LP BPH
LP BPH
LP BPH
LAPORAN PENDAHULUAN
A. TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah kelenjar prostat mengalami,
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra (Brunner & suddarth, 2003).
BPH adalah pembesaran kelenjar prostat non-kanker. BPH dapat
menyebabkan penekanan pada uretra sehingga berkenih menjadi sulit,
mengurangi kekuatan aliran urine, atau menyebabkan urine menetes
(Corwin, 2009).
BPH adalah kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini
dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya
aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo, 2011).
Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna
prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi
pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran
perkemihan.
2. Anatomi & Fisiologi Sistem Perkemihan
a. Anatomi Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan adalah suatu sistem yang didalamnya
terjadi proses penyaringan darah sehingga bebas dari zat-zat yang
tidak dipergunakan oleh tubuh. Zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh akan larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air
kemih). Zat yang dibutuhkan tubuh akan beredar kembali ke dalam
tubuh melalui pembuluh kapiler darah ginjal, masuk ke dalam
pembuluh darah, dan beredar ke seluruh tubuh. Sistem perkemihan
merupakan suatu rangkaian organ yang terdiri dari :
1) Ginjal
Ginjal merupakan organ terpenting dalam
mempertahankan homeostatis cairan tubuh. Berbagai
fungsi ginjal yaitu : mengatur volume cairan,
keseimbangan osmotik, asam basa, eksresi sisa
metabolisme, sistem pengaturan hormonal dan
metabolisme.
1
2) Ureter
Ureter yang panjangnya sekitar 25 -30 cm dan lebarnya
0,5 cm dan mempunyai tiga jepitan sepanjang jalan
pada piala ginjal berhubungan dengan ureter. Ureter
berjumlah dua buah yaitu ureter kiri dan ureter kanan,
terbentang dari hilus ginjal sampai kandung kemih.
Besarnya kurang lebih sebesar tangkai bulu angsa.
3) Vesika Urinaria
Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang
dapat mengempis, terletak dibelakang sympisis pubis.
Mempunyai empat permukaan (berbentuk piramid);
permukaan superior berbentuk segitiga, diliputi oleh
peritonium. Basisnya berada disebelah dorsal dan
apexnya berada disebelah anterior. Apexnya tepat
berada dibagian belakang symphisis ossis pubis dan
merupakan apex dari vesika urinaria secara
keseluruhan. Vesika urinaria mempunyai tiga muara,
yaitu dua muara ureter dan satu muara ke uretra.
4) Uretra
Urethra adalah saluran kecil dan dapat mengembang,
berjalan dari kandung kemih sampai keluar tubuh.
Urethra di lapisi membrana mukosa yang bersambung
dengan membran yang melapisi kandung kemih.
b. Anatomi Prostat
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang
melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat
kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan
ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm.
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah,
lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah.
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus
posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada
penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena
terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu,
dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut
kelenjar prostat.
2
Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan
muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian :
1) Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.
2) Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini
disebut juga sebagai adenomatus zone.
3) Di sekitar uretra disebut periuretral gland.
c. Fisiologi
Pembentukan urine di mulai dengan proses filtrasi plasma pada
glomerulus. Dari sekitar 1200 ml darah yang melalui glomerulus
setiap menit, terbentuk 120 – 125 ml filtrat (filtrat = cairan yang
telah melewati celah filtrasi). Setiap harinya dapat terbentuk 150-
180 liter filtrat. Dari jumlah ini hanya sekitar 1 % (1,5 liter) yang
akhirnya keluar sebagai kemih, sebagian besar diserab kembali.
Proses pembentukkan urine diawali dengan masuknya darah
melalui vasa afferent ke dalam glomerulus dan keluar melalui vasa
efferent. Bagian yang terlihat menyerupai bentuk batang yang
terdiri dan proximal convulated tubule, descending limb of Henle,
ascending limb of Henle, distal convulated tubule, collecting
tubule. Pada bagianbagian batang ini terjadi proses filtrasi,
reabsorbsi dan sekresi.
