Pengertian Ilmu Hadist Dan Macam-Macamnya
Pengertian Ilmu Hadist Dan Macam-Macamnya
Pengertian Ilmu Hadist Dan Macam-Macamnya
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Segala puji bagi Allah atas karunia dan kehendak-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ulumul Hadist yang membahas tentang
Pengertian Ilmu Hadist dan Macam-macamnya. Sholawat dan salam tak lupa kami panjatkan
kepada seorang Nabi yang mulia yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua
dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang seperti saat ini yang kita rasakan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Abdul Harist M.Ag. selaku
dosen pengampu yang telah memberikan kesempatan dan mempercayai kami untuk membuat
makalah ini dan teman-teman kelompok yang telah menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pengertian Ilmu Hadist dan Macam-macamnya. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini banyak terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah yang akan datang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I ..................................................................................................................................................... iii
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ iii
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ iii
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... iv
C. Tujuan .......................................................................................................................................... iv
BAB II .................................................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 1
A. Pengertian Ilmu Hadits ............................................................................................................ 1
B. Macam-macam Ilmu Hadits .................................................................................................... 2
1. Ilmu Hadits Riwayah .............................................................................................................. 2
2. Ilmu Hadis Dirayah ................................................................................................................. 3
C. Cabang-cabang Ilmu Hadits .................................................................................................... 4
1. Ilmu Rijal Al-Hadits ............................................................................................................... 4
2. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil .................................................................................................... 10
3. Ilmu Gharib al-Hadits ........................................................................................................... 12
4. Ilmu ‘ilal hadits ..................................................................................................................... 14
5. Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ..................................................................................................... 17
6. Ilmu Nasikh dan Mansukh .................................................................................................... 18
7. Ilmu asbab wurud Al-Hadits ................................................................................................. 20
8. Ilmu Musthalah Hadits .......................................................................................................... 22
BAB III................................................................................................................................................. 23
PENUTUP ............................................................................................................................................ 23
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 23
B. Saran............................................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadis adalah bagian dari khazanah keilmuan Islam yang harus terus digali dan
dikaji oleh para penuntut ilmu. Ilmu ini termasuk salah satu ilmu penting yang disusun dan
dibangun dalam sejarah keilmuan Islam agar kita dapat mengetahui suatu informasi yang
disandarkan ke Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kita dapat membedakan mana hadis-
hadis yang sahih dan mana hadis-hadis yang dhoif di saat perkara ini kurang diperhatikan oleh
masyarakat hingga mereka menerima segala informasi dari apa saja yang mereka suka dan
menolak apa saja yang tidak disuka tanpa alat yang bisa mereka jadikan ukuran untuk
menyerap dan mengambil informasi tersebut. Terlebih lagi jika informasi itu berhubungan
dengan agama atau aqidah.
Dalam kehidupan manusia membutuhkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Terdapat
dua sumber ilmu pengetahuan yaitu Aqli dan Naqli. Sumber naqli ini adalah pilar sebagian
besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia. Dan sumber yang sangat otentik bagi
umat Islam dalam hal ini adalah Al-Quran dan Hadits.
Hadits dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas
kaum Muslimin dari berbagai madzhab Islam sebagai sumber ajaran Islam. karena dengan
adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci,dan spesifik.
Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum di dalam berbagai kitab hadits yang ada
telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit dan kompleks, sehingga menghasilkan
kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya.
Dalam penelitiannya, para ulama hadits itu menggunakan dua pendekatan, yaitu kritik
sanad dan matan, sehingga melahirkan teori-teori yang berkaitan dengannya. Kedua
pendekatan tersebut bukan suatu yang baru dalam pendekatan studi hadits karena bila ditelusuri
ke zaman sahabat, pendekatan ini sudah digunakan. Menatap prespektif keilmuan hadits,
sungguh pun ajaran hadits telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi,
sebagaimana Al-Qur'an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan.
Dengan demikaian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam.
Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana Al-
Qur'an diturunkan.
Atas dasar diatas penulis bermaksud untuk membahas lebih lanjut tentang pengertian
ilmu hadist, macam-macam ilmu hadist,dan cabang-cabang ilmu hadist.
iii
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu hadist?
2. Apa saja macam-macam ilmu hadist?
3. Apa saja cabang-cabang ilmu hadist?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ilmu hadist
2. Mengetahui penjelasan dan macam-macam ilmu hadist
3. Mengetahui penjelasan dan cabang-cabang ilmu hadist
iv
BAB II
PEMBAHASAN
Ulumul hadits adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:
‘Ulum al-Hadits). ‘Ulum al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata
‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”:
sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “ segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat”.
