Kelompok 1 - Bell's Palsy

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

DOKUMENTASI FISIOTERAPI

PAPPER ILMIAH NARATIVE

Dosen Pengampu:

Dwi Agustina, SKM, MPH

Disusun oleh :

1. Ammellya putri hanindra halim (P3.73.26.1.19.001)


2. Anisa Rahmawati Nurjanah (P3.73.26.1.19.005)
3. Annas Diah Lisaninda (P3.73.26.1.19.006)
4. Baskoro Teguh Mujianto (P3.73.26.1.19.009)
5. Laellatul Ummami (P3.73.26.1.19.026)
6. Navita sekarsari dewi (P3.73.26.1.19. 033)
7. Sulistyanti Winda Yanznur (P3.73.26.1.19.042)

PROGRAM STUDI DIV FISIOTERAPI

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan tidak henti-hentinya kepada Allah SWT, atas
rahmatNya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pengaruh
Penatalaksanaan Fisioterapi untuk Pasien Bell’s Palsy” guna memenuhi tugas pada mata
kuliah Dokumentasi Fisioterapi.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi. Selain itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada
banyak pihak yang sudah membimbing dalam menyelesaikan tugas ini.
Demikian yang bisa kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf, semoga
makalah ini bisa memberikan manfaat dan wawasan yang lebih kepada semua pihak
mengenai materi yang kami bahas. Kami berharap adanya kritik dan saran demi
penyempurnaan makalah ini.

Bekasi, 24 Mei 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia pada masa ini semakin terdepan dan berkualitas. Manusia
dituntut untuk bekerja keras agar mampu mengikuti pola percepatan dunia. Banyak
manusia yang abai akan masalah kesehatan ketika mereka dituntut untuk bekerja keras.
Dewasa ini banyak penyakit yang muncul akibat kelelahan saat bekerja. Kelelahan
tersebut juga dipengaruhi faktor lain seperti pola hidup yang tidak sehat dan jarangnya
olahraga. Akibatnya munculah penyakit dalam tubuh, salah satunya penyakit
kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah. Contoh penyakit tersebut adalah
bell’s palsy.
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut
(acute onset) pada sisi sebelah wajah (Almeida et al., 2014). Kelumpuhan saraf wajah
pada Bell’s palsy tidak diketahui dengan pasti penyebabnya hingga saat ini. Tetapi, kondisi ini
menyebabkan ketidakmampuan penderita menggerakkan separuh wajahnya secara sadar
(volunter) pada sisi yang sakit.
Insidensi kelainan ini mencapai 23 per 100.000 orang pertahun.Bell’s palsy dapat
mengenai pria dan wanita dengan perbandingan sama dari usia 10-40 tahun dan
mengenai waja sisi kanan dan kiri dengan kasus sama banyak. Adapun masalah yang d
itimbulkan oleh Bell’s palsy berdasar dari kutipan Pramono pada tahun 2017, yaitu kel
ain bentuk ekspresi wajah diantara bibir tidak asimetris, lalu pasien tidak dapat menutu
p mata secara penuh, pasien tidak dapat mengerutkan dahi, saat tersenyum mulut masi
h asimetris, itu semua di karenakan adanya lesi pada nervus fasialis. Lesi nervus
fasialis yang diderita oleh pasien bell’s palsy menjadi salah satu masalah yang dapat
ditangani oleh fisioterapis. Dalam melaksanakan tugas fisioterapi, seorang fisioterapis
memiliki tindakan fisioterapi untuk menyelesaikan masalah yang muncul akibat bell’s
palsy tersebut. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka penulis mengambil judul
“Pengaruh Penatalaksanaan Fisioterapi untuk Pasien Bell’s Palsy”
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusalah masalah berdasar latar belakang adalah bagaimana pengaruh
penatalaksanaan fisioterapi untuk pasien bell’s palsy.

