi pada nervus fasialis. Lesi nervus
fasialis yang diderita oleh pasien bell’s palsy menjadi salah satu masalah yang dapat
ditangani oleh fisioterapis. Dalam melaksanakan tugas fisioterapi, seorang fisioterapis
memiliki tindakan fisioterapi untuk menyelesaikan masalah yang muncul akibat bell’s
palsy tersebut. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka penulis mengambil judul
“Pengaruh Penatalaksanaan Fisioterapi untuk Pasien Bell’s Palsy”
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusalah masalah berdasar latar belakang adalah bagaimana pengaruh
penatalaksanaan fisioterapi untuk pasien bell’s palsy.
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh penatalaksaan fisioterapi seperti, electrical stimulation,
mirror execise,dan massage terhadap pasien bell’s palsy.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui proses Fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy dan mengetahui prose
s ICF pada kasus Bell’s Palsy.
1.4 Manfaat
1. Informasi tambahan untuk institusi pendidikan terkait kasus fisioterapi pada bell’s
palsy.
2. Referensi tambahan untuk profesi fisioterapi terkait kasus fisioterapi pada bell’s
palsy.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Khusus
1. Definisi
Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang
anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012).
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut
(acute onset) pada sisi sebelah wajah (Almeida et al., 2014).
Kelumpuhan saraf wajah pada Bell’s palsy tidak diketahui dengan pasti
penyebabnya hingga saat ini. Kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan
penderita menggerakkan separuh wajahnya secara sadar (volunter) pada sisi
yang sakit. Walaupun Bell’s palsy bersifat bisa sembuh sendiri (self-limited),
penyakit ini bisa menyebabkan penyulit seperti kerusakan mata akibat kelopak
mata tidak bisa menutup. Beberapa gejala sisa dapat muncul pada penderita
akibat pengobatan yang tidak tepat. Terapi yang dilakukan selama ini adalah
untuk meningkatkan fungsi saraf wajah dan proses penyembuhan (Baugh et al.,
2013).
Otot-otot wajah terdapat di dalam fascia superfisialis wajah dan muncul dari
tulang pada wajah dan masuk pada kulit wajah. Lubang-lubang pada wajah
yaitu orbita, hidung dan mulut dilindungi oleh kelopak mata, cuping hidung dan
bibir.
Otot menutup dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris dan otot
dilatatornya adalah muskulus dilatator naris. Muskulus procerus digunakan
untuk mengerutkan hidung (Snell, 2012). Otot menutup dari mulut adalah
muskulus orbicularis okuli. Serat-seratnya mengelilingi lubang mulut dalam
bagian dari bibir. Serat-seratnya sebagian muncul dari garis tengah maxilla di
atas dan mandibula di bawah. Serat lain muncul dari bagian dalam kulit dan
menyilang pada membran mukosa membentuk garis dalam bibir. Banyak dari
serat berasal muskulus buccinator. Otot dilatator dari mulut terdiri dari banyak
serat otot yang bergabung dan fungsinya adalah memisahkan bibir. Gerakan ini
lalu diikuti pemisahan rahang bawah. Serat-serat otot dilatator mulut ini muncul
dari tulang dan fascia di sekitar mulut dan bersatu untuk membentuk bibir.
Nervus facialis melayani rasa kecap pada 2/3 bagian anterior dari lidah
melalui chorda tympani. Rasa kecap ini kemudian dikirim ke pars superior dari
nucleus solitarius. Rasa umum dari 2/3 anterior dari lidah dilayani oleh serat-
serat aferen dari nervus V3. Rasa umum dan rasa kecap ini serat-seratnya
keduanya dibawa oleh nervus lingualis sebelum chorda tympani meninggalkan
nervus lingualis untuk memasuki cavum tympani melalui fissura
petrotympanicum (Monkhouse, 2006).
3. Epidemiologi
Insidensi kelainan ini mencapai 23 per 100.000 orang pertahun.Bell’s palsy
dapat mengenai pria dan wanita dengan perbandingan sama dari usia 10-40
tahun dan mengenai waja sisi kanan dan kiri dengan kasus sama banyak.