1
M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2021), hal. 105-106
1
Dengan demikian, gabungan kata ‘Ulum al-Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu
yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Pada mulanya, ilmu hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing-
masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para perawinya, seperti ilmu al-Hadits al-Shahih, ilmu al-Mursal, ilmu al-Asma’ wa
al-Kuna dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadits secara parsial dilakukan, khususnya,
oleh para ulama abad ke 3 H. Seperti Yahya ibn Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-
Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-Thabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241
H/855 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Nasikh wa al-Mansukh. Bukhari (256 H/ 870 M)
menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/ 875 M) menulis kitab Al-Asma’ wa al-
Kuna, Kitab Al-Thabaqat dan Kitab al-‘Ilal, dan lain-lain.2
Secara garis besar, ulama hadits mengelompokkan ilmu hadis tersebut ke dalam
dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
Objek kajian ilmu hadits Riwayah adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
a. Cara periwayatan hadits, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara
penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain.
b. Cara pemeliharaan hadits, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan
c. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadits secara
besar-besaran terjadi pada abad ketiga yang dilakukan oleh para Ulama, seperti
Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam al-Tirmidzi, dan lain-
lain dengan telah dibukukannya hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
2
Abdul Wahid, Muhammad Zaini, Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan ‘Ulumul Hadits, (Banda Aceh:
Yayasan PeNA, 2016), hal. 121-122
2
oleh para Ulama di atas, dan buku-buku mereka pada masa selanjutnya telah
menjadi rujukan bagi para ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya
ilmu hadits Riwayah tidak banyak lagi berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu
hadits Dirayah, pembicaraan dan perkembangan-nya tetap berjalan sejalan dengan
perkembangan dan lahirnya berbagai cabang dalam ilmu hadits.
2. Ilmu Hadis Dirayah
Para Ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadits Dirayah
ini. Akan tetapi, apabila dicermati definisi-definisi yang mereka kemukakan dan
paparkan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi
sasaran kajian dan pokok bahasannya. Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadits
Dirayah sebagai berikut:
“Dan ilmu hadits yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk
mengetahui hakikat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan
para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya”
Meskipun macam-macam Ilmu Hadits yang disebutkan oleh para Ulama Hadits
demikian banyaknya, namun secara khusus yang menarik perhatian para Ulama Hadits
untuk dibahas secara lebih mendalam diantaranya adalah Ilmu Rijal Al-Hadits dengan
kedua caranya yakni Ilmu Tarikh Al-Ruwat dan Ilmu Al-Jarah Wa Al-Ta’dil, Ilmu
Asbab Wurud Al-Hadits, Ilmu Gharib Al-Hadits, Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, Ilmu Ma'ani
Al-Hadits, Ilmu Nasikh Wa Al-Mansukh, dan lain-lain.3
3
Ibid. hal. 122-123
3
C. Cabang-cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu hadits riwayah dan ilmu hadis dirayah itu, muncul cabang-cabang
ilmu hadits lainnya, yaitu ilmu rijal al-hadits, ilmu al-jarh wa at-ta’dil, ilmu gharib al-
hadits, ilmu ‘ilali al-hadits, ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu nasikh wa al-mansukh, ilmu
asbab al-wurud al-hadits, dan ilmu mushthalah al-hadits.
Orang-orang yang telah disebutkan oleh Bukhari ini -mulai dari Sa'id bin Yahya
bin Sa'id Al-Qurasyi sampai yang paling terakhir yaitu Abu Musa-mereka ini
disebut periwayat hadits, dan rangkaian mereka ini disebut sanad, atau rijalul
hadits. Sedangkan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa yang
kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya” adalah yang diriwayatkan
atau hadits, dinamakan matan. Dan orang yang meriwayatkan hadits dengan semua
4
rijalnya yang disebutkan tadi disebut musnid, sedang perbuatannya ini dinamakan
isnad (penyandaran periwayatan).
Dari penjelasan di atas dapat kita mengenalkan istilah-istilah yang sering
dipakai sebagai berikut:
a. As-Sanad, dalam bahasa artinya menjadikannya sandaran atau penopang
yang dia menyandarkan kepadanya.
b. Sanad dalam istilah para ahli hadits yaitu, "jalan yang menghubungkan
kepada matan," atau "susunan para perawi yang menghubungkan ke
matan." Dinamakan sanad karena para huffazh bergantung kepadanya
dalam penshahihan hadits dan pendhaifannya.
c. Al-Isnad adalah mengangkat hadits kepada yang mengatakannya. Ibnu
Hajar mendefinisikannya dengan, "menyebutkan jalan matan." Disebut
juga: Rangkaian para rijalul hadits yang menghubungkan ke matan.