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh penatalaksaan fisioterapi seperti, electrical stimulation,
mirror execise,dan massage terhadap pasien bell’s palsy.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui proses Fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy dan mengetahui prose
s ICF pada kasus Bell’s Palsy.
1.4 Manfaat
1. Informasi tambahan untuk institusi pendidikan terkait kasus fisioterapi pada bell’s
palsy.
2. Referensi tambahan untuk profesi fisioterapi terkait kasus fisioterapi pada bell’s
palsy.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Khusus
1. Definisi

Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang
anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012).
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut
(acute onset) pada sisi sebelah wajah (Almeida et al., 2014).
Kelumpuhan saraf wajah pada Bell’s palsy tidak diketahui dengan pasti
penyebabnya hingga saat ini. Kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan
penderita menggerakkan separuh wajahnya secara sadar (volunter) pada sisi
yang sakit. Walaupun Bell’s palsy bersifat bisa sembuh sendiri (self-limited),
penyakit ini bisa menyebabkan penyulit seperti kerusakan mata akibat kelopak
mata tidak bisa menutup. Beberapa gejala sisa dapat muncul pada penderita
akibat pengobatan yang tidak tepat. Terapi yang dilakukan selama ini adalah
untuk meningkatkan fungsi saraf wajah dan proses penyembuhan (Baugh et al.,
2013).

2. Anatomi dan Fisiologi


Saraf Fasialis dan Perjalanannya Saraf fasialis memiliki nukleus yang
terletak di dalam medulla oblongata. Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik
yang melayani otot-otot mimik dan akar sensorik khusus (nervus intermedius).
Saraf ini muncul di permukaan anterior antara pons dan medulla oblongata
(angulus pontocerebelaris). Akar sarafnya berjalan bersama nervus vestibulo-
cochlearis dan masuk ke meatus akustikus internus pada pars petrosa dari tulang
temporal (Snell, 2012). Saraf terletak di antara alat keseimbangan dan
pendengaran yaitu cochlea dan vestibulum saat berjalan dari meakus akustikus
internus menuju ventrolateral.
Saraf memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah
dorsolateral. Saraf menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk
sudut di atas promontorium yang disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian
berjalan turun pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os temporal
melalui foramen stylomastoideus. Saraf tetap berjalan menembus glandula
parotis untuk memberi persarafan pada otot-otot mimik (Snell, 2012).
Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:
a. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini
memiliki cabang preganglionik parasimpatetik yang memberi sinaps pada
ganglion pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan
sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan
palatum. Saraf ini juga mengandung serat afferen yang didapat dari taste
bud dari mukosa palatum.
b. Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga
tengah.
c. Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum
timpani. Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian
atas membran timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura
petrotimpanikus dan memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan
nervus lingualis. Korda timpani memiliki serat preganglionik parasimpatetik
berupa serat sekremotorik yang memberi persarafan pada kelenjar liur
submandibular dan sublingual. Korda timpani juga memiliki serat saraf taste
bud dari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut.
d. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan otot aurikel dan muskulus
temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah saraf
keluar dari foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan pada
muskulus stylohyoid dan muskulus digastricus posterior.
e. Lima cabang terminal untuk otototot mimik. Cabang-cabang itu adalah
cabang temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular dan
cabang cervical (Snell, 2012). Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur
parotis setelah meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan
cabang terminal di batas anterior kelenjar parotis.

Cabang-cabang ini menuju otot-otot mimik di wajah dan regio scalp.


Cabang buccal untuk muskulus buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus
platysma dan muskulus depressor anguli oris. Nervus fasialis dengan semua
perjalanannya ini mengontrol mimik wajah (facial expression), salivasi dan
lakrimasi serta digunakan untuk sensasi rasa dari anterior lidah, dasar mulut dan
palatum (Snell, 2012).

Otot-otot wajah terdapat di dalam fascia superfisialis wajah dan muncul dari
tulang pada wajah dan masuk pada kulit wajah. Lubang-lubang pada wajah
yaitu orbita, hidung dan mulut dilindungi oleh kelopak mata, cuping hidung dan
bibir.