4. Etiologi
Djamil dan Basjiruddin (Dalam Harsono, 2009) mengemukakan bahwa
umumnya Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Idiopatik
Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy
antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat
terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes
mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic
b. Kongenital
1) Anomali kongenital (sindroma moebius)
2) Pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)
c. Didapat
1) Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
2) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
3) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
4) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
5) Sindroma paralisis n. fasialis familial
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori
yang dihubungkan dengan etiologi yaitu:
a. Teori Iskemik Vaskuler
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis
b. Teori Infeksi Virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes
Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV
(khususnya tipe 1).
c. Teori Herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk
terjadi paresis fasialis.
d. Teori Imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi
(Annsilva, 2010).
5. Patologi
Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan saraf
facialis melalui bagian os temporalis disebut sebagai facial canal. Suatu teori
menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi saraf facialis di dalam
kanal tulang tersebut. Kompresi ini telah nampak dalam MRI dengan fokus
saraf facialis (Seok, 2008).
Bagian pertama dari canalis facialis segmen labyrinthine adalah yang paling
sempit, foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66
mm. Yang bertempat dan diduga paling sering terjadi kompresi saraf facialis
pada Bell’s palsy. Karena sempitnya canalis facialis, keadaan ini nampaknya
wajar apabila inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi mungkin
mengganggu konduksi neural pada tempat ini (NINDS, 2014).
Lokasi kerusakan saraf facialis diduga dekat atau di ganglion geniculatum.
Jika lesi proksimal dari ganglion geniculatum, kelemahan motorik diikuti
dengan abnormalitas pengecapan dan autonom. Lesi antara ganglion
geniculatum dan chorda tympani menyebabkan efek sama, namun tanpa
gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus, ini
mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah (NINDS, 2014).
7. Komplikasi
Bell’s palsy dapat berkembang hingga mengakibatkan komplikasi jangka
panjang. Misalnya, ketika serabut saraf telah rusak, mereka mungkin akan
beregenerasi secara menyimpang dengan menghubungkan saluran kelenjar
lakrimal daripada kelenjar ludah. Hal ini dapat menyebabkan lakrimasi
(kelebihan produksi air mata) saat makan, atau "crocodile tears" [6]. Demikian
pula, regenerasi neuron motorik dapat mempersarafi otot yang tidak tepat, yang
akan menyebabkan gerakan abnormal atau synkinesis pada wajah [6]. Kepuasan
pasien jangka panjang dan kualitas hidup dapat dipantau menggunakan Facial
Clinimetric Evaluation Scale (FaCE) dalam hubungannya dengan skala House-
Brackmann dalam kasus ini [87].
Baru-baru ini, Chiu et al. melaporkan bahwa Bell’s palsy dapat meningkatkan
risiko stroke non-hemoragik [88]. Dalam studi kohort berbasis populasi dari
7.506 pasien Bell’s palsy dan 2.2158 pasien non-BP yang diikuti selama 2
tahun, mereka menemukan bahwa pasien Bell’s palsy berada pada peningkatan
risiko (4%) terkena stroke dibandingkan dengan populasi umum (1,6%) setelah
disesuaikan dengan komorbiditas [88]. Temuan mereka sebagian dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa penelitian sebelumnya telah menunjukkan
peningkatan risiko stroke pada pasien dengan HSV-1 dan HZV [89]. Patogen ini
telah diduga menyebabkan peradangan serta aterosklerosis dan vaskulopati di
pembuluh darah otak [90,91].
8. Prognosis
Tingkat keparahan gejala Bell’s palsy bervariasi dari kelemahan ringan
hingga kelumpuhan parah, tetapi prognosisnya secara umum baik. The
Copenhagen Facial Nerve Study menemukan bahwa sekitar 71% pasien fungsi
normalnya kembali pulih tanpa pengobatan. Sekitar 13% mengalami kelemahan
ringan dan sekitar 4% mengalami kelemahan parah yang mengakibatkan
disfungsi wajah mayor. 17% ditemukan kontraktur otot wajah di sisi yang
terkena dan 16% ditemukan gerakan asosiasi [6]. Sistem penilaian seperti skala
House-Brackmann yang digunakan dalam uji coba terkontrol secara acak dan
tinjauan secara sistematis dapat membantu untuk memantau perkembangan [7].