Dengan demikian maknanya menjadi sama dengan sanad.
d. Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya. Matan
menurut bahasa apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi.
e. Matan menurut para ahli hadits adalah perkataan yang terakhir pada
penghujung sanad. Dinamakan matan karena seorang musnid
menguatkannya dengan sanad dan mengangkatnya kepada yang
mengatakannya, atau karena seorang musnid menguatkan sebuah hadits
dengan sanadnya."
f. Ilmu Rijalul Hadits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu
Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap
perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang
meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain itu
yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.
Ilmu ini berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian
terhadap ilmu ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan
mereka, karena dari situlah mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin
mengatakan, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu
mengambil agamamu,"
Maka dengan ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits ini akan sangat membantu untuk
mengetahui derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’).
5
Dari Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Ath-Thalaqani dia berkata, "Aku telah berkata
kepada Abdullah bin Al-Mubarak, 'Wahai Abu Abdurrahman, hadits yang
menyebutkan "Sesungguhnya termasuk kebaikan hendaknya engkau mendoakan
untuk kedua orang tuamu bersama doamu, dan engkau berpuasa untuk mereka
berdua bersamaan dengan puasamu?" ‘Maka Abdullah berkata, "Wahai Abu
Ishaq, dari siapakah hadits ini?" Maka aku katakan kepadanya, 'Ini dari hadits
Syihab bin Khurasy, maka dia berkata, "Dia itu tsiqah, dari siapa? Aku katakan
Dari Al-Hajjaj bin Dinar, ia pun berkata, 'Dia juga tsiqah, dari siapa?" Aku katakan,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda..." Dia berkata, "Wahai Abu
Ishaq, sesungguh nya antara Al-Hajjaj bin Dinar dan Nabi terdapat jarak yang
sangat jauh, akan tetapi tidak ada perselisihan dalam masalah keutamaan sedekah."
Demikianlah keistimewaan umat kita dan kaum muslimin. Ibnu Hazm berkata,
"Riwayat orang yang tsiqah dari orang tsiqah yang sampai kepada Rasulullah
secara bersambung merupakan kekhususan kaum muslimin yang tidak dimiliki
oleh semua agama."
Dan Tarikh Ar-Rijal (sejarah para perawi) adalah yang membuka kedok para
perawi pendusta. Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Ketika menggunakan para perawi
berdusta, maka kita menggunakan ilmu tarikh untuk menghadapi mereka."
Dari Hafsh bin Ghiyats bahwasanya dia berkata, "Apabila kalian mencurigai
atau menuduh seorang syaikh, maka hitunglah dia dengan tahun (maksudnya
gunakanlah ilmu tarikh-Edt)." Yaitu hitunglah oleh kalian umurnya dan umur
orang menulis darinya.
Telah meriwayatkan 'Ufair bin Mi'dan Al-Kula'i, dia berkata, "Datang kepada
kami Umar bin Musa di Himsh, lalu kami bergabung kepadanya di dalam masjid,
kemudian dia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Syaikh kalian yang saleh.
Aku katakan kepadanya, 'Siapakah Syaikh kami yang saleh ini, sebutkanlah
namanya supaya kami mengenal nya? Lalu dia menjawab, 'Khalid bin Mi'dan."
Aku tanyakan padanya, Tahun berapa engkau bertemu dengannya?" Aku bertemu
dengannya tahun 108, jawabnya. 'Di mana engkau menemuinya?" tanyaku. Dalam
peperangan Armenia, jawabnya. Maka aku katakan padanya, Takutlah pada Allah,
wahai Syekh! Jangan engkau berdusta! Khalid bin Mi'dan meninggal pada tahun
104, lalu engkau mengatakan bertemu dengannya 4 tahun setelah kematiannya.
6
Dan aku tambahkan lagi padamu, dia tidak pernah ikut dalam perang di Armenia,
dia hanya ikut memerangi Romawi."
Dari Al-Hakim bin Abdillah dia berkata, "Ketika datang kepada kami Abu Ja'far
Muhammad bin Abdillah Al-Kusysyi dan menceritakan hadits dari Abdu bin
Hamid, aku menanyakan kepadanya tentang kelahirannya, lalu dia menyebutkan
bahwasanya dia dilahirkan pada tahun 260, maka aku katakan kepada para murid
kami, 'Syaikh ini telah mendengar dari Abdu bin Hamid 13 tahun setelah
kematiannya."
