Teori Belajar Dan Pembelajaran
Teori Belajar Dan Pembelajaran
Teori Belajar Dan Pembelajaran
Capain Pembelajaran
Pokok-Pokok Materi
A. Pengertian Belajar menurut Teori Behavioristik
1
URAIAN MATERI
Sebelum bapak/ibu mempelajari lebih lanjut materi tentang teori behavioristik,
ada baiknya bapak/ibu berfikir ulang apa yang dimaksud dengan ”BELAJAR” istilah
ini bukanlah istilah baru, hampir setiap hari bapak/ibu menggunakan istilah belajar.
Namun apa itu belajar?
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan
bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.
Sebagai contoh, siswa belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat
dan gurunya sudah mengajarkan dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat
mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum
dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
http://www.karyatulisku.com/2016/04/konsep-dasar-belajar-dan-pembelajaran.html
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa respons. Aliran behavioristik dalam aliran psikologi belajar
sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran hingga kini.
Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud stimulus dan respon dalam proses pembelajaran?
2
STIMULUS adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian,
alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa,
sedangkan RESPON adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru.
Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan
guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat
diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya
respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat.
Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan.
Misalnya, ketika siswa diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan
semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif
(positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru
meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif
(negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang
penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya
respons.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon
yaitu reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran,
3
perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike
perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang
dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
PENGUATAN
RESPON
STIMULUS PROSES
PENGUATAN
J.B. Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah
Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia
menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap
mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun
semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena
tidak dapat diamati.
4
Sumber: https://ainamulyana.blogspot.com/2017/06/teori-belajar-behavioristik.html
Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang
tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang
terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua
fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh
sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia,
sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam
kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis,
terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih sering
dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
5
respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar siswa
perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon
bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat
dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan
respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan
penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skinner mengemukakan dan
mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka
hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dalam lingkungannya akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Pada dasarnya
stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi
antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan.
Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-
konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi
atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah
laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus
satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap
alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru dan
pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program-
program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
6
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi
stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata
siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Di sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik
tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan
respon ini. Namun teori behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus
lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun demikian,
persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
7
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang mereka
sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk
bebas berpikir dan berimajinasi.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar
ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang
sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan
kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari penguat
negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah,
sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons.
8
Pavlov melakukan suatu eksperimen terhadap anjing. Anjing mengeluarkan air liur
apabila diperlihatkan makanan.air liur yang dikeluarkan oleh anjing merupakan suatu
stimulus yang diasosiasikan dengan makanan. Pavlov juga menggunakan lonceng dahulu
sebelum makanan diberikan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila
perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya
membunyikan lonceng saja saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang lonceng adalah rangsangan buatan. Ternyata
kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan
menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini
disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori
dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan
cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
9
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama
tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah
ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan tersebut.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia
nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran
lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan.
Dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum,
dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Siswa atau siswa adalah obyek yang harus berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
10
1. Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk dengan
sendirinya
2. Berhati hati jangan smpai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah. Karena
mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
3. Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja sudah cukup
4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan
digunakan.
Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada pembelajaran
dengan powerpoint dan multimedia. Dalam pembelajaran dengan powerpoint,
pembelajaran cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam bentuk powerpoint
yang telah disusun secara rinci. Sementara itu pada pembelajaran dengan multimedia,
siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan pengembang, materi disusun
dengan perencanaan yang rinci dan ketat dengan urutan yang jelas, latihan yang diberikan
pun cenderung memiliki satu jawaban benar. Feedback pada pembelajaran dengan
multimedia cenderung diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa
dengan program pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012), di mana
Skinner mengembangkan model pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang
memberikan feedback kepada siswa bila memberikan jawaban benar dalam setiap tahapan
dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback pada akhir test.
11
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus respon atau reaksinya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan pentingnya pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement/penguatan dan akan menghilang
bila dikenai hukuman. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa misalnya dalam hal ibadah berulang-ulang
karena anak suka meniru dan selanjutnya memberi reward baik verbal maupun nonverbal
karena dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian anak
akan semakin memperkuat responnya.
12
Kegiatan Belajar 2
TEORI BELAJAR KOGNITIF DAN
PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN
Capain Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang diharapkan pada materi ini adalah menguasai konsep
teori-teori pembelajaran yang lazim digunakan dalam pendidikan yang didasarkan pada
asumsi-asumsi yang berasal dari para tokoh pendidikan yang diakui. Dalam
pelaksanaannya setiap negara memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri untuk
menentukan konsep pembelajaran yang disesuaikan dengan visi misi dan tujuan
pendidikan yang ditetapkan dalam suatu negara.
Uraian Materi
Teori belajar kognitif menekankan pada perhatian terhadap tahapan perkembangan anak.
Namun tahukah bapak/ibu apa yang dimaksud dengan teori kognitif?
Pada kegiatan belajar ini, bapak/ibu akan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
teori belajar kognitif
1
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan
dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi
pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-
pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses
internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek
kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan
menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam
pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam
praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti:
“Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh
Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh
Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka.
2
Sumber: https://www.gurune.net/2019/06/materi-ppg-kegiatan-belajar-ii-teori.html
3
dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur
kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Terdapat tiga prinsip utama pembelajaran dari teori Piaget, yaitu lingkungan
pembelajaran belajar harus mendukung aktivitas peserta didik, seperti aktif, lingkungan
yang berorientasi penemuan. Piaget mendukung hubungan tatap muka (face to face)
antara guru dan peserta didik. Yang kedua, yaitu interaksi perseta didik dengan teman-
temannya merupakan sumber penting dalam perkembangan kognitif. Ketiga adalah guru
mengadopsi strategi pembelajaran yang membuat siswa menyadari konflik-konflik
(pertentangan) dan ketidak-konsistenan pada pemikiran mereka.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya
sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses
penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar
dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi.
Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan
dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang
tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan
terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi
struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan
kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget,
proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai
dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui
berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar
tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi
empat yaitu;
1. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang
sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan
langkah demi langkah. Kemampuan yang dimilikinya antara lain:
a. Melihat dirinya sendiri sebagai mahkluk yang berbeda dengan obyek di
sekitarnya.
b. Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
c. Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
4
d. Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
e. Memperhatikan obyek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
2. Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau
bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini dibagi
menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.
Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam
mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi
kesalahan dalam memahami obyek. Karakteristik tahap ini adalah:
a. Self counter nya sangat menonjol.
b. Dapat mengklasifikasikan obyek pada tingkat dasar secara tunggal dan
mencolok.
c. Tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek-obyek yang berbeda.
d. Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang
benar.
e. Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat
menjelaskan perbedaan antara deretan.
3. Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun)
Anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak
abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata.
Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara
simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik
tahap ini adalah:
a. Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori obyek, tetapi kurang
disadarinya.
b. Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih
kompleks.
c. Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
d. Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti terhadap
sejumlah obyek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak kekekalan
masa pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan kekekalan volume
pada usia 7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah obyek adalah tetap sama
meskipun obyek itu dikelompokkan dengan cara yang berbeda.
