Ushul Fiqih: (Dzhahir, Ta'wil, Nasikh, Dan Mansukh)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

USHUL FIQIH

(Dzhahir, Ta'wil, Nasikh, dan Mansukh)

MAKALAH

Dipresentasikan dalam forum kelas mata kuliah ushul fiqh

Program Sarjana Prodi PAI Semester IV

Dosen pengampu:

Dr. H. Andi Achruh, M.Pd.I

Disusun oleh:

Kelompok 12

Nurul Alifah Saputri

(20100121036)

Suri Ramadhani Ishaq Mahmud

(20100121056)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji kita panjatkan kepada Allah swt. Yang telah memberi nikmat Kesehatan dan
kemudahan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah berjudul “Dzhahir, Ta’wil,
Nasikh, dan Mansukh” dengan tepat waktu. Tak lupa pula kita kirimkan shalawat kepada
baginda Nabi Muhammad saw. Yang dengannya semoga kita mendapat syafaatnya di hari
kiamat kelak.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr. H.
Andi Achruh, M.Pd.I Pada mata kuliah Ushul Fiqh. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Andi Achruh, M.Pd.I Selaku dosen
dari mata kuliah Ushul Fiqh yang telah memberi tugas ini, sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami mengenai program studi yang kami tekuni. Tak ada gading
yang tak retak. Begitupun kata pepatah, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 27 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................ii

Daftar Isi..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................4

A. Latar Belakang............................................................................................4

B. Rumusan Masalah........................................................................................5

C. Tujuan..........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................6

A. Pengertian Dzhahir......................................................................................6

B. Hukum Dzhahir............................................................................................6

1. Pengertian Ta’wil..........................................................................................7

2. Hukum Ta’wil...............................................................................................8

3. Syarat-syarat Ta’wil......................................................................................8

4. Macam-macam Ta’wil..................................................................................9

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh.................................................................9

B. Rukun dan Syarat Nasikh dan Mansukh......................................................10

C. Pembagian Nasikh dan Mansukh.................................................................11

D. Bentuk-bentuk Nasikh dan Mansukh...........................................................14

E. Hikmah Nasikh dan Mansukh......................................................................15

BAB III PENUTUP.........................................................................................16

A. Kesimpulan..................................................................................................16

B. Saran.............................................................................................................16

Daftar Pustaka................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objaknya dalil hukum atau
sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Dalam kata
lain ushul fiqh digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu perbuatan berdasarkan
dalil-dalil yang shahih. Sebagaimana yang sudah disebutkan, bahwa untuk menetapkan
hukum itu perlu adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.
Diantara dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah itupun ditemukan adanya lafazh yang
berbeda-beda. Ada dalil yang sudah langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (zhahir)
dan ada pula yang mesti adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut. Sebagian
dalil juga ada yang arti lafazhnya memiliki makna yang tidak pada zhahirnya, itulah yang
disebut dengan takwil.

Allah menurunkan shari’at di dalam Alquran kepada Nabi Muhammad untuk


memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan
mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia
tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan
diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan
kemaslahatan manusia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi
karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang
mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus
mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan dzhahir?

2. Bagaimana hukum dzhahir?

3. Apa yang dimaksud dengan ta’wil?

4. Bagaimana hukum ta’wil?

5. Apa syarat-syarat ta’wil?

6. Apa saja macam-macam ta’wil?

7. Apa pengertian nasikh dan mansukh?

8. Apa saja rukun dan syarat nasikh dan mansukh?

9. Ada berapa bagian nasikh dan mansukh?

10. Apa saja bentuk-bentuk nasikh dan mansukh?

11. Apa hikmah nasikh dan mansuk?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dzhahir

2. Untuk mengetahui bagaimana hukum dzhahir

3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ta’wil

4. Untuk mengetahui bagaimana hukum ta’wil

5. Untuk mengetahui apa syarat-syarat ta’wil

6. Untuk mengetahui apa saja macam-macam ta’wil

7. Untuk mengetahui apa pengertian nasikh dan mansukh

8. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat nasikh dan mansukh

9. Untuk mengetahui ada berapa bagian nasikh dan mansukh

10. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk nasikh dan mansukh

11. Untuk mengetahui apa hikmah nasikh dan mansuk

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dzhahir
1. Pengertian dzhahir
Dzhahir menurut bahasa dapat diartikan dengan jelas, tampak, dan terang, sedangkan
menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya menunjukkan kepada suatu arti
tanpa memerlukan keterangan lain di luar lafadz itu.1
Prof. Dr. Wahbah zuhaili dalam kitabnya Ushul fiqhi al-Islami mendefinisikan
"Dzahir adalah setiap lafal atau ucapan yang telah jelas maksudnya bagi orang yang
mendengarnya tanpa tergantung pada indikator lain ataupun angan-angan, baik
mengantarkan pada makna yang di maksud maupun tidak".
Asy-Syaukani dalam kitbanya Irsyadu al-Fukhul ilaa Tahqiqi al-Haq min Ilmi al-
Wushul mendefinisikan sebagai berikut "Dzahir adalah lafal yang artinya berada diantara
dua arti, namun salah satu di antaranya lebih jelas atau tidak nampak".