Fungsi otot-otot wajah adalah untuk menutup (sphincter) dan membuka


(dilatator) struktur-struktur ini. Fungsi kedua otot-otot mimik adalah membuat
ekspresi wajah. Semua otot ini mendapat suplai darah dari arteri fasialis (Snell,
2012). Otot sphincter dari kelopak mata adalah muskulus orbikularis okuli dan
otot dilatatornya adalah muskulus levator palpebra superioris dan muskulus
occipitofrontalis. Muskulus occipitofrontalis membentuk bagian dari scalp.
Muskulus corrugator supercilii adalah untuk mengkerutkan dahi (Snell, 2012).

Otot menutup dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris dan otot
dilatatornya adalah muskulus dilatator naris. Muskulus procerus digunakan
untuk mengerutkan hidung (Snell, 2012). Otot menutup dari mulut adalah
muskulus orbicularis okuli. Serat-seratnya mengelilingi lubang mulut dalam
bagian dari bibir. Serat-seratnya sebagian muncul dari garis tengah maxilla di
atas dan mandibula di bawah. Serat lain muncul dari bagian dalam kulit dan
menyilang pada membran mukosa membentuk garis dalam bibir. Banyak dari
serat berasal muskulus buccinator. Otot dilatator dari mulut terdiri dari banyak
serat otot yang bergabung dan fungsinya adalah memisahkan bibir. Gerakan ini
lalu diikuti pemisahan rahang bawah. Serat-serat otot dilatator mulut ini muncul
dari tulang dan fascia di sekitar mulut dan bersatu untuk membentuk bibir.

Fungsi utama dari nervus facialis adalah mengontrol otot-otot mimik di


wajah. Selain itu juga memberikan innervasi untuk bagian posterior dari
musculus digastricus, stylohyoideus, dan musculus stapedius. Semua otot ini
adalah otot lurik yang berasal dari branchiomeric hasil dari perkebangan arcus
pharyngealis kedua (Monkhouse, 2006; Kahle & Frotscher, 2003).

Nervus facialis melayani rasa kecap pada 2/3 bagian anterior dari lidah
melalui chorda tympani. Rasa kecap ini kemudian dikirim ke pars superior dari
nucleus solitarius. Rasa umum dari 2/3 anterior dari lidah dilayani oleh serat-
serat aferen dari nervus V3. Rasa umum dan rasa kecap ini serat-seratnya
keduanya dibawa oleh nervus lingualis sebelum chorda tympani meninggalkan
nervus lingualis untuk memasuki cavum tympani melalui fissura
petrotympanicum (Monkhouse, 2006).

Nervus facialis kemudian membentuk ganglion geniculatum, yang


mengandung badan sel untuk serat-serat rasa kecap dari chorda tympani, rasa
lain dan jalur sensoris. Dari ganglion geniculatum serat-serat untuk rasa kecap
berlanjut sebagai nervus intermediatus yang berjalan ke kuadran anterior
superior dari fundus meatus acousticus internus bersama radix motoris dari
nervus facialis (Moore et al, 2015; Kahle & Frotscher, 2003).

Nervus intermediatus mencapai fossa cranialis posterior lewat meatus


acousticus internus sebelum mengadakan sinapsis dengan nusleus solitarius.
Nervus facialis juga melayani innervasi afferen oropharynx di bawah tonsila
palatina. Begitu juga sedikit untuk kulit di sekitar auricula yang dibawa oleh
nervus intermedius (Moore et al, 2015; Greenstain, 2000).

