Ushul Fiqih: (Dzhahir, Ta'wil, Nasikh, Dan Mansukh)
Ushul Fiqih: (Dzhahir, Ta'wil, Nasikh, Dan Mansukh)
Ushul Fiqih: (Dzhahir, Ta'wil, Nasikh, Dan Mansukh)
MAKALAH
Dosen pengampu:
Disusun oleh:
Kelompok 12
(20100121036)
(20100121056)
2022/2023
KATA PENGANTAR
Segala puji kita panjatkan kepada Allah swt. Yang telah memberi nikmat Kesehatan dan
kemudahan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah berjudul “Dzhahir, Ta’wil,
Nasikh, dan Mansukh” dengan tepat waktu. Tak lupa pula kita kirimkan shalawat kepada
baginda Nabi Muhammad saw. Yang dengannya semoga kita mendapat syafaatnya di hari
kiamat kelak.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr. H.
Andi Achruh, M.Pd.I Pada mata kuliah Ushul Fiqh. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Andi Achruh, M.Pd.I Selaku dosen
dari mata kuliah Ushul Fiqh yang telah memberi tugas ini, sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami mengenai program studi yang kami tekuni. Tak ada gading
yang tak retak. Begitupun kata pepatah, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................ii
Daftar Isi..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................5
C. Tujuan..........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................6
A. Pengertian Dzhahir......................................................................................6
B. Hukum Dzhahir............................................................................................6
1. Pengertian Ta’wil..........................................................................................7
2. Hukum Ta’wil...............................................................................................8
3. Syarat-syarat Ta’wil......................................................................................8
4. Macam-macam Ta’wil..................................................................................9
A. Kesimpulan..................................................................................................16
B. Saran.............................................................................................................16
Daftar Pustaka................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objaknya dalil hukum atau
sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Dalam kata
lain ushul fiqh digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu perbuatan berdasarkan
dalil-dalil yang shahih. Sebagaimana yang sudah disebutkan, bahwa untuk menetapkan
hukum itu perlu adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.
Diantara dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah itupun ditemukan adanya lafazh yang
berbeda-beda. Ada dalil yang sudah langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (zhahir)
dan ada pula yang mesti adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut. Sebagian
dalil juga ada yang arti lafazhnya memiliki makna yang tidak pada zhahirnya, itulah yang
disebut dengan takwil.
4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
8. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat nasikh dan mansukh
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dzhahir
1. Pengertian dzhahir
Dzhahir menurut bahasa dapat diartikan dengan jelas, tampak, dan terang, sedangkan
menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya menunjukkan kepada suatu arti
tanpa memerlukan keterangan lain di luar lafadz itu.1
Prof. Dr. Wahbah zuhaili dalam kitabnya Ushul fiqhi al-Islami mendefinisikan
"Dzahir adalah setiap lafal atau ucapan yang telah jelas maksudnya bagi orang yang
mendengarnya tanpa tergantung pada indikator lain ataupun angan-angan, baik
mengantarkan pada makna yang di maksud maupun tidak".
Asy-Syaukani dalam kitbanya Irsyadu al-Fukhul ilaa Tahqiqi al-Haq min Ilmi al-
Wushul mendefinisikan sebagai berikut "Dzahir adalah lafal yang artinya berada diantara
dua arti, namun salah satu di antaranya lebih jelas atau tidak nampak".
2. Hukum Dzhahir
Yang dimaksud dengan hukum zhahir adalah, dalam hal bagaimana kita boleh atau
harus berpegang pada makna yang zhahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh
meninggalkan arti zhahir.
Ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakain lafaz zhahir; “Zhahir itu adalah
dalil syar’i yang wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan lain
daripadanya.” Maksudnya adalah, apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk
mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai
dalil yang wajib kita ikuti.2
1 Tim kodifikasi Anfa, Tashilu Lubbil Ushul, pengantar memahami Lubbul Ushul, terjemah dan kajian Lubbul
Ushul Asy-saikh al-Islam Zakaria al-Anshari, Kediri: (Lirboyo press, 2015), hal 198
2 Drs. H. A. Basiq Djalil, S. H, M. A. Ilmu Ushul Fikih I dan II, (Jakarta: Kencana prenada media grup, 2010),
Hlm. 45
6
B. Ta'wil
1. Pengertian ta'wil
Ta'wil menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir) Al-
Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya.3
Pengertian ta’wil dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan
dari lafazh itu. Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa
alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriyahya, bahkan penggunaan secara
masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan tafsir.4
Ta’wil menurut bahasa, artinya ialah menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya
sesuatu hal.5
Firman allah dalam surat an-nisa ayat 59:
“yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya”
Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul, ta’wil ialah memalingkan lafazh dari
zhahirnya lantaran ada dalil. Dan termasuk sesuatu yang telah ditetapkan, yaitu bahwa
asal sesuatu itu tidak memalingkan lafazh dari zhahirnya, tidak benar, kecuali apabila
didasarkan kepada dalil syara’ yang berupa nash atau qiyas atau didasarkan kepada jiwa
pembentukan hukum, atau prinsip-prinsip umum. Apabila takwil itu tidak didasarkan
atas dalil syara’ yang sahih, bahkan didasarkan kepada hawa nafsu, tujuan-tujuan khusus,
dan meguatkan sebagian pendapat, maka takwil itu adalah tidak benar. Bahkan
merupakan permainan terhadap undang-undang dan teksnya. Begitu juga apabila takwil
3 M. Abdul Mujieb, Kamus istilah fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 211
7
itu bertentangan dengan nash yang jelas (sahih). Atau berupa takwilan terhadap sesuatu
yang tidak dikandung oleh lafazh.6
2. Hukum ta'wil
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang
berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil. Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-
istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil.
