Makalah Tarikh Tasyri (Kelompok 4)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

Sumber Tasyri ( Hukum Islam ), Politik dan Tokoh-tokoh

Tasyri pada masa bani Umayyah

Disusun guna memenuhi tugas Tarikh Tasyri

Dosen pengampu : Imam Khoirul Ulumuddin,M.pd.l.

Disusun oleh kelompok 4 :

Dinargi sadonah 19106021081

Muhammad Afif Naufal 19106021083

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan banyak
nikmat dan karuniannya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang
merupakan tugas mata kuliah Tarikh Tasyri.Dan kami sampaikan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam ,bapak Imam Khoirul ulumuddin,M.pd.l.Dan
semua pihak yang turut membantu Proses penulisan makalah ini,masih banyak kekurangan dan
kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya,oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan di kemudian hari.

Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat bagi para pembaca khususnya
penulis sendiri.

Semarang22 November 2020

Penulis
BAB l
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dinasti umayyah merupakan dinasti besar yang didirikan oleh Muawiyyah Ibn Abi
Sufyan Ibn Harb Ibn Umayyah (masa pemerintahan 661-750 M). Ibunya bernama Hindun binti
‘Utbah Ibn Rabiah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf.[1] Muawiyyah lahir di kota Mekah tahun
607 M[2] dan memeluk agama Islam pada usia 23 Tahun bersama dengan tokoh-tokoh Quraisy
lainnya. Keislamannya terus dibina oleh Nabi dan beliau banyak meriwayatkan hadist baik yang
langsung dari Rosulullah maupun hadist dari para sahabat.

Penamaan Dinasti Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Syam Abdi Manaf.
Ummayah merupakan salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliyah. Umayyah sendiri
berasal dari golongan bangsawan kaya serta mempunyai kerabat yang banyak, hal ini merupakan
faktor pendukung yang menjadikan Dinasti ini besar dan dihormati, dinasti Umayyah juga dapat
mengembangkan agama Islam sebagai penerus dari keempat Khalifah setelah Rasulullah Wafat.

Antara hukum Islam dari masa Rosulullah sampai pada masa Dinasti Umayyah banyak
mengalami perkembangan yang signifikan. Ketika pada masa Rasul dalam penyelesaian
masalah, umat islam langsung bisa menanyakan kepada Nabi Muhammad, dan jawaban dari
Rasulullah akan menjadi sumber hukum bagi umat muslim. Setelah beliau wafat, selain
menggunakan Al-qur’an dan Hadist sebagai dasar hukum Islam, maka telah berkembang adanya
Ijma’ dan Qiyas.

Pada bahasan kali ini, penulis akan mencoba membahas keadaan dan perkembangan
hukum Islam pada masa tabi’in khususnya pada masa Dinasti Umayyah, seperti yang telah
dijelaskan diatas mengenai waktu kepemimpinan dan masa pemerintahan hampir 90 tahun.
Mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran sekte-sekte yang timbul pada masa ini, juga
pengaruh pemikiran-pemikiran pada masa Bani Umayyah.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat kita temukan adalah:

1. Bagaimana kondisi dan perkembangan Hukum Islam pada masa Bani Umayyah/masa
tabi’in?

2. Bagaimana Sumber-sumber Hukum Islam pada masa Bani Umayyah?

3. Bagaimana pengaruh Ahlul Hadist dan Ahlul Ra’yi pada masa Bani Umayyah?

4. Bagaimana Hukum Islam Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi dan Perkembangan Hukum Isam pada Masa Bani Umayyah/Masa Tabi’in

Perkembangan hukum islam (fiqh) pada masa bani Umayyah atau masa tabiin[3] sebenarnya
masih banyak menimbulkan kebingungan. Kebingungan itu didasari karena adanya pergolakan-
pergolakan yang muncul pada masa kekhalifahan. Utsman dan Ali, akhirnya memuncak pada
pemerintahan daulah Umayyah kemudian melahirkan agitasi teologis yang cukup tajam.
Pergolakan tersebut justru membawa pegaruh besar terhadap perkembangan hukum islam.
Sehingga mengantarkan pada masa kodifikasi dan munculnya para imam madzhab.[4] Periode
ini disebut ‘am al-jama’ah (tahun persatuan) karena bersatunya pendapat jumhur untuk
melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah.[5]