2. Hukum Dzhahir
Yang dimaksud dengan hukum zhahir adalah, dalam hal bagaimana kita boleh atau
harus berpegang pada makna yang zhahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh
meninggalkan arti zhahir.
Ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakain lafaz zhahir; “Zhahir itu adalah
dalil syar’i yang wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan lain
daripadanya.” Maksudnya adalah, apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk
mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai
dalil yang wajib kita ikuti.2

1 Tim kodifikasi Anfa, Tashilu Lubbil Ushul, pengantar memahami Lubbul Ushul, terjemah dan kajian Lubbul
Ushul Asy-saikh al-Islam Zakaria al-Anshari, Kediri: (Lirboyo press, 2015), hal 198

2 Drs. H. A. Basiq Djalil, S. H, M. A. Ilmu Ushul Fikih I dan II, (Jakarta: Kencana prenada media grup, 2010),
Hlm. 45

6
B. Ta'wil
1. Pengertian ta'wil
Ta'wil menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir) Al-
Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya.3
Pengertian ta’wil dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan
dari lafazh itu. Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa
alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriyahya, bahkan penggunaan secara
masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan tafsir.4

Ta’wil menurut bahasa, artinya ialah menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya
sesuatu hal.5
Firman allah dalam surat an-nisa ayat 59:

ۡ‫ول ِإن ُكنتُم‬


ِ ‫س‬ُ ‫سو َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلمۡ ِر ِمن ُكمۡۖ فَِإن تَ ٰنَزَ ۡعتُمۡ فِي ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر‬
ُ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأ ِطي ُعو ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُعو ْا ٱل َّر‬
٥٩ ‫سنُ ت َۡأ ِوياًل‬ ٰ
َ ‫ر َوَأ ۡح‬ٞ ‫ت ُۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر َذلِ َك َخ ۡي‬

“yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya”

Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul, ta’wil ialah memalingkan lafazh dari
zhahirnya lantaran ada dalil. Dan termasuk sesuatu yang telah ditetapkan, yaitu bahwa
asal sesuatu itu tidak memalingkan lafazh dari zhahirnya, tidak benar, kecuali apabila
didasarkan kepada dalil syara’ yang berupa nash atau qiyas atau didasarkan kepada jiwa
pembentukan hukum, atau prinsip-prinsip umum. Apabila takwil itu tidak didasarkan
atas dalil syara’ yang sahih, bahkan didasarkan kepada hawa nafsu, tujuan-tujuan khusus,
dan meguatkan sebagian pendapat, maka takwil itu adalah tidak benar. Bahkan
merupakan permainan terhadap undang-undang dan teksnya. Begitu juga apabila takwil

3 M. Abdul Mujieb, Kamus istilah fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 211

4 Rosihon Anwar, Ulumu Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka, 2007), hlm. 212

5 Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit, hlm. 260

7
itu bertentangan dengan nash yang jelas (sahih). Atau berupa takwilan terhadap sesuatu
yang tidak dikandung oleh lafazh.6

2. Hukum ta'wil
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang
berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil. Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-
istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil.

3. Syarat-syarat ta’wil
Adapun syarat-syarat ta’wîl adalah:

1. Lafaz itu dapat menerima ta’wîl seperti lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak
berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wîl-kan karena lafaz tersebut
memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wîl. Serta tidak asing
dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wîl seperti:
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara
dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya:
suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada
kemungkinan untuk di ta’wîl kan, maka hadis itu di ta’wîl kan saja ketimbang
ditolak sama sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dalil-nya. Contohnya: suatu lafaz
dalam bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna
menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain
yang mufassar. Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wîl.7

4. Macam-macam ta’wîl
Macam-macam Ta’wîl secara garis besarnya, ada dua macam ta’wîl:

6 Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit, hlm. 261


1. Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan
sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui
bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.