Sebagaimana diketahui letak kandung kemih pria adalah
dibelakang symphisis, didalam panggul besar dan di depan sisi
panggul besar, sedangkan kandung kemih wanita antara symphisis
pubis, uterus dan vagina. Kandung kemih dipisahkan dengan
uterus oleh lipatan peritonium ruang utero vesical (cavum doglasi).
3
Dinding ureter terdiri dari otot polos yang serabutnya terdiri
dari serabut spiral, longitudinal dan sirkular. Kontraksi peristaltik
secara reguler terjadi 1 – 5 kali setiap menit, menggerakan urine
dari pelvis ginjal ke kandung kemih. Urine masuk dengan cepat
dan singkron dengan tiap-tiap gelombang pristaltik. Kandung
kemih memiliki serabut otot polos spiral, longitudinal dan spinter.
Ketiga otot ini dinamakan Otot Destruksor, yang bertanggung
jawab terhadap pengosongan kandung kemih selama berkemih.
Berkemih pada dasarnya adalah refleks spinal yang dirangsang dan
dihambat oleh pusat saraf otak yang lebih tinggi, yang sifatnya
volunter (sistem saraf simpatis). Pada orang dewasa, volume urine
dalam kandung kemih normal yang mengawali refleks keinginan
untuk berkemih kira-kira sebanyak 250 – 450 ml dan anak-anak 50
– 250 ml. Kandung kemih terangsang dan menimbulkan gerakan
yang ditimbulkan oleh kontraksi otot abdomen yang menambah
tekanan di dalam rongga abdomen dan berbagai organ yang
menekan kandung kemih kemudian merangsang saraf simpatis
untuk melepaskan urine dari kandung kemih (Brunner & Suddarth,
2003).
3. Etiologi
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
a. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hyperplasia.
b. Ketidakseimbangan esterogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada
proses penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan
penurunan hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya
hiperplasia stroma pada prostat.
c. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat
peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi
BPH.
d. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
4
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama
hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel
transit dan memicu terjadi BPH.
4. Patofisiologi
Menurut Purnomo 2011 pembesaran prostat menyebabkan
penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur
pada bulu-buli tersebut, oleh pasien disarankan sebagai keluhkan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian bulibuli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Obstruksi yang diakibatkan oleh
hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya massa
prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh
tonus otot polos yang pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos
pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang
berasal dari nervus pudendus.
Menurut Mansjoer tahun 2007 pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara
perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila
keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
5
retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hariono , (2012) tanda dan gejala BPH meliputi:
a. Gejala Obstruktif
1) Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering
kali disertai dengan mengejan.
2) Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing
yang disebabkan oleh ketidak mampuan otot destrussor
dalam mempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.
3) Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir
kencing.
4) Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber
pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat
melampaui tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan
terasa belum puas.
b. Gejala Iritasi
1) .Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
di tahan.
2) Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari
biasanya dapat terjadi pada malam dan siang hari.
3) Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara
lain:
a. Pemeriksaan Laboratorium berupa :
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit
dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar
keadaan umum klien.
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa
sebagai kewaspadaan adanya keganasan
b. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik, berupa :
1) BOF (Buik Overzich ), digunakan untuk melihat
adanya batu dan metastase pada tulang.
6
2) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa
konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli
– buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.
3) IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat
fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
4) Pemeriksaan Panendoskop, digunakan untuk
mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
7
2) Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak) (aziz
Alimul, 2009).
3) Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan
bau mulut, warna bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau
kotor). Lihat jumlah gigi, adanya karies gigi atau tidak (Aziz
Alimul, 2009).
4) Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa
pada kalenjar tiroid, kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga
kemampuan menelan klien, adanya peningkatan vena jugularis
(Aziz Alimul, 2009).
5) Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat
bernafas, apakah ada suara nafas tambahan (Aziz Alimul,
2009).
6) Abdomen
Menurut Purnomo, 2009 pemeriksaan abdomen meliputi:
i. Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan
perkusi pada 9 regio abdomen untuk mengetahui ada
tidaknya residual urine.
ii. Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat
retensi urin dan sering dilakukan teknik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis dan
pyelonefrosis.