Contoh-contoh seperti ini sudah banyak terkumpul dan dibukukan oleh para
ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Dan berbagai macam buku karya tentang
hal itu banyak bermunculan dengan berbagai tujuan.
Ash-Shahabah: jamak dari Shahabi, dan Shahabi secara bahasa diambil dari
kata Ash-Shuhbah, dan ini dikenakan atas setiap orang yang bersahabat dengan
lainnya baik sedikit maupun banyak.
Dan Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim yang pernah
melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meskipun tidak lama
persahabatannya dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau
sedikit pun.
Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya, "Barangsiapa yang pernah menemani
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau melihatnya di antara kamu muslimin,
maka dia termasuk dari sahabat-sahabat beliau."
Ibnu Ash-Shalah berkata, "Telah sampai kepada kami dari Abu Al Mudhaffar
As-Sam'ani Al-Marwazi, bahwasanya dia berkata, "Para ulama hadits menyebut
istilah sahabat kepada setiap orang yang telah meriwayatkan hadits atau satu kata
dari beliau, dan mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat
beliau meskipun hanya sekali maka termasuk dari sahabat. Hal ini karena
kemuliaan kedudukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan diberikanlah
julukan sahabat terhadap setiap orang yang pernah melihatnya."
Dan dinisbatkan kepada Imam para tabi'in Said bin Al-Musayyib perkataan,
"Dapat dianggap sebagai sahabat bagi orang yang pernah tinggal bersama
7
Rasulullah setahun atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua
kali peperangan." Ini yang dihikayatkan para ulama ushul fiqih. Akan tetapi Al-
'Iraqi membantahnya, "Ini tidak benar dari Ibnu Al-Musayyib, karena Jarir bin
Abdillah Al-Bajali termasuk dari sahabat, padahal dia masuk Islam pada tahun 10
hijriyah. Para ulama juga menggolongkan sebagai sahabat orang yang belum
pernah ikut perang bersamanya, termasuk ketika Rasulullah wafat sedang orang itu
masih kecil dan belum pernah duduk bersama-nya."
Ibnu Hajar berkata, "Dan pendapat yang paling benar yang aku pegang,
bahwasanya sahabat adalah seorang mukmin yang pernah berjumpa dengan
Rasulullah dan mati dalam keadaan Islam, termasuk didalamnya adalah orang
pernah duduk bersama beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkan darinya
atau tidak, baik ikut berperang bersamanya atau tidak, dan orang yang pernah
melihat beliau meskipun sekali dan belum pernah duduk dengannya, dan termasuk
juga orang yang tidak melihat beliau karena ada halangan seperti buta.
Dan diperselisihkan mengenai siapa yang pertama kali masuk Islam dari
kalangan sahabat. Ada yang mengatakan: Abu Bakar As-Shiddiq, Ada juga yang
mengatakan: Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain: Zaid bin Haritsah. Pendapat lain
mengatakan Khadijah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Khadijah adalah orang
yang pertama membenarkan pengutusan beliau secara mutlak.
Ke'adalahan Sahabat
Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah, semua sahabat adalah 'adil, karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka dalam Al-Qur'an, dan As-Sunnah juga
memuji terhadap akhlak dan perbuatan mereka, dan pengorbanan mereka kepada
Rasulullah baik harta dan jiwa mereka, hanya karena ingin mendapatkan balasan
dan pahala dari Allah Ta'ala.
8
Adapun pertikaian yang terjadi sesudah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
ada diantaranya yang terjadi kerena tidak sengaja seperti perang Jamal. Dan ada
pula yang terjadi karena hasil ijtihad mereka seperti perang Shiffin. Ijtihad bisa
salah dan bisa benar. Jika salah akan dimaafkan dan tetap mendapat pahala, dan
jika benar maka akan mendapat dua pahala.
Dan di antara sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah, adalah
Abu Hurairah, Abdullah bin Umar bin Al-Khattab, Anas bin Malik, Aisyah Ummul
Mukminin, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah Al-Anshari dan Abu Sa'id Al-
Khudri (Sa'ad bin Malik bin Sinan Al-Anshari).
Dan di antara mereka yang sedikit periwayatannya, atau tidak meriwayatkan
sedikit pun.
Sahabat yang paling terakhir meninggal adalah Abu Thufail 'Amir bin Watsilah
Al-Laitsi, meninggal tahun 11 Hijriyah di Makkah.