Klasifikasi Cidera Saraf Tepi :

a. Neuropraksia, tipe cidera paling ringan yang diperlihatkan dengan


demyelinasi fokal tanpa mencederai axon atau sering juga disebut cidera
tipe I. Tidak terjadi cedera struktural karena tidak ada kehilangan
kontinuitas saraf, sehingga tidak terjadi kehilangan kemampuan fungsional.
Neurapraksia biasanya muncul karena kompresi ringan atau traksi dari saraf
yang menyebabkan menurunya kecepatan konduktivitas dari sel saraf.
Gejalanya muncul akibat blokade konduksi lokal yang diinduksi oleh ion
pada tempat cedera. Secara structural kadang terjadi sedikit perubahan
struktur myelin, sebagai akibat dari kombinasi kompresi mekanik dan
iskemia. Efeknya bersifat reversibel, kecuali jika iskemia menetap selama
kurang lebih 8 jam.
b. Aksonotmesis, Adalah terjadinya disrupsi axon dan myelin. Jaringan ikat
lunak sekitarnya termasuk endoneurium masih intak. Terjadi degenerasi
axon distal dan proksimal lokasi terjadinya trauma. Degenerasi distal
dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Axon akan memngalami regenerasi
dengan kecepatan 1mm/ hari. Secara bermakna fungsi akan kembali normal
setelah 18 bulan.
c. Neurotmesis, Neurotmesis adalah keadaan dimana akson dan pembungkus
saraf perifer putus, sobek atau rusak. Degenerasi Wallerian terjadi pada
bagian distal namun, segmen proksimal tidak mengalami regenerasi secara
alamiah Karena pembungkus akson ikut terputus. Serabut fibril saraf dengan
elemen - elemen jaringan fibrus membentuk neuroma. Pemulihan hanya
dapat diharapkan bila dilakukan repair saraf secara pembedahan mikro. Tipe
cedera ini hanya terlihat pada trauma mayor.

3. Epidemiologi
Insidensi kelainan ini mencapai 23 per 100.000 orang pertahun.Bell’s palsy
dapat mengenai pria dan wanita dengan perbandingan sama dari usia 10-40
tahun dan mengenai waja sisi kanan dan kiri dengan kasus sama banyak.

4. Etiologi
Djamil dan Basjiruddin (Dalam Harsono, 2009) mengemukakan bahwa
umumnya Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Idiopatik
Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy
antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat
terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes
mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic
b. Kongenital
1) Anomali kongenital (sindroma moebius)
2) Pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)
c. Didapat
1) Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
2) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
3) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
4) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
5) Sindroma paralisis n. fasialis familial
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori
yang dihubungkan dengan etiologi yaitu:
a. Teori Iskemik Vaskuler
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis
b. Teori Infeksi Virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes
Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV
(khususnya tipe 1).
c. Teori Herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk
terjadi paresis fasialis.
d. Teori Imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi
(Annsilva, 2010).

5. Patologi
Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan saraf
facialis melalui bagian os temporalis disebut sebagai facial canal. Suatu teori
menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi saraf facialis di dalam
kanal tulang tersebut. Kompresi ini telah nampak dalam MRI dengan fokus
saraf facialis (Seok, 2008).
Bagian pertama dari canalis facialis segmen labyrinthine adalah yang paling
sempit, foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66
mm. Yang bertempat dan diduga paling sering terjadi kompresi saraf facialis
pada Bell’s palsy. Karena sempitnya canalis facialis, keadaan ini nampaknya
wajar apabila inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi mungkin
mengganggu konduksi neural pada tempat ini (NINDS, 2014).
Lokasi kerusakan saraf facialis diduga dekat atau di ganglion geniculatum.
Jika lesi proksimal dari ganglion geniculatum, kelemahan motorik diikuti
dengan abnormalitas pengecapan dan autonom. Lesi antara ganglion
geniculatum dan chorda tympani menyebabkan efek sama, namun tanpa
gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus, ini
mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah (NINDS, 2014).