5
4. Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan
aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak
telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang
bersifat konkrit. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi obyek atau
gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses
transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah
tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan
menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat
menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem
klasifikasi.
Namun sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan
dan pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak sepenuhnya menyadari adanya
prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun taraf berpikirnya sudah dapat
dikatakan maju. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
Untuk menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkrit, sehingga ia
mampu menelaah persoalan. Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki
masalah mengenai berpikir abstrak.
6
maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan
mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan
formal-operations.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda
dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasiaonal, dan
akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional konkrit,
bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal.
Empat tahap perkembangan Piaget (Collin, 2012) ini dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Pada tahap sensorimotor, anak belajar tentang dunia melalui sentuhan dan indera
lainnya
b. Anak mulai mengatur objek secara logis pada tahapan pra-operasional
c. Dalam tahap operasional kongkrit, Kuantitas/ isi dipengaruhi oleh bentuk yang
berbeda
d. Penalaran verbal dan pemikiran hipotetis anak berkembang pada tahap operasi formal
Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan
semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru seharusnya memahami tahap-
tahap perkembangan kognitif para muridnya agar dalam merancang dan melaksanakan
proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Pembelajaran yang dirancang
dan dilaksanakan tidak sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan ada
maknanya bagi siswa.
2. Teori Belajar Menurut Jerome Bruner (1915-2016)
Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi
perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai
berikut:
1. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi
suatu rangsangan.
2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem
penyimpanan informasi secara realis.
3. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah
dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan
pada diri sendiri.
7
4. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan
anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat
komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan
bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang
lain.
6. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa
alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas
yang berurutan dalam berbagai situasi.
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan
terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Jika Piaget menyatakan bahwa
perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka
Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan
kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic.
a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya,
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
b. Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambar-
gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak
belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak
yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika,
matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak
sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan
sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak, berarti ia tidak lagi menggunakan sistem
enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan
8
salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses
belajar.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara
menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang
tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum) sebagai suatu cara
mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan materi
pelajaran mulai dari mengajarkan meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali
mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan
materi dari umum ke rinci yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral
merupakan bentuk penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembangan
kognitif orang yang belajar.
Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam Degeng, 1989),
menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan
mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh
kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-
obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria
tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan
dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk kategori-
kategori baru. Jadi merupakan tindakan penemuan konsep.
Menurut Bruner, kegiatan mengkategori memiliki dua komponen yaitu; 1) tindakan
pembentukan konsep, dan 2) tindakan pemahaman konsep. Artinya, langkah pertama
adalah pembentukan konsep, kemudian baru pemahaman konsep. Perbedaan antara
keduanya adalah:
a. Tujuan dan tekanan dari kedua bentuk perilaku mengkategori ini berbeda.
b. Langkah-langkah dari kedua proses berpikir tidak sama.
c. Kedua proses mental membutuhkan strategi mengajar yang berbeda.
Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan seseorang dikatakan
memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi;
a. Nama.
b. Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif.
c. Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak.
d. Rentangan karakteristik
e. Kaidah.
9
Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih banyak
menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembang-kan
kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting bagi mereka yang
menggeluti bidang matematika, biologi, fisika, dan sebagainya, sebab setiap disiplin
mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang
dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan,
melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery
learning). Brunner meyakini bahwa proses belajar akan berjalan dengan optimal apabila
siswa diberikan kesempatan untuk mengungkapkan konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana
bagan di atas, Brunner meyakini bahwa perkembangan bahasa memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Pemikiran Bruner (Collin, 2012) yang
digambarkan sebagai berikut:
Sumber: http://menzour.blogspot.com/2019/08/teori-belajar-menurut-jerome-bruner.html
10
suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi
bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif
yang telah dimiliki siswa, yang paling awal mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel.
Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam struktur
hirarkhis. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak
membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga pengetahuan
yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh seseorang, akan dapat
memudahkan perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci. Gagasannya mengenai cara
mengurutkan materi pelajaran dari umum ke khusus, dari keseluruhan ke rinci yang sering
disebut sebagai subsumptive sequence menjadikan belajar lebih bermakna bagi siswa.
Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan penerapan
konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran. Penggunaan advance
organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau
ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan
materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance
organizers akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta
hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan oleh Ausubel
tersebut, dikembangkanlah oleh para pakar teori kognitif suatu model yang lebih eksplisit
yang disebut dengan skemata. Sebagai struktur organisasional, skemata berfungsi untuk
mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah, atau sebagai tempat untuk
mengkaitkan pengetahuan baru. Atau dapat dikatakan bahwa skemata memiliki funsi ganda,
yaitu:
a. Sebagai skema yang menggambarkan atau merepresentasikan organisasi
pengetahuan. Seseorang yang ahli dalam suatu bidang tertentu akan dapat
digambarkan dalam skemata yang dimilikinya.
b. Sebagai kerangka atau tempat untuk mengkaitkan atau mencantolkan pengetahuan
baru.
Skemata memiliki fungsi asimilatif. Artinya, bahwa skemata berfungsi untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam hirarkhi pengetahuan, yang secara progresif
lebih rinci dan spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses belajar yang paling
dasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam skemata yang tersusun secara
hirarkis. Struktur kognitif yang dimiliki individu menjadi faktor utama yang mempengaruhi
11
kebermaknaan dari perolehan pengetahuan baru. Dengan kata lain, skemata yang telah dimiliki
oleh seseorang menjadi penentu utama terhadap pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh
orang tersebut. Oleh sebab itu maka diperlukan adanya upaya untuk mengorganisasi isi atau
materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses asimilasi
pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif orang yang belajar.
Mendasarkan pada konsepsi di atas, Mayer (dalam Degeng, 1993) menggunakan
pengurutan asimilatif untuk mengorganisasi pembelajaran, yaitu mulai dengan menyajikan
informasi-informasi yang sangat umum dan inklusif menuju ke informasi-informasi yang
hkusus dan spesifik. Penyajian informasi pada tingkat umum dapat berperan sebagai
kerangka isi bagi informasi-informasi yang lebih rinci.
Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa skemata dapat dimodifikasi oleh
pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga menghasilkan makna baru. Anderson (1980) dan
Tennyson (1989) mengatakan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki individu selanjutnya
berfungsi sebagai dasar pengetahuan bagi masing-masing individu. Semakin besar jumlah
dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang, makin besar pula peluang yang dimiliki untuk
memilih. Demikian pula, semakin baik cara penataan pengetahuan di dalam dasar pengetahuan,
makin mudah pengetahuan tersebut ditelusuri dan dimunculkan kembali pada saat diperlukan.