Secara umum para tabi’in pada masa itu mengikuti manhaj (metode, kaidah) sahabat dalam
mencari hukum. Mereka merujuk kepada Al-qur’an dan Hadist dan apabila tidak mendapatkan
dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri
berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat. Ada kecenderungan dari beberapa
ahli hukum islam (fuqaha) yang memandang bahwa hukum sebagai pertimbangan rasionalitas.
Mereka tidak hanya menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi persoalan yang
muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberikan
hukumnya.

Aliran pemikiran dengan menggunakan rasionalitas ini dipelopori oleh Ibrahim bin yazid an
Nakha’l, seorang ahli fiqh irak Hammad Bin Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fiqh
rasionalitas kepada Abu Hanifah. Walaupun banyak ahli fiqh yang memegang hukum
rasionalitas, namun aliran ini banyak mendapatkan tanggapan dan tantangan. Reaksi paling keras
berasal dari ulama Hijaz (Madinah) yang menganggap aliran ini telah banyak menyeleweng dari
manhaj sahabat. Bahkan dianggap berpaling dari ajaran Rasulullah SAW.

Dengan adanya aliran ini, dianggap telah membuka pintu untuk memasuki krisis pemahaman
keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam I’lamul
Muqi’l karangan Ibnul Qayyim Al-Jauziy, Ibnu Syihab Zuhri seorang ahli hadist pada masa itu
pernah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu yang
mereka miliki ketika mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran.”

Dari banyaknya kotroversi terhadap pemikiran rasionalitas kemudian meluasnya ruang ikhtilaf
periode hukum pada masa bani Umayyah. Dr. Tahaha Jabir dalam bukunya “Adabul Ikhtilaf Fil
Islam” menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf itu sebenarnya telah tumbuh pada
masa pemerintahan Usman bin Affan. Usman adalah khalifah pertma yang mengijinkan para
sahabat untuk pergi dari madinah dan menyebar ke berbagai daerah dan lebih dari 300 sahabat
pergi ke basrah dan kufah, sebagian lagi pergi ke Mesir dan Syam.[6]

Dari Penyebaran para sahabat memberikan peluang yang sangat besar dalam perluasan ikhtilaf
dikalangan tabi’in. hal itu juga menjadi faktor perkembangan dari fiqih yang disebabkan karena
masing-masing tabi’in memiliki perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, disamping
perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fiqih dalam mengantisipasi masalah yang muncul.

Dalam mengatasi masalah yang ada, sering juga terjadi perbedaan dalam pengambilan hukum,
hal ini karena perbedaan teori, formulasi, keadaan dan kondisi masyarakat. Persoalan juga tidak
hanya sampai disitu, pergolakan-pergolakan yang berbau politik dan kekuasaan juga sering
terjadi. Terbunuhnya Utsman bin Affan dan pindahnya markas kekhalifahan ke Kufah kemudian
ke Syam dan berbagai kontroversi yang banyak memakan korban jiwa. Ikhtilaf semakin
meruncing ketika kontroversi politik antara Ali dan Muawiyyah dan penyelewengan daulah
Umayyah menimbulkan aliran dan sekte. Pada saai itu muncul aliran Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah, dan lain sebagainya.[7]

B. Sumber-sumber Hukum Islam pada Masa Bani Umayyah

Pada masa sahabat, usaha yang sangat positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-qur’an dalam satu
mushaf. Ide pembukuan Al-qur’an datang dari usulan Umar bin Khattab, atas dasar karena
banyaknya sahabat yang hafal Al-qur’an gugur dalam peperangan. Ide tersebut disampaikan
kepada Abu bakar, pada awalnya abu bakar menolak ide tersebut karena pada masa rosulullah
tidak pernah terjadi pembukuan Al-qur’an. Kemudian Abu bakar menerima ide tersebut dan
menugaskan Zaid Bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-qur’an yang terpencar-pencar
tertulis dalam pelepah kurma, kulit-kulit binatang, dan yng dihfal oleh sahabat.[8]