Gambar 1. Anatomi Saraf wajah (facial nerve) (Tiemstra and Khatkhate,


2007)
6. Tanda dan Gejala
Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai
kelumpuhan maksimum selama 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu
lima hari. Nyeri di belakang telinga dapat mendahului kelumpuhan selama satu
atau dua hari. Terganggunya saraf facial di foramen stylomastoid dapat
menyebabkan kelumpuhan di seluruh otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh,
garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra
melebar, dan lid margin mata tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum
jatuh, disertai air mata yang menetes melewati pipi. Makanan yang mengumpul
di antara gigi, pipi dan saliva yang menetes dari sudut mulut. Penderita juga
mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri di wajah.
Jika lesi berada di saluran saraf facialis di atas chorda tympani tetapi di
bawah ganglion genikulatum, semua gejala dapat timbul ditambah kehilangan
rasa di lidah 2/3 anterior di sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi mempengaruhi
saraf di otot stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus yaitu penderita sensitif
dan merasa nyeri bila mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion
genikulatum terpengaruh, produksi air mata dan air liur mungkin berkurang.
Lesi di daerah ini dapat berpengaruh juga pada saraf vestibulokoklearis yang
menyebabkan tuli, tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).

7. Komplikasi
Bell’s palsy dapat berkembang hingga mengakibatkan komplikasi jangka
panjang. Misalnya, ketika serabut saraf telah rusak, mereka mungkin akan
beregenerasi secara menyimpang dengan menghubungkan saluran kelenjar
lakrimal daripada kelenjar ludah. Hal ini dapat menyebabkan lakrimasi
(kelebihan produksi air mata) saat makan, atau "crocodile tears" [6]. Demikian
pula, regenerasi neuron motorik dapat mempersarafi otot yang tidak tepat, yang
akan menyebabkan gerakan abnormal atau synkinesis pada wajah [6]. Kepuasan
pasien jangka panjang dan kualitas hidup dapat dipantau menggunakan Facial
Clinimetric Evaluation Scale (FaCE) dalam hubungannya dengan skala House-
Brackmann dalam kasus ini [87].
Baru-baru ini, Chiu et al. melaporkan bahwa Bell’s palsy dapat meningkatkan
risiko stroke non-hemoragik [88]. Dalam studi kohort berbasis populasi dari
7.506 pasien Bell’s palsy dan 2.2158 pasien non-BP yang diikuti selama 2
tahun, mereka menemukan bahwa pasien Bell’s palsy berada pada peningkatan
risiko (4%) terkena stroke dibandingkan dengan populasi umum (1,6%) setelah
disesuaikan dengan komorbiditas [88]. Temuan mereka sebagian dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa penelitian sebelumnya telah menunjukkan
peningkatan risiko stroke pada pasien dengan HSV-1 dan HZV [89]. Patogen ini
telah diduga menyebabkan peradangan serta aterosklerosis dan vaskulopati di
pembuluh darah otak [90,91].
8. Prognosis
Tingkat keparahan gejala Bell’s palsy bervariasi dari kelemahan ringan
hingga kelumpuhan parah, tetapi prognosisnya secara umum baik. The
Copenhagen Facial Nerve Study menemukan bahwa sekitar 71% pasien fungsi
normalnya kembali pulih tanpa pengobatan. Sekitar 13% mengalami kelemahan
ringan dan sekitar 4% mengalami kelemahan parah yang mengakibatkan
disfungsi wajah mayor. 17% ditemukan kontraktur otot wajah di sisi yang
terkena dan 16% ditemukan gerakan asosiasi [6]. Sistem penilaian seperti skala
House-Brackmann yang digunakan dalam uji coba terkontrol secara acak dan
tinjauan secara sistematis dapat membantu untuk memantau perkembangan [7].
Meskipun penelitian ini kurang kuat untuk mendeteksi perbedaan yang
signifikan dalam pemulihan antar pasien dengan derajat keparahan yang
berbeda, dalam uji coba secara acak ditemukan pasien yang memiliki tingkat
keparahan Bell’s palsy sedang memiliki tingkat pemulihan yang signifikan saat
dibandingkan dengan pasien yang mengalami Bell’s palsy parah. Pemulihan
90% pada mereka yang terkena dampak sedang dan 78% pada mereka yang
terkena dampak parah [8]. Frekuensi pemeriksaan tergantung pada masing-
masing pasien dan tingkat keparahan gejala mereka. Jika tidak ada perbaikan
setelah sebulan pasien harus dirujuk. Rujukan juga diindikasikan jika hanya ada
pemulihan sebagian setelah 6–9 bulan. Palsy berulang pada 7% pasien, dengan
kejadian kekambuhan ipsilateral dan kontralateral yang sama. Tidak ada cukup
data tentang apakah pengobatan mempengaruhi tingkat kekambuhan.