ٌ ِضا ب
ط َ ع ْد ٌل أَ ْو َ الر ِوي َو ْال ُح ْك ُم
َ ُعلَ ْي ِه بِأَنَّه َّ ُسهُ َوه َُو ت َْز ِكيَة
ُ ع ْك
َ َوالت َّ ْع ِد ْي ُل
“Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi
dan menghukumnya bahwa ia adil dan dhabith.”
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil sebagai berikut,
ص ٍة ُ ْث َما َو َردَ فِ ْي شَأ ْ نِ ِه ْم ِم َّما يُ ْشنِيْهش ْم أَ ْو يُزَ ِك ْي ِه ْم ِبأ َ ْل َفاظٍ َم ْخ
َ ص ْو ُ الر َواةِ ِم ْن َحي
ُّ ع ِن ُ ِع ْل ٌم يُ ْب َح
َ ث
“Ilmu yang membahas rawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan
mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan lafadz
tertentu.”
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui ke-‘adil-an para rawi, antara lain:
fulan orang yang paling dipercaya, fulan kuat hapalannya, dan sebagainya. Adapun
4
Syeikh Manna’ Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal. 74-80
10
untuk mengetahui kecacatan rawi, antara lain: fulan orang yang paling berdusta, ia
tertuduh dusta, dan sebagainya.
Menurut Ibnu Adi (w. 365 H), dalam mukadimah kitabnya Al-Kamil, penilaian
terhadap para rawi ini telah dimulai sejak para sahabat. Di antara para sahabat yang
sering memberikan penilaian terhadap rawi hadis ini adalah Ibnu Abbas (w. 68 H),
Ubaidah Ibnu Tsamit (w. 34 H), dan Anas bin Malik (w. 93 H)
Ulama yang sering memberikan penilaian pada zaman tabiin adalah Asy-Syabi
(w. 103 H), Ibnu Sirin (w. 110 H), Said Ibnu Al-Musayyab (w. 94 H). Pada masa
tabiin ini, masih sedikit orang yang dipandang cacat, namun setelah abad kedua
Hijriah banyak ditemukan orang-orang yang dianggap lemah dalam meriwayatkan
hadis. Kelemahan mereka adakalanya karena mereka meng-irsal-kan hadis,
adakalanya karena me-marfu'-kan hadis yang sebenarnya mauquf, dan karena ada
beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti yang dilakukan oleh Abu Harun
Al-Abdari (w. 143 H).
Sesudah berakhir masa tabiin, yaitu kira-kira tahun 150 Hijriah, para ahli mulai
menyebutkan keadaan-keadaan para rawi, men-takdil, dan men-tarjih-kan mereka.
Di antara ulama besar yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Ibnu
Said Al-Qattan (w. 189 H), Abdur Rahman ibnu Mahdi (w. 198 H), Yazid Ibnu
Harun (w. 189 H), Abu Daud Ath-Tahyalisi (w. 204 H), Abdul Razaq ibn Human
(w. 211 H). Sesudah masa itu, barulah para ahli menyusun kitab jarh wa at-ta'dil,
yang di dalamnya diterangkan keadaan para rawi, yang boleh diterima dan ditolak
riwayatnya.
Di antara pemuka-pemuka jarh wa at-ta'dil adalah Yahya ibnu Main (w. 233 H),
Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Muhammad Ibnu Sa'ad (w. 230 H), Ali Ibnul
Madini (w. 234 H), Abu Bakar Ibnu Syaibah (w. 235 H), Ishaq Ibnu Rahawali (w.
237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (w. 255 H), Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali (w. 261
H), Muslim (w. 252 H), Abu Zurah (264 H), Bagi Ibnu Mukhallad (276 H), Abu
Zurah Ad-Dimasyqi (w. 281 H).
Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini adalah Thabaqat Ibn Sa'ad
dan At-Takmil fi Ma'rifat Ats-Tsiqat wa Adh-Dhu'afa wa Al-Majahil. Di antara para
ulama, ada yang menyusun kitab dengan mengelompokkan sanad hadis ke dalam
kelompok-kelompok khusus, seperti kelompok sanad yang tsiqah, dhaif, atau
11
matruk. Di antara mereka adalah Zainuddin Qasim Al-Ijili, Al-Bukhari, dan Ibn
Al-Jauzi.5
علم يعرف به ما بعد معناه وغمض بحيث ال يتناوله الفهم إال عن بعد
“Ilmu yang dengan dia dapat diketahui makna perkataan yang jauh dari
pengertian biasa dan tersembunyi, tidak dapat dicapai dengan mudah tanpa
memayahkan pikiran.”