7) Genetalia
i. Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley
kateter dan biasanya terjadi hematuria setelah tindakan
pembedahan, sehingga terdapat bekuan darah pada
kateter. Dan dilakukan tindakan spolling dengan Ns
0,9% / PZ, ini tergantung dari warna urine yang keluar.
Bila urine sudah jernih spolling dapat dihentikan dan
pipa spolling di lepas ( Jitowiyono, dkk. 2010).
ii. Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak
ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya penyakit
penyerta seperti stenosis meatus, striktur uretralis,
urethralithiasis, Ca penis, maupun epididimitis
(Prabowo, 2014).
8
8) Ekstermitas : Pada klien post opersi BPH perlu dikaji kekuatan
otot dikarenakan mengalami penurunan kekuatan otot
(Prabowo, 2014).
2. Diagnosis Keperawatan
a. D1 : Gangguan Eliminasi Urin
Kategori: Fisiologis
Subkategori: Eliminasi
Definisi
9
Kondisi klinis Terkait
1. Infeksi ginjal dan saluran kemih
2. Hiperglikemi
3. Trauma
4. Kanker
5. Cedera/tumor/infeksi medula spinalis
6. Neuropati diabetikum
7. Neuropati alkoholik
8. Stroke
9. Parkinson
Kategori: Psikologis
10
2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaforesis
Kondisi klinis Terkait
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom koroner akut
5. Glaukoma
11
7. Sediakan alat bantu (mis.
Kateter eksternal, urinal), jika
perlu
12
Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
fungsional dengan onset medadak atau lambat dan berintesitas
ringan hingga berat dan konstan.
Tindakan (Terapeutik)
1. Beikan Teknik
nonfarmakologis untuk
megurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
teapi music, biofeedback, teapi
pijat, aromaterapi, Teknik
imajinasi tebimbing, kompres
hangat/dingin, teapi bemain)
13
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan,
pencahayaan,kebisingan)
3. Fasilitas istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
14
cedera
berulang
Anoreksia 1 2 3 4 5
Perineum 1 2 3 4 5
terasa
tertekan
Uterus teraba 1 2 3 4 5
membulat
Ketegangan 1 2 3 4 5
otot
Pupil dilatasi 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5
Mual 1 2 3 4 5
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
Memburuk Membaik
Frekuensi 1 2 3 4 5
nadi
Pola napas 1 2 3 4 5
Tekanan 1 2 3 4 5
darah
Proses 1 2 3 4 5
berpikir
Fokus 1 2 3 4 5
Fungsi 1 2 3 4 5
berkemih
Perilaku 1 2 3 4 5
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Pola tidur 1 2 3 4 5
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil evaluasi
terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama
program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah
program selesai dan mendapatkan informasi efektifitas pengambilan
keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk
SOAP (subjektif, objektif, assesment, planing) (Achjar.2010). Adapun
komponen SOAP yaitu S (Subjektif) dimana perawat menemui keluhan
pasien yang masih dirasakan setelah diakukan tindakan keperawatan, O
(Objektif) adalah data yang berdasarkan hasil pengukuran atau 18
observasi perawat secara langsung pada pasien dan yang dirasakan pasien
setelah tindakan keperawatan, A (Assesment) adalah interprestsi dari data
subjektif dan objektif, P (Planing) adalah perencanaan keperawatan yang
15
akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambah dari rencana
tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya (Rohmah &
Saiful,2012). Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah yang
pasien hadapi yang telah di buat pada perencanaan tujuan dan kriteria
hasil. Adapun hasil yang diharapkan yaitu:
Nokturia cukup menurun menurun
Disuria cukup menurun
Keluhan nyeri cukup menurun
Kesulitan tidur menurun
Fungsi berkemih membaik
DAFTAR PUSTAKA
Andi Eka Pranata, Eko Prabowo, S.Kep,M.Kes. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan Edisi 1 Buku Ajar, Nuha Medika : Yogyakarta.
Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.
http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/2003/1/File%20Lengkap%20KTI%20RAFIATI
%20ANIHU.pdf
http://repository.stikespantiwaluya.ac.id/171/1/Fulltext.pdf
16
Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2018.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta :
PPNI.
17