9. Diagnosis Banding
Banyak kondisi yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah terisolasi
yang identik dengan Bell’s palsy. Lesi struktural di telinga atau kelenjar parotis
(misalnya, kolesteatoma, tumor saliva) dapat menyebabkan kompresi dan
kelumpuhan saraf wajah. Penyebab lain kelumpuhan saraf tepi termasuk
sindrom Guillain-Barré, penyakit Lyme, otitis media, sindrom Ramsay Hunt
(wabah herpes zoster pada distribusi saraf wajah), sarkoidosis, dan beberapa
vaksin influenza. Meskipun kondisi ini dapat muncul sebagai kelumpuhan saraf
wajah yang terisolasi, mereka biasanya memiliki ciri tambahan yang
membedakannya dari Bell’s palsy.
Pasien dengan penyakit Lyme sering memiliki riwayat paparan kutu, ruam,
atau artralgia. Kelumpuhan saraf wajah akibat otitis media akut dan kronis
memiliki serangan yang lebih bertahap, disertai nyeri telinga dan demam.
Pasien dengan sindrom Ramsay Hunt memiliki gejala nyeri prodrom dan sering
mengalami erupsi vesikuler di saluran telinga dan faring, meskipun kasus tanpa
erupsi vesikuler (yaitu, zoster sine herpete) telah dilaporkan. Pada polineuropati
(misalnya, sindrom Guillain-Barré, sarkoidosis) akan lebih sering memengaruhi
kedua saraf wajah. Sedangkan tumor akan muncul dengan serangan gejala yang
lebih berbahaya selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Lesi sistem saraf pusat (misalnya, Multiple sclerosis, stroke, tumor) juga
dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah. Akan tetapi, beberapa neuron
motorik ke dahi bersilangan dengan batang otak, sehingga serabut di saraf
wajah yang menuju ke dahi berasal dari kedua belahan otak. Lesi supranuklear
(sentral) yang mengenai saraf wajah tidak akan melumpuhkan dahi di sisi yang
terkena, sehingga menyebabkan kelumpuhan wajah unilateral dengan dahi tidak
terlalu lebar. Seringkali, akan ada setidaknya beberapa kelemahan ekstremitas
di sisi yang terkena juga [6-8].
Vaksin influenza di masa lalu telah dikaitkan dengan neuropati perifer.
Meskipun vaksin influenza yang saat ini tersedia di Amerika Serikat belum
dikaitkan dengan Bell’s palsy [9-11], vaksin intranasal di Swiss yang baru-baru
ini dikembangkan dan ditemukan memiliki risiko yang sangat tinggi untuk
kelumpuhan saraf wajah pasca-vaksin dan telah ditarik dari penggunaannya
[12]. Karena vaksin influenza berubah setiap tahun, pejabat kesehatan
masyarakat harus diberi tahu jika ada kasus Bell’s palsy yang terjadi dalam 6
minggu setelah pemberian vaksin.