“Ilmu yang dengan dia dapat diketahui bahasa-bahasa yang ganjil dari kabilah-
kabilah Arab yang tidak sering kita dengar.”
Ilmu ini menjelaskan suatu hadis yang samar maknanya. Objek Yang dibahas
dalam ilmu ini adalah kata atau lafaz yang musykil dan kalimat yang sulit difahami,
karena kata-kata atau kalimat tersebut jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari
dikalangan sahabat pada saat itu. Tujuannya adalah untuk menghindari salah
pemahaman di kalangan umat Islam akibat penafsiran yang menduga-duga
Para ulama memiliki andil yang sangat besar dalam memberikan penafsiran
terhadap lafaz, hadita-hadits yang gharib. Berkat penafsiran mereka, masyarakat
5
M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis.. hal. 112-115
12
menjadi mudah dalam memahami agama Islam, dan mudah pula dalam beramal
dengan hukum-hukum yang ada dalam hadits tersebut. Ulama yang pertama kali
menulis kitab dalam bidang Gharib al-Hadits adalah Abu Hasan an Nadhar ibn
Syumayil al-Mazini (w. 203 H), Abu 'Ubayd al-Qasim ibnSalam (157-224 H), Abu
al-Oasim Jarullah Mahmud ibn "Amr az-Zamakhsyari (467-538 H), kemudian
disusul oleh Majd ad-Din Abu as-Sa'adat al-Mubarak ibn Muhammad al-Jaziri
(544-606 H).6
a. Kitab "Gharib Al-Hadits", karya Abul Hasan An-Nadhr bin Syumail Al-
Mazini (wafat 203 H), salah satu guru Ishaq bin Rahawaih, guru Imam
Bukhari.
b. Kitab "Gharib Al-Atsar", karya Muhammad bin Al-Mustanir (wafat 206 H).
c. Kitab "Gharib Al-Hadits" karya Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam (wafat. 224
H)
d. Kitab "Al-Musytabah min Al-Hadits wa Al-Qur'an" karya Abu Muhammad
Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri (wafat 276 H)
e. Kitab "Gharib Al-Hadits" karya Qasim bin Tsabit bin Hazm Sirqisthi (wafat
302 H).
f. Kitab "Gharib Al-Hadits", karya Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-
Anbari (wafat 328 H).
g. Kitab "Gharib Al-Qur'an wa Al-Hadits", karya Abu Ubaid Al-Harawi Ahmad
bin Muhammad (wafat 401 H)
h. Kitab "Samthu Ats-Tsurayya fi Malani Gharib Al-Hadits" karya Abul Qasim
Ismail bin Al-Hasan bin At-Tazi Al-Baihaqi (wafat 402 H)
i. Kitab "Majma' Ghara'ib fi Gharib Al-Hadits", Abul Hasan Abdul Ghafir bin
Ismail bin Abdul Ghafir Al-Farisi (wafat 529 H)
j. Kitab "Al-Fa'iq fi Gharib Al-Hadits", karya Abul Qasim Jarullah Mahmud bin
Umar bin Muhamad Az-Zamakhsyari (wafat 538 H)
k. Kitab "Al-Mughits fi Gharib Al-Qur'an wa Al-Hadits", karya Abu Musa
Muhammad bin Abu Bakar Al-Madini Al-Ashfahani (wafat 581 H).
6
Ahmad Zuhri, Fatimah Zahara, Watni Marpaung, Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014), hal.
71-72
13
l. Kitab "An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar", karya Imam Majduddin
Abu As-Sa'adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnu Al-Atsir (wafat
606 H).7
7
Syeikh Manna’ Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits terj. Mifdhol Abdurrahman.. hal. 95-96
14
kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan
cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu'tal (ada 'illatnya) atau tidak. Jika
menurut dugaan penelitinya ada 'illat pada hadits tersebut maka dihukuminya
sebagai hadits tidak shahih.
Abu Zur'ah ditanya tentang alasannya menta'lil hadits, ia berkata, "Anda
bertanya tentang hadits yang ada 'illatnya, lalu aku sebutkan 'illatnya. Kemudian
Anda bertanya tentang pendapat Ibnu Darah -yaitu Muhammad bin Muslim bin
Darah- lalu dia menyebutkan 'illatnya. Kemudian bertanya lagi tentang pendapat
Abu Hatim Ar-Razi, lalu dia menyebutkan 'illatnya. Setelah itu Anda dapat
membandingkan pendapat masing-masing dari kami terhadap hadits tersebut. Jika
terdapat perbedaan dalam 'illatnya maka ketahuilah bahwa itu berarti setiap kami
berbicara sesuai kehendaknya. Jika terdapat persamaan, maka itulah hakekat ilmu
ini." Setelah diteliti ternyata pendapat mereka sama. Lalu dia berkata, "Aku
bersaksi bahwa ilmu ini memang adalah ilham.”