2.    Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh
usaha mengkompromikan antara hukum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis
Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wîl yang
bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang)
dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua
dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang keduanya atau satu
diantaranya.

            Ta’wîl itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir ayat,


namun sewaktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Kadang-kadang tidak dibenarkan menggunakan ta’wîl, atau ta’wîl itu dianggap
salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk ta’wîl; atau ada dorongan untuk
men-ta’wîl, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan;atau ta’wîl itu bertentangan
dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i

B. Nasikh dan Mansukh


1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh memiliki dua pengertian yakni secara etimologi (bahasa) dan juga secara
terminoligi (istilah). Berikut makna kata Nasikh secara bahasa yang dipandang paling
relevan:
1. “Ar-Raf’ulal-izalah” yang berarti penghapusan.
2. “An-Naqlu” yang berarti penyalinan ataupun penulikan.
3. “Al-Ibthal” yang berarti penghilangan atas sesuatu.
4. “At-Taghyir wal Ibtal Wal Iqamah ash-Shai’ Maqamahu” yang artinya ialah mengganti
atau menukar.
5. “At-Tahwil wal Baqa ‘ihi fi Nafsihi / At-Tabdil” yang artinya “memalingkan, meyalin
atau memindahkan”.
9

7 Amir Syarifuddin, Ushul Fikih.hal. 42.

8
Selanjutnya makna kata Nasikh secara istilah yang dijelaskan oleh ahli Fiqih (Fuqaha)
yaitu bahwa Nasikh adalah “rof’u as syaari’ hukman syar’iyyan bi dalilin syar’iyyin
mutaraakhin ‘anhu” yang berarti “pengangkatan (penghapusan) oleh as Syaari’ (Allah
Swt) terhadap hukum syara’ (yang lampau) dengan dalil syara’ yang terbaru. Yang
dimaksud dengan pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan kontinuitas
pengamalan hukum tersebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir.”

Mansukh juga memiliki pengertian secara etimologi (bahasa) dan juga terminologi
(istilah). Maka secara etimologi Mansukh artinya “suatu hal yang diganti”. Sedang secara
istilah/terminologi, Mansukh diartikan sebagai “hukum syara’ yang menempati posisi
awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang
kemudian”.8

2. Rukun dan Syarat Nasikh dan Mansukh


Menurut sistematisasi tafsir dalam ilmu hukum hubungan norma hukum antara
keduanya harus dicermati dengan seksama agar tidak terjadi pertentangan diantara satu
kalimat dengan kalimat yang lain. Berdasarkan hal itu, maka dalam “Nasikh wa al-
Mansukh”
ada sejumlah pilar yaitu rukun yang terdiri atas;

1. “Adat Nasikh”, ialah sebuah statement yang meyakinkan bahwa benar-benar ada
pembatalan suatu hukum yang sudah ada.

2. “Nasikh”, yang merupakan hukum/dalil atau ayat yang sifatnya “akan menghapus” dalil
atau hukum awal atau yang sudah ada.

3. “Mansukh”, ini merupakan suatu hukum atau dalil yang akan dihapus, dibatalkan
ataupun dipindahkan keberadaannya.

4. “Mansukh ‘anh”, yang berarti orang-orang yang harus mendapat beban dari hukum
tersebut.

Serta syarat-syarat yang terdiri atas empat hal sebagai berikut,

8 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022 E-ISSN 2809-1779/P-ISSN 2809-
4328, hlm. 30

10
1. Mansukh (dalil hukum yang dihapuskan atau dibatalkan) haruslah berupa hukum
syara’. Hukum syara’ merupakan aturan-aturan yang berasal dari Allah SWT dan telah
ditetapkan guna mengatur segala perbuatan ataupun tingkah laku para mukallaf yang
berupa wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah. Artinya bahwa suatu mansukh
bukan berasal dari hukum akal pikiran ataupun hukum yang diciptakan manusia

2. Nasikh (dalil yang menghapuskan atau membatalkan) musti memiliki selang waktu
dari mansukh (dalil hukum yang lama). Nasikh ini juga wajib berwujud dalil-dalil
syara’ baik Al-Qur’anul Karim, Al Hadits, Qiyas ataupun Ijma’.

3. Dalil baru (Nasikh) dan dalil lama (Mansukh) tersebut haruslah memiliki pertentangan
yang bersifat nyata (kontradiktif).