Meskipun penelitian ini kurang kuat untuk mendeteksi perbedaan yang
signifikan dalam pemulihan antar pasien dengan derajat keparahan yang
berbeda, dalam uji coba secara acak ditemukan pasien yang memiliki tingkat
keparahan Bell’s palsy sedang memiliki tingkat pemulihan yang signifikan saat
dibandingkan dengan pasien yang mengalami Bell’s palsy parah. Pemulihan
90% pada mereka yang terkena dampak sedang dan 78% pada mereka yang
terkena dampak parah [8]. Frekuensi pemeriksaan tergantung pada masing-
masing pasien dan tingkat keparahan gejala mereka. Jika tidak ada perbaikan
setelah sebulan pasien harus dirujuk. Rujukan juga diindikasikan jika hanya ada
pemulihan sebagian setelah 6–9 bulan. Palsy berulang pada 7% pasien, dengan
kejadian kekambuhan ipsilateral dan kontralateral yang sama. Tidak ada cukup
data tentang apakah pengobatan mempengaruhi tingkat kekambuhan.
9. Diagnosis Banding
Banyak kondisi yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah terisolasi
yang identik dengan Bell’s palsy. Lesi struktural di telinga atau kelenjar parotis
(misalnya, kolesteatoma, tumor saliva) dapat menyebabkan kompresi dan
kelumpuhan saraf wajah. Penyebab lain kelumpuhan saraf tepi termasuk
sindrom Guillain-Barré, penyakit Lyme, otitis media, sindrom Ramsay Hunt
(wabah herpes zoster pada distribusi saraf wajah), sarkoidosis, dan beberapa
vaksin influenza. Meskipun kondisi ini dapat muncul sebagai kelumpuhan saraf
wajah yang terisolasi, mereka biasanya memiliki ciri tambahan yang
membedakannya dari Bell’s palsy.
Pasien dengan penyakit Lyme sering memiliki riwayat paparan kutu, ruam,
atau artralgia. Kelumpuhan saraf wajah akibat otitis media akut dan kronis
memiliki serangan yang lebih bertahap, disertai nyeri telinga dan demam.
Pasien dengan sindrom Ramsay Hunt memiliki gejala nyeri prodrom dan sering
mengalami erupsi vesikuler di saluran telinga dan faring, meskipun kasus tanpa
erupsi vesikuler (yaitu, zoster sine herpete) telah dilaporkan. Pada polineuropati
(misalnya, sindrom Guillain-Barré, sarkoidosis) akan lebih sering memengaruhi
kedua saraf wajah. Sedangkan tumor akan muncul dengan serangan gejala yang
lebih berbahaya selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Lesi sistem saraf pusat (misalnya, Multiple sclerosis, stroke, tumor) juga
dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah. Akan tetapi, beberapa neuron
motorik ke dahi bersilangan dengan batang otak, sehingga serabut di saraf
wajah yang menuju ke dahi berasal dari kedua belahan otak. Lesi supranuklear
(sentral) yang mengenai saraf wajah tidak akan melumpuhkan dahi di sisi yang
terkena, sehingga menyebabkan kelumpuhan wajah unilateral dengan dahi tidak
terlalu lebar. Seringkali, akan ada setidaknya beberapa kelemahan ekstremitas
di sisi yang terkena juga [6-8].
Vaksin influenza di masa lalu telah dikaitkan dengan neuropati perifer.
Meskipun vaksin influenza yang saat ini tersedia di Amerika Serikat belum
dikaitkan dengan Bell’s palsy [9-11], vaksin intranasal di Swiss yang baru-baru
ini dikembangkan dan ditemukan memiliki risiko yang sangat tinggi untuk
kelumpuhan saraf wajah pasca-vaksin dan telah ditarik dari penggunaannya
[12]. Karena vaksin influenza berubah setiap tahun, pejabat kesehatan
masyarakat harus diberi tahu jika ada kasus Bell’s palsy yang terjadi dalam 6
minggu setelah pemberian vaksin.
Presentasi Keterangan
0% Asimetris komplit, tidak ada gerakan
volunteer
30% Simetris ringan, kesembuhan
cenderung asimetris, ada gerakan
volunteer
70% Simetris sedang, kesembuhan
cenderung normal
100% Simetris komplit
Tabel 1. Kriteria penilaian Skala Ugo Fisch (Trisnowiyanto, 2012)
b. Mirror Exercise
Mirror exercise merupakan latihan yang menggunakan cermin agar
dapat memberikan ”biofeedback” yang dilakukan dengan tenang agar pasien
bisa lebih berkonsentrasi dalam melakukan latihan gerakan pada wajah.