Selain itu, pada periode ini setiap ada persoalan fuqaha kembali kepada Al-qur’an sebagai dasar
agama, kemudian merujuk kepada sunah nabi jika tidak ditemukan hukum suatu masalahnya
dalam Al-qur’an. Jika dari kedua warisan itu tidak ditemukan ketentuan hukumnya, mereka
berkumpul bermusyawarah untuk membicarakan persoalan itu. Dan bila terjadi kesepakatan
barulah diputuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudia dikenal dengan
Ijma’.[9]

Pada masa sahabat, kaum muslimin telah memiliki sumber rujukan utama yakni al-qur’an dan
hadist, namun ketika kedua sumber ini tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum dari suatu
kasus yang dihadapi, mereka berijtihad sendiri baik dengan cara Qiyas atau berpedoman kepada
kemaslahatan umat.[10]

C. Pengaruh Ahlul Hadist dan Ahlul Ra’yi pada Masa Bani Umayyah
Sejarah Islam mencatatkan, kekuasaan politik Islam berpindah-pindah. Madinah dimasa Nabi
SAW. Dan khulafa al-Rasyidin, Damaskus dimasa dinasti Umayyah, dan Baghdad dimasa
dinasti Abbasiyyah. Ketika Umar Bin Abdul Aziz menjadi penguasa , fokus kepemimpinannya
lebih cenderung kepada bidang politik, sehingga pemikiran politik dan keagamaan berjalan
sendiri-sendiri.

Peran akal juga merupakan hal yang penting dalam menjembatani kesenjangan teks keagamaan
dengan persoalan baru dalam perkembangan selanjutnya, dalam hukum Islam dikenal kelompok
“Ahlur Ra’yi”, kelompok yang berani menggunakan akal, yang berkembang di Irak, dan
kelompok “Ahlul Hadist”, kelompok yang terikat sekali dengan teks harfiyah Al-qur’an dan Al
Hadist, yang berkembang di Hijaz. Kedua kelompok ini muncul bukan karena rekayasa
pemerintah atau kepentingan salah satu golongan dalam pemerintahan, namun murni dari
ketulusan hati mereka untuk memberlakukan syari’at Allah dimuka bumi. Perkembangan
pemikiran ini berada diluar kontrol pemerintahan, karena para pemegang pemerintahan bukanlah
orang-orang yang menguasai pengetahuan Agama.[11]

1. Ahlul Hadist

Dalam masyarakat Islam terdapat kelompok yang metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu
amat terikat oleh informasi dari Nabi SAW. Dengan kata lain bahwa ajaran islam diperoleh dari
Al-qur’an dan petunjuk dari Hadist. Mulanya aliran ini timbul di Hijaz, utamanya di Madinah.
Karena penduduk di Madinah lebih mengenal hadist dibandingkan penduduk luar Hijaz. Di
Madinah sebagai ibukota islam, beredar hadist Nabi SAW yang jauh lebih banyak dan lengkap
dibanding dengan daerah lain.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, sumber hukum islam adalah apa yang disampaikan oleh Nabi,
yakni Al-qur’an dan Hadist. Dimasa tabi’in, sumber itu ditambah dengan fatwa sahabat ketika
menentukan suat hukum. Pada masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz dikenal masa
permulaan pembukuan Hadist. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadist-
hadist. Semenjak awal perhimpunan hingga pemilihan hadist shahih dari yang tidak sahih, adalah
kebanggaan tersendiri dalam menyelamatkan syari’at Islam.

2. Ahlul Ra’yi

Ahlul Ra’yi digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hukum islam yang memberikan porsi
akal lebih banyak dibanding dengan pemikiran lainnya. Bila kelompok lain sangat terikat oleh
teks nash, maka kelompok ini tidak terikat, mereka lebih leluasa dalam penggunaan akal.
Kelompok Ahlul Ra’yi bukannya meninggalkan hadist dalam setiap penetapan hukum, namun
mereka berpendapat bahwa nash mempunyai tujuan dan tafsiran tertentu, sehingga mereka
berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan pemikiran dari manusia sendiri.