3. Syarat-syarat ta’wil
Adapun syarat-syarat ta’wîl adalah:
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wîl seperti lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak
berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wîl-kan karena lafaz tersebut
memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wîl. Serta tidak asing
dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wîl seperti:
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara
dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya:
suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada
kemungkinan untuk di ta’wîl kan, maka hadis itu di ta’wîl kan saja ketimbang
ditolak sama sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dalil-nya. Contohnya: suatu lafaz
dalam bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna
menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain
yang mufassar. Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wîl.7
4. Macam-macam ta’wîl
Macam-macam Ta’wîl secara garis besarnya, ada dua macam ta’wîl:
2. Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh
usaha mengkompromikan antara hukum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis
Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wîl yang
bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang)
dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua
dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang keduanya atau satu
diantaranya.
8
Selanjutnya makna kata Nasikh secara istilah yang dijelaskan oleh ahli Fiqih (Fuqaha)
yaitu bahwa Nasikh adalah “rof’u as syaari’ hukman syar’iyyan bi dalilin syar’iyyin
mutaraakhin ‘anhu” yang berarti “pengangkatan (penghapusan) oleh as Syaari’ (Allah
Swt) terhadap hukum syara’ (yang lampau) dengan dalil syara’ yang terbaru. Yang
dimaksud dengan pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan kontinuitas
pengamalan hukum tersebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir.”
Mansukh juga memiliki pengertian secara etimologi (bahasa) dan juga terminologi
(istilah). Maka secara etimologi Mansukh artinya “suatu hal yang diganti”. Sedang secara
istilah/terminologi, Mansukh diartikan sebagai “hukum syara’ yang menempati posisi
awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang
kemudian”.8
1. “Adat Nasikh”, ialah sebuah statement yang meyakinkan bahwa benar-benar ada
pembatalan suatu hukum yang sudah ada.
2. “Nasikh”, yang merupakan hukum/dalil atau ayat yang sifatnya “akan menghapus” dalil
atau hukum awal atau yang sudah ada.
3. “Mansukh”, ini merupakan suatu hukum atau dalil yang akan dihapus, dibatalkan
ataupun dipindahkan keberadaannya.
4. “Mansukh ‘anh”, yang berarti orang-orang yang harus mendapat beban dari hukum
tersebut.
8 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022 E-ISSN 2809-1779/P-ISSN 2809-
4328, hlm. 30
10
1. Mansukh (dalil hukum yang dihapuskan atau dibatalkan) haruslah berupa hukum
syara’. Hukum syara’ merupakan aturan-aturan yang berasal dari Allah SWT dan telah
ditetapkan guna mengatur segala perbuatan ataupun tingkah laku para mukallaf yang
berupa wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah. Artinya bahwa suatu mansukh
bukan berasal dari hukum akal pikiran ataupun hukum yang diciptakan manusia
2. Nasikh (dalil yang menghapuskan atau membatalkan) musti memiliki selang waktu
dari mansukh (dalil hukum yang lama). Nasikh ini juga wajib berwujud dalil-dalil
syara’ baik Al-Qur’anul Karim, Al Hadits, Qiyas ataupun Ijma’.
3. Dalil baru (Nasikh) dan dalil lama (Mansukh) tersebut haruslah memiliki pertentangan
yang bersifat nyata (kontradiktif).
4. Sifat dari Nasikh (dalil yang menghapuskan atau dalil yang mengganti) ialah
mutawattir. Sebab dalil yang sudah terbukti secara pasti ketetapan hukumnya, maka
tidak bisa digantikan (dinasakhan) melainkan oleh hukum yang juga secara pasti sudah
terbukti.9
Nasakh diklasifikasikan menjadi empat jika dilihat dari segi nasakh antara Qur’an
dengan Sunnah, yaitu:
Maksudnya bahwa hukum ataupun dalil yang mulanya ditentukan oleh Qur’an
maka digantikan (nasakh-kan) oleh dalil al-Qur’an juga. Mengenai nasakh ini terdapat
varian prespektif oleh para ulama tentang diterima tidaknya. Dari pandangan ulama
yang menerima adanya nasakh satu ini, mereka beranggapan bahwa Allah Al Qadir,
Ar Rahman dan Ar Rahim mula-mula telah menentukan suatu hukum yang bersifat
ringan. Tetapi karena mungkin dirasa umat Muslim sudah bisa menghadapi hukum
yang tidak lagi ringan, maka hukum ringan awal tersebut perlu digantikan. Hal
9 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022 E-ISSN 2809-1779/P-ISSN 2809-
4328, hlm. 31
11
tersebut merupakan salah satu bentuk kebijakan Allah dimana Allah sedang
menunjukkan “Al ‘Aliy” (Maha Tinggi) dan “Al Alim” (Maha Mengetahui).