12
No Bentuk belajar Prosedur Contoh
Rantai verbal, tentang
Belajar asosiasi verbal memberi nama obyek dan
4 Belajar sumpah pemuda
(verbal chaining learning) koneksi kata menjadi
urutan verbal
Menghasilkan respons
Belajar
yang berbeda pada Membedakan lingkaran dan
5 diskriminasi(discrimination
stimulus-stimulus yang elips
learning)
mirip
Membuat respons yang
Respons sama tentang rumah
Belajar konsep (concept sama pada stimulus-
6 terhadap berbagai ukuran dan
learning) stimulus dengan atribut
bentuk gedung
yang mirip
Menggunakan konsep
yang telah dipelajari Saudara sepupu ialah anak
Konsep terdefinisi sebelumnya untuk laki-laki atau perempuan dari
memperoleh suatu paman atau bibi
7 konsep baru
Memberikan respon pada
satu kelas stimulus Jarak sama dengan kecepatan
Aturan
dengan satu kelas kali waktu
penampilan
Menggabungkan aturan
untuk mencapai suatu
Menemukan langkah-langkah
Belajar memecahkan pemecahan yang
8 dalam membuktikan suatu
masalah (problem solving) menghasilkan suatu
teori dalam geometri
aturan dengan tingkat
yang lebih tinggi
Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga di antaranya bersifat kognitif,
satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik (Dahar, 2011, hlm. 118). Menurut
Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 118) penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai
hasil belajar disebut dengan kemampuan. Ada lima kemampuan yang ditinjau dari segi-
segi yang diharapkan dari suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan itu perlu dibedakan
karena kemampuan itu memungkinkan berbagai macam penampilan manusida dan juga
karena kondisi-kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan itu berbeda. Kemampuan-
kemampuan tersebut yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, informasi
verbal, dan keterampilan motorik.
a. Keterampilan intelektual
Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan
lingkungannya dengan penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Aktivitas
belajar keterampilan intelektual ini sudah dimulai sejak tingkat pertama sekolah
13
dasar (sekolah taman kanak-kanak) dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan
kemampuan intelektual seseorang.
Selama bersekolah, banyak sekali jumlah keterampilan intelektual yang
dipelajari oleh seseorang. Keterampilan intelektual ini untuk bidang studi apapun
dapat digolongkan berdasarkan kompleksitasnya. Belajar mempengaruhi
perkembangan intelektual seseorang dengan cara yang disarankan Gagne. Untuk
memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturan-
aturan kompleks. Demikian pula diperlukan aturan dan konsep yang terdefinisi.
Untuk memperoleh atuan-aturan ini, siswa sudah harus belajar beberapa konsep
konkret dan untuk mempelajari konsep-konsep konkret ini siswa harus menguasai
diskriminasi.
1) Diskriminasi merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons yang
berbeda terhadap stimulus-stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi
fisik.
2) Konsep konkret menunjukkan suatu sifat objek atau atribut objek (warna, bentuk,
dan lain-lain). Konsep-konsep ini disebut konkret sebab penampilan manusia yang
dibutuhkan konsep ini ialah suatu objek yang konkret.
3) Konsep terdefinisi, apabila seseorang dapat mendemonstrasikan arti kelas tertentu
tentang objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan.
4) Aturan. Seseorang telah belajar suatu aturan apabila penampilannya mempunyai
semacam “keteraturan” dalam berbagai situasi khusus.
5) Aturan-aturan kompleks merupakan gabungan kompleks aturan-aturan yang
sederhana. Aturan kompleks atau aturan tinggi ditemukan untuk memecahkan suatu
masalah praktis atau sekelompok masalah.
b. Strategi kognitif
Suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan
tertentu bagi belajar dan berpikir disebut sebagai strategi kognitif. Strategi kognitif
dikelompokkan sesuai dengan fungsinya, dan pengelompokkan yang disarankan
oleh Weinstein dan Mayer (dalam Dahar, 2011, hlm. 122) adalah sebagai berikut:
1) Strategi menghafal. Siswa melakukan latihan mereka sendiri tentang materi yang
dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, seperti mengulangi nama-nama
dalam suatu urutan (nama pahlawan, tahun pecahnya perang dunia, dan lain-lain).
2) Strategi elaborasi. Siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan dipelajari dengan
bahan-bahan lain yang tersedia.
14
3) Strategi pengaturan. Menyusun materi yang akan dipelajari ke dalam suatu
kerangka teratur merupakan teknik dasar strategi ini.
4) Strategi metakognitif. Meliputi kemampuan siswa untuk menentukan tujuan belajar,
memperkirakan keberhasilan pencapaian tujuan itu, dan memilih alternatif-
alternatif untuk mencapai tujuan itu.
5) Strategi afektif. Teknik ini digunakan para siswa untuk memusatkan dan
mempertahankan perhatian untuk mengendalikan kemarahan dan menggunakan
waktu secara efektif.
c. Sikap
Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi
perilaku seseorang terhadap benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya.
Sekelompok sikap yang penting ialah sikap kita terhadap orang lain. Oleh karena
itu, Gagne juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-sikap
sosial tersebut.
d. Informasi verbal
Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal. Menurut teori, pengetahuan
verbal ini disimpan sebagai jaringan proposisi-proposisi. Informasi verbal diperoleh
sebagai hasil belajar di sekolah dan juga dari kata-kata yang diucapkan orang, dari
membaca, radio, televisi dan media lainnya.
e. Keterampilan motorik
Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga
kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya
membaca, menulis, memainkan sebuah instrumen musik, atau dalam pelajaran sains
menggunakan berbagai macam alat seperti mikriskop, alat-alat listrik, dan lain
sebagainya.
C. Penerapan Langkah-Langkah Teori Behavioristik Dalam Kegiatan Pembelajaran
Pendidikan Agama
Teori kognitif menekankan pada proses perkembangan siswa. Meskipun proses
perkembangan siswa mengikuti urutan yang sama, namun kecepatan dan pertumbuhan
dalam proses perkembangan itu berbeda. Dalam proses pembelajaran, perbedaan kecepatan
perkembangan mempengaruhi kecepatan belajar siswa, oleh sebab itu interaksi dalam
bentuk diskusi daalam pembelajaran Pendidikan Agama tidak dapat dihindarkan. Pertukaan
gagasan menjadi tanda bagi perkembangan penalaran siswa. Perlu disadari bahwa
15
penalaran bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun
perkembangannya dapat disimulasikan.
Piaget memberikan penekanan bahwa setiap tahap perkembangan memberikan
kesempatan pada siswa untuk belajar lebih baik. Menurut piaget, anak bukanlah orang
dewasa mini, anak tidak mengetahui sebanyak apa yang diketahui oleh orang dewasa, akan
tetapi anak melihat dunia dengan cara yang berbeda dan berinteraksi secara berbeda pula.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar
yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal.
Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak
digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan
pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan
behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat
diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Kegiatan pembelajaran Pendidikan
Agama mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Siswa
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
b. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
c. Keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran Pendidikan Agama amat
dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
d. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar Pendidikan Agama, perlu
mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah
dimiliki siswa.
e. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran Pendidikan
Agama disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari
sederhana ke kompleks.
f. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada hanya belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa
yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
g. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatiakan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada
motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
16
Dalam learning and teaching information (www.funderstanding.com), dijelaskan
bahwa Piaget melihat transisi perkembangan terjadi pada sekitar 18 bulan, 7 tahun dan 11
atau 12 tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum usia ini anak-anak tidak mampu
(seberapa cerdaspun mereka) untuk memahami hal-hal dengan cara-cara tertentu.
Sedangkan pada siswa yang berada di rentang perkembangan preoperasional, untuk
mengaplikasikan teori perkembangan Piaget dalam pembelajaran di kelas, University of
Arkansas merekomendasikan enam tahap yang perlu diperhatikan dalam perkembangan
struktur pre-operasional. Enam tahap tersebut:
a. Gunakan contoh pendukung dan alat-alat visual jika memungkinkan.
b. Buat petunjuk pembelajaran yang tidak terlalu panjang, gunakan lebih banyak contoh
daripada kata-kata misalnya video tentang tata cara pengurusan jenazah.
c. Jangan berharap siswa melihat dunia dari sudut pandang orang lain, karena siswa
memiliki sudut pandang sendiri.
d. Peka terhadap kemungkinan bahwa siswa mungkin memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap kata yang sama atau pemahaman yang sama terhadap kata yang
berbeda. Siswa juga seringkali mengharapkan orang dewasa untuk memahami kata-
kata yang mereka ucapkan.
e. Berikan latihan langsung kepada siswa yang berfungsi untuk membantu siswa
membangun pemahaman yang lebih kompleks seperti pemahaman tentang
sebuah kisah.
f. Berikan berbagai pengalaman untuk membangun landasan bagi pembelajaran yang
lebih kompleks misalnya praktik ibadah.
Ketiga tokoh aliran kognitif di atas secara umum memililiki pandangan yang sama yaitu
mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Menurut Piaget, hanya dengan
mengaktifkan siswa secara optimal maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan
pengalaman dapat terjadi dengan baik. Sementara itu, Bruner lebih banyak memberikan
kebebasan kepada siswa untuk belajar sendiri melalui aktivitas menemukan (discovery). Cara
demikian akan mengarahkan siswa pada bentuk belajar Pendidikan Agama yang induktif,
yang menuntut banyak dilakukan pengulangan. Hal ini tercermin dari model kurikulum spiral
yang dikemukakannya. Berbeda dengan Bruner, Ausubel lebih mementingkan struktur
disiplin ilmu. Dalam proses belajar lebih banyak menekankan pada cara berfikir deduktif. Hal
ini tampak dari konsepsinya mengenai Advance Organizer sebagai kerangka konseptual
tentang isi pelajaran yang akan dipelajari siswa.
17
Penerapan teori kognitif ini contohnya pada pembelajaran Pendidikan Agama mandiri
seperti belajar Pendidikan Agama dengan modul, dimana siswa dapat belajar sesuai dengan
tingkat perkembangannya sendiri dan sesuai dengan kecepatannya sendiri. Sebagaimana yang
disampaikan Piaget (Collin, dkk: 2012) dalam teorinya bahwa tujuan utama dalam proses
pembelajaran adalah menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan untuk melakukan
sesuatu yang baru”. Selain model pembelajaran mandiri, model pembelajran PAI dengan
diskusi dengan memfokuskan pada perkembangan siswa dan guru sebagai fasilitator untuk
membantu siswa berkembang sesuai dengan struktur kognitifnya, juga merupakan contoh
penerapan teori kognitif.
18
Kegiatan Belajar 3
TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISTIK DAN
PENERAPANNYA DALAM KEGIATAN
PEMBELAJARAN
Capain Pembelajaran
Pokok-Pokok Materi
A. Pengertian Belajar menurut Teori Konstruktivistik
B. Pemikiran tokoh-tokoh yang mendukung teori belajar Konstruktivistik
1. Teori Belajar Piaget
2. Teori Belajar Vygotsky
3. Teori Belajar Jhon Dewey
C. Langkah-langkah Penerapan Teori Konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran
Pendidikan Agama
D. Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran
konstruktivistik
1
Uraian Materi
Sebelum kita mempelajari materi pada bagian ini, cobalah bapak/ibu renungkan
sejenak, “manusia-manusia masa depan seperti apa yang ingin kita hasilkan dari proses
pembelajaran yang terjadi saat ini?
2
3. Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam
menginterprestasikannya.
Gagasan pokok konstruktivistik sebenarnya telah dimulai oleh Vico pada tahun 1710,
seorang epistemolog dari Italia.Vicodalam De Antiquissima Italorum Sapientia,
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan.” Atas dasar gagasan Vico itulah kemudian berkembang
teori-teori baru, yang melandasi pendekatan pembelajaran konstruktivistik antara lain; teori
Piaget tentang skema, asimilasi, akomodasi, dan equilibration, konsep Zone of Proximal
Development (ZPD) dari Vygotsky, teori Bruner tentang discovery learning, teori Ausubel
tentang belajar bermakna, dan interaksionisme semiotik.
Menurut Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad 20 dalam
tulisan Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Piaget. Namun bila
ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivistiksebenarnya telah dimulai oleh Vico,
seorang epistemolog dari Italia.Tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia,
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa mengetahuiberarti mengetahui
bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia
dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya
Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana
membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu manusia hanya dapat mengetahui
sesuatu yang telah dokonstruksikannya. Pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep
yang dibentuk. Berbeda dengan kaum empirismeyang menyatakan bahwa pengetahuan itu
harus menunjuk kepada kenyatan luar. Menurut Vico pengetahuan tidak lepas dari manusia
(subyek) yang tahu.Meskipun paradigma pembelajaran kontruktivistik telah dikenal sejak
tahun 1710, tetapi pada kenyataannya pradigma pembelajaran yang dikembangkan di sekolah
lebih didominasi oleh pembelajaran behavioristik. Atas dasar beberapa kajian ternyata model
behavioristik memiliki beberapa kelemahan antara lain terlalu mekanistik dan kurang mampu
mengembangkan potensi siswa secara optimal. Sehingga sebagai jawaban atas kelemahan
tersebut maka diskusi dan kajian model pembelajaran konstruktivistik menjadi makin marak
karena dianggap lebih baik daripada model behavioristik dalam mengembangkan potensi
siswa. Maraknya diskusi dan kajian tentang pendekatan pembelajaran konstruktivistik
biasanya lebih diarahkan pada apa dan bagaimana pembelajaran konstruktivistik itu
3
diterapkan. Kajian tentang apa pembelajaran konstruktivistik biasanya dilakukan dengan
mengkontraskan antara pendekatan pembelajaran konstruktivistik dengan pendekatan
pembelajaran lainnya (behavioristik). Kajian tentang kemengapaan masih terlalu jarang. Oleh
sebab itu pada artikel ini penulis bermaksud mendeskripsikan beberapa teori yang melandasi
pembelajaran konstruktivistik untuk memperkaya bahasan tentang kemengapaan
pembelajaran konstruktivistik. Pandangan konstruktivistik dilandasi oleh teori Piaget tentang
skema, asimilasi, akomodasi, dan equilibration, konsep Zone of Proximal Development
(ZPD)dari Vygotsky, teori Bruner tentang discovery learning, teori Ausubel tentang belajar
bermakna, dan interaksionisme semiotik.Berikut ini akan dideskripsikan beberapa teori yang
melandasi pendekatan konstruktivistik.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang
yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki
pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan
pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan
dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
4
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang
harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan
skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan
menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan
seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:
5
juga berfungsi sebagai kategori-kategori untuk mengidentifikasikan rangsangan yang
datang, dan terus berkembang.
b. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep
awalnya, hanya menambah atau merinci.
c. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak
cocok lagi.
f. Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi
pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika
mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini
(Ibrahim & Nur, 2004). Untuk memperoleh pemahaman individu mengaitkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki.
g. Belajar mendasari pada pengamatan yang melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan
lebih lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa. Proses belajar
terdiri dari 3 tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan).