Pemberian Mirror Exercise yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
otot wajah dan melatih kembali gerakan fungsional otot-otot wajah (Raj,
2006).
Mirror exercise ini berfokus pada menggerakkan anggota tubuh yang
tidak rusak. Hal ini adalah bentuk citra dengan cermin yang digunakan
untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui pengamatan bagian
tubuh yang tidak terpengaruh saat individu melakukan serangkaian gerakan.
(Pandeiroth, 2014).
Gambar 1. Contoh Latihan Mirror Exercise (Jhun myung lee, 2014)
c. Electrical Stimulation
Electrical stimulation merupakan intervensi fisioterapi yang
bertujuan untuk memberikan stimulasi pada otot yang titik rangsangnya
terletak pada kulit dan untuk meningkatkan kerja otot baik yang letaknya
diluar maupun bagian dalam. Selain itu electrical stimulation akan
menimbulkan efek teraputik berupa fasilitasi kontraksi otot, melatih kerja
otot, dan melatih kerja otot baru (Singh, 2005).
Pemberian electrical stimulation bertujuan untuk menstimulasi dan
menimbulkan kontraksi otot wajah sehingga mampu memfasilitasi gerakan
dan meningkatkan kekuatan otot wajah, dilakukan dengan memberikan Arus
Faradik. Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak simetris
yang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/detik
(Sudjatno, dkk, 2002).
d. Massage
Massage merupakan stimulasi pada jaringan lunak untuk
meningkatkan fleksibilitas, merangsang reseptor sensoris jaringan pada kulit
sehingga memberikan efek rileksasi, dan mengurangi spasme pada wajah.
Selain itu, pemberian massage secara halus (gentle) pada wajah dapat
mengurangi rasa kaku atau rasa tebal pada wajah yang terkena lesi, juga
meningkatkan proses metabolisme sehingga sifat fisiologi otot terpelihara
serta untuk rileksasi otot-otot wajah (Prentice, 2012).
Teknik - teknik massage yang biasa diberikan pada otot-otot wajah
adalah stroking, euffleurrage, finger kneading, dan tapotement (Tappan,
1988). Massage diaplikasikan selama 10 menit pada kedua sisi wajah dan
leher. Urutan massage wajah yaitu, termasuk 30 detik gerakan stroking
secara bersamaan dikedua sisi wajah dan leher, 2 menit massage melingkar
(efflurage) menggunakan tiga jari tengah gerakan dari pusat ke arah luar
wajah. Jempol bergerak di bagian dalam pipi yang terkena dari wajah
dengan tiga jari untuk menarik ke arah mulut (finger kneeding) 2 menit.
Tekanan dalam toleransi pasien digunakan untuk membersihkan titik
pemicu apapun yang ditemukan. Efflurage diterapkan selama 2 menit diikuti
dengan memijat, mengambil dan meremas untuk meningkatkan sirkulasi,
mengurangi kontribusi involunter dan
mobilisasi otot selama 2 menit. Gerakan terakhir dengan teknik tapotement
tepukan ringan untuk mendistribusikan secara merata eritema selama 1
menit. 30 detik terakhir dilakukan efflurage lagi (Alakram & Puckree,
2011).
Gambar 1. Proses massage wajah (Jeongsoon Lee, 2015)
DAFTAR PUSTAKA
Somasundara D. et al. Management of Bell’s palsy. Aust Prescr. 2017 Jun; 40(3): 94–97.
doi : 10.18773/austprescr.2017.030
JEFFREY DT, MD and NANDINI K, MD. Bell’s palsy: Diagnosis and Management. Am
Fam Physician 2007;76:997-1002, 1004. Copyright © 2007 American Academy
of Family Physicians. https://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.html
Abidin, Z., ., K., & Haryanto, D. (2017). Pengaruh infra red, massage dan mirror
exercise pada bell's palsy. Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(2), 18–25. doi :
https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i2.56
Amanati, S., Purnomo, D., & Abidin, Z. (2017). Pengaruh Infra Red dan Elektrical
Stimulation serta Massage terhadap Kasus Bell’s Palsy Dekstra. Jurnal
Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(1), 9–15.
doi :https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i1.5
Dwi Puspaningtyas, R. (2015, August 10). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bell's
Palsy Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/36613.