Misalnya pada dinasakh nya Kalamullah yaitu Q.S. Al Baqarah : 240 tentang masa
‘iddah berlaku satu tahun yang kemudian digantikkan dengan Q.S Al Baqarah: 234
tentang masa ‘iddah yaang berlaku hanya 4 bulan 10 hari.
اَّل يَْأتِ ْي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ۢ ْن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن خَ ْلفِ ٖه ۗ تَ ْن ِز ْي ٌل ِّم ْن َح ِكي ٍْم َح ِم ْي ٍد
“Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang
diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Maksudnya bahwa suatu hukum tersebut mulanya ada dalam dalil Al Qur’an
kemudian digantikan/nasakh dengan dalil As-Sunnah. Nasakh satu ini oleh Syaikh
Manna’ dibagi menjadi 2, yakni:
Namun sebagian besar ulama menolak kebenarannya dengan alasan Al Qur’an bersifat
mutawatir sekaligus penuh dengan keyakinan didalamnya, sedangkan Sunnah Ahad
bersifat prasangka atau dugaan. Sehingga sangat tidak dibenarkan mengapuskan atau
menggantikan hal yang jelas diketahui sifatnya (ma’lum) dengan hal-hal maznun
(diduga).
12
3 ق َع ِن ا ْل َه ٰوى
ُ َو َما يَ ْن ِط
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Maksud nasakh ini ialah bahwa suatu hukum/dalil yang telah ditentukan berdasar dalil
As Sunnah lalu diganti (dinasakh) dengan dalil Qur’an. Nasakh ini terdapat contoh
yaitu tentang arah kiblat yang semula dijelaskan dalam hadits bahwa Baitul Maqdis
menjadi patokan arah kiblat bagi umat muslim, kemudian setelah diturunkannya ayat
144 pada Q.S. Al Baqarah Ka’bah Masjidil Haram yang menjadi patokannya.
Artinya bahwa suatu hukum syara’ yang mulanya didasarkan dalil As-Sunnah lalu
dinasakhkan (dihapus) oleh dalil syara’ dari As-Sunnah pula. Misalnya yakni hukum
ziarah hukum yang semula dilarang kemudian dihapus (dinasakh) menjadi mubah
(boleh). Terjemahaan hadits nya ialah “Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur,
sekarang berziarahlah” (Riwayat At Tirmidzi).10
10 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022
13
Pada bagian referensi dan hukum sebagian besar ahli agama memecah Nasakh
menjadi tiga kategori, yakni:
Ayat-ayat pada bagian ini tidak boleh dilafalkan dan dilaksanakan lagi. Misalnya
pada “H.R Bukhari dan Muslim dari Aisyah” yang berati: “Dahulu termasuk yang
diturunkan (ayat al-Qur`an) adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-
nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw. wafat, hukum yang
terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur`an”.
b. Penghilangan hanya pada hukum/ketentuannya sendiri sedang pada teksnya tetap ada
Contohnya pada ayat yang membahas perihal rajam. Pada mulanya, ayat tersebut
ialah berasal dari kalamullah yaitu ayat pada al-Qur`an. Bacaan ayat tersebut dikatakan
mansukh (telah digantikan), namun hukum/kententuannya tetaplah sahih dan berlaku
yaitu yang artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah
keduanya”. Terdapat dalam kisah zina yang dilakukan orang tua lalu digantikan
(diNasikh) yang mana telah dinyatakan oleh Ubay ibnu Ka’ab bin Abu Umamah bin
Sahl.
14
b. Sebagai bentuk ujian bagi kita untuk membuktikan dengan jelas golongan umat yang
memilih taat pada syariat atau golongan umat yang memilih untuk menentang.
d. Bentuk perhatian dan kasih sayang Alloh pada kemaslahatan hamba-Nya, dimana hal
tersebut merupakan tujuan pokok adanya syariat agama Islam Rahmatan lil 'Alamin.
e. Dapat menaikkan tingkat iman kita kepada Allah SWT tentang kejadian apapun yang
telah berlalu atas seizin-Nya di dunia ini.11
BAB III
PENUTUP
1112 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022 E-ISSN 2809-1779/P-ISSN
2809-4328, hlm. 35
15
Kesimpulan
1. Zhahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada
petunjuk lain. Apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan
sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.
2. Sedangkan Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna
lain , tetapi bukan zhahirnya. Adapun kajian takwil kebanyakan adalah firu’ sebagaimana
pendapat Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan
kajian takwil juga. Itu semua kajian takwil secara global dan terbatas bila belum ada
panafsiran dari syari’at secara menyeluruh.
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai
kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu
merubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa, takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
3. Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain. Naskh
terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah
ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.
Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni
: Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih
dulu daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.
Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan quran,
naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa pendapat
mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat
tersebut.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujieb, M, Dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Jumantoro, Totok, Muniar Amin, Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2009
17