Guru memfasilitasi proses terjadinya ketidakseimbangan (disequilibrium).
6
konteks sosio-budaya pengetahuan (Elliot, 2000). Vygotsky (1978) percaya bahwa
pembelajaran pada kanak-kanak berlaku di dalam satu zon perantara ZPD yaitu satu
‘kawasan’ di antara asas perkembangan sebenar kanak-kanak yang diukur berdasarkan
keupayaannya menyelesaikan masalah secara mandiri dengan asas potensi perkembangan
yang boleh dicapai berdasarkan penyelesaian masalah berbantukan orang dewasa maupun
rekan sebaya.
Konsep Vygotsky berkaitan ZPD adalah sangat penting kerana ia membantu guru
membuat keputusan tentang apa yang berupaya dilakukan siswa pada peringkat tertentu dan
juga mengenal pasti ‘zon’ dimana siswa akan berupaya menguasai bahan baru. Beliau
berpendapat bahwa pengajaran harus meliputi aktiviti pada asas perkembangan mental yang
lebih tinggi sedikit daripada yang dipunyai oleh siswa sebagai rangsangan kepada siswa untuk
bertindak mencapai asas tersebut.
7
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang di pelopori oleh Lev
Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut sebagai teori belajar
sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana
seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu
Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di
mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan
memecahkan masalah yang dihadapinya.
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa
intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga
menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal
(interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri
sendiri).
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan
kapasitasnya.
Inti dari teori belajar konstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang
yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial
8
budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap
individu.
Guru berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa “siswa itu sendiri yang
harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek
informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak
sesuai lagi”. Teori belajar konstruktivistik ini menekankan bahwa perubahan kognitif
hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar
konstruktivistik meliputi tiga konsep utama, yaitu:
Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau
keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua
tataran. Tataran sosial (interpsikologis dan intermental) dan tataran psikologis
(intrapsikologis). Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial
seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang bersangkutan.
9
mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal,
Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level
perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu
dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih
mampu. Secara jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang tentang konsep
tersebut seperti yang dikutip oleh Luis C. Moll (1993: 157).
Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling
baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat mereka (Guruvalah).
Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD merupakan suatu
wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat mengemudikan dengan kawan-kawan
sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang yang lebih ahli yang memiliki kemampuan
lebih”. Pandangan Vygotsky tentang interaksi antara kawan sebaya dan pencontohan
adalah cara-cara penting untuk memfasilitasi perkembangan kognitif individu dan
kemahiran pengetahuan. Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan level perkembangan
yang dicapai ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”. Hal ini dapat diartikan
bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi sosial yang penuh, di mana
keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang dewasa atau kolaborasi antar kawan
sebaya ataupun orang yang lebih faham melampaui apa yang difahaminya.
10
Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan PD yang
terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran, yaitu :
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika akan
berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya begitu besar,
tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos kakinya sendiri
tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan. Memakai bajupun masih
membutuhkan waktu yang lama karena keliru memasangkan kancing.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap pagi
sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus dilakukannya,
misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk
berfikir abstrak.
Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa
contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan.
Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak berangkat ke
sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat melakukan
sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang
dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.
c. Mediasi
11
orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita
menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-lambang
tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan sosiokultural di mana seseorang
berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini, anak-anak dibantu oleh guru, orang
dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham. Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46)
berpendapat bahwa: Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-
fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik. Artinya tanda atau lambang beserta
makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-
sosiokultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.
Berdasarkan teori Vygotsky, Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang
perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu:
e. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi
12
Dalam teori belajar konstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal
dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi
pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan kemampuan
tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain.
Prinsip-prinsip utama teori belajar konstruktivistik yang banyak digunakan dalam
pendidikan di antaranya:
d. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar konstruktivistik, proses belajar tidak
dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan
seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari
pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada
perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky
percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di
mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari
komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas,
interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
John Dewey melihat pendidikan dan demokrasi sebagai dua dimensi yang berkait rapat.
Menurut Dewey, pendidikan yang baik seharusnya mempunyai dua matlamat utama yaitu
kepada masyarakat dan individu. Dari perspektif Dewey, pendidikan seharusnya mempunyai
matlamat sosial yang lebih meluas. Pendidikan seharusnya membantu individu menjadi
anggota masyarakat yang lebih efektif.
13
merujuk kepada keadaan dimana setiap pengalaman individu itu akan mempengaruhi masa
depannya, serta ada baik atau buruk. Interaksi pula merujuk kepada pengalaman seseorang
individu akibat sesuatu situasi. Dengan kata lain, pengalaman yang dimiliki oleh seseorang
individu adalah berasaskan interaksi antara pengalaman lepas seseorang individu dengan
situasi terkininya.
Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa (SCL =Student-
Centered Learning) dalam konteks pengalaman sosialKesadaran sosial menjadi tujuan dari
semua pendidikanGuru bertindak sebagai fasilitator.
Pembelajaran Pendidikan Agama dalam teori konstruktivistik, adalah satu proses yang
aktif di mana siswa menggunakan input sensorinya dan membina pengetahuan melaluinya.
Untuk membolehkan proses ini berlaku, siswa memerlukan aktivitas yang dapat membantu
siswa membina pengetahuan. Siswa bukanlah individu pasif yang hanya menerima informasi
dari guru saja.
14
Individu belajar bagaimana untuk belajar ketika melalui proses pembelajaran.
Pembelajaran Pendidikan Agama bukan hanya melibatkan pembinaan pengetahuan tetapi juga
pembinaan sistem pembelajaran di mana makna yang dibina untuk sesuatu konstruk
membolehkan kita memberi makna kepada perkara lain yang berkaitan. Sebagai contoh,
apabila kita mempelajari jujukan peristiwa sejarah berdasarkan tarikh ia berlaku, pada masa
yang sama kita memahami maksud istilah kronologi.