4. Sifat dari Nasikh (dalil yang menghapuskan atau dalil yang mengganti) ialah
mutawattir. Sebab dalil yang sudah terbukti secara pasti ketetapan hukumnya, maka
tidak bisa digantikan (dinasakhan) melainkan oleh hukum yang juga secara pasti sudah
terbukti.9

3. Pembagian Nasikh dan Mansukh

Nasakh diklasifikasikan menjadi empat jika dilihat dari segi nasakh antara Qur’an
dengan Sunnah, yaitu:

a. Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Maksudnya bahwa hukum ataupun dalil yang mulanya ditentukan oleh Qur’an
maka digantikan (nasakh-kan) oleh dalil al-Qur’an juga. Mengenai nasakh ini terdapat
varian prespektif oleh para ulama tentang diterima tidaknya. Dari pandangan ulama
yang menerima adanya nasakh satu ini, mereka beranggapan bahwa Allah Al Qadir,
Ar Rahman dan Ar Rahim mula-mula telah menentukan suatu hukum yang bersifat
ringan. Tetapi karena mungkin dirasa umat Muslim sudah bisa menghadapi hukum
yang tidak lagi ringan, maka hukum ringan awal tersebut perlu digantikan. Hal

9 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022 E-ISSN 2809-1779/P-ISSN 2809-
4328, hlm. 31

11
tersebut merupakan salah satu bentuk kebijakan Allah dimana Allah sedang
menunjukkan “Al ‘Aliy” (Maha Tinggi) dan “Al Alim” (Maha Mengetahui).

Misalnya pada dinasakh nya Kalamullah yaitu Q.S. Al Baqarah : 240 tentang masa
‘iddah berlaku satu tahun yang kemudian digantikkan dengan Q.S Al Baqarah: 234
tentang masa ‘iddah yaang berlaku hanya 4 bulan 10 hari.

Sedangkan dalam pandangan para ulama yang menolaknya, mereka menganggap


bahwa “Nasikh Wa al-Mansukh” pada Kalamullah (Al-Qur’an) sekarang tiada lagi.
Diuraikan juga bahwasanya Firman Allah (Al-Qur’an) sebenarnya telah menasakh
kitab sebelumnya yakni Taurat, Zabut dan juga Injil, tetapi untuk semua ayat Al
Qur’an saat ini tiada lagi ada mansukhnya. Perihal ini didasarkan pada Q.S. Fussilat
(42):

‫اَّل يَْأتِ ْي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ۢ ْن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن خَ ْلفِ ٖه ۗ تَ ْن ِز ْي ٌل ِّم ْن َح ِكي ٍْم َح ِم ْي ٍد‬

“Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang
diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.

b. Al-Qur’an dengan As-Sunnah

Maksudnya bahwa suatu hukum tersebut mulanya ada dalam dalil Al Qur’an
kemudian digantikan/nasakh dengan dalil As-Sunnah. Nasakh satu ini oleh Syaikh
Manna’ dibagi menjadi 2, yakni:

1.) Nasakh Qur’an dengan Sunnah Ahad (Ahadiyah)

Namun sebagian besar ulama menolak kebenarannya dengan alasan Al Qur’an bersifat
mutawatir sekaligus penuh dengan keyakinan didalamnya, sedangkan Sunnah Ahad
bersifat prasangka atau dugaan. Sehingga sangat tidak dibenarkan mengapuskan atau
menggantikan hal yang jelas diketahui sifatnya (ma’lum) dengan hal-hal maznun
(diduga).

12

2.) Nasakh Qur’an dengan Sunnah Muttawatiroh


Oleh tiga pemimpin/imam mazhab yaitu Imam Malik, Abu Hanafi dan Imam Ahmad
berpendapat sama yaitu memberi hukum mubah pada nasakh ini dengan asumsi bahwa
kedua dalil tersebut adalah wahyu. Dasar yang mereka pegang ialah pada Q.S. An-
Najm ayat 3 dan 4:

3 ‫ق َع ِن ا ْل َه ٰوى‬
ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬

4 ‫اِنْ ُه َو اِاَّل َو ْح ٌي يُّ ْو ٰحى‬

Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

3.) As-Sunnah dengan Qur’an

Maksud nasakh ini ialah bahwa suatu hukum/dalil yang telah ditentukan berdasar dalil
As Sunnah lalu diganti (dinasakh) dengan dalil Qur’an. Nasakh ini terdapat contoh
yaitu tentang arah kiblat yang semula dijelaskan dalam hadits bahwa Baitul Maqdis
menjadi patokan arah kiblat bagi umat muslim, kemudian setelah diturunkannya ayat
144 pada Q.S. Al Baqarah Ka’bah Masjidil Haram yang menjadi patokannya.