10. Problematika Fisioterapi


Bell’s palsy dapat terjadi unilateral maupun bilateral jika terjadi unilateral
harus dicari perbedaan untuk menilai apakah kelemahan tipe Upper Motor
Neuron (UMN) atau Lower Motor Neuron (LMN). Kelemahan tipe UMN dapat
memberi respon gerakan wajah normal pada emosi-emosi tertentu seperti
tertawa, tersenyum dan tidak mengalami gangguan pada indera pengecapan,
sedangkan kelemahan pada LMN terjadi gangguan pada ekspresi wajah karena
kerusakan nucleus facialis di batang otak (Wardhani, 2007).
Pada sebagian besar penderita Bell’s palsy kelumpuhannya akan
menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh
dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini dapat berupa: kontraktur,
sinkenesia atau spasme spontan (Trisnowiyanto, 2010).
Masalah yang muncul pada Bell’s palsy dextra adalah adanya asimetris pada
wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi yang lesi, adanya penurunan
kekuatan otot wajah pada sisi yang lesi, potensial terjadi spasme dan
perlengketan jaringan, dan potensial terjadi iritasi pada mata sisi yang lesi.

11. Assesment Tools


Menurut Trisnowiyanto (2012), pada kasus Bell’s Palsy, pemeriksaan
spesifik
yang dilaksanakan berupa pemeriksaan tanda bell, skala “Ugo Fisch”.
Pemeriksaan ini merupakan pengukuran pemeriksaan kemampuan fungsional
menggunakan beberapa tes seperti menutup mata, mengerutkan dahi,
mengangkat alis, tersenyum dan istirahat.

Presentasi Keterangan
0% Asimetris komplit, tidak ada gerakan
volunteer
30% Simetris ringan, kesembuhan
cenderung asimetris, ada gerakan
volunteer
70% Simetris sedang, kesembuhan
cenderung normal
100% Simetris komplit
Tabel 1. Kriteria penilaian Skala Ugo Fisch (Trisnowiyanto, 2012)

Posisi wajah Nilai


Saat Istirahat 20
Mengerutkan Dahi 10
Menutup Mmata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Tabel 2. Skor normal dengan Skala Ugo Fisch

12. Intervensi Fisioterapi


a. IR (Infra Red)
Infra Red mempunyai efek fisiologis untuk meningkatkan
metabolisme pada lapisan superfisial kulit sehingga suplai oksigen dan
nutrisi ke jaringan akan meningkat sehingga akan membantu rileksasi otot
dan meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi. Infra Red juga
mempunyai efek terapiutik untuk relaksai otot karena efek sedatif akan
mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan hangat (Sujatno, 2002)

b. Mirror Exercise
Mirror exercise merupakan latihan yang menggunakan cermin agar
dapat memberikan ”biofeedback” yang dilakukan dengan tenang agar pasien
bisa lebih berkonsentrasi dalam melakukan latihan gerakan pada wajah.
Pemberian Mirror Exercise yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
otot wajah dan melatih kembali gerakan fungsional otot-otot wajah (Raj,
2006).
Mirror exercise ini berfokus pada menggerakkan anggota tubuh yang
tidak rusak. Hal ini adalah bentuk citra dengan cermin yang digunakan
untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui pengamatan bagian
tubuh yang tidak terpengaruh saat individu melakukan serangkaian gerakan.
(Pandeiroth, 2014).
Gambar 1. Contoh Latihan Mirror Exercise (Jhun myung lee, 2014)