Pembinaan makna melibatkan aktiviti mental. Untuk menyokong proses mental ini,
siswa harus menjalani pembelajaran secara aktif melalui aktiviti hands-on, minds-on dan
hearts-on. Dewey merujuk aktiviti-aktiviti ini sebagai aktiviti reflektif.
Pembelajaran adalah satu aktiviti sosial. Pembelajaran kita amat berkait rapat dengan
persekitaran sosial dimana kita berada. Pembelajaran dipengarauhi oleh individu lain
disekeliling kita seperti guru, rakan, ibu bapa dan keluarga. Pengajaran secara tradisional
lebih terarah kepada mengasingkan individu sewaktu pembelajaran. Ini amat ketara jika kita
memerhatikan kedudukan siswa di bilik darjah. Guru yang dilihat sebagai autoriti akan
memastikan siswa berada di tempat masing-masing dan tidak berinteraksi dengan siswa lain
sewaktu pengajaran berjalan. Keadaan ini mungkin dapat mengurangkan masalah pengurusan
bilik darjah namun ia tidak membantu proses pembelajaran siswa. Sebagai perbandingan,
pendekatan konstruktivis menitik beratkan interaksi sosial di antara guru dansiswa atau
sesama siswa dalam mencari makna dalam membina pengetahuan.
Pembelajaran berlaku dalam sesuatu konteks. Kita tidak belajar fakta atau teori secara
terasing dan yang tidak berkait dengan kehidupan sebenarnya. Apa yang kita pelajari berkait
rapat dengan apa yang kita tahu, apa yang kita lalui, apa yang kita suka atau tidak suka. Kita
tidak boleh pisahkan apa yang kita belajar dan apa yang berlaku di sekeliling kita karena
pembelajaran adalah satu aktiviti sosial dan interaktif.
15
yang kita belajar. Dengan demikian, sangat penting bagi guru untuk mengetahui
pengetahuanyang dimiliki siswa supaya pembelajaran baru dapat diasimilasi secara bermakna
dengan pengetahuan yang dimiliki siswa.
Pembelajaran memerlukan masa. Untuk pembelajaran yang signifikan, idea baru yang
diterima perlu dilihat kembali, diuji dan digunakan. Proses ini tidak boleh berlaku dalam
jangka waktu 10 atau 15 menit. Hal ini penting karena guru akan bersifat lebih terbuka
dengan kadar penerimaan siswa yang berbeda-beda.
Motivasi ialah salah satu kunci pembelajaran. Elemen motivasi memainkan peranan
penting dalam proses pembelajaran. Salah satu aspek motivasi adalah menyadari kegunaan
pengetahuan yang dipelajari. Jika siswa merasakan sesuatu pengetahuan, maka akan relevan
kepada kehidupannya, hal itu memberikan nilai yang tinggi dan memotivasikan siswa untuk
mempelajarinya.
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik, dan dari
aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar. Proses belajar
konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif,
bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa,
melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses
asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan
belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-
fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring
of knowledge and skills(schemata) within the individual in a complex network of increasing
conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman oleh individu
tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam
jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh
sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam
memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem
penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
16
berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat
dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
https://tahjud69.blogspot.co.id/2016/12/teori-belajar-konstruktivisme.html
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian yang meliputi;
17
c. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa
mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
18
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan
informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka
sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa
mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil
belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti kegiatan belajar yang
sesungguhnya. Pada bagian ini akan dibahas ciri-ciri pembelajaran tradisional atau
behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik.
Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori
behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui
ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan
materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku
19
teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki
pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-
alternatif perbedaan interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks
tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat
rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang
siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami
sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-
konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya.
Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan
penguasaan pengetahuan.
20
c. menggunakan kemampuannya untuk mencari informasi dan menganalisis informasi
yang dia dapatkan,
d. berpikir kritis dalam memecahkan masalah ataupun dalam membuat keputusan,
e. memahami konsep-konsep dalam perkembangan teknologi dan mampu
mengoperasikannya.
21
No Pembelajaran tradisional No Pembelajaran konstruktivistik
Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas
kosong” yang dapat digoresi infor-masi Siswa dipandang sebagai pemikir-
4 oleh guru, dan guru-guru pada umumnya 4 pemikir yang dapat memunculkan teori-
menggunakan cara didaktik dalam teori tentang dirinya.
menyampaikan informasi kepada siswa.
Pengukuran proses dan hasil belajar
Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa terjalin di dalam kesatuan
siswa dipandang sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran, dengan cara
5 5
pembelajaran, dan biasanya dilakukan guru mengamati hal-hal yang sedang
pada akhir pelajaran dengan cara testing. dilakukan siswa, serta melalui tugas-
tugas pekerjaan.
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja
6 sendiri, tanpa ada group process dalam 6
di dalam group process.
belajar.
22
Kegiatan Belajar: 4
TEORI BELAJAR HUMANISTIK
DAN PENERAPANNYA DALAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN
Capain Pembelajaran
Pokok-Pokok Materi
A. Pengertian Belajar menurut Teori Humanistik
B. Pemikiran Tokoh-tokoh yang Mendukung Teori Belajar Humanistik
1. Teori Belajar Kolb
2. Teori Belajar Honey dan Mumford
3. Teori Belajar Habermas
4. Teori Belajar Bloom dan Krathwohl
5. Teori Belajar Combs
6. Teori Belajar Maslow
7. Teori Belajar Rogers
1
Uraian Materi
Pendidikan harus berkualitas untuk menghasilkan lulusan yang mampu menghadapi
dinamika perkembangan masyarakat dan teknologi yang begitu pesat. Di satu sisi teknologi
mampu digunakan untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah, di sisi lain
merupakan tantangan yang sangat besar bagi dunia pendidikan untuk bertransformasi
(Christensen, 1997). Pendidikan harus dikelola untuk menghasilkan lulusan yang memiliki
kecakapan yang dibutuhkan di abad 21, yaitu mampu belajar dan berinovasi, berfikir kritis
dan mampu memecahkan masalah, memiliki kreativitas serta mampu berkomunikasi dan
berkolaborasi.Siswa harus menguasai literasi digital meliputi literasi informasi, literasi
media dan literasi teknologi. Siswa perlu memiliki kecakapan hidup yaitu fleksibilitas dan
adaptabilitas, inisiatif dan mandiri, mampu berinteraksi lintas sosial budaya, produktifitas
dan akuntabilitas serta sikap kepemimpinan dan tanggung jawab. Di samping hal-hal
tersebut, siswa harus kuat karakter moralnya, seperti cinta tanah air, memiliki nilai-nilai
budi pekerti luhur, jujur, adil, empati, penyayang, rasa hormat dan kesederhanaan,
pengampun dan rendah hati. Guna mencapai semua tujuan tersebut diperlukan
pembelajaran yang berkualitas. Ini semua menjadi tantangan bagi para guru untuk
membekali para siswanya dengan berbagai pengetahuan ketrampilan dan sikap, guna
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan di atas.
Dalam kegiatan belajar ini, bapak/ibu akan menemukan jawaban dari pertanyaan di
atas melalui uraian materi yang diberikan.
A. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik juga
penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan
ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori
belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik
sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar
ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia
yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
2
Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang
paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti
yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam
pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar
bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini,
mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab
tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi
pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori humanistik
berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk
memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi
diri orang yang belajar, secara optimal.
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat
memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini
menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa
setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula
kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan
unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik
akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan
manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun teorinya
hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari sudut
pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana
manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat
berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan
pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan semata, atau
kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-
beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang
berlainan. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik yaitu
3
dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk
memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb yang terkenal
dengan “Belajar Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-
macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”, serta Bloom dan Krathwohl
yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”.
https://petikanhidup.com/soal-dan-pembahasan-teori-belajar-humanistik.html
4
peristiwa yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki
seseorang pada tahap ke dua dalam proses belajar.
c. Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk
membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang
sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan untuk
merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang
dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki
komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
d. Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi
secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-
teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk
mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi
mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau
rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia
jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang
berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoretis
tahap-tahap belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses
peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi begitu saja sulit untuk
ditentukan kapan terjadinya.
2. Teori Belajar Peter Honey dan Alan Mumford
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Peter Honey (1937- sekarang) dan
AlanMumford (1933- sekarang). Pandangannya tentang belajar diilhami oleh pandangan Kolb
mengenai tahap-tahap belajar di atas. Honey dan Mumford menggolong-golongkan orang
yang belajar ke dalam empat macam atau golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan
reflektor, kelompok teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing kelompok memiliki
karakteristik yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karakteristik yang dimaksud adalah:
a. Kelompok aktivis.
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang
melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah diajak berdialog,
5
memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang
lain. Namun dalam melakukan sesuatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara
matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam
kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-
penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode
yang cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan
kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b. Kelompok reflektor.
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang
berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan,
orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-
pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam
memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka
cenderung bersifat konservatif.
c. Kelompok Teoris.
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan yang
sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya.
Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum.
Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Dalam melakukan
atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan
tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai
pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis.
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat yang praktis,
tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya.
Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat
dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil,
memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan
lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, susuatu adalah baik dan berguna jika dapat
dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
6
3. Teori Belajar Habermas
http://ceipelenaquiroga.blogspot.co.id/2011/05/nos-vamos-al-instituto.html
Tokoh humanis lain adalah Hubermas (1929-sekarang). Menurutnya, belajar baru akan
terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang
dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya
tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar
menjadi tiga, yaitu; 1) belajar teknis ( technical learning), 2) belajar praktis ( practical
learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipatory learning). Masing-masing tipe
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Belajar Teknis ( technical learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi
dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketarampilan apa yang
dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam
sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam
belajar teknis.
b. Belajar Praktis ( practical learning)
Sedangkan yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan
baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar
sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi,
komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun
demikian, mereka percaya bahwa pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola
lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya.
Oleh sebab itu, interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan
tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.
7
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning).
Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan upaya
agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya
perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian
demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk
mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi
kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab
transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
4. Teori Belajar Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) dan David
Krathwohl (1921-2016) terhadap Belajar.
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl (1956) juga termasuk penganut aliran
humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu
(sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang
dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi
Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar
pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran
praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-
tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada
taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang program-program
pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling
populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
8
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
Teori belajar humanistik berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya. Salah satu tokoh yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam teori ini adalah
Arthur Combs. Ia bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mencurahkan banyak perhatian
pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering
digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan
materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa
matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka tidak mau dan terpaksa
serta merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku
9
buruk itu sesungguhnya tidak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan
kehidupan siswa. Guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia
persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Arthur Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti
2 lingkaran yang bertitik pusat satu: Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan
lingkungan besar. Lingkaran besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu
dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan. Jadi jelaslah
mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali
kaitannya dengan dirinya.
Arthur Combs menjelaskan untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting
adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. Pernyataan ini adalah
salah satu dari pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan
tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda dengan orang lain. Untuk
mengerti orang lain, yang penting adalah melihat dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk
menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya. Combs
menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah “akibat yang tidak ingin dilakukan,
tetapi dia tahu bahwa dia harus melakukan”.
Seorang pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui
bagaimana peserta didik memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang
kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam proses
pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh
informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah
dalam proses pembelajaran bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana
membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu.
Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh
berbesar hati karena misinya telah berhasil.
10
Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan
sendiri.
Meaning lah yang ditekankan dalam teori Arthur Combs ini. Belajar terjadi bila
mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Di sini guru harus peka terhadap siswanya.
Kemudian guru dituntut untuk mampu memotivasi dan memberikan atau bahkan mengubah
pandangan siswanya bahwa suatu pelajaran itu, yang semisal tidak disenangi siswa, akan
memberikan manfaat untuknya kelak. Dengan begitu diharapkan pada diri siswa akan muncul
dorongan instrinsik untuk belajar. Siswa bersedia belajar karena kesadaran dari dalam dirinya
sendiri. Ia pun akan menjadi siswa yang orientasinya tidak hanya sekedar pada nilai (skor)
tetapi lebih kepada ilmu pengetahuannya. Ia akan mampu memahami materi suatu pelajaran
secara baik dan mendalam.
Karena meaning yang ditekankan dalam teori Arthur Combs, maka ini akan menjadi
sulit untuk diterapkan dalam semua jenjang pendidikan. Untuk jenjang SD misalnya, akan
sulit untuk diberi pandangan mengenai kebermanfaatan dari suatu pelajaran yang tidak
disukainya. Ini akan lebih mudah untuk diterapkan di jenjang sekolah menengah (terutama
SMA) karena siswa pada jenjang ini telah mampu untuk berpikir ke depan. Siwa tingkat
sekolah menengah telah mampu untuk memahami isi suatu materi pelajaran, sedangkan
tingkat SD cenderung dengan model hafalan dan belum mampu memahami isi secara
mendalam.
Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, (misal untuk pembelajaran
Pendidikan Karakter) dan analisis terhadap fenomena sosial (misal Sosiologi). Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajar daripada hasil belajarnya. Karena lebih
menitikberatkan pada prosesnya, maka siswa akan mampu memahami secara mendalam
tentang materi yang ia peroleh dari suatu pembelajaran. Artinya, ia akan benar-benar
mendapatkan ilmunya, orientasi utamanya adalah ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar
nilai.
11
6. Teori Belajar Maslow
12
Bila lingkungan yang benar, orang akan tumbuh lurus dan indah, aktualisasi potensi mereka
telah mewarisi. Jika lingkungan tidak benar (tidak kebanyakan tidak ada) mereka tidak akan
tumbuh tinggi, lurus dan indah.