8
Syeikh Manna’ Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits terj. Mifdhol Abdurrahman.. hal. 98-102
17
isi atau kandungannya sehingga hilang kesukaran itu, dan jelas hakikatnya.
Muhammad 'Aijaj al-Khatib mendefinisikan Ilmu Mukhtalif al-Hadits dengan:
العلم الذي يبحث في األحاديث ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث
في األحاديث التي يشكل فهمها تصورها فيدفع إشكالها و يوضح حقيقتها
“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang lahiriahnya saling bertentangan agar
pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan diantara keduanya,
sebagaimana membagi hadits-hadits yang sulit dipahami isi dan kandungannya
agar dihilangkan kemusykilan (kesulitan) nya, serta dijelaskan hakikatnya”
9
Ahmad Zuhri, Fatimah Zahara, Watni Marpaung, Ulumul Hadis.. hal. 75-76
18
Hadis-hadis yang nasikh mansukh kebanyakan adalah hadits-hadits maqbul
yang berkaitan dengan hukum syariat. yang saling bertentangan yang tidak
mungkin bisa dikompromikan. Pengetahuan terhadap ilmu nasikh dan mansukh
sangat berguna dalam mengambil hukum. Hal ini dimungkinkan karena dengan
ilmu ini dapat diketahui hal hal yang berkaitan dengan hukum secara lebih
mendetail. Selain itu tentu saja dengan ilmu ini dapat mempermudah dalam
memahami hadis-hadis yang bertentangan. Dalam hal ini, Al-Hazimiy
mengatakan, cabang ilmu ini merupakan kesempurnaan ijtihad.
Metode
Penentuan adanya nasikh dan mansukh dalam hadis dapat diketahui dari
beberapa aspek: Penjelasan yang jelas dari Nabi, asbabul wurud, penjelasan
sahabat tentang hal tersebut dan sejarah.
Contoh:
19
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإنها تذكر اآلخرة
Rasulullah melarang ziarah kubur, karena pada waktu itu penziarahan lebih
menjurus kepada kesyirikan. Kemudian setelah itu Nabi memperbolehkan ziarah
kubur yaitu dengan tujuan mengingat kematian dan akhirat.10
10
Marhumah, Ulumul Hadis: Konsep, Urgensi, Objek Kajian, Metode, dan Contoh, (Yoyakarta:
SUKA-Press, 2014), hal. 173-175
20
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena seorang sahabat hendak berwudhu ketika ia
berada ditengah laut ia dalam kesulitan. Contoh lain adalah Hadits tentang niat,
hadits ini dituturkan berkenan dengan peristiwa hijrahnya Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ke Madinah, Salah seorang muhajir yang ikut karena didorong ingin
mengawini wanita dalam hal ini adalah Ummu Qais.
Urgensi Asbab al-Wurud terhadap hadis sebagai salah satu jalan untuk
memahami kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul al-Qur’an
terhadap al-Qur’an. ini terlihat beberapa manfaatnya, antara lain dapat mentakhsis
arti yang umum membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian yang mujmal,
menjelaskan kemusykilan, dan menunjukan ‘ilat suatu hukum. Maka dengan
memahami Asbab Wurud al-hadits ini, dapat dengan mudah memahami apa yang
dimaksud atau dikandung suatu hadis. Namun demikian, tidak semua hadits
mempunyai asbab wurud, seperti halnya tidak semua ayat al-Quran mempunyai
asbabun nuzul-nya.
Tentang keberadaan kitab-kitab Asbab al-Wurud al-Hadits al-Suyuthiy dengan
mengutip pendapat al-Zahabiy dan ibn Hajar, mengatakan ada beberapa kitab
tentang Asbab Wurud al-Hadits tersebut antara lain adalah:
a. Karya al-Hafs al-Akhbariy, wafat 399 H. karya ini sampai saat sekarang belum
diketahui kecuali hanya namanya saja.
b. Karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jubbariy. Karya al-Jubbariy itu sampai
sekarang belum diketahui kecuali hanya namanya saja.