Sedang kelompok Ahlul Hadist lebih memperhatikan penguasaan hafalan nash dan
mengamalkan sesuai dengan bunyi nash tersebut. Pada beberapa hadist, seperti:
a. Setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah seekor kambing

b. Zakat fitrah satu gantang kurma atau gandum

Ulama ahlul ra’yi memahami nash tersebut berdasarkan tujuan tasyrik, bukan redaksinya.
Sehingga 40 ekor kambing untuk zakatnya bisa berupa barang lain sesuai kebutuhan masyarakat
dengan seharga sesuai dengan satu ekor kambing. Begitu juga dengan zakat fitrah, boleh
menggunakan bahan makanan lain yang seharga dengan ketentuan zakat fitrah.[12] Lain halnya
dengan ahli hadist yang melihat hadist secara lahiriah dan tidak membahas ‘illat. Mereka juga
tidak menakwilkan nash secara rasional. Menurut mereka, zakat tidak sah dengan harga seekor
kambing atau harga kurma dan susu pada kasus tersebut. Antara ahli hadist dan ahli ra’yu
terdapat beberapa perbedaan, berikut ini pemaparannya:

1. Ahli hadist hanya berpedoman pada Al-qur’an dan hadist. Sementara ahli ra’yu berpedoman
pada Al-qur’an, hadist, dan ra’yu.

2. Ahli hadist melihat teks secara lahiriah tanpa menggali ‘illat hukum dan maslahat yang
dibenarkan. Sementara itu, ahli ra’yu menggali ‘illat hukum, menghubungkan satu masalah
dengan masalah lain, dan berkeyakinan bahwa semua hukum pasti mengandung maslahat.

3. Ketika ahli hadist dihadapkan suatu masalah yang tidak ada didalam nash memilih untuk
diam. Sementara itu, ahli ra’yu mengkaji yang tersirat didalam nash dengan didasarkan pada ruh
syariat.[13]

D. Hukum Islam Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur

Aliran-aliran ini tidak hanya dalam bidang teologis, tetapi juga berpengaruh dalam sejarah
perkembangan hukum Islam. Seperti contoh menurut golongan Syi’ah, Ijma’ dan Qiyas bukan
sebagai sumber hukum dalam Islam. Sebab hukum Isam dapat diambil dari Al-qur’an dan As
Sunah dan para imam-imam mereka yang ma’sum.[14] Diantara pendapat mereka tentang
hukum Islam adalah sebagai berikut:[15]

1. Nikah mut’ah adalah termasuk syari’at Islam, tidak termasuk golongan mereka jika tidak
menghalalkannya.

2. Wanita hanya dapat mewaris benda bergerak dari mayit.

3. Waktu shalat hanya ada tiga, yaitu pertama, Zhuhur dan Ashar (dikerjakan sekaligus pada
waktu salah satunya), kedua maghrib dan Isya’ (dikerjakan sekaligus pada waktu salah satunya),
ketiga shubuh.

Sedangkan khawarij berpendapat bahwa pemimpin itu untuk umat dan umatlah yang berhak
memilih dan memberhentikannya. Diantara pendapat mereka adalah bahwa perbuatan
merupakan bagian dari iman, sehingga iman saja tidak cukup kalau tidak diamalkan dalam
perbuatan. Dalam babakan hukum Islam, kaum ini mempunyai beberapa pendapat diantaranya:

1. Tidak ada hukuman rajam bagi wanita pezina mukhsan

2. Boleh berwasiat untuk ahli waris dan menolak hadits “tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
Sebab hadits ini dipandang bertentangan dengan ayat al Qur’an “diwajibkan atas kamu wasiat
bagi kedua orang tua dan sanak kerabat apabila kamu hendak meninggal”.

3. Thaharah untuk ibadah shalat adalah suci lahir batin. Kata-kata bohong, kotor, permusuhan
dan lain-lain merupakan prilaku kotor (ma’nawi) yang dapat merusak thaharah.
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Masa kekuasaan Bani Umayyah yakni 661-750 M, pada masa ini seringkali diwarnai konflik
politik antar golongan. Pada masa ini sumber hukum diambil dari Al-qur’an, hadist dan juga
Ijma’ para sahabat. Adanya golongan ahlul hadist dan ahlul ra’yi juga menjadikan
berkembangnya hukum Islam pada masa itu. Meskipun tidak jarang perbedaan itu juga berakibat
adanya perbedaan hukum pada masalah yang sama. Pada masa ini pula timbul beberapa sekte
dari agama Islam, seperti Syi’ah, khawarij, dan juga dari Jumhur. Pandangan mereka juga
berbeda mengenai hukum dalam Islam.