Dengan adanya perilaku individu, menurut maslow bahwa perilaku didasarkan atas
asumsi didalam diri yaitu, suatu usaha yang positif berkembang dan kekuatan untuk
melawan/menolak perkembangan. Dengan demikian, perilaku belajar setiap individu terdapat
dua hal yang saling bertentangan, yakni perilaku atau usaha yang mendorong perkembangan
kegiatan belajarnya, dan sebaliknya juga memiliki kekuatan yang menghambat adanya
kegiatan belajar individu yang bersangkutan.
b. Kebutuhan Dasar Humanistik Menurut A Maslow
Maslow telah membentuk sebuah hirarki dari lima tingkat kebutuhan dasar. Di luar
kebutuhan tersebut, kebutuhan tingkat yang lebih tinggi ada. Ini termasuk kebutuhan untuk
memahami, apresiasi estetika dan spiritual kebutuhan murni. Maslow menggunakan piramida
sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah
(bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki tersebut
adalah:
1) Kebutuhan Fisiologis. Kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang bersifat
fisiologik (kebutuhan akan udara, minum, makan, air dan suhu tubuh relatif konstan,
dsb) yang ditandai oleh kekurangan (defisi) sesuatu dalam tubuh yang bersangkutan.
Kebutuhan ini juga dinamakan kebutuhan dasar (misalnya makan agar tidak
kelaparan) bisa menyebabkan manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas
perilakunya sendiri karena seluruh kapasitas manusia tersebut dipusatkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sebalinya, jika kebutuhan dasar ini relatif
sudah tercukupi muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa
nyaman.
2) Kebutuhan keamanan. Kebutuhan ini berhubungan dengan jaminan keamanan,
stabilitas, perlindungan, situasi yang bisa diperkirakan, bebas dari rasa takut, cemas,
dll. Karena adanya kebutuhan ini maka manusia membuat peraturan,
mengembangkan kepercayaan. Ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak
mengendalikan pikiran dan perilaku, kebutuhan keamanan menjadi aktif. Orang
dewasa memiliki sedikit kesadaran keamanan mereka kebutuhan kecuali pada saat
darurat (kerusuhan luas). Anak-anak sering menampilkan tanda-tanda rasa tidak
aman dan perlu aman.
13
3) Kebutuhan Cinta, Sayang dan Kepemilikan. Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman
relatif dipenuhi, maka timbul kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai. Setiap oranng
ingin mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain
dan ingin mencintai dan dicintai. Setiap orang ingin setiia kawan dan butuh
kesetiakawanan. Setiap orang pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri dalam
masyarakat. Setiap orang butuh bagian dalam sebuah keluarga, sebuah kampung,
suatu marga, dll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan merasa
sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja merasa dirinya
pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan menurunkan harga diri
orang yang bersangkutan.
4) Kebutuhan Harga Diri (esteem). Jika kebutuhan tingkat tiga relatif terpenuhi, maka
timbul kebutuhan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan harga diri.
Pertama, adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi,
percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan akan
penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, kebanggaan, dianggap penting dan
apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya maka harga diri
seseorang akan tampil menjadi percaya diri, tidak tergantung pada orang lain dan
selalu siap untuk berkembang terus untuk meraih kebutuhan yang tertinggi
(aktualisasi diri).
5) Kebutuhan Aktualisasi diri. Ketika semua kebutuhan diatas terpenuhi, maka
kebutuhan aktualisasi aktif. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang
perlu untuk menjadi dan melakukan apa orang itu yang dilakukan. Seperti, seorang
musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan penyair harus menulis. Jika
kebutuhan tidak terpenuhi maka akan menjadi bosan, putus asa, tidak punya rasa
humor lagi, mementingkan diri sendiri, merasa kehilangan selera, dsb.
Maslow beragumen bahwa seseorang tidak akan mencapai tingkat yang lebih tinggi
sebelum tercapai kebutuhan dibawahnya. Misalnya, perhatian dan motivasi belajar tidak
mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar peserta didik belum terpenuhi.
14
tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka
hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Carl R. Rogers adalah seorang psikolog humanistic yang gagasan-gagasannya
berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. Lewat karya-karyanya yang tersohor
seperti “Freedom to learn and Freedom to learn for the 80’s” dia menyarankan suatu
pendekatan pendidikan yang berupaya menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi dan
karennya lebih bersifat pribadi dan penuh makna.
Carl R. Rogers kurang menaruh perhatian kepada mekanisme proses belajar. Belajar
dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa belajar yang
sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual maupun emosional
peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa motifasi belajar harus
bersumber pada diri peserta didik.
Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu: (1) belajar yang bermakna dan (2) belajar
yang tidak bermakna. Belajar yang bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran
melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik, dan belajar yang tidak bermakna terjadi
jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek
perasaan peserta didik.
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan
psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar menerjemahkannya ke dalam
langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu
memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua
komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya
manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai
aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan siswa dalam
mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu
diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat
belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat
pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori
humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.
15
Teori humanistik sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada
dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun
akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik
ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan
operasional, namun sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-
taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk
memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam
menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi,
pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan
manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat,
sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat
diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang
dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers
dalam Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori
ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa
sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Pada teori humanistik, guru diharapkan tidak hanya melakukan kajian bagaimana dapat
mengajar yang baik, namun kajian mendlam justru dilakukan untuk menjawab pertanyaan
bagaimana agar siswa dapat belajar dengan baik. Jigna dalam jurnal CS Canada (2012)
menekankan bahwa “To learn well, we must give the students chances to develop freely”.
Pernyataan ini mengandung arti untuk menghasikan pembelajaran yang baik, guru harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang secara bebas.
Pendidikan modern mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan pendidikan
tradisional. Pada pendidikan modern, siswa menyadari hal-hal yang terjadi dalam proses
pembelajaran, hal ini menunjukkan hubungan dua arah antara guru dan siswa. Sementara itu,
dalm pendidikan tradisional Proses belajar terjadi secara stabil, dimana siswa dituntut untuk
mengetahui informasi melalui buku teks, memahami informasi yang mereka dapatkan tesebut
dan menggunakan informasi terbut dalam aktivitas keseharian siswa. Sedangkan dalam
pendidikan modern, siswa memanfaatkan teknologi untuk membuat kognisi, pemahaman dan
membuat konten pembelajaran menjadi lebih menarik dan lebih berwarna.
Pada penerapan teori humanistic ini adalah hal yang sangat baik bila guru dapat
membuat hubungan yang kuat dengan siswa dan membantu siswa untuk membantu siswa
berkembang secara bebas. Dalam proses pembelajaran, guru dapat menawarkan berbagai
16
sumber belajar kepada siswa, seperti situs-situs web yang mendukung pembelajaran. Inti dari
pembelajaran humanistic adalah bagaimana memanusiakan siswa dan membuat proses
pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Dalam prakteknya teori humanistik ini
cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta
membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran Pendidikan Agama yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru
dalam pembelajaran humanistic adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru
Pendidikan Agama memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi
siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami
potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri
yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur
dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas
inisiatif sendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
mandiri
5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang
ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak
menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala
resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-
materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap,
17
dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku
dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang
berlaku.
18