c. Karya al-Suyutiy, al-Luma` fi Asbab Wurud al-Hadits
d. Karya Abu Hamzah al-Dimasyqiy, al-Bayan wa al-Ta`rif fi Asbab Wurud al-
Hadits al-Syarif
Dua buku Asbab wurud al-hadits yang disebutkan terakhir ini, yakni Asbab
Wurud al-Hadits karya al-Suyutiy dan al-Dimasyqiy, merupakan buku primer
penulis dalam penelitian ini dan merupakan pengetahuan penulis hanya dua buku
ini lah yang ada.11
11
Alifah, Fitriadi, Suja’i, Studi Ilmu Hadis, (Riau: Kreasi Edukasi, 2016), hal. 51-53
21
8. Ilmu Musthalah Hadits
Pada pembahasan sebelumnya telah kita sebutkan bahwa para ulama hadits
menamakan ilmu hadits dirayah dengan sebutan Musthalah Hadits.
a. Ilmu musthalah hadits ialah ilmu tentang prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
yang digunakan untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari segi
penerimaan dan penolakan.
b. Obyek pembahasan Ilmu Musthalah Hadits ialah sanad dan matan dari segi
diterima dan ditolaknya.
c. Manfaat Ilmu Musthalah Hadits: membedakan hadits shahih dari yang tidak
shahih.12
Sebelum ini sudah kita sebutkan definisi sanad, matan, isnad, dan musnid, dan
pengertian hadits, khabar dan atsar. Berikut ini pengertian dari sebagian istilah-
istilah yang perlu diketahui, yaitu:
a. Al-Musnad: secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-
musnad menurut istilah ilmu hadits mempunyai beberapa arti:
Pertama, Setiap buku yang berisi kumpulan riwayat setiap sahabat secara
tersendiri
Kedua, Hadits marfu' yang sanadnya bersambung
Ketiga, Yang dimaksud dengan Al-Musnad adalah sanad, maka dengan makna
ini menjadi masdar yang diawali huruf mim.
b. Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits riwayah
dan dirayah dan meneliti riwayat-riwayat dan keadaan para perawinya.
c. AL-Hafizh adalah:
Pertama, Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits
Kedua, Pendapat lain mengatakan bahwa Al-Hafizh derajatnya lebih tinggi dari
Al-Muhaddits Karena yang diketahuinya pada setiap thabaqah (tingkatan
generasi) lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya.
d. Al-Hakim, menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua
hadits kecuali sebagian kecil saja yang tidak diketahuinya.13
12
Mahmud At-Thahhan, Musthalahul Hadits Panduan Lengkap dan Praktis Belajar Dasar-dasar Ilmu
Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2022), hal. 16
13
Syeikh Manna’ Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits terj. Mifdhol Abdurrahman.. hal. 109-
110
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulumul hadits adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘Ulum
al-Hadits). ‘Ulum al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata ‘ulum dalam
bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”: sedangkan al-Hadits di
kalangan Ulama Hadits berarti “ segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat”. Dengan demikian, gabungan
kata ‘Ulum al-Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan
dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Apabila dilihat kepada garis besarnya, terbagi dalam dua bagian. Pertama, Ilmu Hadits
Riwayat (riwayah), kedua Imu Hadits Dirayat (dirayah).
Cabang-cabang Ilmu Hadits meliputi ‘Ilmu Rijalul Hadits, ‘Ilmu Jarh Wa Ta’dil, ‘Ilmu
Ghorib Al-Hadits, ’Ilmu ‘Ilal Al-Hadits, ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh,
‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits,‘IImu Mushalah Al-Hadits.
B. Saran
Dengan kerendahan hati, kami merasa bahwa tulisan ini sederhana dan jauh dari kata
sempurna. Saran dan kritik sangat diperlukan demi kesempurnaan tulisan ini. Demikian pula,
perlu adanya penyempurnaan tulisan ini agar lebih lengkap dan lebih bermanfaat bagi pembaca.
23
DAFTAR PUSTAKA
Alifah, Fitriadi., dan Suja’i. 2016. Studi Ilmu Hadis, Riau: Kreasi Edukasi
Al-Qathathan, Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
At-Thahhan, Mahmud. 2022. Musthalahul Hadits Panduan Lengkap dan Praktis Belajar Dasar-dasar
Ilmu Hadits. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Marhumah. 2014. Ulumul Hadis: Konsep, Urgensi, Objek Kajian, Metode, dan Contoh, Yoyakarta:
SUKA-Press.
Solahudin, M. Agus, Agus Suyadi. 2021. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Wahid, Abdul., Muhammad Zaini. 2016. Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan ‘Ulumul Hadits. Banda Aceh:
Yayasan PeNA.
Zuhri, Ahmad., Fatimah Zahara., dan Watni Marpaung. 2014. Ulumul Hadis. Medan: CV. Manhaji.
24