c. Electrical Stimulation
Electrical stimulation merupakan intervensi fisioterapi yang
bertujuan untuk memberikan stimulasi pada otot yang titik rangsangnya
terletak pada kulit dan untuk meningkatkan kerja otot baik yang letaknya
diluar maupun bagian dalam. Selain itu electrical stimulation akan
menimbulkan efek teraputik berupa fasilitasi kontraksi otot, melatih kerja
otot, dan melatih kerja otot baru (Singh, 2005).
Pemberian electrical stimulation bertujuan untuk menstimulasi dan
menimbulkan kontraksi otot wajah sehingga mampu memfasilitasi gerakan
dan meningkatkan kekuatan otot wajah, dilakukan dengan memberikan Arus
Faradik. Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak simetris
yang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/detik
(Sudjatno, dkk, 2002).
d. Massage
Massage merupakan stimulasi pada jaringan lunak untuk
meningkatkan fleksibilitas, merangsang reseptor sensoris jaringan pada kulit
sehingga memberikan efek rileksasi, dan mengurangi spasme pada wajah.
Selain itu, pemberian massage secara halus (gentle) pada wajah dapat
mengurangi rasa kaku atau rasa tebal pada wajah yang terkena lesi, juga
meningkatkan proses metabolisme sehingga sifat fisiologi otot terpelihara
serta untuk rileksasi otot-otot wajah (Prentice, 2012).
Teknik - teknik massage yang biasa diberikan pada otot-otot wajah
adalah stroking, euffleurrage, finger kneading, dan tapotement (Tappan,
1988). Massage diaplikasikan selama 10 menit pada kedua sisi wajah dan
leher. Urutan massage wajah yaitu, termasuk 30 detik gerakan stroking
secara bersamaan dikedua sisi wajah dan leher, 2 menit massage melingkar
(efflurage) menggunakan tiga jari tengah gerakan dari pusat ke arah luar
wajah. Jempol bergerak di bagian dalam pipi yang terkena dari wajah
dengan tiga jari untuk menarik ke arah mulut (finger kneeding) 2 menit.
Tekanan dalam toleransi pasien digunakan untuk membersihkan titik
pemicu apapun yang ditemukan. Efflurage diterapkan selama 2 menit diikuti
dengan memijat, mengambil dan meremas untuk meningkatkan sirkulasi,
mengurangi kontribusi involunter dan
mobilisasi otot selama 2 menit. Gerakan terakhir dengan teknik tapotement
tepukan ringan untuk mendistribusikan secara merata eritema selama 1
menit. 30 detik terakhir dilakukan efflurage lagi (Alakram & Puckree,
2011).
Gambar 1. Proses massage wajah (Jeongsoon Lee, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Almeida, P. D. et al. 2008. Saliva Composition and Functions: A Comprehensive Review.


The Journal of Contemporary Dental Practice. 9(3): 1-11
Annsilva. 2010. Bell’s Palsy (Case Report). Diakses: pada tanggal 23 Mei 2021, dari
http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell%E2%80%99s-palsycase-report/
Harsono, 2009. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge University Press,
New York
Moore, KL, Agur AMR, and Dalley, AF. 2015. Essential Clinical Anatomy. 5th Ed.
Lippincott & Wilkins, Philadelphia
NINDS, 2014. Bell’s palsy Fact Sheet, http://www.ninds.nih.gov/disord
ers/bells/detail_bells.htm
Seok JI, Lee DK and Kim KJ, 2008. The usefulness of clinical findings in localising lesions
in Bell’s palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
79(4):418- 420.
Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh Sugarto L.
Jakarta:EGC.
Tiemstra DJ, Khatkhate N. 2007. Bell’s Palsy Diagnosis and Management. Amerika
Academy of Family Physicians. Volume 76: Hal 997-1002
Zandian A. et al. The neurologist’s dilemma: A comprehensive clinical review of Bell’s
palsy, with emphasison current management trends, Bell’s palsy © Med Sci
Monit, 2014; 20: 83-90. doi : 10.12659/MSM.889876

Somasundara D. et al. Management of Bell’s palsy. Aust Prescr. 2017 Jun; 40(3): 94–97.
doi : 10.18773/austprescr.2017.030

JEFFREY DT, MD and NANDINI K, MD. Bell’s palsy: Diagnosis and Management. Am
Fam Physician 2007;76:997-1002, 1004. Copyright © 2007 American Academy
of Family Physicians. https://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.html

Abidin, Z., ., K., & Haryanto, D. (2017). Pengaruh infra red, massage dan mirror
exercise pada bell's palsy. Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(2), 18–25. doi :
https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i2.56
Amanati, S., Purnomo, D., & Abidin, Z. (2017). Pengaruh Infra Red dan Elektrical
Stimulation serta Massage terhadap Kasus Bell’s Palsy Dekstra. Jurnal
Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(1), 9–15.
doi :https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i1.5

Dwi Puspaningtyas, R. (2015, August 10). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bell's
Palsy Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/36613.

Anda mungkin juga menyukai