4.) As-Sunnah dengan As-Sunnah

Artinya bahwa suatu hukum syara’ yang mulanya didasarkan dalil As-Sunnah lalu
dinasakhkan (dihapus) oleh dalil syara’ dari As-Sunnah pula. Misalnya yakni hukum
ziarah hukum yang semula dilarang kemudian dihapus (dinasakh) menjadi mubah
(boleh). Terjemahaan hadits nya ialah “Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur,
sekarang berziarahlah” (Riwayat At Tirmidzi).10

4. Bentuk-Bentuk Nasikh dan Mansukh

10 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022

11 E-ISSN 2809-1779/P-ISSN 2809-4328, hlm. 32-34

13
Pada bagian referensi dan hukum sebagian besar ahli agama memecah Nasakh
menjadi tiga kategori, yakni:

a. Menghilangkan hukum/ketentuan dan teksnya secara bersama.

Ayat-ayat pada bagian ini tidak boleh dilafalkan dan dilaksanakan lagi. Misalnya
pada “H.R Bukhari dan Muslim dari Aisyah” yang berati: “Dahulu termasuk yang
diturunkan (ayat al-Qur`an) adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-
nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw. wafat, hukum yang
terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur`an”.

b. Penghilangan hanya pada hukum/ketentuannya sendiri sedang pada teksnya tetap ada

Contohnya, ayat yang membahas memprioritaskan untuk bersedekah seperti yang


tercantum pada Q.S. Mujadilah Ayat 12 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu
mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh
(yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha
Penyayang.

c. Penghilangan hanya pada teks/bacaan, sedang hukumnya tetaplah sahih.

Contohnya pada ayat yang membahas perihal rajam. Pada mulanya, ayat tersebut
ialah berasal dari kalamullah yaitu ayat pada al-Qur`an. Bacaan ayat tersebut dikatakan
mansukh (telah digantikan), namun hukum/kententuannya tetaplah sahih dan berlaku
yaitu yang artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah
keduanya”. Terdapat dalam kisah zina yang dilakukan orang tua lalu digantikan
(diNasikh) yang mana telah dinyatakan oleh Ubay ibnu Ka’ab bin Abu Umamah bin
Sahl.

14

5. Hikmah Nasikh dan Mansukh

Terjadinya penetapan nasakh didalam al-Qur’an, sejumlah ulama meyebutkan bahwa


ada hikmah yang dapat diambil, diantaranya:
a. Menunjukkan adanya konsep rububiyah sebab dengan nasakh dapat membuktikan
bahwa atas kuasa dan keesaan Allah lah syariat Islam dapat diubah serta ditetapkan.

b. Sebagai bentuk ujian bagi kita untuk membuktikan dengan jelas golongan umat yang
memilih taat pada syariat atau golongan umat yang memilih untuk menentang.

c. Menghendaki kebaikan sekaligus menghilangkan kesulitan bagi seorang hamba pada


beberapa hukum guna kemaslahatan umat. Sebab ketika nasakh tersebut berubah
menjadi hukum yang semakin berat tentu akan ada penambahan pahala didalamnya,
sedangkan ketika nasakh berubah menjadi hukum yang semakin ringan tentu ada
keringanan didalamnya.

d. Bentuk perhatian dan kasih sayang Alloh pada kemaslahatan hamba-Nya, dimana hal
tersebut merupakan tujuan pokok adanya syariat agama Islam Rahmatan lil 'Alamin.

e. Dapat menaikkan tingkat iman kita kepada Allah SWT tentang kejadian apapun yang
telah berlalu atas seizin-Nya di dunia ini.11

BAB III

PENUTUP

1112 El-Mu’jam: Jurnal Kajian Al Qur’an dan Al-Hadis, Vol 2 No. 1, Juni 2022 E-ISSN 2809-1779/P-ISSN
2809-4328, hlm. 35

15
Kesimpulan

1. Zhahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada
petunjuk lain. Apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan
sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.

2. Sedangkan Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna
lain , tetapi bukan zhahirnya. Adapun kajian takwil kebanyakan adalah firu’ sebagaimana
pendapat Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan
kajian takwil juga. Itu semua kajian takwil secara global dan terbatas bila belum ada
panafsiran dari syari’at secara menyeluruh.

Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai
kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu
merubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa, takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.

3. Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain. Naskh
terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah
ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.
Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni
: Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih
dulu daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.
Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan quran,
naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa pendapat
mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat
tersebut.

16

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujieb, M, Dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007

Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010

Jumantoro, Totok, Muniar Amin, Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2009

Syafe’I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007

M. zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009

17

Anda mungkin juga menyukai