B. SARAN

Penulis menyarankan, setelah mempelajari materi ini maka diharapkan mampu mengerti tentang
perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in, yakni pada masa Bani Umayyah.
PERTANYAAN

1. Eka Aprilia Wulandari

Assalamu'alaikum wr. wb. Izin bertanya, Nama: Eka aprilia wulandari NIM: 19106021005
Pada masa dinasti Umayah apakah pernah terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil
keputusan hukum? Jika ada apa penyebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut? Dan
masalah hukum apa yang membuat terjadinya perbedaan pendapat tersebut? Terimakasih

Jawaban:

 Muhammad Afif Naufal (19106021083)

Waalaikumsalam, disini saya akan menjawab atas pertanyaan yang ditanyakan oleh mbak
eka, menurut artikel yang saya baca perbedaan pendapat di zaman itu ada. penyebab
terjadinya pendapat karena adanya berbagai perubahan, yaitu: * Sistem pergantian khalifah
melalui garis keturunan adalahsesuatu yang baru (bid'ah) bagi tradisi Islam yang lebih
menekankan aspeksinioritas. Pengaturanyya tidak jelas, ketidak jelasan sistem
pergantiankhalifah ini menyebabkan persaingan yang tidak sehat dikalangan anggotakeluarga
utama. * Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayah tidak bisadipisahkan dari konflik-
konflik politik yang terjadi pada masaAli. * Pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (bani
Qays)dan Arabia Selatan (bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam
makinmeruncing. * Lemahnya pemerintahan yang di sebabkan sikap hidup
mewahdilingkungan istana. * Munculnya kekuatan baru yang di pelopori oleh keturunanal-
Abas ibn Add al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari BaniHasyim dan
golongan syi'ah dan kaum mawali yang merasa di kelas duakan olehpemerintahan Bani
Umayah

 Dinargi sadonah (19106021081)


Saya akan menjawab pertanyaan mbk eka ..pernah ,terjadi perbedaan mazhab.mashab
merupakan pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam
memecahkan masalah atau menginstibatkan hukum islam.sebab terjadinya perbedaan
pendapat atau maszab dikarenakan perbedaanpersepsi dalam ushul fiqh dan fiqh serta
perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid .menganut paham untuk
bermazhab,dikarenakan faktor ketidak mampuan kita untuk menggali hukum syariat
sendiri secara langsung dari sumber sumbernya (al quran dan assunah).bermashab
secara benar dapat di tempuh dengan cara memahami bahwa sesunggungnya
pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab mazhab adalah
sesuatu yang sehat dan alamiah . Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam saya
menjawab pertanyaan dari mbk eka..dan silahkan kalau ada yang mau menambahkan
atau memperbaiki jawan saya.terimakasih
2. Sinta Amalia

Assalamualaikum wr.wb Saya izin bertanya Nama: Sinta Amalia Nim: 19106021009
Pertanyaannya: Di dalam perkembangan hukum Islam di masa Bani Umayyah tersebut masih
banyak menimbulkan kebingungan, kebingungan tsb di dasari karena timbulnya pergolakan"
yang muncul pada masa kekhalifahan. Pertanyaannya pergolakan apakan yang muncul pada
masa kekhalifahan tersebut sehingga menimbulkan kebingungan? Terimakasih

Jawaban:

 Muhammad Afif Naufal (19106021083)

Waalaikumsalam, menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh mbak sinta. Pergolakan yang
muncul pada masa kekhalifahan tersebut sehingga menimbulkan kebingungan adalah penurunan
yang disebabkan oleh sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan
oleh Yazid bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketenteraman dan kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan
kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin
Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-
Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani
Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik
adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin
kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.

Anda mungkin juga menyukai